Anda di halaman 1dari 6

KERJA NYATA SEHATKAN INDONESIA

DIPUBLIKASIKAN PADA : SELASA, 25 OKTOBER 2016 00:00:00, DIBACA : 32.075 KALI Jakarta, 24 Oktober 2016

Pembangunan kesehatan harus dilakukan dengan pendekatan komprehensif, dengan mengacu pada visi
misi Presiden. Visi Presiden adalah Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian
Berlandaskan Gotong-royong. Upaya untuk mewujudkan visi ini dilakukan melalui 7 misi pembangunan,
dimana pada misi ke-4 adalah mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan
sejahtera.

Dalam pembangunan nasional 2015-2019 juga dibangun kemandirian di bidang ekonomi, berdaulat di
bidang politik dan berkepribadian dalam budaya yang dikenal dengan Trisakti. Untuk mewujudkannya,
ditetapkan 9 agenda prioritas (Nawacita), dimana pada agenda ke-5 dimaksudkan untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia Indonesia yang akan dicapai melalui Program Indonesia Pintar, Program Indonesia
Sehat dan Program Indonesia Kerja Indonesia sejahtera.

Program Indonesia sehat memiliki 3 komponen yaitu: 1) Revolusi mental masyarakat agar memiliki
paradigma sehat; 2) Penguatan Pelayanan Kesehatan; dan 3) Mewujudkan Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).

Semangat membangun dari pinggiran tercermin dalam upaya penguatan pelayanan kesehatan di daerah
terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK), Kemenkes memiliki terobosan untuk menempatkan tenaga
kesehatan secara tim yang kita namakan program Nusantara Sehat (NS). Sedangkan penguatan upaya
kesehatan berbasis masyarakat melalui pendekatan keluarga juga terus diupayakan, ini yang kita sebut
program Keluarga Sehat, terang Menkes Nia F. Moeloek pada acara temu media 2 Tahun Kerja Nyata
Jokowi JK, di Bina Graha, Jakarta (24/10) .

Pilar Pertama: Paradigma Sehat

Kenaikan penduduk menjadi tantangan bukan hanya untuk Indonesia tapi juga untuk seluruh negara di
dunia. Indonesia harus memanfaatkan Bonus Demografi yang diprediksi akan terjadi pada tahun 2035
mendatang. Populasi usia produktif pada tahun tersebut tidak lain adalah anak-anak saat ini yang harus
dipelihara kesehatannya.

Kita tanamkan paradigma sehat dalam diri sejak dini. Dengan mempersiapkan sejak dini, diharapkan pada
saat puncak bonus demografi, Indonesia dapat melaju kencang menuju kemakmuran bangsa, bukan malah
menjadi negara yang tingkat dependensi tinggi karena penyakit kronis yang menimpa sebagian besar
penduduk yang seharusnya produktif, sehingga menurunkan daya saing kita di MEA dan global, ungkap
Menkes.

Dalam dua tahun kerja nyata untuk mewujudkan Indonesia Sehat pada pilar pertama, terdapat beberapa
capaian yang telah dicapai, antara lain:
Angka Kematian Ibu turun dari 5.019 Orang pada tahun 2013 menjadi 4.809 Orang pada tahun 2015
Angka Kematian Bayi turun dari 23.703 anak pada tahun 2013 menjadi 22.267 anak pada tahun 2015
Angka Balita yang mengalami Stunting turun dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 29,6% pada tahun
2015.
Sampai dengan akhir tahun 2016, program pemberian makanan tambahan (PMT) akan membagikan: 6.122
ton PMT bagi 696.715 Ibu Hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK); 7.376 ton PMT bagi 738.883 Balita;
dan 856,2 ton PMT bagi 158.550 anak sekolah.

Pilar Kedua: Penguatan Layanan Kesehatan

Fasilitas kesehatan primer menjadi soko guru dari pelayanan kesehatan, bukan saja menjadi gate keeper
untuk rujukan tetapi juga membina masyarakat umum untuk mempunyai kemampuan untuk hidup sehat.

Penguatan layanan kesehatan dengan semangat membangun dari pinggiran, menjadikan sebuah terobosan
untuk pemerataan tenaga kesehataan (Nakes) di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK).
Sejak mulai diberangkatkan pada April 2015, telah ditempatkan sebanyak 838 orang dalam Tim Nusantara
Sehat di 158 Puskesmas di DTPK.

Pengembangan RS rujukan juga menjadi bagian dari penguatan layanan kesehatan. Tujuannya adalah agar
terjadi pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan menurut kompetensi Faskes tersebut. Target
sasaran s/d 2019 adalah 14 RS rujukan nasional, 20 RS rujukan Propinsi dan 110 RS rujukan regional.

Pilar Ketiga : Jaminan Kesehatan Nasional

Pelaksanaan JKN cukup menggembirakan. Berdasarkan data dari BPJS Kesehatan, sampai dengan bulan
Oktober 2016 tercatat jumlah peserta JKN sebesar 169,574.010 juta jiwa atau kurang lebih 66,11% dari
total penduduk tahun 2016 sebesar 256.511.495 jiwa. Tentunya penambahan cakupan kepesertaan ini harus
diikuti dengan pemenuhan supply side baik sarana prasarana maupun SDM kesehatan.

Perkembangan lain yang cukup menggembirakan semakin banyak fasilitas kesehatan yang ikut dalam
program JKN. Data dari BPJS Kesehatan sampai dengan Oktober 2016, jumlah fasilitas kesehatan yang
telah bekersama dengan BPJS kesehatan untuk melayanani peserta JKN berjumlah 25.828 fasilitas
kesehatan, yang terdiri dari 20.531 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), 2.001 Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), 2.047 Apotik, 956 Optika dan 256 Laboratorium

Sampai dengan bulan Januari 2016, pelayanan Penyakit katastrofik di era JKN menghabiskan biaya klaim
sebesar Rp 74,3 Milyar dengan pemanfaatan tertinggi pada penderita penyakit Jantung yaitu 905.223
penderita dan biaya klaim sebesar 6,9 T. Berikutnya diikuti oleh kasus kanker sebesar 1,8 T dan kasus
stroke sebesar 1,548 T.

Nawacita Jokowi dalam Dunia Kesehatan Indonesia,


Sudah Terwujudkah? 
Sebuah Apresiasi dan Catatan Kecil untuk Presiden Jokowi

Salah satu agenda utama Presiden Joko Widodo dalam kampanye Pilpres 2014,
yang termaktub dalam Nawacita, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia. Peningkatan kualitas ini dicapai, salah satunya, dengan cara
meningkatkan kualitas kesehatan. Cita-cita Presiden Jokowi, dalam hal ini, bisa
dikatakan telah terwujud dan memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Mengacu pada hasil Survei Nasional Opini Publik 2018 yang dilakukan oleh
KedaiKOPI (2018), 66,5 persen publik mengaku puas terhadap pemerintahan
Jokowi. Sedangkan sisanya, sebanyak 33,5 persen, menyatakan tidak puas.

Kemajuan kinerja Jokowi dalam beberapa bidang memang patut mendapatkan


acungan jempol, khususnya dalam bidang kesehatan. 80,8 persen responden
sangat puas dengan kinerja Jokowi untuk kesehatan. Survei ini dilakukan pada
1.135 responden di 34 provinsi dengan tingkat margin of error sebesar kurang lebih
2,97 persen. Responden merupakan calon pemilih yang telah berusia di atas 17
tahun atau telah menikah.

Senada dengan survei di atas, survei yang dilakukan oleh Indikator Politik (2017)
juga menyatakan bahwa sebanyak 68,3 persen masyarakat puas terhadap kinerja
Presiden Jokowi. Masyarakat sangat mengakui bahwa Jokowi berhasil meraih
kemajuan dalam bidang pelayanan kesehatan. 41 persen masyarakat mengatakan
jika kebutuhan berobat saat ini jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya.

Program Jokowi dalam bidang kesehatan yang paling menonjol, yaitu adanya
fasilitas seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS). Kartu Indonesia Sehat (KIS) sudah diterima oleh 92 juta masyarakat.
Program-program ini bisa langsung dirasakan manfaatnya secara langsung oleh
publik.

Program BPJS dibagi menjadi 2, yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non-
Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI). Penerima BPJS PBI bisa mendapatkan KIS
(Kartu Indonesia Sehat). KIS bisa digunakan pada Puskesmas, klinik, dan rumah
sakit mana pun tanpa kecuali. Penerima BPJS PBI juga tidak harus membayar iuran.
Banyak warga miskin terbantu dan mendapatkan fasilitas kesehatan sebagaimana
mestinya.
Baca Juga: Dilema Program Kesehatan Masyarakat
Ada sejumlah catatan penting bagi Presiden Jokowi dalam bidang kesehatan.
Catatan ini sangat layak untuk dipertimbangkan agar kualitas pelayanan kesehatan
untuk masyarakat menjadi lebih baik.

1. Dokter atau petugas kesehatan yang tidak ramah terhadap pasien BPJS

Perkumpulan Prakarsa di 11 Kabupaten/Kota melibatkan 1.344 responden rumah


tangga menyampaikan bahwa ada banyak keluhan yang dirasakan dalam
pemeriksaaan dokter. 50,57persen responden merasa bahwa dokter kurang peduli
terhadap pasien. 14,94 persen responden merasa bahwa tenaga kesehatan kurang
komunikatif dan sebanyak 12,64 persen merasa dokter tidak bisa hadir tepat waktu
sehingga pasien harus menunggu lama untuk mendapatkan pelayanan.

Riset tersebut juga menyatakan ada kuota tertentu yang ditetapkan oleh tenaga
medis dan fasilitas kesehatan yang menerima pasien dengan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN).

Hal-hal yang seperti ini memang harus diperbaiki karena orang yang sedang sakit
membutuhkan perhatian penuh dan keramahan dari tenaga medis. Pemerintah
harus mengingatkan para dokter akan pentingnya menjaga kode etik dan
memprioritaskan kepentingan pasien di atas kepentingan pribadi/material. Jangan
sampai ada diskriminasi.

2. Banyak kendala yang dialami oleh pengguna BPJS

Pemerintah menargetkan bahwa pada tahun 2019, semua orang di Indonesia harus
memiliki BPJS, tanpa kecuali. Tetapi, kenyataannya, masih banyak orang yang
malas mengurus BPJS karena enggan antre panjang. Meskipun saat ini sudah bisa
mendaftar online, kehadiran pendaftar BPJS ke kantor terdekat juga diwajibkan.

Selain itu, fasilitas dalam pelayanan kesehatan yang diterima oleh pengguna BPJS
juga terbatas. Peserta BPJS yang non-PBI pun harus berobat ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang berjenjang. Sejujurnya, ini sangat merepotkan dan tentu saja harus
dipertimbangkan jika jarak rumah pasien dengan fasilitas kesehatan cukup jauh.

Oleh karena itu, prosedur pengurusan BPJS dipermudah dan kantor untuk
mendaftar BPJS diperbanyak. Bisa juga antrean panjang ini diatasi dengan
menambah loket dan jumlah pegawai. Fasilitas untuk pengguna BPJS juga
sebaiknya tidak terlalu dibatasi. Bagaimanapun, harus diusahakan agar pasien
hanya cukup membayar iuran BPJS per bulan saja tanpa perlu mengeluarkan biaya
tambahan apapun.
Baca Juga: Kesehatan Masih Menjadi Wacana Pinggiran dalam Pembangunan
Dengan dikeluarkannya biaya tambahan, ini akan sangat memberatkan, khususnya
untuk kelas menengah. Sedangkan untuk masalah rujukan, ini bisa diatasi dengan
meningkatkan fasilitas di masing-masing unit pelayanan kesehatan sehingga tidak
banyak rujukan yang harus dilakukan.

BPJS juga tidak menanggung biaya pemeriksaan penunjang seperti biaya


laboratorium. Padahal biaya laboratorium terbilang cukup tinggi.
Pemeriksaan lab sangat penting untuk menegakkan diagnosa atas penyakit pasien.
Pemerintah semestinya juga bekerja sama dengan laboratorium, minimal, pengguna
BPJS mendapatkan keringanan biaya jika harus melakukan pemeriksaan di
laboratorium.  

3. Biaya untuk kesehatan masih tinggi

Meskipun dengan adanya BPJS, masyarakat merasa sangat terbantu dan


mendapatkan cukup keringanan dalam hal biaya. Tetapi, hasil dari sebuah riset
memberikan keterangan yang sebaliknya.

Riset Prakarsa tahun 2017 menyebutkan bahwa 75,16 persen responden peserta
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Penerima Bantuan Iuran (PBI) masih harus
menanggung biaya out of pocket untuk pembelian obat. Nominalnya terbilang cukup
besar, yaitu 2 juta rupiah.

Yang dimaksud dengan out of pocket, yaitu jika seseorang yang miskin harus


menghabiskan sebagian besar pendapatannya yang kecil untuk membiayai
perawatan kesehatan. Ini mengharuskan orang miskin tersebut tidak bisa
mendapatkan makanan dan tempat tinggal yang memadai. Ditambah lagi biaya
transportasi yang harus dikeluarkan karena fasilitas kesehatan yang cukup jauh.
Ongkos transportasi ini mencapai Rp 800.000,-.

Menyikapi hal ini, pemerintahan Jokowi bisa mulai mempertimbangkan menambah


fasilitas kesehatan yang terjangkau, khususnya di daerah yang tertinggal dan
terpencil. Di samping itu, pemerintah juga bisa menjalin kerja sama dengan industri
farmasi agar harga obat semakin dijangkau oleh mereka yang masih kurang mampu.

4. Kesejahteraan tenaga medis

Banyak pekerjaan dalam bidang kesehatan yang harus diselesaikan. Dan, sebagai
konsekuensinya, tenaga medis juga harus menerima tanggung jawab yang besar.
Sayangnya, tanggung jawab yang besar ini belum sebanding dengan kesejahteraan
untuk tenaga medis.
Baca Juga: Menakar BPJS Kesehatan: Polemik 3 Tahun BPJS Kesehatan
Ambil contoh profesi perawat sebagai salah satu profesi di bidang kesehatan.
Perawat yang belum berstatus PNS masih mendapatkan gaji yang terbilang kurang
layak per bulannya. Padahal profesi perawat sangat dibutuhkan.

Ironi ini mengantarkan perawat yang masih berstatus non-PNS dikirimkan keluar
negeri untuk mendapatkan gaji yang lebih besar. Ini menjadi hal yang cukup
menyedihkan mengingat di Indonesia masih membutuhkan banyak tenaga medis,
sedangkan tenaga medis seperti perawat banyak yang dikirimkan keluar negeri.  

5. Menekan biaya pendidikan untuk program studi kesehatan di perguruan


tinggi  

Salah satu penyebab mahalnya biaya kesehatan, kemungkinan, adalah mahalnya


biaya pendidikan untuk program studi kesehatan di perguruan tinggi. Sudah bukan
rahasia lagi jika biaya menempuh program studi kedokteran sangat mahal,
mencapai ratusan juta rupiah. Setali tiga uang dengan program studi kesehatan
lainnya yang mencapai biaya terbilang mahal.

Saya memimpikan biaya untuk menempuh sekolah kedokteran bisa sangat


terjangkau (meskipun tanpa harus mendapatkan beasiswa). Biaya sekolah yang
mahal bisa membelokkan motivasi calon dokter yang seharusnya untuk mengabdi
dan untuk kemanusiaan menjadi ajang membalikkan modal sekolah kedokteran
saja. Penekanan biaya ini sekaligus untuk memfokuskan perhatian pendidikan pada
kompetensi, bukan pada kemampuan uang semata.

Semoga catatan ini bisa meningkatkan kualitas kinerja Presiden Jokowi dalam
bidang kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai