BAB I
PENDAHULUAN
1.1 UMUM
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat (Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit). Tak sedikit masyarakat Indonesia
yang gemar berobat ke luar negeri karena anggapan pelayanan serta kualitas
pengobatan yang lebih unggul. Dalam kurun waktu 9 tahun, jumlah pasien
Indonesia yang berobat ke mancanegara melonjak hampir 100 persen. Pada 2015,
masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri mencapai 600.000 pasien.
Pengobatan penyakit kritis seperti kanker dan jantung merupakan jenis
pengobatan yang paling dicari masyarakat Indonesia di luar negeri. Menurut hasil
riset Patients Beyond Borders, Malaysia dan Singapura menjadi tujuan utama
pasien asal Indonesia untuk berobat. Selain itu, beberapa negara di Asia Tenggara
seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia mulai memanfaatkan peluang tersebut
dengan menggarap wisata kesehatan. Adanya sektor wisata kesehatan
mendatangkan keuntungan sebesar 4,3 Miliar US$ bagi Thailand, dan sekitar 3,5
Miliar US$ bagi Singapura. Bahkan, jumlah pasien dari luar negeri di Thailand
mencapai 2,5 juta pasien dan di Singapura mencapai 850 ribu pasien. Indonesia
juga menjadi kontributor terbesar pada sektor wisata kesehatan di luar negeri. Rata-
rata masyarakat Indonesia mengeluarkan 11,5 Miliar US$/tahun untuk menjalani
pengobatan di luar negeri. Banyaknya pasien yang memilih berobat di luar negeri
disebabkan oleh kurangnya mutu pelayanan dan pengawasan kesehatan di dalam
negeri. Selain itu, ketepatan diagnosis, canggihnya teknologi, serta reputasi rumah
sakit menjadi pertimbangan masyarakat Indonesia untuk berobat ke luar negeri.
Adanya wisata medis semakin memudahkan masyarakat Indonesia dalam berobat
ke luar negeri karena tersedianya paket transportasi dan akomodasi selama
berobat.
Di Jawa Barat saja kekurangan 10.000 tempat tidur untuk melayani ± 46 juta
penduduk yang sudah dimiliki 249 Rumah sakit dan rasio perbandingan tenaga
medis (dokter/perawat) baik kualitas maupun kuantitasnya masing sangat kurang
untuk memenuhi layanan kesehatan saat ini. Tingkat pendidikan dan kesejahteraan
penduduk yang telah demikian sangat baik dan maju digambarkan dengan
kenaikan angka prosferity rate selain Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
ditunjukan dengan Health expenditure yang terus membesar, membawa implikasi
terhadap penetapan pilihan pelayanan kesehatan, termasuk sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan. Institusi pelayanan kesehatan dituntut untuk jeli dan kritis
melihat adanya pergeseran ini yang ditandai dengan phenomena “The Cream Of
The Soup”, dibutuhkan adanya inovasi dalam meningkatkan mutu pelayanan, baik
dari peningkatan mutu sumber daya manusia, peralatan medis, model layanan yang
menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah sakit dengan jenis
pelayanan yang dibutuhkan, dan Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Bukan hanya melayani masyarakat
menengah ke bawah yang sesuai dengan UUD tapi juga masyarakat dengan strata
ekonomi atas yang juga warga negara membutuhkan layanan yang masif berbeda
dengan yang telah ada mengingat ada hukum ekternalitas didalamnya.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui profil
kesehatan di Indonesia pada Tahun 2020, Provinsi Jawa Barat yang luas
wilayahnya adalah 35.377,76 m² dan terdiri dari 18 Kabupaten dan 9 Kota dengan
jumlah penduduk 46.709.569 jiwa dan kepadatan penduduk jiwa/km² adalah
1.320,31% menempati urutan pertama pada pertumbuhan masyarakatnya. Jika
dilihat dari rasio ketersediaan fasilitas kesehatan yang ada, Provinsi Jawa Barat
menempati urutan 32 dari 34 Provinsi dengan rasio ketersediaan rumah sakit
sebesar 0.84. Sedangkan, jika dilihat dari data ketersediaan jumlah tenaga dokter
dan perawat, Provinsi Jawa Barat menempati urutan terakhir dengan rasio 10.95
dokter per 100.000 penduduk dan 47.70 per 100.000 penduduk. Selain itu jika
dilihat dari keikutsertaan masyarakat mengikuti program pemerintah yaitu program
BPJS Kesehatan, sebesar 86% (data Mei Tahun 2020) dari masyarakat di Provinsi
Jawa Barat telah ikut serta pada program BPJS Kesehatan, artinya terdapat pangsa
pasar yang cukup tinggi untuk membuka layanan kesehatan dengan membuka unit
layanan bagi peserta BPJS Kesehatan.
Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar masyarakat yang harus dipenuhi
dalam pembangunan kesehatan. Hal tersebut harus dipandang sebagai suatu
investasi untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia dan mendukung
pembangunan ekonomi, serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan
kemiskinan. Penguatan upaya pelayanan kesehatan yang berkualitas dinilai sangat
penting sehingga menjadi salah satu arah kebijakan kesehatan dalam berbagai
rencana pembangunan. Salah satu tujuannya adalah menjangkau seluruh
masyarakat terutama kelompok rentan dan masyarakat tidak mampu yang belum
mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Sementara itu, jumlah
fasilitas kesehatan tingkat rujukan setingkat rumah sakit di wilayah Kota Bandung
terbilang belum mampu memenuhi demand yang ada. Jika dilihat dari segi
ketersediaan tenaga kesehatan, Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur
merupakan provinsi dengan dokter spesialis penyakit dalam dan penyakit jantung
terbanyak berdasarkan surat tanda register (STR) yang telah terdaftar pada konsil
Kedokteran Indonesia per Januari 2020. Ketua Umum Perhimpunan Dokter
terhadap besar penduduk Kota Bandung maka didapat angka sebesar Rp.
514,697 / jiwa. Pusat statistic Kota Bandung Tahun 2019, keadaan tenaga
kesehatan di Kota Bandung, terdapat 1.154 dokter spesialis, 346 Dokter umum, 633
Dokter gigi yang bekerja di rumah sakit, jika melihat dari segi jumlah dan jenis
tenaganya belum sesuai dengan standar, masih banyak kesenjangan dari aspek
ilmu, jumlah yang dibutuhkan dan penyebaranya belum merata, atau ratio untuk
setiap 100.000 penduduk adalah 289 untuk dokter umum, artinya setiap satu orang
dokter umum melayani 289 penduduk, satu orang dokter spesialis melayani 87
penduduk dan satu orang dokter gigi melayani 158 penduduk.
Menurut data yang diperoleh untuk profil kesehatan, Jumlah rumah sakit di
Kota Bandung pada tahun 2019 sebanyak 35 rumah sakit. Kepemilikan rumah sakit
di Kota Bandung terdiri dari 3 rumah sakit milik Kementerian kesehatan, 3 Rumah
Sakit milik TNI / POLRI, 3 rumah sakit milik Pemerintah Kota Bandung, satu milik
universitas negeri, dan 25 rumah sakit milik swasta termasuk satu rumah sakit milik
universitas negeri. Sebanyak 5 RS masuk dalam kategori kelas / tipe A, 10 RS
masuk kedalam kategori kelas B, 18 berkategori kelas C, dan 2 RS berkategori D.
Dari sejumlah rumah sakit tersebut, terdapat 5.421 tempat tidur yang terbagi atas
kelas VVIP, Utama, Kelas I, Kelas II, Kelas III, dan tanpa kelas. Bila menggunakan
rasio rumah sakit dan penduduk 1:10.000, dengan jumlah 35 rumah sakit dan
jumlah penduduk 2.507.888 jiwa, maka didapat rasio sebesar 1:71.654. Sedangkan
bila dihitung berdasarkan rasio tempat tidur per 1.000 penduduk, dengan jumlah
tempat tidur 5.421 tempat tidur, maka didapat angka 2,12 per 1.000 penduduk yang
berarti, 2 tempat tidur rumah sakit melayani 1.000 penduduk.
Pend. Jml
Tahun Rasio 1 Kemen TNI/PO BUMN /
Jml 1: TT A B C D erian Pemkot RSU KHUS
: 1000 kes LRI Swasta
10000 Lain US
Sumber: Seksi Rujukan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Bandung Tahun 2019
Sumber: Sub Bagian Program Data dan Informasi Dinas Kesehatan Kota Bandung Tahun 2019
minat dan kebutuhan konsumen, khusunya bagi rumah sakit yang akan memasuki
segmen tertentu. Rencana pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung Melinda
Cardio-Vascular Center juga tidak dapat dipisahkan dari pentingnya perencanaan
kegiatan yang akan dilakukan berkaitan dengan pembangunan rumah sakit
tersebut.
Pembangunan institusi layanan kesehatan bukan saja bermakna sebagai
bentuk usaha atau bisnis yang harus dilaksanakan secara benar, namun
diharapkan sesuai dengan tahapan-tahapan uang mengikuti kaidah atau standar
tertentu. Demikian pula halnya dengan rencana pendirian Rumah Sakit Khusus
Jantung Melinda Cardio-Vascular Center. Menurut Peraturan Pemerintah No 47
Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan harus ada dokumen
studi kelayakan (feasibility study) dan masterplan. Pendirian rumah sakit ini
selayaknya dilakukan melalui tahapan pembangunan sesuai dengan syarat–syarat
normatif dan teknis yang ditetapkan. Salah satunya adalah melakukan studi
kelayakan untuk menentukan apakah rencana yang telah diajukan memenuhi
kriteria “layak” dalam berbagai aspek.
Studi kelayakan (feasibility study) juga dimaksudkan sebagai tahapan bagi
para pelaku bisnis yang bertujuan untuk memahami proses pendirian maupun
pengembangan rumah sakit yang sesuai dengan kebutuhan dan permintaan, serta
mampu menjalankan dan mengorganisir proses perencanaan rumah sakit, serta
memahami operasional rumah sakit sejalan dengan kaidah manajemen dan kaidah
pelayanan medik secara umum. Di dalam studi ini, juga diperoleh berbagai
rekomendasi kelayakan dari berbagai aspek (legal, sosio-ekonomi, financial,
dampak masyarakat), sehingga pelaku usaha dapat menjadikannya sebagai dasar
dalam setiap pengambilan keputusan.
Dalam alur piker dibawah ini (lihat Gambar 1.1) terlihat bahwa pada tahap awal,
pelaku bisnis atau pemilik mempunyai keinginan untuk mendirikan suatu rumah
sakit dengan maksud dan tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, dengan
demikian visi dan misi dari rumah sakit tersebut secara umum harus sudah ada
terlebih dahulu untuk dilanjutkan ke dalam bentuk studi, apakah keinginan tersebut
layak atau tidak, kemudian keinginan pemilik ditindak lanjuti dengan Studi
Kelayakan (feasibility study) yang ditinjau dari berbagai aspek meliputi analis
lingkungan/situasi kecenderungan aspek internal dan eksternal, analis permintaan
terkait kelayakan dari aspek-aspek yang dapat mempengaruhinya, analis
kebutuhan dan analisis keuangan serta rekomendasi kelayakan dari rencana
pendirian rumah sakit.
pelayanan kesehatan, dalam hal ini adalah pengelola rumah sakit. Secara legal,
dokumen yang diperoleh adalah ijin operasinal. Tahapan-tahapan tersebut
tampaknya memang sudah selayaknya ditempuh oleh para pelaku bisnis sehingga
tujuan pembangunan institusi layanan kesehatan atau rumah sakit ini menjadi
sesuai dengan visi-misi perusahaan yang dibangun sebelumnya. Studi kelayakan
yang juga menjadi syarat dalam tahapan tersebut, adalah sebuah proses yang
secara strategis memiliki peran yang sangat besar. Oleh karenanya, studi
kelayakan yang terkait dengan rencana pengembangan fasilitas layanan kesehatan
berupa pendirian Rumah Sakit Khusus Jantung Melinda Cardio-Vascular Center
adalah mutlak diperlukan.
Maksud dari studi kelayakan rencana pendirian Rumah Sakit Khusus Jantung
Melinda Cardio-Vascular Center ini adalah pemenuhan salah satu syarat pendirian
dan pengembangan rumah sakit sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI No.
44 Tahun 2009 tentang rumah sakit dan Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 2021
Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan. Langkah-langkah yang
ditempuh dalam studi kelayakan ini adalah mengumpulkan data-data yang relevan
(baik data primer maupun data sekunder) yang kemudian dilakukan analisis meliputi
analisis lingkungan/situasi kecenderungan aspek internal dan eksternal. Analisis
permintaan kelayakan dari aspek-aspek yang dapat mempengaruhinya, analisis
kebutuhan dan analisis keuangan serta rekomendasi kelayakan dari rencana
pendirian rumah sakit.
Tujuan penyusunan studi kelayakan ini adalah memberikan gambaran dan
informasi yang komprehensif dan relevan tentang kelayakan rencana
pengembangan fasilitas layanan kesehatan berupa pendirian Rumah Sakit Khusus
Jantung Melinda Cardio-Vascular Center yang beralamat di jalan DR. Cipto No. 11
Pasirkaliki, Kec. Cicendo, Kota Bandung Provinsi Jawa Barat Jawa Barat.
2. Analisis Situasi
Membahas tentang kecenderungan aspek eksternal dan internal. Aspek
eksternal menguraikan kebijakan-kebijakan terkait dengan pendirian rumah
sakit, aspek geografis, demografis, social ekonomi dan budaya,
ketenagakerjaan, serta kesehatan. Aspek internal menguraikan kebutuhan
sarana kesehatan, pola penanganan penyakit di rumah sakit, teknologi
kesehatan yang digunakan, SDM rumah sakit, organisasi dan kinerja
keuangan rumah sakit.
3. Analisis Permintaan
Membahas kelayakan rumah sakit yang diajukan ditinjau dari aspek-aspek:
ketersediaan lahan dan lokasi, klasifikasi kelas rumah sakit, kapasitas tempat
tidur, jenis layanan dan produk unggulan.
4. Analisis Kebutuhan
Membahas rencana pengembangan rumah sakit berupa penjelasan tentang
kebutuhan lahan, kebutuhan ruangan, peralatan medis dan non medis, SDM
dan organisasi serta uraian tugas.
5. Analisis Keuangan
Membahas tentang rencana investasi dan sumber dana, proyeksi
pendapatan dan biaya proyeksi cash flow, serta analisis keuangan berupa
BEP (break event point), Internal rate of return dan NPV (Nett present value).