Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH HEALTH CARE SYSTEM

SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 1

ADE IRMA NOVIKASARI (012121016)


LELY NURYANINGSIH (012121031)
NI PUTU DIAH TANTRIYANI (012121012)
NURHAYATI (012121033)
OKA WARPRIANA (012121021)
WIJI HANDAYANI (012121030)
UMI MUNAWAROH (012121028)

KELAS B 21

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BINAWAN JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sistem Kesehatan Nasional yang tercantum dalam Peraturan Presiden
Nnmor 72 tahun 2012, Sistem Kesehatan Nasional yang selanjutnya disebut SKN
adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan adalah proses
atau cara mencapai tujuan pembangunan kesehatan melalui pengelolaan upaya
kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber
daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan, manajemen,
informasi dan regulasi kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat (Kholifah &
Widangdo, 2016).
Dari perspektif sistem, kinerja sistem yang optimal akan tercapai jika semua
komponen berfungsi dengan baik, jika satu komponennya lemah, maka kinerja sistem
akan menurun atau tidak optimal. Dengan perspektif demikian, kinerja upaya
Kesehatan akan sangat bergantung dengan kinerja subsitem lainnya.
Di Jepang, trend memperkarakan secara hukum dugaan “malpraktik” meningkat
sangat tajam. Data dari Mahkamah Agung Jepang menunjukkan peningkatan
sebanyak 100%, yaitu dari 487 kasus pada tahun 1995 menjadi 987 kasus pada tahun
2003. Di Singapura, walaupun tidak ada data formal tentang dugaan “malpraktik”,
dalam Singapore Medical Association Workgroup’s Report on Avoiding Medical
Accident and Improving Patient Information (Marc 2003), dilaporkan selama periode
1999 sampai 2001, dari 5,608 dokter di singapura 601 diantaranya dikomplain oleh
masyarakat. Yang cukup mengagetkan adalah hampir separuh (43,7%) dokter-dokter
yang dikomplain ternyata memang tebukti melanggar standart of care.
Di Indonesia, menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Pusat
tercatat kurang lebih terdapat 150 kasus malpraktik, walau sebagian besar tidak
sampai ke meja hijau. Demikian pula laporan masyarakat kepada Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dari tahun 1998 sampai 2006 tercatat 306 kasus pengaduan dugaan
malpraktik. Menurut SG Wibisono, dalam tahun 2006 hingga 2012 tercatat ada 182
kasus malpraktik atau kelalaian medis yang terbukti dilakukan oleh dokter di seluruh
Indonesia.
Dalam Undang-Undang kesehatan Nomor 36 tahun 2009 juga ditekankan tentang
pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan Kesehatan. Pada perkembangan
terkini menunjukkan bahwa masyarakat pengguna pelayanan kesehatan pemerintah
dan swasta semakin menuntut pelayanan yang bermutu. Masyarakat saat ini semakin
kritis terhadap pelayanan kesehatan, keamanan dan kenyamanannya. Apabila
penyedia layanan Kesehatan tidak mempersiapkan secara lebih baik dalam upaya
peningkatan pelayanan kesehatan, maka sarana pelayanan kesehatan tersebut akan
dijauhi masyarakat dan masyarakat akan mencari tempat pelayanan kesehatan yang
lebih baik. Sehingga pentingnya setiap pemberi layanan kesehatan berupaya
melaksanakan sistem Kesehatan nasional subsistem upaya Kesehatan secara terencana
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat agar dapat terus memberikan
pelayanan bermutu

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan bagaimana
pelaksanaan subsistem upaya pelayanan Kesehatan dapat diterapkan di berbagai
sarana pelayanan Kesehatan.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Penulis mampu memahami tentang Sistem Kesehatan Nasional subsistem Upaya
kesehatan baik secara teori maupun pada aplikasi nyata di setiap sarana pelayanan
kesehatan.
2. Tujuan Khusus:
Agar penulis mampu :
a. Memahami tinjauan teori dari Sistem Kesehatan Nasional
b. Memahami subsistem Kesehatan Nasional
c. Memahami subsistem Upaya Kesehatan Nasional
d. Memahami situasi dan kondisi nyata sistem Kesehatan yang ada di pelayanan
Kesehatan di Indonesia
e. Menganalisa kesenjangan antara teori subsistem upaya Kesehatan dengan
situasi nyata
f. Menganalisa faktor pendukung antara teori dengan situasi nyata bisa sejalan
g. Menganalisa faktor penyebab terjadinya malpraktik dan merumuskan
pencegahan malpraktik
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Peraturan Sistem Kesehatan Nasional di Indonesia


1. Pengertian
Bedasarkan Peraturan Presiden no. 72 tahun 2012, Sistem Kesehatan Nasional
yang selanjutnya disebut SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh
semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya Adapun
yang dimaksud SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua
komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pengelolaan
kesehatan adalah proses atau cara mencapai tujuan pembangunan kesehatan melalui
pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan
kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan,
manajemen, informasi dan regulasi kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat
(Kholifah & Widangdo, 2016).

2. Tujuan dan Kegunaan SKN


Menurut Kholifah & Widangdo, 2016 dalam buku Keperawatan Keluarga dan
Komunitas, berikut tujuan dan kegunaan SKN :
a. Tujuan SKN
SKN bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan oleh semua
komponen bangsa, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
termasuk badan hukum, badan usaha, maupun lembaga swasta secara sinergis,
berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi -tingginya.
b. Kegunaan SKN
SKN merupakan dokumen kebijakan pengelolaan kesehatan sebagai acuan
dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, dengan demikian SKN dapat
digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan kesehatan, baik oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan hukum, badan usaha,
maupun lembaga swasta.
3. Cara Penyelenggaraan SKN
Menurut Kholifah & Widangdo, 2016 dalam buku Keperawatan Keluarga dan
Komunitas, Penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi upaya kesehatan perorangan
dan upaya kesehatan masyarakat. Adanya sumber daya dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan ditujukan untuk keberhasilan penyelenggaraan upaya kesehatan. Sumber
daya dalam penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi terutama tenaga kesehatan,
fasilitas kesehatan, perbekalan kesehatan, teknologi dan produk teknologi. Pengelolaan
dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan nilai-
nilai prorakyat, inklusif, responsif, efektif, dan bersih. Penyelenggaraan SKN
dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat pusat sampai daerah. Pemerintah membuat
kebijakan yang dapat dilaksanakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan SKN mempertimbangkan komitmen global dan komponennya yang
relevan dan berpengaruh secara mendasar dan bermakna terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Pelaksanaan SKN sebagaimana dimaksud bedasarkan Peraturan Presiden no. 72
tahun 2012 harus memperhatikan:
a. Cakupan pelayanan kesehatan berkualitas, adil, dan merata;
b. Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat;
c. Kebijakan kesehatan masyarakat untuk meningkatkan dan melindungi kesehatan
masyarakat;
d. Kepemimpinan dan profesionalisme dalam pembangunan kesehatan;
e. Inovasi atau terobosan ilmu pengetahuan dan teknologi yang etis dan terbukti
bermanfaat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk
penguatan sistem rujukan;
f. Pendekatan secara global dengan mempertimbangkan kebijakan kesehatan yang
sistematis, berkelanjutan, tertib, dan responsif gender dan hak anak;
g. Dinamika keluarga dan kependudukan;
h. Keinginan masyarakat;
i. Epidemiologi penyakit;
j. Perubahan ekologi dan lingkungan; dan
k. Globalisasi, demokratisasi dan desentralisasi dengan semangat persatuan dan
kesatuan nasional serta kemitraan dan kerja sama lintas sektor.
4. Landasan SKN
Landasan SKN bedasarkan Peraturan Presiden no. 72 tahun 2012 meliputi:
a. Landasan idiil; yaitu Pancasila
b. Landasan konstitusional; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945
c. Landasan operasional ; meliputi Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan dan ketentuan peraturan perundangundangan lainnya yang berkaitan
dengan penyelenggaraan skn dan pembangunan kesehatan.
Sistem Kesehatan Nasional terus menerus mengalami perubahan sesuai
dengan dinamika yang terjadi di masyarakat. SKN ditetapkan pertama kali pada
tahun 1982. Lalu pada tahun 2004 terdapat SKN 2004 sebagai pengganti SKN
1982. SKN 2004 ini kemudian diganti dengan SKN 2009 hingga akhirnya SKN
2009 ini dimutakhirkan menjadi SKN 2012. Penyusunan SKN tersebut mengacu
pada dasar-dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dasar-dasar
hukum tersebut antara lain:
a. SKN 1982
Dasar hukum SKN Tahun 1982 adalah KEPMENKES Nomor
99a/MENKES/SK/III/1982 tentang Berlakunya SKN.
b. SKN 2004
Dasar hukum SKN Tahun 2004 adalah KEPMENKES Nomor
131/MENKES/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional
c. SKN 2009
Dasar hukum SKN Tahun 2009 adalah KEPMENKES RI Nomor
374/MENKES/SK/V/2009, serta UU 36 tahun 2009 Pasal 167 (4) tentang
Kesehatan;
d. SKN 2012
Dasar hukum SKN Tahun 2012 adalah PERPRES Nomor 72 Tahun 2012
tentang Sistem Kesehatan Nasional
e. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP-N) 2005-2025.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
merupakan arah pembangunan kesehatan yang berkesinambungan.
f. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan ( RPJP-K) 2005-
2025
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
dan SKN merupakan dokumen kebijakan pembangunan kesehatan sebagai
acuan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan.

5. Subsistem SKN
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 72 tahun 2012 terdiri atas, upaya kesehatan,
fasilitas pelayanan kesehatan, sumber daya upaya kesehatan, serta pembinaan dan
pengawasan upaya kesehatan (Kholifah & Widangdo, 2016).
a. Subsistem upaya kesehatan
b. Subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan
c. Subsistem pembiayaan kesehatan
d. Subsistem sumber daya manusia kesehatan
e. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
f. Subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
g. Subsistem pemberdayaan masyarakat

B. Kewajiban Sistem Kesehatan Nasional


Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia
memiliki landasan yuridis internasional dalam Pasal 2 Ayat (1) Konvensi Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya. Pasal 28 I Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah. Kewajiban pemerintah ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 UU HAM.
Dibidang kesehatan, Pasal 7 UU Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertugas
menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pasal 9
UU Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Bentuk upaya Negara dalam memberikan pelayanan
kesehatan yaitu dengan meluncurkan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Program ini diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang
merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tentang BPJS yang diamanatkan dalam Undang Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini dijadikan sebagai upaya pemerintah untuk
mengayomi masyarakat kecil yang selama ini kesulitan untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Ketentuan bunyi Pasal 14 UU BPJS menyebutkan “Setiap orang, termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi
Peserta program Jaminan Sosial, “wajib” dalam Pasal 14 UU BPJS ini memberi makna,
setiap orang baik anak-anak maupun dewasa, orang miskin, atau orang kaya semuanya
wajib ikut program jaminan sosial kesehatan di BPJS. Hal ini tentunya, Pasal 14 UU BPJS
ini bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan
umum yang layak.

C. Subsistem Upaya Kesehatan


1. Pengertian
Menurut Kholifah & Widangdo, 2016 dalam buku Keperawatan Keluarga dan
Komunitas, subsistem upaya kesehatan adalah pengelolaan upaya kesehatan yang
terpadu, berkesinambungan, paripurna, dan berkualitas, meliputi upaya peningkatan,
pencegahan, pengobatan, dan pemulihan, yang diselenggarakan guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

2. Tujuan
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem upaya kesehatan adalah terselenggaranya
upaya kesehatan yang adil, merata, terjangkau, dan bermutu untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk dapat mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan
dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia sebagai ketahanan nasional.
Upaya kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah (termasuk TNI dan POLRI),
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, dan/atau masyarakat/swasta melalui upaya
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan pemulihan kesehatan, di
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan.
3. Unsur Subsistem Upaya Kesehatan
Unsur-unsur subsistem upaya kesehatan terdiri atas, upaya kesehatan, fasilitas
pelayanan kesehatan, sumber daya upaya kesehatan, serta pembinaan dan pengawasan
upaya kesehatan (Kholifah & Widangdo, 2016).
a. Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan
pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan
tradisional, alternatif dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan
selalu mengutamakan keamanan, kualitas, dan bermanfaat. Pelayanan kesehatan
tradisional, alternatif dan komplementer dilaksanakan secara sinergi dan
terintegrasi dengan pelayanan kesehatan yang diarahkan guna mengembangkan
lingkup keilmuan (body of knowledge) supaya sejajar dengan pelayanan kesehatan.
Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit
tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan, utamanya penduduk
rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan masyarakat miskin.
(Kholifah & Widangdo, 2016).

b. Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi fasilitas pelayanan kesehatan
perorangan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, yang
diselenggarakan oleh Pemerintah (termasuk TNI/POLRI), pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota, dan/atau masyarakat yang sifatnya sesuai dengan kondisi
geografis dan kebutuhan masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan
alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan, baik peningkatan, pencegahan, pengobatan, maupun pemulihan yang
dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat, termasuk swasta. Fasilitas
pelayanan kesehatan tersebut meliputi pelayanan kesehatan tingkat pertama
(primer), pelayanan kesehatan tingkat kedua (sekunder) dan pelayanan kesehatan
tingkat ketiga (tersier). Ketentuan persyaratan fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Sumber Daya Upaya Kesehatan


Sumber daya upaya kesehatan terdiri atas sumber daya manusia kesehatan,
fasilitas kesehatan, pembiayaan, sarana dan prasarana, termasuk, sediaan farmasi
dan alat kesehatan, serta manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan yang
memadai guna terselenggaranya upaya kesehatan. Fasilitas kesehatan
menyelenggarakan keseluruhan upaya kesehatan yang terdiri atas penyelenggaraan
upaya kesehatan tidak langsung yang mendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan langsung.
d. Pembinaan dan Pengawasan Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan harus diberikan berdasarkan standar pelayanan yang
telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah
Daerah, organisasi profesi, dan/atau masyarakat. Pembinaan dan pengawasan
upaya kesehatan dilakukan secara berjenjang melalui standarisasi, sertifikasi,
lisensi, akreditasi, dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah bersama
dengan organisasi profesi dan masyarakat.

e. Nondiskriminasi
Setiap penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan
medis, bukan status sosial ekonomi dan tidak membeda-bedakan suku atau ras,
budaya dan agama, dengan tetap memperhatikan kesetaraan dan pengarusutamaan
gender serta perlindungan anak.

f. Terjangkau
Ketersediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang bermutu harus
terjangkau oleh seluruh masyarakat.

g. Teknologi Tepat Guna


Upaya kesehatan menggunakan teknologi tepat guna yang berbasis bukti.
Teknologi tepat guna berasas pada kesesuaian kebutuhan dan tidak bertentangan
dengan etika dan norma agama.

h. Bekerja dalam Tim secara Cepat dan Tepat


Upaya kesehatan dilakukan secara kerja sama tim, melibatkan semua pihak
yang kompeten, dilakukan secara cepat dengan ketepatan atau presisi yang tinggi.

4. Penyelenggaraan
Penyelenggaraan subsistem upaya kesehatan terdiri atas upaya kesehatan serta
pembinaan dan pengawasan (Kholifah & Widangdo, 2016).
a. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan mencakup kesehatan fisik, mental, termasuk intelegensia
dan sosial. Terdapat tiga tingkatan upaya, yaitu upaya kesehatan tingkat
pertama/primer, upaya kesehatan tingkat kedua/sekunder, dan upaya kesehatan
tingkat ketiga/tersier. Upaya kesehatan diselenggarakan secara terpadu,
berkesinambungan, dan paripurna melalui sistem rujukan.
1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya kesehatan primer terdiri atas dua bentuk upaya sebagai berikut.
a) Pelayanan kesehatan perorangan primer
Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan
sejak kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan
kesehatan. Penekanannya pada pemberian layanan pengobatan, pemulihan
tanpa mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di
dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life
style).Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan oleh
tenaga kesehatan berkompetensi seperti yang ditetapkan, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku serta dapat dilaksanakan di rumah, tempat kerja,
maupun fasilitas pelayanan kesehatan perorangan primer, baik Puskesmas
dan jejaringnya, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik pemerintah,
masyarakat, maupun swasta.
Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan
sekunder dalam sistem rujukan yang timbal balik. Penyelenggaraannya
berdasarkan kebijakan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh
Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah,
organisasi profesi, dan/atau masyarakat. Selain itu, dapat diselenggarakan
sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory), menetap, atau dapat
dikaitkan dengan tempat kerja, seperti klinik perusahaan atau dapat
disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra,
seperti: kesehatan haji, kesehatan pada penanggulangan bencana,
kesehatan transmigrasi, kesehatan di bumi perkemahan, kesehatan dalam
penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat,
kesehatan dalam operasi dan latihan militer di darat, kesehatan kelautan
dan bawah air, kesehatan kedirgantaraan atau penerbangan, dan kesehatan
dalam situasi khusus dan/atau serba berubah).
Pemerintah wajib menyediakan pelayanan kesehatan perorangan
primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sesuai kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin, daerah terpencil,
perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati
swasta. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk
penduduk miskin dibiayai oleh Pemerintah, sedangkan golongan ekonomi
lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh Pemerintah.

b) Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer (PKMP)


Pelayanan kesehatan masyarakat primer adalah pelayanan peningkatan
dan pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan
sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan masyarakat primer menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan
kepada Puskesmas, dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan primer lainnya
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau
masyarakat. Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat primer
ditanggung oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah bersama masyarakat,
termasuk swasta. Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan
membiayai pelayanan kesehatan masyarakat primer yang berhubungan
dengan prioritas pembangunan kesehatan melalui kegiatan perbaikan
lingkungan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian,
serta paliatif.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat primer didukung
kegiatan lainnya, seperti surveilans, pencatatan, dan pelaporan yang
diselenggarakan oleh institusi kesehatan yang berwenang.
Pemerintah/Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas pelayanan
kesehatan yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya
kesehatan masyarakat sesuai keperluan. Pembentukan fasilitas pelayanan
kesehatan tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat primer
mendukung upaya kesehatan berbasis masyarakat dan didukung oleh
pelayanan kesehatan masyarakat sekunder. Dalam pelayanan kesehatan
perorangan termasuk pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dalam
bentuk seperti Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) dan pengobatan
tradisional, alternatif dan komplementer yang secara ilmiah telah terbukti
terjamin keamanan dan khasiatnya.
2) Upaya Kesehatan Sekunder
Upaya kesehatan sekunder adalah upaya kesehatan rujukan lanjutan, yang
terdiri atas pelayanan kesehatan perorangan sekunder dan pelayanan kesehatan
masyarakat sekunder.
a) Pelayanan Kesehatan Perorangan Sekunder (PKPS)
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder adalah pelayanan kesehatan
spesialistik yang menerima rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan
primer, yang meliputi rujukan kasus, spesimen, dan ilmu pengetahuan serta
dapat merujuk kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan yang dirujuk.
Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan oleh dokter
spesialis atau dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan
mempunyai izin praktik serta didukung tenaga kesehatan lainnya yang
diperlukan, di tempat kerja maupun fasilitas pelayanan kesehatan
perorangan sekunder, baik rumah sakit setara kelas C maupun fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya milik Pemerintah. Selain itu, pelayanan
kesehatan perorangan sekunder dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan
dan pelatihan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pendidikan dan
pelatihan.
b) Pelayanan Kesehatan Masyarakat Sekunder (PKMS)
Pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menerima rujukan kesehatan
dari pelayanan kesehatan masyarakat primer dan memberikan fasilitasi
dalam bentuk sarana, teknologi, dan sumber daya manusia kesehatan serta
didukung oleh pelayanan kesehatan masyarakat tersier. Penyelenggaraan
pelayanan ini menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan/atau Provinsi sebagai fungsi teknisnya, yakni melaksanakan pelayanan
kesehatan masyarakat yang tidak sanggup atau tidak memadai dilakukan
pada pelayanan kesehatan masyarakat primer. Dalam penanggulangan
penyakit menular yang tidak terbatas pada suatu batas wilayah administrasi
pemerintahan (lintas kabupaten/kota), maka tingkat yang lebih tinggi
(provinsi) yang harus menanganinya.
3) Upaya Kesehatan Tersier
Upaya kesehatan tersier adalah upaya kesehatan rujukan unggulan yang
terdiri atas pelayanan kesehatan perorangan tersier dan pelayanan kesehatan
masyarakat tersier.
a) Pelayanan Kesehatan Perorangan Tersier (PKPT).
Pelayanan kesehatan perorangan tersier menerima rujukan subspesialistik
dari pelayanan kesehatan di bawahnya, dan dapat merujuk kembali ke
fasilitas pelayanan kesehatan yang rujukannya dilaksanakan oleh dokter
subspesialis atau dokter spesialis yang telah mendapatkan pendidikan
khusus atau pelatihan serta mempunyai izin praktik yang didukung oleh
tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan. Pelayanan kesehatan ini
dilaksanakan di rumah sakit umum, rumah sakit khusus setara kelas A dan
B, baik milik Pemerintah, Pemerintah Daerah maupun swasta yang mampu
memberikan pelayanan kesehatan subspesialistik dan juga termasuk klinik
khusus, seperti pusat radioterapi. Pelayanan kesehatan perorangan tersier
wajib melaksanakan penelitian dan pengembangan dasar maupun terapan
dan dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan tenaga
kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
b) Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tersier (PKMT)
Pelayanan kesehatan masyarakat tersier menerima rujukan kesehatan dari
pelayanan kesehatan masyarakat sekunder dan memberikan fasilitasi dalam
bentuk sarana, teknologi, sumber daya manusia kesehatan, serta rujukan
operasional, melakukan penelitian dan pengembangan bidang kesehatan
masyarakat, penapisan teknologi, serta produk teknologi yang terkait.
Pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat tersier adalah Dinas Kesehatan
Provinsi, unit kerja terkait di tingkat provinsi, Kementerian Kesehatan, dan
unit kerja terkait di tingkat nasional. Pelaksanaan pelayanan ini menjadi
tanggung jawab Dinas Kesehatan Provinsi dan Kementerian Kesehatan
yang didukung dengan kerja sama lintas sektor. Institusi pelayanan
kesehatan masyarakat tertentu secara nasional dapat dikembangkan untuk
menampung kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat.
c) Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan upaya kesehatan ditujukan untuk menjamin mutu pelayanan
kesehatan yang harus didukung dengan standar pelayanan yang selalu
dikaji dalam periode tertentu sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta kebutuhan. Pembinaan upaya kesehatan dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi dan
masyarakat, termasuk swasta. Pengawasan ditujukan untuk menjamin
konsistensi penyelenggaraan upaya kesehatan dan dilakukan secara
intensif, baik internal maupun eksternal serta dapat melibatkan masyarakat
dan swasta. Hasil pengawasan digunakan untuk perlindungan terhadap
masyarakat dan tenaga kesehatan selaku penyelenggara upaya kesehatan.

D. Upaya Kesehatan di Luar Negeri


1. Jepang
Salah satu negara dengan harapan hidup tertinggi yakni Jepang (WHO, 2011).
Selain itu, jepang juga merupakan negara kedua yang mempunyai tingkat harapan
hidup tinggi perkelahiran dengan rata-rata umur adalah 82,8 tahun berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 2013. (Broida, Joel H & Maeda, et
all, 2014) Berdasarkan data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Jepang merupakan
negara yang pastinya negara yang memiliki teknologi kesehatan yang canggih dan
lengkap sesuai dengan kebutuhan masyarakat. akan tetapi, Jepang mengalami kendala
akibat dari teknologi yang canggih itu, karena memicu pengeluran pembiayaan yang
meningkat. (Widodo Teguh, 2014) Dari segi pembiayaan kesehatan, pemerintah
Jepang sudah memulai jaminan kesehatan sejak tahun 1927, dan mencakup seluruh
penduduk (whole coverage) di tahun 1961. Untuk penduduk 12 lansia bahkan
digratiskan atau tidak perlu membayar iuran sejak tahun 1973. (Ikegami, Naoki, et all,
2004) Negara Jepang menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
mencangkup seluruh populasi melalui sistem asuransi kesehatan.
Para pekerja pada sektor swasta yang pertama kali dikenalkan pada asuransi
kesehatan public di Jepang yang berlandaskan hukum The Health Insurance Law pada
tahun 1992. (Fukawa, Tetsuo, 2002) Akan tetapi asuransi kesehatan yang mencangkup
para pekerja tersebut memiliki manfaat yang tidak komprehensif. Setelah pasca
perang kedua di Jepang, Jepang berupaya dalam meningkatkan sistem kesehatan yang
ada, termasuk asuransi kesehatan bagi masyarakat Jepang. Subsidi pemerintah pada
tahun 1954 ditetapkan sepihak oleh pemerintah nasional untuk kepentingan asuransi
kesehatan satu milyar yen. Hal ini untuk memenuhi cakupan dalam universal asuransi
kesehatan publik yang akan tercapai pada tahun 1961. (Ikegami, Naoki, et all, 2004)
Sistem asuransi di Jepang tidak semua pengobatan maupun perawatan akan
ditanggung oleh asuransi, tetapi akan ditanggung secara bersama oleh pihak asuransi
dan juga pasien yang bersangkutan.
Pemerintah Jepang pada tahun 1984 mengeluarkan sebuah kebijakan, yang mana
kebijakan tersebut berisi bahwa masyarakat wajib membayar seluruh pengobatan
sebesar 10%, sedangkan pada tahun 1997 terjadi peningkatan sebesar 20%, dan tahun
2003 hingga kini terus terjadi peningkatan hingga 30%. Akan tetapi peningkatan
sebesar 30% tersebut tidak berlaku untuk semua masyarakat. sharing cost asuransi
kesehatan di Jepang yang berlaku saat ini, yaitu : (Fukawa, Tetsuo, 2002) a. Umur ≥
75 tahun membayar 10%, bila mempunyai pendapaatan sebesar income maka naik
menjadi 30%. b. Umur 70-75 tahun membayar 20%, bila mempunyai pendepataan
sebesar income maka naik menjadi 30%. c. Mulai wajib belajar – umur 70 tahun
membayar sebesar 30 %. d. Anak yang belum sekolah membayar 30%. Sumber daya
di Jepang mempunyai kualitas yang cukup baik yang dapat membantu negara Jepang
dalam mewujudkan sistem jaminan kesehatan yang baik dan berkualitas bagi
masyarakat. Jaminan kesehatan akan diberikan sesuai dengan program yang diikuti
oleh peserta, yang terdiri dari penyakit umum sampai dengan penyakit khusus. Jepang
memiliki pelayanan kesehatan berupa rumah sakit sebanyak ≥1000 rumah sakit
mental, general hospital 8700 unit, comprehensive hospital 1000 unit dengan kapasitas
BOR 1,5 juta, 48.000 klinik gigi, dan 79.000 pelayanan kesehatan yang dilengkapi
fasilitas layanan rawat jalan dan rawat inap. (Fukawa, Tetsuo, 2002)
Berbagai macam asuransi yang ada di Jepang, yaitu : (Ikegami, Naoki, et all,
2004) a. National Health Insurance, dikelola oleh pemerintah, yang mana asuransi ini
ditujukan untuk masyarakat yang sudah pension, orang usia lanjut 7000 orang
karyawan. d. Mutual Aid Insurance, dikelola oleh pemerintah yang ditujukan untuk
pegawai negeri. e. Advanced Eldery Medical Service System, dikelola oleh
pemerintah yang ditujukan untuk masyarakat lansia >75 tahun. Di Jepang, dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun pelayanan dokter
diberlakukan secara sama untuk semua sistem asuransi yang dipakai. Pembayaran
yang dipakai berupa fee for service, tetapi secara parsial telah digunakan sebagai
pembayaran paket pada asuransi Health Insurance for Elderly. Masing-masing harga
perawatan medis telah terdaftar oleh asuransi pada fee schedule berdasarkan
rekomendasi The Central Social Insurance Medical Council yang ditentukan oleh
pemerintah. Harga resep obat yang dapat diklaim oleh fasilitas medis berdasarkan
standard harga obat-obatan. Ada persamaan jaminan kesehatan di Jepang dengan
Indonesia yaitu beban biaya perawatan penduduk lanjut usia cenderung tinggi. Hal
tersebut terkait pola penyakit degeneratif dan jumlah proporsi penduduk lansia di
Jepang yang tinggi. Namun yang berbeda adalah jaminan kesehatan di Jepang tidak
mengenal sistem rujukan, penduduk bebas memilih layanan kesehatan di dokter atau
klinik tingkat pertama, ataupun langsung ke RS. Namun jaminan kesehatan di Jepang
tidak mencakup persalinan normal, sedangkan di Indonesia mencakup semua
persalinan baik normal maupun operasi (SC) dengan indikasi medis. (Pernando,
Anggara, 2015).

2. Amerika Serikat
Sistem kesehatan di Amerika menerapkan sistem asuransi komersial. Asuransi
komersial tersebut artinya masyrakat berhak memilih untuk menggunakan asuransi
atau tidak. Hal ini menyebabkan biaya operasional menjadi besar, premi meningkat
setiap tahun, mutu pelayanan kesehatan diragukan, dan tingginya unnecessary
utilization karena AS memiliki sitem pembiayaan fee for services. biaya kesehatan
menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah AS karena biaya kesehatan
melambung tinggi dan mancapai 12% GNP. 15 Tingginya biaya kesehatan
menyebabkan tingginya pula biaya produksi barang dan jasa. Pemerintah AS membuat
kebijakan berbentuk undang-undang pada tahun 1973 untuk meminimalisir
pertumbahan conventional health insurance yakni kebijakan Health Maintenance
Organization (HMO-ACT). (Trisnantoro L, 2014) Sistem kesehatan yang diterapkan di
AS merupakan sistem yang berorientasi pasar, yang mana sepertiga pembiayaan
kesehatan ditanggung oleh pasien (out of pocket). Biaya kesehatan di AS sangat tinggi
berdampak pada kondisi Produk Domestik Bruto (PDB).
Biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat AS sebesar 16% dari total
PDB. Biaya yang dikeluarkan masyarakan sangat tinggi dan merupakan peringkat
kedua di dunia dalam penggunaan PDB untuk kesehatan. Jika masalah ini tidak diatasi
dan diselesaikan dengan baik, maka menurut The Health and Human Service
Departement anggka penggunaan PDB akan mengalami peningkatan yang dratis pada
tahun 2017 hingga mencapai 19,5%. Layanan kesehatan di AS juga termasuk kategori
mahal diseluruh dunia, bagi standard Negara maju indicator kesehatan yang ada di AS
tergolong buruk. (Trisnantoro L, 2014) Pelayanan kesehatan di Amerika Serikat
sebagian dikelola oleh pihak swasta. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 50,7 juta
penduduk Amerika Serikat yang tidak memiliki asuransi kesehatan (The US Censuss
Beureau). Penduduk yang tidak tersentuh asuransi tersebut salah satunya berasal dari
masyarakat kalangan berpenghasilan menengah kebawah. Hal ini menyebabkan
perusahaan banyak mengalami bangkrut dikarenakan mahalnya pembiayaan kesehatan.
Peristiwa ini membuat masyarakat AS bergejolak untuk menuntut untuk dilakukannya
reformasi dalam hal kesehatan. Pemerintah AS dituntut untuk memegang kendali
dalam permasalahan asuransi kesehatan ini.
Masyarakat AS sangat membutuhkan perawatan, akses, keadilan, efisiensi,
biaya, pilihan, nilai dan kualitas yang memadai. Pemerintah AS akhirnya membuat
sebuah terobosan baru mengenai sebuah kebijakan dalam bidang kesehatan. Patient
Protection Avordable Care Act (PPACC) merupakan salah satu kebijakan yang telah
dibuat oleh pemerintah AS. Titik tolak dari perkembangan kesehatan di AS
berdasarakan dari kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan tersebut menjadi landasan
hukum AS dalam menyelenggarakan perawatan dan biaya kesehatan yang efektif dan
efisien bagi masyarakat AS. Dengan dilakukannya reformasi penerapan undang-
undang ini diharapkan dapat menurunkan biaya asuransi kesehatan yang akan
ditanggung masyarakat AS dimasa yang akan datang. (Trisnantoro L, 2014).
3. Singapura
Secara umum, sistem kesehatan Singapura dirancang untuk memberikan
pelayanan kesehatan bersubsidi dan diawasi langsung oleh Departemen Kesehatan
Pemerintah Singapura. Seperti di Indonesia, sistem kesehatan Singapura terdiri dari
rumah sakit atau klinik yang dikelola langsung oleh pemerintah dan pihak swasta.
Terdapat juga sistem pembiayaan perawatan kesehatan yang dilakukan melalui
campuran subsidi langsung pemerintah, tabungan wajib dan asuransi kesehatan
nasional. Bahkan, pemerintah Singapura secara teratur menyesuaikan kebijakan tarif
pelayanan kesehatannya, sehingga biaya berobat tetap terkendali. Struktur dasar sistem
pembiayaan kesehatan di Singapura mencakup skema pembiayaan asuransi jiwa
nasional untuk penduduk Singapura yang bekerja dan penduduk tetap. Sistem ini
dibangun melalui “3M”: Mediasave, Mediashield, Mediafund. Mediasave Medisave
adalah akun tabungan medis di bawah akun CPF (Central Provident Fund) individu
yang digunakan untuk pembayaran biaya medis masa depan serta premi dari polis
asuransi kesehatan. CPF (Central Provident Fund Board) merupakan sistem jaminan
sosial, yang memungkinkan warga Singapura menyisihkan dana untuk berbagai
pengeluaran termasuk pensiun, perawatan kesehatan dan hipotek. Medishield adalah
skema asuransi dasar berbiaya rendah yang ditujukan bagi warga negara Singapura
yang tabungannya tidak cukup memenuhi biaya pengobatannya. Premi dapat
dibayarkan dari akun Medisave. MediFund adalah program “jaring pengaman”
Singapura, yang hanya mencakup biaya rawat inap dan layanan medis di kelas terendah.
Asuransi ini hanya tersedia untuk warga negara Singapura begitu mereka telah
menghabiskan dana MediSave dan MediShield mereka. Jumlah pendanaan dan
pertanggungan tergantung pada pendapatan individu, kondisi kesehatan, dan status
sosial ekonomi.
Warga negara Singapura dan penduduk tetap berhak atas pelayanan kesehatan
pemerintah yang disubsidi melalui skema tabungan wajib nasional, sedangkan orang
asing yang memegang izin kerja mendapatkan jaminan kesehatan baik melalui
perusahaan atau membelinya secara pribadi. Tidak wajib bagi pengusaha di Singapura
untuk memberikan tunjangan asuransi kesehatan. Salah satu inovasi Singapura yang
hingga kini menjadi model sistem kesehatan di berbagai negara adalah National
Electronic Health Record (NEHR). Sistem yang diimplementasi sejak tahun 2011 ini,
membuat riwayat kesehatan setiap pasien tersimpan secara rapi dan aman di satu
tempat. Sistem ini berlaku bagi pasien di rumah sakit umum dan swasta di Singapura.
Misal, jika seorang pasien melakukan pengobatan dari rumah sakit A ke rumah
sakit B, maka pihak rumah sakit B dapat secara langsung mengakses data pasien A
melalui NEHR. 
Lebih lengkapnya, sistem NEHR punya beberapa manfaat:
 Memudahkan dokter dari bidang spesialis berbeda untuk saling bekerjasama, dengan
mengacu data riwayat kesehatan pasien di NEHR.
 Dokter dapat lebih mengerti kondisi pasien dan riwayat kesehatannya, sehingga
mampu melakukan diagnosis dan memberi pengobatan paling optimal.
 Karena data konsumsi obat, alergi hingga hasil investigasi medis tersimpan di NEHR,
maka pasien jauh lebih aman dari kesalahan diagnosis.
 Menghemat waktu dan biaya bagi pasien yang berpindah-pindah rumah sakit atau
dokter, karena riwayat kesehatannya bisa diakses cepat oleh tenaga medis yang
sedang menanganinya.

Selain NEHR, Singapura, melalui National Universal Health System (NUHS)


membuat inovasi yang diberi nama Telehealth Programme di tahun 2015. Program
percontohan tersebut memungkinkan rumah sakit memantau kondisi pasiennya dari jarak
jauh, misalnya: tekanan darah, denyut nadi, dan kadar glukosa darah. Dengan begitu, pasien
tidak perlu mendatangi rumah sakit. Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi pasien yang sulit
bergerak. Sepuluh bulan sejak Februari 2015, program telehealth sudah membantu 1.300
pasien darah tinggi, diabetes dan gagal jantung di National University Hospital
(SmarterHealth, 2017 https://pasien.smarterhealth.id/seperti-apa-sistem-kesehatan-
singapura-yang-mendunia-itu/).
BAB III
TINJAUAN KASUS

Sebagai bentuk pelaksanaan dari upaya kesehatan yang ada, kelompok kami sepakat
untuk membahas sebuah studi kasus yang pada kenyataanya cukup sering terjadi dalam
rumah sakit, yaitu : Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada Pasien Rawat Inap yang
terjadi pada sebuah rumah sakit X.
A. Studi Kasus
Untuk mencapai jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia, pemerintah
membuat suatu sistem, yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN sendiri
sudah diatur pada UU No. 40 Tahun 2004 dan sejalan dengan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Prinsip pelaksanaan JKN sendiri merupakan bentuk kesetaraan untuk
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Program JKN adalah wujud
implementasi dari UU No. 36 Tahun 2009 dengan Badan Pelaksana Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan sebagai pengelola sebagaimana yang diatur dalam UU No. 24 Tahun
2011. JKN pada Berdasarkan pada UU No. 36 Tahun 2009, JKN mengupayakan semua
masyarakat sama-sama memiliki hak dalam mendapatkan akses pada pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau pada semua pelayanan kesehatan. Pada
pelaksanaan JKN di Indonesia, BPJS Kesehatan sebagai pengelola menanggung
pembayaran pelayanan kesehatanan pasien kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut
(FKTL) melalui Indonesia Case Base Groups (INA CBG’s). INA CBG’s adalah sebuah
sistem pembayaran “paket” dengan menyesuaikan pada diagnosis penyakit yang diderita
oleh pasien. FKTL akan memperoleh hasil pembayaran sesuai dengan tarif INA CBG’s
yang berasal dari hasil rata-rata besarnya biaya yang dikeluarkan oleh sekumpulan
diagnosis penyakit. Penentuan tarif biaya pelayanan kesehatan sudah disesuaikan dengan
surat edaran nomor: IR.01.01/l.1/6401/2013 Tahun 2013 mengenai pelaksanaan INA
CBG’s.
Penentuan biaya hasil pelayanan kesehatan yang harus diklaim bergantung pada
ketepatan hasil pengodean diagnosis yang terdapat pada rekam medis dan INA CBG’s.
Klaim yang dimaksud ialah permintaan pembayaran biaya hasil pelayanan kesehatan
oleh penyedia fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan. Pada proses penagihan klaim
JKN, penagihan diserahkan kepada pihak BPJS. Pengajuan pembiayaan dari pelayanan
kesehatan ke BPJS dibutuhkan sebagai syarat klaim yang akan diajukan kepada
verifikator. Pada pelaksanaan klaim dilakukan proses verifikasi terhadap persyaratan
pengajuan klaim yang menjadi dasar penagihan biaya verifikasi. Proses verifikasi
dilakukan oleh pihak BPJS Kesehatan setelah menerima berkas klaim dari fasilitas
kesehatan atau pelayan kesehatan lalu berkas akan diverifikasi administrasi kepesertaan
dan pelayanan kemudian menempuh verifikasi software INA CBG’s berdasarkan pada
standard International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem
(ICD-10), selanjutnya formulir pengajuan klaim diserahkan pada BPJS Kesehatan untuk
melakukan persetujuan klaim dan melakukan pembayaran kepada faskes atau yankes
yang mengajukan klaim.1 Terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan verifikasi klaim
BPJS salah satunya adalah berkas klaim yang ditolak oleh verifikator. Jika penolakan
atau pending dalam melakukan klaim meningkat, dapat mengganggu operasional Rumah
Sakit tersebut. Seperti halnya kasus yang menimpa berbagai RSUD di Jakarta, sejumlah
RSUD di Jakarta mengalami kendala operasional akibat BPJS Kesehatan terlambat
membayar klaimnya dan mempengaruhi pasokan obat.
Beberapa kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan JKN di fasilitas pelayanan
kesehatan, salah satunya, adalah terkait pembiayaan seperti adanya keterlambatan
pencairan klaim. Temuan terdahulu menunjukkan bahwa permasalahan pembayaran
klaim oleh BPJS kesehatan berdampak pada terganggunya aliran kas di beberapa rumah
sakit, lebih lanjut hal tersebut mengakibatkan adanya penundaan pembiayaan
operasional rutin seperti pembayaran kewajiban pada pegawai dan pemasok, dan
pembiayaan pemeliharaan yang dikurangi, serta berpengaruh pada kinerja pegawai dan
ketersedian logistik pelayanan sebagaimana yang terjadi di RS X.
Data yang ditemukan yaitu 63 berkas tidak disetujui dan 63 berkas disetujui dari
138 rekam medis di RS X. Penolakan ini terjadi karena beberapa faktor, menurut
Permenkes No. 28 tahun 2014 hal-hal yang mempengaruhi klaim BPJS yaitu berkas
klaim tidak lengkap, isi berkas yang tidak sesuai dan waktu pengajuan berkas yang
terlalu lama. Pengembalian berkas klaim sebagian besar karena berkas yang tidak
lengkap yaitu sebanyak 36 berkas (36%) dan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
sebanyak 41 berkas (42%) mengakibatkan penolakan yang berujung pada tertundanya
proses pembayaran klaim BPJS pada fasilitas kesehatan. Salah satu faktor yang
menyebabkan klaim BPJS kesehatan ditolak dan dikembalikan oleh verifikator adalah
karena ketidaklengkapan dokumen yang akan diajukan. Kelengkapan informasi rekam
medis dapat menjadi dasar disetujuinya penagihan biaya verifikasi oleh BPJS Kesehatan
kepada penyedia fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut, sehingga biaya pelayanan
yang sudah dikeluarkan akan dibayarkan tepat waktu oleh BPJS dan akan berdampak
baik terhadap FKTL karena tidak mengalami kesulitan pada biaya operasional ataupun
mengalami kerugian.
Di Indonesia, mayoritas rumah sakit (±65%) belum memberikan pengodean
diagnosis yang tepat, jelas, dan lengkap berdasarkan ICD-10. Hasil temuan penelitian
terdahulu menyatakan bahwa dari 44 berkas rekam medis, diperoleh nilai OR sebesar 9
yang artinya pengodean diagnosis obstetric yang tepat memiliki peluang untuk klaim
BPJS yang lancar sebesar 9 kali apabila dibandingkan dengan pengodean diagnosis
obstetric yang tidak tepat. Pengembalian berkas klaim pembayaran rawat inap yang
berdasarkan kesesuaian dengan ketentuan administrasi pelayanan yaitu pengodean
diagnosis penyakit bukan pengodean unbundling merupakan satu-satunya ketentuan
administrasi pelayanan yang tidak sesuai. Jumlah tidak sesuai pada koding penyakit
adalah 8 berkas (8%), sejalan dengan penelitian Sebelumnya dimana hasil penelitian
masih menemukan adanya ketidaktepatan hasil pengodean diagnosis penyakit dan
tindakan medis yang dihasilkan petugas penginput kode rawat inap. Presentase
ketepatan koding hanya sebesar 74,67% dan hasil penelitian lain menunjukkan
penentuan kode diagnosis penyakit yang tepat yaitu sebanyak 17 berkas rekam medis
dengan penyakit gastroenteritis acute dan 63 berkas rekam medis dengan penentuan
kode diagnosis penyakit gastroenteritis acute yang tidak tepat.
Kelengkapan berkas pada pasien rawat inap meliputi kelengkapan informasi rekam
medis yang harus dilengkapi serta ditandatangani oleh dokter penanggung jawab
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai seringkali disebabkan karena ketidaksesuaian
antar lembar klaim dan resume medis seperti kode diagnosis dan tindakan tidak sesuai
dengan ICD-10 dan 9CM. Rumah Sakit X merupakan Rumah Sakit pemerintah tipe C
yang sudah beroperasi sejak 29 Maret 2012. Sebagai Rumah Sakit Umum tingkat Kota,
RS X memiliki cakupan pasien yang banyak khususnya pasien BPJS. Dengan cakupan
yang banyak dan dikeluarkannya kebijakan pengalihan jaminan eKTP Kota X ke BPJS
Kesehatan, maka potensi kesalahan atau penolakan klaim semakin besar.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RS X menunjukkan bahwa terdapat
klaim BPJS pada pasien rawat inap dengan total biaya Rp 278.197.200, yang tidak
disetujui atau dipending dari total pengajuan pada bulan November 2018 – Desember
2018 dikarenakan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai, berkas tidak lengkap, dan
berkas harus diperbaiki. Hal ini berdampak pada cashflow biaya operasional RS X yang
terhambat. Oleh karena itu, RS X sebagai FKTL dipilih penulis sebagai tempat
penelitian untuk menganalisa persetujuan klaim BPJS kesehatan pada pasien rawat inap
berdasarkan alur pelaksanaan klaim di rumah sakit. Hal ini menunjukan bahwa ada
hambatan dalam proses klaim oleh pihak BPJS sehingga dapat menghambat pembayaran
klaim ke fasilitas kesehatan belum adanya publikasi yang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan mengenai persentase persetujuan klaim BPJS secara nasional.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Faktor Kesenjangan
Terhambatnya proses klaim dengan BPJS Kesehatan disebabkan oleh faktor human
eror seperti kecerobohan mengenai hasil tindakan, tanda tangan, dan sebagainya.
Ketidaklengkapan hal tersebut ditandai dengan :
1. Lembar resume yg tidak lengkap karena tidak ada tanda tangan DPJP
Sedangkan menurut UU RI No. 29 tahun 2004 yang menyatakan setiap catatan
rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan. Menurut penelitian terdahulu dokter yang
menangani pasien pada unit rawat inap mempunyai kontribusi yang besar dalam
kelengkapan pencatatan dan pengisian berkas rekam medis dan akan
mempengaruhi proses pelayanan di rumah sakit, seperti pengklaiman yang
dilakukan Unit Jaminan. Masalah tersebut terjadi karena kurang displinnya DPJP.
Kedisplinan DPJP sangat diperlukan untuk mengurangi ketidaklengkapan
informasi resume medis.

2. Hasil penunjang yang tidak lengkap


Tidak adanya salah satu dari lembar hasil laboratorium, lembar Elektro
Kardio Grafi (EKG), Rontgen, CT Scan, MRI, dan hasil penunjang lain di rekam
medis. Menurut Permenkes No.269/MENKES/PER/III/2008 disebutkan bahwa
berkas rekam medis memiliki hasil penunjang medis jika digunakan. Berdasarkan
wawancara dengan kepala Unit Jaminan disebutkan penyebab dari hasil penunjang
tidak ada pada rekam medis adalah Unit terkait membutuhkan rekap hasil lab
untuk Rumah Sakit dan petugas Rekam Medis tidak melakukan penyalinan hasil
penunjang. Hasil tersebut sesuai dengan Permenkes RI No. 40 tahun 2012 tentang
Administrasi Klaim dan Pelaksanaan INA CBG’s yang menyatakan informasi dan
berkas yang ada pada rekam medis menjadi syarat pada pelaksanaan klaim di
Rumah Sakit.

3. Kurang teliti ketika menginput kode diagnosis penyakit


Dari hasil penelitian ini diperoleh temuan adanya ketidaktepatan dalam
proses pengodean diagnosis penyakit. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
faktor seperti petugas entri kode seringkali hanya melihat ICD-10 volume 3 yaitu
indeks daftar alfabet tanpa merujuk ke volume 1 untuk menentukan kode dan
mengecek kembali pada daftar tabulasi dan kesalahan pada penentuan kode akhir
yaitu penentuan tingkat keparahan karena akan menentukan tarif biaya, kode akhir
atau kode karakter keempat pada ICD 10 merupakan kode tambahan. Sebagaimana
aturan yang tercantum dalam buku ICD 10, kode tambahan wajib untuk
dicantumkan pada diagnosis utama penyakit. Dengan adanya kode karakter ke
empat akan menghasilkan kode yang spesifik dan akurat.Kode tersebut
menentukan tingkat keparahan suatu penyakit ditentukan oleh dokter penanggung
jawab berdasarkan diagnosa utama dan komplikasi yang dialami pasien jika
terdapat keraguan bagi verifikator BPJS maka BPJS Kesehatan dapat
mengkonfirmasi penentuan tersebut yang dapat mengakibatkan penundaan dalam
pembayaran.

Gambar 1.1 Temuan Masalah pada RS X

B. Faktor Ideal
Pengajuan klaim yang dilakukan di RS X selalu tetap waktu diajukan pada tanggal
10 bulan selanjutnya setelah dilakukan pelayanan. Berdasarkan Permenkes No. 28 Tahun
2014, pengajuan klaim oleh fasilitas kesehatan dilakukan setiap bulan dengan berkala dan
pengajuan paling lambat adalah tanggal 10 pada bulan berikutnya. Berdasarkan hal itu,
berkas klaim yang diajukan RS X tepat pada waktunya. Dalam Permenkes No. 28 Tahun
2014 juga disebutkan bahwa waktu pengajuan klaim oleh fasilitas kesehatan paling
lambat adalah dua tahun setelah pelayanan diberikan kepada pasien. Hal ini menunjukkan
bahwa proses pengajuan klaim tidak harus dilakukan tepat setelah penanganan kepada
pasien rawat inap selesai dilakukan. Rumah sakit dapat mengajukan klaim BPJS beberapa
saat hingga paling lama adalah dua tahun setelah penanganan pasien dilakukan.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Subsistem upaya kesehatan adalah pengelolaan upaya kesehatan yang terpadu,
berkesinambungan, paripurna, dan berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan,
pengobatan, dan pemulihan, yang diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Subsistem upaya kesehatan mempunyai
beberapa unsur seperti upaya kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, sumber daya
upaya kesehatan dan pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan. Sebagai contoh
pelaksanaan upaya kesehatan di Indonesia, Pemerintah meluncurkan sebuah program
yaitu BPJS Kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menjelaskan fungsi dan tugas BPJS Kesehatan sebagai berikut: 1)
Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta. 2) Memungut dan mengumpulkan
iuran dari peserta dan pemberi kerja. 3) Menerima bantuan iuran dari Pemerintah. 4)
Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta. 5) Mengumpulkan dan
mengelola data peserta program jaminan sosial. 6) Membayarkan manfaat dan/atau
membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial. 7)
Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada
peserta dan masyarakat.
Melihat banyaknya tugas BPJS kesehatan, kelompok mendapatkan permasalahan yang
sering terjadi dalam pelayanan BPJS kesehatan di rumah sakit salah satunya adalah
Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada Pasien Rawat Inap yang terjadi pada
sebuah rumah sakit X. Setelah dilakukan penelitian, didapatkan beberapa faktor penyebab
dari faktor klaim tersebut seperti ketidaklengkapan resume rawat jalan karena kurangnya
tanda tangan DPJP, hasil berkas pemeriksaan penunjang yang tidak lengkap, serta
ketidaksesuaian kode penyakit saat diinput dengan berkas aslinya (salah pengkodean
diagnosa utama).

B. Saran
Melihat betapa pentingnya penyelenggaraan upaya kesehatan di Indonesia, maka
kelompok memiliki beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Pemerintah selaku penyelenggara upaya kesehatan nasional agar bisa merancang
sistem yang praktis dan efisien dalam menyelenggarakan upaya kesehatan nasional
agar program ini dapat menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia terutama bagi
masyarakat yang berada di desa 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) . Dalam
berhubungan dengan sistem upaya kesehatan di rumah sakit, adapun Pemerintah dapat
menekankan peraturan atau mengadakan pelatihan bagi para pihak yang terlibat dalam
mengurus berkas-berkas di rumah sakit agar dapat memahami kriteria berkas yang
dapat diterima untuk proses klaim BPJS selaku produk unggulan dari subsistem upaya
kesehatan serta bagaimana penangananya apabila tidak dapat diterima untuk proses
klaim.
2. Bagi Rumah Sakit RS X agar dapat menekankan kepada para tenaga kesehatan yang
berperan didalamnya untuk melengkapi berkas-berkas status rawat pasien dan
memperbaiki sistem komputeruisasi yang ada agar mempermudah kordinasi untuk
proses klaim.
3. Bagi Tenaga Kesehatan yang berperan dalam mengurus berkas status rawat pasien di
Rumah Sakit X agar lebih teliti dalam melengkapi status dan memahami alur
penanganan proses klaim BPJS . Serta tidak ragu dalam mengingatkan DPJP untuk
menandatangani berkas yang diperlukan.
4. Bagi Mahasiswa hendaknya dapat menambah pengetahuan melalui updating ilmu
mengenai Subsistem Upaya Kesehatan serta permasalahan apa yang sedang sering
terjadi saat ini melalui berbagai sumber yang ada sehingga dapat meminimalisir
adanya miskomunikasi ketika terjun dalam dunia pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA

Bpjs-kesehatan.go.id. 2021. “Tugas dan Fungsi” diakses pada 17 November 2021 dari
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/pages/detail/2021/30

Darwin, dkk. 2014. Etika Profesi Kesehatan. Yogyakarta: Deeppublish.

Gifari, M. Tijar & Ariyanti, Fajar. 2019. Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada
Pasien Rawat Inap. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Vol 8 (4) 156-166. DOI:
10.33221/jikm.v8i04.415

Kementrian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK 02.02-148 Tahun
2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Jakarta : BPK RI

Kholifah, Siti Nur dan Wahyu Widagdo. 2016. Keperawatan Keluarga dan Komunitas.
Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Muntaha. 2017. Hukum Pidana Mal Praktik Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika.

Noviyanti Putri, Ririn. 2019. Analisis Jurnal Geografi Ekonomi Perbandingan Sistem
Kesehatan Di Negara Berkembang Dan Negara Maju Vol 19 (1) Hal 139-146. Malang :
Universitas Kanjuruhan Malang

Pasien.smarterhealth.id. 2021. “Seperti Apa Sistem Kesehata Singapura Yang Mendunia


Itu?” Diakses pada 10 November 2021 dari https://pasien.smarterhealth.id/seperti-apa-sistem-
kesehatan-singapura-yang-mendunia-itu/

Republik Indonesia. 2012. Peraturan Presiden No 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan
Nasional . Jakarta : BPK RI

Sadi, Muhammad. 2017. Etika dan Hukum Kesehatan, Teori dan Aplikasinya di Indonesia
Edisi Pertama. Jakarta: Kencana

Siska, Elvandri. 2015. Hukum Penyelesaian Sengketa Medis. Yogyakarta: Thafa Media

Soetrisno, 2010. Mal Praktik dan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Tangerang: Telaga Ilmu
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2004. UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Jakarta : BPK RI

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2009. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta : BPK RI

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2014. UU No. 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan. Jakarta : BPK RI

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2014. UU No. 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan. Jakarta : BPK RI
BAGIAN II

ANALYSIS HUKUM MAL PRAKTIK PERAWAT JUMRAINI, A.Md, Kep

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 18.306 pulau besar dan kecil
(LAPAN,2002). Pemerintah berusaha membangun negara tanpa memandang kewilayahan
maupun pulau-pulau, besar maupun kecil.

Berdasarkan UUD 1945(Amandemen), pasal 28H ayat (1), ditegaskan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat(3)
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum
yang baik”. Berdasarkan halite lahirlah peraturan perundang-undangan seperti UU No.
29/2004 tentang Praktek kedokteran, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 36/2014
tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38/2014 tentang Keperawatan dan berbagai peraturan dan
keputusan baik Presiden maupun Menkes.

Kabinet yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden telah membuat terobosan bari
dengan kebijakan “Nawa Cita”. Cita ke-5 dinyatakan “Meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia
Pintar”. Program ini menempatkan tenaga kesehatan minimal vokasional untuk memberi
pelayanan kesehatan didaerah-daerah dengan status 5T(terluar, terdalam, terpencil, terdepan
dan tertinggal). Tujuannya agar tidak ada lafi masyarakat yang tidak memperoleh pelayanan
kesehatan minimal.

Namun, sampai saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini disebabkan ketidakadaannya sarana/tenaga kesehatan yang dapat memberikan
pertolongan yang memadai, ketrjangkauan sarana pelayanan, kemiskinan dan kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan. Tidak sedikit tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan keseahatan di daerah khususnya 5T harus menerima hukum pidana.

Pada bulan Oktober 2019 di Lampung Utara, Lampung, dikejutkan dengan demo perawat
besar-besaran untuk mendukung perawat Jumraini yang sedang ditahan di Rumah Tahanan
Kejaksaan Negri, Kota Bumi, Lampung Utara. Dia diduga melakukan mal praktik karena
dituduh menjadi penyebab hilangnya nyawa Alex Sandra 25 th.

1. Kronologi Jumraini diduga malpraktik

Menurut DPW-PPNI Provinsi Lampung, menjelaskan kejadian dimulai 18 Desember


2018, ketika itu Alex Sandra pergi ke ruma Jumraini, A.Md, Kep, seorang perawat di RSUD
Ryacudu Kota Bumi( masa kerja 11 th), untuk mencari pengobatan. Namun dia pulang
kembali sebelum menerima pelayanan. Sedianya Alex meminta Jumraini untuk mengibati
kakinya yang membengkan dan merah karena tertuxuk paku di kandang ayam beberapa
waktu lalu. Alex dan Jumraini sebenarnya bertetangga di Desa Peraduan Waras RT005 RW
001, kecamatan Bumi Agung, kabupaten Lampung Utara.

Rabu tgl 19 Desember 2018 Alex dan Arena mendatangi rumah Jumraini. Arena
memohon kepadanya agar dapat mengobati luka pada kaki kakaknya yang tidak segera
sembuh meski sudah berobat ke Puskesmas. Arena sempat meunjukan kepada Jumraini obat-
obatan yang di terima dari Puskesmas, terdiri dari Amoxicillin, Paracetamol, Vitamin C dan
CTM. Jumraini begitu iba saat melihat kondisi Alex yang terlihat pucat dan tidak berhenti
merintih. Jumraini akhirnya memeriksa luka Alex. Ternyata sudah terinfeksi parah, lukanya
membengkak, berwarna biru serta mengeluarkan darah dan nanah. Jumraini juga mengecek
suhu tubuh Alex mencapai 39,5o C.

Jumraini sempat bertanya mengapa luka itu sampai parah. Arena mengatakan kakaknya
sering menusuk-nusuk lukanya dengan jarum karena setelah ditusuk kondisinya jauh lebih
enak. Jumraini lantas menyarankan Alex berobat ke Rumah Sakit atau dokter. Arena
memohon untk dilakukan pengobatan dan Alex rebahan di teras rumah Jumraini. Akhirnya
Jumraini melakukan perawatan luka dengan membersihkan dengan air hangat dan menekan
luka untuk mengeluarjan nanah dan darah dengan menggunakan pinset anatomis yang sudah
dilindungi kasa steril. Perawatan luka dilakukan sekitar 30 menit. Alex meminta obat karena
susah tidur dan badannya panas. Jumraini memberikan Paracetamol, Antasida, Asam
Mefenamat, dan Allergen (CTM). Jumraini menutup luka Alex dengan kain kasa karena
sedang musim hujan. Jumraini juga tetap menyarankan Alex ke RS dan ronsent. Sambil
menyerahkan uang Rp50 ribu ke Jumraini, lagi-lagi Arena mengaku tak punya uang untuk
berobat ke RS atau dokter.
Tanggal 21 Desember 2019, Arena dating ke rumah Jumraini sekitar pukul 10.00 WIB
memberitahukan bahwa Alex masuk RSUD Riyacudu Kotabumi, karena lukanya makin
parah. Namun Jumraini tidak ada di rumah. Jumraini sedang bertugas di RSUD Kotabumi.
Sekitar pukul 16.00 WIB Alex akhirnya meninggal dunia di RSUD Riyacudu Kotabumi.
Sepeninggal Alex, keluarga dengan bantuan Samsi Eka Putra (kuasa hukum kurban),
melaporkan Jumraini ke Polres Lampung Utara.

Setelah kepolisian melakukan pemeriksaan, bahwa kasus tersebut cukup bukti untuk
ditindaklanjuti, di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan
Negeri Lampung Utara. Kemudian disidangkan di PN Lampung Utara. Sebelum disidangkan
di PN, kuasa hukum Jumraini melakukan perlawanan dengan mengajukan pra peradilan.

Pengadilan Negeri Lampung Utara menggelar siding pra peradilan dengan tersangka
Jumraini, dilaksanakan Senin (15/7/2019), dipimpin hakim tunggal Faisal Zuhry, dengan
agenda mendengarkan keterangan saksi dari kedua belah pihak, pemohon dan termohon.
Setelah dianggap cukup bukti, akhirnya hakim memutuskan menolak permohonan pemohon,
dengan demikian proses hukum berlanjut di PN Lampung Utara, untuk persidangan
selanjutnya.

Sidang perdana, Selasa 8 Oktober 2019 sekitar pukul 13.20 WIB, dipimpin oleh hakim
ketua Eva M.T Pasaribu, dengan anggota Rika Semula dan Suhadi Putra Wijaya. Sebagai
Jaksa penuntut umum Dian Fatmawati dan Budiawan. Jumraini didakwa karena lalai
melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap Alex yang menyebabkan meninggal dunia.

Jaksa penuntut mendakwa bahwa Jumraini melakukan kelalaian berat yang


mengakibatkan kematia. “Perbuatan terdakwa JUMRAINI A.Md.Kep Binti FUAD AGUS
SOFRAN sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 84 ayat (2) dan pasal 86 ayat
1 UU RI No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang ancaman hukumannya paling
lama lima tahun penjara. Selain itu juga didakwa melanggar Pasal 46 ayat (1).

Kasus tersebut menarik untuk dibahas: Siapakah Jumraini dalam kontek subyek hukum
kesehatan? Apakah Jumraini memiliki kewenangan dalam melakukan praktik mandiri?
Apakah tindakan Jumraini memberikan pertolongan pada pasien dapat dibenarkan oleh
hukum? Jika Jumraini dianggap malpraktik, hukum mana yang berlaku baginya?
B. PEMBAHASAN

1. Jumraini Sebagai Subyek Hukum Kesehatan

Berdasarkan uraian di atas, Jumraini adalah perawat ICU RSUD Riyacudu Kota Bumi,
Lampung Utara. Jumraini adalah perawat vokasional dengan pendidikan D-III keperawatan.
Apakah Jumraini termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan? Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, ditegaskan tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sementara Pasal 9 ayat (1) ditegaskan bahwa
yang termasuk tenaga kesehatan adalah mereka harus memiliki minimum berpendidikan
Diploma TIga. (UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, Diundangkan di Jakarta, tanggal
17 Oktober 2014, Lembaran Negara No. 298).

Berdasarkan penjelasan tersebut Jumraini jelas termasuk dalam tenaga kesehatan. Selain
itu sampai saat ini Jumraini masih bekerja sebagai perawat di ICU RSUD Ryacudu. Dengan
demikian Jumraini adalah tenaga kesehatan perawat yang tunduk pada UU No. 38/2014
tentang Keperawatan. (UU No. 38/2014 tentang Keperawatan, Diundangkan di Jakarta,
tanggal 17 Oktober 2014, Lembaran Negara No. 307)

2. Jumraini Berwenang Menjalankan Praktik Mandiri

Jumraini merupaka tenaga kesehatan perawat vokasional (pelaksana) di RSUD Riyacudu


Kota Bumi. Secara yuridis, jika tenaga kesehatan perawat dapat bekerja pada pelayanan
kesehatan berarti telah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). STR merupakan syarat utama
sebagai tenaga kesehatan. Hal ini sesuai UU No. 38/2014 tentang Keperawatan, Pasal 18(1)
ditegaskan bahwa perawat yang menjalankan praktik keperawatan wajib memiliki STR. (UU
No. 38/2014 tentang Keperawatan, Diundangkan di Jakarta, tanggal 17 Oktober 2014,
Lembaran Negara No. 307)

STR akan dikeluarkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia apabila pemohon telah lulus uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh organisasi profesi keperawatan. Artinya bahwa
Jumraini, sesungguhnya telah memiliki kemampuan untuk melaksanakan profesinya.
Selanjutnya berkaitan dengan surat izin praktik perawat (SIPP), hal ini sesuai dapat
mengacu UU No. 38/2014 tentang Keperawatan. Pasal 19(1) ditegaskan bahwa perawat yang
menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin. Bentukdari ijin tersebut adalah
SIPP(Pasal 19(2)). SIPP diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/kota atas rekomendasi
pejabat kesehatan yang berwenang tempat Perawat menjalankan praktiknya.

Menurut pasal ini bahwa SIPP itu diperoleh dimana si Perawat akan menjalankan
praktinya. Ini sesuai dengan penjelasan Peraturan Menteri Kesehatan No.
HK.02.02/MENKES/148/I/2010, Pasal 3 (2) dinyatakan kewajiban memiliki SIPP
dikecualikan bagi perawat yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di
luat praktik mandiri.

Berkaitan dengan kegiatan Jumraini yang kadang-kadang memberi pertolongan di


rumahnya, seharusnya dipandang sebagai memberi pertolongan kepada tetangga dalam
situasi darurat. Dengan demikian jika pekerjaan dirumahnya itu hanya sebatas untuk memberi
pertolongan bagi masyarakat yang membutuhkan, dan bukan merupakan kegiatan yang rutin
dan sebagai sumber penghasilan. Karena yang dimaksud praktik mandiri adalah perawat yang
melakukan pekerjaan secara rutinitas, membuat papan nama yang menyertakan nomor izin
praktik.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Jumraini telah memiliki
kemampuan untuk memberikan pelayanan keperawatan dipelayanan kesehatan. kegiatan
yang dilakukan di rumahnya semata-mata hanya memberikan pertolongan darurat bagi
masyarakat yang membutuhkan, memberi saran untuk mencari pelayanan kesehatan sesuai,
mengingat daerah tersebut termasuk yang belum terjangkau pelayanan kesehatan memadai.
Dengan demikian Jumraini tidak termasuk dalam kategori praktik mandiri yang memerlukan
SIPP. Situasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh Jumraini, melainkan dilakukan oleh
banyak perawat yang tingal jauh dari perkotaan. Seharusnya dilakukan pembinaan oleh dinas
terkait. Hal ini dikarenakan pern mereka sebagai tenaga kesehatan sangat bermanfaat bagi
masyarakat di pedesaan.

3. Tindakan Jumraini memberikan Pertolongan Pada Pasien Dapat dibenarkan Oleh


Hukum
Agar tidak terjadi kesimpangsiuran mengenai pelayanan kedokteran dan keperawatan,
terlebih dahulu dijelaskan masing-masing sebagai berikut. Pelayanan kedokteran adalah suatu
kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit pengendalian penyakit atau pengendalian
kecacatan agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin. Sedagkan menurut UU
Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap
kegiatan/ serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam
bentu pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum
proses pelayanan terlabih dahulu ada kesepakatan antara pasien dan dokter.

Sedangkan pelayanan keperawatan adalah pelayanan yang diselenggarakan perawat dalm


bentuk asyhan keperawatan. Asuhan keperawatan adalah rangkaian interaksi perawat dengan
klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian
klien dalam merawat dirinya(pasal 1(5) UU No. 38/2014). Penjelasan lebih lanjut teruang
dalam Permenkes RI No. HK.02.02/MENKES/148/I/2010 teentang Izin dan penyelenggaraan
Praktik Perawat yang meliputi; pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya
promotive, preventif pemulihan dan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan tindakan
keperawatan komplementer. Dalam kondisi tertentu perawat dalam menjalankan asuhan
keperawatan dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas(pasal8(7)21.

Perawat harus menjalankan asuhan keperawatan pada asas perikemanusiaan, nilai ilmiah,
etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, perlindungan serta kesehatan dan keselamatan
pasien(pasal 2 UU No. 38/2014).

Jika dilihat dalam kasus Jumraini ini, bahwa apa yang diakukannya belum dapat dikatakan
menyalahi hukum berat(mengakibat kematian). Argumennya adalah pertama, pasien dating
ke Jumraini, meminta bantuan untuk melakukan perawatan luka pada kakinya yang terkena
paku dengan alasan pasien tidak memiliki dana untuk mencari pelayanan kesehatan yang
memadai. Sehingga dapat disimpulkan pasien dikategorikan dalam situasi darurat. Kedua,
apa yang dilakukan Jumraini seata-mata memberkan pertolongan dengan melakukan
serangkaian tindakankeperawatan dan terlebih dahulu menyarankan untuk mencari pelayanan
kesehatan yang memadai namun pasien menolak. Ketiga, bahwa tetanus yang berkembang
ditubuh pasien yang mengakibatkan kematian apakah disebabkan oleh pertolongan Jumraini.
Ini harus dibuktikan lebih mendalam. Keempat, bahwa dalam situasi darurat, pelayanan
kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan pada pasien/siapa saja yang perlu diberikan
pertolongan(pasal 32 UU No. 36/209). Kemudian pasal 32(2) bahwa dalam keadaan darurat,
fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang meminta uang muka.

Berdasarkan penjelasan diatas Jumraini tidak dapat dikenakan dakwaan dari jaksa
penuntut umum karena Jumraini tidak menahan-nahan pasien tetap menjadi pasiennya.
Jumraini memberi saran untuk segera mencari pelayanan kesehatan yang memadai. Jika
dicari kesalahannya Jumraini hanya melakukan mal administrasi, karena tidak memiliki
SIPP, bukan karena pertlongannya yang salah(mal praktik). Oleh karena itu penerapan
hokum baginya perlu dipertimbangkan.

Model Mediasi

Jika mengacu UU tersebut diatas, sebelum diproses dikepolisian, maka seharusnya


diselesaikan dahulu dengan musyawarah. Dalam hal ini tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya. Kelalaian tersebut harus diselesaikan melalui
mediasi(pasal 29 UU No. 36/2009) yang didukung oleh pasal 78 UUNo. 38/201. Sebagai
tindak lanjut pasien yang merasa dirugika dapat meminta ganti rugi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Prosedur Penganduan Mal Praktik

Siapapun perawat yang duangap mal praktik, maka yang dirugikan dapat melaporkan
kejadian tersebut ke Konsil Keperawatan. Konsil Keperawatan adalh lembaga independen.
Yang berfungsi sebagai pengaturan , penetapan dan pembinaaan perawat dalam menjalankan
praktik keperawatan. Konsil juga bertugas menegakkan disiplin praktik keperawatan.

Sanksi Administratif

Sanksi yang dapat diberikan oleh konsil keperawatan adalah dalam bentuk sanksi
administrative. Sanksi tersebut dapat berupa(a) teguran lisan;(b) peringatan tertulis;(c) denda
administratif; dan/atau(d) pencabutan izn.
Pemilihan hokum ini sesua dengan”Lex SpecJumrainilis derogate lex generalis”. Jika ada
kasus seperti diatas berdasarkan ketntuan tersebut sebaiknya diselesaikan diluar pengadilan.
Benar korban meninggal, namunperlu dibuktikan apa penyebab meninggalnya korban.

Oleh sebab itu, masyarakat harus berhati-hati dalam melakukan pengaduan kasus
malpraktik kepada pihak kepolisian, tidak menutup kemungkinan sesungguhnya kasus
tersebut tidak harus dilaporkan ke pihak berwajib. Penegak hokum pun harus cermat dalam
menerima laporan kasus-kasus malpraktik.

C. Penutup
1. Kesimpulan

Jumraini adalah seorang perawat yang dianggap melakukan kekeliruan dalam


mejalankan praktik. Tuduhan tersebut sesungguhnya berlebuhan, karena meninggalnya
pasien bukan karena layanan yang buruk(mal praktik), melainkan Karena infeksi tetanus yang
sudah menjalar ke seluruh utbuh korban karena keterlambatan dalam pencarian pelayanan.
Jika Jumraini dianggap bersalah, kesalahan sebatas mal administrasi.

2. Saran
Masyarakat sebaiknya mengikuti saran-saran yang diberikan tenaga kesehatan agar
segera mendapatkan pelayanan yang memadai. Jangan mudah terhasut oleh pihak-[ihak
tertentu dalam menyelesaikan sengketa pelayanan kesehatan. Yakinlah bahwa tidak ad
satupun dari tenaga kesehatan yang berniat untuk menciderai/merugikan pasien, oleh
karena itu arus berhati-hati dalam mengadukan kasus mal praktik kepada pihak penegak
hokum.

Anda mungkin juga menyukai