DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
KELAS B 21
A. Latar Belakang
Dalam sistem Kesehatan Nasional yang tercantum dalam Peraturan Presiden
Nnmor 72 tahun 2012, Sistem Kesehatan Nasional yang selanjutnya disebut SKN
adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pengelolaan kesehatan adalah proses
atau cara mencapai tujuan pembangunan kesehatan melalui pengelolaan upaya
kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber
daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan, manajemen,
informasi dan regulasi kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat (Kholifah &
Widangdo, 2016).
Dari perspektif sistem, kinerja sistem yang optimal akan tercapai jika semua
komponen berfungsi dengan baik, jika satu komponennya lemah, maka kinerja sistem
akan menurun atau tidak optimal. Dengan perspektif demikian, kinerja upaya
Kesehatan akan sangat bergantung dengan kinerja subsitem lainnya.
Di Jepang, trend memperkarakan secara hukum dugaan “malpraktik” meningkat
sangat tajam. Data dari Mahkamah Agung Jepang menunjukkan peningkatan
sebanyak 100%, yaitu dari 487 kasus pada tahun 1995 menjadi 987 kasus pada tahun
2003. Di Singapura, walaupun tidak ada data formal tentang dugaan “malpraktik”,
dalam Singapore Medical Association Workgroup’s Report on Avoiding Medical
Accident and Improving Patient Information (Marc 2003), dilaporkan selama periode
1999 sampai 2001, dari 5,608 dokter di singapura 601 diantaranya dikomplain oleh
masyarakat. Yang cukup mengagetkan adalah hampir separuh (43,7%) dokter-dokter
yang dikomplain ternyata memang tebukti melanggar standart of care.
Di Indonesia, menurut laporan Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Pusat
tercatat kurang lebih terdapat 150 kasus malpraktik, walau sebagian besar tidak
sampai ke meja hijau. Demikian pula laporan masyarakat kepada Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) dari tahun 1998 sampai 2006 tercatat 306 kasus pengaduan dugaan
malpraktik. Menurut SG Wibisono, dalam tahun 2006 hingga 2012 tercatat ada 182
kasus malpraktik atau kelalaian medis yang terbukti dilakukan oleh dokter di seluruh
Indonesia.
Dalam Undang-Undang kesehatan Nomor 36 tahun 2009 juga ditekankan tentang
pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan Kesehatan. Pada perkembangan
terkini menunjukkan bahwa masyarakat pengguna pelayanan kesehatan pemerintah
dan swasta semakin menuntut pelayanan yang bermutu. Masyarakat saat ini semakin
kritis terhadap pelayanan kesehatan, keamanan dan kenyamanannya. Apabila
penyedia layanan Kesehatan tidak mempersiapkan secara lebih baik dalam upaya
peningkatan pelayanan kesehatan, maka sarana pelayanan kesehatan tersebut akan
dijauhi masyarakat dan masyarakat akan mencari tempat pelayanan kesehatan yang
lebih baik. Sehingga pentingnya setiap pemberi layanan kesehatan berupaya
melaksanakan sistem Kesehatan nasional subsistem upaya Kesehatan secara terencana
sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat agar dapat terus memberikan
pelayanan bermutu
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan bagaimana
pelaksanaan subsistem upaya pelayanan Kesehatan dapat diterapkan di berbagai
sarana pelayanan Kesehatan.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Penulis mampu memahami tentang Sistem Kesehatan Nasional subsistem Upaya
kesehatan baik secara teori maupun pada aplikasi nyata di setiap sarana pelayanan
kesehatan.
2. Tujuan Khusus:
Agar penulis mampu :
a. Memahami tinjauan teori dari Sistem Kesehatan Nasional
b. Memahami subsistem Kesehatan Nasional
c. Memahami subsistem Upaya Kesehatan Nasional
d. Memahami situasi dan kondisi nyata sistem Kesehatan yang ada di pelayanan
Kesehatan di Indonesia
e. Menganalisa kesenjangan antara teori subsistem upaya Kesehatan dengan
situasi nyata
f. Menganalisa faktor pendukung antara teori dengan situasi nyata bisa sejalan
g. Menganalisa faktor penyebab terjadinya malpraktik dan merumuskan
pencegahan malpraktik
BAB II
TINJAUAN TEORI
5. Subsistem SKN
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 72 tahun 2012 terdiri atas, upaya kesehatan,
fasilitas pelayanan kesehatan, sumber daya upaya kesehatan, serta pembinaan dan
pengawasan upaya kesehatan (Kholifah & Widangdo, 2016).
a. Subsistem upaya kesehatan
b. Subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan
c. Subsistem pembiayaan kesehatan
d. Subsistem sumber daya manusia kesehatan
e. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
f. Subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
g. Subsistem pemberdayaan masyarakat
2. Tujuan
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem upaya kesehatan adalah terselenggaranya
upaya kesehatan yang adil, merata, terjangkau, dan bermutu untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk dapat mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan
dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia sebagai ketahanan nasional.
Upaya kesehatan diselenggarakan oleh Pemerintah (termasuk TNI dan POLRI),
pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, dan/atau masyarakat/swasta melalui upaya
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan pemulihan kesehatan, di
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas kesehatan.
3. Unsur Subsistem Upaya Kesehatan
Unsur-unsur subsistem upaya kesehatan terdiri atas, upaya kesehatan, fasilitas
pelayanan kesehatan, sumber daya upaya kesehatan, serta pembinaan dan pengawasan
upaya kesehatan (Kholifah & Widangdo, 2016).
a. Upaya Kesehatan
Pelayanan kesehatan meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan
pemulihan, baik pelayanan kesehatan konvensional maupun pelayanan kesehatan
tradisional, alternatif dan komplementer melalui pendidikan dan pelatihan dengan
selalu mengutamakan keamanan, kualitas, dan bermanfaat. Pelayanan kesehatan
tradisional, alternatif dan komplementer dilaksanakan secara sinergi dan
terintegrasi dengan pelayanan kesehatan yang diarahkan guna mengembangkan
lingkup keilmuan (body of knowledge) supaya sejajar dengan pelayanan kesehatan.
Upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya yang mempunyai daya ungkit
tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan kesehatan, utamanya penduduk
rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut, dan masyarakat miskin.
(Kholifah & Widangdo, 2016).
e. Nondiskriminasi
Setiap penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan
medis, bukan status sosial ekonomi dan tidak membeda-bedakan suku atau ras,
budaya dan agama, dengan tetap memperhatikan kesetaraan dan pengarusutamaan
gender serta perlindungan anak.
f. Terjangkau
Ketersediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang bermutu harus
terjangkau oleh seluruh masyarakat.
4. Penyelenggaraan
Penyelenggaraan subsistem upaya kesehatan terdiri atas upaya kesehatan serta
pembinaan dan pengawasan (Kholifah & Widangdo, 2016).
a. Upaya Kesehatan
Upaya kesehatan mencakup kesehatan fisik, mental, termasuk intelegensia
dan sosial. Terdapat tiga tingkatan upaya, yaitu upaya kesehatan tingkat
pertama/primer, upaya kesehatan tingkat kedua/sekunder, dan upaya kesehatan
tingkat ketiga/tersier. Upaya kesehatan diselenggarakan secara terpadu,
berkesinambungan, dan paripurna melalui sistem rujukan.
1) Upaya Kesehatan Primer
Upaya kesehatan primer terdiri atas dua bentuk upaya sebagai berikut.
a) Pelayanan kesehatan perorangan primer
Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan
sejak kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan
kesehatan. Penekanannya pada pemberian layanan pengobatan, pemulihan
tanpa mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di
dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life
style).Pelayanan kesehatan perorangan primer diselenggarakan oleh
tenaga kesehatan berkompetensi seperti yang ditetapkan, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku serta dapat dilaksanakan di rumah, tempat kerja,
maupun fasilitas pelayanan kesehatan perorangan primer, baik Puskesmas
dan jejaringnya, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik pemerintah,
masyarakat, maupun swasta.
Dilaksanakan dengan dukungan pelayanan kesehatan perorangan
sekunder dalam sistem rujukan yang timbal balik. Penyelenggaraannya
berdasarkan kebijakan pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh
Pemerintah dengan memperhatikan masukan dari Pemerintah Daerah,
organisasi profesi, dan/atau masyarakat. Selain itu, dapat diselenggarakan
sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory), menetap, atau dapat
dikaitkan dengan tempat kerja, seperti klinik perusahaan atau dapat
disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra,
seperti: kesehatan haji, kesehatan pada penanggulangan bencana,
kesehatan transmigrasi, kesehatan di bumi perkemahan, kesehatan dalam
penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat,
kesehatan dalam operasi dan latihan militer di darat, kesehatan kelautan
dan bawah air, kesehatan kedirgantaraan atau penerbangan, dan kesehatan
dalam situasi khusus dan/atau serba berubah).
Pemerintah wajib menyediakan pelayanan kesehatan perorangan
primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sesuai kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin, daerah terpencil,
perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak diminati
swasta. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan primer untuk
penduduk miskin dibiayai oleh Pemerintah, sedangkan golongan ekonomi
lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh Pemerintah.
2. Amerika Serikat
Sistem kesehatan di Amerika menerapkan sistem asuransi komersial. Asuransi
komersial tersebut artinya masyrakat berhak memilih untuk menggunakan asuransi
atau tidak. Hal ini menyebabkan biaya operasional menjadi besar, premi meningkat
setiap tahun, mutu pelayanan kesehatan diragukan, dan tingginya unnecessary
utilization karena AS memiliki sitem pembiayaan fee for services. biaya kesehatan
menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah AS karena biaya kesehatan
melambung tinggi dan mancapai 12% GNP. 15 Tingginya biaya kesehatan
menyebabkan tingginya pula biaya produksi barang dan jasa. Pemerintah AS membuat
kebijakan berbentuk undang-undang pada tahun 1973 untuk meminimalisir
pertumbahan conventional health insurance yakni kebijakan Health Maintenance
Organization (HMO-ACT). (Trisnantoro L, 2014) Sistem kesehatan yang diterapkan di
AS merupakan sistem yang berorientasi pasar, yang mana sepertiga pembiayaan
kesehatan ditanggung oleh pasien (out of pocket). Biaya kesehatan di AS sangat tinggi
berdampak pada kondisi Produk Domestik Bruto (PDB).
Biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh masyarakat AS sebesar 16% dari total
PDB. Biaya yang dikeluarkan masyarakan sangat tinggi dan merupakan peringkat
kedua di dunia dalam penggunaan PDB untuk kesehatan. Jika masalah ini tidak diatasi
dan diselesaikan dengan baik, maka menurut The Health and Human Service
Departement anggka penggunaan PDB akan mengalami peningkatan yang dratis pada
tahun 2017 hingga mencapai 19,5%. Layanan kesehatan di AS juga termasuk kategori
mahal diseluruh dunia, bagi standard Negara maju indicator kesehatan yang ada di AS
tergolong buruk. (Trisnantoro L, 2014) Pelayanan kesehatan di Amerika Serikat
sebagian dikelola oleh pihak swasta. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 50,7 juta
penduduk Amerika Serikat yang tidak memiliki asuransi kesehatan (The US Censuss
Beureau). Penduduk yang tidak tersentuh asuransi tersebut salah satunya berasal dari
masyarakat kalangan berpenghasilan menengah kebawah. Hal ini menyebabkan
perusahaan banyak mengalami bangkrut dikarenakan mahalnya pembiayaan kesehatan.
Peristiwa ini membuat masyarakat AS bergejolak untuk menuntut untuk dilakukannya
reformasi dalam hal kesehatan. Pemerintah AS dituntut untuk memegang kendali
dalam permasalahan asuransi kesehatan ini.
Masyarakat AS sangat membutuhkan perawatan, akses, keadilan, efisiensi,
biaya, pilihan, nilai dan kualitas yang memadai. Pemerintah AS akhirnya membuat
sebuah terobosan baru mengenai sebuah kebijakan dalam bidang kesehatan. Patient
Protection Avordable Care Act (PPACC) merupakan salah satu kebijakan yang telah
dibuat oleh pemerintah AS. Titik tolak dari perkembangan kesehatan di AS
berdasarakan dari kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan tersebut menjadi landasan
hukum AS dalam menyelenggarakan perawatan dan biaya kesehatan yang efektif dan
efisien bagi masyarakat AS. Dengan dilakukannya reformasi penerapan undang-
undang ini diharapkan dapat menurunkan biaya asuransi kesehatan yang akan
ditanggung masyarakat AS dimasa yang akan datang. (Trisnantoro L, 2014).
3. Singapura
Secara umum, sistem kesehatan Singapura dirancang untuk memberikan
pelayanan kesehatan bersubsidi dan diawasi langsung oleh Departemen Kesehatan
Pemerintah Singapura. Seperti di Indonesia, sistem kesehatan Singapura terdiri dari
rumah sakit atau klinik yang dikelola langsung oleh pemerintah dan pihak swasta.
Terdapat juga sistem pembiayaan perawatan kesehatan yang dilakukan melalui
campuran subsidi langsung pemerintah, tabungan wajib dan asuransi kesehatan
nasional. Bahkan, pemerintah Singapura secara teratur menyesuaikan kebijakan tarif
pelayanan kesehatannya, sehingga biaya berobat tetap terkendali. Struktur dasar sistem
pembiayaan kesehatan di Singapura mencakup skema pembiayaan asuransi jiwa
nasional untuk penduduk Singapura yang bekerja dan penduduk tetap. Sistem ini
dibangun melalui “3M”: Mediasave, Mediashield, Mediafund. Mediasave Medisave
adalah akun tabungan medis di bawah akun CPF (Central Provident Fund) individu
yang digunakan untuk pembayaran biaya medis masa depan serta premi dari polis
asuransi kesehatan. CPF (Central Provident Fund Board) merupakan sistem jaminan
sosial, yang memungkinkan warga Singapura menyisihkan dana untuk berbagai
pengeluaran termasuk pensiun, perawatan kesehatan dan hipotek. Medishield adalah
skema asuransi dasar berbiaya rendah yang ditujukan bagi warga negara Singapura
yang tabungannya tidak cukup memenuhi biaya pengobatannya. Premi dapat
dibayarkan dari akun Medisave. MediFund adalah program “jaring pengaman”
Singapura, yang hanya mencakup biaya rawat inap dan layanan medis di kelas terendah.
Asuransi ini hanya tersedia untuk warga negara Singapura begitu mereka telah
menghabiskan dana MediSave dan MediShield mereka. Jumlah pendanaan dan
pertanggungan tergantung pada pendapatan individu, kondisi kesehatan, dan status
sosial ekonomi.
Warga negara Singapura dan penduduk tetap berhak atas pelayanan kesehatan
pemerintah yang disubsidi melalui skema tabungan wajib nasional, sedangkan orang
asing yang memegang izin kerja mendapatkan jaminan kesehatan baik melalui
perusahaan atau membelinya secara pribadi. Tidak wajib bagi pengusaha di Singapura
untuk memberikan tunjangan asuransi kesehatan. Salah satu inovasi Singapura yang
hingga kini menjadi model sistem kesehatan di berbagai negara adalah National
Electronic Health Record (NEHR). Sistem yang diimplementasi sejak tahun 2011 ini,
membuat riwayat kesehatan setiap pasien tersimpan secara rapi dan aman di satu
tempat. Sistem ini berlaku bagi pasien di rumah sakit umum dan swasta di Singapura.
Misal, jika seorang pasien melakukan pengobatan dari rumah sakit A ke rumah
sakit B, maka pihak rumah sakit B dapat secara langsung mengakses data pasien A
melalui NEHR.
Lebih lengkapnya, sistem NEHR punya beberapa manfaat:
Memudahkan dokter dari bidang spesialis berbeda untuk saling bekerjasama, dengan
mengacu data riwayat kesehatan pasien di NEHR.
Dokter dapat lebih mengerti kondisi pasien dan riwayat kesehatannya, sehingga
mampu melakukan diagnosis dan memberi pengobatan paling optimal.
Karena data konsumsi obat, alergi hingga hasil investigasi medis tersimpan di NEHR,
maka pasien jauh lebih aman dari kesalahan diagnosis.
Menghemat waktu dan biaya bagi pasien yang berpindah-pindah rumah sakit atau
dokter, karena riwayat kesehatannya bisa diakses cepat oleh tenaga medis yang
sedang menanganinya.
Sebagai bentuk pelaksanaan dari upaya kesehatan yang ada, kelompok kami sepakat
untuk membahas sebuah studi kasus yang pada kenyataanya cukup sering terjadi dalam
rumah sakit, yaitu : Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada Pasien Rawat Inap yang
terjadi pada sebuah rumah sakit X.
A. Studi Kasus
Untuk mencapai jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia, pemerintah
membuat suatu sistem, yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN sendiri
sudah diatur pada UU No. 40 Tahun 2004 dan sejalan dengan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Prinsip pelaksanaan JKN sendiri merupakan bentuk kesetaraan untuk
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Program JKN adalah wujud
implementasi dari UU No. 36 Tahun 2009 dengan Badan Pelaksana Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan sebagai pengelola sebagaimana yang diatur dalam UU No. 24 Tahun
2011. JKN pada Berdasarkan pada UU No. 36 Tahun 2009, JKN mengupayakan semua
masyarakat sama-sama memiliki hak dalam mendapatkan akses pada pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau pada semua pelayanan kesehatan. Pada
pelaksanaan JKN di Indonesia, BPJS Kesehatan sebagai pengelola menanggung
pembayaran pelayanan kesehatanan pasien kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut
(FKTL) melalui Indonesia Case Base Groups (INA CBG’s). INA CBG’s adalah sebuah
sistem pembayaran “paket” dengan menyesuaikan pada diagnosis penyakit yang diderita
oleh pasien. FKTL akan memperoleh hasil pembayaran sesuai dengan tarif INA CBG’s
yang berasal dari hasil rata-rata besarnya biaya yang dikeluarkan oleh sekumpulan
diagnosis penyakit. Penentuan tarif biaya pelayanan kesehatan sudah disesuaikan dengan
surat edaran nomor: IR.01.01/l.1/6401/2013 Tahun 2013 mengenai pelaksanaan INA
CBG’s.
Penentuan biaya hasil pelayanan kesehatan yang harus diklaim bergantung pada
ketepatan hasil pengodean diagnosis yang terdapat pada rekam medis dan INA CBG’s.
Klaim yang dimaksud ialah permintaan pembayaran biaya hasil pelayanan kesehatan
oleh penyedia fasilitas kesehatan kepada BPJS Kesehatan. Pada proses penagihan klaim
JKN, penagihan diserahkan kepada pihak BPJS. Pengajuan pembiayaan dari pelayanan
kesehatan ke BPJS dibutuhkan sebagai syarat klaim yang akan diajukan kepada
verifikator. Pada pelaksanaan klaim dilakukan proses verifikasi terhadap persyaratan
pengajuan klaim yang menjadi dasar penagihan biaya verifikasi. Proses verifikasi
dilakukan oleh pihak BPJS Kesehatan setelah menerima berkas klaim dari fasilitas
kesehatan atau pelayan kesehatan lalu berkas akan diverifikasi administrasi kepesertaan
dan pelayanan kemudian menempuh verifikasi software INA CBG’s berdasarkan pada
standard International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem
(ICD-10), selanjutnya formulir pengajuan klaim diserahkan pada BPJS Kesehatan untuk
melakukan persetujuan klaim dan melakukan pembayaran kepada faskes atau yankes
yang mengajukan klaim.1 Terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan verifikasi klaim
BPJS salah satunya adalah berkas klaim yang ditolak oleh verifikator. Jika penolakan
atau pending dalam melakukan klaim meningkat, dapat mengganggu operasional Rumah
Sakit tersebut. Seperti halnya kasus yang menimpa berbagai RSUD di Jakarta, sejumlah
RSUD di Jakarta mengalami kendala operasional akibat BPJS Kesehatan terlambat
membayar klaimnya dan mempengaruhi pasokan obat.
Beberapa kendala yang ditemukan dalam pelaksanaan JKN di fasilitas pelayanan
kesehatan, salah satunya, adalah terkait pembiayaan seperti adanya keterlambatan
pencairan klaim. Temuan terdahulu menunjukkan bahwa permasalahan pembayaran
klaim oleh BPJS kesehatan berdampak pada terganggunya aliran kas di beberapa rumah
sakit, lebih lanjut hal tersebut mengakibatkan adanya penundaan pembiayaan
operasional rutin seperti pembayaran kewajiban pada pegawai dan pemasok, dan
pembiayaan pemeliharaan yang dikurangi, serta berpengaruh pada kinerja pegawai dan
ketersedian logistik pelayanan sebagaimana yang terjadi di RS X.
Data yang ditemukan yaitu 63 berkas tidak disetujui dan 63 berkas disetujui dari
138 rekam medis di RS X. Penolakan ini terjadi karena beberapa faktor, menurut
Permenkes No. 28 tahun 2014 hal-hal yang mempengaruhi klaim BPJS yaitu berkas
klaim tidak lengkap, isi berkas yang tidak sesuai dan waktu pengajuan berkas yang
terlalu lama. Pengembalian berkas klaim sebagian besar karena berkas yang tidak
lengkap yaitu sebanyak 36 berkas (36%) dan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai
sebanyak 41 berkas (42%) mengakibatkan penolakan yang berujung pada tertundanya
proses pembayaran klaim BPJS pada fasilitas kesehatan. Salah satu faktor yang
menyebabkan klaim BPJS kesehatan ditolak dan dikembalikan oleh verifikator adalah
karena ketidaklengkapan dokumen yang akan diajukan. Kelengkapan informasi rekam
medis dapat menjadi dasar disetujuinya penagihan biaya verifikasi oleh BPJS Kesehatan
kepada penyedia fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut, sehingga biaya pelayanan
yang sudah dikeluarkan akan dibayarkan tepat waktu oleh BPJS dan akan berdampak
baik terhadap FKTL karena tidak mengalami kesulitan pada biaya operasional ataupun
mengalami kerugian.
Di Indonesia, mayoritas rumah sakit (±65%) belum memberikan pengodean
diagnosis yang tepat, jelas, dan lengkap berdasarkan ICD-10. Hasil temuan penelitian
terdahulu menyatakan bahwa dari 44 berkas rekam medis, diperoleh nilai OR sebesar 9
yang artinya pengodean diagnosis obstetric yang tepat memiliki peluang untuk klaim
BPJS yang lancar sebesar 9 kali apabila dibandingkan dengan pengodean diagnosis
obstetric yang tidak tepat. Pengembalian berkas klaim pembayaran rawat inap yang
berdasarkan kesesuaian dengan ketentuan administrasi pelayanan yaitu pengodean
diagnosis penyakit bukan pengodean unbundling merupakan satu-satunya ketentuan
administrasi pelayanan yang tidak sesuai. Jumlah tidak sesuai pada koding penyakit
adalah 8 berkas (8%), sejalan dengan penelitian Sebelumnya dimana hasil penelitian
masih menemukan adanya ketidaktepatan hasil pengodean diagnosis penyakit dan
tindakan medis yang dihasilkan petugas penginput kode rawat inap. Presentase
ketepatan koding hanya sebesar 74,67% dan hasil penelitian lain menunjukkan
penentuan kode diagnosis penyakit yang tepat yaitu sebanyak 17 berkas rekam medis
dengan penyakit gastroenteritis acute dan 63 berkas rekam medis dengan penentuan
kode diagnosis penyakit gastroenteritis acute yang tidak tepat.
Kelengkapan berkas pada pasien rawat inap meliputi kelengkapan informasi rekam
medis yang harus dilengkapi serta ditandatangani oleh dokter penanggung jawab
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai seringkali disebabkan karena ketidaksesuaian
antar lembar klaim dan resume medis seperti kode diagnosis dan tindakan tidak sesuai
dengan ICD-10 dan 9CM. Rumah Sakit X merupakan Rumah Sakit pemerintah tipe C
yang sudah beroperasi sejak 29 Maret 2012. Sebagai Rumah Sakit Umum tingkat Kota,
RS X memiliki cakupan pasien yang banyak khususnya pasien BPJS. Dengan cakupan
yang banyak dan dikeluarkannya kebijakan pengalihan jaminan eKTP Kota X ke BPJS
Kesehatan, maka potensi kesalahan atau penolakan klaim semakin besar.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RS X menunjukkan bahwa terdapat
klaim BPJS pada pasien rawat inap dengan total biaya Rp 278.197.200, yang tidak
disetujui atau dipending dari total pengajuan pada bulan November 2018 – Desember
2018 dikarenakan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai, berkas tidak lengkap, dan
berkas harus diperbaiki. Hal ini berdampak pada cashflow biaya operasional RS X yang
terhambat. Oleh karena itu, RS X sebagai FKTL dipilih penulis sebagai tempat
penelitian untuk menganalisa persetujuan klaim BPJS kesehatan pada pasien rawat inap
berdasarkan alur pelaksanaan klaim di rumah sakit. Hal ini menunjukan bahwa ada
hambatan dalam proses klaim oleh pihak BPJS sehingga dapat menghambat pembayaran
klaim ke fasilitas kesehatan belum adanya publikasi yang dilakukan oleh BPJS
Kesehatan mengenai persentase persetujuan klaim BPJS secara nasional.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Faktor Kesenjangan
Terhambatnya proses klaim dengan BPJS Kesehatan disebabkan oleh faktor human
eror seperti kecerobohan mengenai hasil tindakan, tanda tangan, dan sebagainya.
Ketidaklengkapan hal tersebut ditandai dengan :
1. Lembar resume yg tidak lengkap karena tidak ada tanda tangan DPJP
Sedangkan menurut UU RI No. 29 tahun 2004 yang menyatakan setiap catatan
rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan. Menurut penelitian terdahulu dokter yang
menangani pasien pada unit rawat inap mempunyai kontribusi yang besar dalam
kelengkapan pencatatan dan pengisian berkas rekam medis dan akan
mempengaruhi proses pelayanan di rumah sakit, seperti pengklaiman yang
dilakukan Unit Jaminan. Masalah tersebut terjadi karena kurang displinnya DPJP.
Kedisplinan DPJP sangat diperlukan untuk mengurangi ketidaklengkapan
informasi resume medis.
B. Faktor Ideal
Pengajuan klaim yang dilakukan di RS X selalu tetap waktu diajukan pada tanggal
10 bulan selanjutnya setelah dilakukan pelayanan. Berdasarkan Permenkes No. 28 Tahun
2014, pengajuan klaim oleh fasilitas kesehatan dilakukan setiap bulan dengan berkala dan
pengajuan paling lambat adalah tanggal 10 pada bulan berikutnya. Berdasarkan hal itu,
berkas klaim yang diajukan RS X tepat pada waktunya. Dalam Permenkes No. 28 Tahun
2014 juga disebutkan bahwa waktu pengajuan klaim oleh fasilitas kesehatan paling
lambat adalah dua tahun setelah pelayanan diberikan kepada pasien. Hal ini menunjukkan
bahwa proses pengajuan klaim tidak harus dilakukan tepat setelah penanganan kepada
pasien rawat inap selesai dilakukan. Rumah sakit dapat mengajukan klaim BPJS beberapa
saat hingga paling lama adalah dua tahun setelah penanganan pasien dilakukan.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Subsistem upaya kesehatan adalah pengelolaan upaya kesehatan yang terpadu,
berkesinambungan, paripurna, dan berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan,
pengobatan, dan pemulihan, yang diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Subsistem upaya kesehatan mempunyai
beberapa unsur seperti upaya kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, sumber daya
upaya kesehatan dan pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan. Sebagai contoh
pelaksanaan upaya kesehatan di Indonesia, Pemerintah meluncurkan sebuah program
yaitu BPJS Kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menjelaskan fungsi dan tugas BPJS Kesehatan sebagai berikut: 1)
Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta. 2) Memungut dan mengumpulkan
iuran dari peserta dan pemberi kerja. 3) Menerima bantuan iuran dari Pemerintah. 4)
Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta. 5) Mengumpulkan dan
mengelola data peserta program jaminan sosial. 6) Membayarkan manfaat dan/atau
membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial. 7)
Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada
peserta dan masyarakat.
Melihat banyaknya tugas BPJS kesehatan, kelompok mendapatkan permasalahan yang
sering terjadi dalam pelayanan BPJS kesehatan di rumah sakit salah satunya adalah
Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada Pasien Rawat Inap yang terjadi pada
sebuah rumah sakit X. Setelah dilakukan penelitian, didapatkan beberapa faktor penyebab
dari faktor klaim tersebut seperti ketidaklengkapan resume rawat jalan karena kurangnya
tanda tangan DPJP, hasil berkas pemeriksaan penunjang yang tidak lengkap, serta
ketidaksesuaian kode penyakit saat diinput dengan berkas aslinya (salah pengkodean
diagnosa utama).
B. Saran
Melihat betapa pentingnya penyelenggaraan upaya kesehatan di Indonesia, maka
kelompok memiliki beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Pemerintah selaku penyelenggara upaya kesehatan nasional agar bisa merancang
sistem yang praktis dan efisien dalam menyelenggarakan upaya kesehatan nasional
agar program ini dapat menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia terutama bagi
masyarakat yang berada di desa 3T (Terdepan, Terpencil dan Tertinggal) . Dalam
berhubungan dengan sistem upaya kesehatan di rumah sakit, adapun Pemerintah dapat
menekankan peraturan atau mengadakan pelatihan bagi para pihak yang terlibat dalam
mengurus berkas-berkas di rumah sakit agar dapat memahami kriteria berkas yang
dapat diterima untuk proses klaim BPJS selaku produk unggulan dari subsistem upaya
kesehatan serta bagaimana penangananya apabila tidak dapat diterima untuk proses
klaim.
2. Bagi Rumah Sakit RS X agar dapat menekankan kepada para tenaga kesehatan yang
berperan didalamnya untuk melengkapi berkas-berkas status rawat pasien dan
memperbaiki sistem komputeruisasi yang ada agar mempermudah kordinasi untuk
proses klaim.
3. Bagi Tenaga Kesehatan yang berperan dalam mengurus berkas status rawat pasien di
Rumah Sakit X agar lebih teliti dalam melengkapi status dan memahami alur
penanganan proses klaim BPJS . Serta tidak ragu dalam mengingatkan DPJP untuk
menandatangani berkas yang diperlukan.
4. Bagi Mahasiswa hendaknya dapat menambah pengetahuan melalui updating ilmu
mengenai Subsistem Upaya Kesehatan serta permasalahan apa yang sedang sering
terjadi saat ini melalui berbagai sumber yang ada sehingga dapat meminimalisir
adanya miskomunikasi ketika terjun dalam dunia pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Bpjs-kesehatan.go.id. 2021. “Tugas dan Fungsi” diakses pada 17 November 2021 dari
https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/pages/detail/2021/30
Gifari, M. Tijar & Ariyanti, Fajar. 2019. Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada
Pasien Rawat Inap. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Vol 8 (4) 156-166. DOI:
10.33221/jikm.v8i04.415
Kementrian Kesehatan RI. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK 02.02-148 Tahun
2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Jakarta : BPK RI
Kholifah, Siti Nur dan Wahyu Widagdo. 2016. Keperawatan Keluarga dan Komunitas.
Jakarta Selatan: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Muntaha. 2017. Hukum Pidana Mal Praktik Pertanggungjawaban dan Penghapus Pidana.
Jakarta: Sinar Grafika.
Noviyanti Putri, Ririn. 2019. Analisis Jurnal Geografi Ekonomi Perbandingan Sistem
Kesehatan Di Negara Berkembang Dan Negara Maju Vol 19 (1) Hal 139-146. Malang :
Universitas Kanjuruhan Malang
Republik Indonesia. 2012. Peraturan Presiden No 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan
Nasional . Jakarta : BPK RI
Sadi, Muhammad. 2017. Etika dan Hukum Kesehatan, Teori dan Aplikasinya di Indonesia
Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
Siska, Elvandri. 2015. Hukum Penyelesaian Sengketa Medis. Yogyakarta: Thafa Media
Soetrisno, 2010. Mal Praktik dan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Tangerang: Telaga Ilmu
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2004. UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Jakarta : BPK RI
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2009. UU No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan. Jakarta : BPK RI
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2014. UU No. 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan. Jakarta : BPK RI
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. 2014. UU No. 38 Tahun 2014 Tentang
Keperawatan. Jakarta : BPK RI
BAGIAN II
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 18.306 pulau besar dan kecil
(LAPAN,2002). Pemerintah berusaha membangun negara tanpa memandang kewilayahan
maupun pulau-pulau, besar maupun kecil.
Berdasarkan UUD 1945(Amandemen), pasal 28H ayat (1), ditegaskan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat(3)
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum
yang baik”. Berdasarkan halite lahirlah peraturan perundang-undangan seperti UU No.
29/2004 tentang Praktek kedokteran, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, UU No. 36/2014
tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38/2014 tentang Keperawatan dan berbagai peraturan dan
keputusan baik Presiden maupun Menkes.
Kabinet yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden telah membuat terobosan bari
dengan kebijakan “Nawa Cita”. Cita ke-5 dinyatakan “Meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia
Pintar”. Program ini menempatkan tenaga kesehatan minimal vokasional untuk memberi
pelayanan kesehatan didaerah-daerah dengan status 5T(terluar, terdalam, terpencil, terdepan
dan tertinggal). Tujuannya agar tidak ada lafi masyarakat yang tidak memperoleh pelayanan
kesehatan minimal.
Namun, sampai saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini disebabkan ketidakadaannya sarana/tenaga kesehatan yang dapat memberikan
pertolongan yang memadai, ketrjangkauan sarana pelayanan, kemiskinan dan kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan. Tidak sedikit tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan keseahatan di daerah khususnya 5T harus menerima hukum pidana.
Pada bulan Oktober 2019 di Lampung Utara, Lampung, dikejutkan dengan demo perawat
besar-besaran untuk mendukung perawat Jumraini yang sedang ditahan di Rumah Tahanan
Kejaksaan Negri, Kota Bumi, Lampung Utara. Dia diduga melakukan mal praktik karena
dituduh menjadi penyebab hilangnya nyawa Alex Sandra 25 th.
Rabu tgl 19 Desember 2018 Alex dan Arena mendatangi rumah Jumraini. Arena
memohon kepadanya agar dapat mengobati luka pada kaki kakaknya yang tidak segera
sembuh meski sudah berobat ke Puskesmas. Arena sempat meunjukan kepada Jumraini obat-
obatan yang di terima dari Puskesmas, terdiri dari Amoxicillin, Paracetamol, Vitamin C dan
CTM. Jumraini begitu iba saat melihat kondisi Alex yang terlihat pucat dan tidak berhenti
merintih. Jumraini akhirnya memeriksa luka Alex. Ternyata sudah terinfeksi parah, lukanya
membengkak, berwarna biru serta mengeluarkan darah dan nanah. Jumraini juga mengecek
suhu tubuh Alex mencapai 39,5o C.
Jumraini sempat bertanya mengapa luka itu sampai parah. Arena mengatakan kakaknya
sering menusuk-nusuk lukanya dengan jarum karena setelah ditusuk kondisinya jauh lebih
enak. Jumraini lantas menyarankan Alex berobat ke Rumah Sakit atau dokter. Arena
memohon untk dilakukan pengobatan dan Alex rebahan di teras rumah Jumraini. Akhirnya
Jumraini melakukan perawatan luka dengan membersihkan dengan air hangat dan menekan
luka untuk mengeluarjan nanah dan darah dengan menggunakan pinset anatomis yang sudah
dilindungi kasa steril. Perawatan luka dilakukan sekitar 30 menit. Alex meminta obat karena
susah tidur dan badannya panas. Jumraini memberikan Paracetamol, Antasida, Asam
Mefenamat, dan Allergen (CTM). Jumraini menutup luka Alex dengan kain kasa karena
sedang musim hujan. Jumraini juga tetap menyarankan Alex ke RS dan ronsent. Sambil
menyerahkan uang Rp50 ribu ke Jumraini, lagi-lagi Arena mengaku tak punya uang untuk
berobat ke RS atau dokter.
Tanggal 21 Desember 2019, Arena dating ke rumah Jumraini sekitar pukul 10.00 WIB
memberitahukan bahwa Alex masuk RSUD Riyacudu Kotabumi, karena lukanya makin
parah. Namun Jumraini tidak ada di rumah. Jumraini sedang bertugas di RSUD Kotabumi.
Sekitar pukul 16.00 WIB Alex akhirnya meninggal dunia di RSUD Riyacudu Kotabumi.
Sepeninggal Alex, keluarga dengan bantuan Samsi Eka Putra (kuasa hukum kurban),
melaporkan Jumraini ke Polres Lampung Utara.
Setelah kepolisian melakukan pemeriksaan, bahwa kasus tersebut cukup bukti untuk
ditindaklanjuti, di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan
Negeri Lampung Utara. Kemudian disidangkan di PN Lampung Utara. Sebelum disidangkan
di PN, kuasa hukum Jumraini melakukan perlawanan dengan mengajukan pra peradilan.
Pengadilan Negeri Lampung Utara menggelar siding pra peradilan dengan tersangka
Jumraini, dilaksanakan Senin (15/7/2019), dipimpin hakim tunggal Faisal Zuhry, dengan
agenda mendengarkan keterangan saksi dari kedua belah pihak, pemohon dan termohon.
Setelah dianggap cukup bukti, akhirnya hakim memutuskan menolak permohonan pemohon,
dengan demikian proses hukum berlanjut di PN Lampung Utara, untuk persidangan
selanjutnya.
Sidang perdana, Selasa 8 Oktober 2019 sekitar pukul 13.20 WIB, dipimpin oleh hakim
ketua Eva M.T Pasaribu, dengan anggota Rika Semula dan Suhadi Putra Wijaya. Sebagai
Jaksa penuntut umum Dian Fatmawati dan Budiawan. Jumraini didakwa karena lalai
melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap Alex yang menyebabkan meninggal dunia.
Kasus tersebut menarik untuk dibahas: Siapakah Jumraini dalam kontek subyek hukum
kesehatan? Apakah Jumraini memiliki kewenangan dalam melakukan praktik mandiri?
Apakah tindakan Jumraini memberikan pertolongan pada pasien dapat dibenarkan oleh
hukum? Jika Jumraini dianggap malpraktik, hukum mana yang berlaku baginya?
B. PEMBAHASAN
Berdasarkan uraian di atas, Jumraini adalah perawat ICU RSUD Riyacudu Kota Bumi,
Lampung Utara. Jumraini adalah perawat vokasional dengan pendidikan D-III keperawatan.
Apakah Jumraini termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan? Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, ditegaskan tenaga kesehatan adalah setiap orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan, yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Sementara Pasal 9 ayat (1) ditegaskan bahwa
yang termasuk tenaga kesehatan adalah mereka harus memiliki minimum berpendidikan
Diploma TIga. (UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, Diundangkan di Jakarta, tanggal
17 Oktober 2014, Lembaran Negara No. 298).
Berdasarkan penjelasan tersebut Jumraini jelas termasuk dalam tenaga kesehatan. Selain
itu sampai saat ini Jumraini masih bekerja sebagai perawat di ICU RSUD Ryacudu. Dengan
demikian Jumraini adalah tenaga kesehatan perawat yang tunduk pada UU No. 38/2014
tentang Keperawatan. (UU No. 38/2014 tentang Keperawatan, Diundangkan di Jakarta,
tanggal 17 Oktober 2014, Lembaran Negara No. 307)
STR akan dikeluarkan oleh Konsil Keperawatan Indonesia apabila pemohon telah lulus uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh organisasi profesi keperawatan. Artinya bahwa
Jumraini, sesungguhnya telah memiliki kemampuan untuk melaksanakan profesinya.
Selanjutnya berkaitan dengan surat izin praktik perawat (SIPP), hal ini sesuai dapat
mengacu UU No. 38/2014 tentang Keperawatan. Pasal 19(1) ditegaskan bahwa perawat yang
menjalankan Praktik Keperawatan wajib memiliki izin. Bentukdari ijin tersebut adalah
SIPP(Pasal 19(2)). SIPP diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/kota atas rekomendasi
pejabat kesehatan yang berwenang tempat Perawat menjalankan praktiknya.
Menurut pasal ini bahwa SIPP itu diperoleh dimana si Perawat akan menjalankan
praktinya. Ini sesuai dengan penjelasan Peraturan Menteri Kesehatan No.
HK.02.02/MENKES/148/I/2010, Pasal 3 (2) dinyatakan kewajiban memiliki SIPP
dikecualikan bagi perawat yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di
luat praktik mandiri.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Jumraini telah memiliki
kemampuan untuk memberikan pelayanan keperawatan dipelayanan kesehatan. kegiatan
yang dilakukan di rumahnya semata-mata hanya memberikan pertolongan darurat bagi
masyarakat yang membutuhkan, memberi saran untuk mencari pelayanan kesehatan sesuai,
mengingat daerah tersebut termasuk yang belum terjangkau pelayanan kesehatan memadai.
Dengan demikian Jumraini tidak termasuk dalam kategori praktik mandiri yang memerlukan
SIPP. Situasi tersebut bukan hanya dilakukan oleh Jumraini, melainkan dilakukan oleh
banyak perawat yang tingal jauh dari perkotaan. Seharusnya dilakukan pembinaan oleh dinas
terkait. Hal ini dikarenakan pern mereka sebagai tenaga kesehatan sangat bermanfaat bagi
masyarakat di pedesaan.
Perawat harus menjalankan asuhan keperawatan pada asas perikemanusiaan, nilai ilmiah,
etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, perlindungan serta kesehatan dan keselamatan
pasien(pasal 2 UU No. 38/2014).
Jika dilihat dalam kasus Jumraini ini, bahwa apa yang diakukannya belum dapat dikatakan
menyalahi hukum berat(mengakibat kematian). Argumennya adalah pertama, pasien dating
ke Jumraini, meminta bantuan untuk melakukan perawatan luka pada kakinya yang terkena
paku dengan alasan pasien tidak memiliki dana untuk mencari pelayanan kesehatan yang
memadai. Sehingga dapat disimpulkan pasien dikategorikan dalam situasi darurat. Kedua,
apa yang dilakukan Jumraini seata-mata memberkan pertolongan dengan melakukan
serangkaian tindakankeperawatan dan terlebih dahulu menyarankan untuk mencari pelayanan
kesehatan yang memadai namun pasien menolak. Ketiga, bahwa tetanus yang berkembang
ditubuh pasien yang mengakibatkan kematian apakah disebabkan oleh pertolongan Jumraini.
Ini harus dibuktikan lebih mendalam. Keempat, bahwa dalam situasi darurat, pelayanan
kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan pada pasien/siapa saja yang perlu diberikan
pertolongan(pasal 32 UU No. 36/209). Kemudian pasal 32(2) bahwa dalam keadaan darurat,
fasilitas kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang meminta uang muka.
Berdasarkan penjelasan diatas Jumraini tidak dapat dikenakan dakwaan dari jaksa
penuntut umum karena Jumraini tidak menahan-nahan pasien tetap menjadi pasiennya.
Jumraini memberi saran untuk segera mencari pelayanan kesehatan yang memadai. Jika
dicari kesalahannya Jumraini hanya melakukan mal administrasi, karena tidak memiliki
SIPP, bukan karena pertlongannya yang salah(mal praktik). Oleh karena itu penerapan
hokum baginya perlu dipertimbangkan.
Model Mediasi
Siapapun perawat yang duangap mal praktik, maka yang dirugikan dapat melaporkan
kejadian tersebut ke Konsil Keperawatan. Konsil Keperawatan adalh lembaga independen.
Yang berfungsi sebagai pengaturan , penetapan dan pembinaaan perawat dalam menjalankan
praktik keperawatan. Konsil juga bertugas menegakkan disiplin praktik keperawatan.
Sanksi Administratif
Sanksi yang dapat diberikan oleh konsil keperawatan adalah dalam bentuk sanksi
administrative. Sanksi tersebut dapat berupa(a) teguran lisan;(b) peringatan tertulis;(c) denda
administratif; dan/atau(d) pencabutan izn.
Pemilihan hokum ini sesua dengan”Lex SpecJumrainilis derogate lex generalis”. Jika ada
kasus seperti diatas berdasarkan ketntuan tersebut sebaiknya diselesaikan diluar pengadilan.
Benar korban meninggal, namunperlu dibuktikan apa penyebab meninggalnya korban.
Oleh sebab itu, masyarakat harus berhati-hati dalam melakukan pengaduan kasus
malpraktik kepada pihak kepolisian, tidak menutup kemungkinan sesungguhnya kasus
tersebut tidak harus dilaporkan ke pihak berwajib. Penegak hokum pun harus cermat dalam
menerima laporan kasus-kasus malpraktik.
C. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran
Masyarakat sebaiknya mengikuti saran-saran yang diberikan tenaga kesehatan agar
segera mendapatkan pelayanan yang memadai. Jangan mudah terhasut oleh pihak-[ihak
tertentu dalam menyelesaikan sengketa pelayanan kesehatan. Yakinlah bahwa tidak ad
satupun dari tenaga kesehatan yang berniat untuk menciderai/merugikan pasien, oleh
karena itu arus berhati-hati dalam mengadukan kasus mal praktik kepada pihak penegak
hokum.