Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KEPERAWATAN KOMUNITAS

Pengertian Terkait SKN dan BPJS Serta


Peran Perawat Dalam Program SKN dan BPJS

Dosen Pembimbing

Dr. Yessy Dessy Arna, M.Kep,Sp.Kom

Disusun oleh :

Maya Ari Wulandari (P27820418082)

PRODI DIII KEPERAWATAN SIDOARJO


POLTEKKES KEMENKES SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
1. SKN (Sistem Kesehatan Nasional)
A. Pengertian SKN
SKN (Sistem Kesehatan Nasional) adalah pengelolaan kesehatan yang
diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling
mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.
Pengelolaan kesehatan adalah proses atau cara mencapai tujuan pembangunan
kesehatan melalui pengelolaan upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan,
pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan serta pemberdayaan
masyarakat.
Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat.R. Perpres SKN 9 Januari 2012 – Verbal Final bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
ekonomis.
SKN perlu dilaksanakan dalam konteks pembangunan kesehatan secara
keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, antara lain kondisi kehidupan
sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan,
sumber daya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi
masalah-masalah tersebut. SKN disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi
pelayanan kesehatan dasar (primary health care) yang meliputi cakupan pelayanan
kesehatan yang adil dan merata, pemberian pelayanan kesehatan berkualitas yang
berpihak kepada kepentingan dan harapan rakyat, kebijakan kesehatan masyarakat untuk
meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat, kepemimpinan, serta
profesionalisme dalam pembangunan kesehatan.
SKN juga disusun dengan memperhatikan inovasi atau terobosan dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk penguatan sistem
rujukan. Pendekatan pelayanan kesehatan dasar secara global telah diakui sebagai
pendekatan yang tepat dalam mencapai kesehatan bagi semua dengan
mempertimbangkan kebijakan kesehatan yang responsif gender.
B. Perkembangan dan Masalah Sistem Kesehatan Nasional
Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan telah
berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat. Kinerja sistem kesehatan telah
menunjukkan peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan peningkatan status kesehatan,
yaitu: penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 46 per 1.000 kelahiran hidup pada
tahun 1997 menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI 2007). Angka
Kematian Ibu (AKI) juga mengalami penurunan dari 318 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 1997 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (SDKI,
2007). Sejalan dengan penurunan angka kematian bayi, Umur Harapan Hidup (UHH)
meningkat dari 68,6 tahun pada tahun 2004 menjadi 70,5 tahun pada tahun 2007.
Demikian pula telah terjadi penurunan prevalensi kekurangan gizi pada balita dari 29,5%
pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 18,4% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007).
1. Upaya Kesehatan
2. Pembiayaan Kesehatan
3. Sumber Daya Manusia Kesehatan
4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
5. Manajemen dan Informasi Kesehatan
6. Pemberdayaan Masyarakat
a. Perubahan Lingkungan Strategis

C. Asas Sistem Kesehatan Nasional


1. Dasar Pembangunan Kesehatan
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka
Panjang Pembangunan Nasional (RPJP-N) Tahun 2005-2025, pembangunan
kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya dapat terwujud. Dalam Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa
pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mendasarkan pada:
a. Perikemanusiaan.
b. Pemberdayaan dan Kemandirian
c. Adil dan Merata
d. Pengutamaan dan Manfaat
2. Dasar Sistem Kesehatan Nasional
Dalam penyelenggaraan, SKN perlu mengacu pada dasar-dasar sebagai berikut:
a. perikemanusiaan
b. keseimbangan
c. manfaat
d. perlindungan
e. keadilan
f. penghormatan hak asasi manusia
g. sinergisme dan kemitraan yang dinamis
h. komitmen dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
i. legalitas
j. antisipatif dan proaktif
k. gender dan nondiskriminatif dan
l. kearifan lokal

D. Tujuan SKN
Tujuan SKN adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua
komponen bangsa, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk
badan hukum, badan usaha, dan lembaga swasta secara sinergis, berhasil guna dan
berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya
E. Kedudukan SKN
1. Suprasistem SKN
2. Kedudukan SKN dan Sistem nasional lainya

F. Subsistem SKN
1. subsistem upaya kesehatan
2. subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan
3. subsistem pembiayaan kesehatan;
4. subsistem sumber daya manusia kesehatan
5. subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan;
6. subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan;
7. subsistem pemberdayaan masyarakat.

G. Tata Hubungan Antara Subsistem dan Lingkungan


a. Subsistem upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudka derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
b. Subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan diselenggarakan untuk
memberikan data dan informasi di bidang kesehatan yang berbasis bukti.
c. Subsistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan
pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk terselenggaranya upaya
kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat
d. Subsistem sumber daya manusia kesehatan diselenggarakan guna
menghasilkan tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah dan
jenis yang mencukupi, terdistribusi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna serta
dikembangkan, sehingga upaya kesehatan dapat diselenggarakan
sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat
e.Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan diselenggarakan guna
menjamin keamanan, khasiat, manfaat, dan mutu semua produk sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan makanan yang beredar; menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan obat, terutama obat esensial, perlindungan
f. Subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan diselenggarakan guna
menghasmasyarakat dari penggunaan yang dan penyalahgunaan obailkan fungsi-
fungsi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, informasi kesehatan, hukum
kesehatan yang memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya kesehatan
secara berhasil guna dan berdaya guna.
g. Subsistem pemberdayaan masyarakat diselenggarakan guna
menghasilkan individu, kelompok, dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
H. CARA PENYELENGGARAAN SKN
Pengelolaan dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dilakukan :
1. Masyarakat
2. Pemerintah
3. Badan legislative
4. Badan yudikatif
dengan memperhatikan nilai-nilai: prorakyat, inklusif, responsive, efektif, bersih

Penyelenggaraan SKN mempertimbangkan komitmen global dan komponennya yang


relevan dan berpengaruh secara mendasar dan bermakna terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
1.subsistem upaya kesehatan
2.subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan
3.subsistem pembiayaan kesehatan
4. Subsistem sumber daya manusia kesehatan
5.subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
6.subsistem manajemen, informasi, dan regulasi kesehatan
7.subsistem pemberdayaan masyarakat

I. DUKUNGAN PENYELENGGARAAN SKN


SKN diupayakan agar mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika
pembangunan kesehatan yang dihadapi dalam penyelenggaraannya yang dilaksanakan
secara berkesinambungan. Bila terjadi perubahan paradigma dan lingkungan strategis,
SKN dapat disesuaikan dan disempurnakan dengan kondisi dan situasi yang berkembang
1. Proses penyelengaraan SKN
2. Tata Penyelegaraan SKN
3. Penyelengaan SKN
4. Sumber daya penyelengaran SKN

2. BPJS
A. Sejarah BPJS
Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi
tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya
operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari
pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-
obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri
maupun keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi miskin. Dapat
disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya
dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat
hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan
kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja
dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian
karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang
semakin bertambah. Pada tahun 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta
orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada
tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami
berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai
dampak lainnya. Apabila tidak ada yang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat
menjadi masalah yang besar.
Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap
tudingan Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan menjawab
permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun
2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34
ayat (1) dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000
hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman
Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut
direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU
JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No.
25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim
Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional). Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI
melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu
segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan
masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang
Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2)
dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem
Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh
dan terpadu”.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris
Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN -
Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli
2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah
menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada
perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status
Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun
2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang
(RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali,
dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya
dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat
itu.Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari
2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua)
kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal
pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI
pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga
diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam
perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami
perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara
resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun
2004. Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh)
bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.

Lanjutan Implementasi UU SJSN hingga ke UU BPJS


Setelah resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada
bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji
UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami
sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4
bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur
penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah
(BPJSD). Putusan MK semakin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi.
Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU
SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya
baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.
Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg
BUMN, yang notabene keduanya adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU
BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009
terlewati. Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang
mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial
Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun. Tahun berganti, DPR
mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali
mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah
pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum,
Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS.
Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya
berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi
Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat
di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga
proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat
BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan
PT Askes.

Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai
implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN), yang bahkan semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober 2009 dua tahun
lampau. Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi UU formal, jalan terjal nan
berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan rumah menunggu untuk diselesaikan demi
terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial. Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini,
berdasarkan data yang dihimpun oleh DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang berstatus badan hukumnya adalah Persero tersebut, hanya terdapat sekitar 50 juta orang di
Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN penyelenggara
jaminan sosial.

Pasca Sah UU BPJS


Perubahan dari 4 PT (Persero) yang selama ini menyelenggarakan program jaminan
sosial menjadi 2 BPJS sudah menjadi perintah Undang-Undang, karena itu harus dilaksanakan.
Perubahan yang multi dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar berjalan
sesuai dengan ketentuan UU BPJS.Pasal 60 ayat (1) UU BPJS menentukan BPJS Kesehatan
mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014.
Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi
BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Ketenagakerjaan dan menurut Pasal 64
UU BPJS mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Pada saat mulai berlakunya UU BPJS, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero)
dan PT Jamsostek (Persero) ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang
diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS
dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan
juga kultur kelembagaan.Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang
lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan
struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan
dalam Undang-Undang.
Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya
mengemban tugas menyiapkan perubahan tersebut. Sebagai professional tentu mereka paham
bagaimana caranya mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam proses perubahan tersebut,
dan bagaimana harus bertindak pada waktu yang tepat untuk membuat perubahan berjalan tertib
efektif, efisien dan lancar sesuai dengan rencana.
Tahun 2012 merupakan tahun untuk mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam
UU BPJS. Perubahan yang dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan berorientasi pada
proses implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat asas dan didukung oleh
pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS memberi harapan yang lebih baik untuk
pemenuhan hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial.
B. Definisi BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor
40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011, BPJS akan menggantikan sejumlah
lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga asuransi jaminan kesehatan PT.
Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan lembaga jaminan sosial ketenaga kerjaan PT.
Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi
BPJS dilakukan secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan,
selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Lembaga ini
bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS berkantor pusat di Jakarta, dan bisa memiliki kantor
perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang di tingkat kabupaten kota.

C. Dasar Hukum
1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Sosial Kesehatan;
2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan;
5. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran;
6. UU No. 44 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit.
D. Visi dan Misi BPJS
Visi BPJS Kesehatan :
“Cakupan Semesta 2019”
Paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan
nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang
handal, unggul dan terpercaya.
Misi BPJS Kesehatan :
1. Membangun kemitraan strategis dengan berbagai lembaga dan mendorong partisipasi
masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
2. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif,
efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan fasilitas
kesehatan.
3. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS Kesehatan
secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung kesinambungan
program.
4. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola
organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk mencapai kinerja
unggul.
5. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi, kajian,
manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh operasionalisasi BPJS Kesehatan.
6. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.
E. Kepesertaan Wajib
Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama
minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal 14 UU BPJS. Setiap
perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS. Sedangkan orang atau
keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib mendaftarkan diri dan anggota
keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan ditarik iuran yang besarnya ditentukan
kemudian. Sedangkan bagi warga miskin, iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui
program Bantuan Iuran.
Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun juga
pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan. Para pekerja
wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan manfaat yang
diinginkan. Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap pada
2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan
tersebut. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan BPJS Kesehatan akan diupayakan
untuk menanggung segala jenis penyakit namun dengan melakukan upaya efisiensi.
F. Hak dan Kewajiban Peserta BPJS Kesehatan
Hak Peserta :
1. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk memperoleh pelayanan kesehatan;
2. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban serta prosedur
pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
3. Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan; dan
4. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara lisan atau tertulis ke
Kantor BPJS Kesehatan.
Kewajiban Peserta :
1. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran yang besarannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku ;
2. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian, kematian,
kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan tingkat I;
3. Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang yang
tidak berhak.
4. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.
G. Fungsi, Tugas, dan Wewenang BPJS
1. Fungsi BPJS
UU BPJS menetukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan menurut UU SJSN diselenggarakan
secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan
menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan
dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
BPJS Ketenagakerjaan menurut UU BPJS berfungsi menyelenggarakan 4
program, yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian.
Menurut UU SJSN program jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara
nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial, dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang
pekerja mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja.
Selanjutnya program jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib, dengan tujuan untuk menjamin
agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total
tetap, atau meninggal dunia.
Kemudian program jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib, untuk mempertahankan derajat kehidupan
yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki
usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.
Jaminan pensiun ini diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
Sedangkan program jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan santuan kematian yang
dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.

2. Tugas BPJS
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas BPJS bertugas untuk:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta
b. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;
c. Menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta;
e. Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial;
f. Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan
ketentuan program jaminan sosial; dan
g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial kepada
peserta dan masyarakat.
Dengan kata lain tugas BPJS meliputi pendaftaran kepesertaan dan pengelolaan data
kepesertaan, pemungutan, pengumpulan iuran termasuk menerima bantuan iuran dari
Pemerintah, pengelolaan Dana jaminan Sosial, pembayaran manfaat dan/atau
membiayai pelayanan kesehatan dan tugas penyampaian informasi dalam rangka
sosialisasi program jaminan sosial dan keterbukaan informasi. Tugas pendaftaran
kepesertaan dapat dilakukan secara pasif dalam arti menerima pendaftaran atau secara
aktif dalam arti mendaftarkan peserta.
3. Wewenang BPJS
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diamksud di atas BPJS berwenang:
a. Menagih pembayaran Iuran;
b. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka
panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian,
keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi
kerja dalam memanuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran
fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan
f. Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya;
g. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai
ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program
jaminan sosial.
Kewenangan menagih pembayaran Iuran dalam arti meminta pembayaran dalam
hal terjadi penunggakan, kemacetan, atau kekurangan pembayaran, kewenangan
melakukan pengawasan dan kewenangan mengenakan sanksi administratif yang
diberikan kepada BPJS memperkuat kedudukan BPJS sebagai badan hukum publik.
4. Pertanggung Jawaban BPJS
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas Kesehatan di
wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri
Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan.
Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Dalam JKN, peserta dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang
bersifat non medis berupa akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas
perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan
mengikuti asuransi kesehatan tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya
yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan
kelas perawatan, yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan
tersebut tidak berlaku bagi peserta PBI.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya, BPJS Kesehatan
wajib menyampaikan pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan
program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai dengan 31
Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan publik dikirimkan kepada
Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun
berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak
yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun
berikutnya.
H. Pelayanan Kesehatan yang Dijamin
1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yaitu pelayanan kesehatan non-spesifikasi:
a. Administrasi pelayanan
b. Pelayanan promitif dan preventif
c. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
d. Tindakan medis non-spesialistik baik operatif manupun non-operatif
e. Transfusi darah
f. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama, dan
g. Rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi
2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjut
yaitu pelayanan kesehatan yang mencakup program jaminan pemelihara
kesehatan memberikan manfaat paripurna meliputi seluruh kebutuhan medis yang
diselenggarakan di setiap jenjang Program Pelayanan Kesehatan dengan rincian cakupan
pelayanan sebagai berikut:
a. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan
oleh dokter umum atau dokter gigi di Puskesmas, Klinik, Balai Pengobatan atau Dokter
praktek solo
b. Pelayanan Rawat Jalan tingkat II (lanjutan) adalah pemeriksaan dan pengobatan yang
dilakukan oleh dokter spesialis atas dasar rujukan dari dokter PPK I sesuai dengan
indikasi medis
c. Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada peserta yang memerlukan perawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit
d. Pelayanan Persalinan adalah pertolongan persalinan yang diberikan kepada tenaga
kerja wanita berkeluarga atau istri tenaga kerja peserta program jaminan pemelihara
kesehatan maksimum sampai dengan persalinan ke 3 (tiga).
e. Pelayanan Khusus adalah pelayanan rehabilitasi, atau manfaat yang diberikan untuk
mengembalikan fungsi tubuh
f. Emergensi merupakan suatu keadaan dimana peserta membutuhkan pertolongan
segera, yang bila tidak dilakukan dapat membahayakan jiwa.
I. Pelayanan Kesehatan yang Tidak Dijamin
1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam
peraturan yang berlaku.
2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan
BPJS Kesehatan (kecuali untu kasus gawat darurat).
3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap
penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja.
4. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas.
5. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri.
6. Pelayanan kesehatan untuk tujuan kosmetik dan/atau kosmetik.
7. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas (memperoleh keturunan).
8. Pelayanan ortodonsi (meratakan gigi).
9. Gangguan kesehatan akibat ketergantungan obat terlarang dan/atau alkohol.
10. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri atau akibat melakukan hobi
yang berbahaya.
11. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional.
12. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai eksperimentasi.
13. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi dan susu.
14. Perbekalan kesehatan rumah tangga.
15. Pelayanan kesehatan akibat bencana dan wabah.
J. Manfaat BPJS
Manfaat BPJS dari segi Promosi dan Preventif akan memberikan pelayanan yang
meliputi:
1. Penyuluhan kesehatan perorangan
Penyuluhan kesehatan perorangan meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai
pengelolahan faktor resiko penyakit dan PHBS.

2. Imunisasi dasar
Pelayanani imunisasi dasar meliputi:
a. Vaksin Baccile Calmett Guerin (BCG)
b. Vaksin Difteri Pertusis Tetanus (DPT)
c. Vaksin Hepatitis-B
d. Vaksin Polio, dan
e. Vaksin Campak

3. Keluarga Berencana (KB)


Pelayanan KB yang dijamin meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan
tubektomi dimana BPJS akan bekerjasama dengan lembaga terkait.

4. Skrining kesehatan
Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi
resiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari resiko penyakit tertentu.

K. Pembiayaan BPJS
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan (pasal 16,
Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan).
Tarif Kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka oleh BPJS
Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkanjumlah peserta yang terdaftar
tanpa memperhitungkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang diberikan.
Tarif Non Kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatankepada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama berdasarkan jenis dan jumlahpelayanan kesehatan yang
diberikan.
Tarif Indonesian - Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG’sadalah
besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FasilitasKesehatan Tingkat Lanjutan
atas paket layanan yang didasarkan kepadapengelompokan diagnosis penyakit.

L. Pembayar Iuran
1) Bagi Peserta PBI, iuran dibayar oleh Pemerintah.
2) Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan
Pekerja.
3) Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar
oleh Peserta yang bersangkutan.
4) Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan melalui Peraturan Presiden
dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, dan
kebutuhan dasar hidup yang layak.
M. Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase
dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima
upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal
10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya.
Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen)
perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja.
Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran
JKN pada setiap bulan yang dibayarkan palinglambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada
BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran JKN sesuai dengan Gaji atau
Upah Peserta. Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan
memberitahukan secara tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja sejak diterimanya iuran.
Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran
bulan berikutnya. Iuran premi kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan pekerja informal. Besaran iuran bagi pekerja bukan penerima upah itu adalah
Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500
untuk kelas I.

N. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan


BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas Kesehatan tingkat pertama dengan
Kapitasi. Untuk Fasilitas Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar dengan
sistem paket INA CBG’s.
Mengingat kondisi geografis Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau
dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan
Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme
lain yang lebih berhasil guna.
Semua Fasilitas Kesehatan meskipun tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan
wajib melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan gawat daruratnya teratasi
dan pasien dapat dipindahkan, maka fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas
kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
BPJS Kesehatan akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin
kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara dengan tarif yang berlaku di
wilayah tersebut.

3. Peran Perawat Dalam Program SKN


Perawat dalam sistem kesehatan tidak lain adalah berupaya mewujudkan sistem
kesehatan yang baik, sedemikian rupa sehingga di satu pihak penyelenggaraan pelayanan
kesehatan (health services) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kesehatan (health needs and
demands) masyarakat, serta di pihak lain biaya pelayanan kesehatan (health cost) sesuai dengan
kemampuan ekonomi masyarakat (ability to pay). Untuk dapat terselenggaranya sistem
kesehatan yang baik, yang perawat profesional serta pelayanan keperawatan merupakan salah
satu dari kunci pokoknya, semua elemen peran perawat profesional, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Doheny, Cook dan Stopper (1982), yakni :
1. pemberiasuhan keperawatan
2. advokat
3. konselor
4. pendidik
5. coordinator
6. kolaborator
7. konsultan
8. pembawa perubahan
harus dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Aplikasinya tidak terbatas hanya pada waktu
berhadapan dengan klien dikamar praktek saja (sehat atau sakit), tetapi yang terpenting lagi
adalah pada waktu menyelenggarakan sub-sistem pelayanan kesehatan serta sub-sistem
pembiayaan kesehatan secara keseluruhan. Untuk terselenggaranya sub-sistem pelayanan
kesehatan yang baik, kedelapan elemen peran perawat profesional sebagaimana dikemukakan
diatas, harus dapat diarahkan sedemikian rupa sehingga pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan, yang dalam hal ini adalah pelayanan keperawatan, dapat memenuhi kedelapan
syarat sub-sistem pelayanan kesehatan yang baik, yakni tersedia (available), menyeluruh
(comprehensive), terpadu (integrated), berkesinambungan (countinue), wajar (appropriate), dapat
diterima (acceptable), Tercapai (accesible), serta bermutu (quality)
Hal yang sama juga berlaku pula untuk sub-sistem pembiayaan kesehatan. Untuk
terselenggaranya sub-sistem pembiayaan kesehatan yang baik, kedelapan elemen peran perawat
profesional sebagaimana dikemukakan diatas, harus dapat diarahkan pula sedemikian rupa
sehingga biaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang dalam hal ini adalah biaya
pelayanan keperawatan, dapat memenuhi keempat syarat sub-sistem pembiayaan kesehatan yang
baik, yakni tersedia (available), terjangkau (affordable), efektif (effective) dan efisien (efficient).
Secara singkat peran perawat profesional dalam sistem kesehatan dapat digambarkan dalam
bagan sebagai berikut: No. Elemen peran perawat Sub-sitem pelayanan kesehatan Sub-sistem
pembiayaan kesehatan Pemberi asuhan keperawatan menyeluruh Tersedia Tersedia Advokat
Terpadu Efektif Konselor Berkesinambungan Efisien Pendidik Wajar Koordinator Dapat
diterima Kolaborator Dapat dicapai Konsultan Bermutu Pembawa perubahan Jika diperhatikan
sistem kesehatan sebagaimana yang ditemukan di Indonesia saat ini, secara jujur haruslah diakui
bahwa peran perawat profesional dalam turut menyempurnakan sub-sistem pelayanan kesehatan
dan sub-sistem pembiayaaan kesehatan belumlah begitu menggembirakan. Penerapan peran
perawat profesional dalam sistem kesehatan masih terbatas hanya pada waktu berhadapan
dengan klien saja. Inipun masih dalam lingkup bangsal-bangsal rumah sakit. Banyak faktor yang
berperan sebagai penyebab masih rendahnya peran perawat tersebut. Beberapa diantaranya yang
dipandang penting adalah:
1. Karena terlambatnya pengakuan body of knowledge profesi keperawatan Untuk Indonesia
pengakuan tersebut baru terjadi pada tahun 1985, yakni ketika Program Studi Ilmu Keperawatan
untuk pertama kali dibuka di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Padahal di banyak
negara maju pengakuan body of knowledge tersebut telah lama ditemukan. Setidak-tidaknya
sejak tahun 1869, yakni ketika Florence Nightingale untuk pertama kali memperkenalkan teori
keperawatan yang menekankan pentingnya faktor lingkungan. Dalam keadaan ini tidak
mengherankan jika peran perawat dalam sistem kesehatan tampak belum menonjol.
2. Karena terlambatnya mengembangkan pendidikan keperawatan profesional Benar bahwa
untuk Indonesia pendidikan keperawatan dalam bentuk Sekolah Perawat Kesehatan dan/ataupun
Akademi Perawat telah lama dikenal. Tetapi pendidikan keperawatan yang selama ini dilakukan
tidak didasarkan pada body of knowledge profesi keperawatan. Pendidikan keperawatan yang
dilaksanakan pada waktu itu, karena desakan kebutuhan akan tenaga medis, ternyata lebih
diarahkan pada pendidikan asisten dokter. Dalam keadaan ini tidak mengherankan jika peran
perawat dalam sistem kesehatan tampak belum optimal.
3. Karena terlambatnya mengembangkan sistem pelayanan keperawatan profesional Jika ditinjau
pelbagai masalah profesi keperawatan yang ditemukan pada saat ini, terlambatnya
mengembangkan sistem pelayanan keperawatan dipandang merupakan masalah yang amat
pokok. Karena sampai saat ini harus diakui, kejelasan pelayanan keperawatan memang belum
dimiliki. Tidak hanya yang menyangkut bentuk praktek keperawatan, tetapi juga kewenangan
para penyelenggaranya. Akibatnya tidak mengherankan jika sampai saat ini, peran perawat
profesional dalam sistem kesehatan tampak belum begitu berarti

4. Peran Perawat Dalam Program BPJS


Pada dasarnya dalam JKN perawa sebagai bagian dari SDM pemberi pelayanan
kesehatan di sarana pelayanan primer maupun rujukan, sehingga dengan pembiayaan kapitasi,
perawat sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan akan dilihat apa yang dilakukan sesuai
tupoksinya, sebagai contoh dalam pembahasan kapitasi pelayanan JKN di puskesmas perawat
dapat melakukan kegiatan terkait dengan pelaksanaan dalam membantu proses pelayanan pasien
BPJS. Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain :
1. Entry data ke dalam software INA-CBGs dilakukan oleh perawat di ruangan dan
poliklinik, jika software INA-CBGs telah diinstall di server rumah sakit dan aplikasi
sudah bisa diakses melalui local network rumah sakit.
2. Perawat ikut membantu dalam melakukan coding dalam penentuan diagnosa dan
prosedur (ICD X dan ICD IX) dengan melakukan diskusi dengan DPJP, sehingga
diharapkan akan menurunkan kesalahan dalam coding yang dilakukan coder.
3. Terlibat secara aktif dalam monitoring berkas terutama berkas pemeriksaan, kelengkapan
data penunjang untuk menentukan grouper, kelengkapan diagnosa primer dan sekunder,
kelengkapan assesmen medis dll.
4. Terlibat secara aktif dalam verifikasi data sebelum proses assembling.
5. Melakukan monitoring coding setelah verifikasi sebagai bahan evaluasi dalam penentuan
grouper yang lebih tepat.
6. Terlibat aktif dalam pelayanan One Day Service JKN, terutama untuk pasien yang naik
kelas, sehingga pembayaran selisih biaya yang ditanggung oleh pasien yang naik kelas
tidak menunggu 1 bulan baru dibayar, karena proses verifikasi oleh BPJS dapat dilakukan
sebelum pasien pulang.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/293511909/Peran-Perawat-Dalam-Bpjs

https://www.academia.edu/36757807/MAKALAH_SISTEM_KESEHATAN_NASIONAL_INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai