Anda di halaman 1dari 18

1

DESENTRALISASI KESEHATAN: TANTANGAN DAN DAYA UNGKITNYA


TERHADAP PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA
Oleh :
Iwan Stia Budi, S.KM.,M.Kes
Disampaikan dalam seminar kenaikan jabatan fungsional dari Lektor ke Lektor Kepala
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya 2013

ABSTRAK
Desentralisasi kesehatan merupakan bentuk pembagian urusan pemerintahan di
bidang kesehatan dari pemerintah pusat ke daerah. makalah ini bertujuan menganalisis
tantangan/permasalahan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia dan bagaimanakah
dampaknya terhadap pembangunan kesehatan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan
bahwa pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia terdapat banyak hambatan baik
level individu maupun organisasi (pemerintah daerah) sehingga menyebabkan disparitas yang
tinggi antar daerah dalam upaya pembangunan kesehatan. Namun demikian terdapat
beberapa perubahan yaitu 1) upaya kesehatan khususnya cakupan pertolongan persalinan dan
tenaga penolong persalinan. 2) ada perubahan jumlah kuantitas sumber daya manusia
kesehatan namun perbandingan antara jumlah tenaga medis, perawatan dan kesehatan
masyarakat tidak seimbang (seharusnya lebih banyak tenaga kesehatan masyarakat).
PENDAHULUAN
Otonomi daerah sejatinya merupakan pemberian kewenangan dari pemerintah pusat
kepada daerah untuk membuat kebijakan dalam mengelola dan mengatur daerah guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun tidak semua kewenangan yang diberikan
oleh pemerintah pusat, secara prinsip otonomi daerah diharapkan mampu meningkatkan
pelayanan publik, daya saing serta potensi dan keanekaragaman yang dimiliki daerah agar
dikelola secara arif guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Melalui otonomi daerah,
diharapkan pengambilan keputusan menjadi lebih cepat sehingga efisiensi dan efektifitas
pelayanan publik dapat ditingkatkan.1
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah, terdapat pembagian urusan pemerintahan
antara pemerintah pusat dan daerah. Urusan pemerintahan yang tetap menjadi kewenangan
pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter, yustisi.
Disamping itu terdapat urusan pemerintahan yang penanganannya dilaksanakan bersama
antara pemerintah pusat dan daerah. Pembagian urusan pemerintahan yang demikian ini, ada
yang bersifat wajib dan pilihan. Bersifat wajib meliputi urusan pemerintahan yang berkaitan
dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup

minimal, prasarana lingkungan dasar. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan
terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah.2
Desentralisasi kesehatan merupakan bentuk pembagian urusan pemerintahan di
bidang kesehatan dari pemerintah pusat ke daerah. Selama ini ada pandangan bahwa sistem
sentralisasi cenderung kurang memenuhi kebutuhan masyarakat dan desentralisasi yang
menghasilkan unit pemerintahan yang lebih kecil dianggap serbagai solusi untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.3 Tidak di sadari, sudah 12 tahun
lamanya desentralisasi kesehatan di Indonesia sudah diterapkan. Dibalik tingginya harapan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata terdapat banyak tantangan dalam
pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 ditemukan banyak kesenjangan antara
daerah di Indonesia dalam hal pembangunan kesehatan. Sebagai contoh cakupan pemeriksaan
kehamilan, secara nasional sebesar 83,8% (kisaran 44,1- 98,4). Namun jika dilihat
berdasarkan provinsi yang cakupan pemeriksaan kehamilan dilakukan oleh tenaga kesehatan
masih rendah adalah Gorontalo (44,1%), Maluku Utara (54%) dan Sulawesi Tenggara
(56,4%).4Data ini menunjukkan bahwa meskipun sudah ada regulasi baru yaitu desentralisasi
kesehatan, namun masih banyak kendala yang harus di hadapi oleh daerah. Makalah ini
secara khusus mengupas apa saja tantangan dan kendala pelaksanaan desentralisasi dan apa
daya ungkitnya terhadap pembngunan kesehatan setelah 12 tahun lamanya diterapkan.

TUJUAN
Secara umum makalah ini bertujuan menganalisis tantangan/permasalahan
pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia dan bagaimanakah dampaknya terhadap
pembangunan kesehatan khususnya bila di tinjau dari aspek upaya kesehatan, sumber daya
manusia kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat.

METODE YANG DIGUNAKAN


Metode yang digunakan adalah studi literatur yaitu mengkaji jurnal hasil penelitian
sebelumnya/hasil pemikiran pakar

yang terkait dengan tantangan/permasalahan maupun

dampak pelaksanaan desentralisasi terhadap pembangunan kesehatan dan selanjutnya


dilakukan pembahasan sesuai dengan konsep atau teori yang relevan.

TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Kesehatan
Sistem Kesehatan terdiri dari berbagai subsistem yang saling terkait. Menurut
WHO, Sistem Kesehatan terdiri dari organisasi, masyarakat dan berbagai langkah yang
tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan, memperbaiki dan menjaga kesehatan.
Secara garis besar menurut WHO, sistem kesehatan terdiri dari berbagai subsistem yaitu
pelayanan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, informasi kesehatan, ObatObatan dan Teknologi, Finansial, kepemimpinan dan tata kelola serta masyarakat
sebagai kekuatan pendorong sistem kesehatan tersebut. berikut ini merupakan kerangka
sistem kesehatan menurut WHO:5
Services Delivery
Health Workforce

Acces Coverage

Improved Health

Health Information

Responsiveness

Medical Technologies

Social & Financial


Risk Risk Protection

Financial

Quality Safety
Improved Efficiency

Leadership/Governance

Tujuan adanya sistem kesehatan adalah untuk meningkatkan kesehatan dimana


untuk mencapainya tidak hanya melalui penyediaan palayanan kuratif dan preventif
tetapi juga melalui perlindungan dan promosi kesehatan masyarakat, kesiapsiagaan
terhadap keadaan darurat dan kerja sama lintas sektoral. Sistem kesehatan
diselenggarakan pada berbagai level, baik makro, meso dan mikro. Level makro pada
umumnya mencakup secara keseluruhan (nasional) sebagai jaringan keputusan yang
saling berhubungan untuk membentuk suatu strategi atau tujuan tertentu. Level meso
merupakan kebijakan yang mencakup semua masalah kesehatan pada tingkat regional.
Sedangkan level micro hanya mencakup pada satu organisasi atau instansi tertentu.
Berikut ini adalah peran sistem kesehatan di setiap level.6
1. Level Makro :
a. Sebagai penyeimbang kebijakan, strategi, alokasi sumberdaya, sistem reward
tenaga kesehatan pada semua tujuan sistem

b. Mengkoordinasikan seluruh fungsi dan kegiatan pelayanan dan intervensi


c. Mengembangkan kebijakan dan regulasi
d. Melibatkan semua pelaku sistem kesehatan termasuk masyarakat
e. Berinteraksi dengan lembaga nasional lain sehingga berpengaruh terhadap
kesehatan serta lembaga internasional dan langkah pelaksanaannya
2. Level Meso
a.

Merespon kebutuhan local dan keadaan yang berhubungan dengan penyediaan


pelayanan kesehatan dan aktivitas promosi kesehatan yang lebih luas

b.

Berkoordinasi dengan semua pihak (aktor lokal) terlibat

c.

Manajemen pelayanan kesehatan, kegiatan dan kesehatan provider

d.

Melakukan supervise dan pelatihan yang berkaitan dengan pelayanan yang


diberikan provider

e.

Menyesuaikan dengan pedoman dan kebijakan nasional untuk keadaan local.

3. Level Micro
a. Mneyediakan pelayanan kesehatan dan program promosi
b. Mengembangkan form baru tentang interaksi provider-pasien
c. Mengembangkan koordinasi yang lebih luas antara agen sistem kesehatan dan
penduduk
d. Melakukan pengambilan keputusan dan kepemimpinan terhadap seluruh
komponen sistem kesehatan
Sistem kesehatan mencakup tidak hanya berbagai macam komponen sistem kesehatan
tetapi juga interaksi antar komponen dan antara individu yang terlibat dalam sistem.6
Sebuah sistem kesehatan berfungsi dengan baik jika dapat merespon dengan seimbang
kebutuhan dan harapan masyarakat dengan cara 7:
1.

Meningkatkan status kesehatan individu, keluarga dan masyarakat

2.

Melindungi masyarakat dari hal-hal yang dapat mengancam kesehatannya

3.

Melindungi masyarakat dari konsekuensi keuangan yang disebabkan adanya


gangguan kesehatan

4.

Menyediakan akses pelayanan kesehatan yang adil

5.

Melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada


kesehatannya dan sistem kesehatan.
Di Indonesia, pembangunan kesehatan dalam dasawarsa terakhir masih

menghadapi berbagai masalah yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Adanya perubahan
lingkungan strategis seperti diberlakukannya undang-undang nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang


perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta adanya perubahan
global untuk percepatan pencapaian MDGs memberikan dampak tersendiri khususnya
penyelenggaraan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang merupakan bentuk dan cara
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Indonesia. Sistem Kesehatan Nasional terdiri
dari beberapa sub sistem yaitu upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya
kesehatan, sediaan farmasi alat kesehatan dan makanan, manajemen dan informasi
kesehatan, pemberdayaan masyarakat. 8

B. Pendelegasian Kewenangan
Pendelegasian kewenangan dilakukan karena manajer tidak akan mampu
menyelesaikan pekerjaan seorang diri.9 Secara prinsip kewenangan terdiri dari 3
komponen dasar yaitu: authority, responbility, accountability. Jika dilihat dari
tingkatannya kewenangan di bedakan menjadi 3 yaitu kewenangan lini, staf dan
fungsional. Tidak adanya pelimpahan kewenangan kepada bawahan disebut sentralisasi.
Sentralisasi adalah merujuk kepada cara pengorganisasian dimana keseluruhan tugas,
tanggung jawab, dan perintah dipusatkan dari hirarki yang paling tinggi untuk kemudian
hirarki yang dibawahnya menerjemahkan dalam bentuk tindak lanjut dari apa yang telah
diputuskan dari hirarki yang tertinggi. Berikut ini adalah jenis-jenis desentralisasi:10
1. Dekonsentrasi : Penyerahan sejumlah kewenangan dan tanggungjawab admninistrasi
kepada pemerintah lebih rendah. Dekonsentrasi melahirkan local state government
atau field administration
2. Devolusi : Penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada tingkat
pemerintahan lokal yang otonom.Terbentuk lokal self government (kewenangan
untuk mengatur (policy making) dan kewengan untuk mengurus (policy
implementing)
3. Tugas pembantuan : Kewenangan untuk mengatur (policy making) masih milik
pemerintah daerah sedangkan kewengan untuk mengurus (policy implementing)
diberikan pada daerah.
Kendala dalam Pelimpahan Wewenang
a. Kapasitas Staf yang terbatas
b. Kurang bertanggung jawabnya atasan akibat pelimpahan wewenang
Kunci Pelimpahan Wewenang agar Efektif
a. Kepercayaan atasan pada bawahan

b. Komunikasi terbuka antara atasan dengan bawahan


c. Kemampuan manajer dalam memahami tujuan organisasi, tuntutan pekerjaan,
dan kemampuan bawahan
Tindakan agar Wewenang Efektif
a. Penentuan hal-hal yang dapat didelegasikan
b. Penentuan orang yang layak untuk menerima delegasi
c. Penyediaan sumber daya yang dibutuhkan
d. Pelimpahan tugas yang akan diberikan
e. Intervensi pada saat yang diperlukan
C. Manajemen Perubahan.
Manajemen perubahan adalah membuat sesuatu menjadi lain dimana dilakukan kegiatan
perubahan yang terencana dan berorientasi pada tujuan. Untuk melakukan manajemen
perubahan diperlukan kekuatan perubahan yaitu internal forces ( kinerja pegawai) dan
eksternal forces seperti, teknologi, ekonomi, kompetisi, social trend, market factors.11
Sesuai dengan teori Kurt Lewin, manajemen perubahan diawali dengan proses
Unfreezing-Changing- Refreezing. Setiap perubahan menimbulkan konskuensi berupa
resistensi baik yang berasal dari organisasi maupun individu dan bahkan tidak jarang
sampai timbul konflik. Beberapa alasan adanya resistensi individu yaitu habit, security,
economic factors, fear of the unknown, selective information prossesing. Sedangkan
alasan resistensi organisasi adalah structural inertia, limited focus of changes, group
inertia, threat to expertise, threat to established power relationships, threat to establish
resources allocation.12 Untuk melakukan perubahan membutuhkan agent of change.
Upaya yang diperlukan untuk memanage perubahan adalah 12
1. Communication
2. Provide Support
3. Reward Acceptance of Change
4. Create Learning Organization
5. Organizational Development : respect for people, trust and support, power
equilization, confrontation, participation.
Di Indonesia, dengan diberlakukannya UU No 22 tahun 1999 merupakan
tonggak awal pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan bentuk
pelimpahan kewenangan pemerintah pusat dan kepada daerah. Selanjutnya undang-undang
ini disempurnakan dengan lahirnya undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah. Desentralisasi kesehatan merupakan salah satu bentuk pelimpahan kewenangan

pemerintah pusat kepada daerah. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian yang
berkaitan dengan desentralisasi kesehatan di Indonesia.
Tabel 1. Peta Analisis Hasil Kajian Sebelumnya Mengenai Pelaksanaan Desentralisasi di
Indonesia
No
Penulis (tahun) dan Judul
Ruang lingkup
Hasil Ilmiah
penelitian
A. Laporan sebelum desentralisasi
dan Periode 2001-2006/2007
Laporan Riskesdas (1997)13
Tempat para ibu a. Regional jawa bali :
1
Di rumah responden
memperoleh
(65,8%), bidan (9,7%),
pelayanan kebidanan
Puskesmas (2,5%)
(melahirkan)
rumah sakit (5,8%),
lainnya (
b. Di Luar jawa-bali I
Di rumah responden
(69,4%), bidan (3,5%),
Puskesmas (2,4%)
rumah sakit (6,3%),
lainnya (
c. Di Luar Jawa-Bali II
Di rumah responden
(75,8%), bidan (1,1%),
Puskesmas (1,6%)
rumah sakit (8%),
lainnya (

Heywood, P & Choi (2010).Health


system performance at the district
level in
Indonesia after decentralization.14
BMC International Health and
Human Rights 2010,
http://www.biomedcentral.com/1472698X/10/3

Membandingkan
pelayanan antenatal
care sebelum dan
sesudah
desentralisasi di 2
Provinsi yaitu Jawa
Tengah dan Jawa
Timur
(10
kabupaten).
Penelitian
ini
dilakukan pada tahun
2006

Heywood, P& Harahap, NP


(2009). Human resources for
health at the district level in
Indonesia: the
smoke and mirrors of
decentralization . 15Human
Resources for Health 2009,
http://www.human-resourceshealth.com/content/7/1/6

Menganalisis
ketersediaan
sumberdaya manusia
kesehatan
di
15
Kabupaten (di jawa
barat, jawa tengah,
dan jawa timur,
status
pekerjaan,
tempat bekerja serta
dampak

Tidak ada perubahan


signifikan pemanfaatan
pelayanan
antenatal
care baik di sektor
public maupun swasta.
Terjadi
penurunan
proporsi imunisasi TT
ibu
hamil
yang
signifikan
setelah
desentralisasi
yaitu
kabupaten
Cilacap,
Trenggalek
dan
Pamekasan.
Tingkat perbandingan
jumlah
provider
dengan populasi (1000)
sangat rendah yaitu 11
dari 15 kabupaten
mempunyai
tingkat
perbandingan < 1
padahal
menurut
standar
WHO:
2,5/1000
penduduk.

Bangsawan,M(2001).
Faktor-faktor yang berhubungan
dengan keaktifan kader Posyandu di
Kecamatan Teluk Betung Barat Kota
Bandar Lampung.Tesis. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. 16

Mastuti (2003).Studi Uji Hubungan


Beberapa Faktor Kader Yang
Berhubungan Dengan Kelangsungan
Kader Posyandu Di Kecamatan
Panjatan Kabupaten Kulon Progo
Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta Bulan Maret 2003.
Undergraduate thesis, Diponegoro
University. 17

6.

Laporan Riskesdas(2007)18

desentralisasi
terhadap manajemen
sumber
daya
manusia.
Menganalisis
keaktifan
kader
dalam
kegiatan
posyandu dan faktorfaktor
yang
mempengaruhinya.

Banyak
provider
dengan status kontrak.

Menganalisis
keaktifan
kader
posyandu dan faktorfaktor
yang
berhubungan dengan
keberlangsungan
kader posyandu

Sampai awal tahun 2002


drop out kader di
Kecamatan Panjatan
Kabupaten Kulon Progo
masih cukup tinggi yakni
sebesar 36,6%.

Dari hasil penelitian di


ketahui bahwa dari 150
orang kader aktif dari
seluruh posyandu yang
ada di kecamatan Teluk
betung Barat Kota
Bandar Lampung hanya
66,7% kader posyandu
aktif melakukan kegiatan
posyandu

Tenaga
penolong a. NTT, Maluku,
Maluku Utara, Papua
persalinan,
Barat, Papua
pemanfaatan
mayoritas di tolong
posyandu,
Bidan
dukun, bidan
Desa

b. Pemanfaatan
posyandu :
Secara nasional
27,3%
memanfaatkan, 72,
8% tidak
memanfaatkan)
alasan tidak
memanfaatkan adalah
layanan tidak lengkap
(49,6%), tidak ada
posyandu (24,3%)
dan 26,1 % letaknya
jauh
c. Pemanfaatan Bidan
Desa : 21,9%
memanfaatkan,
78,1% tidak
memanfaatkan

Laporan Periode 2010-2011

Laporan Riskesdas(2010)19

Pelayanan Antenatal Secara nasional ;


Care dan tenaga a. Cakupan
penolong persalinan
pemeriksaan

Profil
Kesehatan
20
(2011).

Indonesia 1. Kunjungan
ibu
hamil (k1 dan k4)
serta
tenaga
penolong
persalinan.
2. Jumlah
tenaga
kesehatan
3. IPM

kehamilan sebesar
83,8%
(kisaran
44,1- 98,4). Namun
jika
dilihat
berdasarkan
provinsi
yang
cakupan
pemeriksaan
kehamilan
dilakukan
oleh
tenaga
kesehatan
masih
rendah
adalah Gorontalo
(44,1%),
Maluku
Utara (54%) dan
Sulawesi Tenggara
(56,4%)
b. Imunisasi
TT:
66,2%, BB: 89,6%,
TB:48,5%,
TD:88,4%, Tablet
Fe:86,1%,
Tingg
Fundus
uteri;
28,6%, 5T:19,9%
dan
Pemeriksaan
darah: 85,9%
a. K1 : 95,71%,
K4 : 88, 27%
b. Persalinan
di
tolong
oleh
nakes : 86,38%
c. SDM kesehatan
Dokter spesialis :
16.836
Dokter
umum:
32.492
Perawat : 220.575
Bidan ; 124.164
SKM: 45.490
Perkelompok :
Medis : 59.492
Keperawatan
234.176
Bidan : 124.162
Kesmas: 61.654

d. Peringkat IPM 2010:


108
Peringkat IPM 2011:

10

Laporan
pencapaian
pembangunan
millennium
Indonesia 2010. Bappenas.21

MDGs 4 dan 5

124
MDGs 4 :
Angka kematian balita
telah menurun dari 97
per 1.000 kelahiran
pada tahun 1991
menjadi 44 per 1.000
kelahiran pada tahun
2007 dan diperkirakan
target 32 per 1.000
kelahiran
pada tahun 2015 dapat
tercapai

MDgs 5
Angka kematian ibu
menurun dari 390 pada
tahun 1991 menjadi
228 per 100.000
kelahiran hidup pada
tahun 2007. Diperlukan
upaya keras untuk
mencapai target pada
tahun
2015 sebesar 102 per
100.000
kelahiran
hidup
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Desentralisasi Kesehatan Di Indonesia
Sejak diberlakukannya desentralisasi kesehatan, terdapat beberapa permasalahan
yang muncul yaitu salah satunya berkaitan dengan penyediaan sumber daya manusia
kesehatan yaitu:3
a. Pemerintah daerah cenderung lebih mengutamakan upaya kuratif daripada preventif.
Hal ini di tandai dengan kecenderungan pemerintah daerah membangun atau
memperbaiki infrastruktur rumah sakit daripada infrastruktur kesehatan masyarakat.
Sebagai dampaknya pemerintah daerah lebih prihatin terhadap kekurangan tenaga
medis (dokter/dokter spesialis) daripada tenaga kesehatan masyarakat. Bahkan
pemerintah daerah rela membayar mahal kontrak pendidikan dokter spesialis dengan
perguruan tinggi untuk memastikan bahwa persediaan tenaga medis di daerah tersebut
aman di masa depan. Hambatan lainnya adalah adanya persepsi yang berkembang di

11

masyarakat bahwa yang namanya kesehatan selalu berhubungan dengan masalah


medis.
b. Menciptakan pangsa pasar pelayanan medis dan perawatan jauh lebih mudah daripada
pelayanan kesehatan masyarakat.
Tidak adanya keuntungan financial secara langsung dari upaya kesehatan masyarakat
merupakan penyebab sulitnya menciptakan pangsa pasar pelayanan kesehatan
masyarakat. Hal ini menyebabkan rendahnya prioritas pelayanan kesehatan
masyarakat di daerah.
c. Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah
Selain berdampak terhadap rendahnya prioritas pelayanan kesehatan masyarakat,
keterbatasan dana juga menyebabkan sulitnya mengelola sumber daya kesehatan
misalnya gaji/insentif. Banyak tenaga kesehatan seperti dokter/dokter spesialis, bidan
desa pindah ke kota besar untuk memperoleh gaji/insentif yang lebih besar.
Selanjutnya menurut Pudjirahardjo, kendala dilaksanakannya desentralisasi
kesehatan adalah keterbatasan melakukan analisis kebijakan ditingkat daerah. Kendala
lainnya yaitu penetapan skala prioritas daerah belum memperhatikan kebutuhan
kelompok miskin, daerah tertinggal/terpencil/ kepulauan/perbatasan, kawasan industri,
daerah cakupan rendah dan pola pikir pengelola yang terkotak-kotak menyebabkan
fragmentasi dalam perencanaan dan penganggaran, pengorganisasian dan penggerakan.22
Permasalahan lainnya adalah rendahnya mutu pelayanan dan rendahnya incentive bagi
provider kesehatan di daerah.

PEMBAHASAN
Desentralisasi kesehatan jika dikaji berdasarkan teori merupakan bentuk
manajemen perubahan pemerintah Indonesia yang sebelumnya menganut sistem
sentralisasi menjadi desentralisasi dengan tujuan utama percepatan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Setiap perubahan selalu diawali dengan kekuatan perubahan.
Di Indonesia kekuatan perubahan terutama berasal dari lingkungan eksternal yaitu adanya
perubahan

lingkungan

strategis

(tuntutan

pencapaian

MDGs,

perubahan

tata

pemerintahan) sangat mendukung terjadinya manajemen perubahan. Dalam upaya


perubahan di Indoensia maka agen of change yang dimaksud adalah daerah
(provinsi/kabupaten) yang selanjutnya diberi pelimpahan kewenangan (otonomi daerah).
Selengkapnya dapat dipelajari pada bagan berikut ini.

12

Kekuatan Perubahan : adanya perubahan lingkungan


strategis yaitu pencapaian MDgs dan perubahan tata
pemerintahan
Unfreezing :
Indonesia merupakan negara dengan karakteristik lokal yang
sangat kuat sedangkan sistem yang berkembang adalah
sentralisasi sehingga peluang untuk mengelola daerah agar
lebih optimal sangat terbatas

Changing:
Agen perubahan adalah Pemerintah Daerah (Provinsi dan
Kabupaten)

Refreezing:
Sistem baru : Desentralisasi Kesehatan

Dampak Perubahan:

Dampak Perubahan :

Timbulnya resistensi baik individu maupun


organisasi.

Tercapainya Pembangunan Kesehatan di


Indonesia

Gambar 1. Perubahan sistem sentralisasi manjadi sistem desentralisasi


Berdasarkan gambar 1, maka dampak perubahan tidak hanya tercapainya pembangunan
kesehatan di Indonesia tetapi juga resistensi yang ditimbulkan. Resistensi Individu seperti
kualitas sumber daya manusia kesehatan dan rendahnya insentive provider, persepsi
masyarakat tentang kesehatan.14 Resistensi dari segi organisasi misalnya kapasitas
pemerintah daerah (penyediaan dana, kemampuan melakukan analisis kebijakan,
kemampuan membuat rencana strategis dan operasional).3,22 Jika di telaah lebih jauh
penyebab banyaknya resistensi pelaksanaan desentralisasi kesehatan adalah ketersediaan
sumber daya manusia yang berkualitas di daerah. Menyadari permasalahan tersebut,
pemerintah sadar bahwa perlu keterlibatan pendidikan tinggi untuk ikut andil dalam
menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal ini ditandai dengan
dikeluarkannya kebijakan kurikulum perguruan tinggi yaitu SK Mendiknas No.

13

232/U/2000 23dan No. 045/U/2002 24serta akreditasi perguruan tinggi oleh BAN Perguruan
Tinggi.
Penyebab lainnya munculnya permasalahan pelaksanaan desentralisasi di
daerah adalah perimbangan keuangan pusat dan daaerah terutama sistem tax assignment 25
yaitu masih didominasi pemerintah pusat. Berdasarkan UU No 33 tahun 2004 bahwa dana
bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil dari sumber daya
alam adalah kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi dan pertambangan gas bumi. Sistem bagi hasil yang sangat
mencolok untuk dikaji adalah sistem bagi hasil pertambangan minyak bumi (84,5% untuk
pemerintah dan 15,5% untuk daerah), gas bumi (69,5% untuk pemerintah, 30,5% untuk
daerah). Dari 15, 5% pendapatan daerah yang berasal dari minyak bumi masih di bagi lagi
yaitu 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% (enam persen)
dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan 6% (enam persen) dibagikan untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Sedangkan untuk gas bumi,
dari penerimaan 30,5% untuk daerah diperinci lagi menjadi 6% (tiga persen) dibagikan
untuk provinsi yang bersangkutan, 12% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota
penghasil; dan 12% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.

B. DAYA

UNGKIT

DESENTRALISASI

KESEHATAN

TERHADAP

PEMBANGUNAN KESEHATAN DI INDONESIA


Sistem Kesehatan Nasional merupakan bentuk dan tata cara penyelenggaraan
pembangunan kesehatan di Indonesia.3 Untuk menganalisis dampak desentralisasi terhadap
pembangunan kesehatan digunakan beberapa indikator yaitu upaya kesehatan, sumber
daya manusia kesehatan, serta pemberdayaan masyarakat. Berikut ini adalah peta analisis
mengenai pembangunan kesehatan di Indonesia baik sebelum era desentralisasi, 5 tahun
setelah era desentralisasi dan 10 tahun setelah era desentralisasi (Berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya)

14

Tabel 2. Pencapaian Pembangunan Kesehatan Sebelum Era Desentralisasi, 5 Tahun


Setelah Desentralisasi dan 10 Tahun Setelah Desentralisasi.
Indikator

Pencapaian Pembangunan Kesehatan


Keterangan
Sebelum
Era 5 tahun setelah 10
tahun
Desentralisasi
era
setelah
era
(tahun 1997)
desentralisasi
desentralisasi
(2006-2007)
(2010-2011)
Upaya Kesehatan
a. Rumah
pasien a. Pemanfaata a. Cakupan
Ada
(Tempat dan tenaga
menjadi tempat
n
sarana
pelayanan
perubahan
penolong
paling dominan
kesehatan
ante natal
persalinan)
sebagai tempat
sebagai
care tinggi
pelayanan
tempat
dengan
kebidanan/melah
pelayanan
cakupan
irkan
antenatal
terendah
b. Tenaga penolong
care tinggi
adalah
persalinan
: b. Tenaga
provinsi
dukun dan bidan
penolong
gorontalo,
persalinan
Maluku
c. Angka kematian
dukun
utara dan
ibu
:
(Indonesia
Sulawesi
390/100.000
timur),
tenggara
c. Pemanfaata b. Persalinan
n bidan desa
di
tolong
masih
oleh nakes
rendah
tinggi
d. Angka
c. Angka
kematian
kematian
ibu
:
ibu : belum
228/100.000
ada
informasi
SDM Kesehatan

Belum
informasi

ada a. Perbandinga
n
jumlah
SDM
kesehatan
dengan
populasi
penduduk
masih
rendah yaitu
tidak
mencapai
2,5/1000
penduduk
(SDM
kurang)
b. Banyaknya
tenaga
kontrak

Dokter
spesialis
:
16.836
Dokter
umum:
32.492
Perawat :
220.575
Bidan
;
124.164
SKM:
45.490
Perkelompok :
Medis
:
59.492
Keperawata
n : 234.176
Bidan
:

SDM
Kesehatan
sudah cukup
banyak
tetapi
orientasi
perencanaan
SDM
cenderung
pada upaya
kuratif
(ada
perubahan
dalam hal
kuantitas
tetapi
orientasi
perencanaan

15

Pemberdayaan
Masyarakat

Belum
informasi

ada

Keaktifan
kader
posyandu
rendah

124.162
Kesmas:
61.654
Keaktifan
kader
posyandu
rendah

kurang
tepat)
Tidak ada
perubahan

PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa untuk upaya kesehatan
khususnya antenatal care terjadi pergeseran tenaga penolong persalinan. Pada era sebelum
desentralisasi, yang menjadi tenaga penolong persalinan yang utama di Indonesia adalah
dukun. Seiring dengan perubahan zaman (modernisasi) keberadaan dukun semakin sedikit,
hal ini berpengaruh terhadap pola pencarian pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
Disamping itu dengan semakin gencarnya upaya promosi kesehatan melalui media, sedikit
banyak berpengaruh juga terhadap pola pencarian kesehatan masyarakat dalam melakukan
persalinan. Berdasarkan data Bappenas (2010), saat ini Indoensia berhasil menurunkan
angka kematian ibu dari dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2007 (SDKI) sedangkan target Indonesia adalah 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Demikian juga pertolongan persalinan di fasilitas
kesehatan terus meningkat secara bertahap. Pada tahun 2007, pertolongan persalinan di
fasilitas kesehatan mencapai 46,1 persen dari total persalinan pada tahun 2007. Angka
tersebut meningkat menjadi 59,4 persen pada tahun 2010.21Meskipun secara umum
Indonesia berhasil menurunkan angka kematian ibu, permaslahan yang masih terus
dihadapi Indoensia adalah disparitas yang tinggi antar daerah. Kenyataan ini menimbulkan
kesenjangan pencapaian pembangunan kesehatan di Indonesia. Jika di bandingkan dengan
angka kematian di Negara tetangga lainya seperti Malaysia dan singapura, jauh tertinggal
yaitu 62 per 100.000 kelahiran hidup di Malaysia dan 14 per 100.000 kelahiran hidup di
singapura tahun 2008.
Dari aspek sumber daya manusia juga mengalami perubahan permasalahan. Pada
era 1997 permasalahan sumber daya manusia kesehatan di Indonesia adalah kurangnya
sumber daya manusia kesehatan. Sedangkan pada era desentralisasi tepatnya tahun
2010/2011 permasalahannya adalah pendistribusian, kualitas dan tidak berimbangnya
jumlah sumber daya manusia dari kelompok medis/paramedic dengan kesehatan
masyarakat. Hal ini berakibat terhadap kurang maksimalnya pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan kesehatan masyarakat.20

16

Upaya yang harus dilakukan adalah penguatan sistem kesehatan. Penguatan sistem
kesehatan seperti sistem informasi kesehatan perlu dilakukan. Melalui data dan informasi
yang akurat maka dapat dilakukan perencanaan yang lebih tepat. Di samping itu melalui
data yang akurat dapat dilakukan monitoring dan evaluasi. Desentralisasi juga dianggap
sebagai strategi jitu untuk meningkatkan status kesehatan suatu Negara. Berdasarkan studi
kasus di Liberia, hambatan utama desentralisasi adalah keterbatasan sumberdaya dan
kemampuan untuk mengelola. Jika dibandingkan dengan Amerika serikat khususnya
pelayanan kesehatan masyarakat yaitu salah satunya dari segi pendanaan, infrastruktur.
Sumber pendanaan untuk pelayanan kesehatan masyarakat tidak hanya dari pemerintah
saja namun dari beberapa sumber lain yaitu federal, state, and local governments,
foundations, insurance payments, and patient and regulatory fees. 26

KESIMPULAN
Dalam upaya pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia terdapat banyak hambatan
baik level individu maupun organisasi (pemerintah daerah) sehingga menyebabkan
disparitas yang tinggi antar daerah dalam upaya pembangunan kesehatan. Terdapat
beberapa perubahan terkait pembangunan kesehatan setelah era desentralisasi yaitu 1)
upaya kesehatan khususnya cakupan pertolongan persalinan dan tenaga penolong
persalinan. 2) ada perubahan jumlah kuantitas sumber daya manusia kesehatan namun
perbandingan antara jumlah tenaga medis, perawatan dan kesehatan masyarakat masih
masih seimbang (seharusnya lebih banyak tenaga kesehatan masyarakat) 3) Kurangnya
pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan baik sebelum maupun sesudah
desentralisasi.

SARAN
1. Sebaiknya pemerintah daerah lebih memprioritaskan upaya kesehatan masyarakat
untuk lebih mendorong percepatan pengunan kesehatan di daerah
2. Sebaiknya pemerintah daerah menerapkan human resources management dalam
mengelola sumber daya manusia kesehatan di daerah
3. Adanya capacity building baik pada personel maupun kader untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia yang ada
4. Pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah termasuk
perimbangan keuangan antar pusat dan daerah.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. UU No 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah
2. Haris, Syamsudin (2007). Desentralisasi dan Otonomi Daerah.LIPI Press.Jakarta
3. Thabrany (2006). Human Resources in Decentralized Health Systemsin Indonesia:
Challenges for Equity. Regional Health Forum Volume 10, Number 1, 2006
4. Depkes RI(2010). Riset Kebijakan Dasar Puskesmas.Jakarta
5. WHO (2009).Systems Thinking For Health Systems Strengthening. Geneva. Switzerland.
6. Gilson, L( 2012).Health policy and systems research: a methodology reader.Publised by
World Health Organization.ISBN 978 92 4 150313 6
7. WHO (2010). Key components of a well functioning health system. Geneva. Switzerland
8. Depkes RI (2009). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta
9. Koontz (1984). Management. Prentice Hall.
10. Yuliani (2005). Decentralization, deconcentration and devolution: what do they mean.The
Interlaken Workshop on Decentralization, Switzerland.
11. Linda K Stroh (2002). Organizational Behavior : A Management Challenge. Third
Edition Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. London
12. Stephen P. Robbins (2002). Essentials of Organizational Behaviour. Seventh Edition.
Prentice Hall.
13. Depkes RI(1997). Riset Kesehatan Dasar.Jakarta
14. Heywood, P & Choi (2010).Health system performance at the district level in Indonesia
after decentralization. BMC International Health and Human Rights 2010,
http://www.biomedcentral.com/1472-698X/10/3
15. Heywood, P& Harahap, NP (2009). Human resources for health at the district level in
Indonesia: the smoke and mirrors of decentralization . Human Resources for Health
2009, http://www.human-resources-health.com/content/7/1/6
16. Bangsawan,M(2001). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keaktifan kader Posyandu
di Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung.Tesis. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
17. Mastuti (2003).Studi Uji Hubungan Beberapa Faktor Kader Yang Berhubungan Dengan
Kelangsungan Kader Posyandu Di Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta Bulan Maret 2003. Undergraduate thesis, Diponegoro
University.
18. Depkes RI (2007). Riset Kesehatan Dasar.Jakarta

18

19. Depkes RI (2010). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta


20. Depkes RI (2011). Profil Kesehatan Indonesia.Jakarta
21. Bappenas (2010).Laporan pencapaian pembangunan millennium Indonesia.Jakarta
22. Pudjirahardjo, Widodo., Sopacua. Kebijakan sebuah Kebutuhan Dalam Desentralisasi
Kesehatan.Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Surabaya. 2006. Volume 9 No 4 Oktober
2006.
23. SK Kemendiknas No 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan
Tinggi
24. SK Kemendiknas No. 045/U/2002 Tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi
25. UU No 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
26. Downie (2012) The Road to Recovery: Rebuilding Liberias Health System. A Report of
The CSIS Global Health Policy Center.Washington DC.

Anda mungkin juga menyukai