Anda di halaman 1dari 32

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN DAN

KEPERAWATAN

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah


Manajemen Strategi dan Kebijakan Kesehatan
Dosen Pengampu: Bambang Edi Warsito, S.Kp, M.Kes
Disusun oleh:
Kelompok IV
Hirza Ainin Nur

(22020115410048)

Nurisda Eva Irmawati

(22020115410059)

Nunung Rachmawati

(22020115410060)

Primiandrianza Prorenata (22020115410061)


Noor Ariyani

(22020115410073)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAK U LTAS K E D O K T E R A N
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar
masyarakat yang penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah
sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945
pasal 28 H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan Pasal 34 ayat
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pemerintah mewujudkan pelayanan kesehatan sesuai dengan
yang diamanatkan dalam UUD 1945, maka disusunlah beberapa
kebijakan dalam pelayanan kesehatan. Dalam setiap perumusan
kebijakan yang menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu
diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Betapa
pun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan
banyak berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut
paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke
dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih
dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang
memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle dalam Wahab, 1990:59).
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi
kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses
kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara
perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan dalam arti
walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses
implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang
semula baik akan menjadi jelek begitu pula sebaliknya. Dalam kaitan
ini, seperti dikemukakan oleh Wahab (1990:51), menyatakan bahwa

pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih


penting daripada pembuatan kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya
sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau
tidak mampu diimplementasikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
Bagaimana

implementasi

belakang
kebijakan

diatas

dirumuskan

pelayanan

masalah

kesehatan

dan

keperawatan ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui implementasi kebijakan pelayanan kesehatan
dan keperawatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
1. Definisi Implementasi Kebijakan
Menurut Patton dan Sawicki (1993) bahwa implementasi
berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk
merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur
cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan
kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir,
seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien
sumber daya, Unit-unit dan teknik

yang dapat mendukung

pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap


perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti
dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.
Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang
berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundangundangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu
kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur.
Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu
penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai
hasil melalui aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah.
(Tangkilisan, 2003:9)
Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood hal-hal
yang

berhubungan

keberhasilan

dalam

dengan

implementasi

mengevaluasi

masalah

kebijakan
dan

adalah

kemudian

menerjemahkan ke dalam keputusan-keputusan yang bersifat


khusus. (Tangkilisan, 2003:17). Sedangkan menurut Pressman dan
Wildavsky (1984), implementasi diartikan sebagai interaksi antara

penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai


tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam
hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk
mencapainya. (Tangkilisan, 2003:17). Jones (1977) menganalisis
masalah implementasi Kebijakan dengan mendasarkan pada
konsepsi

kegiatan-kegiatan

fungsional.

Jones

(1977)

mengemukakan beberapa dimensi dan implementasi pemerintahan


mengenai program-program yang sudah disahkan, kemudian
menentukan implementasi, juga membahas aktor-aktor yang
terlibat, dengan memfokuskan pada birokrasi yang merupakan
lembaga eksekutor. Jadi Implementasi merupakan suatu proses yang
dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha usaha untuk
mencari apa yang akan dan dapat di lakukan. Dengan demikian
implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada
penempatan suatu program kedalam tujuan kebijakan yang
diinginkan.
2. Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Implementasi Kebijakan
Rippley dan Franklin (1982) menyatakan keberhasilan
implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu:
a. Prespektif

kepatuhan

(compliance)

yang

mengukur

implementasi dari kepatuhan atas mereka.


b. Keberhasilan impIementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan
tiadanya persoalan.
c. Implementasi yang herhasil mengarah kepada kinerja yang
memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat
yang diharapkan.
(Tangkilisan, 2003:21)
Peters (1982) mengatakan, implementasi kebijakan yang
gagal disebabkan beberapa faktor:
a. Informasi

Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan


adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek
kebijakan maupun kepada para pelaksana dan isi kebijakan
yang akan dilaksankaannya dan basil-basil dan kebijakan itu.
b. Isi Kebijakan.
Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih
samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau
ketidak tegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri,
menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau
adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
c. Dukungan
Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pad
pelaksanannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.
d. Pembagian Potensi.
Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya
para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana
dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.
(Tangkilisan, 2003:22)
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle
(1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan, dan
lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup:
a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau termuat dalam
isi kebijakan;
b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group, sebagai contoh,
masyarakat di wilayah slum areas lebih suka menerima program
air bersih atau perlistrikan daripada menerima program kredit
sepeda motor;
c. Sejauhmana perubahan yang diinginkan dan sebuah kebijakan.
Suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku
kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada

program yang sekedar memberikan bantuan kredit atau bantuan


beras kepada kelompok masayarakat miskin;
d. Apakah letak sebuah program sudah tepat:
e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya
dengan rinci; dan
f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang
memadai.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup:
a. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang
dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi
kebijakan;
b. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa;
c. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
(Subarsono, 2005:93)
B. Pelayanan Kesehatan
1. Definisi
Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan
dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. definisi
pelayanan kesehatan menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo adalah
sebuah subsistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah
pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan
kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut Levey
dan Loomba (1973), Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang
diselenggarakan

sendiri/secara

organisasi

untuk

memelihara

mencegah,

dan

mencembuhkan

bersama-sama
dan

dalam

meningkatkan

penyakit

serta

suatu

kesehatan,
memulihkan

kesehatan peroorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.

Definisi Pelayanan Kesehatan menurut Depkes RI (2009)


adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit
serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok
masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami
bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan
banyak macamnya.
2. Macam-macam Pelayanan Kesehatan
a. Health promotion (promosi kesehatan)
Tingkat pelayanan kesehatan ini merupakan tingkat
pertama dalam memberikan pelayanan melalui peningkatan
kesehatan. Pelaksanaan ini bertujuan untuk meningkatkan status
kesehatan agar masyarakat atau sasarannya tidak terjadi
gangguan kesehatan. Tingkat pelayanan ini dapat meliputi,
kebersihan
pemeriksaan

perseorangan,
kesehatan

perbaikan
berkala,

sanitasi

penigkatan

lingkungan,
status

gizi,

kebiasaan hidup sehat, layanan prenatal, layanan lansia, dan


semua kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan status
kesehatan.
b. Specific protection (perlindungan khusus)
Perlindungan khusus ini dilakukan dalam melindungi
masyarakat dari bahaya yang akan menyebabkan penurunan
status kesehatan, atau bentuk perlindungan terhadap penyakitpenyakit tertentu, ancaman kesehatan, yang termasuk dalam
tingkat pelayanan kesehatan ini adalah pemberian imunisasi
yang digunakan untuk perlindungan pada penyakit tertentu
seperti imunisasi BCG, DPT, Hepatitis, campak dan lain-lain.
Pelayanan perlindungan keselamatan kerja dimana pelayanan
kesehatan yang diberikan pada seseorang yang bekerja di tempat

risiko kecelakaan tinggi seperti kerja di bagian produksi bahan


kimia, bentuk perlindungan khusus berupa pelayanan pemakaian
alat pelindung diri dan lain sebagainya.
c. Early diagnosis and prompt treatment (diagnosis dini dan
pengobatan segera)
Tingkat pelayanan kesehatan ini sudah masuk ke dalam
tingkat dimulainya atau timbulnya gejala dari suatu penyakit.
Tingkat pelayanan ini dilaksanakan dalam mencegah meluasnya
penyakit yang lebih lanjut serta dampak dari timbulnya penyakit
sehingga tidak terjadi penyebaran. Bentuk tingkat pelayanan
kesehatan ini dapat berupa kegiatan dalam rangka survei
pencarian kasus baik secara individu maupun masyarakat, survei
penyaringan kasus serta pencegahan terhadap meluasnya kasus.
d. Disability limitation (pembatasan cacat)
Pembatasan kecacatan ini dilakukan untuk mencegah
agar pasien atau masyarakat tidak mengalami dampak kecacatan
akibat penyakit yang ditimbulkan. Tingkat ini dilaksanakan pada
kasus atau penyakit yang memiliki potensi kecacatan. Bentuk
kegiatan yang dapat dilakukan dapat berupa perawatan untuk
menghentikan penyakit, mencegah komplikasi lebih lanjut,
pemberian segala fasilitas untuk mengatasi kecacatan dan
mencegah kematian.
e. Rehabilitation (rehabilitasi)
Tingkat pelayanan ini dilaksanakan setelah pasien
didiagnosis sembuh. Sering pada tahap ini dijumpai pada fase
pemulihan terhadap kecacatan sebagaimana program latihanlatihan yang diberikan pada pasien, kemudian memberikan
fasilitas agar pasien memiliki keyakinan kembali atau gairah

hidup kembali ke masyarakat dan masyarakat mau menerima


dengan senang hati karena kesadaran yang dimilikinya.
Upaya pemberian pelayanan kesehatan yang seharusnya
dilakukan oleh lembaga rumah sakit harus bersipat trasparan,
cepat, epektif dan efesien, tidak ada unsur perbedaan dalam
memberikan pelayanan terhadap para pengguna jasa pelayanan,
karna

bagimanapun

pasein

merupakan

beban

dan

tanggungjawab yang harus dapat diatasi oleh pihak rumah sakit,


prean medis dalam hal ini sangat penting untuk mampu
memberikan kontrabusi kepada pasein.
3. Lembaga Pelayanan Kesehatan
Lembaga pelayanan kesehatan meliputi:
a. Rawat Jalan
Lembaga pelayanan kesehatan ini bertujuan memberikan
pelayanan kesehatan pada tingkat pelaksanaan diagnosis dan
pengobatan pada penyakit yang akut atau mendadak dan kronis
yang dimungkinkan tidak terjadi rawat inap. Lembaga ini dapat
dilaksanakan pada klinik klinik kesehatan, seperti klinik
dokter spesialis, klinik perawatan spesialis dan lain lain.
b. Institusi
Institusi merupakan lembaga pelayanan kesehatan yang
fasilitasnya

cukup

dalam

memberikan

berbagai

tingkat

pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit, pusat rehabilitasi dan


lain lain.
c. Hospice
Lembaga ini bertujuan memberikan pelayanan kesehatan
yang difokuskan pada klien yang sakit terminal agar lebih
tenang dan dapat melewati masa masa terminalnya dengan
tenang. Lembaga ini biasanya digunakan dalam home care.
d. Community Based Agency

Merupakan bagian dari lembaga pelayanan kesehatan


yang dilakukan pada klien pada keluarganya sebagaimana
pelaksanaan perawatan keluarga seperti praktek perawat
keluarga dan lain lain.

4. Lingkup Sistem Pelayanan Kesehatan


Lingkup pelayanan kesehatan meliputi:
a. Primary health care (pelayanan kesehatan tingkat pertama)
Pelayanan kesehatan ini dibutuhkan atau dilaksanakan
pada masyarakat yang memiliki masalah kesehatan yang ringan
atau masyarakat sehat tetapi ingin mendapatkan peningkatan
kesehatan agar menjadi optimal dan sejahtera sehingga sifat
pelayanan

kesehatan

adalah

pelayanan

kesehatan

dasar.

Pelayanan kesehatan ini dapat dilaksanakan oleh puskesmas


atau balai kesehatan masyarakat dan lain lain.
b. Secondary health care (pelayanan kesehatan tingkat kedua)
Bentuk

pelayanan

kesehatan

ini

diperlukan

bagi

masyarakat atau klien yang membutuhkan perawatan di rumah


sakit atau rawat inap dan tidak dilaksanakan di pelayanan
kesehatan utama. Pelayanan kesehatan ini dilaksanakan di
rumah sakit yang tersedia tenaga spesialis atau sejenisnya.
c. Tertiary health services (pelayanan kesehatan tingkat ketiga)
Pelayanan kesehatan ini merupakan tingkat pelayanan
yang tertinggi di mana tingkat pelayanan ini apabila tidak lagi
dibutuhkan pelayanan pada tingkat pertama dan kedua. Biasanya
pelayanan ini membutuhkan tenaga tenaga yang ahli atau
subspesialis dan sebagai rujukan utuma seperti rumah sakit yang
tipe A atau B.
5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelayanan Kesehatan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan meliputi:


a. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru
Pelaksanaan

sistem

pelayanan

kesehatan

dapat

dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi baru,


mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka akan diikuti oleh perkembangan pelayanan kesehatan atau
juga sebagai dampaknya pelayanan kesehatan jelas lebih
mengikuti perkembangan dan teknologi seperti dalam pelayanan
kesehatan untuk mengatasi masalah penyakit penyakit yang
sulit dapat digunakan penggunaan alat seperti laser, terapi
perubahan gen dan lain lain. Berdasarkan itu maka pelayanan
kesehatan membutuhkan biaya yang cukup mahal dan pelayanan
akan lebih professional dan butuh tenaga tenaga yang ahli
dalam bidang tertentu.
b. Pergeseran nilai masyarakat
Berlangsungnya sistem pelayanan kesehatan juga dapat
dipengaruhi oleh nilai yang ada di masyarakat sebagai pengguna
jasa pelayanan, dimana dengan beragamnya masyarakat, maka
dapat menimbulkan pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan yang
berbeda. Masyarakat yang sudah maju dengan pengetahuan
yang tinggi, maka akan memiliki kesadaran yang lebih dalam
penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan, demikian
juga sebaliknya pada masyarakat yang memiliki pengetahuan
yang kurang akan memiliki kesadaran yang rendah terhadap
pelayanan kesehatan, sehingga kondisi demikian akan sangat
mempengaruhi sistem pelayanan kesehatan.
c. Aspek legal dan etik
Dengan

tingginya

kesadaran

masyarakat

terhadap

penggunaan atau pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan, maka


akan semakin tinggi pula tuntutan hukum dan etik dalam

pelayanan kesehatan, sehingga pelaku pemberi pelayanan


kesehatan

harus

dituntut

untuk

memberikan

pelayanan

kesehatan secara profesional dengan memperhatikan nilai nilai


hukum dan etika yang ada di masyarakat.

d. Ekonomi
Pelaksanaan pelayanan kesehatan akan dipengaruhi oleh
tingkat ekonomi di masyarakat. Semakin tinggi ekonomi
seseorang, pelayanan kesehatan akan lebih diperhatikan dan
mudah dijangkau, demikian juga sebaliknya apabila tingkat
ekonomi seseorang rendah, maka sangat sulit menjangkau
pelayanan kesehatan mengingat biaya dalam jasa pelayanan
kesehatan membutuhkan biaya yang cukup mahal. Keadaan
ekonomi ini yang akan dapat mempengaruhi dalam sistem
pelayanan kesehatan.
e. Politik
Kebijakan pemerintah melalui sistem politik yang ada
akan sangat berpengaruh sekali dalam sistem pemberian
pelayanan kesehatan. Kebijakan kebijakan yang ada dapat
memberikan pola dalam sistem pelayanan.
C. Pelayanan Keperawatan
1. Definisi Pelayanan Keperawatan
Menurut Ilyas (2001) dalam Sabarguna (2004) Pelayanan
keperawatan

adalah

kinerja pelayanan

keperawatan

dengan

penampilan dari hasil karya atau jasa yang telah diberikan kepada
individu atau kelompok. Penampilan adalah proses, cara, perbuatan,
tindakan dan gambaran dari sesuatu atau individu, selain itu
pengertian penampilan meliputi banyak hal. tidak hanya masalah

busana, kebersihan, kerapian, ekspresi: senyum, cemberut, ramah,


dan terampil
2. Aspek Kualitas Pelayanan Keperawatan
Aspek-aspek kualitas pelayanan keperawatan menurut
Parasuraman, Berry dan Zeithaml dalam Yamit (2002) dan berbagai
penelitian terhadap beberapa jenis jasa yang telah dilakukan berhasil
mengidentifikasi lima kualitas karakteristik yang digunakan oleh
pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan.
Kelima karakteristik pelayanan keperawatan adalah :
a. Reliability (Kehandalan)
Menurut Lee, 1995 dalam jurnal AKK Unair, salah satu
landasan kepuasan pelanggan adalah mengenai sikap, tindakan
dan latihan untuk para petugas, sedangkan menurut pendapat
Tener dan De Tore (1992) yang menyebutkan bahwa nilai
kualitas yang paling mudah dipahami dari suatu barang atau
atau jasa pelayanan adalah cepat dalam artinya bagaimana suatu
saranan atau jasa pelayanan dapat diperoleh secara cepat mudah
dan menyenangkan. Berkaitan dangan kemampuan perusahaan
untuk menyampaikan layanan yang dijanjikan secara akurat
sejak pertama kali (Tjiptono, 2008).
Kualitas yang mengukur kehandalan dalam perusahaan
dalam memberikan layanan pada pelanggan. Iklan yang kreatif
dan memberikan janji yang lebih tidak akan efektif. Pelanggan
tertarik tetapi setelah mencoba pelayanannya, ternyatan tidak
seseuai dengan yang dijanjikan, oleh karena itu saat menentukan
janji yang ditawarkan kepada pelanggan dalam dalam suatu
iklan, perlu memastikan bahwa perusahaan mampu memberikan
suatu yang dijanjikan.(Irwan, 2002).
b. Assurance

(Jaminan) Menurut Zethaml, Berry dan Parasuraman


(1985) dimana mereka mengidentifikasi kelompok karakteristik
yang digunakan oleh para pelanggan dalam megevaluasi
kualitas, diantaranya jaminan yang mencakup kemampuan,
kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki staf, bebas
dari bihaya, resiko atau keragu-raguan.

Berkenan dengan

pengetahuan dan kesopanan karyawan serta kemampuan mereka


dalam menentukan rasa percaya dan keyakinan pelanggan
Tjiptono,

(2002).

Kualitas

yang

berhubungan

dengan

kemampuan perusahaandan perilaku front-line staf dalam


menanamkan rasa percaya, kenyakinan pada pelanggan.
Berdasarkan banyak riset yang dilakukan, ada 4 aspek pada
dimensi ini, yaitu keramahan, kompetensi, dan keamanan.Irwan,
(2002).
c. Tangibles
(Bukti Fisik) Untuk pasien yang menjadikan bukti fisik
sebagai suatu indicator dalam menentukan kepuasan terhadap
sarana yang diterima, maka hal ini perlu mendapat perhatian
dari pihak rumah rumah sakit sebab kualitas tangible ini
merupakan suatu bukti fisik yang dapat dirasakan dan dapat
diukur oleh pasien.
Sedangkan menurut Zeithaml, Berry dan Pasuruman
bukti langsung (Tangibles) merupakan tampilan pelayanan
secara fisik, fasilitas fisik, penampilan tenaga kerja, alat atau
peralatan yang digunakan dan dalam memberikan bukti fisik
sebagai media awal bagi klien/pasien untuk melihat secara nyata
pertama kali apa yang ada, sesuai itu mengenai penampilan
petugas maupun tentang sarana fisik yang digunakan diunit
rawat inap. Berkenan dengan penampilan fisik fasilitas
pelayanan, peralatan atau perlengkapan, sumber daya manusia,

dan materi komunikasi perusahaan Tjiptono (2008). Karena


suatu service tidak bisa dilihat, tidak bisa dicium dan tidak bisa
diraba, maka aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran
terhadap pelayanan. Pelanggan akan menggunakan indra
penglihatan untuk menilai suatu kualitas pelayanan.
Tangible yang baik akan mempengaruhi persepsi
pelanggan. Pada saat yang bersamaan aspek tangible ini juga
merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi harapan
pelanggan. Karena tangible yang baik, harapan pasien menjadi
lebih tinggi. Kualitas tangible umumnya lebih penting bagi
pelanggan baru. Tingkat kepentingan aspek ini relative lebih
rendah dagi penggan yang sudah menjalin hubungan dengan
penyedia jasa Irwan (2002).
d.

Emphaty (Empati)
Berarti

perusahaan

memahami

masalah

para

pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan dalam


memiliki jam opersi yang nyaman. Tjiptono (2008).
Pelanggan

dari

kelompok

menengah

atas

atas

mempunyai harapan tinggi atas perusahaan penyedia jasa


mengenal mereka secara pribadi. Pelanggan yang empathy
sangat memerlukan sentuhan pribadi Irwan (2002). Memberikan
pelayanan yang menyenangkan dan mengikuti proses yang
sesuai maka kualitas pelayanan yang seseuai dapat diwujudkan,
sebagaimana definisi kualitas dari Salusu (1996). Dengan
menggunakan

ke

lima

kualitas

ini

didapatkan

konsep

kesenjangan kualitas pelayanan, antara harapan pelanggan dan


pelayanan yang dirasakan. Kesenjangan antara pelayanan yang
diberikan dengan pelayanan yang dirasakan merupakan suatu
pengukuran

terhadap

kualitas

pelayanan

yang

akan

menimbulkan kepuasan (positif) maupun kekecewaan (negatif).

e.

Responsiveness (Ketanggapan)
Menurut Robert dan Prevost tahun (1987) dalam Azwar
(1996) menyatakan bahwa bagi pemakai jasa pelayanan
kesehatan (health costumer) kualitas pelayanan lebih terkait
dengan ketanggapan petugas memenuhi kebutihan pasien dan
kelancaran komunikasi antara petugas dengan pasien, dimana
dalam hal ini kebutuhan pasien adalah menjadi lebih sesuai atau
sembuh dari keluhan/penyakit yang dideritanya.
Sedangkan menurut Depkes RI (2008) telah menetapkan
bahwa pelayanan keperawatan dikatakan berkualitas baik
apabila perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien
sesuai dengan aspek-aspek dasar perawat. Aspek dasar tersebut
meliputi

aspek

penerimaan,

perhatian,

tanggung

jawab,

komunikasi dan kerjasama. Masing-masing aspek dijelaskan


sebagai berikut:
f. Aspek Penerimaan
Aspek ini meliputi sikap perawat yang selalu ramah,
sopan, periang dan selalu tersenyum, menyapa semua pasien
maupun keluarga pasien. Perawat perlu memiliki minat terhadap
orang lain, menerima pasien tanpa membedakan golongan,
pangkat, latar belakang sosial ekonomi dan budaya, sehinga
pribadi utuh. Agar dapat melakukan pelayanan sesuai aspek
penerimaan perawat harus memiliki minat terhadap orang lain
dan memiliki wawasan luas.
g. Aspek Perhatian
Aspek ini meliputi sikap perawat dalam memberikan
pelayanan keperawatan perlu bersikap sabar, murah hati dalam
arti bersedia memberikan bantuan dan pertolongan kepada
pasien dengan suka rela tanpa mengharapkan imbalan, memiliki

sensivitas dan peka terhadap setiap perubahan pasien, mau


mengerti terhadap kecemasan dan ketakutan pasien.
h. Aspek Komunikasi
Aspek ini meliputi setiap perawat yang harus biasa
melalukan komunikasi yang baik dengan pasien, dan keluarga
pasien. Adanya komunikasi yang saling berinteraksi antara
pasien dengan perawat, dan adanya hubungan yang baik dengan
keluarga pasien.
i. Aspek Kerjasama
Aspek ini meliputi sikap perawat yang harus mampu
melakukan kerjasama yang baik dengan pasien dan keluarga
pasien.
j. Aspek tanggung jawab
Aspek ini meliputi sikap perawat yang jujur, tekun dalam
tugas, mampu mencurahkan waktu dan perhatian, sportif dalam
tugas, konsisten serta tepat dalam bertindakan.
Sedangkan Soegiarto (1993) dalam Wijono,D (1999)
menyebutkan empat aspek yang harus dimiliki industri jasa
pelayanan, yaitu :
a. Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal
sama dengan batas waktu standar. Merupakan batas waktu
kunjung di rumah sakit yang sudah ditentukan waktunya.
b. Tepat, kecepatan tanda ketepatan dalam bekerja tidak menjamin
kepuasan konsumen. Bagaimana perawat dalam memberkan
pelayanan kepada pasien yaitu tepat memberikan bantuan
dengan keluhan-keluhan dari pasien.
c. Aman, rasa aman meliputi aman secara fisik dan psikis selama
pengkonsumsi suatu produk atau dalam memberikan pelayanan

jasa yaitu memperhatikan keamanan pasien dan memberikan


keyakinan

dan

kepercayaan

kepada

pasien

sehingga

memberikan rasa aman kepada pasien.


d. Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan
pada saat pelanggan menyampaikan keluhan. Perawat selalu
ramah dalam menerima keluhan tanpa emosi yang sehingga
pasien akan merasa senang dan menyukai pelayanan dari
perawat

BAB III
PEMBAHASAN
A. Implementasi Kebijakan Pelayanan Kesehatan
Salah satu tujuan pendirian Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 berupaya meningkatkan kesejahteraan
rakyat.

Kesejahteraan

tersebut

harus

dapat

dinikmati

secara

berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat. Dinamika


pembangunan bangsa Indonesia telah menumbuhkan tantangan berikut
tuntutan penanganan berbagai persoalan yang belum terpecahkan. Salah
satunya adalah penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) mengenai hak
terhadap jaminan sosial dan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik yang tertuang dalam TAP Nomor
X/MPR/2001, yang menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem
Jaminan

Sosial

Nasional

(SJSN)

dalam

rangka

memberikan

perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.


Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang SJSN maka bangsa Indonesia sebenarnya telah memiliki system
jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 5 Undang-Undang
tersebut mengamanatkan pembentukan badan yang disebut Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang harus dibentuk dengan
Undang-Undang.
Pada tanggal 25 November 2011, ditetapkan Undang-Undang
No 24 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan sosial
yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2014.

BPJS

merupakan

badan

hukum

dengan

tujuan

yaitu

mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan untuk terpenuhinya


kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota
keluarganya. Dalam penyelenggaraannya BPJS ini terbagi menjadi dua
yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan (Tabrany, 2009).
Dengan ditetapkannya BPJS dua anomaly penyelenggaraan jaminan
sosial Indonesia yang bertentangan dengan prinsip-prinsip universal
penyelenggaraan jaminan sosial di dunia akan diakhiri. Pertama, Negara
tidak lagi mengumpulkan labadari iuran wajib Negara yang dipungut
oleh

badan

usaha

miliknya,

melainkan

ke

depan

Negara

bertangungjawab atas pemenuhan hak konstitusional rakyat atas


jaminan sosial. Kedua, jaminan sosial Indonesia resmi keluar dari
penyelenggaraan oleh badan privat menjaadi pengelolaan oleh badan
public
Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2011 Mengenai
BPJS
Pada tanggal 1 januari 2014 mulai diberlakukan BPJS kesehatan
di seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia. Uji coba BPJS sudah
mulai dilaksanakan sejak tahun 2012 dengan rencana aksi dilakukan
pengembangan fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan dan perbaikan
pada system rujukan dan infrastruktur. Evaluasi jalannya Jaminan
Kesehatan nasional ini direncanakan setiap tahun dengan periode per
enam bulan dengan kajian berkala tahunan elitibilitas fasilitas
kesehatan, kredensialing, kualitas pelayanan dan penyesuaian besaran
pembayaran harga keekonomian. Diharapkan pada tahun 2019 jumlah
fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan mencukupi, distribusi merata,
system rujukan berfungsi optimal, pembayaran dengan cara prospektif
dan harga keekonomian untuk semua penduduk. Pelaksanaan UU BPJS
melibatkan PT ASKES, PT ASABRI, PT JAMSOSTEK dan PT
TASPEN. Dimana PT ASKES dan PT JAMSOSTEK beralih dari

Perseroan menjadi Badan Publik mulai 1 januari 2014. Sedangkan PT


ASABRI dan PT TASPEN pada tahun 2029 beralih menjadi badan
public dengan bergabung ke dalam BPJS ketenagakerjaan.
Masalah Yang Timbul Saat Implementasi Kebijakan BPJS
Pelayanan kesehatan BPJS mempunyai sasaran didalam
pelaksanaan akan adanya sustainibilitas operasional dengan memberi
manfaat kepada semua yang terlibat dalam BPJS, pemenuhan
kebutuhan medik peserta, dan kehati-hatian serta transparansi dalam
pengelolaan keuangan BPJS. Perlu perhatian lebih mendalam dalam
pelaksanaan terhadap system pelayanan kesehatan (Health Care
Delivery System), system pembayaran (Health Care Payment System)
dan system mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System).
Mengingat pelaksanaan BPJS dikeluarkan melalui Undang-Undang
dimana bersifat mengatur sedangkan proses penetapan pelaksanaan
diperkuat melalui surat keputusan atau ketetapan dari pejabat Negara
yang berwenang seperti peraturan pemerintah dan peraturan presiden
setidaknya minimal 10 regulasi turunan harus dibuat untuk memperkuat
pelaksanaan BPJS.
Saat ini masalah banyak yang muncul dari implementasi BPJS
(Gunawan, 2014) yaitu:
1. System pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System)
a. Penolakan pasien tidak mampu di fasilitas pelayanan kesehatan
hal ini dikarenakan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres
111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi
86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS
(2011) orang miskin ada 96,7 juta. Pelaksanaan BPJS tahun
2014 didukung pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 26 trliun
yang dianggarkan di RAPBN 2014. Anggaran tersebut
dipergunakan untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp.
16.07 trliun bagi 86,4 juta masyarakat miskin sedangkan sisanya

bagi PNS, TNI dan Polri. Pemerintah harus secepatnya


menganggarkan biaya kesehatan Rp. 400 milyar untuk
gelandangan, anak jalanan, penghuni panti asuhan, panti jompo
dan penghuni lapas (jumlahnya sekitar 1,7 juta orang). Dan
tentunya jumlah orang miskin yang discover BPJS kesehatan
harus dinaikkan menjadi 96,7 juta dengan konsekuensi
menambah anggaran dari APBN.
b. Pelaksanaan

di

lapangan,

pelayanan

kesehatan

yang

diselenggarakan oleh PPK I (Puskesmas klinik) maupun PPK II


(Rumah Sakit) sampai saat ini masih bermasalah. Pasien harus
mencari-cari kamar dari satu RS ke RS lainnya karena dibilang
penuh oleh RS, bukanlah hal yang baru dan baru sekali terjadi.
2. System pembayaran (Health Care Payment System)
a. Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real
cost, terkait dengan pembiayaan dengan skema INA CBGs dan
Kapitasi

yang

dikebiri

oleh

Permenkes

No.

69/2013.

Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri


Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum
bisa mengurangi masalah di lapangan.
b. Kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal
maupun

eksternal.

Pengawasan

internal

seperti

melalui

peningkatan jumlah peserta dari 20 juta (dulu dikelola PT


Askes) hingga lebih dari 111 juta peserta, perlu diantisipasi
dengan perubahan system dan pola pengawasan agar tidak
terjadi korupsi. Pengawasan eksternal, melalui pengawasan
Otoritas jasa Keuangan (OJK), Dewan Jaminan Sosial Nasional
(DJSN) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) masih belum
jelas area pengawasannya.

3. System mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality


System)
a. Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah
dan kecil masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan belum
terealisasi mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja
BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum
selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No.
111/2013 (pasal 24 dan 27) mengenai keharusan pekerja BUMN
dan swasta menjadi peserta BPJS Kesehatan paling lambat 1
Januari 2015. Dan regulasi tambahan ini harus dikomunikasikan
secara transparan dengan asuransi kesehatan swasta, serikat
pekerja dan Apindo sehingga soal Manfaat tambahan tidak lagi
menjadi masalah.
b. Masih kurangnya tenaga kesehatan yang tersedia di fasilitas
kesehatan sehingga peserta BPJS tidak tertangani dengan cepat.
Landasan Hukum Mendasari Kebijakan
a. UU Nomor 40/2004 Pasal 22 berisi manfaat komprehensif:
Promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
b. UU Nomor 40/2004 Pasal 24 mengenai BPJS berkewajiban
mengembangkan system pelayanan kesehatan, system mutu dan
system pembayaran yang efisien dan efektif.
c. Perpres 12/2013 Pasal 20 ayat 1: menetapkan produk: pelayanan
kesehatan

perorangan

(promotif,

preventif,

kuratif

dan

rehabilitative), obat dan bahan medis habis pakai.


d. Perpres 12/2013 Pasal 36
Ayat 1 : Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua
fasilitas kesehatan yang menjalin kerjasama dengan
BPJS.

Ayat 2 : Fasilitas kesehatan pemerintah dan pemerintah daerah


yang memenuhi persyaratan wajib bekerjasama
dengan BPJS.
Ayat 3 : Fasilitas

kesehatan

swasta

yang

memenuhi

persyaratan dapat bekerjasama dengan BPJS.


Ayat 4 : BPJS kesehatan dengan fasilitas membuat perjanjian
tertulis sebagai landasan kerjasama
Ayat 5 : Persyaratan sebagai fasilitas kesehatan mengacu pada
peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku.
e. Perpres 12/2013 Pasal 42
Ayat 1 : Pelayanan kepada peserta jaminan kesehatan harus
memperhatikan mutu pelayanan, berorientasi kepada
aspek

keamanan

peserta,

efektifitas

tindakan,

kesesuaian dengan kebutuhan peserta serta efisiensi


biaya.
Ayat 2 : Penerapan system kendali mutu pelayanan jaminan
kesehatan dilakukan secara menyeluruh, meliputi
standar pemenuhan fasilitas kesehatan, memastikan
proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai dengan
standar yang ditetapkan, serta pemantauan terhadap
iuran kesehatan peserta
Ayat 3 : Ketentuan mengenai penerapan system kendali mutu
diatur oleh ketetapan BPJS
f. Perpres 12/2013 Pasal 43
Ayat 1 : Dalam rangka menjamin kendali mutu dan biaya
menteri bertanggung jawab untuk HTA, pertimbangan
klinis dan manfaat jaminan kesehatan, perhitungan
standar tariff, monev jaminan kesehatan
Ayat 2 : Dalam melaksanakan Monev, menteri berkoordinasi
dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional

g. Perpres 12/2013 Pasal 44: Ketentuan tentang pasal 43 diatur


dengan Peraturan Menteri.
Rekomendasi Implementasi BPJS 2014
Evaluasi implementasi BPJS Kesehatan yang dimulai pada
tanggal 1 Januari 2014 saat ini masih banyak ditemui kendala
disebabkan masih minimnya penetapan melalui pemerintah dalam
pelaksanaan BPJS, sedikitnya 10 regulasi turunan yang harus
ditambahkan

untuk

menunjang

BPJS

tersebut.

Dengan

Penyelenggaraan BPJS Kesehatan yang belum berjalan sesuai


dengan prinsip dan tujuan, oleh karena itu diperlukan:
a. Dalam pembentukan surat keputusan atau peraturan hendaknya
menggunakan cara pandang konstitusional, berdasarkan Pasal
28 H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 serta merujuk
pada Pasal 4 UU SJSN dan Pasal 40 tahun 2011 dan Pasal 24
tahun 2011.
b. Harus dilakukan kajian lebih lanjut untuk merevisi regulasi
turunan BPJS seperti dalam penetapan cost BPJS dan
pengaturan

penyaluran

dana

ke

fasilitas

kesehatan

penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia (dokter,


perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga
memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan,
serta fasilitas kesehatan yang dimiliki dapat menunjang
pelaksanaan secara efisien dan efektif.
B. Implementasi Kebijakan Pelayanan Keperawatan
Pengembangan pelayanan keperawatan di

rumah

sakit

merupakan rangkaian kegiatan yang mengimplementasikan semua


kebijakan berupa Standar, Pedoman serta peraturan secara terpadu
langsung pada tatanan nyata di rumah sakit. Agar implementasi

pengembangan ini terarah dan sistematis, maka perlu disusun prinsipprinsip, kerangka kerja serta langkah-langkah yang menggambarkan
alur implementasi tersebut.
Agar kegiatan implementasi pengembangan pelayanan
keperawatan fokus dan terarah dalam mencapai tujuan maka diperlukan
kerangka kerja implementasi. Kerangka kerja ini dikembangkan dengan
mempergunakan pendekatan sistem yaitu input (masukan), proses dan
output (hasil/keluaran). Kerangka kerja dapat digambarkan pada skema
sebagai berikut:

Alur Mekanisme Implementasi Pengembangan Pelayanan


Keperawatan Rumah Sakit

Penerapan Standar Pelayanan Keperawatan Dengan Penyusunan


SPO
Standar pelayanan keperawatan merupakan capaian minimal
yang harus dipenuhi oleh bidang keperawatan dalam mengelola dan
memberikan pelayanan keperawatan. Untuk memenuhinya perlu
disusun standar prosedur operasional mencakup pelayanan dan
manajemen keperawatan.
Tujuan
: Mencapai

kualitas

pelayanan

keperawatan

dengan meningkatkan tingkat kepatuhan terhadap SPO.


Sasaran
: Seluruh perawat di unit ruang rawat.
Pelaksana : Kepala ruangan sebagai penanggung jawab.
Langkah-langkah:
1. Identifikasi lingkup praktik keperawatan di setiap unit ruang rawat,
2. Identifikasi fungsi-fungsi manajemen asuhan keperawatan di unit
ruang rawat,
3. Identifikasi sikap profesional, prinsip, moral, etik yang harus harus
diterapkan di unit ruang rawat,
4. Identifikasi pola komunikasi perawat-pasien, perawat-perawat,
perawat dan tim kesehatan lain, dan perawatmanajer,
5. Susun

daftar

SPO

yang

diperlukan

untuk

melaksanakan

pelayanan/ asuhan keperawatan disetiap unit ruang rawat.

6. Susun SPO yang belum ada.


7. Laksanakan asuhan keperawatan mempergunakan SPO,
8. Lakukan coach, pembinaan serta penilaian selama menerapkan
SPO,
9. Revisi SPO secara berkala sesuai perkembangan pelayanan,
IPTEK dan kebutuhan masyarakat.
Pelaksanaan Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Sesuai Dengan
Sistem Pemberian Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan yang dilaksanakan pada setiap unit ruang rawat
perlu didukung oleh fungsi manajemen yaitu sesuai dengan sistem
pemberian asuhan keperawatan. Hal ini penting, karena akan menentukan
pembagian tugas perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Tujuan

: Pasien menerima pelayanan/ asuhan keperawatan sesuai

kebutuhannya dan terdokumentasi dengan baik.


Sasaran

: Semua perawat di unit ruang rawat.

Pelaksana : Ketua tim, perawat primer atau manajer kasus sebagai


penanggung jawab.
Langkah-langkah:
1. Mengelompokkan pasien sesuai kondisi atau penyakitnya,
2. Menetapkan penanggung jawab pasien sesuai sistem pemberian
asuhan keperawatan. (Tim, Primer, Manajemen Kasus),
3. Memberikan

asuhan

keperawatan

dengan

mempergunakan

proses keperawatan dan SPO yang telah disusun,


4. Melakukan kerja sama tim sesuai kondisi pasien,
5. Menerapkan prinsip etik Keperawatan,
6. Menerapkan

prinsip

keselamatan

asuhan keperawatan,
7. Melakukan preceptorship mentoring,

pasien

selama

pemberian

8. Mendokumentasikan asuhan keperawatan sesuai format yang


disediakan.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam setiap perumusan kebijakan yang menyangkut program


maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan
pelaksanaan atau implementasi. Betapa pun baiknya suatu kebijakan
tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Implementasi
kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme
penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut
masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu
kebijakan (Grindle dalam Wahab, 1990:59)
B. Saran
1. Bagi Pengambil Kebijakan
Hendaknya mengidentifikasi kebijakan terkait pelayanan
kesehatan dan keperawatan, apakah kebijakan tersebut dapat di
implementasikan di wilayah/institusinya dengan maksud agar
proses implemplementasi berjalan dengan efektif dan efisien sesuai
dengan visi dan misi.
2. Bagi Pemberi Pelayanan Kesehatan
Sebagai pemberi pelayanan kesehatan hendaknya mengerti,
memahami dan melaksanakan pelayanan kesehatan maupun
keperawatan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan guna
mencapai visi dan misi instansi maupun institusinya.

DAFTAR PUSTAKA
A.G. Subarsono. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,

Abdul Wahab, Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara.


Jakarta: Rineka Cipta.
---------------. 1990. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Impementasi
Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
---------------. 1994. Esensi Nilai Dalam Kebijakan Perbincangan Teoritikal,
dalam buku Kebijakan Publik & Pembangunan. Malang:
IKIP
Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan. 2013. Petunjuk Pelaksanaan
Implementasi Pengembangan Pelayanan Keperawatan RS
Khusus. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Grindle, Merilee S., (ed). 1980. Politics and Apolicy Implementation in the
Third World. new jersey: Princetown University Press.
Patton dan Sawicki. 1993. Basic Methods of Policy Analysis and Planning.
Prentice Hall: Michigan University
Pressman, J. L. dan Aaron Wildavsky. 1973. Implementation: How Great
Expectation in Washington are Dased in Oakland. London:
California Press.
Ripley and Franklin; 1982; Policy Implementation and Bureau Acuracy.
Chicago: Dorsey Press.
Sabarguna, B. S. 2004. Quality Assurance Pelayanan Rumah Sakit. Edisi
Kedua. Yogyakarta: Konsorsium Rumah Sakit Islam JatengDIY.
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Lukman Offset YPAPI.
Tangkilisan, Hesel Nogi. 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi.
Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI.
Yamit, Z. 2002. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII.

Anda mungkin juga menyukai