Anda di halaman 1dari 148

HEALTH POLITICS:

Teori dan Praktek

Sukri Palutturi, SKM, M.Kes., MSc.PH, PhD


Buku ini saya dedikasikan kepada istri dan anak saya:
Aslina Asnawi, Ahmad Farhan Tanatoa, Ahmad Fauzan Tanatoa, dan
Ahmad Farhat Tanatoa
KATA PENGANTAR

Buku ini terbit terinspirasi dari keterbatasan referensi berbahasa Indonesia,


pengalaman dan pembelajaran bersama mahasiswa S1, S2 dan S3 dalam
bidang kesehatan masyarakat di berbagai universitas dan sekolah tinggi kesehatan di
Indonesia khususnya Indonesia Bagian Timur. Sebut saja di Universitas Hasanuddin
itu sendiri tempat penulis mengabdi, Universitas Haluoleo, Universitas
Tadulako, Universitas Islam Negeri Makassar, Universitas Muslim Indonesia,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tamalate dan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Makassar; pengalaman bersama para pengambil kebijakan pada level pemerintah
kabupaten/kota, para politikus, pejabat provinsi sampai pengambil kebijakan pada
tingkat kementerian. Jujur saja saya tidak memiliki pendidikan formal tentang
politik, namun kami menyadari bahwa politik kesehatan merupakan kajian yang
sangat penting dalam bidang Administrasi dan Kebijakan Kesehatan di Indonesia.

Sebuah kondisi yang berbeda saat pertama kali penulis tiba di Kota Brisbane
Australia di awal tahun 2008 untuk melanjutkan bidang saya pada program Master
of Science in Public Health (MSc.PH) yang kemudian diakhir tahun 2009
berlanjut mengambil program Doctor of Phylosophy (PhD) di Griffith
University, suasana akademik yang begitu berbeda di Indonesia. Ruang
perpustakaan yang sangat menarik dan didukung oleh fasilitas internet dan
tersedianya berbagai referensi yang dibutuhkan termasuk buku yang relevan dengan
kajian politik kesehatan. Saya menemukan beberapa buku yang menginspirasi
lahirnya buku ini misalnya The Politics of Health: The Australian Experience
(1995), buku yang diedit oleh Healther Gardner dan diterbitkan oleh Churcill
Livingstone; The political economy of health, buku yang ditulis oleh Doyal dan
Pennell (1979), diterbitkan oleh Pluto Press di London; . The politics of health in
Europe, ditulis oleh Freeman (2000), diterbitkan oleh University of Manchester
Press, Manchester; Theory and methods in political science, ditulis oleh Marsh dan
Stoker (2002), diterbitkan oleh Palgrave Macmillan, Basingstoke, UK; dan Toward
the Healthy City: People, Places and the Politics of Urban Planning, ditulis oleh
Corburn (2009), diterbitkan oleh The MIT Press: Cambridge, Massachusetts,
London. Beberapa buku diantaranya relatif tua tetapi bagi kami isi dari buku tersebut
merupakan hal baru. Kesemua aspek ini menguatkan saya untuk terus mencoba
menulis sampai lahirnya buku ini di tangan pembaca.

Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan bukan saja persoalan sakit, dokter,
tempat tidur dan obat. Determinan kesehatan sangat kompleks, masalah kesehatan
adalah masalah ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah kesehatan adalah
masalah politik. Mengapa kesehatan banyak berkaitan dengan masalah politik
karena kebijakan kesehatan yang lahir hingga hari ini baik berubah peraturan,
program dan penganggaran tidak lepas dari kekuasaan, perdebatan berbagai
kepentingan politik, dan persaingan, bahkan tidak sedikit keputusan kesehatan
sangat ditentukan oleh
seorang bupati, walikota, gubernur dan presiden dan juga ketergantungan pada
ketukan palu sidang anggota dewan yang terhormat.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama membahas konsep, kompetensi dan
etika politik kesehatan. Bab ini menjelaskan tentang konsep dasar politik kesehatan:
sifat politik kesehatan, mengapa kesehatan menjadi isu politik dan bagaimana
kontribusi politik dalam bidang kesehatan. Kompetensi politik: keterampilan politik
dalam bidang kesehatan, keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan
sosial, jenis keterampilan sosial, dimensi keterampilan politik dan bagaimana
membangun keterampilan politik. Selain itu bagian ini pula menjelaskan etika
politik kesehatan, standar etika politik kesehatan, siapa yang menentukan etika
atau tidak beretika dalam bidang kesehatan. Bagian kedua membahas keterampilan
dan implementasi politik kesehatan. Bab ini meliputi komunikasi politik kesehatan,
advokasi kesehatan masyarakat, pemilu: kesehatan dan komitmen aktor politik, the
politics of Healthy Cities. Bagian terakhir dari Bab ini pula membahas secara
khusus tentang Politik Global: Dari MDGs ke SDGs, sebuah evaluasi MDGs
berkaitan dengan pencapaian khususnya yang berkaitan dengan bidang kesehatan
dan strategi yang perlu dilakukan pasca MDGs untuk memenuhi tantangan kesehatan
tersebut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terbitnya buku ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak luput
dari kesalahan dan kekhilafan. Karena itu, penulis mengapresiasi atas segala saran
dan kritik yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya
semoga karya ini dapat memberi manfaat kepada kita semua dalam
pengembangan ilmu kesehatan masyarakat di Indonesia.
Iman, ilmu, amal padu
mengabdi.

Makassar, Oktober 2015

Sukri Palutturi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR KOTAK

BAGIAN PERTAMA: KONSEP, KOMPETENSI DAN ETIKA POLITIK


KESEHATAN
BAB I KONSEP DASAR POLITIK KESEHATAN
1.1 Pendahuluan
1.2 Makna Politik dan Kesehatan
1.3 Sifat Politik Kesehatan
1.4 Mengapa Kesehatan menjadi Isu Politik
1.5 Politik dan Outcome Kesehatan
1.6 Diskusi dan Penugasan
1.7 Penutup

BAB II KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN


2.1 Pendahuluan
2.2 Keterampilan Politik dalam Bidang Kesehatan
2.3 Jenis-Jenis Keterampilan Sosial
2.4 Dimensi Keterampilan Politik
2.5 Kompetensi Politik dalam Organisasi
2.6 Membangun Keterampilan Politik
2.7 Diskusi dan Penugasan
2.8 Penutup

BAB III ETIKA POLITIK KESEHATAN


3.1 Pendahuluan
3.2 Pengertian Etika, Etika Politik dan Etika Politik Kesehatan
3.3 Standar Penilaian Etika Politik Kesehatan
3.4 Siapa yang Menentukan Etik atau Tidak?
3.5 Diskusi dan Penugasan
3.6 Penutup
BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI POLITIK
KESEHATAN
BAB IV KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN
4.1 Pendahuluan
4.2 Konsep Komunikasi Politik Kesehatan
4.3 Ruang Lingkup Komunikasi Politik Kesehatan
4.4 Contoh Kasus Komunikasi Politik Kesehatan
4.5 Diskusi dan Penugasan
4.6 Penutup

BAB V ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT


5.1 Pendahuluan
5.2 Apa Advokasi Kesehatan Masyarakat itu?
5.3 Komponen Advokasi Kesehatan Masyarakat
5.4 Keterampilan dan Tantangan Advokasi Kesehatan Masyarakat
5.5 Advokasi Media
5.6 Diskusi dan Penugasan
5.7 Penutup

BAB VI PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK


6.1 Pendahuluan
6.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia
6.3 Pemilu dan Aktor Politik Kesehatan
6.4 Kompetensi bagi Para Aktor Politik
6.5 Diskusi dan Penugasan
6.6. Penutup dan Rekomendasi

BAB VII THE POLITICS OF HEALTHY CITIES


7.1 Pendahuluan
7.2 Healthy Cities: Urban Governance dan Planning
7.3 Dimensi Politik Healthy Cities: Proses dan Power
7.4 Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
7.5 Tantangan Politik Perencanaan Healthy Cities
7.6 Studi Kasus Pentingnya Dukungan Politik dalam Implementasi Healthy Cities
7.7 Diskusi dan Penugasan
7.8 Penutup

BAB VIII POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs


8.1 Pendahuluan
8.2 Makna Pembangunan Berkelanjutan
8.3 Keterkaitan antara MDGs dan SDGs
8.4 Tujuan dan Indikator SDGs
8.5 Prinisp-Prinsip SDGs
8.6 Politik Global SDGs
8.7 Diskusi dan Penugasan
8.8 Penutup dan Rekomendasi

PROFIL PENULIS
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Definisi politik dalam ilmu-ilmu


politik
Tabel 2.1 : Empat Dikotomi
MBTI
Tabel 2.2 : Perbedaan Manfaat Metode 16 PF and the Myers-Briggs
Type
Indicator (MBTI)
Tabel 5.1 : Contoh Perubahan Produk antara Advokasi Kesehatan
Masyarakat
Tabel 5.2 : Peranan Partisipan/Aktor Advokasi Kesehatan
Masyarakat Tabel 7.1 : Tatanan Healthy Cities dan Organisasi
Penanggung Jawab Tabel 7.2 : Struktur Organisasi Healthy Cities
dan Penanggung Jawab
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Sejarah Perkembangan Kewarganegaraan


Gambar 1.2 : Hubungan Politik dan Outcome Kesehatan
Gambar 2.1 : Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan
Politik
Gambar 2.2 : Proses Penilaian Umpan Balik 360 Derajat
Gambar 4.1 : Model Komunikasi Politik Aristoteles
Gambar 4.2 : Unsur Komunikasi Politik
Gambar 6.1 : Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008-2012
Gambar 6.2 : Angka Kematian Ibu Tahun 2012-2013 di Indonesia Menurut
Provinsi
Gambar 6.3 : Tren Angka Kematian Ibu (AKI) beberapa negara ASEAN
Gambar 6.4 : Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap
Provinsi, Indonesia
Gambar 6.5 : Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991-
2015
Gambar 6.6 : Angka Harapan Hidup Indonesia 2008-2012
Gambar 6.7 : Persentasi Balita Kekurangan Gizi Berdasarkan Berat Badan
Menurut Umur (BB/U) Menurut Provinsi
Gambar 6.8 : Persentasi Balita dengan Tinggi Badan di Bawah Normal
Berdasarkan Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Menurut Provinsi
Gambar 6.9 : Persentasi Balita Kurus Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Menurut Provinsi
Gambar 6.10 : Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011
Gambar 6.11 : Persentasi Kelebihan Berat Badan pada Penduduk Dewasa
Gambar 6.12 : Illustrasi Pengambilan Sumpah Anggota DPR dan DPD RI Periode
2014-2019
Gambar 7.1 : Model Kingdon Stream (1995)
DAFTAR KOTAK

Kotak 2.1 : Keterampilan Politik sebagai bagian dari keterampilan sosial


Kotak 4.1 : Contoh Kasus Komunikasi Politik Ala Jokowi
Kotak 4.2 : Contoh Kasus Posbindu PTM Perlu Dukungan
Kotak 5.1 : Sembilan Tahapan Proses Advokasi Kesehatan Masyarakat
Kotak 6.1 : Studi Kasus Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran
BPJS Kesehatan
BAGIAN PERTAMA: KONSEP, KOMPETENSI DAN ETIKA
POLITIK KESEHATAN
BAB I
KONSEP DASAR POLITIK BIDANG KESEHATAN

The political basis of our health services is the view of health as a commodity, a
function of individuals rather than of societies; something to be valued, exchanged
(bought and sold in many societies), and in every way determined by the actions of
individuals (Scott-Samuel, 1979 dalam Bambra, Fox, and Scott-Samuel (2003),
hal.
25

1.1 Pendahuluan
Masalah kesehatan tak dapat dipisahkan dari persoalan politik baik sebagai
individu dan warganegara, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Bab ini
menjelaskan makna politik, kesehatan dan politik kesehatan; dan sifat politik
kesehatan. Bab ini juga menjelaskan pentingnya politik dalam kaitan dengan
persoalan kesehatan dan bukti-bukti keterlibatan politik dalam konteks kesehatan.

1.2 Makna politik dan kesehatan


Pernah terbit sebuah tulisan di Harian Fajar, Makassar pada tanggal 20 Mei
2007. Tulisan ini berjudul Arti Politik dengan mengilustrasikan makna politik
sebagai berikut:
”Seorang murid sekolah dasar mendapat pekerjaan rumah dari gurunya untuk
menjelaskan arti kata POLITIK. Karena belum memahaminya, ia kemudian
menanyakan kepada ayahnya. Sang ayah yang menginginkan si anak dapat berpikir
secara kreatif kemudian memberikan penjelasan. Baiklah nak, ayah akan mencoba
menjelaskan dengan perumpamaan, misalkan ayahmu adalah orang yang bekerja
untuk menghidupi keluarga, jadi kita sebut ayah adalah investor. Ibumu adalah
pengatur keuangan, jadi kita menyebutnya pemerintah. Kami di sini memperhatikan
kebutuhan-kebutuhanmu, jadi kita menyebut engkau rakyat. Pembantu, kita
masukkan dia ke dalam kelas pekerja dan adikmu yang masih balita, kita
menyebutnya masa depan. Sekarang pikirkan hal itu dan lihat apakah penjelasan
ayah ini bisa kau pahami?

Si anak kemudian pergi ke tempat tidur sambil memikirkan apa yang dikatakan
ayahnya. Pada tengah malam, anak itu terbangun karena mendengar adik bayinya
menangis. Ia melihat adik bayinya mengompol. Lalu ia menuju kamar tidur orang
tuanya dan mendapatkan ibunya sedang tidur nyenyak. Karena tidak ingin
membangunkan ibunya, maka ia pergi ke kamar pembantu. Karena pintu terkunci,
maka ia kemudian mengintip melalui lubang kunci dan melihat ayahnya berada di
tempat tidur bersama pembantunya. Akhirnya ia menyerah dan kembali ke tempat
tidur, sambil berkata dalam hati bahwa ia sudah mengerti arti POLITIK.
Pagi harinya, sebelum berangkat ke sekolah ia mengerjakan tugas yang diberikan
oleh gurunya dan menulis pada buku tugasnya: ”Politik adalah hal dimana para
investor meniduri kelas pekerja, sedangkan pemerintah tertidur lelap, rakyat
diabaikan dan masa depan berada dalam kondisi yang menyedihkan”.

Tiga paragrap di atas memberi pandangan pada si anak dalam memahami


arti politik. Pandangan tersebut kelihatan lugu dan mungkin agak humoris dari apa
yang dipahaminya. Secara teori tentu saja pandangan tersebut tidaklah benar, akan
tetapi dalam kenyataan ketika kita bicara tentang politik akan sangat susah
terbantahkan kalau orang melihat dan mendefiniskannya seperti itu. Politik itu
berdimensi ’kotor’,
’busuk’, ’jelek’, dan ’curang’ dan berbagai pandangan negatif
lainnya.
Politik adalah organisasi masyarakat dan pembuatan keputusan kolektif
tentang sumber daya (Bambra, Smith, & Kennedy, 2008). Laswell (1936) dalam
Bambra et al. (2008) politik adalah siapa dapat apa, kapan dan bagaimana (who gets
what, when, how). Politik didefinisikan sebagai aktivitas pemerintah, para elit
dan agen pemerintah. Definisi ini lebih pada pendekatan top down politik yang
secara esensial memisahkan politik dari masyarakat. Politik digunakan untuk
menggambarkan power-structured relationship pada satu group dan kontrol
pada group yang lain. Definisi yang terakhir ini lebih bersifat bottom up dalam
pengertian bahwa setiap orang dapat terlibat dalam tindakan politik.
Beberapa pakar mendefinisikan politik dalam perspektif yang lebih luas
berdasarkan ideologi politik (Bambra et al., 2003; Heywood (2000); Marsh &
Stoker,
2002), yaitu:
a. Politik sebagai pemerintahan (politics as government). Politik
adalah berhubungan dengan seni pemerintahan dan aktivitas sebuah negara. Ini
berhubungan dengan Behavioralists dan Institutionalist ilmu politik.
b. Politik sebagai kehidupan publik (politics as public life). Politik
adalah
berhubungan dengan masalah urusan masyarakat. Cara pandang politik
ini berhubungan dengan teori pilihan rasional (Rational Choice Theory).
c. Politik sebagai resolusi konflik (politics as conflict resolution). Politik
adalah berhubungan dengan ungkapan dan resolusi konflik melalui
kompromi,
konsiliasi, negosiasi, dan strategi lainnya. Ini berhubungan dengan para
ahli hubungan internasional (International Relations Theorists).
d. Politik sebagai kekuasaan (politics as power). Politik adalah proses
melalui outcome yang ingin dihasilkan, dicapai dalam produksi,
distribusi dan
penggunaan sumber daya yang terbatas dalam semua area eksistensi sosial.
Cara pandang ini berhubungan dengan ilmu politik Feminist dan Marxist
(Feminist
and Marxist political science).
Definsi politik dalam ilmu-ilmu politik juga dapat digambarkan seperti pada
Tabel 1.1 berdasarkan pandangan Behavioralism, Rational choice theory,
Institutionalism, Feminism, Anti-foundationalism dan Marxism (Bambra et
al.,
2003).
Tabel 1.1: Definisi politik dalam ilmu-ilmu politik
Pandangan Definsi

Behavioralism Politics is the processes associated with mainstream


politics and government
Rational choice theory Politics is the conditions for collective action in
the mainstream political word
Institutionalism Politics is the institutional arrangements within
the mainstream politicl word
Feminism Politics is a process and the personal can be political
Anti-foundationalism Politics is a narrative contest that can take place in a variety
of settings
Marxism Politics is the struggle between social groups: in particular
social classes
Sumber: Disesuaikan dari Stoker (2002) dalam Bambra et al. (2003), hal. 10

Kesehatan pun demikian, seringkali kesehatan diartikan dan dinterpretasikan


sebagai pelayanan kesehatan (health care) yang mempunyai pengertian yang sangat
sempit. Kesehatan dianggap hanya berkaitan dengan pasien, dokter, perawat, bidan,
tempat tidur dan obat. Di United Kingdom bahkan diartikan sebagai pelayanan
kesehatan nasional (The National Health Services). Konsekuensinya, politik
kesehatan secara signifikan sering kali dikonstruksikan menjadi politik pelayanan
kesehatan (Freeman, 2000). Kondisi ini dapat terjadi karena kesehatan dapat
ditelusuri dari dua isu ideologi yaitu definisi kesehatan pada satu sisi dan politik
pada sisi yang lain. Kesehatan yang secara konvensional telah dioperasionalkan di
bawah kapitalsime Barat mempunyai dua aspek yang saling berhubungan yaitu
kesehatan dianggap sebagai ketiadaan penyakit (definsi biomedis) dan sebagai
komoditi (definisi ekonomi) (Bambra, Fox, & Scott-Samuel, 2005). Kedua ideologi
ini memfokuskan pada individu yang berlawanan dengan masyarakat sebagai dasar
dari kesehatan. Cara pandang kesehatan dalam konteks masyarakat
(kesehatan masyarakat) dipandang sebagai produk dari faktor-faktor individu
misalnya faktor turunan/genetik, dan pilihan gaya hidup yang dapat mengakses ke
pasar atau sistem kesehatan (Scott-Samuel, 1979). Dalam rangka menyelesaikan
ketidaksetaraan ini, perhatian politik diarahkan terhadap variabel sistem kesehatan.

1.3 Sifat politik kesehatan


Konsep dan metode ilmu politik secara jelas mempunyai kontribusi terhadap
studi-studi kesehatan. Meskipun demikian, debat spesifik tentang kesehatan
belum
dianggap secara luas sebagai entitas politik misalnya dalam debat-debat
akademik atau dalam masyarakat (Bambra et al., 2008). Oleh karena itu,
marginalisasi politik
kesehatan seakan-akan mempunyai solusi sederhana yaitu perlunya perlakuan
atau treatment kesehatan sebagai isu politik. Kesehatan termasuk aspek
kehidupan
manusia lainnya merupakan sebuah isu politik dalam banyak hal (Bambra et
al.,
2005):
a. Kesehatan adalah politik karena, sama seperti sumber daya yang lain atau
komoditas di bawah sistem ekonomi neo-liberalisme, beberapa kelompok sosial
mempunyai lebih dari yang lainnya (unequal distribution).
b. Kesehatan adalah politik karena determinan sosialnya (social
determinants) adalah mudah diterima dalam intervensi politik dan oleh karena
bergantung pada tindakan politik (biasanya) (health determinants).
c. Kesehatan adalah politik karena kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan
kebutuhan kesehatan melalui upaya masyarakat yang terorganisir (organization).
d. Kesehatan adalah politik karena hak terhadap standar kehidupan yang layak
untuk
kesehatan dan kesejahteraan harus menjadi aspek kewarganegaraan dan hak
asasi manusia (citizenship).
e. Kesehatan adalah politik karena saat ini kita menghadapi krisis global yang
cukup kompleks yang berdampak pada kesehatan dan kematian yang
sesungguhnya
dapat dicegah (globalisation).
Kesehatan adalah politik karena kekuasaan dilaksanakan sepanjang itu
sebagai bagian dari sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih luas. Perubahan
sistem ini membutuhkan kesadaran dan perjuangan politik. Mengapa kesehatan
berdimensi politik karena dalam bidang kesehatan terdapat disparitas
derajat kesehatan masyarakat antar suku dan ras, antar kelompok, antar wilayah dan
bahkan antar negara dimana sebagian kelompok tersebut memiliki akses dan status
kesehatan yang lebih baik sementara lainnya tidak. Untuk mencapai itu perlu
diperjuangkan dan mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam upaya memenuhi
keadilan terhadap berbagai masalah dibidang kesehatan.

1.3.1 Ketidaksetaraan
kesehatan
Banyak bukti menunjukkan bahwa determinan kesehatan paling kuat dalam
kehidupan modern kependudukan ini adalah faktor sosial, budaya dan
ekonomi
(Acheson, 1998; Doyal & Pennell, 1979). Faktor-faktor ini datang dari
berbagai sumber dan diakui oleh pemerintah dan badan-badan internasional
(Acheson, 1998). Akan tetapi ketidaksetaraan kesehatan ini terus berlanjut dalam
sebuah negara misalnya perbedaan kelas sosial ekonomi, gender dan kelompok
etnik diantara mereka. Masih terjadi ketimpangan masalah kemakmuran,
kesejahteraan dan sumber daya (Donkn, Goldblatt, & Lynch, 2002).

Bagaimana ketidakseimbangan kesehatan ini sungguh merupakan isu politik.


Apakah ketidaksetaraan kesehatan diterima sebagai sesuatu yang alam ”natural” dan
hasil perbedaan individu yang sulit terhindarkan tentang penghormatan terhadap
genetik dan tangan-tangan tersembunyi (silent hands) pasar ekonomi ataukah
masalah ekonomi dan sosial yang harus diselesaikan oleh masyarakat dan
negara modern (Adams, Amos, & Munro, 2002). Perbedaan pandangan ini tidak
hanya pada apakah secara scientifik dan ekonomi memungkinkan ketidaksetaraan
kesehatan ini dapat terjadi tetapi juga perbedaan pandangan ideologi dan politik
dapat menjadi penyebab terhadap masalah tersebut.
1.3.2 Determinan kesehatan
Penyebab dan faktor predisposisi terhadap sehat-sakit semakin dipahami
dengan baik (Bambra et al., 2005). Meskipun demikian banyak kasus
menunjukkan
bahwa faktor lingkungan sama pentingnya dengan faktor sosial dan ekonomi dalam
mempengaruhi kesehatan (Marmot & Wilkinson, 2001). Faktor-faktor seperti
perumahan, pendapatan dan pengangguran dan isu lainnya banyak didominasi oleh
masalah politik yang menjadi determinan kesehatan dan kesejahteraan.
Demikian pula banyak determinan kesehatan dan ketidaksetaraan terhadap
kesehatan bergantung dan berada di luar dari sektor kesehatan (Acheson, 1998; S
Palutturi, Rutherford, Davey, & Chu, 2013). Karena masalah seperti ini berada di
luar dari kewenangan sektor kesehatan (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan
dan badan- badan pemerintah yang relevan dengan kesehatan), maka
penyelesaiannya membutuhkan kebijakan non sektor kesehatan untuk mendukung
dan menanggulangi masalah tersebut (Acheson (1998); Whitehead, Diderichsen, &
Burstrom, 2000).
Sebagai contoh banjir merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh
banyak wilayah kabupaten/kota di seluruh Indonesia pada musim hujan terutama
beberapa kota besar di Indonesia misalnya Makassar dan Jakarta. Banjir secara
langsung tidak berhubungan dengan sektor kesehatan. Kewenangan ini mungkin
berada di Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang Tata Kota atau Mungkin
Bappeda. Akan tetapi ketidakmaksimalan dinas dan badan ini merancang dan
merencanakan kota yang sehat menyebabkan kota menjadi semraut, selokan
tersumbat dimana-mana sehingga menyebabkan genangan air juga terjadi dimana-
mana. Bukan hanya itu banjir tidak hanya berkaitan dengan genangan air, tetapi
banjir juga akan dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas bahkan kecelakaan lalu
lintas karena jalanan berlobang dan rendahnya kualitas infrastruktur jalanan. Semua
masalah ini tentu tidak berada pada kewenangan dinas kesehatan atau kementerian
kesehatan tetapi dampaknya pada kesehatan.
Diakui bahwa determinan sosial terhadap kesehatan (social determinants of
health) telah mendapat porsi dalam banyak debat, diskusi dan mungkin
kebijakan yang mendukung untuk itu tetapi gagal dalam menyelesaikan masalah
kesehatan yang berhubungan dengan determinan politik dan ketidaksetaraan
kesehatan (political determinants of health).

1.3.3 Organisasi
Kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) didefiniskan sebagai
”The science and art of preventing disease and prolonging life, and promoting
physical and
mental health and efficiency, through organized community efforts...”. Definisi
ini
menekankan bahka upaya terhadap pencegahan penyakit, memperpanjang
usia
harapan hidup dan meningkatkan kesehatan hanya dapat dicapai melalui upaya
kesehatan masyarakat yang terorganisir bukan upaya kesehatan individu yang
terorganisir. Pengorganisasian masyarakat dihampir semua negara merupakan
peranan negara dan badan-badan pemerintah. Definisi ini menggarisbawahi
bahwa
aspek sosial dan politik terhadap upaya peningkatan status kesehatan
merupakan sesuatu yang vital.

1.3.4 Kewarganegaraan
Terdapat tiga hak warga negara yaitu hak sipil, politik dan sosial (Bambra et
al., 2005). Tuntutan terhadap hak-hak sipil misalnya hak dalam beragama,
mengeluarkan pendapat dan melakukan kontrak atau perjanjian, muncul sekitar
abad
18. Hak politik termasuk hak untuk dipilih atau menjadi wakil
(representative)
terhadap lembaga pemerintah dan lembaga perwakilan misalnya anggota
dewan,
muncul sekitar abad 19 sementara isue kesehatan dan pendidikan gratis juga
termasuk hak-hak ekonomi mulai banyak diperdebatkan pada abad 20. Kesehatan
atau hak terhadap standar hidup yang layak termasuk hak kewarganegaraan sosial
yang sangat penting (International Forum for the Defence of the Health of People,
2002). Hak-hak kewarganegaraan ini diperoleh sebagai hasil dari perjuangan sosial
dan politik selama industrialisasi barat dan pengembangan kapitalisme. Karena itu
isu kesehatan gratis termasuk isu yang berkaitan dengaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) sebetulnya telah menjadi perdebatan puluhan tahun bahkan
ratusan tahun yang lalu. Sejarah perkembangan kewarganegaraan yang
dimodifikasi dari Marshall (1963) dalam Bamra, et al. (2005) dapat dilihat pada
Gambar 1.1

Abad 18 Abad 19 Abad 20


Hak-hak sosial:
Hak-hak politik:
Hak-hak sipil: Pendidikan dan
Hak untuk memilih kesehatan gratis,
Kebebasan dan dipilih pemeliharaan
beragama,
pendapatan
berpikir,
berpendapat dan
kontrak
Sosial
Politik

Sipil

Gambar 1.1: Sejarah perkembangan kewarganegaraan


Sumber: Bambra et al. (2003), Hal. 22

1.3.5 Globalisasi
Arus informasi, barang, modal dan tenaga kerja bahkan masalah
lingkungan dalam lintas batas politik dan ekonomi telah terjadi dalam abad
ini. Kompetisi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu bukti bahwa kelihatan
dunia terasa semakin sempit, persepsi tentang waktu telah berubah dan terdapat
interaksi global terhadap ide, budaya dan nilai-nilai, termasuk interaksi global
dalam bidang kesehatan. Kebakaran hutan di beberapa provinsi dan pulau di
Indonesia telah menjadi masalah global yang menuntut perhatian bersama secara
global. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera menyebabkan
negara-negara tetangga
”berteriak” dan bahkan sampai menawarkan diri untuk menyelesaikan masalah
ini.

Lee (2000) dalam Bambra et al. (2003) memberikan definisi tentang


globalisasi sebagai ”The process of closer interaction of human activity across
a range of spheres, including the economic, sosial, political and cultural,
experienced along three dimensions: spatial, temporal and cognitive”. Tentu saja,
globalisasi memberikan manfaat dan tidak sedikit pula memberikan kerugian.
Manfaatnya adalah jika potensi dan sumber daya yang dimiliki lebih siap dan
memberi kontribusi terhadap masyarakat global, Indonesia menjadi negara yang
bisa menjadi supplier tenaga kesehatan, bahasa Indonesia seharusnya dapat menjadi
bahasa pemersatu dan bahasa pengantar bagi MEA. Namun demikian, jika bangsa
ini tidak bisa bersaing bahkan tenaga kerja Indonesia dibayar dengan harga yang
murah, maka globalisasi bagi bangsa Indonesia adalah bencana.

1.4 Mengapa kesehatan menjadi isu


politik?
Kelihatannya politik kesehatan agak terbelakang dan termarginalkan
(underdeveloped and marginalised). Politik kesehatan belum banyak diperdebatkan
atau didiskusikan secara luas sebagai entitas politik dalam debat-debat
akademik (seminar, workshop, penelitian, pelatihan, seminar dan konferens) atau
kelompok masyarakat yang lebih luas, termasuk dalam ilmu politik (McGinnis,
Williams-Russo,
& Knickman, 2002; Navarro & Shi, 2001). Dibandingkan dengan masalah-masalah
kemasyarakatan dan kenegaraan lainnya misalnya masalah KPK,
kepolisian, terorisme, ekonomi, geng motor masalah politik kesehatan belum
menjadi isu dan perdebatan bagi setiap orang. Politik kesehatan hanya banyak
diperdebatkan oleh partai, calon legislatif dan calon bupati/walikota/gubernur
bahkan presiden ketika menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum.
Isu kesehatan dan bahkan yang mempengaruhi kesehatan kemudian perlahan hilang
seiring dengan saat terpilihnya seorang pimpinan. Masalah politik kesehatan akan
muncul kembali diperdebatkan menjelang pemilihan berikutnya. Oleh karena itu,
diibaratkan isu kesehatan ini diperdebatkan seperti mata gergaji. Tidak ada
penjelasan secara sederhana dalam kealpaan ini. Perlakuan kesehatan sebagai politik
hampir merupakan hasil interaksi dari sebuah isu yang demikian kompleks.

1.5 Politik dan outcome kesehatan


Terdapat hubungan antara politik, pasar tenaga kerja, disparitas sosial dan
outcome kesehatan (lihat Gambar 1.2). Politik yang dimaksudkan misalnya
dukungan
elektoral yang diukur dengan partisipasi pemilih dan keberpihakan pemilih, dan
sumber daya kekuasaan yang mendukung setiap tradisi politik. Kondisi politik
ini
berpengaruh terhadap pasar tenaga kerja (labour market) dan negara
kesejahteraan
(welfare state). Pasar tenaga kerja mencakup populasi yang aktif, partisipasi
perempuan terhadap angkatan kerja, angka pengangguran terhadap perempuan dan
laki-laki sementara negara kesejahteraan diukur dari pengeluaran kesehatan
masyarakat (public health expenditure) dan cakupan pelayanan kesehatan
masyarakat (public health care coverage). Baik pasar tenaga kerja maupun negara
kesejahteraan berpengaruh terhadap disparitas sosial yang dikur dari disparitas
pendapatan. Tentu saja disparitas sosial memberi dampak terhadap kesehatan baik
terhadap angka kematian bayi maupun usia harapan hidup.
Pasar tenaga kerja
Populasi aktif
Partisipasi
Politik perempuan dalam
angkatan kerja
Time in government Angka
pengangguran laki- Outcome
berdasarkan perbedaan
laki dan perempuan Disparitas sosial kesehatan
tradisi politik
Negara kesejahteraan Disparitas Angka Kematian
Dukungan elektoral:
Pengeluaran pendapatan Bayi
Partisipasi pemilih kesehatan
masyarakat
Keberpihakan pemilih
Cakupan pelayanan
kesehatan
masyarakat

Gambar 1.2: Hubungan Politik dan Outcome


Kesehatan
Sumber: Navarro et al. (2006)

1.6 Pertanyaan dan Diskusi


Setelah membaca materi ini, peserta dapat menjawab pertanyaan di bawah ini:
a. Apa yang dimaksud dengan politik, kesehatan dan politik
kesehatan?
b. Apa sifat politik
kesehatan?
c. Mengapa kesehatan disebut isu
politik?
d. Gambarkan sejarah perkembangan kewarganegraan dalam kaitan
dengan
kesehatan
e. Buktikan bahwa masalah kesehatan banyak ditentukan oleh dimensi
politik!

1.7 Penutup
Dari aspek sosial masalah kesehatan telah banyak diperdebatkan akan tetapi
pentingnya dimensi politik yang mempengaruhi kesehatan belum banyak dipelajari.
Menyadari pentingnya dimensi politik terhadap kesehatan, maka sebaiknya
perguruan tinggi kesehatan dan sekolah kesehatan (masyarakat) sebaiknya
mengajarkan kepada mahasiswa dan mereka yang tertarik dalam bidang ini. Kami
percaya bahwa politik kesehatan adalah sebuah bidang ilmu yang tidak kurang
pentingnya dengan sosiologi
kedokteran dan ekonomi kesehatan pada satu sisi dan sosiologi politik dan
psikologi politik pada sisi yang lain.
References:

Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London: The


Stationary Office.
Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London: Sage.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health.
Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health
Promotion International, 20(2), 187-193.
Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J
(Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave
Macmillan.
Donkn, A., Goldblatt, P., & Lynch, K. (2002). Inequalities in life expectancy
by social class 1997-1999. Health Statistics Quarterly, 15, 5-15.
Doyal, L., & Pennell, I. (1979). The political economy of health. London: Pluto
Press. Freeman, R. (2000). The politics of health in Europe. Manchester:
University of
Manchester Press.
Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.
International Forum for the Defence of the Health of People. (2002). Health as an
esential human needs, a right of citizenship, and a public good: health for
all is possible and necessary. International Journal of Health Services, 32,
601-
606.
Marmot, M., & Wilkinson, R. (2001). Psychosocial and material pathways in the
relation between income and health. British Medical Journal, 322, 1233-
1236.
Marsh, D., & Stoker, G. (2002). Theory and methods in political science.
Basingstoke, UK: Palgrave Macmillan.
McGinnis, J. M., Williams-Russo, P., & Knickman, J. R. (2002). The case for more
active policy attention to health promotion. Health Affairs, 21, 78-93.
Navarro, V., Muntaner, C., Borrell, C., Benach, J., Quiroga, A., Rodriguez-Sanz, M.,
. . . Pasarin, M. I. (2006). Politics and health outcomes. Lancet, 367.
Navarro, V., & Shi, L. (2001). The political context of social inequalities and health.
International Journal of Health Services, 31, 1-21.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126.
Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact
of
public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.),
Understanding health inequalities. Buckingham: Open University Press.
BAB II
KOMPETENSI POLITIK KESEHATAN

2.1 Pendahuluan
Isu kesehatan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Untuk
mewujudkan kondisi kesehatan yang optimal, para professional kesehatan
seharusnya
memiliki kompetensi atau keterampilan politik. Kompetensi politik sebagai
bagian dari kompetensi sosial harus dikembangkan dan diasah terus guna
memperoleh
dukungan politik pemerintah dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat
dan faktor yang mempengaruhinya. Berbagai jenis keterampilan sosial
yang
mempengaruhi keterampilan politik dan bagaimana membangun
keterampilan tersebut disajikan pada bagian ini.

2.2 Keterampilan Politik dalam Bidang Kesehatan


Meskipun politik kadang berkonotasi negatif tetapi ternyata
keterampilam politik menjadi sangat penting bagi karir manager seseorang
termasuk didalam
mengelola program kesehatan. Keterampilan politik dimaknai sebagai
gaya interpersonal yang merupakan penggabungan antara kepedulian sosial
(social
awareness) dengan kemampuan berkomunikasi. Orang-orang yang sering
berlatih dan mempraktekkan keterampilan ini secara baik, menawan dan
menarik dapat
menginspirasi percaya diri, kepercayaan, dan ketulusan. Penggunaan
keterampilan politik tidak dibatasi oleh interaksi tatap muka (face to face
interaction), tetapi justru
keterampilan politik ini memberikan ruang kepada model komunikasi yang
lain misalnya melalui email dan sarana komunikasi lainnya.
Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan sosial
merupakan bagian dari salah satu kompetensi pemimpin kesehatan masyarakat,
dibutuhkan hampir di semua level organisasi baik organisasi pemerintah, swasta,
partai politik, organisasi profesi, dan organisasi atau lembaga kemasyarakatan (Non
Government Organisation). Keterampilan seperti ini pun menjadi sangat penting
dalam bidang kesehatan karena:

a. Masalah kesehatan cukup kompleks baik dari sisi dampak maupun dari sisi
determinan. Dari sisi dampak masalah kesehatan berkaitan dengan angka
kematian dan angka kesakitan. Sementara dari sisi determinan dapat berupa
lingkungan, kebijakan, anggaran, sumber daya, perilaku, pelayanan kesehatan,
pembiayaan kesehatan atau pun dari aspek kependudukan. Dalam konteks politik
semua aspek ini harus dikomunikasikan kepada orang lain, kepada pemerintah
dan pengambil kebijakan, dikomunikasikan kepada kelompok atau pun
masyarakat secara umum.

b. Terjadi perebutan kepentingan antar atau dalam bidang kesehatan sehingga perlu
ada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau departemen lain. Secara
internal orang-orang yang bergerak dibidang kesehatan mempunyai kepentingan
yang berbeda antara mereka yang bergerak dibidang lingkungan, gizi dan
promosi
kesehatan. Demikian pula antara satu departemen dengan departemen
lainnya. Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Kebersihan dan Pertamanan masing-masing mempunyai bisnis berbeda yang
kesemuanya mencoba untuk mempengaruhi pejabat tingkat di atasnya untuk
diakomodasi sebagai sektor prioritas.

c. Karena determinan kesehatan sangat kompleks, maka perlu ada kemampuan


koordinasi dan bekerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikan berbagai
persoalan kesehatan yang ada. Koordinasi dan kerjasama menjadi sangat penting
karena banyak fakor kesehatan yang berada di luar dari sektor kesehatan (beyond
health). Angka kesakitan dan kematian yang tinggi bukan karena terlambat
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas tetapi karena
kurang gizi, angka kecelakaan, jalanan berlubang atau banjir. Masalahnya tidak
berada pada ranah sektor kesehatan tetapi dampaknya ada pada sektor kesehatan.

d. Peningkatan kapasitas baik tenaga kesehatan maupun masyarakat secara


keseluruhan dan berkesinambungan. Oleh karena itu kemampuan melatih
atau transfer pengetahuan dari seseorang kepada orang lain menjadi sangat
penting untuk menjaga keberlanjutan tersebut dan demi efektifitas program.

Keterampilan politik yang harus dimiliki oleh mereka yang bergerak


dibidang kesehatan adalah keterampilan komunikasi, memfasilitasi, melatih,
mempengaruhi, mengkoordinasi dan kerjasama dengan orang lain. Meskipun
demikian, kemampuan komunikasi tentang bagaimana menyampaikan pesan secara
efektif, bagaimana mempengaruhi orang lain dan kerjasama dengan orang lain
menjadi hal yang krusial dan tidak mudah untuk dilakukan. Nampaknya mudah
untuk diungkapkan tetapi relatif sulit untuk diimplementasikan. Orang yang
memiliki kemampuan politik yang tinggi mampu mengekspresikan diri secara
alamiah dan dapat memanfaatkan berbagai sarana komunikasi. Mereka yang
memiliki kemampuan dan skill politik yang tinggi memberi kesempatan kepada
orang lain untuk menciptakan sinergitas diantara berbagai praktek perilaku untuk
menetapkan sebuah dinamika interpersonal. Oleh karenanya, skill politik bukan
merupakan sifat atau skill tunggal tetapi merupakan gabungan dari berbagai skill
lainnya.

Kotak 2.1: Keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan sosial

Keterampilan sosial (Social Skills):

Komunikasi (Communication)– Memfasilitasi (Facilitating)- Melatih


(Coaching)
Sumber: Ferris, Perrewe, Anthony, and Gilmore (2000)
– Mempengaruhi (Influencing) – Mengkoordinasi (Coordinating) –
Kerjasama dengan orang lain (Partnership)
2.3 Jenis-Jenis Keterampilan Sosial
Beberapa jenis keterampilan sosial yang mempengaruhi keterampilan
politik, yaitu kecerdasan sosial (social intelligence), kecerdasan emosional
(emotional
intelligence), ketahanan ego (ego-resiliancy), social self efficacy (self
efficacy social), Pemantauan diri sendiri (self monitoring),

a. Kecerdasan sosial
Kecerdasan sosial mengacu pada kemampuan untuk memahami dan
mengelola orang. Konsep ini lahir dan mengingatkan pada upaya untuk memperluas
pandangan kita tentang kecerdasan diluar IQ. Dimana terdapat kecerdasan-kecerdasan
lain yang tidak kalah hebatnya daripada IQ tersebut. Terdapat gagasan bahwa ada
lebih dari satu cara selain IQ itu sendiri untuk keberhasilan dalam aspek kehidupan
yang cenderung melampaui konteks pembelajaran di kelas. Kami berpendapat bahwa
kecerdasan sosial memainkan peran yang sangat dominan dalam keterampilan
politik. Banyak fakta- fakta di masyarakat kita orang yang kelihatannya mempunyai
kemampuan akademik yang biasa-biasa saja tetapi mereka berhasil di tengah-tengah
masyarakat memimpin partai politik, organisasi daerah, bahkan posisi
bupati/walikota, gubernur dan presiden. Keterampilan politiknya lebih spesifik untuk
lingkungan kerja dan berkaitan dengan pemahaman dan mengelola orang dalam
pekerjaan atau pengaturan organisasi. Orang yang memiliki kecerdasan sosial
yang tinggi memiliki kemampuan di dalam memahami dan mengelola orang
lain.

b. Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk memonitor sendiri
perasaan dan emosi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan emosional dapat dilihat
sebagai upaya melibatkan kemampuan dalam mengendalikan dorongan dan menunda
kepuasan, untuk mengatur suasana hati seseorang, dan mampu berempati.
Mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan
menunda kepuasaan sendiri, mampu memberi rasa puas kepada orang lain, dan
mampu mengontrol dirinya sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi juga memiliki rasa empathi kepada orang lain, mereka dengan cepat merespon
bagaimana perasaan orang lain dan bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Ketika seseorang menderita sakit berkepanjangan, mengalami
musibah kemiskinan dan kelaparan, maka mereka yang mempunyai kecerdasan
emosional yang tinggi, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bahkan
dengan empati ini, mereka bisa memberikan bantuan dan ikut memecahkan masalah
terhadap apa yang dihadapi oleh orang lain. Oleh karena itu, mengontrol dan
mengatur emosi merupakan bagian penting dari keterampilan sosial disamping aspek
penting lainnya misalnya membangun dan memanfaatkan modal sosial.

c. Ketahanan ego
Ketahanan ego adalah bentuk keterampilan sosial yang secara fundamental
memberikan kontribusi untuk adaptasi lingkungan yang efektif melalui kemampuan
untuk mengatur perilaku sendiri terhadap tuntutan lingkungan yang berbeda
dan terus berubah. Konsep ini meliputi komponen emotional self regulation,
adaptive
impulse control, social intelligence and sense of self-efficacy. Kemampuan untuk
beradaptasi dengan baik terhadap situasi sosial yang berbeda dipandang
berkontribusi terhadap keterampilan politik.

d. Self efficacy sosial


Tipe lain dari keterampilan sosial yaitu efikasi diri sosial, yang mengacu
pada penilaian kemampuan pribadi dalam konteks interaksi sosial. Orang
yang mempunyai self efficacy sosial yang tinggi percaya bahwa mereka dapat
mengontrol hasil interaksi sosial. Mereka yang mempunyai self efficacy sosial yang
rendah pada konstruksi ini, di sisi lain, percaya bahwa mereka tidak memiliki
kemampuan untuk menguasai interaksi sosial, terlepas dari level kompetensi sosial
atau pengetahuan mereka. Dengan demikian, self efficacy sosial adalah
keyakinan dasar atau keyakinan pada kemampuan seseorang untuk
mengendalikan situasi sosial, yang memberikan kontribusi untuk bersikap
optimistis dan sikap yang positif, dan berkontribusi terhadap terhadap efektivitas
dalam situasi sosial. Keterampilan politik mencerminkan konsep efikasi diri sosial,
namun skill politik ini berkaitan dengan konteks yang unik dan interaksi dalam
organisasi.

e. Pemantauan diri sendiri (self


monitoring)
Orang yang memiliki kemampuan pemantauan diri sendiri dapat
menunjukkan kemampuan untuk mengontrol ekspresi emosi mereka. Mereka
mampu menggunakan keterampilan ini secara efektif untuk menciptakan kesan
yang diinginkan. Dengan demikian, pemantauan diri merupakan jenis keterampilan
sosial yang berfokus pada demonstrasi efektif tentang situasi perilaku sosial. Selain
itu, mereka yang memiliki kemampuan ini mencerminkan keterampilan yang unik
untuk bisa membaca, menafsirkan, dan memahami situasi sosial yang ada. Gaya
sosial pemantauan diri yang tinggi adalah salah satu yang mencoba untuk
menyajikan sesuatu yang sesuai orang dalam setiap situasi. Orang dengan
orientasi ini pula, mempunyai sensitivitas dan daya respons yang kuat terhadap
isyarat interpersonal. Meskipun demikian, keterampilan politik berbeda dengan
pemantauan diri. Keterampilan politik sering digunakan untuk melakukan
perubahan terhadap cara yang diinginkan, sedangkan pemantauan diri
menggambarkan upaya individu untuk berperilaku dengan cara yang tepat secara
sosial.

f. Tacit knowledge and practical


intelligence
Tacit knowledge and practical intelligence diartikan sebagai
pengetahuan dipahami tanpa dikatakan atau diam-diam atau tanpa diucapkan,
dan kecerdasan praktis adalah salah satu skill sosial dan politik yang harus
dimiliki oleh politisi kesehatan atau yang bergerak dibidang kesehatan. Tacit
knowledge ini mengacu pada orientasi tindakan yang relevan dengan
pengetahuan yang memungkinkan orang untuk mencapai tujuan mereka secara
pribadi. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh tanpa bantuan lembaga lainnya
dengan kata lain, belajar tentang diri sendiri. Hal ini berhubungan secara alamiah
dan secara langsung berkaitan dengan pencapaian tujuan. Pengetahuan tacit
berkaitan dengan kecerdasan praktis, atau akal sehat. Pengetahuan tacit dan
kecerdasan praktis berhubungan erat satu sama lain dalam
keterampilan politik. Jika seseorang memiliki pengetahuan ini, salah satu lebih
mungkin untuk dapat menunjukkan keterampilan politik. Dengan demikian,
keterampilan politik sebagian besar didasarkan pada pengetahuan tacit seseorang
dan kecerdasan praktis.
Pengaruh dimensi keterampilan sosial terhadap keterampilan politik dapat
ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Kecerdasan
sosial Kecerdasan
Pengetahuan emosional
tacit dan
kecerdasan
Keterampilan
politik
Ketahanan
Pemantauan ego
diri sendiri
Self-efficacy
sosial

Gambar 2.1: Pengaruh Dimensi Keterampilan Sosial terhadap Keterampilan


Politik
Sumber: Ferris et al. (2000)

2.4 Dimensi Keterampilan


Politik
Pemeriksaan yang cermat dan teliti terhadap politik organisasi dan
keterampilan politik menunjukkan beberapa aspek penting yang harus
dimasukkan
dalam konseptualisasi keterampilan politik. Pemeriksaan ini menunjukkan
empat dimensi kritis keterampilan politik: kecerdasan sosial, pengaruh
interpersonal,
kemampuan jaringan, dan ketulusan
jelas.
Kecerdasan sosial. Individu yang memiliki keterampilan politik memahami
interaksi sosial dengan baik dan akurat dan mampu menafsirkan perilaku
mereka, serta perilaku orang lain. Mereka tajam dengan lingkungan sosial yang
beragam dan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Pfeffer (1992) menyebutkan
bahwa seseorang yang memiliki karakteristik seperti ini sensitif terhadap orang lain,
dan dia berpendapat bahwa kemampuan untuk mengidentifikasi dengan orang
lain sangat penting untuk mendapatkan hal-hal untuk diri sendiri. Individu yang
cerdik secara sosial sering dipandang sebagai orang cerdik, bahkan pintar,
dalam berhubungan dengan orang lain.
Pengaruh interpersonal. Secara politik, individu yang terampil memiliki
gaya hidup sederhana dan meyakinkan yang memberikan pengaruh kuat pada orang
lain di sekitar mereka. Pengaruh interpersonal memungkinkan orang untuk
beradaptasi dan menyesuaikan perilaku mereka untuk situasi yang berbeda
untuk memperoleh
tanggapan yang diinginkan dari orang lain. Pengaruh dimensi interpersonal
menangkap apa yang Pfeffer (1992) sebut sebagai "fleksibilitas", yang melibatkan
adaptasi perilaku seseorang untuk target pengaruh yang berbeda dalam setting
kontekstual yang berbeda untuk mencapai tujuan seseorang.
Kemampuan jaringan. Individu dengan keterampilan politik yang dimilikinya
mahir mengidentifikasi dan mengembangkan beragam kontak dan jaringan. Orang-
orang dalam jaringan ini cenderung untuk memegang aset sebagai sesuatu yang
berharga dan diperlukan untuk keuntungan pribadi dan organisasi yang sukses.
Mereka biasanya mempunyai gaya yang halus. Individu politik terampil
dengan mudah mengembangkan persahabatan dan membangun kuat, aliansi dan
koalisi. Selain itu, individu yang tinggi dalam kemampuan jaringan memastikan
mereka memiliki posisi untuk membuat dan memanfaatkan peluang (Pfeffer,
1992). Akhirnya, mereka sering menjadi negosiator terampil dan pembuat
kesepakatan, dan mahir terhadap manajemen konflik.
Ketulusan jelas. Individu yang memiliki keterampilan politik muncul di
permukaan sebagai seorang yang memiliki tingkat integritas yang tinggi dan
menjadi otentik, dan tulus. Mereka, atau tampak jujur dan terus terang. Dimensi
keterampilan politik ini sangat penting jika upaya pengaruh menjadi berhasil, karena
berfokus pada niat yang dirasakan terhadap perilaku yang ditampilkan. Sebagaimana
dicatat oleh Jones (1990), upaya pengaruh akan berhasil bila aktor yang dianggap
tidak memiliki motif tersembunyi atau kepentingan lain daripada kepentingan yang
ada selama ini. Individu yang tinggi dalam ketulusan jelas menginspirasi rasa
percaya dan kepercayaan dari orang-orang di sekitar mereka karena tindakan
mereka tidak ditafsirkan sebagai tindakan manipulatif atau koersif.
Keempat dimensi keterampilan politik itu yaitu kecerdasan sosial,
pengaruh
interpersonal, kemampuan jaringan, dan ketulusan jelas diasumsikan mempunyai
hubungan satu sama lain.

2.5 Kompetensi Politik dalam


Organisasi
Kompetensi politik adalah sebuah konstruk yang telah diperkenalkan
lebih dari dua dekade yang lalu untuk membangun sebuah organisasi yang efektif.
Namun
para ilmuan organisasi banyak tertidur (dormant) dan lambat menyadari pentingnya
keterampilan politik tersebut. Di awal tahun 1980s, Pfeffer (1981) dan
Mintzberg
(1983) mengadvokasi perspektif politik pada organisasi. Keduanya juga
menyarankan bahwa untuk menjadi efektif dalam lingkungan politik, individu
seharusnya memiliki keterampilan politik. Penelitian-penelitian tentang
keterampilan politik banyak tidur hingga Ferris dan koleganya (Ferris et al.,
1999; Ferris, Treadway, et al., 2005) mengembangkan sebuah ukuran konstruk
dan program penelitian.
Keterampilan politik ditandai sebagai pola kompetensi sosial
yang
komprehensif dengan manifestasi kognitif, afektif dan perilaku yang
mempunyai dampak langsung terhadap outcome atau dampak moderator terhadap
hubungan predictor-outcome. Sebuah pandangan baru yang dishare oleh banyak
akademisi adalah bahwa organisasi sudah menjadi sifatnya sebagai arena politik
(Mintzberg,
1985). Dalam hal ini, diasumsikan bahwa meskipun kinerja, efektivitas, dan
kesuksesan karir ditentukan sebagian oleh kecerdasan dan kerja keras, faktor
lain
seperti kecerdasan sosial, posisi, dan kecerdasan itu sendiri memainkan peran
penting (misalnya, Luthans, Hodgetts, & Bergen, 1988; Mintzberg, 1983). Pfeffer
(1981) adalah salah satu yang pertama menggunakan istilah "skill politik" dalam
literatur ilmiah. Dia menyarankan bahwa keterampilan politik dibutuhkan untuk
menjadi sukses dalam organisasi. Demikian pula, Mintzberg (1983) mengemukakan
bahwa keterampilan politik disebut sebagai latihan pengaruh melalui persuasi,
manipulasi, dan negosiasi.

2.6 Membangun Keterampilan


Politik
Orang mungkin dilahirkan dengan kapasitas dan mempunyai
keterampilan politik, tetapi mungkin tidak pernah terwujud sampai batas yang
paling maksimal
kecuali mereka menemukan diri mereka sendiri. Mereka melatih diri sendiri.
Semakin mengasah keterampilan politik tersebut untuk mencapai kesempurnaan
dan
atau terlibat secara aktif mengembangkan keterampilan, maka mereka akan
memiliki keterampilan politik yang lebih maksimal pula. Oleh karena itu, perlu
ada proses
seleksi dan implikasi pelatihan untuk keterampilan politik. Ini menunjukkan bahwa
keterampilan politik itu dapat diperoleh karena dilahirkan dan juga dapat
dikembangkan melalui proses belajar dan latihan secara terus menerus. Orang yang
memiliki keterampilan politik karena dilahirkan, berasal dari keluarga dan
keturunan yang memiliki keterampilan politik yang baik dan juga keterampilan
tersebut terus berlatih, maka orang tersebut akan semakin matang dengan
keterampilan politik yang dimilikinya.
Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan
politik seseorang,
yaitu:

a. Penilaian diri sendiri (self assessment) dan


pemahaman
Penilaian diri sendiri atau kesadaran diri yang lebih baik dapat dilakukan
dengan memahami kepribadian seseorang dan bagaimana membuat keputusan.
Kuesioner penilaian kepribadian yang cukup baik adalah Five-Factor Model and the
Sixteen Personality Factor Questionnaire (16PF) (Cattell and Mead (2008); John &
Srivastava, 1999; McCrae & John, 1991). Kedua instrumen ini mampu memberikan
pandangan terhadap kepribadian seseorang di dalam menentukan bagaimana
seorang merespon terhadap berbagai situasi organisasi. Five factor model biasa
disebut Big 5 personality traits dan masing-masing mempunyai deskripsi, yaitu:
Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism, and Openness to
Experience.

1) Ekstraversi (Extraversion). Menilai kuantitas dan


intensitas interaksi interpersonal, level aktivitasnya, kebutuhan untuk
didukung, kemampuan untuk berbahagia. Dimensi ini menunjukkan tingkat
kesenangan seseorang akan hubungan. Mereka yang memiliki skor ekstraversi
yang tinggi cenderung ramah dan terbuka serta menghabiskan banyak waktu
untuk mempertahankan dan menikmati sejumlah hubungan. Sementara mereka
yang memiliki skor yang rendah cenderung tidak sepenuhnya terbuka dan
memiliki hubungan yang lebih sedikit dan tidak seperti kebanyakan orang lain,
mereka lebih senang dengan kesendirian.
2) Keramahan (Agreeableness). Menilai kualitas orientasi individu
dengan kontinum nilai dari lemah lembut sampai antagonis didalam berpikir,
perasaan dan perilaku. Dimensi ini merujuk kepada kecenderungan
seseorang untuk tunduk kepada orang lain. Mereka yang memiliki skor A
tinggi cenderung jauh lebih menghargai harmoni daripada ucapan atau cara
mereka. Mereka tergolong orang yang kooperatif dan percaya pada orang lain.
Mereka yang memiliki skor A rendah cenderung memusatkan perhatian lebih
pada kebutuhan mereka sendiri ketimbang kebutuhan orang lain.

3) Kesadaran (Conscientiousness). Menilai kemampuan individu


didalam organisasi, baik mengenai ketekunan dan motivasi dalam mencapai
tujuan sebagai perilaku langsungnya. Sebagai lawannya menilai apakah
individu tersebut tergantung, malas dan tidak rapi. Dimensi ini merujuk
pada jumlah tujuan yang menjadi pusat perhatian seseorang. Orang yang
mempunyai skor tinggi cenderung mendengarkan kata hati dan mengejar
sedikit tujuan dalam satu cara yang terarah dan cenderung bertanggung jawab,
kuat bertahan, tergantung, dan berorientasi pada prestasi. Sementara yang
skornya rendah, ia akan cenderung menjadi lebih kacau pikirannya,mengejar
banyak tujuan.

4) Neurotisme (Neuroticism). Trait ini menilai kestabilan dan


ketidakstabilan emosi. Mengidentifikasi kecenderungan individu apakah
individu tersebut mudah mengalami stres, mempunyai ide-ide yang tidak
realistis, mempunyai coping response yang mal-adaptif. Dimensi ini
menampung kemampuan seseorang untuk menahan stres. Mereka yang
memiliki skor N yang tinggi cenderung berciri tenang, bergairah dan aman.
Sementara mereka yang memiliki skor N yang rendah cenderung tertekan,
gelisah dan tidak aman.

5) Keterbukaan (Openness). Menilai usahanya secara proaktif dan


penghargaannya terhadap pengalaman demi kepentingannya sendiri. Menilai
bagaimana ia menggali sesuatu yang baru dan tidak biasa. Dimensi ini
mengarah tentang minat seseorang. Mereka yang memiliki skor tinggi pada
keterbukaan akan cenderung menjadi imajinatif, benar-benar sensitif dan
intelek. Sementara mereka yang memilik skor rendah pada keterbukaan
cenderung realistis, tidak kreatif, dan tidak penasaran terhadap sesuatu.

Sixteen personality factors (16PF) adalah kuesioner kepribadian yang telah


dikembangkan berabad-abad lamanya oleh Raymond B. Cattell, Maurice Tatsuoka
dan Herbert Eber, sebuah alat ukur yang komprehensif dan efektif untuk menilai
kepribadian normal dalam berbagai pengaturan di mana penilaian yang mendalam
dari seluruh orang yang dibutuhkan (Cattell & Mead, 2008). 16PF ini dapat
digunakan sebagai instrumen klinik untuk membantu melakukan diagnosa gangguan
mental demikian juga secara luas telah digunakan dalam bidang psikologi.
Walaupun 16 PF hanya mengukur kepribadian normal (bukan psikopatologi),
tes tersebut juga sering digunakan dalam bidang konseling dan klinis karena
kemampuannya dalam memberikan gambaran utuh dan mendalam pada seseorang,
termasuk kelebihan dan kelemahannya. Selain hal tersebut, 16 PF
memfasilitasi dialog antara psikolog dan klien, hal ini karena 16 PF
merepresentasikan aspek umum dalam keseharian sehingga dapat disharingkan
dengan klien, selanjutnya memudahkan untuk berdiskusi, meningkatkan kesadaran
diri dan membuat klien merasa aman dan nyaman sebagai partner dalam proses
asesment dan terapi.
16 PF dapat mengetahui keadaan klien seperti cara berpikir, self-esteem,
keterbukaan, toleransi, coping stres dan empati. Kesemua itu dapat digunakan dalam
mengembangkan kerja sama dengan klien, memilih metode terapi yang sesuai dan
merencanakan proses terapi yag efektif. Selain itu 16 PF telah digunakan pula
dalam berbagai bidang, dari industri seperti rekrutmen, promosi dan training hingga
penelitian tentang sosial, proses penuaan dan militer.

Test 16 PF terdiri dari 16 faktor diungkap secara mandiri (Cattell & Mead,
2008; Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), yaitu :
1. Warmth (Kehangatan)
2. Reasoning
(Pemikiran/Penalaran)
3. Emotional stability (Stabilitas emosional)
4. Dominance (Dominasi)
5. Liveliness
(Keaktifan)
6. Rule-Consciousness (Kesadaran
peraturan)
7. Social Boldness (Keberanian sosial
)
8. Sensitive (Sensitif)
9. Vigilance
(Kewaspadaan)
10. Abstractedness (Imajinasi)
11. Privateness (Privasi)
12. Apprehension
(Penangkapan)
13. Opennes to Change (Keterbukaan untuk
berubah)
14. Self-Reliance
(Kemandirian)
15. Perfectionism
(Perfeksionisme)
16. Tension (Ketegangan)

Pengukuran penilaian diri sendiri adalah dengan melalui The Myers-Briggs


Type Indicator (MBTI). Instrumen ini menyiapkan informasi mengenai bagaimana
individu menyelesaikan masalah, membuat keputusan dan gaya interaksi yang lebih
cocok. Psikiater Swiss, Carl Jung, mengembangkan teori awal abad 20 untuk
menggambarkan preferensi dasar individu dan menjelaskan persamaan dan
perbedaan antara orang Prem (n.d). Postulat utama dari teori ini adalah bahwa
orang memiliki kecenderungan perilaku bawaan dan preferensi. Jung teori penting
tetapi tidak dapat diakses oleh masyarakat umum. Isabel Myers dan Katherine
Briggs (tim ibu-anak) memperluas kerja Jung dengan mengembangkan instrumen
untuk membantu orang mengidentifikasi alat preferensi. MBTI merupakan
indikator dari
tipe kepribadian (yaitu preferensi bawaan) yang telah terbukti sangat handal
dan valid. Perbedaan dari alat berbasis karir psikologis atau lainnya
1. Tidak menilai kesehatan psikologis
2. Tidak "memberitahu" klien apa yang harus dilakukan
3. Melibatkan umpan balik klien dan "kesepakatan"
4. Melibatkan ada skala atau nilai
5. Kekuatan dan kelemahan inherent yang terkait dengan setiap jenis profil

Terdapat empat dimensi indikator tipe Myers-Briggs yaitu extraversion-


introversion, sensing-intuition, thinking-feeling dan judging-perceiving (MBTI,
2013) (lihat Tabel
2.1).

Tabel 2.1: Empat Dikotomi MBTI


Extraversion – Introversion Di mana Anda lebih memilih untuk
E - I Dichotomy memfokuskan perhatian Anda - dan
mendapatkan energi Anda?

Sensing – Intuition Bagaimana Anda memilih untuk


S - N Dichotomy mengambil informasi?

Thinking – Feeling Bagaimana Anda membuat keputusan?


T - F Dichotomy

Judging – Perceiving Bagaimana Anda berurusan dengan dunia luar?


J - P Dichotomy

Sumber: Prem (n.d); MBTI (2013)

Extraversion – Introversion
Fokus pada tindakan dunia luar, benda dan orang-orang, dan menarik energi
dari kontak orang. Sementara tipe orang yang introversi adalah fokus pada dunia
internal,
lebih memilih untuk mencerminkan dan perlu waktu untuk membangun
kembali energi "tenang-pengisian".

Sensing – Intuition
Sensing (penginderaan) adalah percaya pada informasi yang ada, melihat secara
detil dan fakta, bersandar terhadap yang dapat dilihat (tangible) dan dapat
meminimalkan
pentingnya yang tak berwujud (intangible). Intuition (intuisi) adalah
percaya informasi yang abstrak/teoritis, mencari pola/keterkaitan, melihat
bagaimana data
berhubungan dengan teori dan tidak mengabaikan indera tetapi juga
dapat memperhatikan "firasat".
Thinking – Feeling
Thingking (berpikir) yaitu upaya untuk melihat hal-hal dengan menggunakan logika
atau prinsip; mengatur, meringkas atau mengkategorikan informasi;
bersandar
terhadap yang terukur atau sasaran; dan dapat meminimalkan pentingnya nilai-nilai
dan perasaan manusia. Feeling (perasaan) yaitu mencoba untuk melihat sesuatu dari
perspektif lain; terdorong untuk mencari hubungan harmoni, fokus pada
keterampilan-orang, kehangatan dan keramahan; dan meminimalkan pentingnya
"fakta".

Judging – Perceiving
Senang terhadap masalah untuk diputuskan, mulai mengerjakan tugas tepat
waktu;
memiliki rencana yang jelas dan mungkin tampak tidak fleksibel. Perceiving adalah
lebih memilih untuk meninggalkan hal-hal terbuka untuk input lebih lanjut;
ingin tetap mendengarkan; menunda tugas sampai dekat dengan batas waktu; dan
mungkin tampak terlalu fleksibel.

Tabel 2.2: Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type
Indicator
(MBTI)

No 16PF MBTI
1 Berdasarkan analisis statistik dan Berdasarkan Jung tentang teori
pengamatan perilaku manusia kepribadian
2 Menyediakan pendekatan dari luar-ke Menyediakan pendekatan dari dalam- ke
dalam luar
3 Menggambarkan pengaruh yang Membantu orang meningkatkan
mendasari pada gaya perilaku individu kesadaran diri mereka, dan
dan dampaknya terhadap situasi memperluas
kehidupan nyata pemahaman mereka tentang orang
4 Memberikan gambaran yang lebih rinci lain
tentang bagaimana berbeda atau seberapa
mirip orang tersebut dengan orang lain, Menyediakan cara mudah bagi
pada sejumlah besar dimensi kepribadian individu untuk memahami esensi dari
kepribadian mereka sendiri dan mengapa
5 Memberikan gambaran rinci dan spesifik orang lain melihat dunia dan melakukan
pada individu tersebut sesuatu yang berbeda
6 Memberikan wawasan tertentu ke dalam Memberikan gambaran utuh dari
perasaan dan emosi individu keseluruhan kepribadian
Memberikan wawasan tertentu ke dalam
bagaimana individu mengambil
informasi dan membuat keputusan
7 Bagi individu yang sebelumnya Bagi individu yang sebelumnya
menyelesaikan tipe kuesioner berdasarkan melengkapi instrumen berbasis sifat
MBTI, umpan balik 16PF menyediakan seperti kuesioner 16PF, menerima
cara untuk menindaklanjuti interpretasi umpan balik MBTI memberikan
MBTI dengan cara yang baru & rinci alternatif yang berguna sebagai acuan
Sumber: Hackston (n.d.)
Model penilaian diri sendiri yang tak kalah populernya yaitu dengan
instrumen umpan balik 360 derajat (360-degree feedbacks). Cara ini dilakukan yaitu
mengumpulkan persepsi orang lain tentang bagaimana pribadi atau perilaku manajer
diterima dalam sebuah konteks organisasi. Ini adalah sejumlah instrumen,
tetapi meskipun demikian instrumen ini tidak mengukur secara langsung
keterampilan politik seseorang. Setiap individu atau tenaga kerja dalam konsep
penilaian umpan balik 360 derajat menilai diri mereka sendiri dan menerima
feedback dari rekan lainnya, atau atasan atau konsumen. Misalnya tenaga
kesehatan menilai dirinya atas kualitas dan jaminan pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada pasien atau keluarga pasien. Namun pada sisi yang lain
konsumen/pasien/keluarga pasien, rekan sekerja dan atasan akan memberikan
penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan tersebut. Apakah pasien merasa
puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan dalam hal keramahan, komunikasi,
kecepatan dan ketepatan pelayanan. Rekan sekerja dan atasan akan memberikan
penilaian bagaimana petugas kesehatan tersebut memberikan pelayanan kepada
pasien misalnya dalam hal kebersihan ruangan, toilet, ketersediaan air, pencahayaan
dan kualitas udara dalam ruangan/gedung. Oleh karena itu, kualitas pelayanan
kesehatan pasien dapat berdimensi luas, juga termasuk dalam hal ketanggapan
petugas.
Antonioni (1996) dalam Widya (2004) mengemukakan sebuah perusahaan
akan memperoleh manfaat dari diaplikasikannya penilaian kinerja umpan balik
360 derajat berupa:
1. Kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh
penilaian
2. Meningkatnya management
learning
3. Mengurangi penilaian buruk atau prasangka terhadap
penilai
4. Meningkatkan kinerja
Selain itu penilaian kinerja umpan balik 360 derajat dapat digunakan untuk
memperkirakan kebutuhan training, yaitu training apa yang dibutuhkan oleh
seorang petugas kesehatan dalam rangka peningkatan keterampilan mereka
misalnya pelatihan komunikasi interpersonal, pelatihan advokasi, pelatihan
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Bagi seorang manajer program
mungkin pelatihan yang dibutuhkan adalah menghitung unit cost Puskesmas
atau Rumah Sakit, pelatihan perencanaan dan penganggaran kesehatan, pelatihan
healthy cities.
Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat juga dapat menemukan produk atau
layanan baru dan layanan yang dibutuhkan oleh konsumen. Bisnis rumah sakit tidak
hanya berkaitan dengan dokter, tempat tidur dan obat tetapi semua komponen yang
memberikan keamanan dan kenyamanan pasien dan keluarga pasien. Produk baru
dapat berupa layanan parkir untuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan
menggunakan sistem elektronik seperti layanan kendaraan di mal-mal atau di jalan
tol; layanan kebutuhan yang berkaitan dengan fasilitas handphone, layanan rumah
makan atau membangun layanan rujukan yang lebih cepat. Penilaian kinerja umpan
balik 360 derajat tersebut dapat pula mengukur reaksi anggota tim dan dapat
memprediksi permasalahan yang akan dapat terjadi dari sebuah organisasi karena
pada penilaian ini selain konsumen menilai dirinya sendiri, konsumen dinilai oleh
orang lain atau teman sekerjanya. Oleh karena itu, mereka dapat
membangun
interkasi dan komunikasi yang lebih terbuka serta dapat mengantisipasi dan mencari
solusi terhadap potensi permasalahan yang akan muncul.
Untuk mencapaian kinerja maksimal, maka organisasi harus menetapkan
tujuan, standar minimal bahkan tugas dan fungsi dari setiap orang dan
jabatan. Dengan instrumen ini, maka kinerja seseorang lebih mudah untuk
diukur, juga mereka yang dinilai mengetahui apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab mereka.

INPUT PROCESS OUTPUT


Self appraisal
Reaction to feedback
Coaching for
improvement Increase awareness of
Appraisal objective Targeting appraisal expectation
Appraisal instrument improvement areas Improvevement work
Developing action behavior and
Feedback
plans performance
Anonymity for
appraisers Reporting result back Reduction of
Selection of peer to appraisal undiscussable
appraisers Communication specifically
Training appraisers Specific Increase in periodic
improvement goal
Training for coaches informal 3600
and action plans
Feedback report feedback
Job training
performance reviews
Mini appraisal and
Increase in
follow up
management training
Recognition for
improvement
Accountability

Gambar 2.2: Proses penilaian umpan balik 360


derajat
Sumber: Antonioni (1996), hal.
25

b. Metode untuk belajar dan mengembangkan keterampilan


politik
Keterampilan politik dapat dipelajari atau dikembangkan dalam berbagai
cara. Latihan pengalaman peserta melalui bermain peran dan simulasi merupakan
salah satu cara untuk mengembangkan keterampilan politik. Misalnya, peserta
mungkin akan diminta untuk memainkan peran di dalam memecahkan masalah
kebijakan pelayanan pasien BPJS yang demikian menimbulkan berbagai masalah
sejak program Jaminan Kesehatan Nasional dilaunching oleh pemerintah 1
Januari
2014. Diantara mereka ada yang bertindak sebagai pasien BPJS, petugas
BPJS,
Kasir, Security dan Pemberi Pelayanan Kesehatan
(Dokter).
1) Pasien BPJS ini adalah seorang perempuan bernama A, umur 39 tahun,
tinggal
di salah satu kecamatan di Makassar dalam wilayah kerja Puskesmas
”KK”. Menurut dokter yang memeriksanya yang bersangkutan akan mengalami
operasi
karena diduga mengalami usus buntu. Karena yang bersangkutan adalah
tinggal di wilayah kerja Puskesmas “KK”, maka yang bersangkutan harus
mendapat surat rujukan dari puskesmas tersebut, dan ditujukan kepada salah
satu rumah sakit (Misalnya RS AB).
2) Petugas BPJS, petugas ini yang bertindak sebagai petugas untuk
memastikan
bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar dan memenuhi syarat sebagai
pasien BPJS.
3) Petugas kasir, adalah mereka yang bertanggung jawab dalam hal
pembayaran biaya pengobatan dan rawat inap serta pelayanan kesehatan secara
keseluruhan
4) Security, adalah petugas yang selain bertugas menjaga keamanan rumah
sakit, juga diberi tugas untuk mengatur pengambilan kartu atau nomor antrian
pasien BPJS.
5) Pemberi Pelayanan Kesehatan, adalah dokter yang akan memberikan
pelayanan
kesehatan kepada pasien tersebut.
Amati keterampilan komunikasi, fasilitasi, mempengaruhi dan upaya
koordinasi dan kerjasama satu dengan yang lain diantara mereka atas peran yang
dimainkan oleh masing-masing pihak. Latihan ini akan menjadi sarana belajar untuk
meningkatkan keterampilan politik terutama yang berkaitan dengan masalah
kesehatan dalam konteks pasien BPJS seperti yang dialami oleh pasien tersebut di
atas.

c. Evaluasi dan umpan balik


Dari waktu ke waktu, individu perlu memiliki evaluasi pada perbaikan dan
kemajuan mereka tentang keterampilan politik yang dimilikinya. Evaluasi yang
dilakukan melalui oleh orang lain seperti pengawas individu, klien, kolega,
dan bahkan pasangan akan memberikan umpan balik dan dapat meningkatkan
kualitas dan keterampilan politik. Tentu saja, berdasarkan evaluasi ini, penyesuaian
dan kesempatan belajar dapat dilakukan sebagai koreksi dan perbaikan atas berbagai
masukan yang diperolehnya. Koreksi yang diberikan oleh orang lain memilki
keunggulan karena koreksi tersebut cenderung lebih objektif daripada menilai diri
sendiri dan dapat menghindari perasaan subjektif.

2.7 Diskusi dan Penugasan


Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu memahami dan menjawab
pertanyaan ini
a. Mengapa keterampilan politik menjadi sangat penting dalam bidang
kesehatan?
b. Haruskah aktor politik kesehatan berasal mereka yang memiliki latar
belakang
pendidikan kesehatan?
c. Berikan contoh masing-masing pengaruh dimensi keterampilan sosial
terhadap
keterampilan
politik!
d. Berdasarkan pengamatan Anda keterampilan politik seperti apa yang
harus
dimiliki oleh para pengambil kebijakan bidang kesehatan dalam mempengaruhi
pemerintah atau top pengambil kebijakan?
e. Berikan satu contoh figure yang menurut Anda memiliki keterampilan
politik yang cukup tinggi dan berikan alasan!
f. Isu politik apa yang ada dalam bidang kesehatan yang harus direspon
oleh pemerintah saat ini?

2.8 Penutup

a. Keterampilan politik sebagai salah satu dimensi dari keterampilan


sosial dibutuhkan hampir di semua level organisasi baik organisasi pemerintah,
swasta, partai politik, organisasi profesi, dan organisasi atau lembaga
kemasyarakatan (Non Government Organisation).

b. Keterampilan politik sebagai bagian dari Keterampilan sosial (Social


Skills) meliputi: Komunikasi (Communication)– Memfasilitasi (Facilitating)-
Melatih (Coaching) – Mempengaruhi (Influencing) – Mengkoordinasi
(Coordinating) – Kerjasama dengan orang lain (Partnership)

c. Dimensi keterampilan politik: Kecerdasan sosial, Pengaruh


interpersonal, Kemampuan jaringan, Ketulusan jelas. Keempat dimensi
keterampilan politik itu diasumsikan mempunyai hubungan satu sama lain.

d. Berbagai metode dapat dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan


politik seseorang, dengan penilaian diri sendiri (self assessment) dan
pemahaman melalui kuesioner penilaian kepribadian Five-Factor Model and the
Sixteen Personality Factor Questionnaire (16PF), The Myers-Briggs Type
Indicator (MBTI) dan penilaian umpan balik 360 derajat. Instrumen tersebut
dapat digunakan dalam mengukur keterampilan politik yang berkaitan
dengan kesehatan meskipun instrumen ini memiliki kelebihan dan kekurangan
masing- masing.

References:

Antonioni, D. (1996). Designing in Effective 360-Degree Appraisal Feedback


Process. Organizational Dynamics, 24-38.
Cattell, H. E. P., & Mead, A. D. (2008). The Sixteen Personality Factor
Questionnaire (16PF) SAGE Publication.
Ferris, G. R., Perrewe, P. L., Anthony, W. P., & Gilmore, D. C. (2000). Politics
Skill at Work. Organizational Dynamics, 28(4), 25-23.
Hackston, J. (n.d.). The 16PF and MBTI questionnaires - a perfect match
Hertinjung, W. S., Susilowati, & Wardhani, I. R. (2012). Profil Kepribadian 16 PF
Pelaku dan Korban Bullying Prosiding Seminar Nasional Psikologi Islami,
190-199.
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The Big-Five Trait Taxonomy: History,
Measurement, and Theoretical Perspectives Barkeley: University of
California at Berkeley
MBTI. (2013). Myers Briggs Type Indicator Personal Impact Report USA.
McCrae, R. R., & John, O. P. (1991). An Introduction to the Five-Factor Model
and Its Applications National Institute on Aging, NIH and University of
California at Berkeley, 175-215.
Prem, K. (n.d). Myers-Briggs Personality Type Indicator – MBTI
https://www.aiaa.org/uploadedFiles/Education_and_Careers/Career_Center/Presentat
i on_Archives/2005/ MBTI-AIAA-2005.pdf
Widya, R. (2004). Penilaian Kinerja dengan Menggunakan Konsep 360 Derajat
Feedback. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan, 4(1), 86-95.
BAB III
ETIKA POLITIK KESEHATAN

3.1 Pendahuluan
“………Saat menjelang pemilihan anggota legislative 2009, mertua saya pernah
mengatakan pada saya ‘politik itu kotor’. Kalau Anda mau menjadi calon anggota
legislative, maka ada lima syarat yang harus dipenuhi yaitu siap uang, siap bohong,
siap dibohongi, siap curang dan siap peng-back up. Mertua saya lebih lanjut
mengatakan semakin banyak syarat tersebut di atas Anda penuhi semakin sempurna
lah Anda untuk terpilih sebagai caleg”.

Ungkapan di atas hampir senada dengan tulisan yang pernah dimuat yang berjudul
“Jangan Percaya Politikus” (Mazayasyah, 2007). Apa yang dikatakan politikus itu
tidak bisa di pegang. Hari ini dia berkata kita koalisi dengan A, besok dia akan
berkata kita koalisi dengan B. Sejam yang lalu di RCTI dia bilang ini, sekarang di
Indosiar dia bilang itu. Hari ini dia saling menyindir, besok dia akan berangkul-
rangkulan, bercanda ria dan makan bareng pada acara pengdeklarasian presiden-
wakil presiden.

Nampaknya kedua ungkapan tersebut di atas, tidaklah sepenuhnya salah.


Realitas politik menunjukkan bahwa politik itu cenderung menghalalkan segala cara
untuk mencapai tujuan. Ungkapan tentang politik itu kotor juga pernah ditulis oleh
Darmwanto dalam artikelnya “Etika Politik Wakil Rakyat Kita”. Pertanyaannya
kemudian apakah politik memang seperti itu? Adakah etika politik yang harus
dibangun secara bersama? Siapa yang akan mengatakan bahwa ini etis, ini tidak etis,
lalu apa indikatornya serta bagaimana pula penerapannya etika politik dalam bidang
kesehatan?
Bagian ini pertama menyajikan untuk memahami etika, etika politik dan
etika politik dalam bidang kesehatan. Bagian kedua mengkaji mengenai standar
penilaian etika politik kesehatan dan selanjutnya siapa yang akan menentukan
tindakan tersebut etis atau tidak etis. Bagian akhir menyajikan studi kasus
untuk memahami etika politik dalam bidang kesehatan.

3.2 Pengertian etika, etika politik dan etika politik


kesehatan
Etika mempunyai pengertian yang beragam berdasarkan sudut pandang
pengguna (S Palutturi, 2013). Ketika seseorang menyebut etika, maka biasanya
kesan pertama yang muncul adalah pemikiran atau tindakan tidak bersalah atau
seseorang tanpa cacat. Etika berasal dari kata Yunani “ethos” yang akar katanya
“etos” yang berarti karakter atau kebiasaan (Solomon, 2005; Tejavanija, 2007).
Etika adalah semua yang berkaitan dengan karakter individu termasuk yang biasa
disebut dengan “being a good person”. Untuk orang-orang Yunani, etika itu adalah
cara orang-orang
berperilaku dalam masyarakat. Bedanya dengan moral, dalam bahasa Yunani dsebut
“moralis” biasanya ditujukan pada tindakan benar dan salah dan bukan
karakter daripada orang tersebut.
Etika secara sederhana mengacu pada standar perilaku yang memberi
tahu kita bagaimana manusia harus bertindak dalam banyak situasi dimana mereka
menemukan diri sebagai teman, orang tua, anak, warga negara, businessman, guru,
para professional, pejabat pemerintah dan pemimpin politk (ethics refers to
standards of behavior that tell us how human beings ought to act in the many
situations in which they find themselves as friends, parents, children, citizens,
businesspeople, teachers, professionals, government officials, and political
leaders) (Tejavanija,
2007).
Menurut Solomon (2005), etika adalah bagian dari philosophy yang
ditujukan pada kehidupan yang baik, menjadi orang yang baik “being a good
person”, melakukan sesuatu yang baik, memperoleh sesuatu dengan orang lain dan
menginginkan sesuatu yang baik dalam kehidupan. Karena itu, etika adalah sangat
esensial terhadap kehidupan dalam masyarakat dengan berbagai tradisi, praktek dan
institusi. Kesemua ini menentukan banyak aturan dan harapan yang
menjelaskan gambaran etika orang-orang yang tinggal bersama mereka.. Solomon
berpendapat lebih jauh bahwa etika mempunyai dimensi personal dan sosial
meskipun dalam teori maupun prakteknya kadang-kadang sulit untuk dipisahkan.
Ahli falsafah mengatakan bahwa etika adalah ilmu atau kajian formal tentang
moralitas sedangkan moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral.
Pengertian moral itu sendiri adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan
perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Moralitas merupakan dimensi
nilai dari keputusan dan tindakan yang dilakukan manusia (Sagiran, 2005). Bahasa
moralitas termasuk kata-kata seperti ‘hak’, ‘tanggung jawab’, ‘kebaikan’ dan sifat
seperti ‘baik’, ‘buruk’,
‘benar’ dan ‘salah’, ‘sesuai’ dan ‘tidak sesuai’. Menurut dimensi ini etika
terutama
ditekankan pada bagaimana mengetahuinya (knowing) sementara moralitas
bagaimana melakukannya (doing). Franz Magnis Suseno menyebut etika
sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab
pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?
Peter Singer, filsuf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas
mempunyai arti yang sama karena itu di dalam buku-bukunya ia sering
menggunakan kedua kata tersebut secara bergantian.
Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari
lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga
kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspektasi) profesi dan masyarakat serta bertindak dengan cara-cara yang
professional. Etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi
antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional
dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan
tanggung jawab khusus terhadap pasien dank lien lain, terhadap organisasi dan staf,
terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemerintah dan pada tingkat
akhir
walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil,
professional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersama dan pedoman untuk
diterapkan dan dipatuhi semua anggota assosiasi tentang apa yang dinilai baik atau
buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu. Kesimpulannya etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk dan tentang hak serta kewajiban
moral/akhlak, kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak dan nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berdasarkan definisi di atas, Tejavanija (2007) membantu kita untuk
memahami beberapa bagian atau aspek bahwa hal tersebut bukan etika atau
tidak sama dengan etika.
a. Etika tidak sama dengan perasaan. Perasaan memberikan informasi
penting
untuk pilihan etika kita. Beberapa orang telah sangat berkembang kebiasaan
yang membuat
mereka merasa buruk ketika mereka melakukan sesuatu yang salah, tetapi
banyak orang baik bahkan meskipun mereka melakukan sesuatu yang salah dan
sering perasaan kita akan memberitahu kami itu tidak nyaman untuk melakukan
hal yang benar jika sulit.
b. Etika bukanlah agama. Banyak orang yang tidak religius, tapi etika berlaku
untuk semua orang. Kebanyakan agama melakukan advokasi standar etika yang
tinggi tapi kadang-kadang tidak mengatasi semua jenis masalah yang kita hadapi.
c. Etika tidak mengikuti hukum. Sebuah sistem yang baik hukum tidak
memasukkan
banyak standar etika tetapi hukum dapat menyimpang dari apa yang etis.
Hukum dapat menjadi etis korup, dan beberapa rezim totaliter telah
membuatnya. Hukum dapat menjadi fungsi kekuasaan sendiri dan
dirancang untuk melayani kepentingan
kelompok sempit. Hukum mungkin memiliki waktu yang sulit merancang
atau
menegakkan standar di beberapa daerah penting dan mungkin lambat untuk
mengatasi masalah baru.
d. Etika tidak mengikuti norma-norma yang diterima secara budaya. Beberapa
budaya yang cukup etis tetapi yang lain menjadi rusak -atau- buta
terhadap
keprihatinan etika
tertentu.
e. Etika bukan ilmu. Ilmu sosial dan alam dapat memberikan data
penting
untuk membantu kita membuat pilihan etis yang lebih baik tapi ilmu
pengetahuan saja tidak memberitahu kita apa yang harus kita lakukan. Sains
dapat memberikan penjelasan untuk apa manusia adalah sama. Tapi etika
memberikan alasan untuk bagaimana manusia seharusnya bertindak dan hanya
karena ada sesuatu yang ilmiah atau teknologi mungkin, tidak mungkin etis
untuk melakukannya. Khusus untuk aspek ini, mungkin akan menjadi
kontroversi karena beberapa bahasan di atas atau mungkin referensi yang lain
dinyatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu.
Bagaimana halnya dengan etika politik. Politik membutuhkan etika karena
politik melibatkan dan banyak berhubungan dengan kekuasaan (power), konflik
(conflict) dan kepentingan melayani diri sendiri (self-serving interests). Meskipun
demikian ilmu politik jarang berhubungan dengan etika dalam pembuatan
kebijakan
publik (less frequently does political science deal with ethics in public
policymaking)
(Albaek, 2003).
Etika politik atau sering disebut sebagai moralitas politik atau etika
publik
adalah praktek pembuatan penilaian moral tentang tindakan politik dan kajian
tentang praktek tersebut (Political ethics (sometimes called political morality or
public ethics) is the practice of making moral judgments about political action,
and the study of that practice). Etika politik berkaitan dengan (Tejavanija, 2007):
a. Kejujuran
(honesty)
b. Menghormati
(respect)
c. Integritas
(integrity)
d. Profesionalisme
(professionalism)
e. Akuntabilitas
(accountability)
f. Keadilan
(fairness)
g. Kompetensi (competence), dan
h. Tanggung jawab
(responsibility)
Tentu saja karena kesehatan sebagai subjek kajian maka yang dimaksudkan
etika politik di sini adalah yang berkaitan dengan dengan isu-isu etika politik dalam
bidang kesehatan. Dalam keputusan politik bidang kesehatan pun disana
terdapat kewenangan, kekuasaan, lobi, tarik ulur kepentingan bahkan tidak sedikit
yang berhubungan dengan kepentingan pribadi atau kelompok atau golongan dan
partai politik. Sebagai contoh, ketika pemerintah mau menaikkan harga Bahan
Bakar Minyak (BBM), tidak sedikit debat, pro kontra atas kebijakan pemerintah
tersebut. Koalisi pemerintahan SBY-Boediono bahkan harus terbagi dalam
menyikapi kenaikan harga BBM itu. Semua partai politik dan kabinet koalisi
bahkan semua bicara atas nama rakyat dengan padangan dan argumen yang berbeda.
Terdapat kekuasaan untuk saling mempengaruhi satu sama lain. Karena itu sifat
kejujuran, menghormati orang lain, profesionalisme, berkeadilan, penuh tanggung
jawab dan kompetensi adalah hal yang tak dapat dipisahkan dalam kebijakan dan
etika politik kesehatan.

3.3 Standar penilaian etika politik kesehatan


Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menentukan tindakan seseorang
etis atau tidak etis yaitu prinsip utilitarianisme, hak dan kewajiban (Siswanto,
2007).
Prinsip utilitarianisme mengajarkan bahwa keputusan yang kita ambil haruslah
memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk jumlah orang terbesar. Ketika
BPJS ditetapkan di DPR dan ditetapkan karena kepentingan perusahaan asuransi
kesehatan, rumah sakit, dokter dan apoteker tetapi dasarnya adalah bahwa kebijakan
tersebut adalah untuk memberikan menjamin kesehatan terhadap semua warga
negara (Jaminan Kesehatan Nasional). Ketika pemerintah provinsi Bali dan
beberapa pemerintah kabupaten/kota di Indonesia mengeluarkan Peraturan Daerah
(PERDA) tentang smoke-free pada tempat-tempat umum misalnya tempat ibadah,
kampus, rumah sakit, hotel dan sebagainya. Dasarnya adalah bukan karena
mencari popularitas atas kemauan politik itu tetapi dasarnya adalah untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat (non-smokers) dan menciptakan
lingkungan dan udara yang lebih sehat. Pandangan demikian menekankan pada
kinerja kelompok
(kinerja organisasi). Dengan kata lain pengambilan keputusan adalah dalam rangka
efisiensi dan produktivitas organisasi dan bukan untuk mengambil keuntungan
sepihak.
Prinsip hak adalah menekankan bahwa setiap individu mempunyai
kebebasan untuk mengemukakan pendapat dan berbicara, sebagaimana diatur dalam
piagam Hak Asasi Manusia. Prinsip keadilan adalah mengisyaratkan individu untuk
memberlakukan dan menegakkan aturan-aturan secara adil dan tidak berat sebelah
sehingga terdapat distribusi manfaat dan biaya yang pantas. Dalam bidang kesehatan
pun demikian, misalnya seorang pasien berhak untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang berkualitas, pasien berhak untuk mendapatkan informasi mengenai
status kesehatan atau penyakit yang dideritanya, pasien berhak berapa besar
biaya yang mereka harus keluarkan bahkan pasien berhak atas tindakan yang
akan diberikan oleh seorang dokter atau tenaga kesehatan. Dalam lingkungan
masyarakat pun demikian, mereka berhak untuk mendapatkan informasi mengenai
wilayah- wilayah yang mengalami kemacetan, wilayah rawan gempa dan
banjir dan sebagainya.
Meskipun demikian, masyarakat tidak hanya berhak untuk mendapatkan
manfaat dari tindakan dan kebijakan yang diambil demikian pula mendapatkan hak
tetapi masyarakat pun mempunyai kewajiban atas haknya. Sebagai contoh, dalam
bidang kesehatan pasien dan keluarga pasien berkewajiban untuk menjaga
kebersihan rumah sakit, pasien berkewajiban untuk taat pada peraturan yang
ditetapkan oleh rumah sakit, masyarakat berkewajiban untuk membayar retribusi
rumah sakit, masyarakat berkewajiban membayar retribusi keamanan lingkungan
sekitar. Di Bali misalnya mereka yang tinggal atau pengunjung hotel harus menaati
bahwa dalam kamar hotel dilarang keras untuk merokok karena ini sudah ditetapkan
dalam Perda Provinsi Bali dimana hotel sebagai salah satu tempat umum yang harus
bebas dari rokok.
Tampak bahwa ketiga kriteria penilaian etis dan tidak etis tersebut bersifat
bersaing. Satu kriteria dapat saling melemahkan dan meniadakan kriteria yang lain.
Misalnya dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi,
perusahaan memecat 10% karyawan yang kurang produktif. Dalam pandangan
utilitarianisme, keputusan ini bermanfaat untuk jumlah orang yang terbanyak,
namun boleh jadi mengabaikan hak-hak individu yaitu hak untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghidupan yang layak dan rasa keadilan (adanya perlakuan
diskriminatif) yaitu adanya pemecatan sebagian kecil karyawan. Dalam melakukan
tindakan politik siapa pun aktornya (manajer atau staf) haruslah berpedoman pada
ketiga kriteria etis tadi. Contoh yang lain misalnya seorang polisi yang melakukan
penggerebekan terhadap Pekerja Seksual Komersial (PSK) kemudian mereka
ditangkap dan dibawa ke Mattirodeceng salah satu tempat rehabilitasi di Makassar.
Dalam pandangan utilitarianisme seorang PSK ditangkap untuk mendapatkan
manfaat yang lebih besar dimana mereka tidak dapat mengganggu ketentraman dan
ketertiban masyarakat akan tetapi dari sisi hak dan prinsip keadilan. Ini justru
melanggar hak-hak mereka. Mereka harus diperlakukan secara adil sama dengan
kelompok masyarakat lainnya.
Bagaimana halnya misalnya dengan kebijakan program harm reduction yang
sedang digalakkan saat ini yaitu dimana para pengguna jarum suntik tetap
dibiarkan
untuk menggunakan narkoba. Dari sisi manfaat dan perlindungan kesehatan
masyarakat tentu saja dengan penerapan harm reduction program ini akan
memberikan manfaat terhadap pengguna, keluarga dan masyarakat secara
keseluruhan terutama yang berkaitan dengan penurunan laju penularan kasus
HIV/AIDS. Dari sisi pemenuhan hak dan rasa keadilan juga dapat dikatakan tidak
terjadi pelanggaran yang dapat dikatakan etis dan tidak etis. Oleh karena itu,
semakin terpenuhi ketiga kriteria penilaian etis atau tidak etis tersebut, maka tentu
saja akan semakin dapat dikatakan etis demikian sebaliknya semakin kurang kriteria
penilaian etis terpenuhi semakin jauh pula aspek etisnya.
Di samping ketiga kriteria tersebut terdapat the golden rule dari
perilaku politik yaitu perlakuan orang lain sebagaimana kamu menginginkan orang
lain memperlakukanmu (Do unto others as you want them to do unto you).
Sebagai saringan dapat juga digunakan empat pertanyaan dasar. Pertama, apakah
perilaku itu merupakan kebenaran? Kedua, apakah perilaku itu adil untuk semua
pihak terkait? Ketiga, apakah perilaku itu akan membangun komitmen dan
pertemanan yang lebih baik? Dan keempat adalah apakah perilaku itu bermanfaat
untuk semua pihak terkait? Jika keempat syarat tersebut di atas terpenuhi, maka
dapat dikatakan perilaku tersebut adalah etis.
Prinsip etika dan perilaku berkaitan dengan keharusan yang wajib
dilaksanakan dan larangan yang harus dihindari. Adapun prinsip-prinsipnya adalah
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas (pertanggungjawaban), independensi
(kemandirian) dan prinsip keadilan (fairness) (Buku Pedoman Etika dan
Perilaku,
2006). Standar etika dan perilaku tersebut digunakan untuk menentukan hal-hal
yang
baik dan yang buruk, hal-hal yang terpuji dan yang tercela dan hal-hal yang dihargai
dan yang tidak dihargai (Buku Pedoman Etika dan Perilaku, 2006).

3.4 Siapa yang menentukan etik atau tidak?


Etika berdimensi majemuk dan pluralistik. Setiap orang memiliki pandangan
yang berbeda mengenai penilaian benar atau salah, baik atau buruk, sesuai
tidak
sesuai. Jika ada yang sama paling tidak bisa berbeda dari aspek argumentasi dan
gagasan mereka. Di beberapa masyarakat, perbedaan tersebut dianggap
sebagai
sesuatu yang normal dan ada kebebasan seseorang untuk melakukan apa yang
diinginkan sepanjang tidak melanggar hak orang lain. Dalam masyarakat
tersebut
budaya dan agama memegang peranan penting mengenai ini etis dan ini tidak etis
disamping pengaruh keluarga, teman sebaya, media dan sumber-sumber eksternal
lainnya (Sagiran, 2005). Di negara berkembang yang cenderung menganut paham
paternalistik bicara pada orang yang lebih tua ada tata kramanya, harus sopan, santun
dan kalau perlu harus ”pegang lutut”. Seorang anak yang terlalu banyak
bicara dengan orang tua dianggap tidak sopan, ”kurang ngajar’ dan pandangan-
pandangan lainnya. Dalam masyarakat liberal, setiap orang memiliki pandangan
kebebasan besar dalam menentukan bagi dirinya sendiri etis atau tidak etis. Dalam
masyarakat yang lebih tradisional keluarga dan garis keturunan, pemimpin agama
dan tokoh politik biasanya memiliki peran lebih besar dalam menentukan etis dan
tidak etis bagi seseorang. Di Indonesia misalnya, mahasiswa ke kampus dan
pakai pakain ketat bahkan celana pendek, mungkin dianggap sangat tidak etis
dan bahkan jarang
dijumpai tetapi di negara seperti Australia itu adalah hal yang biasa saja.
Pertanyaannya adalah siapa yang menentukan etis dan tidak etis?
Tentu saja kondisi seperti ini juga berpengaruh terhadap etika dalam
pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan. Seorang bawahan harus loyal sama
pimpinan, apa yang dikatakan oleh pimpinan cenderung dan harus diamini oleh
bawahannya. Dampaknya bawahan cenderung takut untuk melawan pimpinannya
meskipun hanya berbeda dari aspek pendapat dan argumen terhadap masalah
kesehatan yang dihadapi. Meskipun pasien mempunyai hak untuk bertanya
pada dokter tentang penyakitnya atau bertanya mengenai tindakan yang akan
diberikan tetapi di negara seperti Indonesia, seorang pasien bertanya kepada seorang
dokter jarang dijumpai bahkan terlalu banyak bertanya mungkin dianggap hal yang
tidak sopan.
Terlepas dari perbedaan ini, sepertinya sebagian besar manusia sepakat
dengan beberapa prinsip fundamental dari etika sebut saja Hak Asasi
Manusia (HAM) seperti yang dinyatakan dalam United Nations Universal
Declaration of Human Rights. Hak asasi manusia yang penting dalam etika termasuk
dalam etika dalam politik kesehatan adalah hak untuk hidup, bebas dari
diskriminasi, bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak
manusiawi dan tidak pantas, bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam
mendapatkan pelayanan umum di suatu negara dan pelayanan medis (Sagiran, 2005).
Bagi aktor politik untuk bidang kesehatan, siapa yang akan menentukan etis
atau tidak etis. Pertanyaan seperti ini hampir sama dengan pertanyaan siapa
yang akan menentukan sesuatu etis atau tidak etis perilaku bagi seorang dokter.
Sampai saat ini penilaian etis atau tidak etis memiliki jawaban yang berbeda-beda
untuk bisa diterima secara umum. Selama berabad-abad lamanya profesi kesehatan
telah mengembangkan standar perilakunya sendiri untuk anggotanya yang tercermin
dalam kode etik dan dokumen kebijakan yang terkait. Jika merujuk pada kasus
tersebut di atas, maka seyogyanya etika dalam berpolitik yang dapat memberikan
dampak dalam berbagai bidang termasuk sektor kesehatan harus ada kode etik
politik yang merupakan rambu-rambu, alat kontrol yang dapat digunakan untuk
mengatur perilaku para aktor politik. Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri
sendiri dalam mengambil keputusan etis atau tidak etis dalam
mengimplementasikannya. Ada beberapa cara yang dapat digunakan sebagai
pendekatan masalah-masalah etika. Secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian
yaitu pendekatan rasional dan pendekatan non rasional.

a. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional yang dimaksudkan meliputi deontologi,
konsekuensialisme, prinsiplisme dan etika budi pekerti. Deontologi melibatkan
pencarian aturan yang terbentuk dengan baik yang dijadikan dasar sebagai
pembuatan keputusan moral. Dasarnya dapat saja agama atau bukan agama misalnya
manusia memiliki gen-gen yang hampir sama. Konsekuensialisme mendasari
keputusan etis yang diambil karena merupakan cara analisis bagaimana konsekuensi
atau hasil yang didapatkan dari berbagai pilihan-pilihan. Tindakan yang benar
adalah tindakan yang memberikan hasil yang terbaik. Untuk menentukan mana
hasil yang terbaik itu
biasanya dilihat dari utilitarianisme yaitu mengukur dan menentukan pilihan yang
memberikan hasil yang paling baik diantara semua pilihan yang ada. Sebagai contoh
kebijakan pemerintah tentang harm reduction program bagi pengguna narkoba
suntik. Apa utilitas yang bisa diperoleh dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Mana
yang paling memberikan keuntungan dari sisi program dan biaya yaitu cost
effectiveness-nya dan cost benefit-nya. Contoh yang lain misalnya kebijakan
pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia. Apa manfaat yang bisa diperoleh dari kebijakan ini.
Sejauh mana pendekatan ini dapat meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan status kesehatan masyarakat kita. Berapa besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Efektifkah program ini?
Bermanfaatkah program ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lain dari aspek
utilitarianisme.
Pendekatan rasional juga meliputi prinsiplisme yaitu mempergunakan prinsip-
prinsip etik sebagai dasar dalam membuat keputusan moral. Terakhir adalah
etika budi pekerti. Etika budi pekerti kurang berfokus pada pembuatan keputusan
tetapi lebih pada karakter dari si pengambil keputusan yang tercermin dari
perilakunya. Tidak satupun dari empat pendekatan ini yang dapat mencapai
persetujuan yang universal. Setiap orang memiliki pendekatan rasional yang akan
dipilih dalam pengambilan keputusan etik seperti juga orang lain memilih
pendekatan non-rasional. Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.

b. Pendekatan non-
rasional
Kemudian pendekatan non-rasional. Pendekatan non-rasional tidak berarti
irrasional. Pendekatan ini hanya dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat
digunakan dalam mengambil keputusan. Adapun pendekatan non-rasional meliputi
kepatuhan, imitasi, perasaan atau kehendak dan intuisi. Kepatuhan adalah cara
umum dalam membuat keputusan etis terutama anak-anak dan mereka yang bekerja
dalam struktur kepangkatan (militer, kepolisian, berbagai organisasi keagamaan dan
bisnis). Pendekatan ini mengikuti aturan atau perintah penguasa, pimpinan atau
direktur tidak memandang apa Anda setuju atau tidak setuju. Imitasi adalah hampir
serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap
benar dan salah dan mengambil orang lain sebagai acuan karena dia adalah
panutan. Pendekatan ini banyak digunakan dalam etika kedokteran misalnya
panutan dari seorang dokter senior, maka dokter ”yunior” bisa belajar dan meniru
dari pengalaman senior. Dalam pendekatan politik pun demikian, orang lain bisa
melakukan imitasi karena melihat dan mengamati sikap dan perilaku para elit
seniornya. Selanjutnya, intuisi. Intuisi adalah persepsi yang terbentuk dengan
segera mengenai bagaimana bertindak di dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi
sifatnya subjektif, namun berbeda karena intuisi terletak pada pemikiran dibanding
keinginan. Intuisi dapat bervariasi dari setiap orang dan bahkan dari individu itu
sendiri. Terakhir adalah kebiasaan. Kebiasaan merupakan metode yang sangat
efisien dalam mengambil keputusan moral karena tidak diperlukan adanya
pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis setiap masalah moral
muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi. Meskipun begitu ada
kebiasaan buruk (seperti berbohong) dan ada juga kebiasaan baik (seperti
mengatakan dengan jujur).
3.5 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu:
a. Mendefenisikan etika, etika politik dan etika politik bidang
kesehatan b. Menjelaskan mengapa politik membutuhkan etika?
c. Menyebutkan dan menjelaskan secara singkat dimensi-dimensi yang
berhubungan dengan etika politik
d. Menyebutkan dan menjelaskan krieteria atau standar yang digunakan
untuk menentukan etika atau tidak beretika
e. Menentukan siapa yang menentuka etika dan tidak
beretika
f. Memberikan contoh praktek-praktek yang berkaitan dengan etika dalam
bidang
politik kesehatan

3.6 Penutup
Etika merupakan hal penting dalam tindakan politik termasuk yang
berkaitan
dengan kesehatan. Kejujuran, tanggung jawab, keadilan dan saling
menghormati merupakan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika politik.
Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menentukan tindakan seseorang etis atau
tidak etis yaitu prinsip utilitarianisme, hak dan kewajiban. Etika berdimensi
majemuk dan pluralistik. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai
penilaian benar atau salah, baik atau buruk, sesuai tidak sesuai.

References:
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary Debates
Scandinavian Political Studies, 26(3).
Buku Pedoman Etika dan Perilaku. (2006). Buku Pedoman Etika dan
Perilaku.
Jakarta Timur: PT Hutama Karya (Persero).
Mazayasyah, A. A. F. (2007). Jangan Percaya Politikus! Yogyakarta:
MAGMA. Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sagiran. (2005). Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran
Islam
Fakultas Kedokteran Universitas Mohammadiyah.
Siswanto. (2007). Politik dalam Organisasi (Suatu tinjauan menuju etika
berpolitik).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta, 10(04).
Solomon, R. C. (2005). Introduction to Ethics. Belmont:
Wadsworth.
Tejavanija, C. (2007). Ethics of political leaders: The comparative study of
George
W. Bush and Thaksin Shinawatra.
BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI
POLITIK KESEHATAN
BAB IV
KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN

“…Political effects are at the heart of political science…” (Doris & James, 2005)

4.1 Pendahuluan
Komunikasi politik memegang peranan penting dalam
mempengaruhi kebijakan bidang kesehatan. Bab ini pertama-tama membahas
konsep komunikasi
politik kesehatan. Bagian ini menjelaskan tentang pemahaman dasar mengenai
komunikasi, komunikasi politik dan dalam kaitannya dengan kesehatan.
Bagian
kedua mengkaji ruang lingkup komunikasi politik. Bagian ini membahas siapa
komunikator politik itu? pesan-pesan politik seperti apa yang disampaikan yang
dapat
mempengaruhi kesehatan? media komunikasi politik apa yang digunakan? Siapa
yang menjadi sasaran atau khalayak dari komunikasi politik tersebut? dan apa
akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik tersebut. Untuk
melengkapi ilustrasi dari materi ini, dibagian akhir dari materi ini juga disampaikan
contoh kasus yang berkaitan dengan komunikasi politik di bidang kesehatan.

4.2 Konsep komunikasi politik kesehatan


Studi tentang komunikasi politik telah lama dikaji. Jika kita merujuk pada
Aristotele’s Rethoric and Politics yang ditulis pada tahun 350 B.C. sebagai titik
awal, maka dapat dipastikan bahwa pesan-pesan politik telah dicatat lebih dari dua
millennium pada masa silam (Doris & James, 2005). Ilmu komunikasi politik
merupakan sebuah bidang ilmu yang cukup besar, banyak dikembangkan dari ilmu-
ilmu psikologi, politik dan komunikasi. Karena itu perkembangan ilmu komunikasi
politik tak dapat dipisahkan dari ketiga kajian ilmu tersebut. Umumnya teori yang
relevan dari bidang ilmu ini banyak berhubungan dengan phenomena individu,
seperti proses informasi pada umumnya, atau berbagai aspek dari persuasi dan
formasi opini (Christen & Gunther, 2003).
Komunikasi dan komunikasi politik mempunyai pengertian yang beragam.
Menurut Aristoteles komunikasi menekankan pada “siapa mengatakan apa kepada
siapa (who says what to whom). Model komunikasi Aristoteles diilustrasikan
seperti Gambar 4.1 (Romarheim, 2005).

Speaker Arguments Speech Audience

Gambar 4.1: Model komunikasi politik Aristoteles


Sumber: Romarheim (2005)
Definisi ini sangat sederhana dan mempunyai kelemahan karena komunikasi
ini cenderung satu arah. George Gerbner menyatakan bahwa komunikasi itu
adalah interaksi sosial melalui pesan (communication is a social interaction
through
messages) (Romarheim, 2005). Meskipun definisi ini kelihatan sederhana, namun
dapat mengilhami seorang ilmuan politik bernama Harold D. Lasswell pada
tahun
1948 dengan membuat definisi yang lebih sempurna dengan mengatakan “
SIAPA”
mengatakan “APA”, MELALUI apa, KEPADA siapa, dan apa AKIBATNYA (who
says what, in which channel, to whom, and what effects).
Hovland, Janis dan Kelly mendefiniskan “Communication is the process by
which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to
modify
the behavior of other individuals (the audiences). Komunikasi adalah proses
menyampaikan atau mengirimkan stimuli yang umumnya dalam bentuk verbal dari
seorang communicator dengan tujuan merubah perilaku orang lain (receiver).
Bareleson dan Steiner (1964) mendefiniskan “Communication is the transmission of
information, ideas, emotions, skills, etc., by the use of symbols-words, pictures,
figures, graphs, etc. Bareleson dan Steiner (1964) memberikan definisi komunikasi
yang lebih luas. Mereka mengatakan bahwa bahwa komunikasi tidak lain
adalah proses pertukaran informasi, ide, emosi dan skill melalui penggunaan
symbol-simbol bisa berupa kata, gambar, angka-angka, grafik dan sebagainya
(Changara, 2009).
Dalam kaitan dengan komunikasi politik, Denton dan Woodward (1990),
misalnya mendefinisikan komunikasi politik sebagai “pure discussion about the
allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the
power to make legal, legislative and executive decision), and official sanctions
(what the state rewards or punishes). Definisi ini menunjukkan bahwa
komunikasi politik adalah diskusi atau debat mengenai pengalokasian sumber
daya publik, otoritas formal yang diberikan kekuasaan untuk membuat keputusan
legal bagi legislatif dan eksekutif termasuk saksi formal yang berkaitan dengan
hukuman dan penghargaan yang diberikan. Definisi ini mencakup komunikasi
verbal dan retorika politik secara tertulis.
Dalam makalah yang ditulis oleh Doris dan Smith (2005) menyatakan bahwa
komunikasi politik mencakup konstruksi, mengirim, menerima dan proses pesan
yang mempunyai potensi secara signifikan baik langsung atau tidak langsung
terhadap politik. Pengirim dan penerima pesan bisa seorang politikus, jurnalis,
anggota kelompok yang mempunyai kepentingan, pihak swasta bahwa kelompok
masyarakat yang tidak terorganisir. Intinya adalah bahwa komunikasi politik itu
dimana pesan mempunyai dampak politik secara signifikan terhadap cara berpikir,
kepercayaan dan perilaku individu, kelompok, institusi dan keseluruhan masyarakat
dimana mereka berada. Terdapat banyak definisi komunikasi politik tetapi
umumnya mempunyai aspek atau elemen yang hampir sama (Hahn, 2003).
Komunikasi dan politik adalah mengandung pembicaraan. Pembicaraan yang
dimaksudkan dalam pengertian yang luas bukan hanya berarti kata yang diucapkan
melainkan pertukaran simbol yang dapat ditulis, gambar, gerakan, sikap tubuh atau
pakaian. Menurut Mark Roelofs dalam Riswandi (2009) dikatakan bahwa kegiatan
berpolitik itu adalah kegiatan berbicara. Terdapat empat jenis pembicaraan yang
mengandung makna politik:
a. Pembicaraan tentang
kekuasaan
b. Pembicaraan tentang
pengaruh
c. Pembicaraan tentang otoritas dan
wewenang
d. Pembicaraan tentang konflik
Dalam konteks komunikasi politik dalam bidang kesehatan tidak lain adalah
proses pertukaran informasi dari seorang komunikator kesehatan melalui media
informasi baik verbal maupun non verbal kepada penerima pesan yang
pembicaraannya dapat berupa kekuasaan, pengaruh, otoritas dan kewenangan
dan bahkan konflik. Komunikator politik kesehatan bisa seorang politikus, birokrat,
perguruan tinggi, pihak swasta, lembaga donor, kelompok kepentingan, kelompok
profesi, kelompok pemaksa yang ujung-ujungnya dapat memberi dampak kesehatan
secara langsung atau tidak langsung. Komunikator dan penerima pesan politik
kesehatan ini dapat dilakukan oleh dan untuk individu, kelompok, dan institusi.

4.3 Ruang lingkup komunikasi politik kesehatan


Doris dan Smith (2005) melakukan kajian literatur tentang komunikasi
politik.
Dari 137 artikel yang dikumpulkan dan dikaji, tema komunikasi politik
banyak berkaitan dengan:
a. Kampanye pemilihan
b. Media baru (new media)
c. Partisipasi masyarakat
d. Hubungan internasional
e. Proses informasi
f. Opini publik (public opinion)
g. Iklan kampanye
h. Aktor politik
i. Ekonomi media
j. Budaya populer (banyak disukai orang)
k. Praktek jurnalisme
l. Menuduh orang tak
bersalah m. Bias-bias media
n. Penetapan agenda
o. Politik perbandingan
p. Pemilihan
(elections) q. Bicara
melalui radio r.
Televisi
Karena itu topik tentang komunikasi politik mempunyai ruang lingkup yang
luas.
Demikian pula halnya dengan komunikasi politik bidang kesehatan. Dari 18 topik di
atas, sebagian besar penulis banyak mengkaji empat aspek yang pertama, yaitu
kampanye pemilihan, media baru, partisipasi masyarakat dan hubungan internasional
(di atas 5%) sementara lainya mempunyai persentasi kecil yaitu di bawah 5%.
Mengacu pada kerangka Lasswell tentang komunikasi yaitu who says what,
in which channel, to whom, with what effects maka ruang lingkup komunikasi politik
terdiri dari komunikator politik, pesan-pesan politik, media komunikasi politik,
khalayak komunikasi politik dan akibat-akibat komunikasi politik.
4.3.1 Komunikator
Politik
Nimmo (1989) membagi komunikator politik ke dalam tiga kategori yaitu
politisi/politikus, profesional dan aktivis. Politisi adalah orang yang memegang
jabatan dalam lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di Amerika Serikat
menurut Dan Nimmo yang termasuk politisi adalah para pejabat eksekutif
seperti presiden, anggota kabinet, kepala penasehat dan staf gedung putih; legislator
dan pejabat yudikatif. Sedangkan yang termasuk kalangan profesional sebagai
komunikator politik adalah jurnalis (reporter, koordinator berita TV, penerbit) dan
promotor yaitu orang yang dibayar untuk mengajukan/mempromosikan kepentingan
langganan seperti manajer kampanye, personil periklanan perusahaan. Selanjutnya
yang termasuk ke dalam kelompok aktivis menurut Nimmo adalah jurubicara dan
pemuka pendapat (opinion leader). Komunikator politik juga bisa seperti
partai politik, media massa dan birokrasi dan aparat pemerintah.
Tentu saja karena komunikasi politik ini berkaitan dengan bidang kesehatan
maka komunikator politik yang dimaksudkan adalah komunikator yang dapat
membawa pesan-pesan, pengaruh, kekuasaan dan kewenangan yang berkaitan
dengan kesehatan. Komunikator kesehatan tidak mesti berasal dari tenaga kesehatan
seperti yang disebutkan dalam PP No. 32 tahun 1996 tetapi dapat dilakukan oleh
tenaga di luar sektor kesehatan. Komunikator kesehatan bisa berasal dari seorang
pejabat, bupati/walikota, gubernur, anggota dewan, partai politik, aktivis LSM dan
sebagainya yang peduli, mau dan mampu untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Banyak masalah kesehatan ditentukan di luar dari sektor kesehatan (S
Palutturi, 2013; S Palutturi et al., 2013). Karena itu peranan kementerian dan dinas,
badan-badan pemerintah, sektor swasta dan perguruan tinggi non kesehatan untuk
menjadi komunikator politik bidang kesehatan adalah sangat esensial.
Jika merujuk pada unsur-unsur komunikasi politik: Organisasi politik, media
dan warga negara (Gambar 4.2) (McNair, 2011), maka komunikator politik atau
aktor politik adalah siapa saja yang menginspirasi melalui alat organisasi atau
institusi untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Secara garis besar
aktor politik sebagai komunikator politik dibagi atas empat kelompok secara garis
besar, yaitu:

a. Partai politik. Partai politik mempunyai kedudukan penting sebagai


komunikator politik. Partai politik dapat mempengaruhi pihak lain termasuk
eksekutif (presiden) dan anggota DPR/DPRD dalam menentukan arah dan
kebijakan pemerintah yang dapat diambil. Partai politik dapat mempengaruhi
lembaga eksekutif mengenai alokasi anggaran kesehatan, alokasi anggaran
yang dapat mensupport peningkatan derajat kesehatan yang berada di luar dari
sektor kesehatan, dan perekrutan tenaga kesehatan. Di Indonesia saat ini partai
yang mempunyai pengaruh dan kekuatan besar adalah misalnya PDI
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat. Partai ini
merupakan partai terbesar yang seringkali secara nasional dapat menempatkan
anggotanya di DPR. Pada tingkat lokal pun juga demikian dan seringkali, partai
politik dan anggota DPRD dari partai ini menjadi kelompok ”pemaksa” bagi
seorang bupati/walikota jika ada program yang dipandang tidak layak dan
tidak berpihak kepada
masyarakat banyak (pro rakyat). Pada daerah-daerah tertentu ada partai
yang mempunyai pengaruh yang cukup besar misalnya PKB di Daerah Jawa
Timur, PAN di Daerah Sulawesi Tenggara, Partai Golkar di Sulawesi Selatan
dan PKS di Daerah Jawa Barat. Kesemua ini mempunyai peran besar
untuk menjadi komunikator politik kesehatan yang sangat efektif. Karena itu,
untuk mendorong kesehatan berada pada top isu pembangunan, para profesional
dan pejuang pembangunan kesehatan harus mempunyai jaringan dan
persahabatan yang baik dengan partai politik dan anggota parlemen.

b. Organisasi publik. Organisasi publik yang dimaksudkan disini adalah para aktor
non-partai misalnya para pengusaha (trade unions), kelompok pengguna
(consumer groups) dan organisasi para profesional (professional organizations).
Jika dilihat dari perkembangannya, kelompok pengusaha (mereka yang
mempunyai dana yang cukup) dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah,
pemerintah dapat berubah jalan pikirannya jika ada investor/lembaga pemberi
dana yang mau menanamkan modalnya dalam suatu wilayah demikian halnya
dengan kelompok-kelompok organisasi profesi misalnya IDI, PDGI, IAKMI,
PERSAKMI dan sebagainya.

c. Kelompok penekan. Kelompok pressure tidak seperti partai politik yang


dibentuk tetapi kelompok pressure ini dapat mendukung anggotanya atau
mungkin kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kelompok pressure disini
misalnya mahasiswa, organisasi buruh, juga termasuk organisasi profesi.
Demonstrasi yang dilakukan oleh para dokter misalnya yang dilakukan
untuk mendukung
”dokter A” atas dugaan kasus malpraktek merupakan kelompok penekan yang
cukup jitu dalam mempengaruhi kebijakan dan keputusan pemerintah.
Demonstrasi mahasiswa yang dilakukan atas kebijakan pemerintah untuk
menaikkan harga BBM adalah dimana mahasiswa mendudukkan dirinya sebagai
kelompok pressure atas kebijakan tersebut. Organisasi buruh yang menuntut
kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) telah menempatkan organisasi buruh
sebagai kelompok penekan.

d. Organisasi teroris. Mungkin tidak terlalu relevan dalam subjek ini


termasuk dalam bidang kesehatan, namun diakui bahwa kelompok teroris adalah
kelompok yang luar biasa yang dapat mengendalikan kewenangan dan
pengaruh pada bidang tertentu. Di Indonesia (dalam bidang kesehatan), secara
formal, organisasi teroris tidak ada.

e. Pemerintah. Kelompok lain yang dapat menjadi aktor dalam komunikasi


politik adalah pemerintah itu sendiri, mulai dari tingkat pusat, provinsi maupun
pada tingkat kabupaten/kota. Ditingkat pusat kementerian kesehatan dan
kementerian di luar dari sektor kesehatan harus dapat menjadi aktor yang baik
dalam upaya
menciptakan dan meningkatkan derajat kesehatan yang lebih baik. Ditingkat
provinsi, peranan gubernur, wakil gubernur, Bappeda, para kepala dinas
dan kepala badan mempunyai kedudukan penting dalam mewujudkan kesehatan
masyarakat (yang bersih, aman, nyaman dan sejahtera) demikian pula ditingkat
kabupaten/kota.

Organisasi
politik

Media

Warga negara

Gambar 4.2: Unsur komunikasi politik


Sumber: Disesuaikan dari McNair (2011)

4.3.2 Pesan-pesan politik


Pesan adalah materi yang ingin disampaikan oleh komunikator politik atau
pesan adalah apa yang ingin disampaikan oleh komunikator. Kekuatan pesan
menentukan hasil yang ingin dicapai. Karena itu pesan yang disampaikan harus
singkat, padat, jelas, aktif, spesifik dan kredibel (CPHA, 2009). Menurut Lilleker
(2006) pesan harus singkat, mudah dipahami, jarang lebih dari beberapa kata yang
menyampaikan informasi dari dan tentang sebuah partai, kandidat atau organisasi.
Pesan dalam komunikasi politik umumnya persuasif, sehingga mencerminkan
komunikasi pemasaran dan promosi yang melingkupi masyarakat modern yang
konsumeris (The message is a short, easily understood piece of communication, often
no more than a few words, that conveys information from and about a party,
candidate or organization. Messages in a political context are largely persuasive, so
mirroring the majority of the marketing and promotional communication which
pervades modern consumerist society).
Dalam komunikasi politik, banyak pesan politik dalam bidang kesehatan
yang sering kita jumpai misalnya pendidikan dan kesehatan gratis adalah hak setiap
warga negara, hadirkan pemerintahan yang bersih dan kuat, kebersihan adalah
bagian dari imam, berantas korupsi, Anak Lorongna Makassar. Ini adalah sejumlah
pesan-pesan yang bermakna politik yang dapat mempengaruhi orang lain.
Selanjutnya simbol-simbol kesehatan sebagai pesan komunikasi politik bisa
diwujudkan dalam bentuk gambar seperti penderita Tuberculosis, HIV/AIDS, anak
dengan gizi kurang. Gambar bisa pula diwujudkan seperti gambar kelayakan
institusi pelayanan kesehatan seperti posyandu, dasawisma, pos kesehatan desa,
puskesmas, rumah sakit serta tempat praktek pengobatan tradisional. Simbol pesan
komunikasi politik juga bisa diwujudkan dalam bentuk grafik jumlah angka
kematian bayi dan angka kematian ibu, jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia
dan seterusnya

4.3.3 Media komunikasi


politik
Media dianggap sebagai aktor politik (McNair, 2011). Komunikator yang
baik dengan pesan-pesan politik yang baik pula, juga akan sangat bergantung pada
media komunikasi yang digunakan. Media komunikasi yang baik tidak berarti harus
mahal. Media komunikasi yang sederhana tetapi disampaikan oleh seorang
komunikator efektif, bisa lebih bermakna ketimbang media komunikasi yang
modern tetapi penyampai pesan yang kurang terampil. Sebagai contoh Syahrul
Yasin Limpo (Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan), meskipun mungkin tidak
ditunjang oleh media modern tetapi kemampuannya menyampaikan pesan
komunikasi politik yang kuat, beliau mempunyai daya pikat yang tinggi dan sangat
meyakinkan para audiens.
Media komunikasi politik dapat dilakukan melalui radio, media cetak dan
media televisi. Misalnya pesan politik yang disampaikan melalui radio ketika
kampanye pemilihan calon walikota dan wakil walikota Makassar periode 2013-
2018 yang disiarkan melalui salah satu radio di Makassar ” Saya None, Saya 9”. Ini
adalah media komunikasi politik yang digunakan oleh pasangan Irman Yasin Limpo
dan Busrah Abdullah saat itu. Di televisi sering kita jumpai pesan-pesan politik
misalnya ARB untuk Abu Rizal Bakri, Partai Gerindra Partai Perubahan dan
seterusnya.
Media komunikasi politik mempunyai pengertian yang luas tidak hanya
berupa media misalnya baliho, radio dan televisi tetapi juga dapat berupa
media
melalui tim sukses dan tokoh masyarakat. Institut Survei Indonesia (ISI) dua minggu
menjelang pencoblosan pemilihan presiden Republik Indonesia periode 2014-2019
antara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo-Jusuf
Kalla menyelenggarakan sebuah survei. Dari 999 responden dengan margin of error
3 persen menyatakan bahwa media yang dipandang dapat meningkatkan tingkat
elektabilitas kandidat baik pasangan Prabowo Subianto maupun Joko Widodo adalah
kandidat turun langsung (blusukan) 24,4%; melalui tim sukses 15,6%; tokoh
masyarakat dan melalui kerabat/keluarga masing-masing hampir 10%. Media berupa
TV, radio dan IT hanya dapat membantu sekitar 7% dan media berupa baliho,
banner dan spanduk tidak sampai 5%. Media lainnya yang juga dapat berkontribusi
dalam meningkatkan elektabilitas calon meskipun persentasinya cukup kecil adalah
koran, tabloid, majalaj, stiker dan kartu nama (Harian Nasional, 2014).

4.3.4 Khalayak komunikasi


politik
Khalayak adalah siapa yang menjadi sasaran dalam proses komunikasi
politik. Khalayak bisa individu bisa kelompok ataupun masyarakat secara
keseluruhan.
Individu adalah bahwa pesan yang akan disampaikan oleh seorang
komunikator
politik ditujukan untuk kepentingan perseorangan misalnya berkaitan dengan
kebijakan tarif pelayanan kesehatan pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kelompok bisa ditujukan pada komunitas-komunitas tertentu misalnya
komunitas anak jalanan, komunitas waria, gay and lesbian, komunitas para
Pekerja Seksual Komersial (PSK) atau kelompok masyarakat secara keseluruhan
misalnya pesan Menteri Kesehatan tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang
efektif berjalan 1
Januari 2014. Karena itu penggunaan media komunikasi politik akan
sangat
bergantung pada siapa yang menjadi sasaran dari proses komunikasi politik
tersebut.

4.3.5 Akibat-akibat komunikasi


politik
Komunikasi politik seperti yang dikemukakan Richard Fagen adalah kegiatan
komunikasi yang terdapat dalam suatu sistem politik yang mempunyai dampak
secara aktual dan potensial. Secara aktual artinya bahwa pesan yang disampaikan
dapat diterima pada target sasaran dan memberikan perubahan pengetahuan,
sikap dan perilaku atas pesan tersebut. Dampak potensial artinya bahwa
pesan yang disampaikan berpotensi untuk melakukan perubahan berdasarkan
tujuan yang ingin dicapai. Obrolan-obroalan kecil tentang rokok dan dampaknya
yang ditujukan pada anak yang sedang merokok, memicu pula pada orang tuanya
untuk tidak dan bahkan berhenti merokok. Fungsi komunikasi politik adalah salah
satu dari fungsi sistem politik. Ada beberapa fungsi sistem politik lainnya seperti
sosialisasi politik; agregasi dan artikulasi; pembuatan, pelaksanaan dan
penghakiman; partisipasi politik dan rekrutmen politik (Riswandi, 2009).

4.4 Contoh kasus komunikasi politik


Komunikasi politik adalah upaya menyampaikan pesan, ide atau program
kepada individu, kelompok atau khalayak masyarakat secara keseluruhan.
Contoh yang paling menarik saat mengikuti debat Calon Presiden Republik
Indonesia Periode
2014-2019 yaitu Prabowo Subianto-Hatta Radjasa dan Joko Widodo-Jusuf
Kalla. Gambaran komunikasi politik dapat dipelajari dari contoh kasus yang
disajikan.
Kotak 4.1: Contoh Kasus Komunikasi Politik Ala Jokowi

Debat Ekonomi: Investasi Indonesia sehat

Dalam debat calon Presiden Republik Indonesia antara Prabowo Subianto dan Joko
Widodo pada Minggu 15 Juni 2014. Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem.
Salah satu komponen penting yang disampaikan oleh Joko Widodo adalah melakukan
investasi di bidang kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat. Dalam banyak dialog baik
yang dilakukan langsung oleh Joko Widodo maupun dilakukan oleh para pendukungnya
memperkenalkan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan salah satu program
unggulan. Kartu Indonesia Sehat ini (mungkin) merupakan penerapan lebih jauh dari
Kartu Jakarta
Sehat.
Meskipun demikian, Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Nurul Arifin,
program seperti itu juga sudah dikeluarkan pemerintah saat ini, hanya berbeda nama, yaitu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarajan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), bahkan dianggap tumpang tindih dengan BPJS yang sudah
diterapkan sejak 1 Januari 2014, bahkan lebih jauh Jokowi dituding kubu Prabowo-
Hatta telah membuat kebohongan besar dengan menawarkan program dan atau
kebijakan ini. Karena itu kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan apa sebenarnya perbedaan
antara Kartu Indonesia Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan?
Meskipun program Kartu Indonesia Sehat banyak diragukan eksistensinya Tim
Sukses Jokowi Dodo-Jusuf Kalla, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa program
Kartu Indonesia Sehat merupakan penyempurnaan dari program BPJS yang sudah berjalan
saat ini. Program ini dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia. Jika pasien biasanya yang mendatangi fasilitas kesehatan misalnya
Puskesmas dan Rumah Sakit, Kartu Indonesia Sehat ini akan memberikan pelayanan
kesehatan dengan memaksimalkan dokter keliling. Setiap warga negara yang memiliki
Kartu Indonesia Sehat akan mendapatkan pelayanan kesehatan sampai pada tingkat desa
dengan memanfaatkan Posyandu. Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh
Indonesia. Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia
terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus diberikan gizi yang
bagus melalui penyediaan susu dan suplemen dan makanan tambahan bagi ibu hamil.
Keunggulan lain dari Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan pelayanan kesehatan
akan lebih luas, yaitu tidak hanya pada mereka yang membutuhkan dimana kartu BPJS
tersebut diterbitkan. Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat.
Pemerintah akan menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang
berpenghasilan cukup akan ada mekanisme penetapan tarif. Kita lihat nanti
implementasinya seperti apa!!!!!

Sumber: Juga dapat baca di


http://nasional.kompas.com/read/2014/06/19
Kotak 4.2: Contoh Kasus Posbindu PTM Perlu Dukungan

Posbindu PTM Perlu Dukungan

Integritasikan dengan Pos Kesehatan


Desa
JAKARTA, KOMPAS – Pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular atau Posbindu
PTM terkendala minimnya jumlah petugas kesehatan dan para kader. Untuk itu, dukungan
banyak pihak diperlukan agar kegiatan itu tetap berjalan. Sebab, posbindu amat berperan
dalam surveilans, penapisan, dan deteksi dini penyakit tak menular. Kepala Seksi
Bimbingan dan Evaluasi Subdirektorat Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Tiffany Tiara
Pakasi mengemukakan hal itu, Jumat (28/8) di Jakarta.
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Lily Sulistyowati
sebelumnya menyatakan, dari sekitar 10.000 posbindu PTM di Indonesia, sekitar 4.000 unit
tidak aktif. Tiara mrngatakan, tidak aktifnya posbindu PTM itu terutama
disebabkan dinamika masyarakat. Misalnya, pergantian petugas posbindu karena sudah
lanjut usia, ada kesibukan lain, bosan, tak ada stimulant dari lingkungan sekitar, ataupun
sekadar giat saat awal pembentukan lalu cenderung tidak aktif.
Salah satu contoh posbindu PTM yang tidak aktif ialah posbindu PTM di Museum
Tekstil, Jakarta Barat. Menurut Ketua Posbindu PTM Museum Tekstil Mery
Situmeang, dalam dua bulan terakhir tidak ada lagi aktifitas di posbindu yang dipimpinnya.
Alasannya, petugas posbindu memiliki kesibukan lain. Padahal, dalam sekali kegiatan
25-40 orang datang memeriksakan kesehatan mereka di Posbindu PTM Museum Tekstil.
Mereka kebanyakan adalah karyawan dan pengunjung museum. “Kami belum tahu kapan
akan memulai kegiatan lagi, masih menunggu informasi dari puskesmas,” kata Ketua
Posbindu PTM Museum Tekstil, Rosi.
Sementara itu mulyani, kader posbindu di RW 006, Kelurahan Depok, Kota Depok,
Jawa Barat, menyampaikan, antusiasme warga untuk datang ke posbindu PTM masih
rendah. Dari 100orang lansia yang tercatat, hanya 20-25 orang yang memeriksakan diri.
Mereka menganggap tak ada masalah kesehatan. Padahal, dengn bantuan Rp 1 juta-Rp 1,5
juta per kader per tahun, kader posbindu PTM di daerah itu rutin bertemu warga. Ada
juga warga yang menganggap posbindu PTM bagi orang kurang mampu sehingga
memilih memeriksakan diri ke rumah sakit jika ada masalah kesehatan.
Lanjutan...

Jangkauan lebih luas


Posbindu PTM merupakan program yang digagas kemenkes untuk mengendalikan
penyakit tak menular. Konsep program itu mirip dengan pos pelayanan terpadu (posyandu),
tetapi jangkauannya lebih luas, yakni warga berusia 15 tahun keatas. Selama ini, posbindu
dijalankan warga yang telah dilatih sebagai kader, dibantu petugas kesehatan dari puskesmas.
Beberapa kegiatan posbindu yang bias diikuti warga ialah konsultasi kebiasaan dan gaya
hidup untuk mengetahui apa ada faktor risiko penyakit tidak menular.
Selain itu, warga dapat mengukur berat tubuh, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan
darah. Masyarakat juga bisa mengikuti pemeriksaan gula darah, kolesterol, dan senam
bersama. Dengan mengikuti posbindu PTM, masyarakat diharapkan terbiasa hidup sehat agar
tak terkena penyakit tak menular.
Lily mengatakan, dalam berbagai pertemuan dengan jajaran pemerintah daerah,
pihaknya terus mendorong agar kepala daerah mengeluarkan kebijakan pro kesehatan. Contoh
kebijakan itu ialah menggalakkan posbindu PTM dan membuat kawasan tanpa rokok.
“Posbindu PTM akan diperkuat melalui integrasi kegiatan dengan upaya kesehatan
bersumber daya masyarakat. Salah satunya, mengintegrasikan ponbindu PTM dengan pos
kesehatan desa,” ujarnya.
Tiara menambahkan, sejauh ini upaya Kemenkes ialah mengadvokasi pemimpin
wilayah, institusi, komunikasi, dan kelompok masyarakat terkait pentingnya posbindu.
“Posbindu berperan penting dalam mendeteksi kemungkinan penyakit tak menular,” ucapnya.
(ADH/B06?B12)

Sumber: Kompas, Jumat 28 Agustus 2015

Merujuk pada teori dan komponen dasar dari sebuah proses komunikasi politik,
maka studi kasus tersebut di atas dapat dibedah lebih jauh.

Studi Kasus 4.1:


a. Komunikator politik
Calon Presiden Republik Indonesia antara Prabowo Subianto dan Joko
Widodo
Juru bicara dan para pendukung kedua calon presiden

b. Pesan-pesan politik
Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem membangun investasi
Indonesia Sehat melalui Kartu Indonesia Sehat KIS)
KIS dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia.
KIS akan memberikan pelayanan kesehatan dengan memaksimalkan dokter
keliling. Setiap warga negara yang memiliki KIS mendapatkan pelayanan
kesehatan sampai pada tingkat desa dengan memanfaatkan Posyandu.
Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh Indonesia.
Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia
terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus
diberikan gizi yang bagus melalui penyediaan susu dan suplemen dan
makanan tambahan bagi ibu hamil.
Keunggulan lain dari Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan
pelayanan kesehatan akan lebih luas, yaitu tidak hanya pada mereka yang
membutuhkan dimana kartu BPJS tersebut diterbitkan.
Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat. Pemerintah
akan menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang
berpenghasilan cukup akan ada mekanisme penetapan tarif.
Kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan perbedaan antara Kartu Indonesia
Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan

c. Media komunikasi politik


Media cetak KOMPAS online

d. Khalayak komunikasi politik


Masyarakat umum dan kelompok masyarakat atau organisasi tertentu
misalnya BPJS, RS, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, BPS dan Puskesmas

e. Akibat-akibat komunikasi politik.


Masyarakat mendapatkan gambaran informasi dari masing-masing calon
presiden
Muncul keyakinan dari masyarakat atas kemampuan dan kapasitas yang
dimiliki oleh calon presiden
Pemilik suara memberikan suaranya pada mereka yang dianggap layak dan
pantas menjadi presiden
.
Studi Kasus 4.2:
a. Komunikator politik
Kepala Seksi Bimbingan dan Evaluasi Subdirektorat Pengendalian Penyakit
Kronis dan Degeneratif
Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes
Ketua Posbindu PTM
Petugas kesehatan tingkat Puskesmas
Kader Posbindu

b. Pesan-pesan politik
Mengintegrasikan Pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular (Posbindu
PTM) dengan Pos Kesehatan Desa
Posbindu berperan dalam surveilans, penapisan, dan deteksi dini penyakit tak
menular
Posbindu terkendala minimnya jumlah petugas kesehatan dan para kader.
Dari sekitar 10.000 Posbindu PTM di Indonesia terdapat sekitar 4.000 unit
tidak aktif
Penyebab ketidakaktifan Posbindu adalah pergantian petugas posbindu karena
sudah lanjut usia, ada kesibukan lain, bosan, tak ada stimulan dari
lingkungan
sekitar, ataupun sekadar giat saat awal pembentukan lalu cenderung
tidak aktif.

c. Media komunikasi politik


Media cetak KOMPAS

d. Khalayak komunikasi politik


Jangkauannya lebih luas dari konsep pos pelayanan terpadu (posyandu), yakni
warga berusia 15 tahun ke atas.
Sektor kesehatan terus mendorong agar kepala daerah mengeluarkan
kebijakan pro kesehatan misalnya kebijakan untuk menggalakkan Posbindu
PTM dan membuat kawasan tanpa rokok
Mengadvokasi pemimpin wilayah, institusi, komunikasi, dan kelompok
masyarakat terkait pentingnya posbindu

e. Akibat-akibat komunikasi politik


Mengendalikan penyakit tidak menular. Kegiatan meliputi konsultasi
kebiasaan dan gaya hidup untuk mengetahui apa ada faktor risiko penyakit
tidak menular.
Warga mengukur berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah.
Masyarakat mengikuti pemeriksaan gula darah, kolesterol, dan senam bersama
Dengan mengikuti posbindu PTM, masyarakat terbiasa hidup sehat agar tak
terkena penyakit tak menular.

4.5 Diskusi dan penugasan


Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu:
a. Menjelaskan konsep komunikasi politik dalam bidang kesehatan
kesehatan b. Menjelaskan ruang lingkup komunikasi politik
c. Menjelaskan unsur-unsur komunikasi politik
d. Lakukan bedah program kesehatan dengan menggunakan pendekatan
proses komunikasi politik
e. Bagaimana pentingnya aktor kesehatan mempengaruhi aktor non-
kesehatan dalam meningkatkan status kesehatan sebuah wilayah?
f. Komunikasi politik seperti apa yang dipandang efektif dalam mendorong
dan mempengaruhi para pengambil kebijakan kesehatan?

4.6 Penutup
Bab ini telah membahas konsep komunikasi politik kesehatan. Komunikator
politik, media politik, pesan-pesan politik, sasaran atau khalayak komunikasi
politik, dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik
menjadi bagian yang penting dalam memahami ruang lingkup komunikasi politik.
Makalah ini menjadi lebih mudah dipahami karena disajikan studi kasus yang
berkaitan dengan komunikasi politik kesehatan.

References:
Changara, H. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, teori dan strategi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Christen, C. T., & Gunther, A. C. (2003). The influence of mass media and other
culprits on the projection of personal opinion. Communication Research,
30,
414-431.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Denton, R. E., & Woodward, G. C. (1990). Political communication in America.
New
York: Praeger.
Doris, A. G., & James, M. S. (2005). Political Communication Faces the
21th
Century. Journal of Communication, 479-507.
Hahn, D. F. (2003). Political communication: Rethoric, government, and citizens.
State College, PA: Strata Publishing.
Harian Nasional. (2014). Kampanye efektif penentu kemenangan, Harian Nasional.
Lilleker, D. G. (2006). Key concepts in political communication. London:
SAGE
Publications.
McNair, B. (2011). An introduction to political communication. London and New
York: Routledge.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Riswandi. (2009). Komunikasi Politik. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Romarheim, A. G. (2005). Definitions of strategic political
communication.
Norwegia: Norwegian Institute of International Affairs.
BAB V
ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT

5.1 Pendahuluan
Advokasi kesehatan masyarakat harus dilakukan mengingat kompleksnya
masalah kesehatan yang dihadapi. Meskipun demikian para professional kesehatan
belumlah secara maksimal melakukannya. Makalah ini pertama-tama memaparkan
advokasi kesehatan masyarakat, kemudian menyajikan produk dan proses advokasi
kesehatan masyarakat. Bab ini pula menggambarkan keterampilan yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam melakukan advokasi kesehatan masyarakat dan
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam melakukan advokasi.

5.2 Apa advokasi kesehatan masyarakat


itu?
Tidak mudah mendefiniskkan advokasi. Perbedaan pendekatan dan perspektif
membuat setiap orang, kelompok pengguna, akademisi, pemerintah dan sektor Non
Government Organizations mendefinisikan advokasi secara berbeda.
Meskipun
demikian, makalah ini mencoba melihat beberapa definisi untuk
membantu memahami apa advokasi itu.
Advokasi adalah aplikasi informasi dan sumber daya termasuk
keuangan, usaha, dan suara terhadap dampak perubahan sistemik yang membentuk
cara orang dalam kehidupan masyarakat (Christoffel, 2000). Menurut Wolfensberger
(2010) dalam dokumen pemerintah Queensland (2011) advokasi adalah berfungsi
(berbicara, bertindak, menulis) dengan konflik kepentingan minimum atas nama
kepentingan yang dirasakan seseorang, kelompok, dalam rangka meningkatkan,
melindungi dan mempertahankan kesejahteraan dan keadilan baik individu atau
kelompok.

“… Advocacy is functioning (speaking, acting, writing) with minimum conflict of


interest on behalf of the sincerely perceived interests of a person or group, in order
to promote, protect or defend the welfare of, and justice for, either individuals
or groups…”

Advokasi adalah sebuah proses aktif yang menggunakan tindakan strategik


untuk mempengaruhi orang lain, menginisiasi perubahan positif dan menyelesaikan
faktor-faktor yang dapat berkontribusi dalam mewujudkan masyarakat yang
lebih sehat (Advocacy is an active process that uses strategic actions to influence
others to shift opinion, initiate positive change, and address the underlying factors
that contribute to a healthier community). Advokasi ini berbeda dengan
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) karena advokasi memfokuskan pada
perubahan kebijakan untuk menyelesaikan penyebab lingkungan dan sosial dari
sebuah isu, daripada perubahan perilaku individu (It is different than an
information, education and communication (IEC) campaign as it focuses on policy
change to address the
social and environmental causes of an isu, rather than on individual
behaviour change) (CPHA, 2009).
Advokasi kesehatan masyarakat didefinisikan sebagai sebuah advokasi yang
bertujuan untuk mengurangi kematian atau kecacatan dalam sebuah kelompok
(secara keseluruhan atau dari penyebab yang spesifik) dan yang tidak terbatas pada
setting klinis (not confined to clinical settings). Menurut Chapman (2004)
advokasi kesehatan masyarakat adalah penggunaan media berita secara strategik
intuk memajukan inisiatif kebijakan publik, sering dalam menghadapi oposisi.
Terdapat komponen-komponen umum dalam sebuah advokasi kesehatan masyarakat:
a. Menekankan pada tindakan kolektif untuk mempengaruhi perubahan sistem
yang diinginkan
b. Fokus pada perubahan-perubahan bagian hulu (upstream) misalnya
hukum, peraturan, kebijakan praktek institusi, standar harga dan produk
dan secara
eksplisit mengakui pentingnya pelibatan proses politik untuk
mempengaruhi perubahan kebijakan.
Advokasi kesehatan masyarakat sering didefinisikan sebagai proses untuk
memperoleh komitmen politik untuk tujuan atau program tertentu (Chapman, 2004;
Christoffel, 2000). Target audiens advokasi cenderung: para pengambil keputusan,
pengambil kebijakan, manajer program, dan mereka yang berada pada posisi yang
dapat mempengaruhi tindakan yang berdampak pada masyarakat banyak secara
keseluruhan (McCubbin, Labonte, & Dallaire, 2001) (Public health advocacy is
often defined as the process of gaining political commitment for a particular
goal or program. Target audiences tend to be decision-makers, policy-makers,
program managers, and more generally, those that are in a position to influence
actions that affect many people simultaneously).
Advokasi kesehatan masyarakat secara eksplisit mengakui aspek politik
kesehatan masyarakat dan pentingnya determinan sosial kesehatan sebagai
komponen utama strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat
(Johnson, 2009). Pengabaian faktor sosial dan politik terhadap kesehatan
mempunyai dampak pada implementasi kesehatan masyarakat yaitu pencegahan dan
promosi faktor risiko (Lawrence, 2004).

5.3 Komponen advokasi kesehatan


masyarakat
5.3.1 Produk advokasi kesehatan
masyarakat
Produk akhir dari advokasi kesehatan masyarakat adalah
menurunnya kematian dan kesakitan (Christoffel, 2000). Produk antara
(intermediate products)
meliputi perubahan perilaku kehidupan individu dan masyarakat dari perilaku yang
menghambat atau menghalangi kesehatan terhadap perilaku yang
mempromosikan
kesehatan, dan membawa secara bersama kekuatan disparitas untuk bekerja dalam
rangka mencapai tujuan. Dalam upaya menurunkan angka kematian dan
kecelakaan
lalu lintas misalnya, maka yang dimaksudkan sebagai produk antara adalah
meningkatnya penggunaan safety belt, menurunnya frekuensi pengguna jalan
yang
ugal-ugalan atau mabuk-mabukan, dan peningkatan penggunaan konstruksi
kendaraan yang standar termasuk penggunaan helm. Jenis perubahan yang
terjadi
sebagai produk antara, baik terhadap individu maupun masyarakat dapat dilihat pada
Tabel 5.1.

Tabel 5.1: Contoh perubahan produk antara advokasi kesehatan masyarakat


Level individu Menurunnya pengambilan risiko,
misalnya penyalahgunaan zat-zat, seks yang tidak aman,
dan kecepatan
Meningkatnya proteksi diri, misalnya penggunaan
seat belt, penggunaan kondom, dan latihan
Menurunnya isolasi personal
Diet sehat
Meningkatnya jarak antara anak dan perawatan
sebelum kelahiran
Pembelajaran dan aplikasi penurunan stress
Perawatan kesehatan secara regular termasuk
screening dan pengobatan
Level keluarga dan Menurunnya toleransi risiko, misalnya
masyarakat pembatasan kecepatan, pengaturan perdagangan senjata
Menurunnya bahaya lingkungan, misalnya
kontaminasi makanan, racun dan bahan-bahan berbahaya
Meningkatnya promosi perlindungan,
misalnya pengungsian aman, imunisasi, dan detektor
rokok
Fasilitasi tindakan individu, misalnya jaminan kesehatan,
pendidikan dan pelayanan kesehatan berbasis sekolah

5.3.2 Proses advokasi kesehatan masyarakat


Aktivitas advokasi kesehatan masyarakat adalah
a. Identifikasi masalah
b. Penelitian dan pengumpulan data
c. Pendidikan professional dan klinis termasuk pendidikan bagi mereka yang
terlibat dalam upaya penciptaan kebijakan publik misalnya
media d. Pengembangan dan promosi peraturan dan perundang-
undangan
e. Dukungan peraturan dan perundang-undangan melalui pemilu dan
tindakan pemerintah
f. Penegakan kebijakan yang efektif
g. Proses kebijakan dan hasil evaluasi
Semua aktivitas tersebut dapat terjadi baik pada tingkat individu
maupun kelompok atau masyarakat. Orang yang terlibat dalam proses advokasi
misalnya pemerintah, kelompok etnik, kelompok agama atau organisasi lain
mungkin bekerja secara overlapping tergantung pada posisi mereka.
Tahapan proses untuk menghasilkan produk advokasi kesehatan masyarakat
dapat dibagi atas tiga bagian yaitu: informasi, strategi dan tindakan. Tahap
informasi, merujuk pada aktivitas pengidentifikasian, penggambaran,
pengkuantifikasian sejauh mana masalah kesehatan masyarakat tersebut (pola
kejadian, risiko dan faktor protektif, efektivitas program dan hambatan terhadap
efektivitas). Tahap strategi, merujuk pada tindakan yang berkaitan dengan
penggunaan informasi yang tersedia untuk mengidentifikasi kebutuhan apa untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat. Tahap tindakan, merujuk pada aktivitas
dalam mengimplementasikan strategi tersebut, misalnya penggalian pendanaan,
memformulasi secara spesifik tentang waktu, pengaturan staf dalam organisasi
kunci, meyakinkan orang terhadap perubahan kehidupan mereka. Peranan para
aktor advokasi kesehatan masyarakat berbeda berdasarkan 3 tahapan tersebut (lihat
Tabel 5.2).

Tabel 5.2: Peranan partisipan/aktor advokasi kesehatan masyarakat


Partisipan Informasi Strategi Tindakan
Koalisi Data yang diminta Pendidikan Loby
publik Identifikasi Memberi kesaksian
fokus kebijakan Suara
Bekerja bersama
legislator
Mengkoordinasikan
upaya-upaya
kelompok
Menguatkan usaha-
usaha kelompok
Kelompok Data yang diminta Loby Loby
masyarakat Pengetahuan Memberi kesaksian Memberi kesaksian
residen
Penyedia Studi kasus Perspective klinik Konsul
pelayanan Kajian penelitian Pendidikan public Loby
kesehatan Mendefinisikan isu Membangun koalisi Memberi kesaksian
klinis Suara
Organisasi Identifikasi data Pernyataan Loby
pemberi pelayanan Beberapa penelitian kebijakan Memberi kesaksian
kesehatan Pedoman klinik
Mendukung koalisi
Pendidikan public
Editor jurnal Pengendalian Isu khusus Mempublikasi
kualitas melalui Memilih reviewer makalah dan
peer reviewer editorial
Press release
Jurnalist Menginvestigasi Pendidikan publik Mempublikasi
pekerjaan cerita

Ahli hukum dan Menggambarkan Mengembangkan Draft aturan dan


pengacara dan pilihan bagi hukum
menginterpretasikan aplikasi dan
hokum dan perubahan dalam
implikasinya hokum
Legislator Data yang Menyelenggarakan Penguatan
dibutuhkan dengar pendapat pendanaan
Kewenanagan Draft legislasi Menetapkan
Dana hukum
Sektor swasta Dana penelitian Prioritas pendanaan Menerapkan
Membiayai Koalisi pendanaan standar keamanan
pekerjaan data Pendidikan public
pendanaan
Peneliti dan Melakukan Mengembangkan Mempublikasi
akademisi penelitian dan data dan teori makalah
evaluasi Menulis editorial
Menyatakan
kesaksian
Mengembangkan
program
Suara
Lembaga dana Dana penelitian Prioritas Memberi kesaksian
penelitian Pengendalian funding
control Pernyataan
konsensus

Korban Berpartisipasi Perspective korban Loby


dalam penelitian Pendidikan public Memberi kesaksian
Membawa Koalisi Suara
kesaksian
Sumber: Christoffel (2000)
Partisipan yang dilist seperti pada Tabel 5.2 dapat menjadi pendukung dapat
juga sebagai oposisi. Oposisi bisa berasal dari pemerintah, industri, masyarakat,
kelompok agama, kelompok kepentingan baik berasal dalam bidang public health
itu sendiri maupun yang berada di luar dari partisipan yang dilist tadi. Karena itu
Chapman (2004) membuat 10 pertanyaan yang dapat membantu para advokat atau
pembela kesehatan masyarakat.
1. Apa tujuan kesehatan masyarakat Anda dalam isu ini?
2. Dapatkah outcome menang-menang dapat menjadi rekayasa utama dengan
para pengambil keputusan?
3. Kepada siapa pengambil keputusan utama menjawab dan bagaimana orang-
orang tersebut dipengaruhi?
4. Apa kekuatan dan kelemahan Anda dan posisi oposisi Anda?
5. Apa tujuan advokasi media Anda?
6. Bagaimana Anda membentuk isu yang ada disini?
7. Apa simbol atau gambar kata-kata yang dapat di bawah ke dalam frame ini?
8. Suara seperti apa yang dapat digunakan untuk mentransfer No. 6 dan 7?
9. Dapatkah isu tersebut dipersonalisasi?
10. Bagaimana jumlah orang yang besar itu dapat diorganisir untuk mengungkapkan
masalahnya?
Canadian Public Health Association menetapkan 9 tahapan untuk melakukan
advokasi kesehatan masyarakat seperti yang dilist dalam Kotak 5.1 (CPHA,
2009), yaitu:

Kotak 5.1: Sembilan tahapan proses advokasi kesehatan masyarakat

1. Pengakuan masalah (Problem recognition)


2. Mengembangkan pernyataan kebijakan (Develop a policy statement)
3. Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus (Define goals and objectives)
4. Mengidentifikasi kesempatan dan risiko (Identify opportunities and risks)
5. Memetakan stakeholder dan opini mereka (Map stakeholders and their opinions)
6. Pilih pendekatan advokasi Anda (Choose your advocacy approach)
7. Mengembangkan pesan-pesan utama (Develop key messages)
8. Menciptakan rencana aksi (Create an action plan)
9. Melaksanakan dan mengevaluasi (Implement and evaluate)

Sembilan tahapan advokasi kesehatan masyarakat tersebut secara


ringkas dijelaskan satu persatu, yaitu:
1. Pengakuan masalah (Problem recognition). Advokasi kesehatan masyarakat ada
karena terdapat masalah kesehatan masyarakat yang ingin diselesaikan.
Misalnya masalah tentang rokok, banjir, kemacetan lalu lintas, HIV/AIDS,
dan tukang parkir jalanan.

2. Mengembangkan pernyataan posisi dan kebijakan (Develop a position and


policy statement). Pernyataan posisi menjelaskan, memberikan alasan,
merekomendasikan sebuah pendapat tertentu. Pernyataan kebijakan adalah
sebuah rencana, tujuan dinyatakan, yang mempengaruhi respons organisasi
dalam kaitan dengan aktivitasnya, prosedur dan keputusan dan
mengarahkan tindakan atau pekerjaan masa datang melalui organisasi tersebut.
Elemen dari pernyataan posisi dan kebijakan mencakup, yaitu:
a. Penjelasan terhadap isu atau masalah
b. Penjelasan relevansi isu dengan
organisasi c. Membuat garis besar kebijakan
dan posisi
d. Membuat garis besar jenis tindakan yang mungkin dapat diambil
(untuk pernyataan kebijakan).

3. Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus (Define goals and objectives). Apa
tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Tujuan harus SMART
(Specific, Measurable, Attainable, Relevant, dan Tim-bound). Contoh tujuan
umum misalnya menurunkan kasus HIV/AIDS bagi para sopir truk.
Contoh tujuan khususnya adalah meningkatkan pengetahuan para sopir truk
mengenai risiko hubungan seks yang tidak aman, memberikan pelatihan dan
keterampilan mengenai penggunaan kondom bagi para sopir truk.

4. Mengidentifikasi kesempatan dan risiko (Identify opportunities and risks).


Dimasa lalu, misalnya posisi Anda tidak mendapat persetujuan dengan
banyak
pihak terutama dengan atasan Anda. Pergantian pimpinan dapat menjadi
kesempatan yang baik buat Anda. Risiko pun harus dapat diidentifikasi.
Tak satupun aktivitas tanpa risiko, dimana dan kapan pun. Risiko harus
dikenali untuk dapat dikelola dengan baik atau mungkin dapat
dihindari atau diminimalisir.

5. Memetakan stakeholder dan opini mereka (Map stakeholders and their


opinions). Siapa yang menjadi stakeholder dalam sebuah isu atau masalah.
Tentu harus dipetakan. Soal pengendalian rokok misalnya, maka yang dapat
menjadi stakeholder adalah pemerintah, anggota dewan, perusahaan rokok,
petani tembakau, para pekerja buruh dan mereka yang bekerja dalam perusahaan
rokok. Tanya apa pendapat mereka, atas perubahan yang ingin dilakukan.

6. Pilih pendekatan advokasi Anda (Choose your advocacy approach). Jika Anda
mau melakukan perubahan perilaku pada tingkat staf, maka mungkin Anda akan
melakukan pendekatan dengan pimpinan dan membuat kebijakan yang bisa
mempengaruhi perilaku individu. Jika Anda mau membuat kebijakan yang
berkaitan dengan penggunaan kondom bagi pengguna seks bebas, maka
mungkin Anda harus melakukan pendekatan dengan pemerintah atau anggota
dewan. Beberapa pendekatan yang mungkin Anda lakukan dalam melakukan
advokasi (tergantung konteksnya) adalah:
a. Bertemu dengan pimpinan di semua
level
b. Membangun jaringan dan
koalisi
c. Melakukan kampanye opini
publik
d. Melakukan penelitian dan poling
pendapat e. Mengembangan materi
komunikasi
f. Melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran terhadap
isu tersebut.

7. Mengembangkan pesan-pesan utama (Develop key messages). Buat pesan yang


mudah dipahami. Pesan harus padat, aktif, positif dan pendek, spesifik dan
kredible artinya pesan harus ada bukti sehingga dapat dipercaya.
8. Menciptakan rencana aksi (Create an action plan). Buat rencana aksi dari
advokasi yang akan dilakukan

9. Laksanakan dan evaluasi (Implement and evaluate). Laksanakan rencana aksi


yang telah direncanakan dan evaluasi apa yang telah dicapai serta apa hambatan
dan tantangan yang ada sebagai bahan untuk melakukan perbaikan.

The Ontarion Health Promotion Resource System (Johnson,


2009)
mengklasifikasi aktivitas advokasi ke dalam 3 kategori,
yaitu:
a. Low profile, aktivitasnya termasuk negosiasi cepat, pertemuan dengan
staf, sharing informasi, dan pengembangan ringkasan non-publik
b. Medium profile, aktivitasnya negosiasi yang sedang berjalan,
berpartisipasi
dalam pertemuan dengan pejabat terpilih, membangun aliansi secara strategic
dengan kelompok lain, dan menulis berita terhadap pejabat terpilih untuk
kepentingan berita.
c. High profile, aktivitasnya meliputi aktivitas hubungan dengan publik
(public
relation), mengiklankan kampanye, distribusi informasi, dan berpartisipasi
dalam demonstrasi.
Aktivitas dalam negosiasi tersebut baik level low, medium dan high
misalnya
pertemuan dengan pejabat, distribusi informasi atau pengiklanan mengenai
sebuah ide kampanye mungkin tidak selalu berhasil. Pencapaian tujuan negosiasi
juga akan sangat ditentukan oleh faktor-faktor lain misalnya orang yang melakukan
advokasi (advocators), media yang digunakan (media) dan target group dari
mereka yang diadvokasi (audience).

5.4 Keterampilan dan tantangan advokasi kesehatan


masyarakat
5.4.1 Keterampilan advokasi kesehatan
masyarakat
Untuk melakukan advokasi secara efektif, terdapat tiga skill utama
yang
diperlukan (Johnson, 2009),
yaitu:
a. Kemampuan untuk bekerja secara bersama dengan berbagai pihak (the ability
to work collaboratively with multiple stakeholders), misalnya dengan
pemerintah, DPRD kabupaten/kota atau provinsi, pihak pengusaha, NGOs, dan
rumah sakit
b. Kemampuan menggunakan media secara strategis (strategic use of
media),
misalnya adalah media cetak atau
televisi
c. Kemampuan untuk melakukan analisis secara strategik (ability to
conduct
strategic analysis). Kemampuan untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang
dimiliki sebagai dasar untuk melakukan advokasi terhadap perubahan yang
ingin dicapai.
Tiga kemampuan ini membutuhkan untuk fokus pada tiga pertanyaan sentral,
yaitu:
a. Apa masalah yang ingin diselesaikan (what is the problem)? Misalnya
smoking pada area kampus, penggunaan helm standar bagi para pengguna
kendaraan bermotor, pengguna jalan yang amburadul
b. Apa solusi yang diinginkan (what is the desired solution)? Smoke-Free pada
area kampus dengan membuat sanksi tegas, pemeriksaan penggunaan helm
secara regular dan pengaturan ketertiban secara tegas, berkelanjutan dan
berkeadilan.
c. Siapa yang menjadi target untuk perubahan itu (who is the target for
change?)
Misalnya targetnya adalah mahasiswa, pengguna jalan secara
umum

5.4.2 Tantangan advokasi kesehatan


masyarakat
Terdapat beberapa tantangan dalam praktek advokasi kesehatan masyarakat,
yaitu:
1. Sifat politik yang mendorong perubahan, selalu terdapat kelompok yang
resisten terhadap perubahan. Ketika kampanye rokok digalakkan oleh para
professional kesehatan, itu tidak berarti tidak ada resistensi di
dalamnya. Kelompok pengusaha rokok, para pekerja rokok dan juga mungkin
pejuang hak asasi akan menjadi variable pengganggu dan juga terus berjuang
bahwa rokok telah membiayai negara melalui pajak yang tidak sedikit.
2. Para professional kesehatan jarang mendapatkan pelatihan yang berkaitan
dengan
advokasi. Kondisi ini membuat perubahan-perubahan yang diharapkan sulit
terjadi secara signifikan.
3. Tantangan selanjutnya adalah berkaitan dengan bahasa advokasi
kesehatan masyarakat yaitu kesenjangan linguistik antara pendekatan
sosial yang
diperlukan untuk kesehatan masyarakat dan pendekatan individual yang
biasanya digunakan dalam isu-isu perawatan kesehatan. Jika tujuan kesehatan
masyarakat
adalah untuk memastikan kondisi di mana orang bisa sehat, penciptaan
kondisi ini biasanya membutuhkan perubahan sistemik, jenis perubahan yang
dibawa secara kolektif oleh masyarakat.

5.5 Advokasi media


Meskipun telah diamati bahwa sedikit perhatian penelitian
telah diorientasikan pada advokasi kesehatan masyarakat secara keseluruhan,
bidang
'advokasi media' telah menjadi fokus dari sebuah badan penelitian. Makalah diskusi
ini sekarang beralih ke sinopsis singkat dari advokasi media untuk
memberikan
contoh praktis dari pendekatan advokasi kesehatan masyarakat. Advokasi media
adalah pendekatan kebijakan yang berorientasi untuk menggunakan media
massa untuk promosi kesehatan masyarakat. Meskipun media massa yang
digunakan dalam berbagai kegiatan promosi kesehatan, hasil akhir dari penggunaan
media yang bervariasi sesuai dengan pendekatan yang intervensi.
Media massa yang digunakan sebagai strategi pendidikan terutama untuk
memberikan informasi kepada individu sehingga mereka dapat membuat pilihan
kesehatan yang lebih baik. Dalam advokasi media, bagaimanapun, media
massa adalah digunakan sebagai alat politik untuk menargetkan dan pembuat
kebijakan untuk perubahan sosial dan untuk memobilisasi dukungan luas untuk
menerapkan tekanan. Ini merupakan perubahan mendasar dari pendekatan
pemasaran sosial untuk
mempromosikan kesehatan dan menuju pendekatan yang mengubah aturan
mendefinisikan lingkungan di mana perilaku kesehatan berlangsung. Intervensi
advokasi media memerlukan identifikasi eksplisit khalayak sasaran: kelompok
primer, sekunder dan tersier. Kelompok sasaran utama (kelompok primer) terdiri
dari orang- orang, kelompok atau organisasi dengan kekuatan untuk membuat
perubahan yang diinginkan. Kelompok sasaran sekunder terdiri dari individu atau
kelompok yang dapat dimobilisasi untuk menerapkan tekanan pada orang-orang
dengan kekuatan untuk membuat perubahan. Kelompok sasaran tersier adalah
populasi umum.

5.6 Diskusi dan penugasan


Setelah mengikuti materi ini, peserta diharapkan:
a. Mampu menjelaskan definisi advokasi kesehatan
masyarakat
b. Mampu menyebutkan tahapan advokasi kesehatan masyarakat dan
mampu menerapkan tahapan tersebut dalam sebuah studi kasus
c. Produk advokasi kesehatan masyarakat dapat dibagi atas dua bagian,
sebutkan dan berikan contoh!
d. Terdapat tiga tahapan untuk menghasilkan produk advokasi
kesehatan masyarakat. Sebutkan dan jelaskan!
e. Apa tantangan yang dihadapi dalam proses advokasi kesehatan
masyarakat?
f. Keterampilan apa saja yang harus dimiliki untuk melakukan advokasi
kesehatan
masyarakat?

5.7 Penutup
Advokasi merupakan kunci dalam melakukan perubahan kebijakan,
dalam jangka pendek maupun jangka panjang, individu ataupun kelompok.
Keterampilan
dan latihan untuk melakukan advokasi kesehatan masyarakat harus diperkuat
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

References:
Chapman, S. (2004). Advocacy for public health: a primer. J Epidemiol
Community
Health, 361-365.
Christoffel, K. K. (2000). Public health advocacy: Process and product.
American
Journal of Public Health, 90(5), 722-726.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Johnson, S. A. (2009). Public health advocacy. Alberta Health
Services,.
Lawrence, R. (2004). Framing obesity: The evolution of news disclosure on a public
health issue. International Journal of Press/Politics, 9(3), 56-75.
McCubbin, M., Labonte, R., & Dallaire, B. (2001). Advocacy for healthy
public policy as a health promotion technology Retrieved 19 Januari,
2014, from
http://www.utoronto.ca/chp/download/2ndSymposium/McCubbin,%20Labont
e,%20Dallaire.doc
Queensland Government. (2011). Health advocacy framework: Strengthening health
advocacy in Queensland. Queensland: Retrieved from
http://www.health.qld.gov.au/hcq/publicat ions/hcq_framework_may11.pdf.
BAB VI
PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK

6.1 Pendahuluan
Pemilu menjadi sarana bagi banyak pihak untuk menempatkan berbagai
sektor pembangunan sebagai isu menarik untuk diperbincangkan, termasuk
kesehatan.
Calon presiden, DPR/DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/walikota
menjadikan isu kesehatan sebagai jualan politik. Isu kesehatan gratis dan
Kartu
Indonesia Sehat, misalnya, menjadi bahan kampanye untuk meraih simpati
masyarakat. Tentu saja, memang tak dapat dipungkiri bahwa masalah
kesehatan adalah masalah politik. Kesehatan masyarakat adalah aktivitas politik.
Tindakan kesehatan masyarakat adalah ungkapan ideologi politik, sejauh mana
pemegang kekuasaan formal dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan.
Kesehatan adalah politik karena determinan kesehatan banyak ditentukan oleh faktor
politik, faktor di luar dari persoalan kesehatan itu sendiri. Faktor kesehatan
banyak ditentukan oleh bupati dan walikota dan anggota dewan yang terhormat.
Karena masalah kesehatan adalah masalah politik, maka untuk memecahkannya
diperlukan adanya komitmen politik.
Bab ini memaparkan bagaimana gambaran kesehatan Indonesia; pentingnya
momentum pemilu dan isu kesehatan dalam konteks aktor politik; apa kompetensi
aktor politik yang harus dimiliki dalam memainkan peran kesehatan yang optimal.

6.2 Potret Pembangunan Kesehatan di Indonesia


Kesehatan merupakan salah satu poin penting dari Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) (Human Development Index) untuk mengukur kemajuan suatu
negara. Ini telah ditetapkan negara-negara di dunia oleh anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Untuk mengukur indeks tersebut, indikator telah ditetapkan yaitu
angka harapan hidup (life expectancy) yang mempresentasikan umur panjang dan
sehat. Artinya usia harapan hidup yang panjang diikuti oleh kualitas hidup
kesehatan yang baik. Indikator lainnya adalah angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah. Angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah mempresentasikan capaian
pembangunan dibidang ekonomi. Indikator terakhir adalah kemampuan daya beli.
Indikator ini menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah
kebutuhan pokok yang dilihat dari rata-rata besarnya pengeluaran per kapita.
Pendekatan ini mencerminkan capaian pembangunan untuk hidup layak
(Kementerian Kesehatan RI, 2014). Karena itu, secara garis besar dapat
dikatakan bahwa indeks pembangunan manusia dapat diukur dari aspek kesehatan,
pendidikan dan ekonomi.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia misalnya dapat dilihat tahun 2008-
2012. Gambaran ini sedikit lebih lambat update nya dari posisi tahun saat ini.
Namun paling tidak ini dapat memberikan gambaran pencapaiannya dari tahun ke
tahun.

Gambar 6.1: Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2008-2012


Sumber: BPS (2013)

Gambar 6.1 menunjukkan bahwa nilai Indeks Pembangunan Manusia


Indonesia pada tahun 2012 sebesar 73,29 lebih tinggi jika dibandingkan dengan
kondisi yang dicapai pada tahun 2011 yaitu sebesar 72,77. Nilai tersebut termasuk
dalam kategori nilai IPM sedang. Peningkatan ini disebabkan karena meningkatnya
nilai dari komponen pembuat IPM ini, yaitu kenaikan pada komponen angka
harapan hidup dan angka melek huruf. Pada tahun 2008 nilai IPM Indonesia
sebesar 71,17 dan nilai ini meningkat menjadi 71,76 pada tahun 2009. Artinya
bahwa peningkatan IPM Indonesia terus terjadi dari tahun ke tahun meskipun
peningkatannya kelihatan lambat. Angka IPM secara keseluruhan ini berada pada
posisi tersebut karena meskipun terdapat provinsi yang mempunyai nilai IPM yang
lumayan bagus katakanlah di atas angka 75 misalnya Sumatera Utara, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Riau,
Sulawesi Utara, DKI Jakarta, bahkan DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi dengan
IPM yang paling tinggi yaitu sebesar 78,33 pada tahun 2012. Namun terdapat
provinsi dengan IPM yang berada di angka 70 bahkan di bawah 70 misalnya
Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Papua. Provinsi
Papua bahkan tercatat sebagai provinsi dengan IPM terendah di Indonesia yaitu
65,86. Pencapaian IPM Provinsi Sulawesi Selatan sendiri adalah 72,70. IPM dibagi
atas tiga kategori yaitu IPM di atas 80 disebut kategori tinggi, IPM diantara 50-
79,9 termasuk kategori sedang dan di bawah 50 termasuk kategori rendah.
Dengan melihat IPM tersebut menempatkan strategi pembangunan nasional
pada pengembangan Sumber Daya Manusia dalam perspektif pembangunan, yaitu
manusia Indonesia yang sehat, cerdas dan kuat secara ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi yang terjadi harus seiring dengan peningkatan Sumber Daya Manusia.
Beberapa faktor penting dalam pembangunan yang sangat efektif bagi pembangunan
manusia adalah pendidikan dan kesehatan. Kedua faktor ini merupakan kebutuhan
dasar manusia yang perlu dimiliki untuk meningkatkan potensinya dalam
pembangunan. Karena pentingnya faktor tersebut, maka hampir pada setiap pilkada
termasuk pemilihan anggota DPR/DPRD menjadikan pendidikan, kesehatan dan isu
yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai isu
sentral. Sebut saja dalam bidang kesehatan isu kesehatan gratis, ambulans gratis,
Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Jakarta Sehat. Demikian pula dalam bidang
pendidikan misalnya pendidikan gratis, SPP gratis, beasiswa penyelesaian studi,
beasiswa untuk S1, S2 dan S3. Dalam konteks politik memang disadari bahwa
kedua sektor ini memilki basis massa yang tidak sedikit baik yang berhubungan
langsung dengan mereka yang bekerja di sektor kesehatan dan pendidikan maupun
keluarganya. Oleh karena itu, adalah sangat wajar jika selalu sektor ini menjadi
sektor primadona dalam setiap politik pilkada disamping isu tersebut adalah isu
yang sangat fundamental dalam pencapaian kualitas Sumber Daya Manusia.
Potret kesehatan Indonesia dapat dilihat dan dipelajari secara detail dari
Profil Kesehatan Indonesia yang diterbitkan oleh pemerintah melalui
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia setiap tahun. Empat indikator utama
yang yang sering dijadikan alat ukur kemajuan pembangunan kesehatan, yaitu:
Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi, Usia Harapan Hidup dan Gizi. Bahkan
sebagian besar dari isu ini adalah juga menjadi isu penting dalam Tujuan
Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals) misalnya memberantas
kemiskinan dan kelaparan. Tujuan pertama ini berkaitan dengan keterjangkauan
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan gizi. Tujuan Millenium Development Goals
yang kedua berkaitan dengan pendidikan yaitu mewujudkan pendidikan dasar
untuk semua. Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu dan
memerangi HIV/AIDS Malaria serta penyakit lainnya menjadi isu penting dibidang
kesehatan (Stalker, 2008).
Angka Kematian Ibu. Hal yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu
di tahun 2013, dikarenakan masih rendahnya pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan terutama di daerah–daerah yang secara geografis belum dapat terjangkau
oleh pelayanan kesehatan yang memadai. Selain itu, kurangnya ketersediaan
infrastruktur kesehatan, baik sarana dan prasarana kesehatan maupun ketersediaan
tenaga kesehatan yang secara langsung kurang bersedia untuk ditempatkan di daerah
yang secara geografis tidak memadai. Membaca Gambar 6.2 menunjukkan bahwa
angka kematian ibu di Indonesia pada beberapa provinsi masih cukup tinggi
misalnya Papua, Nusa Tenggara Barat, Maluku sementara beberapa provinsi
lainnya mempunyai angka kematian ibu misalnya Provinsi Bali, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Selatan, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
Gambar 6.2: Angka Kematian Ibu Tahun 2012-2013 di Indonesia menurut provinsi
Sumber: Bappenas (2015)

Jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, maka angka


kematian ibu di Indonesia masih termasuk kategori cukup tinggi (lihat Gambar 6.3).
Pada tahun 2015 diakhir MDGS, Indonesia telah menetapkan angka kematian ibu
102 per 100.000 kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia masih jauh
lebih tinggi dari angka kematian yang telah dicapai oleh Myanmar, Philippines,
Thailand, Vietnam dan Malaysia, sementara dua negara lainnya misalnya Cambodia
dan Lao PDR mempunyai angka kematian ibu lebih tinggi dari Indonesia.

Gambar 6.3: Tren Angka Kematian Ibu (AKI) Beberapa Negara ASEAN
Sumber: Sumber: UN Maternal Mortality Estimation Group: WHO,
UNICEF, UNFPA, World Bank dalam UNICEF Indonesia (2012)
Angka Kematian Bayi (AKB). Penurunan AKB dan AKABA di Indonesia
dalam satu dekade terakhir mengalami perlambatan. Padahal pada priode 1991

2002, Indonesia mampu menurunkan AKB dari 68 per 1.000 kelahiran hidup
menjadi
35 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan AKABA turun dari 97 per 1.000
kelahiran
hidup menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2013). Dalam priode tersebut,
Indonesia menjadi negara yang mendapat apresiasi besar dari WHO untuk
pencapaian AKB dan AKABA. Setelah tahun 2002, ternyata penurunan AKB dan
AKABA di Indonesia justru mengalami perlambatan. Hasil SDKI 2012 menunjukan
saat ini AKB berada pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup, turun lima poin.
Sedangkan AKABA sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup hanya turun enam
poin dari tahun
2002. Selain lambatnya penurunan AKB dan AKABA di Indonesia, pencapaian
AKB dan AKABA di daerah juga masih sangat timpang dan di beberapa daerah juga
ada yang mengalami kenaikan signifikan. Daerah – daerah di timur Indonesia
seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB Sulawesi Barat,
Gorontalo dan Sulawesi Tengah masih memiliki nilai AKB dan AKABA yang cukup
tinggi jauh di atas rata–rata nasional. Malahan, AKB dan AKABA untuk Papua,
Papua Barat, Maluku Utara, dan Gorontalo justru mengalami kenaikan. Selain di
daerah timur Indonesia, temuan kenaikan AKB dan AKABA juga ditemukan di
Aceh, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Ketimpangan dan
kenaikan AKB dan AKABA ini merupakan sebuah refleksi dari ketidakmampuan
daerah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak. Seharusnya,
dengan desentralisasi sektor kesehatan, peluang daerah untuk melakukan kebijakan
menjadi lebih kuat. Daerah yang memiliki inovasi dalam kebijakan pembangunan
KIA seperti Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan
Selatan dan Sulawesi Selatan ternyata mampu secara signifikan menurunkan AKB
dan AKABA. Inilah sebenarnya perlu didorong oleh Kementerian Kesehatan, agar
setiap daerah memiliki arah dan strategi khusus dalam menurunkan AKB dan
AKABA sesuai dengan konteks daerah masing – masing.
Gambar 6.4: Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap Provinsi, Indonesia
Sumber: Profil Kesehatan, Kemenkes (2013) dalam Rahmahidanurrizka and Saputra (2013)
Gambar 6.5 menunjukkan kecenderungan angka kematian neonatal,
angka kematian bayi dan angka kematian balita dari tahun 1991-2015 yang terus
menurun.

Gambar 6.5: Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991-2015
Sumber: Direktorat Jenderal Bina GIKIA (2013)
Angka Harapan Hidup (AHH). Angka ini adalah angka pendekatan
yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Usia Harapan
Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi penampilan (performance)
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan
meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya (Stalker, 2008). Gambar 6.6
menunjukkan peningkatan AHH yang terjadi di Indonesia selama tahun 2008-2012.
Pada tahun 2012, nilai AHH Indonesia telah mencapai 69,87 tahun dimana lebih
tinggi jika dibandingkan dengan nilai AHH pada tahun 2011 yang sebesar 69,65
tahun. Provinsi dengan nilai AHH tertinggi terdapat di DKI Jakarta dengan nilai
73,49 dan DI Yogyakarta sebesar
73,33. Provinsi dengan nilai AHH terendah terdapat di Nusa Tenggara Barat
sebesar
62,73 dan Kalimantan Selatan sebesar 64,52. Nilai AHH tertinggi ada pada DKI
Jakarta juga sama dengan IPM secara keseluruhan. Sementara Nusa Tenggara Barat
juga bersama dengan Nusa Tenggara Timur mempunyai nilai IPM yang relatif
rendah.

Gambar 1.2: Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (Dalam Tahun) Indonesia
2008-
2012
Sumber: BPS (2013)

Gambar 6.6: Angka Harapan Hidup Indonesia 2008-


2012
Sumber: BPS (2013)

Gizi. Status gizi yang dikaji dalam Bab ini dibagi atas dua bagian yaitu
status gizi balita dan status gizi penduduk dewasa (Kementerian Kesehatan RI,
2014). Pertama, status gizi balita. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai
keberhasilan pencapaiannya dalam MDGs adalah status gizi balita. Pada tahun
2010 terdapat
17,9% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang
dan
4,9% berstatus gizi buruk dan sebesar 5,8% balita dengan status gizi
lebih.
Dibandingkan tahun 2007, terjadi penurunan kekurangan gizi balita pada tahun 2010
dari 18,4% menjadi 17,9%. Berdasarkan provinsi, prevalensi balita kekurangan gizi
terendah dicapai Sulawesi Utara (10,6%), Bali (10,9%) dan DKI Jakarta (11,3%),
sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Barat
(30,5%), Nusa Tenggara Timur (29,4%) dan Kalimantan Barat (29,2%).
Target
MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 untuk indikator ini sebesar
15,5%. Dengan demikian dari 33 provinsi terdapat 9 provinsi di antaranya telah
mencapai target tersebut pada tahun 2010.

Gambar 6.7: Persentase Balita Kekurangan Gizi Berdasarkan Berat Badan


Menurut
Umur (BB/U) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam
Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Diantara 33 provinsi di Indonesia, 19 provinsi memiliki prevalensi
balita kekurangan gizi di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 19,7%
sampai dengan 33,1 persen. Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga
provinsi yang memiliki prevalensi balita kekurangan gizi sudah mencapai sasaran
yaitu: (1) Bali (13,2%), (2) DKI Jakarta (14,0%), (3) Kepulauan Bangka Belitung
(15,1%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi kekurangan
gizi pada balita antara 20,0-29,0%, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila
≥30 persen (WHO,
2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi kekurangan gizi pada anak
balita
sebesar 19,6%, yang berarti masalah kekurangan gizi pada balita di Indonesia masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati prevalensi tinggi. Diantara 33
provinsi, terdapat dua provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi,
yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur (33,0%).
Indikator gizi yang lain yaitu tinggi badan menurut umur (TB/U)
memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan
yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat,
dan pola
asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
mengakibatkan anak menjadi pendek.

Gambar 6.8: Persentase Balita Dengan Tinggi Badan Di Bawah Normal


Berdasarkan
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Menurut
Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam
Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Menurut provinsi sesuai Gambar 6.8, prevalensi balita pendek terendah
terjadi di Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,3%), dan DKI Jakarta
(27,5%). Sedangkan provinsi dengan prevalensi balita pendek tertinggi terjadi
di Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%). Dan Nusa Tenggara
Barat (45,2%). Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi
pendek sebesar 30 – 39 % dan serius bila prevalensi pendek ≥40% (WHO 2010).
Sebanyak
13 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori
serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: Papua (40,1%), Maluku (40,6%), Sulawesi
Selatan (40,9%), Sulawesi Tengah (41,0%), Maluku Utara (41,1%), Kalimantan
Tengah (41,3%), Aceh (41,5%), Sumatera Utara (42,5%), Sulawesi Tenggara
(42,6%), Lampung (42,6%), Kalimantan Selatan (44,2%), Papua Barat (44,7%),
Nusa Tenggara Barat (45,2%), Sulawesi Barat (48,0%). dan Nusa Tenggara
Timur (51,7%). Indikator antropometri lain untuk menilai status gizi balita yaitu
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Pada tahun 2013 terdapat 12,1%
balita wasting (kurus) yang terdiri dari 6,8% balita kurus dan 5,3% sangat kurus.
Gambar 6.9: Persentase Balita Kurus Berdasarkan Berat Badan Menurut Tinggi
Badan (BB/TB) Menurut Provinsi
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam
Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Kurus secara nasional tahun 2013 masih cukup tinggi yaitu 5,3 %, terdapat
penurunan dibandingkan tahun 2010 (6,0 %) dan tahun 2007 (6,2%).
Demikian pula halnya dengan prevalensi kurus sebesar 6,8 persen juga
menunjukkan adanya penurunan dari 7,3 persen (tahun 2010) dan 7,4 %
(tahun 2007). Terdapat 17 provinsi dimana prevalensi balita kurus diatas angka
nasional, dengan urutan dari prevalensi tertinggi, adalah: Kalimantan Barat,
Maluku, Aceh, Riau, Nusa TenggaraTimur, Papua Barat, Sumatera Utara,
Bengkulu, Papua, Banten, Jambi, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau dan Maluku Utara. Masalah
kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0
14,0%, dan dianggap kritis bila ≥15,0 persen (WHO 2010). Pada tahun 2013,
secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1 persen, yang artinya
masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius. Diantara 33 provinsi, terdapat 23 provinsi yang masuk kategori serius, dan
6 provinsi termasuk kategori kritis, yaitu Kalimantan Barat, Maluku, Aceh dan
Riau.
Meskipun pada tingkat provinsi terdapat beberapa wilayah yang
memiliki status kesehatan yang lebih baik, namun secara keseluruhan Indonesia
masih berada pada tingkat dimana masalah kesehatan masyarakat termasuk angka
kematian bayi dan balita termasuk tinggi. Demikian pula prevelensi balita
stunting baik di ASEAN maupun di SEAR pada tahun 2007-2011 (Gambar 6.10).

Gambar 6.10: Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011
Sumber: WHO (2013) dalam Kementerian Kesehatan RI (2013)

Status gizi penduduk dewasa. Gambaran status gizi pada kelompok umur
>18 tahun dapat diketahui melalui prevalensi gizi berdasarkan indikator Indeks
Massa Tubuh (IMT). Status gizi pada kelompok dewasa berusia di atas 18 tahun
didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup
tinggi (Gambar
6.11).

Gambar 6.11: Persentase Kelebihan Berat Badan Pada Penduduk Dewasa


Berdasarkan Kategori Indeks Masa Tubuh Menurut Provinsi, Riskesdas, Tahun 2013
Sumber: Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas, 2013 dalam Kementerian
Kesehatan RI (2014)
Menurut laporan Riskesdas tahun 2013 provinsi dengan prevalensi kelebihan
berat badan pada penduduk >18 tahun terendah yaitu Nusa Tenggara Timur
(12,95%), Lampung (18,52%), Nusa Tenggara Barat (19,47%). Provinsi dengan
prevalensi kelebihan berat badan tertinggi yaitu Sulawesi Utara (40,54%),
Kalimantan Timur (35,38%), dan DKI Jakarta (34,67%). Prevalensi penduduk kurus
terendah di Provinsi Sulawesi Utara (5,6%) dan tertinggi di Nusa Tenggara Timur
(19,5%). Dua belas provinsi dengan prevalensi penduduk dewasa kurus diatas
prevalensi nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sumatera Barat,
Jawa Timur, Maluku, Jawa Tengah, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Selatan, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Prevalensi penduduk
obesitas terendah di provinsi Nusa Tenggara Timur (6,2%) dan tertinggi di Sulawesi
Utara (24,0%). Enam belas provinsi dengan prevalensi di atas nasional, yaitu Jawa
Barat, Bali, Papua, DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Bangka
Belitung, Sumatera Utara, Papua Barat, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Kalimantan
Timur, DKI Jakarta, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Berdasarkan karakteristik,
masalah obesitas cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan,
berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi.

6.3 Pemilu dan aktor politik kesehatan


Siapa yang disebut aktor politik kesehatan? Siapa saja - orang, kelompok,
lembaga atau profesi yang berjuang untuk mewujudkan rakyat yang sehat
dan
sejahtera itulah aktor politik kesehatan. Tentu saja, mereka sangat sulit ditarik
benang merahnya untuk menentukan siapa mereka itu sesungguhnya. Dalam
tulisan ini
diidentifikasi bahwa aktor politik tidak lain adalah mereka yang juga
sekaligus bertindak sebagai aktor pembangunan misalnya bupati/walikota,
gubernur dan
presiden. Secara spesifik aktor politik dalam bidang kesehatan meliputi
kementerian kesehatan, dinas kesehatan kabupaten/kota dan provinsi, rumah sakit
daerah, LSM
kesehatan, journalis, para peneliti kesehatan, politikus, dan para akademisi.
Oleh karena itu, aktor politik kesehatan dapat berasal dari kalangan pemerintah,
birokrat,
swasta maupun berasal dari LSM (Palutturi, 2010).
Meskipun banyak aktor politik kesehatan lain yang memperjuangkan
masalah kesehatan akan tetapi terdapat sejumlah aktor politik yang sangat
menentukan arah pembangunan kesehatan. Aktor politik yang dimaksudkan adalah
presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR RI, DPD dan DPRD baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Untuk mewujudkan visi misi kesehatan Indonesia
diperlukan penguatan komitmen politik yang serius oleh aktor politik baik pusat
maupun daerah dari Sabang sampai Marouke. Mereka inilah yang harus memiliki
pemahaman kesehatan yang komprehensif.
Menurut survei dan kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Politik Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia yang disajikan pada tanggal 26
September 2014 di sebuah forum penting. Tim peneliti memaparkan bagaimana
profil anggota DPR dan DPD Periode 2014-2019 kita dengan melihat latar belakang
pekerjaan mereka. Ternyata mereka para anggota DPR dan DPD adalah mempunyai
latar belakang yang cukup beragam. Hampir sekitar 70% anggota DPR berasal dari
kalangan pengusaha, anggota DPR/DPD/DPRD sebelumnya dan karyawan swasta.
Selebihnya mereka berasal dari kalangan dosen, PNS, seniman, pemuka agama, dan
sangat sedikit mereka yang berasal dari kalangan peneliti (Pusat Kajian Politik
UI,
2014).
Hampir sama dengan anggota DPD, mereka juga berasal dari latar
belakang pekerjaan yang beragam. Tetapi yang menarik dari anggota DPD ini
adalah bahwa
19% diantara mereka adalah mereka yang pernah duduk sebelumnya sebagai
anggota
DPR atau DPRD. Artinya mereka pindah partai atau jalur politik. Hal tersebut dapat
terjadi karena ada aturan kepartaian misalnya dimana tidak boleh menjadi
wakil partai selama dua periode berturut-turut atau karena basis massa. Sekitar 30%
latar belakang anggota senator DPD juga berasal dari kalangan
pengusaha/wiraswasta dan karyawan swasta. Artinya ada kemiripan latar belakang
pekerjaan baik anggota DPR maupun anggota DPD. Sementara anggota DPD
lainnya berasal dari kalangan dosen, aktivis LSM, pemuka agama, seniman dan
kalangan profesional misalnya pengacara, peneliti, dokter, dan sebagainya.
Dengan latar belakang ini juga sekaligus menunjukkan bahwa mereka ini
mempunyai pengalaman dan kepentingan yang berbeda tetapi yang pasti bahwa
mereka tentu tetap mau survive dengan posisi yang dimilikinya atau bahkan pindah
pada level yang dianggap lebih memberi keuntungan ekonomi, jabatan atau status
sosial lainnya.
Dari aspek pendidikan pun, mereka mempunyai tingkat pendidikan
yang berbeda. Sebagian besar anggota DPR berpendidikan Sarjana dan Magister
(sekitar
80%) dan selebihnya berpendidikan Doktor. Meskipun rata-rata pendidikan
DPR
cukup baik, tetapi terdapat sekitar 8,47% yang hanya menamatkan
pendidikannya
sampai tingkat SLTA. Itu juga terjadi pada anggota DPD bahwa sebagian
besar tingkat pendidikan mereka adalah Sarjana dan Magister (73%), Doktor (10%)
dan selebihnya adalah pendidikan tingkat SLTA. Meskipun tingkat pendidikan bagi
anggota DPR atau DPD tidak sepenting bagi perguruan tinggi, dosen misalnya
namun semestinya anggota DPR atau DPD tidak ada lagi yang berpendidikan
tingkat SLTA dan yang Strata Sarjana mestinya sudah berpendidikan Magister.
Mereka adalah pembawa aspirasi masyarakat yang tentu secara akademik diharapkan
mereka juga memiliki kemampuan menganalisis masalah dengan baik,
memformulasi masalah, sampai mereka dapat dan mampu untuk mengembangkan
program dan kebijakan yang lebih baik. Mereka ini adalah wakil rakyat yang
berada pada tingkat nasional/pusat yang berbeda statusnya dengan mereka yang
berada pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dengan adanya dorongan dan
kebijakan pemerintah tentang pendidikan wajib belajar 9 tahun, wajib belajar 12
tahun itu artinya bahwa semestinya anggota DPR termasuk DPRD tingkat provinsi
dan kabupaten/kota tidak ada lagi yang tidak berpendidikan Srata Satu.
Aktor-aktor politik ini demikian banyak baik berdasarkan jumlah
maupun partai yang diwakilinya. Jika diperinci lebih jauh jumlah anggota DPR
sebanyak 560 kursi dari 33 provinsi dan 77 daerah pemilihan provinsi di Indonesia
(KPU, 2014; Pusat Kajian Politik UI, 2014). Dari sejumlah partai yang ada di
Indonesia hanya 10 partai yang mampu menempatkan wakilnya di DPR Pusat.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar menempati posisi partai
dengan wakil terbanyak di DPR yaitu masing-masing 109 kursi dan 91 kursi.
Kedua partai ini sekaligus mengukuhkan kembali sebagai partai terbesar di
Indonesia sepanjang sejarah kepartaian. Partai Gerindra yang meskipun usianya
jauh terpaut dengan partai-partai besar lainnya namun Partai Gerindra mampu
menunjukkan sebagai salah satu partai di Indonesia yang cukup diperhitungkan
bahkan pada pemilu 2014 mampu berada pada peringkat ke-3 dengan menempatkan
sebanyak 73 orang di DPR. Saya kira partai lain patut belajar dari partai ini.
Partai lainnya yaitu Partai Nasdem 35 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa 47 kursi,
Partai Keadilan Sejahtera 40 kursi, Partai Demokrat 61 kursi, Partai Amanat
Nasional 49 kursi, Partai Persatuan Pembangunan
39 kursi, dan Partai Hati Nurani Rakyat 16 kursi. Partai Bulan Bintang dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak memperoleh kursi di DPR meskipun dua
partai tersebut termasuk partai peserta pemilu.
Anggota DPD sebanyak 132 yaitu 4 senator tiap provinsi (33 provinsi)
sedangkan anggota MPR adalah keseluruhan anggota DPR dan DPD sehingga
jumlahnya sebanyak 692 orang. Ke-692 orang itu sekaligus merupakan anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan kewenangan besar dan luas yang
akan mempengaruhi kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam lima tahun
ke depan, ditambah presiden, wakil presiden, dan para kabinetnya. Khusus DPD,
lembaga ini merupakan lembaga perwakilan yang baru dibentuk pasca reformasi.
Sesuai dengan format representasi, DPD dibagi menjadi fungsi legislasi, fungsi
pertimbangan dan fungsi pengawasan pada bidang-bidang tertentu. Fungsi legislasi
dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR, ikut membahas
Rancangan Undang-Undang Bidang terkait misalnya otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya. Selain itu juga berkaitan
dengan masalah pertimbangan keuangan pusat dan daerah. Fungsi pertimbangan
yaitu memberikan pertimbangan kepada DPR sementara fungsi pengawasan yaitu
melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang dan menyampaikan
pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti,
menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK. Baik
anggota DPR maupun DPD, mereka ini telah dilantik dan mengucapkan sumpah
menurut agama dan kepercayaan masing-masing 01 Oktober 2014 silam. Sumpah ini
dilakukan sebagai upaya tanggung jawab kepada Tuhan dan rakyat Indonesia yang
diwakilkan di parlemen, tanggung jawab kepada negara, Pancasila dan UUD 1945.

Bunyi sumpah tersebut adalah sebagai berikut: Demi Allah (Tuhan) saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam
menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya
kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
daripada kepentingan pribadi, seorang dan golongan; bahwa saya akan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan
nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gambar 6.12: Ilustrasi Pengambilan Sumpah anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-
2019
Sumber: http://bawaslu.go.id/en/node/1102, 08 Juni
2015

Dipandu Ketua Mahkamah Agung sejumlah anggota MPR, DPR dan DPD
disumpah. Apakah saudara bersedia bersumpah menurut agama dan
kepercayaan saudara masing-masing. Serentak para wakil rakyat baru itu
menyatakan kesediannya. Jika aktor-aktor politik ini amanah akan sumpah dan
janjinya sebagai wakil rakyat, maka mereka inilah sebagai pejuang pembangunan
dalam segala bidang kehidupan, termasuk kesehatan. Mereka inilah yang akan
bekerja secara maksimal untuk terus menjadi pembawa aspirasi masyarakat
mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera.
Selain itu, pada tingkat provinsi terdapat jumlah anggota DPRD provinsi yang
tidak sedikit jumlahnya demikian pula anggota DPRD kabupaten/kota. Jumlah
anggota DPRD Provinsi sebanyak 2.137 orang lebih tinggi dari periode sebelumnya
yang jumlahnya hanya 2008 kursi. Terdapat penambahan 134 kursi DPRD Provinsi
secara nasional. Sementara jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia
sebanyak 17.560 kursi meningkat 1.215 kursi DPRD Kabupaten/Kota dari periode
sebelumnya yang jumlahnya hanya 16.345 kursi. Pada level provinsi disana
terdapat
33 gubernur dan 33 wakil gubernur. Pada tingkat kabupaten/kota terdapat 397 bupati
and 397 wakil bupati dan 98 walikota dan 98 wakil walikota. Mereka adalah aktor
politik yang juga telah memegang sumpah dan janji, bersumpah dan berjanji
dihadapan manusia dan dihadapan Allah SWT. Jika seluruh aktor politik
tersebut
memiliki komitmen dalam upaya untuk menyehatkan warga yang telah memilih
mereka dan konsisten dalam membuat berbagai kebijakan dibidang pembangunan
kesehatan, maka upaya untuk membuat rakyat sehat akan dapat cepat dicapai.
Namun sebaliknya jika wakil rakyat dan para aktor tersebut tidak mempunyai
pemahaman dan wawasan kesehatan yang sempurna bahkan tidak mempunyai
kepedulian kesehatan maka hancurlah sektor kesehatan di negeri ini (Sukri Palutturi,
2010).
6.4 Kompetensi bagi para aktor
politik
Aktor politik kesehatan tidak berarti mereka adalah orang dengan latar
belakang pendidikan kesehatan. Akan tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana para aktor politik mempunyai wawasan kesehatan. Ini sangat penting
karena masalah
kesehatan demikian kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan hanya melihat
masalah kesehatan dari sudut pandang tertentu. Sebuah buku dengan judul the
New
Public Health yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2008, ditulis
oleh
Fran Baum, dia adalah seorang sosiolog dan konsultan yang menangani
social
determinant of health di badan organisasi kesehatan sedunia (World Health
Organization). Buku ini menjelaskan bahwa masalah kesehatan tidak lagi hanya
berorientasi pada pengobatan akan tetapi lebih dari itu dimensi-dimensi politik,
ekonomi, sosial harus menjadi bagian dari pemecahan masalah kesehatan. Konteks
politik yang berbicara tentang governance, kebijakan makro ekonomi, kebijakan
sosial-buruh, pekerja perumahan dan tanah, kebijakan publik-pendidikan, kesehatan
dan perlindungan atau jaminan sosial dan budaya dan nilai-nilai masyarakat
merupakan bagian yang sangat penting yang mempengaruhi kesetaraan dan keadilan
terhadap kesehatan dan kesejahteraan (Baum, 2008).
Kompetensi politik dipaparkan pada Bab tersendiri. Namun terdapat
kompetensi substansi yang orientasinya adalah pada pemahaman yang harus dimiliki
oleh para pengambil kebijakan termasuk para anggota DPR maupun DPD. Apa
wawasan kesehatan yang harus dimiliki oleh para aktor politik, tentu tidak ada
batasannya akan tetapi ada beberapa point yang dianggap penting untuk harus
dipahami sebagai aktor politik yaitu sebagai berikut (Sukri Palutturi, 2010):
a. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia, hak
yang paling fundamental yang harus dinikmati oleh seluruh warga negara
(health is fundamental human rights). Dengan pemahaman ini, mereka akan
sadar bahwa masalah kesehatan adalah hak yang harus dinikmati oleh
setiap orang tanpa melihat perbedaan suku, ras, bangsa dan agama.

b. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah bukan sektor yang
konsumtif akan tetapi sektor investasi yang dalam jangka panjang dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Artinya peningkatan alokasi
anggaran kesehatan menjadi hal yang sangat penting dalam menginvestaikan
dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
c. Aktor politik harus paham bahwa arah pembangunan kesehatan tidak
hanya menekankan pada program-program kesehatan yang bersifat pengobatan
dengan pendekatan individual melainkan pada promosi dan prevensi penyakit
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan
Wilayah (UKW) harus bersinergi dalam pembangunan. UKP lebih banyak
orientasinya pada pengobatan, UKM lebih mendorong pada pencegahan
penyakit dan promosi kesehatan, dan UKW menitikberatkan pada determinan
sosial kesehatan yang lebih kompleks. Pendekatan yang terakhir ini adalah
pendekatan lintas sektor. Jika masalah tersebut berada pada wilayah
kabupaten/kota atau provinsi maka kedudukan Bappeda memegang peranan
strategis untuk menjadi lembaga atau institusi yang bisa berperan sebagai dapur
perencanaan bagi sektor-sektor yang lain dalam rangka mewujudkan wilayah
yang sehat (Healthy Settings/Cities).

d. Aktor politik harus paham bahwa kematian satu orang bayi karena
kekurangan gizi berarti negara telah mengabaikan rakyatnya. Artinya bahwa
pemerintah harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi kesehatan
anak apalagi saat ini pemerintah telah menggalakkan program 1000 hari pertama
kehidupan.

e. Aktor politik harus paham bahwa seorang yang telah terjangkit


HIV/AIDS berarti dia telah membawa beban penyakit seumur hidup. Saat ini
kasus HIV/AIDS terus meningkat berdasarkan laporan dari Dirjen P2PL
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia belum lagi kasus yang tidak
terlaporkan yang diprediksi jauh lebih banyak dari kasus yang terekam. Mereka
telah menjadi pembawa sindrom/penyakit seumur hidup meskipun terdapat
upaya pengobatan untuk menjaga stamina dan kondisi kesehatan si penderita.
Pemerintah harus memberikan perhatian yang tinggi terhadap upaya pencegahan
HIV/AIDS yang lebih optimal. Jika tidak kasus HIV/AIDS akan semakin
bertambah.

f. Aktor politik harus paham bahwa jika ada seorang warga negara
pengguna narkoba berarti mereka telah merusak generasi dan bangsanya. Kasus
narkotika pun juga semakin meningkat dan telah tersentuh hampir pada semua
kalangan baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki atau perempuan, pelajar
atau pekerja, pemerintah atau swasta. Mereka telah menjadi korban dari
penyalahgunaan narkotika ini. Dampak yang ditimbulkan pun menjadi sangat
kompleks dari masalah kesehatan, putus sekolah, gangguan mental sampai pada
masalah sosial dan keamanan. Pemerintah harus memutuskan mata rantai dari
penyalagunaan narkotika ini.

g. Aktor politik harus paham bahwa terdapat pertemuan para bupati/walikota


se Indonesia pada tahun 2001 yang menyepakati bahwa alokasi anggaran
kesehatan minimal 15% dari APBD, dan bahwa negara harus menyediakan
alokasi anggaran kesehatan minimal 5% Gross National Product (GNP) sebagai
standar minimal WHO.
h. Aktor politik harus paham bahwa yang menjadi kepala Puskesmas seperti
yang diatur oleh Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor
128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar Puskesmas yaitu Kepala
Puskesmas dipersyaratkan harus seorang sarjana di bidang kesehatan yang
kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Di tingkat
Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan terdapat pilihan-
pilihan jabatan baik jabatan fungsional maupun struktural bagi tenaga kesehatan
yang harus dijalankan secara adil. Kepala puskesmas dapat dimainkan oleh
seorang Sarjana Kesehatan Masyarakat yang memang kurikulum pendidikannya
bukan saja mencakup kesehatan masyarakat tetapi full kesehatan masyarakat.
Tugas kepala puskesmas adalah tugas administratif dan manajerial yang harus
fokus untuk dijalankan tanpa harus merangkap jabatan lainnya.

i. Aktor politik harus paham dan ingat bahwa ada janji-janji politik
yang disampaikan saat kampanye oleh para calon bupati/walikota, gubernur dan
presiden misalnya kesehatan gratis, pendidikan gratis, gratis lahir sampai
mati dan seterusnya. Janji itu harus diimplementasikan karena janji itu adalah
amanah, dan janji adalah kontrak antara masyarakat dan calon pemerintahnya.

6.5 Diskusi dan Penugasan


Studi kasus ini diambil dari sebuah berita yang dimuat di hukum online
(2015). BPJS tentu saja masih menjadi isu yang sangat menarik untuk
dibicarakan
terlepas dari plus minus yang dimilikinya. Harapan besar tentang jaminan kesehatan
bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harus diwujudkan namun untuk mencapai
kondisi tersebut, masih banyak hal yang perlu dilakukan pembenahan baik
pada tingkat kelembagaan, kepesertaan, pembiayaan, pemberi pelayanan kesehatan
sampai pada masalah perilaku masyarakat itu sendiri sebagai pengguna pelayanan
kesehatan. Peran pemerintah dan DPR adalah bagian tak terpisahkan untuk
menyelesaikan masalah tersebut
Kotak 6.1: Studi Kasus Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Kenaikan iuran belum diperlukan, kecuali untuk iuran peserta PBI. Anggota Dewan
minta BPJS Kesehatan diaudit. Sejumlah anggota DPR yang duduk di Komisi IX
mempersoalkan rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Kebijakan itu dikhawatirkan bisa mempengaruhi kepesertaan
warga miskin dan semakin membebani rakyat. Kenaikan tak pas kalau belum dilakukan
audit.Suir Syang, politisi Partai Gerindra, misalnya menilai rencana kenaikan iuran BPJS
Kesehatan untuk peserta non PBI (Penerima Bantuan Iuran) tidak tepat. Sebab di lapangan
masih banyak masyarakat miskin yang tidak tercakup PBI mendaftar sendiri sebagai
peserta bukan penerima upah (PBPU) dengan mengambil ruang perawatan kelas tiga yang
iurannya Rp25.500 per bulan setiap orang. Jika iuran BPJS Kesehatan bagi peserta non PBI
naik, ia khawatir masyarakat miskin yang telah mendaftar PBPU berhenti jadi peserta non
PBI.
Anggota Komisi IX dari PDIP, Ketut Sustiawan, menyebut sebelum iuran BPJS
Kesehatan dinaikan, harus dilakukan audit terlebih dulu agar bisa dihitung ulang berapa
kenaikan yang diperlukan. “BPJS Kesehatan harus diaudit dulu,” katanya dalam Rapat Kerja
di Senayan, Rabu (01/4). Senada, anggota Komisi IX dari Partai Golkar, Andi Fauzia
Pujiwatie Hatta, mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus
dipertimbangkan kembali dan harus menunggu hasil audit. Saat harga BBM naik dan
kemungkinan pengaruhnya terhadap harga kebutuhan pokok, maka kenaikan iuran BPJS
Kesehatan bakal menimbulkan rasa tidak adil kepada masyarakat terutama golongan ekonomi
menengah ke bawah.
Fauzia mengingatkan, dengan besaran iuran yang ada sekarang, pelayanan yang
diberikan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan masyarakat. Karena itu, ketimbang menaikkan
iuran, lebih baik BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal lebih dahulu. “Tidak
pantas (kenaikan iuran,-red) kalau pelayanan masih bermasalah,” tukasnya. Berdasarkan
pemantauan Nihayatul Wafiroh di lapangan, peserta yang diuntungkan
dengansistem BPJS Kesehatan sepakat kalau iuran dinaikkan. Tapi, peserta yang
ditemuinya itu jumlahnya sedikit. Sementara peserta BPJS Kesehatan yang sedang mengantri
di RS keberatan jika besaran iuran naik. Peserta yang keberatan itu jumlahnya sangat banyak.
“Mereka bertanya apakah dengan kenaikan iuran itu ada jaminan pelayanan terhadap peserta
akan lebih baik,” ujar politisi PKB itu.
Anggota Komisi IX dari PPP, Okky Asokawati, mengatakan jika BPJS
Kesehatan defisit yang pertama kali harus disorot adalah bagaimana manajemen BPJS
Kesehatan mengelola lembaga yang menggelar jaminan kesehatan itu. Apalagi di tengah
kondisi itu, kata Okky, Direktur Utama BPJS Kesehatan malah bertandang ke German dan
Dewan Pengawas BPJS Kesehatan ke Swiss. Ia meminta ada laporan hasil kunjungan ke luar
negeri itu. Okky meminta kenaikan iuran tidak dijalankan saat ini karena akan semakin
memberatkan masyarakat. Tapi ia sepakat jika iuran peserta PBI naik. “Karena iuran PBI jauh
lebih rendah (Rp19.225) daripada peserta mandiri ruang perawatan kelas tiga (Rp.25.500),”
katanya. Politisi Partai Nasdem, Irma Suryani, tidak setuju rencana kenaikan iuran bagi
peserta non PBI BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran itu tidak perlu selama manajemen
BPJS Kesehatan belum diperbaiki. “Manajemen BPJS Kesehatan dibenahi dulu baru minta
kenaikan iuran,” tegasnya.

Sumber: Hukum Online (2015)


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt551bdc5290436/anggota - dpr-kritik-rencana-kenaikan-iuran-bpjs-
kesehatan
6.6 Penutup dan Rekomendasi

Berdasarkan uraian di atas beberapa poin penting dapat disimpulkan dalam


membangun kesadaran, kompetensi dan komitmen politik dalam upaya untuk terus
mendorong sektor kesehatan pada posisi puncak sebagai berikut:

a. Berbagai masalah kesehatan di Indonesia termasuk masih cukup tinggi baik


yang berkaitan dengan angka kematian bayi, angka kematian balita, usia
harapan hidup dan masalah gizi, baik masalah kesehatan antar provinsi maupun
masalah kesehatan jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dukungan
politik menjadi sangat penting dalam meningkatkan status kesehatan
Indonesia dan untuk mengejar ketertinggalan bangsa ini.

b. Kesehatan membutuhkan kontribusi banyak pihak. Berbagai organisasi


profesi seperti IAKMI, PERSAKMI, dan organisasi profesi tenaga kesehatan
lainnya seperti kedokteran, kedokteran gigi, sarjana keperawatan, dan sarjana
farmasi untuk bekerja secara konsisten melakukan advokasi kepada aktor-aktor
politik dalam rangka peningkatkan status kesehatan di daerah tersebut.

c. Anggota dewan adalah wakil rakyat sebagai penentu ketukan palu terakhir
yang akan menentukan arah kebijakan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan cita-cita nasional bidang kesehatan yaitu menciptakan
masyarakat yang sehat maka perlu ada program-program yang sifatnya
pendampingan berkelanjutan kepada kelompok masyarakat atau organisasi
tertentu atau meminta bantuan dan konsultan dari kalangan profesional dan
akademisi bidang kesehatan.

Catatan: Bab ini dikembangkan dan dimodifikasi dari sebagian materi


Sukri
Palutturi (2010) dalam bukunya Kesehatan itu Politik tentang aktor
politik.

References:

Bappenas. (2015). Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi


Tahun
2014. Jakarta: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan
Bappenas.
Baum, F. (2008). The new public health. South Melbourne, Vic: Oxford
University
Press.
BPS. (2013). Statistik Indonesia 2013. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Direktorat Jenderal Bina GIKIA. (2013). Kajian Angka Kematian Bayi dan Balita
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2012 dan Sensus
Penduduk 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina GIKIA.
Hukum Online. (2015). Anggota DPR Kritik Rencana Kenaikan Iuran
BPJS
Kesehatan. Retrieved from
http://www.hukumonline.co m/berita/baca/lt551bdc5290436/anggota-
dpr- kritik-rencana-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
KPU. (2014). Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 416/Kpts/KPU/Tahun
2014 tentang Penetapan Perolehan Kursi Partai Politik dan Penetapan Calon
Terpilih Anggota Dewan Perwakilan Daerah dalam Pemilihan Umum Tahun
2014. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum.
Palutturi, S. (2010). Kesehatan itu Politik. Semarang: e-Media Solusindo.
Pusat Kajian Politik UI. (2014). Profil Anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-2019
Jakarta: Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas
Indonesia.
Rahmahidanurrizka, & Saputra, W. (2013). Arah dan Strategi Kebijakan Penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian Balita (AKABA) di Indonesia.
Stalker, P. (2008). Millenium Development Goals. Jakarta: Bappenas dan UNDP.
UNICEF Indonesia. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak Jakarta:
UNICEF Indonesia.
BAB VII
THE POLITICS OF HEALTHY CITIES

7.1 Pendahuluan
Healthy Cities membutuhkan berbagai pendekatan, disiplin dan juga
multisektor. Pemerintahkan yang dapat menghadirkan keterlibatan berbagai sektor
dalam mewujudkan kota sehat adalah mutlak (good urban governance). Ini bagian
pertama yang dibahas dalam bab ini. Bagian yang kedua mengkaji dimensi politik
Healthy Cities dari sisi proses dan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hubungan
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam Impelementasi Healthy Cities
juga dikaji lebih jauh. Untuk melengkapi bab ini disajikan sebuah studi kasus yang
menjelaskan pentingnya dukungan politik dalam implementasi Healthy Cities.
Dalam tulisan ini seringkali menggunakan Healthy Cities sesuai dengan
konsep awal lahirnya ide ini dan sering menggunakan kota sehat dan atau
kabupaten/kota sehat dalam konteks Indonesia. Dalam tulisan ini, penggunaan
peristilahan itu secara bergantian atau kedua-duanya secara bersamaan
pada prinsipnya adalah sama.

7.2 Healthy Cities: Urban Governance dan Planning


Healthy Cities adalah usaha untuk meningkatkan kesehatan penduduk,
khususnya penduduk miskin semua kota di seluruh dunia (Naerssen & Barten,
2002). Gerakan Healthy Cities menempatkan dalam konteks global dan kebijakan
pembangunan perkotaan (Abbott, 1996). Healthy Cities harus diletakkan pada top
level pengambil kebijakan, dimana pembangunan disemua sektor harus berorientasi
pada sektor kesehatan.
Untuk mencapai tujuan Healthy Cities, maka urban governance menjadi
sangat penting. The United Nations Economic and Social Commission for Asia
and the Pacific (UN-ESCAP) menggambarkan bahwa governance sebagai proses
pengambilan keputusan dan keputusan diimplementasikan atau tidak
diimplementasikan (Abednego & Ogunlana, 2006). Governance merujuk pada
proses dimana elemen-elemen dalam masyarakat mempunyai kekuasaan dan
otoritas dan mempengaruhi serta membuat undang-undang kebijakan dan
keputusan mengenai kehidupan public, pembangunan ekonomi dan sosial.
Meskipun demikian governance berbeda dengan government. Governance itu
melibatkan interaksi antara institusi formal dengan lembaga kemasyarakatan
(Sajeva & Masera, 2006). Governance itu lebih pada upaya fasilitasi sementara
government itu lebih pada instruksi (memerintah).
Mewujudkan sebuah kota yang sehat dapat diuji melalui koneksitas atau
diskoneksitas antara perencanaan kota dengan perencanaan kesehatan masyarakat.
Terdapat banyak tantangan politik yang tak terselesaikan terutama bagaimana
menghubungkan ke dua aspek tersebut (Corburn, 2009). Pembangunan fisik dan tata
kota seringkali mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan sosial termasuk
aspek
kesehatan. Masing-masing sektor mendorong bidang dan masalahnya tanpa melihat
keterkaitan dari berbagai aspek. Dampaknya pun anggaran bisa menjadi lebih besar
sementara pembangunan tidak efektif.
Menyelesaikan berbagai diskoneksitas antara bidang perencanaan dan
kesehatan masyarakat adalah esensial tidak hanya pada peningkatan urban
governance pada tingkat lokal tetapi pada pemahaman dan penyelesaian perubahan
politik global. Karena itu, kebijakan pada level yang lebih tinggi sangat diharapkan
yaitu dukungan kebijakan dan anggaran serta bantuan asistensi dari pemerintah
provinsi, nasional dan internasional.

7.3 Dimensi Politik Healthy Cities: Proses dan


Power
Mewujudkan Healthy Cities bukanlah pekerjaan mudah. Determinan dan
kontrol di luar dari sektor kesehatan sangat dominan dan menantang (S
Palutturi,
2013; S Palutturi et al., 2013). Variabel politik berupa kekuasaan, konflik
sampai pada kepentingan melayani diri sendiri sangat tinggi (Albaek, 2003).
Pentingnya konteks nasional dan institusi politik lokal telah dengan
jelas terlihat selama dalam implementasi program Healthy Cities UNDP/WHO
bagi negara-negara berkembang pada tahun 1995-1999 (Naerssen & Barten, 2002).
Konteks politik itu juga menjelaskan mengenai keterlibatan secara aktif masyarakat
sipil (civil society). Corburn (2009) menjelaskan bahwa kerangka politik
perencanaan kota yang sehat (political frames for healthy city planning)
berkaitan dengan kesehatan penduduk (population health), tempat (places), proses
(processes) dan kekuasaan (power).
Kesehatan penduduk dimaksudkan pada penilaian dan penyelesaian mengapa
terdapat kelompok-kelompok sosial dapat lebih sehat daripada yang lainnya dan
perhatian tentang bagaimana ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial
menentukan dan mempengaruhi ketidakadilan terhadap kesehatan. Karena
itu, kesehatan penduduk menekankan pada distribusi ketidakadilan kesehatan
terhadap berbagai kelompok dan penekanannya adalah pada determinan sosial
“causes of the causes” bukan pada perilaku individu, genetik atau pelayanan
kesehatan. Selanjutnya adalah berkaitan dengan tempat. Tempat diartikan sebagai
gabungan antara faktor fisik, sosial dan karaktersitik material; institusi dan
kebijakan yang membentuk tempat tersebut. Karena itu tempat diartikan sebagai
interaksi antara berbagai komponen tersebut. Selain kedua aspek tersebut, proses
dan kekuasaan juga termasuk ke dalam kerangka politik perencanaan kota yangs
sehat. Proses berkaitan dengan governance sebagai organisasi formal dan informal
yang membentuk tindakan kolektif dan mengeksplorasi mekanisme tentang
bagaimana ketidakadilan sosial dibentuk sementara kekuasaan berkaitan dengan
fondasi dan landasan yang membentuk dan merekonstruksi ulang sebuah kota.
Menurut Kingdon (1995) dalam De Leeuw (1999) mengemukakan
bahwa dalam konteks kebijakan terdapat minimal tiga aliran yang mempengaruhi
pembangunan (independent stream of development), dimana setiap stakeholder
memainkan masing-masing peran (lihat Gambar 7.1). Aliran tersebut adalah: aliran
masalah (problem stream), aliran politik (politics stream) dan aliran kebijakan
(policy stream). Menurut Kingdon, problem stream akan selalu ada dalam konteks
kebijakan
dan problem stream harus senantiasa dihubungkan dengan solusi. Setiap stakeholder
akan mencoba untuk menghubungkan antara solusi yang paling efektif dengan
problem stream yang ada. Kedua adalah politics stream. Politics stream tidak hanya
dalam kaitan dengan pemilihan (formal election) tetapi perjuangan akan terus
berlanjut untuk menentukan siapa dapat apa (who gets what) dan itulah politik (De
Leeuw, 1999). Bagi bangsa Indonesia tahun 2014 dianggap sebagai tahun politik.
Pemilihan Presiden Republik Indonesia sebagai pemilu raya dilakukan pada tahun
ini untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia selanjutnya, siapa presiden republik
Indonesia selanjutnya. Bukan hanya itu partai politik, calon wakil DPD juga
berjuang untuk mendapatkan kuota kursi yang telah ditetapkan. Partai politik
misalnya Golkar, PDIP, Demokrat, Gerindra, Nasdem, PKS, PAN, PPP, PKB, dan
sebagainya semakin kompetitive untuk berjuang mendapatkan kursi di parlemen
sebagai calon wakil rakyat. Tidak hanya itu, pemilihan secara formal menurut
Kingdon bukanlah hanya sebatas pemilihan tetapi disana akan terjadi konflik,
perjuangan, lobi untuk menentukan siapa dapat apa. Golkar dapat apa? PDIP
dapat apa dan seterusnya. Politics stream dalam konteks Healthy Cities pun
demikian, orang-orang yang terpilih dalam pemilihan akan memberi dampak besar
dalam perjuangan mewujudkan Healthy Cities Indonesia. Terakhir adalah policy
stream. Policy stream ini berkaitan dengan penggunaan sumber daya yang spesifik
untuk mencapai tujuan yang spesifik pula.

Gambar 7.1: Model Kingdon stream (1995)


Sumber: De Leeuw (1999)

Di dalam memainkan ketiga stream ini, terdapat peserta/aktor atau orang


yang terlibat baik individu maupun organisasi yang nampak dan dapat
diidentifikasi sebagai bagian dari stakeholder dan terlibat dalam kebijakan itu.
Dalam problem stream, para profesional dan konsultan yang terlibat disana.
Dalam politcs stream, para politisian yang terpilih terlibat disana dan policy
stream adalah para birokrat yang mendapat mandat. Sebaliknya bahwa dalam aliran
pembangunan, diakui atau tidak, biasanya terdapat orang atau kelompok atau
bahkan organisasi yang tidak
terlihat (invisible) tetapi mereka memainkan peran yang cukup besar dan
sangat menentukan tujuan pembangunan. Dalam problem stream, para akademisian
tertentu menentukan problem stream. Dalam politics stream terdapat kelompok-
kelompok penekan dan wakil-wakil komuniti dan policy stream terdapat birokrat
yang bergantung pada kesempatan.
Dalam kaitan dengan visible dan invisible actors, bisa kita lihat dalam
contoh kasus anti rokok. Ketika sekolompok orang sedang mengkampanyekan anti
rokok, maka mungkin bisa diidentifikasi dengan jelas pihak-pihak yang terlibat
yang mungkin bisa membantu pencapaian program tersebut, misalnya Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian
Agama, institusi dan perguruan tinggi kesehatan, NGO kesehatan, organisasi
keagamaan misalnya Muhammadiyah, Komnas HAM dan sebagainya. Mereka
diharapkan dapat membantu mengkampanyekan anti rokok. Tetapi benarkah itu
dengan mudah bisa dicapai? Akankah mereka membantu dan mempunyai komitmen
yang kuat untuk mengatakan tidak pada rokok? Jawabannya bisa beragam, bisa
ya bisa juga tidak. Dibalik semua itu, ada pihak lain yang mempunyai peranan
besar yang mungkin bisa kelihatan atau juga bisa tidak terlihat dalam pandangan
secara umum yaitu bahwa kelompok atau oknum anggota DPR yang berasal dari
pengusaha rokok atau orang yang punya relasi kuat dengan pengusaha rokok.
Mereka pasti akan menjadi bayang-bayang dan penghalang untuk menggagalkan
kampanye anti rokok. Mereka tentu punya alasan, misalnya karena sumber pajak
dan pendapatan nasional, bisnis atau perusahaan yang mempekerjakan banyak orang,
bisnis yang dapat menghidupi keluarga para pekerja dan sebagainya.
Thesis Kingdon menyatakan bahwa isu sosial hanya dapat mencapai status
agenda kebijakan ketika pintu kesempatan (window of opportunity) dibuka terhadap
tiga stream tersebut. Isu masyarakat hanya dapat dicapai jika terdapat dinamika baik
oleh visible actors maupun invisible actors. Karenanya tiga stream tadi harus
terbuka dan saling menyadari posisi yang dapat dimainkannya.

7.4 Hubungan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota


dalam
Impelemntasi Healthy Cities
Meskipun Indonesia mengenal istilah otonomi daerah, pemerintah pusat dan
daerah mempunyai tanggung jawab dalam mengimplementasikan Healthy
Cities.
Tentu saja mereka mempunyai tugas dan tanggung jawab berbeda seperti yang telah
diatur dalam Keputusan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri
dengan
Kementerian Kesehatan tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat
di
Indonesia. Tanggung jawab tersebut juga bergantung pada tatanan dan
organisasi
yang bertanggung jawab. Karena implementasi Healthy Cities tersebut berada pada
level kabupaten/kota, maka juga berhubungan dengan dinas yang berkaitan dengan
kementerian yang ada di atasnya. Misalnya tatanan kawasan permukiman, sarana
dan prasarana umum yaitu pada level kementerian yang bertanggung jawab adalah
Kementerian Pekerjaan Umum tetapi pada tingkat kabupaten/kota yang bertanggung
jawab adalah Dinas Pekerjaan Umum. Selain itu, terdapat sektor penunjang
yang
bertanggung jawab pada setiap tatanan. Kawasan permukiman, sarana dan prasarana
umum, misalnya, sektor penunjangnya adalah dinas kesehatan, dinas
kebersihan, dinas sosial, sektor swasta, perguruan tinggi dan Lembaga Swadaya
Masyarakat.

Tabel 7.1: Tatanan Healthy Cities dan Organisasi Penanggung


Jawab
No Tatanan Healthy Cities Penanggung Jawab
1 Kawasan permukiman, sarana dan Kementerian Pekerjaan
sarana umum yang sehat Umum dan Pengendalian
Dampak Lingkungan Regional
2 Kawasan sarana lalu lintas tertib Kementerian
dan pelayanan transportasi yang sehat Transportasi/DLLAJR
3 Kawasan pertambangan yang sehat Kementerian Pertambangan
dan Energi
4 Kawasan kehutanan yang sehat Kementerian Kehutanan
5 Kawasan industri dan perkantoran yang sehat Kementerian Industri dan
Perdagangan
6 Kawasan pariwisata yang sehat Kementerian Pariwisata
7 Ketahanan pangan dan gizi Kementerian Pertanian
8 Kehidupan masyarakat sehat dan mandiri Kementerian Kesehatan
9 Kehidupan sosial yang sehat Kementerian Sosial
Sumber: Palutturi et al. (2013)
Berdasarkan struktur organisasi, Healthy Cities di Indonesia, mereka yang
bertanggung jawab pada level nasional, provinsi dan kabupaten/kota dapat
dilihat pada Tabel 7.2. Pada level nasional terdapat Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, di level provinsi dan
kabupaten/kota terdapat Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) dan Dinas Kesehatan. Kepala BAPPEDA bertindak sebagai ketua Tim
Pembina Kabupaten/Kota Sehat, sementara Kepala Dinas Kesehatan berkedudukan
sebagai Sekretaris Kabupaten/Kota Sehat. Mereka mempunyai tanggung jawab
berbeda di masing-masing level.
Tabel 7.2: Struktur Organisasi Healthy Cities dan Penanggung Jawab
No Struktur organisasi Penanggung Jawab

1 Level nasional Kementerian Kesehatan – Direktorat General


Pengendalian Penyakit dan Sanitasi Lingkungan
Kementerian Dalam Negeri – Direktorat General
Pembangunan Regional
2 Level provinsi Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA)
Dinas Kesehatan Provinsi
3 Kabupaten/kota Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Kabupaten/kota
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Sumber: Diadaptasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan (2005)
Hubungan pemerintah pusat, provinsi sampai pada tingkat desa
dalam implementasi Healthy Cities dapat dilihat pada Gambar 7.2.

Level
nasional

Level Tim Pembina


Provinsi Provinsi

Tujuan
Target
Kebijakan Level Tim Pembina
Strategi Kab/Kota Forum
Kab/Kota
Kab/Kota
Sehat

Forum
Level
Perencanaan Komunikasi
Kecamatan
Implementasi Desa
Klasifikasi
Kriteria
Evaluasi Level Kelompok
Pengembangan Kelurahan/ Kerja Desa
Pendanaan Desa
Gambar 7.2: Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah
dalam implementasi Healthy Cities
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2010)

7.4.1 Tugas Pemerintah Pusat


Seseuai dengan Peraturan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Kesehatan tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat di
Indonesia, tugas pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dalam
Bab VI pasal 12 menjelaskan bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan
umum penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat termasuk pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. Staf Kementerian Dalam Negeri yang
banyak terlibat dalam implementasi Healthy Cities adalah mereka yang berada pada
bagian pembangunan daerah. Dalam level Kementerian Kesehatan sesuai pasal 13
adalah bahwa Menteri Kesehatan melakukan pembinaan teknis penyelenggaraan
Kabupaten/Kota Sehat termasuk pemberian pedoman, training, arahan dan supervisi.
Mereka yang banyak terlibat dalam implementasi Healthy Cties di kementerian ini
adalah staf Direktorat General Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Staf kementerian ini banyak terlibat dalam melakukan pembinaan di tingkat
kabupaten/kota di seluruh Indonesia, menyiapkan tenaga ahli bagi kabupaten/kota
yang membutuhkan kegiatan training, seminar atau kegiatan lainnya yang
mendukung pencapaian kabupaten/kota sehat (Kementerian Dalam Negeri dan
Kesehatan RI, 2005).
Pendaaan dalam rangka pembinaan umum penyelenggaran Kabupaten/Kota
Sehat dibebankan kepada Anggaran Pendapat dan Belanja Negara Departemen Dalam
Negeri, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pendanaan dalam rangka pembinaan teknis penyelenggaran Kabupaten/Kota Sehat
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Departemen
Kesehatan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan kabupaten/Kota.
Tim Pembina di tingkat Pusat yang terdiri dari pengarah dan Pelaksana
Tehnis.
Tim Pengarah diketuai oleh Mendagri, Wakil Ketua Menteri Kesehatan dari
Ketua Bappenas, dengan anggota berasal dari eselon I dari berbagai instansi tingkat
pusat, pelaksana tehnis dikoordinir oleh Ketua Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Depkes RI, Wakil dari Direktorat Jenderal Pembangunan
Daerah, dan anggota dari Dirjen sektor terkait, mempunyai fungsi :
1. Menyusun kebijakan nasional kabupaten/kota
sehat.
2. Pengkajian pedoman, kriteria, indikator, parameter kabupaten/kota
sehat.
3. Merumuskan konsep prosedur dan
metode/mekanisme.
4. Memantau/evaluasi melalui Forum
Diskusi.
5. Penyusunan pedoman pendekatan kabupaten/kota
sehat.
6. Melaksanakan tindakan korektif terhadap
kebijakan.
Meskipun peranan kedua kementerian ini sangat penting, peranan Kementerian
Dalam Negeri sangat krusial karena mereka dapat mensinergikan kementerian yang
relevan dalam implementasi program Healthy Cities. Kementerian Kesehatan dalam
hal ini Direktorat General Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan hanya
bisa bekerja dan mempengaruhi dalam level kesehatan sementara mereka tidak
mempunyai kekuatan memaksa dalam menggerakkan sektor lain
misalnya
Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Karena itu
peranan Kementerian Dalam Negeri sangat esensial dalam menggerakkan
kementerian lain pada level nasional yang kemudian pada masing-masing
kementerian memberikan dukungan pada dinas level di bawahnya yaitu pada tingkat
provinsi dan kabupaten/kota.

7.4.2 Tugas Pemerintah Provinsi


Berdasarkan Gambar 2, pada tingkat provinsi terdapat Tim Pembina. Tim
Pembina biasanya berasal dari para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
sesuai pilihan tatanan. Pasal 14 menjelaskan bahwa pemerintah provinsi melakukan
pembinaan terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan
Kabupaten/Kota Sehat. Pembinaan yang dimaksud adalah untuk mendorong
tercapainya standar optimal di wilayah provinsi sesuai dengan tatanan
Kabupaten/Kota Sehat. Kegiatan Tim Pembinaan di tingkat provinsi meliputi :
a. Perumusan kebijakan
provinsi
b. Pembinaan pelaksanaan pendekatan Kota/Kabupaten
Sehat
c. Merumuskan standar, indikator untuk Kota/Kabupaten pada Provinsi
yang bersangkutan
d. Koordinasi perencanaan antar
sektor e. Forum
Diskusi/Lokakarya/Seminar

7.4.3 Tugas Pemerintah Kabupaten/Kota


Perbedaan struktur ditingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah bahwa
pada tingkat provinsi hanya terdapat Tim Pembina sementara pada level
kabupaten/kota
selain terdapat Tim Pembina juga terdapat Forum Kabupaten/Kota Sehat. Tim
Pembina berasal dari unsur Kepala SKPD misalnya Kota Palopo, Anggota Tim
Pembina adalah Kepala Dinas Transportasi, Kepala Dinas Perencanaan Tata
Ruang, Kepala Badan Pemberdayaan dan Sumber Daya Alam, Kepala Dinas
Pertanian dan Pertamanan, Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan,
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Kepala Dinas Pertanian dan
Peternakan. Tim Pembina bertugas:
a. Menyiapkan semua aspek yang berhubungan dengan penilaian kota
sehat,
b. Menyiapkan pedoman pelaksanaan program kota
sehat,
c. Membuat jadual dan rencana kerja untuk mewujudkan penghargaan kota
sehat,
d. Menyelenggarakan pembinaan, monitoring dan evaluasi sesuai dengan
petunjuk teknis tatanan kota sehat, dan
e. Membuat laporan kepada walikota, gubernur dan pemerintah pusat
mengenai perkembangan penyelenggaraan kota sehat di Palopo.
Sementara itu, anggota forum umumnya berasal dari unsur
masyarakat
(termasuk di dalamnya adalah unsur LSM, PKK, Dharma Wanita, Organisasi
Keagamaan, Perguruan Tinggi, dan Sektor Swasta). Sebagai contoh Kota Palopo,
forum bertugas:
a. Membagi program kota sehat sesuai dengan tatanan yang
dipilih
b. Memfasilitasi pembentukan konsil kesehatan (forum komunikasi) di
tingkat kecamatan dan kelompok kerja di tingkat kelurahan,
c. Menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di
masyarakat
d. Mempromosikan dan mengadvokasi perkembangan kota sehat Palopo di
semua level
e. Menyiapkan konsultasi, monitoring dan evaluasi pelaksana kota sehat Palopo
pada level kecamatan dan kelurahan
f. Mengumpulkan data dan informasi tentang perkembangan kota
sehat
g. Memfasilitasi dan memberdayakan masyarakat local untuk menjadi sumber
daya
bagi pembangunan kesehatan
h. Melaporkan hasil-hasil aktivitas kota sehat kepada
walikota
Dalam Peraturan Bersama antara Kementerian Dalam Negeri dengan
Kementerian Kesehatan Pasal 15 menjelaskan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan operasional penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat.
Pembinaan operasional yang dimaksud adalah oleh perangkat daerah sesuai dengan
tatanan yang dipilih. Pendanaan operasional penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota sesuai
dengan tatanan Kabupaten/Kota Sehat yang dipilih.
Dalam konteks ini baik penyelenggara kota sehat di tingkat pusat, provinsi
dan
kabupaten/kota demikian pula dengan forum di tingkat kabupaten/kota, forum
komunikasi di tingkat kecamatan dan kelompok kerja di tingkat desa/kelurahan harus
memiliki komitmen yang tinggi dan dukungan politik yang kuat untuk
menyelenggarakan kabupaten/kota sehat. Dukungan politik itu dapat berupa:
a. Adanya peraturan yang dapat mendukung penyelenggaraan kota sehat baik
berupa
Surat Keputusan Walikota maupun dalam bentuk Peraturan Daerah
b. Meningkatnya alokasi anggaran kota sehat yaitu alokasi anggaran yang
bertujuan meningkatkan lingkungan fisik dan sosial dalam sebuah tatanan/setting
tertentu.
c. Penempatan staf/sumber daya manusia dan material yang dapat
mendukung penyelenggaraan kota sehat
d. Adanya sekretariat bersama antara Tim Pembina dengan Forum Komunikasi
Sehat sebagai wadah untuk merencanakan dan mengimplementasikan program
e. Adanya pertemuan berkala baik oleh Tim Pembina maupun
Forum
f. Memasyarakatkan “kota sehat” yaitu dimana pada setiap
kesempatan
pimpinan/decision makers menyampaikan tentang pentingnya mewujudkan
kota yang sehat.
Intinya pihak-pihak terkait harus memberi kontribusi dalam mewujudkan
kota sehat. Karena itu dukungan politik itu tidak hanya pada siapa yang mendapat
apa (who gets what) tetapi juga pada siapa yang melakukan apa (who does what)
pada semua tingkatan pemerintahan baik pada tingkat pusat, provinsi maupun pada
tingkat kabupaten/kota; baik pemerintah maupun swasta; baik individu maupun
kelompok masyarakat.

7.5 Tantangan Politik Perencanaan Healthy Cities


Menggabungkan faktor sosial dan fisik terhadap kesehatan ke dalam tata
kelola yang sehat membutuhkan politik baru perencanaan. Sangat sedikit
praktek sejarah yang telah ditujukan untuk menggabungkan faktor penentu
sosial ekuitas
kesehatan dengan praktek tata kelola (Corburn, 2009). Dalam era reformasi saat ini
sekali pun perencanaan top down dan lemahnya kolaborasi diantara berbagai
disiplin ilmu, profesi, birokrasi, organisasi masyarakat dan sektor swasta telah
menjadi praktek dan tantangan dimasa kini. Setidaknya terdapat lima tantangan
kontemporer untuk bergerak ke arah politik baru perencanaan yang sehat, yaitu:

a. Menghindari tindakan reaksi dan menghapus masalah perkotaan dan bukannya


bekerja untuk mencegah bahaya pada tahap awal. Strategi pencegahan
harus mengakui dan memperbaiki dampak distribusi yang tidak merata
menghapus pencemaran lingkungan, dan "orang patogen" di beberapa
lingkungan perkotaan. Keputusan kebijakan perkotaan dan perencanaan telah
meninggalkan warisan lemahnya infrastruktur fisik bersama dengan bekas
luka sosial dan psikologis bagi lingkungan masyarakat miskin dan kelompok-
kelompok rentan. Isu-isu ini harus diatasi sementara pada waktu yang
bersamaan juga perlu untuk mengembangkan strategi baru dalam upaya
mencegah bahaya di masa depan.

b. Rasionalitas ilmiah dan determinisme teknologi mengakui bahwa


perencanaan kota yang sehat membutuhkan eksperimen baru dan inovasi untuk
menyeberangi batas-batas disiplin tradisional. Ilmu baru dari kota perlu ikut
diproduksi, dimana komitmen sosial dan politik dipandang sebagai tidak
mencemari tetapi meningkatkan relevansi sosial dan politik.

c. Menghindari gagasan bahwa perilaku tidak bermoral yang harus


disalahkan untuk lingkungan sehat dan tidak sehat. Perencana kota yang sehat
harus menyadari bahwa lingkungan fisik merupakan salah satu yang dapat
berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Orang tidak dapat digambarkan
sebagai keadaan yang pasif dalam hubungan perilaku lingkungan, seperti proses
politik dan sosial dibalik pembentukan lingkungan fisik. Politik baru
perencanaan kota sehat harus mampu menempatkan relasi yang kuat antara
aspek fisik, sosial, dan politik. Artinya bahwa untuk mencapai tempat
tersebut diperlukan interaksi dan hubungan antara semua bagian-bagian
penyusunnya, dan tidak mengabaikan salah satu bagian diantaranya.

d. Fokus pada mereka yang memiliki pandangan "laboratorium" atau


"lapangan" saja. Tentu pendekatan yang sangat parsial tidak cukup untuk
mengatasi berbagai kesenjangan perkotaan dan kesenjangan kesehatan.
Ketergantungan pada "pandangan laboratorium" telah menyebabkan banyak
intervensi kesehatan perkotaan untuk mengabaikan kekhasan atau keunikan
tempat yang dapat menjamin kebijakan yang relevan dengan konteks dan
menggabungkan pengetahuan lokal. Namun, ketergantungan lebih pada
"pandangan lapangan", kota dapat membatasi scaling- up intervensi dan gagal
untuk mengambil keuntungan dari kemajuan teknologi medis dan lainnya.
Bergerak menuju politik baru perencanaan kota sehat membutuhkan kritik dan
merangkul perspektif kesehatan penduduk di mana perencana, praktisi kesehatan
masyarakat, dan pekerjaan lain bersama-sama untuk menjelaskan
bagaimana permasalahan
kesehatan dapat diatasi secara komprehensif. Perwujudan menyatukan
pandangan-laboratorium dan pandangan lapangan menjadi sangat penting
dengan menekankan bahwa kedua konteks fisik dan sosial ini mempengaruhi
hasil kesehatan.

e. Mengatasi spesialisasi disiplin, fragmentasi birokrasi, dan profesionalisasi


saat ini menjadi faktor penghalang bagi perencanaan maupun kesehatan
masyarakat. Model-model baru penelitian kolaboratif dan pemerintahan kota
harus membangun koalisi baru, lintas disiplin dan sektor baik di dalam maupun
di luar pemerintah. Koalisi regional atau metropolitan yang dapat membangun
pengetahuan dan keahlian lokal akan menjadi penting dalam membentuk
praktek-praktek kelembagaan baru untuk mempromosikan perencanaan kota
yang sehat.

7.6 Studi Kasus Pentingnya Dukungan Politik dalam Implementasi Healthy


Cities
Palopo, Sulawesi Selatan, termasuk salah satu kota di Indonesia
yang mempunyai sejarah panjang dalam implementasi Healthy Cities di
Indonesia.
Meskipun Kota Palopo pernah dijuluki sebagai salah satu kota yang
berhasil mengembangkan kota sehat di Indonesia, Kota Palopo pernah mengalami
kegagalan
meraih penghargaan tertinggi kota sehat yaitu Swasti Shaba Wistara, dimasa
transisi pemerintahan Walikota H.P.A. Tenriadjeng dengan Walikota Judas Amir.
Cerita
kota sehat tersebut dapat dilihat pada Kotak 7.1.
Kotak 7.1: Studi Kasus Kota Sehat Palopo
Kota Sehat Palopo, Sulawesi Selatan

Kota Palopo hampir bersamaan dengan kota lain di Sulawesi Selatan mengembangkan kota
sehat misalnya Kota Makassar dan Kota Parepare. Awalnya, pada tahun 2006 Kepala Dinas
Kesehatan dan Asisten 2 Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial menghadiri pertemuan
di Jakarta mewakili kota tersebut. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada walikota
Palopo dan ternyata bapak walikota merespon kegiatan tersebut. Moto Palopo dan visi kota
sehat pada prinsipnya mempunyai kemiripan dimana moto Palopo adalah kota yang
IDAMAN (Indah, Damai, Aman dan Nyaman) sementara visi kota sehat adalah kota yang
bersih, nyaman, aman dan sehat.

Menurut laporan kota sehat Palopo, pada tahun 2010-2011, Palopo mempunyai status
kesehatan masyarakat terbaik diantara 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dimana Palopo
mempunyai usia harapan hidup yang tinggi (hamper sama dengan Kota Makassar =
72,3 tahun) bahkan tidak mempunyai Angka Kematian Ibu.

Pada tahun 2007 Kota Palopo ikut seleksi untuk dinilai sebagai Kota sehat dan akhirnya
mendapatkan penghargaan Swasti Shaba Wiwerda. Swasti Shaba Wiwerda adalah
penghargaan kota sehat tingkat kedua artinya Kota Palopo loncat tangga yang mestinya
hanya Swasti Shaba Padapa saja yaitu penghargaan tingkat pertama. Palopo
mengembangkan Tatanan Kawasan Permukiman, Sarana dan Prasarana Umum, Kawasan
Industri dan Perkantoran Sehat, Tatanan Kehidupan Masyarakat yang Sehat dan Mandiri,
dan Tatanan Kehidupan Sosial yang Sehat.

Keberhasilan yang telah dicapai oleh Kota Palopo ternyata dilirik oleh beberapa
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan kabupaten/kota lainnya di Indonesia
misalnya Kota Parepare, Kota Makassar, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Gowa, Kabupaten
Enrekang (Sulawesi Selatan), Kota Pematang Siantar, Kota Padang Panjang (Sumatera) dan
beberapa daerah lainnya. Mereka datang ke Kota Palopo untuk belajar manajemen kota sehat.

Dengan banyaknya kabupaten/kota di Indonesia yang berkunjung ke Kota Palopo,


maka pemerintah Kota Palopo dan Forum Kota Sehat semakin termotivasi untuk harus
bekerja lebih baik. Kota Palopo tidak berhenti sampai disitu saja. Kota Palopo
bersama dengan para anggota dewan (DPRD) merancang Perda Kota Sehat. Meskipun
perjuangannya untuk melahirkan Perda tidak mudah pada tahun 2008 diterbitkan Peraturan
Daerah Nomor 10 tahun
2008 tentang Penyelenggaraan Kota Sehat. Perda itu juga mencatat Palopo sebagai satu-
satunya kabupaten/kota di Indonesia yang mempunyai PERDA kota sehat. Dengan
keberhasilan ini, maka Walikota Palopo, Drs. H.P.A. Tenriadjeng, M.Si. diundang oleh
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk membawakan materi pada
Pertemuan Nasional Tahunan Kota Sehat pada tanggal 28 Agustus 2008 di Jakarta.
Kota Palopo meraih penghargaan Kota Sehat tertinggi yaitu Swasti Shaba Wistara pada tahun
2009 dan 2011.
7.7 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca bab ini, peserta diharapkan
mampu:
a. Menjelaskan pengertian urban
governance!
b. Mengkaji Healthy Cities dari aspek
politik
c. Dalam konteks Indonesia, terangkan hubungan pemerintah pusat, provinsi
dan kabupaten/kota dalam Impelemntasi Healthy Cities
d. Berikan contoh kasus lain di Indonesia yang berkaitan dengan dimensi
politik implementasi Healthy Cities!
e. Anda adalah calon pemimpin masa depan kesehatan masyarakat
Indonesia.
Rumuskan kebijakan dan strategi apa yang Anda dapat rekomendasikan kepada
pemerintah daerah untuk penyelenggaraan kota sehat yang lebih efektif.

7.8 Penutup
Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa perencanaan kota dan perencanaan
kesehatan seringkali berjalan bersamaan tetapi rel yang berbeda. Mereka jalan pada
porosnya masing-masing dan saling mengabaikan, tidak saling menyapa untuk
membuat perencanaan dan penganggaran bersama. Pembangunan fisik
menjulang tinggi terus digenjok dimana-mana, pembangunan hotel, mall, dan
apartemen. Pemerintah cenderung mengabaikan bahwa kelompok masyarakat yang
dapat menikmati dengan adanya pembangunan model ini adalah hanya kelompok
masyarakat yang berduit. Pemerintah lupa bahwa diantara pembangunan gedung
bertingkat itu, terdapat banyak masyarakat yang tinggal di rumah-rumah kumuh, di
kolong-kolong jembatan. Kesenjangan dengan pola pembangunan seperti ini
membawa berbagai permasalahan sosial dan lingkungan di perkotaan.
Aktor politik Healthy Cities cukup kompleks dan dinamis. Kota sehat hanya
dapat diwujudkan jika setiap aktor dapat mewujudkan sebuah pemerintahan
kota yang baik (good urban governance) yaitu pemerintahan yang dapat
menghadirkan keterlibatan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat secara
simultan.. Dukungan politik pemerintah adalah mutlak termasuk di dalamnya adalah
anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tim Pembina dan
Forum Kota Sehat dapat belajar dari cerita-cerita sukses atau pasang surut
penyelenggaraan kabupaten/kota di Indonesia. Kota Palopo mungkin salah satunya.

References:
Abbott, J. (1996). Sharing the City Community Participation in Urban
Management
London: Earthscan.
Abednego, M. P., & Ogunlana, S. O. (2006). Good project governance for profer
risk allocation in public-private partnerships in Indonesia. International
Journal of Project Management, 24(7), 622-634.
Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London:
The
Stationary Office.
Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London:
Sage.
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary
Debates Scandinavian Political Studies, 26(3).
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health.
Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health
Promotion International, 20(2), 187-193.
Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J
(Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave
Macmillan.
Bappenas. (2015). Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun
2014. Jakarta: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas.
Corburn, J. (2009). Toward the Healthy City: People, Places and the Politics
of
Urban Planning. The MIT Press: Cambridge, Massachusetts,
London, England.
De Leeuw, E. (1999). Healthy Cities: Urban social enterpreneurship. Health
Promotion International, 14(3), 262-269.
Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri dan Kesehatan RI. (2005). Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri (PERBERMENDAGRI) dan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005. Jakarta:
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Progres Kabupaten/Kota Sehat di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Naerssen, T. v., & Barten, F. (2002). Healthy Cities as a Political Process Germany.
Palutturi, S. (2010). Kesehatan itu Politik. Semarang: e-Media Solusindo.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith
University, Brisbane, Australia.
Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126.
Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact
of
public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.),
Understanding health inequalities. Buckingham: Open University Press.
BAB VIII
POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs

8.1 Pendahuluan
Seseorang pernah bertanya dalam sebuah forum ilmiah, mengapa Millenium
Development Goals (MDGs) selalu menjadi target dari tujuan
pembangunan sementara MDGs akan berakhir pada tahun 2015. Saya jawab
secara sederhana bahwa betul MDGs akan berakhir pada tahun 2015 tetapi
masalahnya belum berakhir. Berbagai masalah dan agenda yang belum
terselesaikan yang menuntut perhatian berbagai pihak di semua tingkatan, dari
pemerintah daerah, pemerintah pusat dan bahkan perhatian masyarakat global.
Target MDGs yang belum terselesaikan harus menjadi bagian dari pembangunan
berkelanjutan untuk menjamin kesinambungan dari apa yang telah dicapai pada
masa lalu, saat ini dan bahkan mencari solusi terhadap masalah yang belum
terselesaikan. Bab ini pertama akan menjelaskan pembangunan berkelanjutan itu,
tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), keterkaitan
antara MDGs dan SDGs, kesiapan, tantangan dan bahkan menyiapkan sejumlah
rekomendasi untuk mencapai SDGs tersebut.

8.2 Makna Pembangunan Berkelanjutan


Brundtland Commission (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) sebagai “development that meets the needs of the present
without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.
Definisi ini memberikan gambaran bahwa yang disebut pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan
dan mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan
mereka sendiri. Secara sederhana pembangunan keberlanjutan adalah peningkatan
kualitas hidup manusia yang dapat saling mendukung eko-sistem, menyampaikan
gagasan keberlanjutan dan memiliki batas kuantitatif. SDGs adalah seperangkat
program dan target yang ditujukan untuk pembangunan global di masa mendatang
dan ini merupakan konsep pengelolaan pembangunan dengan mempertimbangkan
faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan (Rahman, 2012).
Pembangunan berkelanjutan merupakan sebuah konsep yang cair, berbagai
definisi telah muncul selama dua dekade terakhir. Meskipun perdebatan berlangsung
pada arti yang sebenarnya dari pembangunan berkelanjutan itu, namun
beberapa prinsip-prinsip umum cenderung lebih ditekankan. Pertama adalah
komitmen terhadap ekuitas dan keadilan. Pembangunan berkelanjutan
memberikan prioritas pada upaya meningkatkan kondisi pada negara-negara
berkembang sehingga terdapat keadilan pembangunan antara negara maju dan negara
berkembang atau tidak berkembang. Keputusan pembangunan berkelanjutan harus
memperhitungkan hak- hak generasi mendatang. Kedua adalah pandangan jangka
panjang yang menekankan pada prinsip kehati-hatian, yaitu dimana terdapat
ancaman kerusakan serius atau permanen, kurangnya kepastian ilmiah yang tidak
boleh digunakan sebagai alasan
untuk menunda langkah-langkah efektif terhadap upaya untuk mencegah degradasi
lingkungan (Rio Deklarasi tentang Lingkungan dan Pembangunan, Prinsip 15).
Ketiga, pembangunan berkelanjutan mewujudkan integrasi, dan pemahaman dan
bertindak pada interkoneksi yang kompleks yang ada antara lingkungan,
ekonomi, dan masyarakat. Prinsip ini menekankan bahwa pembangunan
berkelanjutan bukan sebuah tindakan penyeimbangan atau bermain dari satu
masalah terhadap masalah yang lain, tetapi pembangunan berkelanjutan mengakui
sifat saling bergantung dari ketiga pilar tersebut (Drexhage & Murphy, 2010).
Pada bagian awal eksekutif summary dari laporan Universal Sustainable
Development Goals yang ditulis oleh Osborn, Cutter, and Ullah (2015) mengatakan
bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ( SDGs ) dimaksudkan untuk
bersifat universal dalam arti mewujudkan visi global bersama yang aman, adil dan
memilki ruang berkelanjutan untuk semua manusia dapat berkembang di planet.
Oleh karena itu SDGs ini mencerminkan prinsip-prinsip moral yang tidak boleh ada
negara yang harus ditinggalkan. Setiap orang dan setiap negara harus dianggap
sebagai memiliki tanggung jawab untuk memainkan peran mereka dalam
mewujudkan visi global. Secara umum, SDGs harus dipahami sebagai sebagai
ambisi dan sebagai tantangan untuk semua negara. Semua tujuan dan sasaran
mengandung pesan penting dan tantangan untuk maju secara bersama dengan
negara-negara berkembang.

8.3 Keterkaitan antara MDGs dengan SDGs


Salah satu hasil utama dari Konferensi PBB tentang Pembangunan
Berkelanjutan (Rio + 20) pada tahun 2012 adalah lahirnya kesepakatan internasional
untuk menegosiasikan kerangka baru Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di
dunia setelah 2015. Dokumen hasil Rio+20 menunjukkan bahwa
tujuan pembangunan yang dimaksudkan adalah berorientasi tindakan (action-
oriented), singkat dan mudah berkomunikasi, terbatas (dalam jumlah), aspiratif,
global dan berlaku universal untuk semua negara. Meskipun demikian SDGs
tersebut mempertimbangkan realitas nasional yang berbeda, kapasitas dan tingkat
pembangunan dan menghormati kebijakan dan prioritas nasional. Mereka harus
fokus pada bidang prioritas untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan.
SDGs hadir dengan harapan dapat menggantikan program MDGs (Millennium
Development Goals), sebuah program yang memiliki maksud dan tujuan yang sama
yang akan kadaluarsa pada akhir tahun 2015 ini. Oleh karena itu program-program
MDGs pada prinsipnya mengalami adaptasi dari SDGs tersebut baik dalam
hal jumlah target atau indikator maupun aspek-aspek yang menjadi parameter dari
setiap tujuan atau target tersebut. Proposal SDGs yang telah diusulkan
mengandung 17 tujuan dengan 169 target yang melingkupi hal-hal terkait isu
pembangunan berkelanjutan atau sustainable development. Oleh karena itu,
SDGs lahir karena adanya berbagai permasalahan dalam MDGs. Semenjak pertama
dicanangkan, pencapaian atas sejumlah target secara global MDGs dirasa masih
sangat lamban bahkan dibeberapa kawasan tertentu seperti Sub Sahara Afrika
dikawatirkan beberapa target tidak akan pernah tercapai. Banyak pihak menilai
bahwa KTT Rio+20 dapat dijadikan momentum politis untuk menyepakati
perlunya SDGs ditetapkan sebagai
agenda global paska MDGs. Lebih dari itu diusulkan pula agar SDGs sebaiknya
mencakup seluruh negara bukan hanya untuk negara berkembang saja sebagaimana
MDGs.

Menurut makalah yang dipresentasikan oleh Kementerian Luar Negeri


Republik Indonesia pada tahun 2014 tentang Proses Pembahasan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat
Global, SDGs ini penting karena:

a. Mobilisasi sumber daya (resources). Mobilisasi sumber daya ini


meliputi mobilisasi SDM, keuangan, logistik dan kebijakan baik pada tingkat
global maupun di tingkat nasional dan lokal.

b. Agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Pemerintah pusat dan daerah dapat
mengembangkan program dan penyediaan alokasi anggaran berdasarkan
tujuan dan indikator yang diharapkan dari pencapaian SDGs.

c. Memastikan pembahasan agenda pembangunan pasca-2015 secara inklusif


dalam proses intergovernmental. Pencapaian SDGs ini harus dibangun
berdasarkan prinsip bahwa kolaborasi antara dinas, antara departemen, antar
sektor adalah mutlak diperlukan.

d. Memastikan adanya sinergi ketiga dimensi pembangunan: ekonomi, sosial


dan lingkungan hidup. Inti dari pembangunan berkelanjutan adalah keterkaitan
dari ketiga dimensi tersebut.

e. Tujuan global dan pencapaian target nasional. Indonesia adalah sebagai


bagian dari masyarakat internasional harus berperan aktif dalam pencapaian
tujuan SDGs ini. SDGs berjalan tidak berarti mengabaikan target nasional
namun berjalan secara secara sinergi bahkan dapat memandu arah dan tujuan
pembangunan global berdasarkan pertimbangan kebutuhan lokal dan nasional.

f. Akuntabilitas (accountability). Tujuan pembangunan berkelanjutan ini


lebih mendorong dan memastikan akuntabilitas baik akuntabilitas terhadap
pemerintah atau pun pada masyarakat. SDGs yang dapat
dipertanggungjawabkan (responsibility), yang dapat dipertanyakan
(answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang
mempunyai ketidakbebasan (liability). Akuntabilitas dalam bentuk adanya
pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan
dan pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam
mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat
dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan. Karena itu,
akuntabilitas terkait dengan tata kelola pemerintahan.
8.4 Tujuan dan Indikator SDGs
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) mengajukan 17 tujuan spesifik dengan
169 target yang saling berkaitan. Berikut tujuan SDGs:
1) Menghapus kemiskinan dalam segala bentuknya di manapun
a. Pada tahun 2030, memberantas kemiskinan ekstrim untuk semua orang di
mana-mana, saat ini diukur orang yang hidup dengan kurang dari $ 1,25 per
hari
b. Pada tahun 2030, mengurangi setidaknya setengah proporsi laki-
laki, perempuan dan anak-anak dari segala usia yang hidup dalam
kemiskinan di
semua dimensinya sesuai dengan definisi
nasional
c. menerapkan sistem nasional yang tepat perlindungan sosial dan langkah-
langkah untuk semua, termasuk tingkat, dan pada tahun 2030 mencapai
cakupan besar kaum miskin dan rentan

2) Mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan pangan dan perbaikan gizi,


dan memajukan pertanian berkelanjutan
a. Pada tahun 2030 mengakhiri kelaparan dan menjamin akses oleh semua
orang, khususnya orang miskin dan orang-orang dalam situasi
rentan termasuk bayidengan aman, bergizi dan mencukupi makanan
sepanjang tahun
b. pada tahun 2030 akhir segala bentuk kekurangan gizi, termasuk
mencapai pada tahun 2025 target yang disepakati secara internasional pada
stunting dan
wasting pada anak di bawah usia lima tahun, dan memenuhi kebutuhan gizi
remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, dan orang-orang yang lebih tua
c. pada tahun 2030 dua kali lipat produktivitas pertanian dan
pendapatan produsen skala kecil makanan, terutama perempuan,
masyarakat adat,
keluarga petani, penggembala dan nelayan, termasuk melalui akses yang
aman dan sama dengan tanah, sumber daya produktif lainnya dan masukan,
pengetahuan, jasa keuangan, pasar, dan peluang untuk penambahan nilai dan
pekerjaan non-pertanian

3) Memastikan hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang
di semua usia
a. Pada tahun 2030 mengurangi rasio kematian ibu secara global kurang dari
70 per 100.000 kelahiran hidup
b. Pada tahun 2030 kematian dapat dicegah dari bayi yang baru lahir dan balita
c. Pada tahun 2030 mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan
penyakit tropis tdan memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air, dan
penyakit menular lainnya

4) Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta


mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup bagi semua
a. Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua anak perempuan dan anak laki-
laki menyelesaikan secara bebas, adil dan pendidikan dasar dan pendidikan
menengah yang mengarah ke hasil pembelajaran yang relevan dan efektif
b. Pada tahun 2030 memastikan bahwa semua anak perempuan dan anak
laki- laki memiliki akses pengembangan kualitas anak usia dini, perawatan
dan pendidikan pra dasar sehingga mereka siap untuk pendidikan dasar
c. Pada tahun 2030 menjamin akses yang sama bagi semua wanita dan
pria untuk pendidikan teknis, kejuruan dan kualitas tersier terjangkau,
termasuk universitas

5) Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan dan


anak perempuan
a. Mengakhiri semua bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dan anak
perempuan di mana-mana
b. Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap semua perempuan dan
gadis di ruang publik dan swasta, termasuk perdagangan dan seksual dan
jenis-jenis
eksploitasi
c. Menghilangkan semua praktek-praktek berbahaya, seperti anak, dini dan
pernikahan paksa dan mutilasi alat kelamin perempuan

6) Memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi bagi


yang berkelanjutan bagi semua
a. Pada tahun 2030, mencapai akses universal dan adil terhadap air minum
yang aman dan terjangkau untuk semua
b. Pada tahun 2030, mencapai akses ke sanitasi dan kebersihan yang
memadai dan merata untuk semua, dan mengakhiri buang air besar
terbuka, memberikan perhatian khusus pada kebutuhan perempuan
dan anak perempuan dan orang-orang dalam situasi rentan
c. Pada tahun 2030, meningkatkan kualitas air dengan mengurangi polusi,
menghilangkan dumping dan meminimalkan pelepasan berbahaya bahan
kimia dan bahan, mengurangi separuh proporsi air limbah tidak diolah, dan
meningkatkan daur ulang aman dan digunakan kembali oleh x% secara
global

7) Memastikan akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan,


berkelanjutan dan modern bagi semua
a. Pada tahun 2030 menjamin akses universal terhadap layanan energi yang
terjangkau, handal, dan modern
b. Meningkat secara substansial pangsa energi terbarukan dalam bauran energi
global pada tahun 2030
c. Dua kali lipat tingkat global perbaikan dalam efisiensi energi pada 2030

8) Mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan


inklusif, kesempatan kerja yang penuh dan produktif serta pekerjaan yang
layak bagi semua.
a. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi per kapita sesuai dengan kondisi
nasional, dan khususnya 7% per tahun pertumbuhan PDB di negara-negara
tidak berkembang
b. Mencapai tingkat yang lebih tinggi dari produktivitas ekonomi melalui
diversifikasi, peningkatan teknologi dan inovasi, termasuk melalui fokus
pada nilai tambah tinggi dan sektor padat karya
c. Mempromosikan kebijakan pembangunan yang berorientasi yang
mendukung kegiatan produktif, penciptaan lapangan kerja yang layak,
kewirausahaan, kreativitas dan inovasi, dan mendorong formalisasi dan
pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah termasuk melalui akses ke
layanan keuangan

9) Membangun infrastruktur yang tangguh, menggalakkan industrialisasi


yang berkelanjutan dan inklusif dan mengembangkan inovasi
a. Mengembangkan kualitas, infrastruktur yang handal, berkelanjutan dan
tangguh, termasuk infrastruktur regional dan trans-perbatasan, untuk
mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan manusia, dengan
fokus pada akses terjangkau dan merata bagi semua
b. Mempromosikan inklusif dan industrialisasi berkelanjutan, dan pada tahun
2030 kenaikan signifikan pangsa industri pekerjaan dan PDB sesuai dengan
keadaan nasional, dan dua kali lipat sahamnya di LDCs
c. Meningkatkan akses skala kecil perusahaan industri dan lainnya, terutama di
negara-negara berkembang, untuk jasa keuangan termasuk kredit
terjangkau
dan integrasi mereka ke dalam rantai nilai dan
pasar

10) Mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-


negara
a. Pada tahun 2030 semakin mencapai dan mempertahankan pertumbuhan
pendapatan dari bagian bawah 40% dari populasi pada tingkat lebih tinggi
dari rata-rata nasional
b. Pada tahun 2030 memberdayakan dan mempromosikan sosial, mic
ekonom dan inklusi politik semua terlepas dari usia, jenis kelamin, cacat,
ras, etnis,
asal, agama atau status ekonomi atau
lainnya
c. Memastikan kesempatan yang sama dan mengurangi kesenjangan dari hasil,
termasuk melalui menghilangkan hukum yang diskriminatif, kebijakan dan
praktik dan mempromosikan undang-undang, kebijakan dan tindakan yang
tepat dalam hal ini

11) Membuat kota dan permukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh
dan berkelanjutan

a. Pada tahun 2030, memastikan adanya akses bagi semua untuk


memadai, aman dan perumahan yang terjangkau dan layanan dasar, dan
peningkatan kawasan kumuh
b. Pada tahun 2030, memberikan akses yang aman, terjangkau, dapat
diakses dan sistem transportasi yang berkelanjutan untuk semua,
meningkatkan keamanan berkendara, terutama dengan memperluas
transportasi umum, dengan perhatian khusus pada kebutuhan mereka yang
rentan pada kondisi ini, wanita, anak-anak, penyandang cacat dan orang tua
c. Pada tahun 2030 meningkatkan yang inklusif dan urbanisasi
berkesinambungan dan kapasitas untuk partisipatif, terpadu dan
perencanaan pemukiman manusia yang berkelanjutan dan manajemen di
semua negara

12) Memastikan pola konsumsi dan produksi yang keberlanjutan


a. Melaksanakan Kerangka 10-Tahun Program konsumsi berkelanjutan
dan produksi (10YFP), semua negara mengambil tindakan, dengan
negara- negara maju memimpin, dengan mempertimbangkan
pengembangan dan kemampuan negara-negara berkembang
b. Pada tahun 2030 mencapai pengelolaan yang berkelanjutan dan
efisiensi penggunaan sumber daya alam
c. Pada tahun 2030 membagi dua kapita limbah pangan global setiap di
tingkat kemudian ritel dan konsumen, dan mengurangi kerugian makanan
bersama
rantai produksi dan pasokan termasuk kerugian pasca
panen

13) Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampak
dampaknya
a. Memperkuat ketahanan dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya iklim
terkait dan bencana alam di semua negara
b. Mengintegrasikan langkah-langkah perubahan iklim ke dalam
kebijakan nasional, strategi, dan perencanaan
c. Meningkatkan pendidikan, peningkatan kesadaran dan manusia
dan kapasitas kelembagaan pada mitigasi perubahan iklim, adaptasi,
pengurangan dampak, dan peringatan dini

14) Menghemat dan menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera,


laut dan sumber daya untuk pembangunan yang berkelanjutan
a. Pada tahun 2025, mencegah dan secara signifikan mengurangi
pencemaran laut dari semua jenis, terutama dari kegiatan berbasis
lahan, termasuk sampah laut dan polusi nutrisi
b. Pada tahun 2020, pengelolaan berkelanjutan dan melindungi ekosistem laut
dan pesisir untuk menghindari dampak merugikan yang signifikan,
termasuk dengan memperkuat ketahanan mereka, dan mengambil tindakan
untuk memulihkan kondisinya, untuk mencapai lautan yang sehat dan
produktif
c. Meminimalkan dan mengatasi dampak pengasaman laut, termasuk melalui
kerjasama ilmiah ditingkatkan di semua
tingkatan

15) Melindungi, memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan


berkelanjutan ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan,
memerangi desertifikasi, dan menghentikan degradasi tanah cadangan serta
menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati
a. Pada tahun 2020 memastikan konservasi, restorasi dan
pemanfaatan berkelanjutan ekosistem air tawar dan darat pedalaman dan
layanan mereka, di hutan-hutan tertentu, lahan basah-, pegunungan dan
lahan kering, sejalan dengan kewajiban berdasarkan perjanjian internasional
b. Pada tahun 2020, mempromosikan penerapan manajemen berkelanjutan
dari semua jenis hutan, menghentikan deforestasi, memulihkan hutan yang
rusak, dan meningkatkan penghijauan dan reboisasi oleh x% secara global
c. Pada tahun 2020, penggurunan tempur, dan mengembalikan lahan rusak
dan tanah, termasuk tanah yang terkena penggurunan, kekeringan dan
banjir, dan berusaha untuk mencapai dunia tanah-degradasi netral

16) Mendorong kehidupan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua, dan
membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan
a. Signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan tingkat kematian yang
terkait di mana-mana
b. Mengakhiri penyalahgunaan, eksploitasi, perdagangan dan segala bentuk
kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak
c. Mempromosikan aturan hukum di tingkat nasional dan internasional, dan
menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua

17) Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk


pembangunan berkelanjutan (UNCG, 2015)
a. Memperkuat mobilisasi sumber daya dalam negeri, termasuk
melalui dukungan internasional untuk negara-negara berkembang
untuk
meningkatkan kapasitas dalam negeri untuk pajak dan
pengumpulan pendapatan lainnya
b. Negara maju untuk melaksanakan sepenuhnya komitmen ODA
mereka, termasuk untuk menyediakan 0,7% dari GNI di ODA ke
negara-negara
berkembang yang 0,15-0,20% untuk setidaknya-negara maju
c. Memobilisasi sumber daya keuangan tambahan untuk negara-negara
berkembang dari berbagai sumber (International social science council,
2015).

Dalam kaitan dengan hubungan antara MDGs dan SDGs, maka dikaji
lebih jauh perbandingan antara kedua tujuan pembangunan tersebut seperti pada
Tabel 8.1.
Tabel 8.1: Perbandingan MDGs dan SDGs
No MDGs SDGs
1 Menanggulangi kemiskinan 1. Menghapus kemiskinan dalam segala
dan kelaparan bentuknya di manapun
2 Mencapai pendidikan dasar 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
untuk semua pangan dan perbaikan gizi, dan
memajukan pertanian berkelanjutan
3 Mendorong kesetaraan 3. Memastikan hidup yang sehat
gender dan pemberdayaan dan memajukan kesejahteraan bagi semua
perempuan orang
4 Menurunkan angka di semua usia
kematian anak 4. Memastikan kualitas pendidikan yang
inklusif dan adil serta
mempromosikan kesempatan belajar seumur
hidup bagi semua
5 Meningkatkan kesehatan ibu 5. Mencapai kesetaraan gender
dan memberdayakan semua perempuan dan
anak perempuan
6 Memerangi HIV/AIDS, 6. Memastikan ketersediaan dan pengelolaan
malaria, dan penyakit air dan sanitasi bagi yang berkelanjutan bagi
menular lainnya semua
7 Memastikan kelestarian 7. Memastikan akses ke energi yang
lingkungan hidup terjangkau, dapat diandalkan,
berkelanjutan
8 Mengembangkan kemitraan dan modern bagi semua
global untuk pembangunan 8. Mempromosikan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan, dan inklusif, kesempatan
kerja yang penuh dan produktif serta
pekerjaan yang layak bagi semua.
9. Membangun infrastruktur yang tangguh,
menggalakkan industrialisasi yang
berkelanjutan dan inklusif dan
mengembangkan inovasi
10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan di
antara negara-negara
11. Membuat kota dan permukiman manusia
menjadi inklusif, aman, tangguh
dan berkelanjutan
12. Memastikan pola konsumsi dan
produksi yang keberlanjutan
13. Mengambil tindakan segera untuk
memerangi perubahan iklim dan
dampakdampaknya
14. Menghemat dan menjaga kesinambungan
dalam menggunakan samudera, laut
dan sumber daya untuk pembangunan
yang
berkelanjutan
15. Melindungi, memulihkan dan
meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistem darat, mengelola hutan secara
berkelanjutan, memerangi desertifikasi,
dan menghentikan degradasi tanah
cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati
16. Mendorong kehidupan masyarakat yang
damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua, dan membangun
institusi yang efektif, akuntabel dan
inklusif di semua tingkatan
17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan
merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan berkelanjutan

Jika dianalisis lebih jauh, maka kita bisa lihat persamaan dan perbedaan antara
MDGs dan SDGs, yaitu:
a. Kemiskinan dan kelaparan. Menanggulangi masalah kemiskinan dan
kelaparan menjadi penekanan pada poin 1 dan 2 dari SDGs bahkan menghapus
kemiskinan dalam segala bentuknya di manapun baik kemiskinan strukural
maupun kemiskinan kultural bahkan kemiskinan rasional. Yang dimaksudkan
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi disebabkan karena
kebijakan-kebijakan pemerintah yang yang tidak berpihak pada rakyat.
Kemiskinan struktural ini bukan karena kemalasan si miskin atau etos kerja
yang rendah, tetapi karena sistem sosial, politik dan ekonomi negara yang
menyebabkan satu atau banyak kelompok termarginalkan. Seseorang bisa
menjadi miskin karena aspek politik misalnya tidak ada budaya demokrasi yang
mengakar di masyarakat, keputusan politik yang sangat dipengaruhi oleh
keputusan dan kepentingan politik luar negeri dan lemahnya kontrol langsung
dari rakyat terhadap birokrasi. Misalnya jika negara-negara pendonor hanya
memberikan perhatian pada kelompok negara tertentu saja, maka kemiskinan
dapat terjadi dan masalah kesehatan bisa semakin meluas di wilayah tersebut.
Dari aspek ekonomi seseorang dapat menjadi miskin karena kebijakan
globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi dan rendahnya akses terhadap
faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Selain itu
seseorang juga menjadi miskin karena aspek sosial budaya misalnya hancurnya
identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat, hancurnya kemampuan
komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial dan lemahnya
kelembagaan yang ada.
Kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural ini terjadi sebagai akibat dari adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, misalnya
malas bekerja, pasrah dan mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja yang tinggi, atau karena ada sebab lainnya. Kemiskinan cultural ini
memiliki cirri masyarakat yang enggan mengintegrasikan dirinya dalam
lembaga-lembaga utama, sikap apatis, selalu curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Terakhir adalah kemiskinan rasional. Kemiskinan yang
terjadi karena keterbatasan kualitas maupun kuantitas SDA dan SDM, tidak
adanya/ hilangnya sumber daya alam yang menguntungkan dan kurangnya
keahlian dan kualitas sumber daya manusianya mau tidak mau menjadi
penyebab terjadinya kemiskinan rasional. Selain itu pula bisa diakibatkan oleh
musibah, bencana alam dan bencana- bencana lainnya.
SDGs ini bertanggung jawab tidak hanya pada bentuk kemiskinan tetapi juga
kemiskinan pada konteks wilayah dan kelompok. Negara-negara yang ikut
menyepakati SDGs ini member komitmen untuk bertanggung jawab pada
masalah kemiskinan ini dimana pun terjadi, pada kelompok manapun dan pada
warna kulit apapun.
Poin ke-2 dari SDGs itu adalah mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan pertanian berkelanjutan. Poin 2 ini
lebih menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk mengakhiri
kelaparan, menjamin ketersediaan dan keamanan pangan dan
memajukan pertanian yang berkelanjutan sebagai sektor yang bertanggung jawab
secara langsung. Tidak hanya memajukan pertanian tetapi juga harus mampu
menjamin keberlanjutannya dalam aspek ketersediaan, distribusi dan
frekuensinya.

Poin 1 dan 2 dari SDGs terdapat keterkaitan dengan poin 3, yaitu diharapkan
dengan terpenuhinya masalah tersebut dapat memastikan hidup yang sehat dan
memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua usia. Semua orang dalam
pengertian tidak ada perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih, orang Asia
dan Eropa dan pada semua kelompok usia yaitu tanpa melihat perbedaan hanya
pada kelompok-kelompok produktif saja dan mengabaikan kelompok balita atau
usia lanjut.

Selain itu poin penting dari SDGs yang juga berkaitan dengan aspek
pemenuhan terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan adalah upaya
memastikan pola konsumsi dan produksi yang keberlanjutan. Aspek yang
berkaitan dengan peningkatan status gizi menjadi sangat penting disini.

b. Pendidikan dasar untuk semua (education for all). Memastikan


kualitas pendidikan yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan
belajar seumur hidup bagi semua. Kesempatan pendidikan harus memberikan
ruang seluas-luasnya kepada semua negara, semua kelompok tanpa perbedaan
jenis kelamin dan kesempurnaan fisik/kecacatan. Australia, menurut penulis
adalah
salah satu negara yang memberikan jaminan pendidikan kepada semua termasuk
orang cacat. Sebagai contoh, Australia memberikan beasiswa kepada putra
terbaik Indonesia meskipun cacat. Karena si anak tersebut cacat maka
orang tuanya pun diberikan beasiswa untuk mendampingi anaknya selama
pendidikan di Australia. Karena anak tersebut cacat, maka orang Australia
memfasilitasi kursi roda yang memungkinkan anak ini dengan mudah ke
kampus tanpa harus didampingi oleh orang tuanya. Kamar tempat tidur
disetting bagi orang cacat, pintu masuk keluar kamar disetting untuk orang
cacat, jalanan menuju kampus disetting untuk orang cacat, kendaraan bus
disetting untuk orang cacat dan bahkan penyeberangan jalan raya disetting
untuk orang cacat. Australai tentu dapat menjadi role model pendidikan untuk
semua termasuk bagi orang cacat. Negara-negara maju lainnya dapat berperan
aktif untuk mendorong dan memberi kesempatan kepada negara-negara
terbelakang lainnya sehingga mereka memiliki akses dan kualitas pendidikan
yang lebih baik dan ini sangat relevan dengan poin
4 SDGs.

Poin 10 di MDGs sesungguhnya telah disebutkan dengan jelas bahwa salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan global yang berkelanjutan
adalah mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara, termasuk
di dalamnya adalah ketimpangan yang berkaitan dengan pendidikan.
Ketimpangan pendidikan dalam negara tersebut atau ketimpangan yang terjadi
diantara negara-negara yang ada. Artinya bahwa semua negara harus mampu
menjamin rakyatnya untuk memiliki akses pendidikan yang sama dan
negara maju harus mampu member support kepada negara-negara berkembang
untuk dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lain yang sudah maju.

c. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Hal ini juga telah


menjadi poin penting dari MDGs namun perbedaanya adalah bahwa di
SDGs memberikan penekanan pada upaya untuk mencapai kesetaraan gender
dan memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan. Terdapat 3 kata
kunci dari poin ini yaitu: kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan dan
pemberdayaan anak perempuan. Tidak hanya perempuan yang diberdayakan
tetapi juga termasuk anak-anaknya harus diberdayakan dan dipersiapkan dalam
hal kesempatan mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan, kesehatan,
jumlah anak yang dilahirkan, jarak kelahiran dan pemilihan jenis KB yang
digunakan.

d. Menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu dan


memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya. Meskipun
pada SDGs poin ini telah dicover yaitu berkaitan dengan upaya memastikan
hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua
usia, tetapi di MDGs dimensi-dimensi utama yang perlu mendapat perhatian
justru dibahasakan lebih kuat daripada SDGs. Perhatian dunia dan Indonesia
pada khususnya berkaitan dengan kematian ibu dan anak serta masalah
HIV/AIDS, Tuberkulosis dan
Malaria masih merupakan masalah besar dan ini perlu menjadi agenda utama
pemerintah. Angka kematian ibu dan anak bukan hanya tugas dari kementerian
kesehatan tetapi semua sektor dan disiplin yang berkaitan dan bersentuhan
dengan kematian ibu dan anak. Karena itu upaya menurunkan angka
kematian ibu dan anak adalah tugas bagi kita semua. Selain itu, juga masalah
HIV/AIDS dan penyakit lainnya, pemerintah dan negara-negara donor harus
tetap memberikan perhatian pada negara-negara Asia dan Afrika yang
merupakan kontributor terbesar dari masalah ini. Apalagi kasus yang muncul
dipermukaan hanya sebagian kecil dari jumlah kasus sesungguhnya.

e. Kelestarian lingkungan hidup. Di MDGs dimensi ini dibahasakan secara


umum namun pada SDGs lebih diurai lebih jauh menjadi misalnya pada point 6
SDGs memastikan ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi bagi
yang berkelanjutan bagi semua dan poin 7 berkaitan dengan upaya memastikan
akses ke energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan dan
modern bagi semua. Aspek ini dapat dikategorikan sebagai bagian yang
mendukung daripada kelestarian lingkungan hidup.

Selain poin di atas beberapa poin lain yang dipandang berdimensi dengan upaya
menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah poin 13, 14 dan 15. Poin 13
menekankan pada upaya mengambil tindakan segera untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya, poin 14 mendukung upaya menghemat dan
menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera, laut dan sumber daya
untuk pembangunan yang berkelanjutan dan poin 15 yaitu melindungi,
memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat,
mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan
menghentikan degradasi tanah cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati.

f. Kemitraan. Di SDGs pembangunan kemitraan dibahasakan pada poin 17


yaitu upaya memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global
untuk pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu baik pada MDGs maupun
SDGs mengakui pentingnya bermitra dan membangun kerjasama dengan
pemerintah, swasta dan masyarakat internasional. Poin ini pula
menunjukkan bahwa menjamin pembangunan berkelanjutan hanya dapat
dicapai jika semua aspek terlibat dan mengakui pula bahwa kita tidak bisa
survive hanya dengan tangan kita sendiri saja.

8.5 Prinsip-Prinsip SDGs


Prinsip-Prinsip SDGs Berdasarkan Outcome Document 20 tahun KTT Bumi (Rio
Earth Summit) 1992 adalah sebagai berikut:
a. Tidak melemahkan komitmen internasional terhadap pencapaian MDGs
pada tahun 2015. Artinya agenda-agenda MDGs yang belum terselesaikan
seharusnya
menjadi komitmen bagi semua negara di dunia untuk menyelesaikannya
sehingga tidak ada lagi negara yang maju dan bebas dari keterbelakangan
pendidikan dan berbagai masalah kesehatan yang ada sementara lainnya mereka
harus berjuang untuk bebas dari kebodohan, keterbelakangan dan kesakitan.

b. Berdasarkan Agenda 21, Johannesburg Plan of Implementation dan


Rio Principles, serta mempertimbangkan perbedaan kondisi, kapasitas dan
prioritas nasional. Artinya bahwa untuk menjalankan SDGs ini harus
didasarkan pada kondisi lingkungan, sosial budaya dan bahkan politik yang ada
dari suatu Negara. Demikian pula kapasitas yang dimilikinya dan prioritas yang
ada pada Negara tersebut. Negara maju yang mungkin tidak memiliki masalah
penyakit-penyakit menular misalnya HIV/AIDS, Malaria dan Tuberkulosis
tentu saja mereka tidak akan menempatkan masalah tersebut sebagai masalah
prioritas. Namun pada negara-negara seperti Indonesia, India dan China
bisa jadi penyakit tersebut menjadi masalah yang cukup mendesak untuk
diselesaikan.

c. Fokus pada pencapaian ketiga dimensi pembangunan berkelanjutan


secara berimbang. Artinya pembangunan berkelanjutan tersebut harus berjalan
secara sinergi pada ketiga aspek tersebut yaitu aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan. Sebuah negara tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi yang
tinggi saja sementara mengabaikan aspek lain misalnya pembangunan
sosial dan lingkungan.

d. Koheren dan terintegrasi dengan agenda pembangunan pasca 2015


(Kementerian Luar Negeri, 2014). Artinya pembangunan yang dicapai hari ini
harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari agenda pasca 2015.

8.6 Politik Global SDGs


Beberapa catatan politik yang berkaitan dengan pencapaian SDGs:
a. Politik menyangkut hubungan kekuasaan dan pengaruh. Kekuasaan berkaitan
dengan kewenangan yang diperoleh oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut berdasarkan kewenangan yang diberikan.
Kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi batas kewenangan yang diberikan
(Budiardjo, 2002). Secara umum, kekuasaan dapat berupa kekuasaan individu,
jabatan atau golongan. Terdapat keterkaitan antara kekuasaan dan pengaruh yaitu
dimana bahwa kekuasaan tidak lain kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain
menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. Kekuasaan adalah
kemampuan mempengaruhi perilaku. Dalam kaitan dengan strategi pencapaian
target SDGs, negara-negara di dunia harus memiliki komitmen yang kuat untuk
mempengaruhi pengambil kebijakan dalam negaranya maupun antar negara.
Dengan begitu 17 aspek yang tercantum dalam SDGs dapat dicapai.
Secara umum, dalam konteks global organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) memiliki tanggung jawab besar di dalam mendorong sumber daya dan
kapasitas yang dimilikinya terhadap pencapaian SDGs tersebut. Melalui PBB
negara-negara
maju dapat membantu negara-negara berkembang dalam mewujudkan SDGs.
Target SDGs yang berkaitan dengan bidang kesehatan yaitu dapat dicapai
melalui penguatan organisasi kesehatan sedunia pada masing-masing region,
misalnya WHO Afrika yang berkedudukan di Kongo, WHO Amerika
berkedudukan di Washington, DC, WHO Asia Tenggara berkedudukan di India,
WHO Eropa berkedudukan di Denmark, WHO Western Pacifik berkedudukan
di Phillipina dan WHO Timur Tengah berkedudukan di Kairo, Mesir. Rumpun
Negara-negara ini memiliki tanggung jawab besar dalam pencapaian SDGs.

Negara-negara yang serumpun dengan Indonesia dalam WHO Asia


Tenggara adalah Bangladesh, Buthan, Democratic People’s Republic of Korea,
India, Maldive, Myanmar, Nepal, Sri Langka, Thailand dan Timor Leste.
Negara-negara yang berada dalam rumpun ini bertanggung jawab satu untuk
saling membantu satu dengan yang lain. Fungsi WHO bagi anggotanya dalam
bidang kesehatan secara umum adalah menyiapkan kepemimpinan terhadap
masalah kesehatan yang vital dan membangun partnership; membentuk agenda
penelitian dan menstimulasi generasi, translasi, dan desiminasi pengetahuan;
membentuk norma dan standar an mempromosikan dan memonitoring
pelaksanaanya; mengartikulasi pilihan-pilihan kebijakan berbasis bukti dan etis;
menyiapkan dukungan teknis, mengkatalisasi perubahan, dan membangun
kapasitas institusi yang berkelanjutan; dan melakukan monitoring terhadap
situasi kesehatan dan melakukan penilaian trend kesehatan. Tentu saja kesemua
ini mendukung upaya pencapaian dari target SDGs ini.

Selain organisasi sedunia atau organisasi kesehatan sedunia, terdapat beberapa


donor agency yang sesungguhnya juga dapat berperan aktif dalam pencapaian
tujuan SDGs tersebut misalnya USAID, AusAID, JICA, CIDA, Asia
Development Bank, United Nations Foundation, Global Fund for Children,
Global Fund for Women, dan Oxfam International. Tugas dan tanggung
jawab dari negara-negara pendonor adalah adalah memberikan bantuan kepada
begara- negara yang membutuhkan terutama mereka yang berada pada sebagian
negara- negara Asia dan Afrika.

Pada level negara, setiap kementerian dapat menyusun strategi dan


penganggaran untuk pencapaian SDGs tersebut. Dalam konteks program
perencanaan dan keuangan, maka tentu Bappenas, Kementerian Keuangan dan
Kementerian Kesehatan adalah badan atau kementerian yang paling bertanggung
jawab secara langsung berkaitan dengan sektor kesehatan. Mereka
semua yang telah disebutkan ini memiliki kekuasaan dan pengaruh besar
dalam mendorong dan mengakselerasi target SDGs. Namun sebaliknya, jika
semua pemangku dan pemegang kekuasaan ini tidak memiliki komitmen yang
kuat, maka tentu saja dapat dipastikan bahwa 17 agenda penting dari SDGs,
nampaknya bisa sulit untuk dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan.
b. Otoritas politik harus benar-benar mau mengalokasikan sumber daya,
menuntut pengorbanan dan menerima perubahan. SDGs dapat dicapai ketika
negara dan masyarakat global mau terbuka terhadap pengalokasian sumber daya
manusia dan sumber daya finansial. Negara maju mau mensharing sumber daya
yang dimilikinya dan negara berkembang mau belajar atas ketertinggalan yang
ada. Mengembangkan pelatihan dan melakukan studi banding atau benchmarking
bagi negara yang sukses terhadap indikator-indikator SDGs tersebut juga
adalah sesuatu yang perlu diperkuat.

c. Pemimpin politik mana yang berubah? SDGs dapat dicapai jika pelaksana
negara mau berubah dan memiliki visi masa depan yang kuat dan konsisten
untuk menjalankannya. Para pemimpin politik yang kuat selalu menentang
status quo dan cinta terhadap perubahan yang mengarah kepada yang lebih baik.
Change, change and change. Perlu pengorbanan dan keinginan untuk menerima
perubahan.

8.7 Diskusi dan Penugasan


Beberapa pertanyaan yang dapat dikembangkan dan didiskusikan lebih jauh
adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi berbagai masalah yang ada dalam MDGs yang termasuk agenda
yang belum terselesaikan (unfinished agenda) dan apa solusi Anda?

b. Bagaimana Anda yakin bahwa target SDGs dapat dicapai?

c. Dari 17 dimensi SDGs, ambil satu diantaranya sebagai masalah prioritas,


berikan alasan disertai data dan fakta dan susun langkah-langkah strategis untuk
memecahkan masalah tersebut!

8.8 Penutup dan Rekomendasi

a. Integrasi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan adalah esensi dari Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.

b. Terdapat persamaan dan perbedaan pada MDGs dan SDGs terutama pada
penekanan pada dimensi atau aspek dari MDGs dan SDGs tersebut.

c. Agenda-agenda MDGs yang belum terselesaikan seharusnya menjadi


agenda prioritas di SDGs dan para pemangku kepentingan memiliki
tanggung jawab bersama pada semua level dan profesi untuk mencapainya
d. SDGs adalah politik global yang berkaitan dengan kekuasaan dan
pengaruh, maka untuk mencapainya diperlukan dukungan politik terutama yang
berkaitan dengan pendanaan, SDM dan sharing pengalaman dan faktor-faktor
sukses.

References
Budiardjo, M. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Drexhage, J., & Murphy, D. (2010). Sustainable Development: From Brundtland to
Rio 2012, prepared for consideration by the High Level Panel on
Global Sustainability at its first meeting, 19 September 2010 New
York: United Nations Headquarters.
International social science council. (2015). Sustainable Development Goals and
Targets. Paris: International Council for Science (ICSU).
Kementerian Luar Negeri. (2014). Proses Pembahasan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat Global.
Jakarta: Kementrian Luar Negeri.
Osborn, D., Cutter, A., & Ullah, F. (2015). UNIVERSAL SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS: Understanding the Transformational
Challenge for Developed Countries: Stakeholder Forum.
Rahman, A. B. (2012). Menuju Sustainable Development Goals (SDGs) di
Indonesia. Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
UNCG. (2015). Saatnya untuk Aksi Global Jakarta: United Nations Information
Centre.
PROFIL PENULIS

SUKRI PALUTTURI. Generasi ke-4 dari Napii Dg. Gassing


Karaeng Tanatoa I, lahir pada tanggal 29 Mei 1972 di
Tanatoa, kampung bersejarah dalam sistem kerajaan di
Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Jeneponto. Anak
kedua dari pasangan Palutturi Emba, A.Ma. dan Yangki.
Meskipun lahir dari sebuah pelosok desa, cita-cita dan
semangat untuk melanjutkan studi tak kalah dengan mereka
yang tinggal di daerah perkotaan. Itu terbukti dengan jenjang
pendidikan yang dilaluinya. Tamat SDN No. 64 Tanatoa
tahun
1986, SMP Negeri 2 Allu Tanatoa tahun 1989, SMA Negeri 9 Makassar tahun
1992.
Dimasa SMA, penulis tercatat sebagai salah satu siswa ungulan di sekolah tersebut.
Karena prestasi akademiknya dia bergabung di SMA Kelas Khusus yang
dikelola oleh BPG/LPMP tingkat Sulawesi Selatan. Pada tahun 1998 dan 2001
penulis menyelesaikan jenjang pendidikan Strata 1 (SKM) dan Strata 2 (M.Kes.) di
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Atas kerjasama pemerintah
Indonesia dan Australia, pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk
mengambil Program Master of Science in Public Health-Public Health Leadership
(MSc.PH) di Griffith University, Australia. Pada tahun 2013 penulis menyelesaikan
Program Philosophy of Doctor (PhD) pada universitas yang sama.
Penulis tidak hanya sukses dalam bidang akademik. Sejak mahasiswa, penulis
pernah menduduki jabatan strategis. Sebut saja, misalnya sebagai Ketua Umum
Pengurus Besar Himpunan Pelajar Mahasiswa Turatea (Hasil Musyawarah Luar
Biasa) Periode
1998-2000, Ketua Umum Senat Mahasiswa FKM Unhas pada tahun 1996-1997,
Ketua Mushallah Al’Afiah FKM Unhas tahun 1994-1995 dan Anggota
Maperwa FKM Unhas tahun 1993-1994.
Penulis memulai karirnya di berbagai Non Government Organization dan aktif
dalam organisasi profesi misalnya sebagai Koordinator Divisi Penelitian, Yayasan
Tumbuh Mandiri Indonesia (2003-2005), Anggota Komisi Penanggulangan
HIV/AIDS Daerah (KPAD) Sulawesi Selatan (2002-2007), Koordinator Bidang
Advokasi Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat (PERSAKMI) Sulawesi Selatan
(2003-2008), Koordinator Bidang Kesehatan Lembaga Informasi Pengembangan
Kesehatan dan Ekonomi Masyarakat (LIPKEM) (2001-2005), Koordinator
HIV/AIDS FIK-ORNOP Sulawesi Selatan (2000-2002) dan Koordinator Program
HIV/AIDS PKBI Daerah Sulawesi Selatan (1998-1999).
Penulis aktif menulis dan menghadiri conference, short course baik skala nasional
maupun internasional. Misalnya, Presenter on Global Trends in Academic Research,
Global Illuminators, Bandung 2015, Speaker on International Conference on
Environmental Risks and Public Health (ICER-PH), Makassar, 2015; Presenter
on
Emerging Trends in Academic Research, Global Illuminators, Bali 2014;
Environmental Health and Disaster Management Short Course di Bali, 2013 in
conjunction with Udayana University, Indonesia; Griffith University, Australia and
CDC United States; Environmental Health and Disaster Management di Brisbane,
Australia 2012; Healthy Cities Short Course di Adelaide, Australia, 2012;
Presenter on the 5th Alliance for Healthy Cities Global Conference di Brisbane
Australia, 2012; Presenter on the 10th International Urban Health Conference di
Brazil, 2011; Presenter on the 4th International Healthy Cities Conference di Korea
Selatan, 2010; Health Promoting Settings Short Course (Modul B): Concept and
Application in Australia, 2009; Healthy City Development Training in
Philipines, organized by University of Phillipines, 2009.
Buku yang telah diterbitkan: Kesehatan itu Politik, diterbitkan oleh e-Media
Solusindo, Semarang ISBN: 978-979-16198-5-1 dan Public Health Leadership,
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta ISBN: 978-602-229-269-2. Saat ini
penulis memegang 3 mandat penting (Periode 2014-2018): sebagai Wakil Dekan III
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Bidang Kemahasiswaan,
Alumni dan Kerjasama, Ketua Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat
Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan dan Kepala Bidang Pengembangan Organisasi
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Provinsi Sulawesi Selatan.
Selain itu penulis adalah Pimpinan Jurnal Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Indonesia (Journal of the Indonesian Health Policy and Administration) Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. Penulis adalah dosen tetap Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan. Email: sukritanatoa72@gmail.co m; Mobile: 08114453033.

Anda mungkin juga menyukai