Sebuah kondisi yang berbeda saat pertama kali penulis tiba di Kota Brisbane
Australia di awal tahun 2008 untuk melanjutkan bidang saya pada program Master
of Science in Public Health (MSc.PH) yang kemudian diakhir tahun 2009
berlanjut mengambil program Doctor of Phylosophy (PhD) di Griffith
University, suasana akademik yang begitu berbeda di Indonesia. Ruang
perpustakaan yang sangat menarik dan didukung oleh fasilitas internet dan
tersedianya berbagai referensi yang dibutuhkan termasuk buku yang relevan dengan
kajian politik kesehatan. Saya menemukan beberapa buku yang menginspirasi
lahirnya buku ini misalnya The Politics of Health: The Australian Experience
(1995), buku yang diedit oleh Healther Gardner dan diterbitkan oleh Churcill
Livingstone; The political economy of health, buku yang ditulis oleh Doyal dan
Pennell (1979), diterbitkan oleh Pluto Press di London; . The politics of health in
Europe, ditulis oleh Freeman (2000), diterbitkan oleh University of Manchester
Press, Manchester; Theory and methods in political science, ditulis oleh Marsh dan
Stoker (2002), diterbitkan oleh Palgrave Macmillan, Basingstoke, UK; dan Toward
the Healthy City: People, Places and the Politics of Urban Planning, ditulis oleh
Corburn (2009), diterbitkan oleh The MIT Press: Cambridge, Massachusetts,
London. Beberapa buku diantaranya relatif tua tetapi bagi kami isi dari buku tersebut
merupakan hal baru. Kesemua aspek ini menguatkan saya untuk terus mencoba
menulis sampai lahirnya buku ini di tangan pembaca.
Tak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan bukan saja persoalan sakit, dokter,
tempat tidur dan obat. Determinan kesehatan sangat kompleks, masalah kesehatan
adalah masalah ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah kesehatan adalah
masalah politik. Mengapa kesehatan banyak berkaitan dengan masalah politik
karena kebijakan kesehatan yang lahir hingga hari ini baik berubah peraturan,
program dan penganggaran tidak lepas dari kekuasaan, perdebatan berbagai
kepentingan politik, dan persaingan, bahkan tidak sedikit keputusan kesehatan
sangat ditentukan oleh
seorang bupati, walikota, gubernur dan presiden dan juga ketergantungan pada
ketukan palu sidang anggota dewan yang terhormat.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama membahas konsep, kompetensi dan
etika politik kesehatan. Bab ini menjelaskan tentang konsep dasar politik kesehatan:
sifat politik kesehatan, mengapa kesehatan menjadi isu politik dan bagaimana
kontribusi politik dalam bidang kesehatan. Kompetensi politik: keterampilan politik
dalam bidang kesehatan, keterampilan politik sebagai bagian dari keterampilan
sosial, jenis keterampilan sosial, dimensi keterampilan politik dan bagaimana
membangun keterampilan politik. Selain itu bagian ini pula menjelaskan etika
politik kesehatan, standar etika politik kesehatan, siapa yang menentukan etika
atau tidak beretika dalam bidang kesehatan. Bagian kedua membahas keterampilan
dan implementasi politik kesehatan. Bab ini meliputi komunikasi politik kesehatan,
advokasi kesehatan masyarakat, pemilu: kesehatan dan komitmen aktor politik, the
politics of Healthy Cities. Bagian terakhir dari Bab ini pula membahas secara
khusus tentang Politik Global: Dari MDGs ke SDGs, sebuah evaluasi MDGs
berkaitan dengan pencapaian khususnya yang berkaitan dengan bidang kesehatan
dan strategi yang perlu dilakukan pasca MDGs untuk memenuhi tantangan kesehatan
tersebut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
terbitnya buku ini. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang tak luput
dari kesalahan dan kekhilafan. Karena itu, penulis mengapresiasi atas segala saran
dan kritik yang sifatnya konstruktif demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya
semoga karya ini dapat memberi manfaat kepada kita semua dalam
pengembangan ilmu kesehatan masyarakat di Indonesia.
Iman, ilmu, amal padu
mengabdi.
Sukri Palutturi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR KOTAK
PROFIL PENULIS
DAFTAR TABEL
The political basis of our health services is the view of health as a commodity, a
function of individuals rather than of societies; something to be valued, exchanged
(bought and sold in many societies), and in every way determined by the actions of
individuals (Scott-Samuel, 1979 dalam Bambra, Fox, and Scott-Samuel (2003),
hal.
25
1.1 Pendahuluan
Masalah kesehatan tak dapat dipisahkan dari persoalan politik baik sebagai
individu dan warganegara, kelompok, organisasi maupun masyarakat. Bab ini
menjelaskan makna politik, kesehatan dan politik kesehatan; dan sifat politik
kesehatan. Bab ini juga menjelaskan pentingnya politik dalam kaitan dengan
persoalan kesehatan dan bukti-bukti keterlibatan politik dalam konteks kesehatan.
Si anak kemudian pergi ke tempat tidur sambil memikirkan apa yang dikatakan
ayahnya. Pada tengah malam, anak itu terbangun karena mendengar adik bayinya
menangis. Ia melihat adik bayinya mengompol. Lalu ia menuju kamar tidur orang
tuanya dan mendapatkan ibunya sedang tidur nyenyak. Karena tidak ingin
membangunkan ibunya, maka ia pergi ke kamar pembantu. Karena pintu terkunci,
maka ia kemudian mengintip melalui lubang kunci dan melihat ayahnya berada di
tempat tidur bersama pembantunya. Akhirnya ia menyerah dan kembali ke tempat
tidur, sambil berkata dalam hati bahwa ia sudah mengerti arti POLITIK.
Pagi harinya, sebelum berangkat ke sekolah ia mengerjakan tugas yang diberikan
oleh gurunya dan menulis pada buku tugasnya: ”Politik adalah hal dimana para
investor meniduri kelas pekerja, sedangkan pemerintah tertidur lelap, rakyat
diabaikan dan masa depan berada dalam kondisi yang menyedihkan”.
1.3.1 Ketidaksetaraan
kesehatan
Banyak bukti menunjukkan bahwa determinan kesehatan paling kuat dalam
kehidupan modern kependudukan ini adalah faktor sosial, budaya dan
ekonomi
(Acheson, 1998; Doyal & Pennell, 1979). Faktor-faktor ini datang dari
berbagai sumber dan diakui oleh pemerintah dan badan-badan internasional
(Acheson, 1998). Akan tetapi ketidaksetaraan kesehatan ini terus berlanjut dalam
sebuah negara misalnya perbedaan kelas sosial ekonomi, gender dan kelompok
etnik diantara mereka. Masih terjadi ketimpangan masalah kemakmuran,
kesejahteraan dan sumber daya (Donkn, Goldblatt, & Lynch, 2002).
1.3.3 Organisasi
Kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) didefiniskan sebagai
”The science and art of preventing disease and prolonging life, and promoting
physical and
mental health and efficiency, through organized community efforts...”. Definisi
ini
menekankan bahka upaya terhadap pencegahan penyakit, memperpanjang
usia
harapan hidup dan meningkatkan kesehatan hanya dapat dicapai melalui upaya
kesehatan masyarakat yang terorganisir bukan upaya kesehatan individu yang
terorganisir. Pengorganisasian masyarakat dihampir semua negara merupakan
peranan negara dan badan-badan pemerintah. Definisi ini menggarisbawahi
bahwa
aspek sosial dan politik terhadap upaya peningkatan status kesehatan
merupakan sesuatu yang vital.
1.3.4 Kewarganegaraan
Terdapat tiga hak warga negara yaitu hak sipil, politik dan sosial (Bambra et
al., 2005). Tuntutan terhadap hak-hak sipil misalnya hak dalam beragama,
mengeluarkan pendapat dan melakukan kontrak atau perjanjian, muncul sekitar
abad
18. Hak politik termasuk hak untuk dipilih atau menjadi wakil
(representative)
terhadap lembaga pemerintah dan lembaga perwakilan misalnya anggota
dewan,
muncul sekitar abad 19 sementara isue kesehatan dan pendidikan gratis juga
termasuk hak-hak ekonomi mulai banyak diperdebatkan pada abad 20. Kesehatan
atau hak terhadap standar hidup yang layak termasuk hak kewarganegaraan sosial
yang sangat penting (International Forum for the Defence of the Health of People,
2002). Hak-hak kewarganegaraan ini diperoleh sebagai hasil dari perjuangan sosial
dan politik selama industrialisasi barat dan pengembangan kapitalisme. Karena itu
isu kesehatan gratis termasuk isu yang berkaitan dengaan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) sebetulnya telah menjadi perdebatan puluhan tahun bahkan
ratusan tahun yang lalu. Sejarah perkembangan kewarganegaraan yang
dimodifikasi dari Marshall (1963) dalam Bamra, et al. (2005) dapat dilihat pada
Gambar 1.1
Sipil
1.3.5 Globalisasi
Arus informasi, barang, modal dan tenaga kerja bahkan masalah
lingkungan dalam lintas batas politik dan ekonomi telah terjadi dalam abad
ini. Kompetisi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu bukti bahwa kelihatan
dunia terasa semakin sempit, persepsi tentang waktu telah berubah dan terdapat
interaksi global terhadap ide, budaya dan nilai-nilai, termasuk interaksi global
dalam bidang kesehatan. Kebakaran hutan di beberapa provinsi dan pulau di
Indonesia telah menjadi masalah global yang menuntut perhatian bersama secara
global. Kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera menyebabkan
negara-negara tetangga
”berteriak” dan bahkan sampai menawarkan diri untuk menyelesaikan masalah
ini.
1.7 Penutup
Dari aspek sosial masalah kesehatan telah banyak diperdebatkan akan tetapi
pentingnya dimensi politik yang mempengaruhi kesehatan belum banyak dipelajari.
Menyadari pentingnya dimensi politik terhadap kesehatan, maka sebaiknya
perguruan tinggi kesehatan dan sekolah kesehatan (masyarakat) sebaiknya
mengajarkan kepada mahasiswa dan mereka yang tertarik dalam bidang ini. Kami
percaya bahwa politik kesehatan adalah sebuah bidang ilmu yang tidak kurang
pentingnya dengan sosiologi
kedokteran dan ekonomi kesehatan pada satu sisi dan sosiologi politik dan
psikologi politik pada sisi yang lain.
References:
2.1 Pendahuluan
Isu kesehatan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Untuk
mewujudkan kondisi kesehatan yang optimal, para professional kesehatan
seharusnya
memiliki kompetensi atau keterampilan politik. Kompetensi politik sebagai
bagian dari kompetensi sosial harus dikembangkan dan diasah terus guna
memperoleh
dukungan politik pemerintah dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat
dan faktor yang mempengaruhinya. Berbagai jenis keterampilan sosial
yang
mempengaruhi keterampilan politik dan bagaimana membangun
keterampilan tersebut disajikan pada bagian ini.
a. Masalah kesehatan cukup kompleks baik dari sisi dampak maupun dari sisi
determinan. Dari sisi dampak masalah kesehatan berkaitan dengan angka
kematian dan angka kesakitan. Sementara dari sisi determinan dapat berupa
lingkungan, kebijakan, anggaran, sumber daya, perilaku, pelayanan kesehatan,
pembiayaan kesehatan atau pun dari aspek kependudukan. Dalam konteks politik
semua aspek ini harus dikomunikasikan kepada orang lain, kepada pemerintah
dan pengambil kebijakan, dikomunikasikan kepada kelompok atau pun
masyarakat secara umum.
b. Terjadi perebutan kepentingan antar atau dalam bidang kesehatan sehingga perlu
ada kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau departemen lain. Secara
internal orang-orang yang bergerak dibidang kesehatan mempunyai kepentingan
yang berbeda antara mereka yang bergerak dibidang lingkungan, gizi dan
promosi
kesehatan. Demikian pula antara satu departemen dengan departemen
lainnya. Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas
Kebersihan dan Pertamanan masing-masing mempunyai bisnis berbeda yang
kesemuanya mencoba untuk mempengaruhi pejabat tingkat di atasnya untuk
diakomodasi sebagai sektor prioritas.
a. Kecerdasan sosial
Kecerdasan sosial mengacu pada kemampuan untuk memahami dan
mengelola orang. Konsep ini lahir dan mengingatkan pada upaya untuk memperluas
pandangan kita tentang kecerdasan diluar IQ. Dimana terdapat kecerdasan-kecerdasan
lain yang tidak kalah hebatnya daripada IQ tersebut. Terdapat gagasan bahwa ada
lebih dari satu cara selain IQ itu sendiri untuk keberhasilan dalam aspek kehidupan
yang cenderung melampaui konteks pembelajaran di kelas. Kami berpendapat bahwa
kecerdasan sosial memainkan peran yang sangat dominan dalam keterampilan
politik. Banyak fakta- fakta di masyarakat kita orang yang kelihatannya mempunyai
kemampuan akademik yang biasa-biasa saja tetapi mereka berhasil di tengah-tengah
masyarakat memimpin partai politik, organisasi daerah, bahkan posisi
bupati/walikota, gubernur dan presiden. Keterampilan politiknya lebih spesifik untuk
lingkungan kerja dan berkaitan dengan pemahaman dan mengelola orang dalam
pekerjaan atau pengaturan organisasi. Orang yang memiliki kecerdasan sosial
yang tinggi memiliki kemampuan di dalam memahami dan mengelola orang
lain.
b. Kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk memonitor sendiri
perasaan dan emosi orang lain. Secara spesifik, kecerdasan emosional dapat dilihat
sebagai upaya melibatkan kemampuan dalam mengendalikan dorongan dan menunda
kepuasan, untuk mengatur suasana hati seseorang, dan mampu berempati.
Mereka yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan
menunda kepuasaan sendiri, mampu memberi rasa puas kepada orang lain, dan
mampu mengontrol dirinya sendiri. Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang
tinggi juga memiliki rasa empathi kepada orang lain, mereka dengan cepat merespon
bagaimana perasaan orang lain dan bahkan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Ketika seseorang menderita sakit berkepanjangan, mengalami
musibah kemiskinan dan kelaparan, maka mereka yang mempunyai kecerdasan
emosional yang tinggi, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bahkan
dengan empati ini, mereka bisa memberikan bantuan dan ikut memecahkan masalah
terhadap apa yang dihadapi oleh orang lain. Oleh karena itu, mengontrol dan
mengatur emosi merupakan bagian penting dari keterampilan sosial disamping aspek
penting lainnya misalnya membangun dan memanfaatkan modal sosial.
c. Ketahanan ego
Ketahanan ego adalah bentuk keterampilan sosial yang secara fundamental
memberikan kontribusi untuk adaptasi lingkungan yang efektif melalui kemampuan
untuk mengatur perilaku sendiri terhadap tuntutan lingkungan yang berbeda
dan terus berubah. Konsep ini meliputi komponen emotional self regulation,
adaptive
impulse control, social intelligence and sense of self-efficacy. Kemampuan untuk
beradaptasi dengan baik terhadap situasi sosial yang berbeda dipandang
berkontribusi terhadap keterampilan politik.
Kecerdasan
sosial Kecerdasan
Pengetahuan emosional
tacit dan
kecerdasan
Keterampilan
politik
Ketahanan
Pemantauan ego
diri sendiri
Self-efficacy
sosial
Test 16 PF terdiri dari 16 faktor diungkap secara mandiri (Cattell & Mead,
2008; Hertinjung, Susilowati, & Wardhani, 2012), yaitu :
1. Warmth (Kehangatan)
2. Reasoning
(Pemikiran/Penalaran)
3. Emotional stability (Stabilitas emosional)
4. Dominance (Dominasi)
5. Liveliness
(Keaktifan)
6. Rule-Consciousness (Kesadaran
peraturan)
7. Social Boldness (Keberanian sosial
)
8. Sensitive (Sensitif)
9. Vigilance
(Kewaspadaan)
10. Abstractedness (Imajinasi)
11. Privateness (Privasi)
12. Apprehension
(Penangkapan)
13. Opennes to Change (Keterbukaan untuk
berubah)
14. Self-Reliance
(Kemandirian)
15. Perfectionism
(Perfeksionisme)
16. Tension (Ketegangan)
Extraversion – Introversion
Fokus pada tindakan dunia luar, benda dan orang-orang, dan menarik energi
dari kontak orang. Sementara tipe orang yang introversi adalah fokus pada dunia
internal,
lebih memilih untuk mencerminkan dan perlu waktu untuk membangun
kembali energi "tenang-pengisian".
Sensing – Intuition
Sensing (penginderaan) adalah percaya pada informasi yang ada, melihat secara
detil dan fakta, bersandar terhadap yang dapat dilihat (tangible) dan dapat
meminimalkan
pentingnya yang tak berwujud (intangible). Intuition (intuisi) adalah
percaya informasi yang abstrak/teoritis, mencari pola/keterkaitan, melihat
bagaimana data
berhubungan dengan teori dan tidak mengabaikan indera tetapi juga
dapat memperhatikan "firasat".
Thinking – Feeling
Thingking (berpikir) yaitu upaya untuk melihat hal-hal dengan menggunakan logika
atau prinsip; mengatur, meringkas atau mengkategorikan informasi;
bersandar
terhadap yang terukur atau sasaran; dan dapat meminimalkan pentingnya nilai-nilai
dan perasaan manusia. Feeling (perasaan) yaitu mencoba untuk melihat sesuatu dari
perspektif lain; terdorong untuk mencari hubungan harmoni, fokus pada
keterampilan-orang, kehangatan dan keramahan; dan meminimalkan pentingnya
"fakta".
Judging – Perceiving
Senang terhadap masalah untuk diputuskan, mulai mengerjakan tugas tepat
waktu;
memiliki rencana yang jelas dan mungkin tampak tidak fleksibel. Perceiving adalah
lebih memilih untuk meninggalkan hal-hal terbuka untuk input lebih lanjut;
ingin tetap mendengarkan; menunda tugas sampai dekat dengan batas waktu; dan
mungkin tampak terlalu fleksibel.
Tabel 2.2: Perbedaan Manfaat Metode 16PF and the Myers-Briggs Type
Indicator
(MBTI)
No 16PF MBTI
1 Berdasarkan analisis statistik dan Berdasarkan Jung tentang teori
pengamatan perilaku manusia kepribadian
2 Menyediakan pendekatan dari luar-ke Menyediakan pendekatan dari dalam- ke
dalam luar
3 Menggambarkan pengaruh yang Membantu orang meningkatkan
mendasari pada gaya perilaku individu kesadaran diri mereka, dan
dan dampaknya terhadap situasi memperluas
kehidupan nyata pemahaman mereka tentang orang
4 Memberikan gambaran yang lebih rinci lain
tentang bagaimana berbeda atau seberapa
mirip orang tersebut dengan orang lain, Menyediakan cara mudah bagi
pada sejumlah besar dimensi kepribadian individu untuk memahami esensi dari
kepribadian mereka sendiri dan mengapa
5 Memberikan gambaran rinci dan spesifik orang lain melihat dunia dan melakukan
pada individu tersebut sesuatu yang berbeda
6 Memberikan wawasan tertentu ke dalam Memberikan gambaran utuh dari
perasaan dan emosi individu keseluruhan kepribadian
Memberikan wawasan tertentu ke dalam
bagaimana individu mengambil
informasi dan membuat keputusan
7 Bagi individu yang sebelumnya Bagi individu yang sebelumnya
menyelesaikan tipe kuesioner berdasarkan melengkapi instrumen berbasis sifat
MBTI, umpan balik 16PF menyediakan seperti kuesioner 16PF, menerima
cara untuk menindaklanjuti interpretasi umpan balik MBTI memberikan
MBTI dengan cara yang baru & rinci alternatif yang berguna sebagai acuan
Sumber: Hackston (n.d.)
Model penilaian diri sendiri yang tak kalah populernya yaitu dengan
instrumen umpan balik 360 derajat (360-degree feedbacks). Cara ini dilakukan yaitu
mengumpulkan persepsi orang lain tentang bagaimana pribadi atau perilaku manajer
diterima dalam sebuah konteks organisasi. Ini adalah sejumlah instrumen,
tetapi meskipun demikian instrumen ini tidak mengukur secara langsung
keterampilan politik seseorang. Setiap individu atau tenaga kerja dalam konsep
penilaian umpan balik 360 derajat menilai diri mereka sendiri dan menerima
feedback dari rekan lainnya, atau atasan atau konsumen. Misalnya tenaga
kesehatan menilai dirinya atas kualitas dan jaminan pelayanan kesehatan yang
diberikan kepada pasien atau keluarga pasien. Namun pada sisi yang lain
konsumen/pasien/keluarga pasien, rekan sekerja dan atasan akan memberikan
penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan tersebut. Apakah pasien merasa
puas atas pelayanan kesehatan yang diberikan dalam hal keramahan, komunikasi,
kecepatan dan ketepatan pelayanan. Rekan sekerja dan atasan akan memberikan
penilaian bagaimana petugas kesehatan tersebut memberikan pelayanan kepada
pasien misalnya dalam hal kebersihan ruangan, toilet, ketersediaan air, pencahayaan
dan kualitas udara dalam ruangan/gedung. Oleh karena itu, kualitas pelayanan
kesehatan pasien dapat berdimensi luas, juga termasuk dalam hal ketanggapan
petugas.
Antonioni (1996) dalam Widya (2004) mengemukakan sebuah perusahaan
akan memperoleh manfaat dari diaplikasikannya penilaian kinerja umpan balik
360 derajat berupa:
1. Kesadaran individu terhadap apa yang diharapkan oleh
penilaian
2. Meningkatnya management
learning
3. Mengurangi penilaian buruk atau prasangka terhadap
penilai
4. Meningkatkan kinerja
Selain itu penilaian kinerja umpan balik 360 derajat dapat digunakan untuk
memperkirakan kebutuhan training, yaitu training apa yang dibutuhkan oleh
seorang petugas kesehatan dalam rangka peningkatan keterampilan mereka
misalnya pelatihan komunikasi interpersonal, pelatihan advokasi, pelatihan
peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. Bagi seorang manajer program
mungkin pelatihan yang dibutuhkan adalah menghitung unit cost Puskesmas
atau Rumah Sakit, pelatihan perencanaan dan penganggaran kesehatan, pelatihan
healthy cities.
Penilaian kinerja umpan balik 360 derajat juga dapat menemukan produk atau
layanan baru dan layanan yang dibutuhkan oleh konsumen. Bisnis rumah sakit tidak
hanya berkaitan dengan dokter, tempat tidur dan obat tetapi semua komponen yang
memberikan keamanan dan kenyamanan pasien dan keluarga pasien. Produk baru
dapat berupa layanan parkir untuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan
menggunakan sistem elektronik seperti layanan kendaraan di mal-mal atau di jalan
tol; layanan kebutuhan yang berkaitan dengan fasilitas handphone, layanan rumah
makan atau membangun layanan rujukan yang lebih cepat. Penilaian kinerja umpan
balik 360 derajat tersebut dapat pula mengukur reaksi anggota tim dan dapat
memprediksi permasalahan yang akan dapat terjadi dari sebuah organisasi karena
pada penilaian ini selain konsumen menilai dirinya sendiri, konsumen dinilai oleh
orang lain atau teman sekerjanya. Oleh karena itu, mereka dapat
membangun
interkasi dan komunikasi yang lebih terbuka serta dapat mengantisipasi dan mencari
solusi terhadap potensi permasalahan yang akan muncul.
Untuk mencapaian kinerja maksimal, maka organisasi harus menetapkan
tujuan, standar minimal bahkan tugas dan fungsi dari setiap orang dan
jabatan. Dengan instrumen ini, maka kinerja seseorang lebih mudah untuk
diukur, juga mereka yang dinilai mengetahui apa yang menjadi tugas dan
tanggung jawab mereka.
2.8 Penutup
References:
3.1 Pendahuluan
“………Saat menjelang pemilihan anggota legislative 2009, mertua saya pernah
mengatakan pada saya ‘politik itu kotor’. Kalau Anda mau menjadi calon anggota
legislative, maka ada lima syarat yang harus dipenuhi yaitu siap uang, siap bohong,
siap dibohongi, siap curang dan siap peng-back up. Mertua saya lebih lanjut
mengatakan semakin banyak syarat tersebut di atas Anda penuhi semakin sempurna
lah Anda untuk terpilih sebagai caleg”.
Ungkapan di atas hampir senada dengan tulisan yang pernah dimuat yang berjudul
“Jangan Percaya Politikus” (Mazayasyah, 2007). Apa yang dikatakan politikus itu
tidak bisa di pegang. Hari ini dia berkata kita koalisi dengan A, besok dia akan
berkata kita koalisi dengan B. Sejam yang lalu di RCTI dia bilang ini, sekarang di
Indosiar dia bilang itu. Hari ini dia saling menyindir, besok dia akan berangkul-
rangkulan, bercanda ria dan makan bareng pada acara pengdeklarasian presiden-
wakil presiden.
a. Pendekatan rasional
Pendekatan rasional yang dimaksudkan meliputi deontologi,
konsekuensialisme, prinsiplisme dan etika budi pekerti. Deontologi melibatkan
pencarian aturan yang terbentuk dengan baik yang dijadikan dasar sebagai
pembuatan keputusan moral. Dasarnya dapat saja agama atau bukan agama misalnya
manusia memiliki gen-gen yang hampir sama. Konsekuensialisme mendasari
keputusan etis yang diambil karena merupakan cara analisis bagaimana konsekuensi
atau hasil yang didapatkan dari berbagai pilihan-pilihan. Tindakan yang benar
adalah tindakan yang memberikan hasil yang terbaik. Untuk menentukan mana
hasil yang terbaik itu
biasanya dilihat dari utilitarianisme yaitu mengukur dan menentukan pilihan yang
memberikan hasil yang paling baik diantara semua pilihan yang ada. Sebagai contoh
kebijakan pemerintah tentang harm reduction program bagi pengguna narkoba
suntik. Apa utilitas yang bisa diperoleh dari ditetapkannya kebijakan tersebut. Mana
yang paling memberikan keuntungan dari sisi program dan biaya yaitu cost
effectiveness-nya dan cost benefit-nya. Contoh yang lain misalnya kebijakan
pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan di beberapa
kabupaten/kota di Indonesia. Apa manfaat yang bisa diperoleh dari kebijakan ini.
Sejauh mana pendekatan ini dapat meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan serta
meningkatkan status kesehatan masyarakat kita. Berapa besar biaya yang harus
dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Efektifkah program ini?
Bermanfaatkah program ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lain dari aspek
utilitarianisme.
Pendekatan rasional juga meliputi prinsiplisme yaitu mempergunakan prinsip-
prinsip etik sebagai dasar dalam membuat keputusan moral. Terakhir adalah
etika budi pekerti. Etika budi pekerti kurang berfokus pada pembuatan keputusan
tetapi lebih pada karakter dari si pengambil keputusan yang tercermin dari
perilakunya. Tidak satupun dari empat pendekatan ini yang dapat mencapai
persetujuan yang universal. Setiap orang memiliki pendekatan rasional yang akan
dipilih dalam pengambilan keputusan etik seperti juga orang lain memilih
pendekatan non-rasional. Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
b. Pendekatan non-
rasional
Kemudian pendekatan non-rasional. Pendekatan non-rasional tidak berarti
irrasional. Pendekatan ini hanya dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat
digunakan dalam mengambil keputusan. Adapun pendekatan non-rasional meliputi
kepatuhan, imitasi, perasaan atau kehendak dan intuisi. Kepatuhan adalah cara
umum dalam membuat keputusan etis terutama anak-anak dan mereka yang bekerja
dalam struktur kepangkatan (militer, kepolisian, berbagai organisasi keagamaan dan
bisnis). Pendekatan ini mengikuti aturan atau perintah penguasa, pimpinan atau
direktur tidak memandang apa Anda setuju atau tidak setuju. Imitasi adalah hampir
serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap
benar dan salah dan mengambil orang lain sebagai acuan karena dia adalah
panutan. Pendekatan ini banyak digunakan dalam etika kedokteran misalnya
panutan dari seorang dokter senior, maka dokter ”yunior” bisa belajar dan meniru
dari pengalaman senior. Dalam pendekatan politik pun demikian, orang lain bisa
melakukan imitasi karena melihat dan mengamati sikap dan perilaku para elit
seniornya. Selanjutnya, intuisi. Intuisi adalah persepsi yang terbentuk dengan
segera mengenai bagaimana bertindak di dalam sebuah situasi tertentu. Intuisi
sifatnya subjektif, namun berbeda karena intuisi terletak pada pemikiran dibanding
keinginan. Intuisi dapat bervariasi dari setiap orang dan bahkan dari individu itu
sendiri. Terakhir adalah kebiasaan. Kebiasaan merupakan metode yang sangat
efisien dalam mengambil keputusan moral karena tidak diperlukan adanya
pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis setiap masalah moral
muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi. Meskipun begitu ada
kebiasaan buruk (seperti berbohong) dan ada juga kebiasaan baik (seperti
mengatakan dengan jujur).
3.5 Diskusi dan penugasan
Setelah membaca materi ini, peserta diharapkan mampu:
a. Mendefenisikan etika, etika politik dan etika politik bidang
kesehatan b. Menjelaskan mengapa politik membutuhkan etika?
c. Menyebutkan dan menjelaskan secara singkat dimensi-dimensi yang
berhubungan dengan etika politik
d. Menyebutkan dan menjelaskan krieteria atau standar yang digunakan
untuk menentukan etika atau tidak beretika
e. Menentukan siapa yang menentuka etika dan tidak
beretika
f. Memberikan contoh praktek-praktek yang berkaitan dengan etika dalam
bidang
politik kesehatan
3.6 Penutup
Etika merupakan hal penting dalam tindakan politik termasuk yang
berkaitan
dengan kesehatan. Kejujuran, tanggung jawab, keadilan dan saling
menghormati merupakan aspek-aspek yang berkaitan dengan etika politik.
Setidaknya terdapat tiga kriteria untuk menentukan tindakan seseorang etis atau
tidak etis yaitu prinsip utilitarianisme, hak dan kewajiban. Etika berdimensi
majemuk dan pluralistik. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda mengenai
penilaian benar atau salah, baik atau buruk, sesuai tidak sesuai.
References:
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary Debates
Scandinavian Political Studies, 26(3).
Buku Pedoman Etika dan Perilaku. (2006). Buku Pedoman Etika dan
Perilaku.
Jakarta Timur: PT Hutama Karya (Persero).
Mazayasyah, A. A. F. (2007). Jangan Percaya Politikus! Yogyakarta:
MAGMA. Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sagiran. (2005). Panduan Etika Medis. Yogyakarta: Pusat Studi Kedokteran
Islam
Fakultas Kedokteran Universitas Mohammadiyah.
Siswanto. (2007). Politik dalam Organisasi (Suatu tinjauan menuju etika
berpolitik).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Yogyakarta, 10(04).
Solomon, R. C. (2005). Introduction to Ethics. Belmont:
Wadsworth.
Tejavanija, C. (2007). Ethics of political leaders: The comparative study of
George
W. Bush and Thaksin Shinawatra.
BAGIAN KEDUA: KETERAMPILAN DAN IMPLEMENTASI
POLITIK KESEHATAN
BAB IV
KOMUNIKASI POLITIK KESEHATAN
“…Political effects are at the heart of political science…” (Doris & James, 2005)
4.1 Pendahuluan
Komunikasi politik memegang peranan penting dalam
mempengaruhi kebijakan bidang kesehatan. Bab ini pertama-tama membahas
konsep komunikasi
politik kesehatan. Bagian ini menjelaskan tentang pemahaman dasar mengenai
komunikasi, komunikasi politik dan dalam kaitannya dengan kesehatan.
Bagian
kedua mengkaji ruang lingkup komunikasi politik. Bagian ini membahas siapa
komunikator politik itu? pesan-pesan politik seperti apa yang disampaikan yang
dapat
mempengaruhi kesehatan? media komunikasi politik apa yang digunakan? Siapa
yang menjadi sasaran atau khalayak dari komunikasi politik tersebut? dan apa
akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik tersebut. Untuk
melengkapi ilustrasi dari materi ini, dibagian akhir dari materi ini juga disampaikan
contoh kasus yang berkaitan dengan komunikasi politik di bidang kesehatan.
b. Organisasi publik. Organisasi publik yang dimaksudkan disini adalah para aktor
non-partai misalnya para pengusaha (trade unions), kelompok pengguna
(consumer groups) dan organisasi para profesional (professional organizations).
Jika dilihat dari perkembangannya, kelompok pengusaha (mereka yang
mempunyai dana yang cukup) dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah,
pemerintah dapat berubah jalan pikirannya jika ada investor/lembaga pemberi
dana yang mau menanamkan modalnya dalam suatu wilayah demikian halnya
dengan kelompok-kelompok organisasi profesi misalnya IDI, PDGI, IAKMI,
PERSAKMI dan sebagainya.
Organisasi
politik
Media
Warga negara
Dalam debat calon Presiden Republik Indonesia antara Prabowo Subianto dan Joko
Widodo pada Minggu 15 Juni 2014. Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem.
Salah satu komponen penting yang disampaikan oleh Joko Widodo adalah melakukan
investasi di bidang kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat. Dalam banyak dialog baik
yang dilakukan langsung oleh Joko Widodo maupun dilakukan oleh para pendukungnya
memperkenalkan Kartu Indonesia Sehat yang merupakan salah satu program
unggulan. Kartu Indonesia Sehat ini (mungkin) merupakan penerapan lebih jauh dari
Kartu Jakarta
Sehat.
Meskipun demikian, Juru Bicara Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Nurul Arifin,
program seperti itu juga sudah dikeluarkan pemerintah saat ini, hanya berbeda nama, yaitu
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarajan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS), bahkan dianggap tumpang tindih dengan BPJS yang sudah
diterapkan sejak 1 Januari 2014, bahkan lebih jauh Jokowi dituding kubu Prabowo-
Hatta telah membuat kebohongan besar dengan menawarkan program dan atau
kebijakan ini. Karena itu kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan apa sebenarnya perbedaan
antara Kartu Indonesia Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan?
Meskipun program Kartu Indonesia Sehat banyak diragukan eksistensinya Tim
Sukses Jokowi Dodo-Jusuf Kalla, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa program
Kartu Indonesia Sehat merupakan penyempurnaan dari program BPJS yang sudah berjalan
saat ini. Program ini dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia. Jika pasien biasanya yang mendatangi fasilitas kesehatan misalnya
Puskesmas dan Rumah Sakit, Kartu Indonesia Sehat ini akan memberikan pelayanan
kesehatan dengan memaksimalkan dokter keliling. Setiap warga negara yang memiliki
Kartu Indonesia Sehat akan mendapatkan pelayanan kesehatan sampai pada tingkat desa
dengan memanfaatkan Posyandu. Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh
Indonesia. Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia
terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus diberikan gizi yang
bagus melalui penyediaan susu dan suplemen dan makanan tambahan bagi ibu hamil.
Keunggulan lain dari Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan pelayanan kesehatan
akan lebih luas, yaitu tidak hanya pada mereka yang membutuhkan dimana kartu BPJS
tersebut diterbitkan. Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat.
Pemerintah akan menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang
berpenghasilan cukup akan ada mekanisme penetapan tarif. Kita lihat nanti
implementasinya seperti apa!!!!!
Merujuk pada teori dan komponen dasar dari sebuah proses komunikasi politik,
maka studi kasus tersebut di atas dapat dibedah lebih jauh.
b. Pesan-pesan politik
Joko Widodo memfokuskan pada membangun sistem membangun investasi
Indonesia Sehat melalui Kartu Indonesia Sehat KIS)
KIS dipandang akan memberikan akses kesehatan yang lebih luas kepada
seluruh rakyat Indonesia.
KIS akan memberikan pelayanan kesehatan dengan memaksimalkan dokter
keliling. Setiap warga negara yang memiliki KIS mendapatkan pelayanan
kesehatan sampai pada tingkat desa dengan memanfaatkan Posyandu.
Juga akan disiapkan 55.000 rumah sehat di seluruh Indonesia.
Jokowi juga berjanji akan memperbaiki status gizi 28 juta penduduk Indonesia
terutama mereka yang berada pada kelompok miskin. Mereka harus
diberikan gizi yang bagus melalui penyediaan susu dan suplemen dan
makanan tambahan bagi ibu hamil.
Keunggulan lain dari Kartu Indonesia Sehat ini adalah bahwa cakupan
pelayanan kesehatan akan lebih luas, yaitu tidak hanya pada mereka yang
membutuhkan dimana kartu BPJS tersebut diterbitkan.
Terkait dengan pembiayaan, sudah ada perhitungan yang cermat. Pemerintah
akan menanggung biaya kesehatan warga miskin, sementara yang
berpenghasilan cukup akan ada mekanisme penetapan tarif.
Kubu Prabowo-Hatta mempertanyakan perbedaan antara Kartu Indonesia
Sehat dengan BPJS kesehatan yang saat ini sudah berjalan
b. Pesan-pesan politik
Mengintegrasikan Pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular (Posbindu
PTM) dengan Pos Kesehatan Desa
Posbindu berperan dalam surveilans, penapisan, dan deteksi dini penyakit tak
menular
Posbindu terkendala minimnya jumlah petugas kesehatan dan para kader.
Dari sekitar 10.000 Posbindu PTM di Indonesia terdapat sekitar 4.000 unit
tidak aktif
Penyebab ketidakaktifan Posbindu adalah pergantian petugas posbindu karena
sudah lanjut usia, ada kesibukan lain, bosan, tak ada stimulan dari
lingkungan
sekitar, ataupun sekadar giat saat awal pembentukan lalu cenderung
tidak aktif.
4.6 Penutup
Bab ini telah membahas konsep komunikasi politik kesehatan. Komunikator
politik, media politik, pesan-pesan politik, sasaran atau khalayak komunikasi
politik, dan akibat-akibat yang dapat ditimbulkan dari komunikasi politik
menjadi bagian yang penting dalam memahami ruang lingkup komunikasi politik.
Makalah ini menjadi lebih mudah dipahami karena disajikan studi kasus yang
berkaitan dengan komunikasi politik kesehatan.
References:
Changara, H. (2009). Komunikasi Politik: Konsep, teori dan strategi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Christen, C. T., & Gunther, A. C. (2003). The influence of mass media and other
culprits on the projection of personal opinion. Communication Research,
30,
414-431.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Denton, R. E., & Woodward, G. C. (1990). Political communication in America.
New
York: Praeger.
Doris, A. G., & James, M. S. (2005). Political Communication Faces the
21th
Century. Journal of Communication, 479-507.
Hahn, D. F. (2003). Political communication: Rethoric, government, and citizens.
State College, PA: Strata Publishing.
Harian Nasional. (2014). Kampanye efektif penentu kemenangan, Harian Nasional.
Lilleker, D. G. (2006). Key concepts in political communication. London:
SAGE
Publications.
McNair, B. (2011). An introduction to political communication. London and New
York: Routledge.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith University,
Brisbane, Australia.
Riswandi. (2009). Komunikasi Politik. Graha Ilmu:
Yogyakarta.
Romarheim, A. G. (2005). Definitions of strategic political
communication.
Norwegia: Norwegian Institute of International Affairs.
BAB V
ADVOKASI KESEHATAN MASYARAKAT
5.1 Pendahuluan
Advokasi kesehatan masyarakat harus dilakukan mengingat kompleksnya
masalah kesehatan yang dihadapi. Meskipun demikian para professional kesehatan
belumlah secara maksimal melakukannya. Makalah ini pertama-tama memaparkan
advokasi kesehatan masyarakat, kemudian menyajikan produk dan proses advokasi
kesehatan masyarakat. Bab ini pula menggambarkan keterampilan yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam melakukan advokasi kesehatan masyarakat dan
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam melakukan advokasi.
3. Menetapkan tujuan umum dan tujuan khusus (Define goals and objectives). Apa
tujuan umum dan tujuan khusus yang ingin dicapai. Tujuan harus SMART
(Specific, Measurable, Attainable, Relevant, dan Tim-bound). Contoh tujuan
umum misalnya menurunkan kasus HIV/AIDS bagi para sopir truk.
Contoh tujuan khususnya adalah meningkatkan pengetahuan para sopir truk
mengenai risiko hubungan seks yang tidak aman, memberikan pelatihan dan
keterampilan mengenai penggunaan kondom bagi para sopir truk.
6. Pilih pendekatan advokasi Anda (Choose your advocacy approach). Jika Anda
mau melakukan perubahan perilaku pada tingkat staf, maka mungkin Anda akan
melakukan pendekatan dengan pimpinan dan membuat kebijakan yang bisa
mempengaruhi perilaku individu. Jika Anda mau membuat kebijakan yang
berkaitan dengan penggunaan kondom bagi pengguna seks bebas, maka
mungkin Anda harus melakukan pendekatan dengan pemerintah atau anggota
dewan. Beberapa pendekatan yang mungkin Anda lakukan dalam melakukan
advokasi (tergantung konteksnya) adalah:
a. Bertemu dengan pimpinan di semua
level
b. Membangun jaringan dan
koalisi
c. Melakukan kampanye opini
publik
d. Melakukan penelitian dan poling
pendapat e. Mengembangan materi
komunikasi
f. Melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran terhadap
isu tersebut.
5.7 Penutup
Advokasi merupakan kunci dalam melakukan perubahan kebijakan,
dalam jangka pendek maupun jangka panjang, individu ataupun kelompok.
Keterampilan
dan latihan untuk melakukan advokasi kesehatan masyarakat harus diperkuat
untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
References:
Chapman, S. (2004). Advocacy for public health: a primer. J Epidemiol
Community
Health, 361-365.
Christoffel, K. K. (2000). Public health advocacy: Process and product.
American
Journal of Public Health, 90(5), 722-726.
CPHA. (2009). Leadership in public health: A guide to advocacy for public health
associations. Ottawa: Canadian Public Health Associations.
Johnson, S. A. (2009). Public health advocacy. Alberta Health
Services,.
Lawrence, R. (2004). Framing obesity: The evolution of news disclosure on a public
health issue. International Journal of Press/Politics, 9(3), 56-75.
McCubbin, M., Labonte, R., & Dallaire, B. (2001). Advocacy for healthy
public policy as a health promotion technology Retrieved 19 Januari,
2014, from
http://www.utoronto.ca/chp/download/2ndSymposium/McCubbin,%20Labont
e,%20Dallaire.doc
Queensland Government. (2011). Health advocacy framework: Strengthening health
advocacy in Queensland. Queensland: Retrieved from
http://www.health.qld.gov.au/hcq/publicat ions/hcq_framework_may11.pdf.
BAB VI
PEMILU: KESEHATAN DAN KOMITMEN AKTOR POLITIK
6.1 Pendahuluan
Pemilu menjadi sarana bagi banyak pihak untuk menempatkan berbagai
sektor pembangunan sebagai isu menarik untuk diperbincangkan, termasuk
kesehatan.
Calon presiden, DPR/DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, bupati/walikota
menjadikan isu kesehatan sebagai jualan politik. Isu kesehatan gratis dan
Kartu
Indonesia Sehat, misalnya, menjadi bahan kampanye untuk meraih simpati
masyarakat. Tentu saja, memang tak dapat dipungkiri bahwa masalah
kesehatan adalah masalah politik. Kesehatan masyarakat adalah aktivitas politik.
Tindakan kesehatan masyarakat adalah ungkapan ideologi politik, sejauh mana
pemegang kekuasaan formal dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kepentingan.
Kesehatan adalah politik karena determinan kesehatan banyak ditentukan oleh faktor
politik, faktor di luar dari persoalan kesehatan itu sendiri. Faktor kesehatan
banyak ditentukan oleh bupati dan walikota dan anggota dewan yang terhormat.
Karena masalah kesehatan adalah masalah politik, maka untuk memecahkannya
diperlukan adanya komitmen politik.
Bab ini memaparkan bagaimana gambaran kesehatan Indonesia; pentingnya
momentum pemilu dan isu kesehatan dalam konteks aktor politik; apa kompetensi
aktor politik yang harus dimiliki dalam memainkan peran kesehatan yang optimal.
Gambar 6.3: Tren Angka Kematian Ibu (AKI) Beberapa Negara ASEAN
Sumber: Sumber: UN Maternal Mortality Estimation Group: WHO,
UNICEF, UNFPA, World Bank dalam UNICEF Indonesia (2012)
Angka Kematian Bayi (AKB). Penurunan AKB dan AKABA di Indonesia
dalam satu dekade terakhir mengalami perlambatan. Padahal pada priode 1991
–
2002, Indonesia mampu menurunkan AKB dari 68 per 1.000 kelahiran hidup
menjadi
35 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan AKABA turun dari 97 per 1.000
kelahiran
hidup menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup (BKKBN, 2013). Dalam priode tersebut,
Indonesia menjadi negara yang mendapat apresiasi besar dari WHO untuk
pencapaian AKB dan AKABA. Setelah tahun 2002, ternyata penurunan AKB dan
AKABA di Indonesia justru mengalami perlambatan. Hasil SDKI 2012 menunjukan
saat ini AKB berada pada angka 32 per 1.000 kelahiran hidup, turun lima poin.
Sedangkan AKABA sebesar 40 per 1.000 kelahiran hidup hanya turun enam
poin dari tahun
2002. Selain lambatnya penurunan AKB dan AKABA di Indonesia, pencapaian
AKB dan AKABA di daerah juga masih sangat timpang dan di beberapa daerah juga
ada yang mengalami kenaikan signifikan. Daerah – daerah di timur Indonesia
seperti Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB Sulawesi Barat,
Gorontalo dan Sulawesi Tengah masih memiliki nilai AKB dan AKABA yang cukup
tinggi jauh di atas rata–rata nasional. Malahan, AKB dan AKABA untuk Papua,
Papua Barat, Maluku Utara, dan Gorontalo justru mengalami kenaikan. Selain di
daerah timur Indonesia, temuan kenaikan AKB dan AKABA juga ditemukan di
Aceh, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta. Ketimpangan dan
kenaikan AKB dan AKABA ini merupakan sebuah refleksi dari ketidakmampuan
daerah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan untuk ibu dan anak. Seharusnya,
dengan desentralisasi sektor kesehatan, peluang daerah untuk melakukan kebijakan
menjadi lebih kuat. Daerah yang memiliki inovasi dalam kebijakan pembangunan
KIA seperti Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan
Selatan dan Sulawesi Selatan ternyata mampu secara signifikan menurunkan AKB
dan AKABA. Inilah sebenarnya perlu didorong oleh Kementerian Kesehatan, agar
setiap daerah memiliki arah dan strategi khusus dalam menurunkan AKB dan
AKABA sesuai dengan konteks daerah masing – masing.
Gambar 6.4: Tren Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita di Tiap Provinsi, Indonesia
Sumber: Profil Kesehatan, Kemenkes (2013) dalam Rahmahidanurrizka and Saputra (2013)
Gambar 6.5 menunjukkan kecenderungan angka kematian neonatal,
angka kematian bayi dan angka kematian balita dari tahun 1991-2015 yang terus
menurun.
Gambar 6.5: Kecenderungan Angka Kematian Neonatal, Bayi dan Balita, 1991-2015
Sumber: Direktorat Jenderal Bina GIKIA (2013)
Angka Harapan Hidup (AHH). Angka ini adalah angka pendekatan
yang menunjukkan kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama. Usia Harapan
Hidup merupakan alat untuk mengevaluasi penampilan (performance)
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan
meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya (Stalker, 2008). Gambar 6.6
menunjukkan peningkatan AHH yang terjadi di Indonesia selama tahun 2008-2012.
Pada tahun 2012, nilai AHH Indonesia telah mencapai 69,87 tahun dimana lebih
tinggi jika dibandingkan dengan nilai AHH pada tahun 2011 yang sebesar 69,65
tahun. Provinsi dengan nilai AHH tertinggi terdapat di DKI Jakarta dengan nilai
73,49 dan DI Yogyakarta sebesar
73,33. Provinsi dengan nilai AHH terendah terdapat di Nusa Tenggara Barat
sebesar
62,73 dan Kalimantan Selatan sebesar 64,52. Nilai AHH tertinggi ada pada DKI
Jakarta juga sama dengan IPM secara keseluruhan. Sementara Nusa Tenggara Barat
juga bersama dengan Nusa Tenggara Timur mempunyai nilai IPM yang relatif
rendah.
Gambar 1.2: Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (Dalam Tahun) Indonesia
2008-
2012
Sumber: BPS (2013)
Gizi. Status gizi yang dikaji dalam Bab ini dibagi atas dua bagian yaitu
status gizi balita dan status gizi penduduk dewasa (Kementerian Kesehatan RI,
2014). Pertama, status gizi balita. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai
keberhasilan pencapaiannya dalam MDGs adalah status gizi balita. Pada tahun
2010 terdapat
17,9% balita kekurangan gizi yang terdiri dari 13,0% balita berstatus gizi kurang
dan
4,9% berstatus gizi buruk dan sebesar 5,8% balita dengan status gizi
lebih.
Dibandingkan tahun 2007, terjadi penurunan kekurangan gizi balita pada tahun 2010
dari 18,4% menjadi 17,9%. Berdasarkan provinsi, prevalensi balita kekurangan gizi
terendah dicapai Sulawesi Utara (10,6%), Bali (10,9%) dan DKI Jakarta (11,3%),
sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi terjadi di Nusa Tenggara Barat
(30,5%), Nusa Tenggara Timur (29,4%) dan Kalimantan Barat (29,2%).
Target
MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 untuk indikator ini sebesar
15,5%. Dengan demikian dari 33 provinsi terdapat 9 provinsi di antaranya telah
mencapai target tersebut pada tahun 2010.
Gambar 6.10: Prevalensi Balita Stunting di ASEAN & SEAR Tahun 2007-2011
Sumber: WHO (2013) dalam Kementerian Kesehatan RI (2013)
Status gizi penduduk dewasa. Gambaran status gizi pada kelompok umur
>18 tahun dapat diketahui melalui prevalensi gizi berdasarkan indikator Indeks
Massa Tubuh (IMT). Status gizi pada kelompok dewasa berusia di atas 18 tahun
didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup
tinggi (Gambar
6.11).
Bunyi sumpah tersebut adalah sebagai berikut: Demi Allah (Tuhan) saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai
dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam
menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya
kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
daripada kepentingan pribadi, seorang dan golongan; bahwa saya akan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan
nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gambar 6.12: Ilustrasi Pengambilan Sumpah anggota DPR dan DPD RI Periode 2014-
2019
Sumber: http://bawaslu.go.id/en/node/1102, 08 Juni
2015
Dipandu Ketua Mahkamah Agung sejumlah anggota MPR, DPR dan DPD
disumpah. Apakah saudara bersedia bersumpah menurut agama dan
kepercayaan saudara masing-masing. Serentak para wakil rakyat baru itu
menyatakan kesediannya. Jika aktor-aktor politik ini amanah akan sumpah dan
janjinya sebagai wakil rakyat, maka mereka inilah sebagai pejuang pembangunan
dalam segala bidang kehidupan, termasuk kesehatan. Mereka inilah yang akan
bekerja secara maksimal untuk terus menjadi pembawa aspirasi masyarakat
mewujudkan manusia Indonesia yang sehat dan sejahtera.
Selain itu, pada tingkat provinsi terdapat jumlah anggota DPRD provinsi yang
tidak sedikit jumlahnya demikian pula anggota DPRD kabupaten/kota. Jumlah
anggota DPRD Provinsi sebanyak 2.137 orang lebih tinggi dari periode sebelumnya
yang jumlahnya hanya 2008 kursi. Terdapat penambahan 134 kursi DPRD Provinsi
secara nasional. Sementara jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota di Indonesia
sebanyak 17.560 kursi meningkat 1.215 kursi DPRD Kabupaten/Kota dari periode
sebelumnya yang jumlahnya hanya 16.345 kursi. Pada level provinsi disana
terdapat
33 gubernur dan 33 wakil gubernur. Pada tingkat kabupaten/kota terdapat 397 bupati
and 397 wakil bupati dan 98 walikota dan 98 wakil walikota. Mereka adalah aktor
politik yang juga telah memegang sumpah dan janji, bersumpah dan berjanji
dihadapan manusia dan dihadapan Allah SWT. Jika seluruh aktor politik
tersebut
memiliki komitmen dalam upaya untuk menyehatkan warga yang telah memilih
mereka dan konsisten dalam membuat berbagai kebijakan dibidang pembangunan
kesehatan, maka upaya untuk membuat rakyat sehat akan dapat cepat dicapai.
Namun sebaliknya jika wakil rakyat dan para aktor tersebut tidak mempunyai
pemahaman dan wawasan kesehatan yang sempurna bahkan tidak mempunyai
kepedulian kesehatan maka hancurlah sektor kesehatan di negeri ini (Sukri Palutturi,
2010).
6.4 Kompetensi bagi para aktor
politik
Aktor politik kesehatan tidak berarti mereka adalah orang dengan latar
belakang pendidikan kesehatan. Akan tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana para aktor politik mempunyai wawasan kesehatan. Ini sangat penting
karena masalah
kesehatan demikian kompleks dan tidak bisa diselesaikan dengan hanya melihat
masalah kesehatan dari sudut pandang tertentu. Sebuah buku dengan judul the
New
Public Health yang diterbitkan oleh Oxford University Press tahun 2008, ditulis
oleh
Fran Baum, dia adalah seorang sosiolog dan konsultan yang menangani
social
determinant of health di badan organisasi kesehatan sedunia (World Health
Organization). Buku ini menjelaskan bahwa masalah kesehatan tidak lagi hanya
berorientasi pada pengobatan akan tetapi lebih dari itu dimensi-dimensi politik,
ekonomi, sosial harus menjadi bagian dari pemecahan masalah kesehatan. Konteks
politik yang berbicara tentang governance, kebijakan makro ekonomi, kebijakan
sosial-buruh, pekerja perumahan dan tanah, kebijakan publik-pendidikan, kesehatan
dan perlindungan atau jaminan sosial dan budaya dan nilai-nilai masyarakat
merupakan bagian yang sangat penting yang mempengaruhi kesetaraan dan keadilan
terhadap kesehatan dan kesejahteraan (Baum, 2008).
Kompetensi politik dipaparkan pada Bab tersendiri. Namun terdapat
kompetensi substansi yang orientasinya adalah pada pemahaman yang harus dimiliki
oleh para pengambil kebijakan termasuk para anggota DPR maupun DPD. Apa
wawasan kesehatan yang harus dimiliki oleh para aktor politik, tentu tidak ada
batasannya akan tetapi ada beberapa point yang dianggap penting untuk harus
dipahami sebagai aktor politik yaitu sebagai berikut (Sukri Palutturi, 2010):
a. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia, hak
yang paling fundamental yang harus dinikmati oleh seluruh warga negara
(health is fundamental human rights). Dengan pemahaman ini, mereka akan
sadar bahwa masalah kesehatan adalah hak yang harus dinikmati oleh
setiap orang tanpa melihat perbedaan suku, ras, bangsa dan agama.
b. Aktor politik harus paham bahwa kesehatan adalah bukan sektor yang
konsumtif akan tetapi sektor investasi yang dalam jangka panjang dapat
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Artinya peningkatan alokasi
anggaran kesehatan menjadi hal yang sangat penting dalam menginvestaikan
dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
c. Aktor politik harus paham bahwa arah pembangunan kesehatan tidak
hanya menekankan pada program-program kesehatan yang bersifat pengobatan
dengan pendekatan individual melainkan pada promosi dan prevensi penyakit
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan
Wilayah (UKW) harus bersinergi dalam pembangunan. UKP lebih banyak
orientasinya pada pengobatan, UKM lebih mendorong pada pencegahan
penyakit dan promosi kesehatan, dan UKW menitikberatkan pada determinan
sosial kesehatan yang lebih kompleks. Pendekatan yang terakhir ini adalah
pendekatan lintas sektor. Jika masalah tersebut berada pada wilayah
kabupaten/kota atau provinsi maka kedudukan Bappeda memegang peranan
strategis untuk menjadi lembaga atau institusi yang bisa berperan sebagai dapur
perencanaan bagi sektor-sektor yang lain dalam rangka mewujudkan wilayah
yang sehat (Healthy Settings/Cities).
d. Aktor politik harus paham bahwa kematian satu orang bayi karena
kekurangan gizi berarti negara telah mengabaikan rakyatnya. Artinya bahwa
pemerintah harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan kondisi kesehatan
anak apalagi saat ini pemerintah telah menggalakkan program 1000 hari pertama
kehidupan.
f. Aktor politik harus paham bahwa jika ada seorang warga negara
pengguna narkoba berarti mereka telah merusak generasi dan bangsanya. Kasus
narkotika pun juga semakin meningkat dan telah tersentuh hampir pada semua
kalangan baik anak-anak maupun orang tua, laki-laki atau perempuan, pelajar
atau pekerja, pemerintah atau swasta. Mereka telah menjadi korban dari
penyalahgunaan narkotika ini. Dampak yang ditimbulkan pun menjadi sangat
kompleks dari masalah kesehatan, putus sekolah, gangguan mental sampai pada
masalah sosial dan keamanan. Pemerintah harus memutuskan mata rantai dari
penyalagunaan narkotika ini.
i. Aktor politik harus paham dan ingat bahwa ada janji-janji politik
yang disampaikan saat kampanye oleh para calon bupati/walikota, gubernur dan
presiden misalnya kesehatan gratis, pendidikan gratis, gratis lahir sampai
mati dan seterusnya. Janji itu harus diimplementasikan karena janji itu adalah
amanah, dan janji adalah kontrak antara masyarakat dan calon pemerintahnya.
Kenaikan iuran belum diperlukan, kecuali untuk iuran peserta PBI. Anggota Dewan
minta BPJS Kesehatan diaudit. Sejumlah anggota DPR yang duduk di Komisi IX
mempersoalkan rencana pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Kebijakan itu dikhawatirkan bisa mempengaruhi kepesertaan
warga miskin dan semakin membebani rakyat. Kenaikan tak pas kalau belum dilakukan
audit.Suir Syang, politisi Partai Gerindra, misalnya menilai rencana kenaikan iuran BPJS
Kesehatan untuk peserta non PBI (Penerima Bantuan Iuran) tidak tepat. Sebab di lapangan
masih banyak masyarakat miskin yang tidak tercakup PBI mendaftar sendiri sebagai
peserta bukan penerima upah (PBPU) dengan mengambil ruang perawatan kelas tiga yang
iurannya Rp25.500 per bulan setiap orang. Jika iuran BPJS Kesehatan bagi peserta non PBI
naik, ia khawatir masyarakat miskin yang telah mendaftar PBPU berhenti jadi peserta non
PBI.
Anggota Komisi IX dari PDIP, Ketut Sustiawan, menyebut sebelum iuran BPJS
Kesehatan dinaikan, harus dilakukan audit terlebih dulu agar bisa dihitung ulang berapa
kenaikan yang diperlukan. “BPJS Kesehatan harus diaudit dulu,” katanya dalam Rapat Kerja
di Senayan, Rabu (01/4). Senada, anggota Komisi IX dari Partai Golkar, Andi Fauzia
Pujiwatie Hatta, mengatakan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus
dipertimbangkan kembali dan harus menunggu hasil audit. Saat harga BBM naik dan
kemungkinan pengaruhnya terhadap harga kebutuhan pokok, maka kenaikan iuran BPJS
Kesehatan bakal menimbulkan rasa tidak adil kepada masyarakat terutama golongan ekonomi
menengah ke bawah.
Fauzia mengingatkan, dengan besaran iuran yang ada sekarang, pelayanan yang
diberikan BPJS Kesehatan masih dikeluhkan masyarakat. Karena itu, ketimbang menaikkan
iuran, lebih baik BPJS Kesehatan melakukan pembenahan internal lebih dahulu. “Tidak
pantas (kenaikan iuran,-red) kalau pelayanan masih bermasalah,” tukasnya. Berdasarkan
pemantauan Nihayatul Wafiroh di lapangan, peserta yang diuntungkan
dengansistem BPJS Kesehatan sepakat kalau iuran dinaikkan. Tapi, peserta yang
ditemuinya itu jumlahnya sedikit. Sementara peserta BPJS Kesehatan yang sedang mengantri
di RS keberatan jika besaran iuran naik. Peserta yang keberatan itu jumlahnya sangat banyak.
“Mereka bertanya apakah dengan kenaikan iuran itu ada jaminan pelayanan terhadap peserta
akan lebih baik,” ujar politisi PKB itu.
Anggota Komisi IX dari PPP, Okky Asokawati, mengatakan jika BPJS
Kesehatan defisit yang pertama kali harus disorot adalah bagaimana manajemen BPJS
Kesehatan mengelola lembaga yang menggelar jaminan kesehatan itu. Apalagi di tengah
kondisi itu, kata Okky, Direktur Utama BPJS Kesehatan malah bertandang ke German dan
Dewan Pengawas BPJS Kesehatan ke Swiss. Ia meminta ada laporan hasil kunjungan ke luar
negeri itu. Okky meminta kenaikan iuran tidak dijalankan saat ini karena akan semakin
memberatkan masyarakat. Tapi ia sepakat jika iuran peserta PBI naik. “Karena iuran PBI jauh
lebih rendah (Rp19.225) daripada peserta mandiri ruang perawatan kelas tiga (Rp.25.500),”
katanya. Politisi Partai Nasdem, Irma Suryani, tidak setuju rencana kenaikan iuran bagi
peserta non PBI BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran itu tidak perlu selama manajemen
BPJS Kesehatan belum diperbaiki. “Manajemen BPJS Kesehatan dibenahi dulu baru minta
kenaikan iuran,” tegasnya.
c. Anggota dewan adalah wakil rakyat sebagai penentu ketukan palu terakhir
yang akan menentukan arah kebijakan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu,
untuk mewujudkan cita-cita nasional bidang kesehatan yaitu menciptakan
masyarakat yang sehat maka perlu ada program-program yang sifatnya
pendampingan berkelanjutan kepada kelompok masyarakat atau organisasi
tertentu atau meminta bantuan dan konsultan dari kalangan profesional dan
akademisi bidang kesehatan.
References:
7.1 Pendahuluan
Healthy Cities membutuhkan berbagai pendekatan, disiplin dan juga
multisektor. Pemerintahkan yang dapat menghadirkan keterlibatan berbagai sektor
dalam mewujudkan kota sehat adalah mutlak (good urban governance). Ini bagian
pertama yang dibahas dalam bab ini. Bagian yang kedua mengkaji dimensi politik
Healthy Cities dari sisi proses dan kekuasaan. Dalam konteks Indonesia, hubungan
pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam Impelementasi Healthy Cities
juga dikaji lebih jauh. Untuk melengkapi bab ini disajikan sebuah studi kasus yang
menjelaskan pentingnya dukungan politik dalam implementasi Healthy Cities.
Dalam tulisan ini seringkali menggunakan Healthy Cities sesuai dengan
konsep awal lahirnya ide ini dan sering menggunakan kota sehat dan atau
kabupaten/kota sehat dalam konteks Indonesia. Dalam tulisan ini, penggunaan
peristilahan itu secara bergantian atau kedua-duanya secara bersamaan
pada prinsipnya adalah sama.
Level
nasional
Tujuan
Target
Kebijakan Level Tim Pembina
Strategi Kab/Kota Forum
Kab/Kota
Kab/Kota
Sehat
Forum
Level
Perencanaan Komunikasi
Kecamatan
Implementasi Desa
Klasifikasi
Kriteria
Evaluasi Level Kelompok
Pengembangan Kelurahan/ Kerja Desa
Pendanaan Desa
Gambar 7.2: Hubungan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah
dalam implementasi Healthy Cities
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(2010)
Kota Palopo hampir bersamaan dengan kota lain di Sulawesi Selatan mengembangkan kota
sehat misalnya Kota Makassar dan Kota Parepare. Awalnya, pada tahun 2006 Kepala Dinas
Kesehatan dan Asisten 2 Bidang Ekonomi, Pembangunan dan Sosial menghadiri pertemuan
di Jakarta mewakili kota tersebut. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada walikota
Palopo dan ternyata bapak walikota merespon kegiatan tersebut. Moto Palopo dan visi kota
sehat pada prinsipnya mempunyai kemiripan dimana moto Palopo adalah kota yang
IDAMAN (Indah, Damai, Aman dan Nyaman) sementara visi kota sehat adalah kota yang
bersih, nyaman, aman dan sehat.
Menurut laporan kota sehat Palopo, pada tahun 2010-2011, Palopo mempunyai status
kesehatan masyarakat terbaik diantara 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dimana Palopo
mempunyai usia harapan hidup yang tinggi (hamper sama dengan Kota Makassar =
72,3 tahun) bahkan tidak mempunyai Angka Kematian Ibu.
Pada tahun 2007 Kota Palopo ikut seleksi untuk dinilai sebagai Kota sehat dan akhirnya
mendapatkan penghargaan Swasti Shaba Wiwerda. Swasti Shaba Wiwerda adalah
penghargaan kota sehat tingkat kedua artinya Kota Palopo loncat tangga yang mestinya
hanya Swasti Shaba Padapa saja yaitu penghargaan tingkat pertama. Palopo
mengembangkan Tatanan Kawasan Permukiman, Sarana dan Prasarana Umum, Kawasan
Industri dan Perkantoran Sehat, Tatanan Kehidupan Masyarakat yang Sehat dan Mandiri,
dan Tatanan Kehidupan Sosial yang Sehat.
Keberhasilan yang telah dicapai oleh Kota Palopo ternyata dilirik oleh beberapa
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan dengan kabupaten/kota lainnya di Indonesia
misalnya Kota Parepare, Kota Makassar, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Gowa, Kabupaten
Enrekang (Sulawesi Selatan), Kota Pematang Siantar, Kota Padang Panjang (Sumatera) dan
beberapa daerah lainnya. Mereka datang ke Kota Palopo untuk belajar manajemen kota sehat.
7.8 Penutup
Sejarah masa lalu menunjukkan bahwa perencanaan kota dan perencanaan
kesehatan seringkali berjalan bersamaan tetapi rel yang berbeda. Mereka jalan pada
porosnya masing-masing dan saling mengabaikan, tidak saling menyapa untuk
membuat perencanaan dan penganggaran bersama. Pembangunan fisik
menjulang tinggi terus digenjok dimana-mana, pembangunan hotel, mall, dan
apartemen. Pemerintah cenderung mengabaikan bahwa kelompok masyarakat yang
dapat menikmati dengan adanya pembangunan model ini adalah hanya kelompok
masyarakat yang berduit. Pemerintah lupa bahwa diantara pembangunan gedung
bertingkat itu, terdapat banyak masyarakat yang tinggal di rumah-rumah kumuh, di
kolong-kolong jembatan. Kesenjangan dengan pola pembangunan seperti ini
membawa berbagai permasalahan sosial dan lingkungan di perkotaan.
Aktor politik Healthy Cities cukup kompleks dan dinamis. Kota sehat hanya
dapat diwujudkan jika setiap aktor dapat mewujudkan sebuah pemerintahan
kota yang baik (good urban governance) yaitu pemerintahan yang dapat
menghadirkan keterlibatan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat secara
simultan.. Dukungan politik pemerintah adalah mutlak termasuk di dalamnya adalah
anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Tim Pembina dan
Forum Kota Sehat dapat belajar dari cerita-cerita sukses atau pasang surut
penyelenggaraan kabupaten/kota di Indonesia. Kota Palopo mungkin salah satunya.
References:
Abbott, J. (1996). Sharing the City Community Participation in Urban
Management
London: Earthscan.
Abednego, M. P., & Ogunlana, S. O. (2006). Good project governance for profer
risk allocation in public-private partnerships in Indonesia. International
Journal of Project Management, 24(7), 622-634.
Acheson, D. (1998). Independent inquiry into inequalities in health. London:
The
Stationary Office.
Adams, L., Amos, M., & Munro, J. (2002). Promoting health. London:
Sage.
Albaek, E. (2003). Political Ethics and Public Policy: Homosexuals between Moral
Dilemmas and Political Considerations in Danish Parliamentary
Debates Scandinavian Political Studies, 26(3).
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2003). Towards a New Politics of health.
Politics of Health Group Discussion Paper No. 1.
Bambra, C., Fox, D., & Scott-Samuel, A. (2005). Towards a politics of health. Health
Promotion International, 20(2), 187-193.
Bambra, C., Smith, K., & Kennedy, L. (2008). Politics and Health. In N. J & W. J
(Eds.), Health Studies 2nd edition (pp. 257-287). London: Palgrave
Macmillan.
Bappenas. (2015). Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah di 33 Provinsi Tahun
2014. Jakarta: Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas.
Corburn, J. (2009). Toward the Healthy City: People, Places and the Politics
of
Urban Planning. The MIT Press: Cambridge, Massachusetts,
London, England.
De Leeuw, E. (1999). Healthy Cities: Urban social enterpreneurship. Health
Promotion International, 14(3), 262-269.
Heywood, A. (2000). Key concepts in politics. London: Macmillan.
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Dalam Negeri dan Kesehatan RI. (2005). Peraturan Bersama Menteri
Dalam Negeri (PERBERMENDAGRI) dan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2005 dan Nomor 1138/MENKES/PB/VIII/2005. Jakarta:
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Progres Kabupaten/Kota Sehat di Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Naerssen, T. v., & Barten, F. (2002). Healthy Cities as a Political Process Germany.
Palutturi, S. (2010). Kesehatan itu Politik. Semarang: e-Media Solusindo.
Palutturi, S. (2013). Public Health Leadership. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Palutturi, S., Rutherford, S., Davey, P., & Chu, C. (2013). Healthy Cities
Implementation in Indonesia: Challenges and determinants of successful
partnership development at local government level. Griffith
University, Brisbane, Australia.
Scott-Samuel, A. (1979). The politics of health. Community Medicine, 1, 123-126.
Whitehead, M., Diderichsen, F., & Burstrom, B. (2000). Researching the impact
of
public policy on inequalities in health. In H. Graham (Ed.),
Understanding health inequalities. Buckingham: Open University Press.
BAB VIII
POLITIK GLOBAL: DARI MDGs KE SDGs
8.1 Pendahuluan
Seseorang pernah bertanya dalam sebuah forum ilmiah, mengapa Millenium
Development Goals (MDGs) selalu menjadi target dari tujuan
pembangunan sementara MDGs akan berakhir pada tahun 2015. Saya jawab
secara sederhana bahwa betul MDGs akan berakhir pada tahun 2015 tetapi
masalahnya belum berakhir. Berbagai masalah dan agenda yang belum
terselesaikan yang menuntut perhatian berbagai pihak di semua tingkatan, dari
pemerintah daerah, pemerintah pusat dan bahkan perhatian masyarakat global.
Target MDGs yang belum terselesaikan harus menjadi bagian dari pembangunan
berkelanjutan untuk menjamin kesinambungan dari apa yang telah dicapai pada
masa lalu, saat ini dan bahkan mencari solusi terhadap masalah yang belum
terselesaikan. Bab ini pertama akan menjelaskan pembangunan berkelanjutan itu,
tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals), keterkaitan
antara MDGs dan SDGs, kesiapan, tantangan dan bahkan menyiapkan sejumlah
rekomendasi untuk mencapai SDGs tersebut.
b. Agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Pemerintah pusat dan daerah dapat
mengembangkan program dan penyediaan alokasi anggaran berdasarkan
tujuan dan indikator yang diharapkan dari pencapaian SDGs.
3) Memastikan hidup yang sehat dan memajukan kesejahteraan bagi semua orang
di semua usia
a. Pada tahun 2030 mengurangi rasio kematian ibu secara global kurang dari
70 per 100.000 kelahiran hidup
b. Pada tahun 2030 kematian dapat dicegah dari bayi yang baru lahir dan balita
c. Pada tahun 2030 mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria, dan
penyakit tropis tdan memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air, dan
penyakit menular lainnya
11) Membuat kota dan permukiman manusia menjadi inklusif, aman, tangguh
dan berkelanjutan
13) Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampak
dampaknya
a. Memperkuat ketahanan dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya iklim
terkait dan bencana alam di semua negara
b. Mengintegrasikan langkah-langkah perubahan iklim ke dalam
kebijakan nasional, strategi, dan perencanaan
c. Meningkatkan pendidikan, peningkatan kesadaran dan manusia
dan kapasitas kelembagaan pada mitigasi perubahan iklim, adaptasi,
pengurangan dampak, dan peringatan dini
16) Mendorong kehidupan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua, dan
membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan
a. Signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan tingkat kematian yang
terkait di mana-mana
b. Mengakhiri penyalahgunaan, eksploitasi, perdagangan dan segala bentuk
kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak
c. Mempromosikan aturan hukum di tingkat nasional dan internasional, dan
menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua
Dalam kaitan dengan hubungan antara MDGs dan SDGs, maka dikaji
lebih jauh perbandingan antara kedua tujuan pembangunan tersebut seperti pada
Tabel 8.1.
Tabel 8.1: Perbandingan MDGs dan SDGs
No MDGs SDGs
1 Menanggulangi kemiskinan 1. Menghapus kemiskinan dalam segala
dan kelaparan bentuknya di manapun
2 Mencapai pendidikan dasar 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
untuk semua pangan dan perbaikan gizi, dan
memajukan pertanian berkelanjutan
3 Mendorong kesetaraan 3. Memastikan hidup yang sehat
gender dan pemberdayaan dan memajukan kesejahteraan bagi semua
perempuan orang
4 Menurunkan angka di semua usia
kematian anak 4. Memastikan kualitas pendidikan yang
inklusif dan adil serta
mempromosikan kesempatan belajar seumur
hidup bagi semua
5 Meningkatkan kesehatan ibu 5. Mencapai kesetaraan gender
dan memberdayakan semua perempuan dan
anak perempuan
6 Memerangi HIV/AIDS, 6. Memastikan ketersediaan dan pengelolaan
malaria, dan penyakit air dan sanitasi bagi yang berkelanjutan bagi
menular lainnya semua
7 Memastikan kelestarian 7. Memastikan akses ke energi yang
lingkungan hidup terjangkau, dapat diandalkan,
berkelanjutan
8 Mengembangkan kemitraan dan modern bagi semua
global untuk pembangunan 8. Mempromosikan pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan, dan inklusif, kesempatan
kerja yang penuh dan produktif serta
pekerjaan yang layak bagi semua.
9. Membangun infrastruktur yang tangguh,
menggalakkan industrialisasi yang
berkelanjutan dan inklusif dan
mengembangkan inovasi
10. Mengurangi ketimpangan di dalam dan di
antara negara-negara
11. Membuat kota dan permukiman manusia
menjadi inklusif, aman, tangguh
dan berkelanjutan
12. Memastikan pola konsumsi dan
produksi yang keberlanjutan
13. Mengambil tindakan segera untuk
memerangi perubahan iklim dan
dampakdampaknya
14. Menghemat dan menjaga kesinambungan
dalam menggunakan samudera, laut
dan sumber daya untuk pembangunan
yang
berkelanjutan
15. Melindungi, memulihkan dan
meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan
ekosistem darat, mengelola hutan secara
berkelanjutan, memerangi desertifikasi,
dan menghentikan degradasi tanah
cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati
16. Mendorong kehidupan masyarakat yang
damai dan inklusif untuk pembangunan
berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua, dan membangun
institusi yang efektif, akuntabel dan
inklusif di semua tingkatan
17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan
merevitalisasi kemitraan global untuk
pembangunan berkelanjutan
Jika dianalisis lebih jauh, maka kita bisa lihat persamaan dan perbedaan antara
MDGs dan SDGs, yaitu:
a. Kemiskinan dan kelaparan. Menanggulangi masalah kemiskinan dan
kelaparan menjadi penekanan pada poin 1 dan 2 dari SDGs bahkan menghapus
kemiskinan dalam segala bentuknya di manapun baik kemiskinan strukural
maupun kemiskinan kultural bahkan kemiskinan rasional. Yang dimaksudkan
kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi disebabkan karena
kebijakan-kebijakan pemerintah yang yang tidak berpihak pada rakyat.
Kemiskinan struktural ini bukan karena kemalasan si miskin atau etos kerja
yang rendah, tetapi karena sistem sosial, politik dan ekonomi negara yang
menyebabkan satu atau banyak kelompok termarginalkan. Seseorang bisa
menjadi miskin karena aspek politik misalnya tidak ada budaya demokrasi yang
mengakar di masyarakat, keputusan politik yang sangat dipengaruhi oleh
keputusan dan kepentingan politik luar negeri dan lemahnya kontrol langsung
dari rakyat terhadap birokrasi. Misalnya jika negara-negara pendonor hanya
memberikan perhatian pada kelompok negara tertentu saja, maka kemiskinan
dapat terjadi dan masalah kesehatan bisa semakin meluas di wilayah tersebut.
Dari aspek ekonomi seseorang dapat menjadi miskin karena kebijakan
globalisasi atau liberalisasi sistem ekonomi dan rendahnya akses terhadap
faktor produksi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Selain itu
seseorang juga menjadi miskin karena aspek sosial budaya misalnya hancurnya
identitas sosio kultural yang hidup di masyarakat, hancurnya kemampuan
komunikasi antar berbagai kelompok dan gerakan sosial dan lemahnya
kelembagaan yang ada.
Kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural ini terjadi sebagai akibat dari adanya
nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, misalnya
malas bekerja, pasrah dan mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki
etos kerja yang tinggi, atau karena ada sebab lainnya. Kemiskinan cultural ini
memiliki cirri masyarakat yang enggan mengintegrasikan dirinya dalam
lembaga-lembaga utama, sikap apatis, selalu curiga, terdiskriminasi oleh
masyarakat luas. Terakhir adalah kemiskinan rasional. Kemiskinan yang
terjadi karena keterbatasan kualitas maupun kuantitas SDA dan SDM, tidak
adanya/ hilangnya sumber daya alam yang menguntungkan dan kurangnya
keahlian dan kualitas sumber daya manusianya mau tidak mau menjadi
penyebab terjadinya kemiskinan rasional. Selain itu pula bisa diakibatkan oleh
musibah, bencana alam dan bencana- bencana lainnya.
SDGs ini bertanggung jawab tidak hanya pada bentuk kemiskinan tetapi juga
kemiskinan pada konteks wilayah dan kelompok. Negara-negara yang ikut
menyepakati SDGs ini member komitmen untuk bertanggung jawab pada
masalah kemiskinan ini dimana pun terjadi, pada kelompok manapun dan pada
warna kulit apapun.
Poin ke-2 dari SDGs itu adalah mengakhiri kelaparan, mencapai keamanan
pangan dan perbaikan gizi, dan memajukan pertanian berkelanjutan. Poin 2 ini
lebih menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab untuk mengakhiri
kelaparan, menjamin ketersediaan dan keamanan pangan dan
memajukan pertanian yang berkelanjutan sebagai sektor yang bertanggung jawab
secara langsung. Tidak hanya memajukan pertanian tetapi juga harus mampu
menjamin keberlanjutannya dalam aspek ketersediaan, distribusi dan
frekuensinya.
Poin 1 dan 2 dari SDGs terdapat keterkaitan dengan poin 3, yaitu diharapkan
dengan terpenuhinya masalah tersebut dapat memastikan hidup yang sehat dan
memajukan kesejahteraan bagi semua orang di semua usia. Semua orang dalam
pengertian tidak ada perbedaan antara kulit hitam dan kulit putih, orang Asia
dan Eropa dan pada semua kelompok usia yaitu tanpa melihat perbedaan hanya
pada kelompok-kelompok produktif saja dan mengabaikan kelompok balita atau
usia lanjut.
Selain itu poin penting dari SDGs yang juga berkaitan dengan aspek
pemenuhan terhadap masalah kemiskinan dan kelaparan adalah upaya
memastikan pola konsumsi dan produksi yang keberlanjutan. Aspek yang
berkaitan dengan peningkatan status gizi menjadi sangat penting disini.
Poin 10 di MDGs sesungguhnya telah disebutkan dengan jelas bahwa salah satu
aspek yang harus diperhatikan dalam pembangunan global yang berkelanjutan
adalah mengurangi ketimpangan di dalam dan di antara negara-negara, termasuk
di dalamnya adalah ketimpangan yang berkaitan dengan pendidikan.
Ketimpangan pendidikan dalam negara tersebut atau ketimpangan yang terjadi
diantara negara-negara yang ada. Artinya bahwa semua negara harus mampu
menjamin rakyatnya untuk memiliki akses pendidikan yang sama dan
negara maju harus mampu member support kepada negara-negara berkembang
untuk dapat berdiri sejajar dengan negara-negara lain yang sudah maju.
Selain poin di atas beberapa poin lain yang dipandang berdimensi dengan upaya
menjaga kelestarian lingkungan hidup adalah poin 13, 14 dan 15. Poin 13
menekankan pada upaya mengambil tindakan segera untuk memerangi
perubahan iklim dan dampaknya, poin 14 mendukung upaya menghemat dan
menjaga kesinambungan dalam menggunakan samudera, laut dan sumber daya
untuk pembangunan yang berkelanjutan dan poin 15 yaitu melindungi,
memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem darat,
mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi desertifikasi, dan
menghentikan degradasi tanah cadangan serta menghentikan hilangnya
keanekaragaman hayati.
c. Pemimpin politik mana yang berubah? SDGs dapat dicapai jika pelaksana
negara mau berubah dan memiliki visi masa depan yang kuat dan konsisten
untuk menjalankannya. Para pemimpin politik yang kuat selalu menentang
status quo dan cinta terhadap perubahan yang mengarah kepada yang lebih baik.
Change, change and change. Perlu pengorbanan dan keinginan untuk menerima
perubahan.
a. Integrasi aspek ekonomi, sosial dan lingkungan adalah esensi dari Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
b. Terdapat persamaan dan perbedaan pada MDGs dan SDGs terutama pada
penekanan pada dimensi atau aspek dari MDGs dan SDGs tersebut.
References
Budiardjo, M. (2002). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Drexhage, J., & Murphy, D. (2010). Sustainable Development: From Brundtland to
Rio 2012, prepared for consideration by the High Level Panel on
Global Sustainability at its first meeting, 19 September 2010 New
York: United Nations Headquarters.
International social science council. (2015). Sustainable Development Goals and
Targets. Paris: International Council for Science (ICSU).
Kementerian Luar Negeri. (2014). Proses Pembahasan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Tingkat Global.
Jakarta: Kementrian Luar Negeri.
Osborn, D., Cutter, A., & Ullah, F. (2015). UNIVERSAL SUSTAINABLE
DEVELOPMENT GOALS: Understanding the Transformational
Challenge for Developed Countries: Stakeholder Forum.
Rahman, A. B. (2012). Menuju Sustainable Development Goals (SDGs) di
Indonesia. Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
UNCG. (2015). Saatnya untuk Aksi Global Jakarta: United Nations Information
Centre.
PROFIL PENULIS