Anda di halaman 1dari 696

PROSIDING

KONGRES DAN SEMINAR NASIONAL

EPIDEMIOLOGI SOSIAL DALAM MENDUKUNG PELAYANAN KESEHATAN PRIMER


Surakarta, 6 - 8 November 2012

FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Sebelas Maret Surakarta

Prosiding
Kongres Nasional dan Seminar Internasional

Epidemiologi Sosial dalam Mendukung Pelayanan Kesehatan Primer


Surakarta, 6 8 November 2012

Penasehat Prof. Dr. Zainal Adnan, dr. Sp.PD.KR. FINASIM Prof. Dr. Charles Suryadi, dr. MPH. Dr. Sabarinah, dr. MSc. Prof. Dr. Nugroho Abikusno, dr. MPH. Syahjahan, MD. MPH. PhD (Perwakilan WHO Wilayah Asia-Pasifik) Penanggung jawab Prof. Bhisma Murti, dr. MSc. MPH. PhD Ketua Penyunting Dr. Diffah Hanim, Dra. MSi. Sekretaris Anik Lestari, dr. MKes.

Penyunting Pelaksanan Fika Khulma Sofia Galih Herlambang, dr. Irwan Nurdiansyah

Penerbit FAKULTAS KEDOKTERAN Universitas Sebelas Maret Surakarta Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57126, Telp /Fax:0271-663485

KATA PENGANTAR

Epidemiologi sosial mengingatkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi dan materi, seperti pengeluaran pemerintah yang rendah untuk pembangunan dan pelayanan sosial, ketimpangan distribusi pendapatan dan sumberdaya lainnya di dalam masyarakat, akses buruk terhadap pelayanan kesehatan, ketiadaan proteksi finansial terhadap penggunaan pelayanan kesehatan, pendidikan yang buruk, pengangguran, kemiskinan, lingkungan tempat tinggal buruk, lingkungan tempat kerja yang buruk, mempengaruhi tingkat kesehatan dan terjadinya penyakit pada populasi. Ketidakadilan kesehatan dan ketidaksetaraan kesehatan antar kelompok-kelompok dalam populasi dibentuk oleh struktur sosial, politik, ekonomi dalam sebuah negara. Dampak dari ketidakadilan struktur politik, sosial, dan ekionomi terhadap ketidakadilan kesehatan diperburuk oleh toxic policy, yakni kebijakan politik, ekonomi, dan sosial yang buruk, baik di tingkat global, nasional, maupun lokal. Dengan merespons ketidakadilan kesehatan populasi, tahun 2008 Komisi Determinan Sosial Kesehatan (CSDH) WHO memberikan rekomendasi kepada semua negara anggota untuk melakukan langkah-langkah intervensi dan advokasi kebijakan sebagai berikut: 1. Memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat sehari-hari 2. Mengatasi ketidakadilan distribusi kekuasaan, uang, dan sumberdaya lainnya 3. Mengukur dan memahami permasalahan, serta menilai dampak langkah intervensi Rekomendasi determinan sosial kesehatan yang terletak di luar sektor kesehatan (beyond the health sector) diharapkan menghasilkan sistem kesehatan yang paripurna dan mampu menutup jurang ketidaksetaraan kesehatan. Di dalam sistem kesehatan yang paripurna, para pemangku kepentingan, baik pembuat kebijakan di lembaga pemerintah, politisi di lembaga legislatif, pelaku swasta, dan masyarakat, diharapkan memahami pentingnya determinan sosial kesehatan, selanjutnya merencanakan dan mengimplementasikan upaya kesehatan yang tepat untuk mencapai keadilan dan kesetaraan kesehatan populasi. Dengan latar belakang tersebut, Jaringan Epidemiologi Nasional (JEN) menyelenggarakan pertemuan ilmiah dalam Kongres ke 14, dengan tema Epidemiologi Sosial Dalam Mendukung Pelayanan Kesehatan Primer. Berbagai informasi dari kajian, studi empiris, dan pengalaman praktis terkait tema tersebut telah dibahas. Hasilnya diharapkan dapat menjadi bukti ilmiah untuk mendukung pelayanan kesehatan primer. Kesimpulan dari pertemuan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan determinan sosial kesehatan dalam mereformasi dan mengembangkan sistem kesehatan di Indonesia yang lebih baik.

Prof. Bhisma Murti, dr. MSc.MPH.PhD Ketua Panitia Konas JEN ke 14

KATA SAMBUTAN KETUA JARINGAN EPIDEMIOLOGI NASIONAL

Kongres Nasional Jaringan Epidemiologi Nasional ke 14 berlangsung di Surakarta pada 6-8 November 2012 dengan mengusung tema Epidemiologi Sosial Dalam Mendukung Pelayanan Kesehatan Primer. Epidemiologi sosial adalah cabang epidemiologi yang mempelajari distribusi sosial dan determinan sosial kesehatan (Berkman dan Kawachi, 2000). Epidemiologi sosial mempelajari pengaruh kondisi-kondisi sosial terhadap kesehatan dan mekanisme pengaruh kondisi sosial terhadap kesehatan. Epidemiologi sosial menegaskan bahwa determinan kesehatan, yakni faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, tidak hanya terletak pada level mikro (molekul/ sel dan level individu), tetapi juga pada level meso (komunitas), dan makro (struktur sosial, kebijakan, dan lingkungan). Faktor-faktor sosial ekonomi, seperti pengeluaran pemerintah yang rendah untuk pembangunan dan pelayanan sosial, ketimpangan distribusi pendapatan, disparitas alokasi sumberdaya lainnya di dalam masyarakat, akses buruk terhadap pelayanan kesehatan, ketiadaan proteksi finansial terhadap penggunaan pelayanan kesehatan, pendidikan yang buruk, pengangguran, kemiskinan, lingkungan tempat tinggal buruk, lingkungan tempat kerja yang buruk, mempengaruhi tingkat kesehatan dan terjadinya penyakit pada populasi (Model sosial kesehatan Dahlgren dan Whitehead, 1991. Pelayanan kesehatan primer menurut definisi WHO tahun 1978, adalah pelayanan kesehatan esensial, yang menggunakan metode dan teknologi yang praktis, memiliki basis ilmiah, dan diterima secara sosial, yang bisa diakses oleh semua orang di dalam komunitas, dengan partisipasi penuh, dengan biaya yang terjangkau, dan diarahkan untuk kemandirian dan penentuan nasib sendiri (WHO & UNICEF, 1978). Sebagai sebuah filosofi, pelayanan kesehatan primer didasarkan pada kebersamaan, keadilan sosial, dan kesetaraan. Jadi secara filosofis, pelayanan kesehatan primer memberdayakan komunitas, memperkuat kemampuan individu-individu dan komunitas untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka yang diperlukan untuk meningkatkan status kesehatan. Sebagai sebuah strategi, pelayanan kesehatan primer memberikan perhatian khusus kepada kekuatan-kekuatan yang dimiliki warga dan masyarakat sebagai suatu aset, serta memanfaatkan peluang-peluang yang ada di dalam masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan menuju status kesehatan masyarakat yang lebih baik. Pelayanan kesehatan primer memaksimalkan keterlibatan masyarakat, memberdayakan individu dan masyarakat, dan melibatkan semua sektor yang relevan, tanpa melakukan duplikasi pelayanan. Rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) hanya merupakan sebuah aspek dari sistem pelayanan kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Pemerintah menyadari pentingnya reorientasi pembangunan kesehatan yang menitik beratkan pelayanan kesehatan primer. Peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) tahun 2012 mengemukakan tema lndonesia Cinta Sehat, dengan subtema lbu Selamat Anak Sehat (Kemenkes, 2012). Indonesia Cinta Sehat adalah refleksi dari sikap dan perilaku setiap warga Indonesia untuk menjadikan kesehatan sebagai dasar tindakan dan motivasi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sambutan peringatan HKN tahun 2012, Menteri Kesehatan mengemukakan bahwa pemerintah berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu dan menitikberatkan upaya vi

promotif dan preventif dengan tetap memperhatikan upaya-upaya kuratif-rehabilitatif. Upaya promotif-preventif harus diutamakan, karena selain akan menurunkan jumlah orang yang sakit, juga berdampak pada efisiensi biaya kesehatan. Pelayanan kesehatan yang komprehensif dan bermutu diharapkan dapat diakses oleh semua warga tanpa kendala pembiayaan. Untuk itu Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) sedang mempersiapkan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di bidang kesehatan untuk mewujudkan amanat cakupan kesehatan semesta (universal health coverage). Kongres Nasional Jaringan Epidemiologi Nasional ke 14 merupakan momentum untuk meningkatkan penggunaan pendekatan epidemiologi sosial dalam pembangunan kesehatan. Pembuat kebijakan, perencana program, politisi, akademisi, praktisi, pelaku bisnis di sektor swasta, maupun masyarakat, diharapkan memberikan perhatian yang lebih besar kepada masalah ketimpangan kondisi sosial, politik, ekonomi, kultural, yang melatari dan mempunyai pengaruh besar kepada produksi kesehatan. Dengan epidemiologi sosial dan pelayanan kesehatan primer, konsep-konsep pemberdayaan individu dan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan, dan pembelajaran transformatif di tingkat kebijakan makro, diintegrasikan untuk menemukan dan menjalankan strategi yang lebih baik dan efektif untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat.

Jakarta, 6 November 2012

Ketua Jaringan Epidemiologi Sosial Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, MSc

vii

1. SESI PELAYANAN KESEHATAN ANAK (Perawatan Neonatal, Gizi, ASI, Pneumonia, TB, HIV & AIDS, dan penyakit infeksi lain)
No 1 Nama *Ari Susanti, **Chatarina U. W Instansi Dinas Kesehatan Provinsi Jatim **Dosen FKM Universitas Airlangga
*

Felix Kasim, Kristin Kartika

BagianIKM FK Universitas Kristen Maranatha

3 4

Dwi Sarwani Sr*), Bambang Hariyadi*) R.H. Kristina, SKM, M.Kes Oktia Woro Kasmini H, Galuh Nita Prameswari Atik Badiah Fariani Syahruldan M.Atoillah Isfandiari Dharma Sutanto, Ririn Rinanti, Airis Meifitri, Anatasyalia,Citra Rasjmi Cara Ikes Dwiastuti Ida Leida M.Thaha Wahiduddin Irma Aryati Octaviani*, Ani Margawati** , Yauminnisa Hapsari**, FirdausWahyudi** Sunarti Sawitri, melly

FKIK Universitas Jendral Soedirman Dinkes Kupang

IlmuKesehatanMasyarakatUn iversitasNegeri Semarang Mahasiswa S3 PP UNS Minat Promosi Kesehatan Departemen Epidemiologi FKM Unair FkTrisakti

6 7 8

JudulAbstrak Analisis Sistem Surveilans Campak Di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Analysis Of Measles Surveillancesystemin East Java Provincial Public Health Service Studi Kualiatif Dalam Kerangka Kajian Awal Mengenai Upaya-Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Malaria Di Wilayah Kerja Puskesmas Waluran Kabupaten Sukabumi Tahun 2011 Model Prediksi Kejadian Tuberkulosis (Tb) Pada Anak(Studi Kasus Di Bp4 Purwokerto) Studi Fauna Nyamuk Anopheles Sp. Pada Daerah Persawahan Di Kelurahan Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang NTT Tahun 2011 Potensi Budaya Lokal Dalam Rangka Usaha Meningkatkan Status Gizi Balita (Dengan Pemanfaatan Ikan Sisa Hasil Sortir Untuk Mp-Asi Balita) Model Promosi Kesehatan Melalui Stimulasi Tumbuh Kembang Anak Autis Analisis PHBS Anak Sekolah dalam Pencegahan Terjadinya Foodborne Diseases Pengaruh Modal Sosial Terhadap Angka Bebas Jentik Di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Tahun 2012 Analisis Perilaku Pada Kejadian TB Paru Resisten di Kota Makassar Tahun 20092010 Hubungan Pengetahuan Dan Perilaku Ibu Buruh Pabrik Tentang Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) Dengan Status Gizi Anak Balita

Keterangan

MAKALAH TERBAIK KELAS 2

9 10

Jurusan Epidemiologi FKM UNHAS, Makassar *Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang ** Dosen Bagian IKM-KP Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Universitas Sebelas Maret Surakarta

11

12

13

Waryana, Totok Mardikanto, Bhisma Murti, Diffah Hanim Cecep Heriana1, Lia Novita Aprilianti2, Dewi Mustikawati1

Hubungan Antara Status Gizi Dengan Tingkat Intelligence Pada Anak Usia Prasekolah Di Taman Kanak-Kanak (TK) Kelas B Wilayah Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah Model Pemberdayaan Pola Asuh sebagai Upaya Pencegahan MasalahGizi Buruk pada Balita di Kabupaten Bantul Propinsi DIY Faktor Risiko Instrinsik Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kec. Kadugede, Kab. Kuningan Jawa Barat, 2011

viii

2. SESI PELAYANAN KESEHATAN IBU (KB, Asuhan, Antenatal, Bersalin, Perawatan Nifas)
No 1 Nama M. Atoillah Isfandiari Instansi FKM UniversitasAirlangga JudulAbstrak Stadium Kanker, Paritas, Dan Usia Penderita Kaitannya Dengan Ketahanan Hidup Lima Tahun Dari Penderita Kanker Serviks Di Rsud Dr. Soetomo Surabaya Survei Baseline Kualitas Kesehatan Ibu Hamil dan Balita di DesaTeluknaga Keterangan

Veli Sungono, David Fairholm, Dwi Savitri Mutalazimah, Budi Mulyono, Bhisma Murti, Saifuddin Azwar Dewi Yurniati *) dan Kodrat Pramudho **)

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan

FK UniversitasGadjah Mada

*) staf Puskesmas Bakauheni **) staf pengajar Program Pasca Sarjana UMITRA Lampung

Faktor Sosial Ekonomi Dan Risiko Gangguan Tiroid Pada Wanita Usia Subur Di Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman Hubungan Karakteristik Wanita Pekerja Seksual (WPS) dengan Kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunnodeficiency Virus (HIV) diwilayah Puskesmas Bakauheni Kecamatan Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012 Bidan Desa Dan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan: Determinan Sosial Dan Geographis Analisis Pencapaian Program KIA Dan KB di Puskesmas (Studi Di Puskesmas Pengalaman Belajar Lapangan II Fakultas Kedokteran UNDIP) Association between social support and common mental disorders (CMDs) in pregnant women withpreeclamyapsia/eclampsia in Sukoharjo District, Central Java Indonesia January 2010-December 2011 Kehamilan Dan Persalinan Dengan Infeksi HIV di RSUP Dr. Kariadi Periode 1 Januari 2006- 31 Desember 2010 MAKALAH TERBAIK KELAS 1

Ansariadi, Tri Vonya BP., Wahiduddin Budi Palarto Suharto, Hari Peni Julianti, Yauminnisa Hapsari Wibowo, Y., Hakimi, M., Marchira, C.R.

Bagian Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin Bagian IKM-KP Fakultas Kedokteran UNDIP

FKIK UNSOED Purwokerto

FirdausWahyudi*, AniMargawati*, Yauminnisa Hapsari*

* Dosen Bagian IKMKP Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

ix

3. SESI PELAYANAN KESEHATAN REMAJA (IMS, HIV & AIDS, Rokok dan Narkoba, Trauma KLL, dll)
Ruang : Dewandaru No Nama 1 Dianita Ratnasari, Ratu Ayu Dewi Sartika 2 Nindya Anggi Sinantara, Arifah Nur Istiqomah, Bony Wiem Lestari 3 Sutjipto & Rossi Sanusi Instansi JudulAbstrak Studi Tentang Perilaku Makan Menyimpang Pada Siswi Sman 6 Jakarta Survei Perilaku Berisiko Pengguna Narkoba Suntik di Puskesmas dengan Program Harm Reduction di Kota Bandung Protective Behaviours of HIV/STI Bridging Populations in Jayapura, Papua, Indonesia Keterangan

Fakultas Kedokteran UNPAD

Woodford Baren S. Joseph, Budi T. Ratag, Jane Pangemanan, Jootje M.L. Umboh, Marsel V. Anto Jane Maureen Pangemanan1, Jeini Ester Nelwan2, Joy Zeekeon3

Center for Health Service Management, Gadjah Mada University School of Medicine, Yogyakarta, Indonesia Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado

Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap tentang Bahaya Merokok dengan Tindakan Merokok Remaja di Pasar Bersehati Kota Manado

Bagian Ilmu Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado 2 Bidang Minat Epidemiologi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado 3 Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Manado Pusat Penelitian KesehatanUniversitas Indonesia

Karakteristik Individu dan Tingkat Pengetahuan Remaja tentang HIV/AIDS pada Siswa SMA Di Kota Manado

Heru Suparno, Diah Setia Utami, Ferdinand Siagian, Amry Ismail dan Luluk Ishardini Nindya Anggi Sinantara, Arifah Nur Istiqomah, Bony Wiem Lestari Prabandari, YS., Istiyani, T., Nugroho, DJ.,Padmawati, RS., & Rahaju, JD.

Efektifitas Layanan Terkait Penanggulangan HIV Dan AIDS Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik (Harm Reduction) Di Indonesia, 2012 Survei Perilaku Berisiko Pengguna Narkoba Suntik di Puskesmas dengan Program Harm Reduction di Kota Bandung

Fakultas Kedokteran UNPAD

Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada ^Quit Tobacco Indonesia, Pusat Bioetika dan Humaniora Kedokteran & Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

Pengetahuan dan Pemberian Informasi tentang Bahaya Rokok pada Siswa SMP dan SMA Di Yogyakarta

Prabandari, YS, Nugroho, DJ,Istiyani, T., Padmawati, RS., &Rahayu, DR^

Bagian Ilmu Kesehata nMasyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Quit Tobacco Indonesia, Pusat Bioetik adan Humaniora Kedokteran & Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Poltekkes Kemenkes Kupang

Paparan Iklan Rokok dan Status Merokok Remaja Pelajar di Yogyakarta

10

1Wanti, Kusmiyati, Irfan, RH. Kristina

Studi Pengetahuan Tentang HIV/AIDS dan Tindakan yang Berisiko terhadap Terjadinya Infeksi HIV/AIDS Pada Pelajar Dan Mahasiswa di Kota Kupang Tahun 2011 Penyediaan Pelayanan Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi Remaja di Puskesmas: Tantangan dan Isu Jakesmas/JamkesdaSebagai Salah SatuBentukNyataKepedulianPemerintah Daerah Terhadap ODHA di Tanah Papua Analisis Situasi Peredaran Ganja di Indonesia, 2008-2011 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Pencegahan HIV/AIDS oleh Pekerja Seks Komersil di Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi Sukarami Kabupaten Solok

11

Augustina Situmorang, Yuly Astuti, Sari Seftiani AgusDwiSetiawan

Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI) Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia

12

13

Purwa Kurnia Sucahya Masrizal

Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia FKM Universitas Andalas Padang

14

15

BUDI LAKSONO*, DONALD STEWART**, SUHARYO***.

Student of PHD Program MedicalScience UNDIP/stfdinkesprovjateng. **Proffesor supervisor, ***promoter research

Management Of HIV Reactive Blood Donors In Transfusion Unit In Indonesia. The Role In Hiv Prevention In Indonesia. Handycaps, Opprotunities And Lesson Learnfrom Semarang. A Need To Scale Up Project To Indonesian Hiv Reactive Management Rendahnya pengetahuan dokter swasta tentang penatalaksanaan TB anak di Kota Jayapura, Papua.

MAKALAH TERBAIK KELAS 3

16

Hasmi, dkk

17

Makiyatul M, Tri S., Sigit P., Mohammad F.

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta

Konseling Testing Inisiasi Petugas (KTIP) Suatu Model Pelayanan Kolaborasi Tb-Hiv Terintegrasi Di Bbkpm Surakarta Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Cakupan Layanan Tes Hiv Prevalensi Perokok RemajaPelajar SMP dan SMA Kota Yogyakarta tahun 2000-2009

18.

Yayi Suryo Prabandari Dan Arika Dewi

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

xi

4. SESI PELAYANAN KESEHATAN KELANJUT USIAAN (Penyakit degeneratif, Gizi, Trauma, dll dan Kesehatan Tradisonal)
Ruang : No Nama 1 Namanda, Ratu Ayu Dewi Sartika Instansi Universitas Indonesia JudulAbstrak Analisis Faktor Risiko Terhadap Dislipidemia Berdasarkan IndikatorRasio Kolesterol Total/K-Hdl Dan Rasio KLdl/K-Hdl PadaPendudukDewasa Rural Kualitas Hidup Penderita Gagal Ginjal Kronik Terminal di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Keterangan MAKALAH TERBAIK KELAS 4

Titiek Hidayati ; Akrom

Herawanto Chatarina U.WAtoillah Isfandiari *Budi T. Ratag,*A.J.M. Rattu,*F.J.O. Pelealu,*Jane M. Pangemanan, *Fina Pelealu. Rosita Purnama Dewi, Henry Setyawan Susanto, Sri Yuliawati

Bagian IKK FKIK UMY; Bagian Farmasi klinik dan Farmakoepidemiologi Biomolekuler, Fakultas Farmasi UAD FK Universitas Tadulako

Peningkatan Peran Penderita Dalam Upaya Penemuan Suspek Tb Paru Di Kota Palu Gambaran Kepuasan dan Alasan Pasien Rawat Jalan Memilih Memanfaatkan Ulang Pelayanan Kesehatan di Puskesmas Bahu Kota Manado Tahun 2010.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang Peminatan Epidemiologi Dan Penyakit Tropik

Faktor Risiko Perilaku Yang Berhubungan Dengan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rsud Kabupaten Karanganyar

Tita Hariyanti

Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Pengetahuan Masyarakat tentang Stroke : Studi Kualitatif di Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur

Fery Agusman M.Mendrofa

Hubungan antara perubahan fungsi fisik dan dukungan keluarga dengan respon psikososial lanjut usia di Kelurahan Kalicari Kodya Semarang Jawa Tengah Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Risiko Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Terhadap Kejadian Kanker Payudara Di RSUP Sanglah Kota Denpasar

Estuning Hanindyta Mediasta1, Suariyani, NLP1, Pasek Kardiwinata, M1, Sutarga, M1 M. FARID HAMZENS

PSKM FKIK-UIN Jakarta)

CULTURAL EPIDEMIOLOGI; Konsep Integratif Antara Antropologi dan Epidemiologi Hubungan antara stress psikologidenganreaksi ENL The Use Of Indonesias Traditional Medicine In Community(Studies In Learning Practice Field I)Medical Faculty Of Diponegoro University

10

Susmiati

mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Universitas Airlangga Lecturer in Departement of Public Health and Preventive Medicine, Jl.dr.Soetomo No.18 Semarang

11

Aras Utami*, Saekhol Bakri**, Hari Peni Julianti***, Dodik Pramono****

xii

12

Widya Hary Cahyati Bili Yunita1, Hartini T.N.S2, Nur Alvira3

Staf Pengajar Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang

Penyakit Metabolik dan Trauma Lutut sebagai Faktor Risiko Osteoartritis Lutut pada Lansia

13

14

Rafael Paun

15

Murdani Abdullah*, Hayatun Nufus Saekhol Bakri, Aras Utami, HariPeniJulianti, DodikPramono

16

University Respati, Hubungan Perilaku Mengkonsumsi Kopi Yogyakarta and Dengan Kejadian Hipertensi FETPUniversity of Gadjah (pada usia 20-40 tahun) Di Puskesmas Tena Teke Mada Kabupaten Sumba Barat Daya, Prop. Nusa Tenggara Timur Mahasiswa Program Doktor Determinan Sosial dan Kebijakan Ilmu Kesehatan Pencegahan Hipertensi PascasarjanaUniversitas Airlangga, Surabaya Divisi Ganstroenterologi, Hospital-based Survey on Knowledge Departemen Interna, and Attitude toward Colorectal Cancer FKUniversitas Indonesia Screening among Indonesian Population Dosen Ilmu kesehatan Pengobatan Tradisional Indonesia Pada masyarakat-kedokteran Masyarakat(Studi Di Daerah Praktek pencegahan FK Universitas Belajar Lapangan I /Pbl Ifakultas Diponegoro Kedokteran Universitas Diponegoro)

xiii

5.
No 1

SESI PELAYANAN KESEHATAN BENCANA DAN KEGAWATDARURATAN Instansi Bidang Kajian Kesehatan Lingkungan, Pusat Studi Kesehatan Poltekkes Kemenkes Kupang JurusanKesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Kupang Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia JudulAbstrak Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat tentang Malaria di Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tanggera Timur Keterangan

Nama Karolus Ngambut Oktofianus Sila

Sahridayanti,Ririn Arminsih, Ummi Kalsum

Djati Anggun Staf Balai Penelitian dan Paramita, Pengembangan Pengendalian Rahayujati Baning, Penyakit Bersumber Binatang Raharto Sri Banjarnegara, Depkes RI Ratna Muliawati, S.KM Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kendal Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI

Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Karakteristik Individu dengan Kejadian Penyakit TB Paru BTA (+) di Wilayah Puskesmas Kota Jambi, Propinsi Jambi Tahun 2011 Skrining Penyakit Paru Obstruktif Kronis pada pekerja Tobong Gamping Sedyo Rukun Desa Gari dan Desa Gelung Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Kontaminasi Bakteri Koliform pada Jus Buah di Kampus UNDIP Tembalang 2011

Sri Sunarti Purwaningsih Ade Latifa Fitranita

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Dasar oleh Penduduk Migran Miskin di Perkotaan: Peluang dan Kendala (Kasus Kota Bandung dan Makassar)

Widayatun, Zainal Fatoni

Devi Octaviana, Sri Nurlaela, Siti Harwant* Dadun1, Irwanto2, Rita Damayanti3

Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI Staff pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed Universitas Indonesia.

Peran Puskesmas Dalam Penanggulangan Bencana: Kasus Gempa Bantul 2006

Investigation Of After Outbreak of Malaria In Panusupan Village, Rembang Sub District, Purbalingga 2009 Tantangan Aspek Sosial Ekonomi dalam Eradikasi Penyakit Kusta di Indonesia: Studi Eksplorasi Aspek Sosial Ekonomi Pelayanan Pengobatan Penyakit Kusta di Cirebon 2011 Faktor Risiko Penularan Tuberkulosis Pada Kontak Serumah Penderita Tb Paru Bta + Di Kota Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010 Hubungan Perilaku Kesehatan Lingkungan Dengan Kejadian Malaria Pada Masyarakat Perbatasan Di Puskesmas Aji Kuning Kecamatan Sebatik Barat Kabupaten Nunukan Tahun 2010 Epidemiology Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Antraks di Kab. Boyolali, Prop. Jawa Tengah Tahun 2008-2011. MAKALAH TERBAIK KELAS 5

*Heri Sutowo, **Chatarina U.W

FKM Universita sAirlangga Surabaya

10

Siswanto, Risva,

11

Nasir Ahmad1, Nur Alvira2

University Respati, Yogyakarta and FETPUniversity of Gadjah Mada

xiv

12

Aris Wiji Utami, **Chatarina U.W

Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya ** Dosen FKM Universitas Airlangga Surabaya
*

Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penularan Difteri Di Kota Blitar Propinsi Jawa Timur

13

14

Noor Alis Setiyadi*, Arif Widodo*, Yuli Kusumawati*, Sabarinah B. Prasetyo Rahmat Bakhtiar*, Romi Hendra**

15 Bahrul Ilmi

Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, ** Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia *Bagian IKM/KK FakultasKedokteranUniversit asMulawarmanSamarinda ** Bagian P2M Dinas Kesehatan Kota Samarinda Mahasiswa Program DoktorIlmuKesehatanUniver sitasAirlangga

Prototip Aplikasi Membangun Basis Data Tuberkulosis

Analisa Keteraturan Berobat dan Perubahan Tingkat Kecacatan pada Penderita Kusta di Kota SamarindaTahun 2009 2011 Determinan Sosial Tuberkulosis (Sebuah Tinjauan dalam Penanganan Tuberkulosis)

xv

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL KATA PENGANTAR KATA SAMBUTAN KETUA JEN SESI MAKALAH DAFTAR ISI 1. ANALISIS SISTEM SURVEILANS PROVINSI JAWA TIMUR Ari Susanti, Chatarina U. W CAMPAK DI DINAS KESEHATAN i v vi viii xvi 1

2. STUDI KUALIATIF DALAM KERANGKA KAJIAN AWAL MENGENAI UPAYAUPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WALURAN KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Felix Kasim, Kristin Kartika 3. ARTIKEL ILMIAH MODEL PREDIKSI KEJADIAN TUBERKULOSIS (TB) PADA ANAK (Studi Kasus di BP4 Purwokerto) Dwi Sarwani SR, Bambang Hariyadi 4. MODEL PROMOSI KESEHATAN MELALUI STIMULASI TUMBUH KEMBANG ANAK AUTIS Atik Badiah 5. STUDI FAUNA NYAMUK ANOPHELES sp. PADA DAERAH PERSAWAHAN DI KELURAHAN OESAO, KECAMATAN KUPANG TIMUR, KABUPATEN KUPANG PROPINSI NTT TAHUN 2011 R.H. Kristina, SKM, M.Kes, Yuanita Rogaleli, J. Pitreyadi Sadukh 6. POTENSI BUDAYA LOKAL DALAM RANGKA USAHA MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA (Dengan Pemanfaatan Ikan Sisa Hasil Sortir untuk MP-ASI Balita) Oktia Woro Kasmini H, Galuh Nita Prameswari 7. ANALISIS PHBS ANAKSEKOLAH FOODBORNE DISEASES FarianiSyahrul, M. Atoillah Isfandiari DALAMPENCEGAHANTERJADINYA

16

28

38

49

52

66

8. PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP ANGKA BEBAS JENTIK DI KECAMATAN MAMPANG PRAPATAN, JAKARTA SELATAN TAHUN 2012 Dharma Sutanto, Ririn Rinanti, Airis Meifitri 9. ANALISIS PERILAKU PADA KEJADIAN TB PARU RESISTEN DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2009-2010 Ikes Dwiastuti, Ida Leida M.Thaha, Wahiduddin 10. HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU IBU BURUH PABRIK TENTANG KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA Irma Aryati Octaviani, Ani Margawati, Yauminnisa Hapsari, Firdaus Wahyudi

68

74

75

xvi

11. HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN TINGKAT INTELLIGENCE PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KELAS B WILAYAH PIMPINAN CABANG AISYIYAH (PCA) BLIMBING SUKOHARJO JAWA TENGAH Sunarti, Sawitri, Melly 12. MODEL PEMBERDAYAAN POLA ASUH UNTUK MENANGGULANGI MASALAH GIZI BURUK PADA BALITA DI KABUPATEN BANTUL DAERAH PASCA GEMPA Waryana, Totok Mardikanto, Bhisma Murti, Diffah Hanim 13. FAKTOR RISIKO INSTRINSIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI KEC. KADUGEDE, KAB. KUNINGAN JAWA BARAT, 2011 Cecep Heriana, Lia Novita Aprilianti, Dewi Mustikawati 14. STADIUM KANKER, PARITAS, DAN USIA, KAITANNYA DENGAN KELANGSUNGAN HIDUP LIMA TAHUN PADA PASIEN KANKER SERVIKS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA M. Atoillah Isfandiari, KharinaAulia 15. SURVEI BASELINE KUALITAS KESEHATAN IBU HAMIL DAN BALITA DI DESA TELUKNAGA Veli Sungono, David Fairholm, Dwi Savitri 16. FAKTOR SOSIAL EKONOMI DAN RISIKO GANGGUAN TIROID PADA WANITA USIA SUBUR DI KECAMATAN PRAMBANAN KABUPATEN SLEMAN Mutalazimah, Budi Mulyono, Bhisma Murti, Saifuddin Azwar 17. HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DAN HUMAN IMMUNNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DIWILAYAH PUSKESMAS BAKAUHENI KECAMATAN BAKAUHENI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN TAHUN 2012 Dewi Yurniati, Kodrat Pramudho 18. BIDAN DAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN: DETERMINAN SOSIAL DAN GEOGRAPHIS Ansariadi, Tri Vonya BP., Wahiduddin 19. ANALISIS PENCAPAIAN PROGRAM KIA dan KB DI PUSKESMAS (Studi di Puskesmas Pengalaman Belajar Lapangan II Fakultas Kedokteran UNDIP) Budi Palarto Suharto, Hari Peni Julianti, Yauminnisa Hapsari 20. ASSOCIATION BETWEEN SOCIAL SUPPORT AND COMMON MENTAL DISORDERS (CMDS) IN PREGNANT WOMEN WITH PREECLAMPSIA/ ECLAMPSIA IN SUKOHARJO DISTRICT, CENTRAL JAVA INDONESIA JANUARY 2010-DECEMBER 2011 Wibowo, Y., Hakimi, M., Marchira, C.R.3 21. KEHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN INFEKSI HIV DI RSUP DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI 2006- 31 DESEMBER 2010 Firdaus Wahyudi, Ani Margawati, Yauminnisa Hapsari

77

86

95

104

105

116

126

127

139

141

142

xvii

22. STUDI TENTANG PERILAKU MAKAN MENYIMPANG PADA SISWI SMAN 6 JAKARTA Dianita Ratnasari, Ratu Ayu Dewi Sartika 23. SURVEI PERILAKU BERISIKO PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DI PUSKESMAS DENGAN PROGRAM HARM REDUCTION DI KOTA BANDUNG Nindya Anggi Sinantara, Arifah Nur Istiqomah, Bony Wiem Lestari 24. PROTECTIVE BEHAVIOURS OF HIV/STI BRIDGING POPULATIONS IN JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA Sutjipto and Rossi Sanusi 25. HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG BAHAYA MEROKOK DENGAN TINDAKANMEROKOK REMAJADI PASAR BERSEHATI KOTA MANADO Woodford Baren S. Joseph, Budi T. Ratag, Jane Pangemanan, Jootje M. L. Umboh, Marsel V. Anto 26. KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV/AIDS PADA SISWA SMA DI KOTA MANADO Jane Maureen Pangemanan, Jeini Ester Nelwan, Joy Zeekeon 27. EFEKTIFITAS LAYANAN TERKAIT PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS MELALUI PENGURANGAN DAMPAK BURUK PENGGUNAAN NAPZA SUNTIK (HARM REDUCTION) DI INDONESIA, 2012 Heru Suparno, Diah Setia Utami, Ferdinand Siagian, Amry Ismail dan Luluk Ishardini 28. PENGETAHUAN DAN PEMBERIAN INFORMASI TENTANG BAHAYA ROKOK PADA SISWA SMP DAN SMA DI YOGYAKARTA Prabandari, YS., Istiyani, T., Nugroho, DJ.,Padmawati, RS., & Rahaju, JD. 29. PAPARAN IKLAN ROKOK DAN STATUS MEROKOK REMAJA PELAJAR DI YOGYAKARTA Prabandari, YS., Nugroho, DJ., Istiyani, T., Padmawati, RS., & Rahayu, DR. 30. STUDI PENGETAHUAN TENTANG HIV/AIDS DAN TINDAKAN YANG BERISIKO TERHADAP TERJADINYA INFEKSI HIV/AIDS PADA PELAJAR DAN MAHASISWA DI KOTA KUPANG TAHUN 2011 Wanti, Kusmiyati, Irfan, RH. Kristina 31. PENYEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL DAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI PUSKESMAS: TANTANGAN DAN ISU Augustina Situmorang, Yuly Astuti, Sari Seftiani 32. JAKESMAS/JAMKESDA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK NYATA KEPEDULIAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP ODHA DI TANAH PAPUA Agus Dwi Setiawan, S.Sos, MKM 33. ANALISIS SITUASI PEREDARAN GANJA DI INDONESIA, 2008-2011 Purwa Kurnia Sucahya

144

145

155

157

158

159

161

172

183

195

202

204

xviii

34. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN HIV/AIDS OLEH PEKERJA SEKS KOMERSIL DI PANTI SOSIAL KARYA WANITA ANDAM DEWI SUKARAMI KABUPATEN SOLOK Masrizal 35. MANAGEMENT OF HIV REACTIVE BLOOD DONORS IN TRANSFUSION UNIT IN INDONESIA. THE ROLE IN HIV PREVENTION IN INDONESIA. HANDYCAPS, OPPROTUNITIES AND LESSON LEARN FROM SEMARANG. A NEED TO SCALE UP PROJECT TO INDONESIAN HIV REACTIVE MANAGEMENT Budi Laksono, Donald Stewart, Suharyo 36. RENDAHNYA PENGETAHUAN DOKTER SWASTA PENATALAKSANAAN TB ANAK DI KOTA JAYAPURA, PAPUA Hasmi, dkk TENTANG

205

206

234

37. KONSELING TESTING INISIASI PETUGAS (KTIP) SUATU MODEL PELAYANAN KOLABORASI TB-HIV TERINTEGRASI di BBKPM SURAKARTA SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN CAKUPAN LAYANAN TES HIV Makiyatul M, Tri S., Sigit P., Mohammad F. 38. PREVALENSI PEROKOK REMAJA PELAJAR SMP DAN SMA KOTA YOGYAKARTA TAHUN2000-2009 Prabandari, YS dan Dewi, A 39. ANALISIS FAKTOR RISIKO TERHADAP DISLIPIDEMIA BERDASARKAN INDIKATOR RASIO KOLESTEROL TOTAL/K-HDL DAN RASIO K-LDL/K-HDL PADA PENDUDUK DEWASA RURAL Namanda, Ratu Ayu Dewi Sartika 40. KUALITAS HIDUP PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK TERMINAL DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Titiek Hidayati; Akrom 41. PENINGKATAN PERAN PENDERITA DALAM UPAYA PENEMUAN SUSPEK TB PARU DI KOTA PALU Herawanto, Chatarina U.W, Atoillah Isfandiari 42. GAMBARAN KEPUASAN DAN ALASAN PASIEN RAWAT JALAN MEMILIH MEMANFAATKAN ULANG PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS BAHU KOTA MANADO TAHUN 2010 Fina Pelealu, A.J.M. Rattu, F.J.O. Pelealu, Budi T. Ratag, Jane M. Pangemanan. 43. AKTOR RISIKO PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR Rosita Purnama Dewi, Henry Setyawan Susanto, Sri Yuliawati 44. PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG STROKE : STUDI KUALITATIF DI KECAMATAN KEPANJEN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR Tita Hariyanti

235

242

253

254

264

275

276

277

xix

45. HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN FUNGSI FISIK DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN RESPON PSIKOSOSIAL LANJUT USIA DI KELURAHAN KALICARI KODYA SEMARANG JAWA TENGAH Fery Agusman M.Mendrofa 46. RISIKO PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER PAYUDARA DI RSUP SANGLAH KOTA DENPASAR Estuning Hanindyta Mediasta, Suariyani, NLP, Pasek Kardiwinata M, Sutarga M 47. CULTURAL EPIDEMIOLOGI; Konsep Integratif Antara Antropologi dan Epidemiologi M. Farid Hamzens 48. HUBUNGAN ANTARA STRESS PSIKOLOGI DENGAN REAKSI ENL Susmiati 49. THE USE OF INDONESIAS TRADITIONAL MEDICINE IN COMMUNITY (STUDIES IN LEARNING PRACTICE FIELD I) MEDICAL FACULTY OF DIPONEGORO UNIVERSITY Aras Utami, Saekhol Bakri, Hari Peni Julianti, Dodik Pramono 50. PENYAKIT METABOLIK DAN TRAUMA LUTUT SEBAGAI FAKTOR RISIKO OSTEOARTRITIS LUTUT PADA LANSIA Widya Hary Cahyati 51. HUBUNGAN PERILAKU MENGKONSUMSI KOPI DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI (PADA USIA 20-40 TAHUN) DI PUSKESMAS TENA TEKE KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA, PROP. NUSA TENGGARA TIMUR Yunita Bili, Theresia Ninuk Sri Hartini, Nur Alvira Pasca Wati 52. DETERMINAN SOSIAL DAN KEBIJAKAN PENCEGAHAN HIPERTENSI DETERMINANTS OF SOCIAL POLICY AND PREVENTION OF HYPERTENSION Rafael Paun 53. HOSPITAL-BASED SURVEY ON KNOWLEDGE AND ATTITUDE TOWARD COLORECTAL CANCER SCREENING AMONG INDONESIAN POPULATION Murdani Abdullah, Ahmad Fauzi, Ari Fachrial Syam, Dadang Makmun, Abdul Aziz Rani 54. PENGOBATAN TRADISIONAL INDONESIA PADA MASYARAKAT (STUDI DI DAERAH PRAKTEK BELAJAR LAPANGAN I /PBL I FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO) Saekhol Bakri, Aras Utami, Hari Peni Julianti, Dodik Pramono 55. FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU MASYARAKAT TENTANG MALARIA DI KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TANGGERA TIMUR Karolus Ngambut, Oktofianus Sila1 56. HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TB PARU BTA (+) DI WILAYAH PUSKESMAS KOTA JAMBI, PROPINSI JAMBI TAHUN 2011 Sahridayanti, Ririn Arminsih, Ummi Kalsum

278

279

287

316

322

324

332

341

349

362

364

379

xx

57. SKRINING PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA PEKERJA TOBONG GAMPING SEDYO RUKUN DESA GARI DAN DESA GELUNG KECAMATAN WONOSARI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Djati Anggun Paramita, Rahayujati Baning, Raharto Sri 58. KONTAMINASI BAKTERI KOLIFORM PADA JUS BUAH DI KAMPUS UNDIP TEMBALANG 2011 Ratna Muliawati, S.KM 59. PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR OLEH PENDUDUK MIGRAN MISKIN DI PERKOTAAN: PELUANG DAN KENDALA (KASUS KOTA BANDUNG DAN MAKASSAR) Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita 60. PERAN PUSKESMAS DALAM PENANGGULANGAN BENCANA: KASUS GEMPA BANTUL 2006 Widayatun, Zainal Fatoni 61. INVESTIGATION OF AFTER OUTBREAK OF MALARIA IN PANUSUPAN VILLAGE, REMBANG SUB DISTRICT, PURBALINGGA 2009 Devi Octaviana, Sri Nurlaela, Siti Harwanti 62. TANTANGAN ASPEK SOSIAL EKONOMI DALAM ERADIKASI PENYAKIT KUSTA DI INDONESIA : STUDI EKSPLORASI ASPEK SOSIAL EKONOMI PELAYANAN PENGOBATAN PENYAKIT KUSTA DI CIREBON 2011 Dadun, Irwanto, Rita Damayanti 63. FAKTOR RISIKO PENULARAN TUBERKULOSIS PADA KONTAK SERUMAH PENDERITA TB PARU BTA + DI KOTA MATARAM PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010 Heri Sutowo, Chatarina U.W 64. HUBUNGAN PERILAKU KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA PADA MASYARAKAT PERBATASAN DI PUSKESMAS AJI KUNING KECAMATAN SEBATIK BARAT KABUPATEN NUNUKAN TAHUN 2010 Siswanto, Risva, Nurlinda 65. EPIDEMIOLOGY FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANTRAKS DI KAB. BOYOLALI, PROP. JAWA TENGAH TAHUN 2008-2011 Nasir Ahmad, Nur Alvira 66. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PENULARAN DIFTERI DI KOTA BLITAR PROPINSI JAWA TIMUR Aris Wiji Utami, Chatarina UW 67. PROTOTIP APLIKASI MEMBANGUN BASIS DATA TUBERKULOSIS Noor Alis Setiyadi, Arif Widodo, Yuli Kusumawati, Sabarinah B. Prasetyo

380

381

382

383

395

407

408

412

417

426

436

xxi

68. ANALISA KETERATURAN BEROBAT DAN PERUBAHAN TINGKAT KECACATAN PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA SAMARINDA TAHUN 2009 2011 Rahmat Bakhtiar, Romi Hendra 69. DETERMINAN SOSIAL TUBERKULOSIS (Sebuah Tinjauan dalam Penanganan Tuberkulosis) Bahrul Ilmi 70. PENGAJARAN EPIDEMIOLOGI SOSIALDAN SOCIAL DETERMINANT OF DISEASE DI PROGRAM MPH UNIVERSITAS GADJAH MADA Mubasysyir Hasanbasri 71. SURVEILANS ASPEK SOSIAL GIZI BURUK DI PULAU-PULAU KECIL DAN TERLUAR WILAYAH NUSA TENGARA TIMUR (Studi Kasus : Pulau Semau dan Pulau Kera, Kab. Kupang) Pius Weraman 72. ACTIVE CASE TREATMENT UPAYA MENEKAN PENGOBATAN TB PARU DI KABUPATEN JEMBER Dyah Kusworini KEGAGALAN

437

444

454

460

470

73. POLA PENGGALIAN RIWAYAT DAN EDUKASI GAYA HIDUP PADA PASIEN BEROBAT DI PUSKESMAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA: SUDAH SIAPKAH DOKTER PUSKESMAS MENGHADAPI PENINGKATAN PREVALENSI PENYAKIT TERKAIT GAYA HIDUP? Prabandari YS, Dewi A. 74. HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN TINGKAT INTELLIGENCE PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KELAS B WILAYAH PIMPINAN CABANG AISYIYAH (PCA) BLIMBING SUKOHARJO JAWA TENGAH Sunarti, Sawitri, melly 75. PENGARUH FAKTOR RISIKO TERHADAP GANGGUAN MUSKULOSKLELETAL PADA PEKERJA WANITA BATIK TULIS DI KABUPATEN SRAGEN Sumardiyono, Ari Probandari, Diffah Hanim, Selfi Handayani 74. PROMOSI KESEHATAN BAGI PEDAGANG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG / HIK DENGAN KEMITRAAN ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN UNTUK MENCIPTAKAN KULINER KHAS SOLO YANG SEHAT DAN AMAN DIKONSUMSI Anik lestari 75. SIMBOLISASI AGAMA, KEYAKINAN TENTANG KAUSA AIDS, DAN SIKAP TERHADAP UPAYA PENGENDALIAN HIV/AIDS PADA SISWA SLTA Yeti Nurhayati, Bhisma Murti, Hari Wujos KUMPULAN MAKALAH SEMINAR KUMPULAN POSTER SEMINAR

479

489

498

501

509

514 653

xxii

ANALISIS SISTEM SURVEILANS CAMPAK DI DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR ANALYSIS OF MEASLES SURVEILLANCESYSTEMIN EAST JAVA PROVINCIAL PUBLIC HEALTH SERVICE
*

Ari Susanti, **Chatarina U. W MSIK-FKM Universitas Airlangga**Dosen FKM Universitas Airlangga ABSTRACT

Surveillance of measles in the Provincial Pubilc Health Service aims to monitor the incidence of measles cases in East Java. In practice of course there are some problems. To find out the various problems encountered in the implementation of measles surveillance, and find out why it is necessary to analyze the system. With this analysis are expected to know the various problems in the surveillance of measles and determine the cause for the improvement of measles surveillance system in the East Java Provincial Public Health Service. Researchis done byin-depth interviewsanddistributingquestionnairesto all staffmeaslessurveillance. From the analysis reveals that there ara some problems in each component of surveilans sistem. In Input component the problems are unavailability offinancial resourcesfor the operation ofCBMS, so not allareasdoCBMS; data validityis less, sometimesthe number ofcases of measlesbetweenC1, LB1andSTPare not the same. In process component the problems are Measlesoutbreakdatafromthe formC1, C2, C3, which wascollected from districtnot performedregularlyanalyzes; have notdonethe analysisof riskfactorsbased onnutritionalstatus, vitaminAdeficiency, and environmental factors. Feedbackinformallyreportto thedistrict onlyquake once a year. And in output component the problems are report accuracy under the target (9,4%); There are stillmany areasthatare particularly vulnerablepouchmeaslesoutbreaks. In 2010and 2011there are 5districtsoutbreak ofmeaslesmorethan once.Recommendation which obtained from the analysis are Submitted a budgetfor the implementation ofCBMSdistrictsso thatalldistricts haveCBMS, Socialize the importance ofthe accuracy ofthe monthly reportto the officialdistrictand socialize the purposesand benefitsofCBMS, Doingfeed backin writingorformallyso thatthedistrictfeel cared forandit canmotivateofficersto submitreports on time. Key words: input, process, output in Measles Surveillance System

A. Pendahuluan Sistem surveilans adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap penyakit dan masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang memperbesar risiko terjadinya peningkatan dan penularan penyakit serta masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melalui tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan (Depkes, 2003).Salah satu ruang lingkup surveilans 1

epidemiologi adalah surveilans epidemiologi penyakit menular dimana salah satu prioritas sasaran penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi adalah surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Campak adalah penyakit yang disebabkan virus Myxovirus viridae measles, disebarkan melalui droplet bersin atau batuk dari penderita. Gejala awal penyakit adalah demam, bercak kemerahan, batuk-pilek, mata merah (conjunctivitis). Selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke tubuh dan tangan serta kaki (Depkes RI, 2005). Penyakit Campak sering menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) dan dampak paling parah adalah bisa menyebabkan kematian. Kematian akibat campak pada umumnya disebabkan kasus komplikasi seperti meningitis. Pada tahun 2010 di Jawa Timur terdapat 1.998 kasus campak. Ada 33 Kabupaten/Kota di Jawa Timur yang melaporkan kasus campak dengan kasus tertinggi di Kota Surabaya (442 kasus) dan Bangkalan (206 kasus). Sementara cakupan imunisasi campak di Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 97,52% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010).

300 250 200 Kasus 150 100 50 Jan Feb Mar 2010 209 239 171 2011 162 151 146 2012 129 89 130 0 Apr Mei Jun Jul Aug Sept Okt Nop Des 220 220 188 134 144 87 91 147 138 169 173 121 62 96 52 18 0 71 107 48

Gambar 1. Trend Kasus Campak Provinsi Jawa Timur Jan 2010- Mei 2012 Sumber : Seksi P4MK Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010-2012 Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa jumlah kasus campak tahun 2010 lebih tinggi dibanding kasus campak tahun 2011 dengan total masing-masing 1998 kasus

dan 1221 kasus. Pada tahun 2010 kasus tertinggi terjadi pada bulan februari dengan total 239 kasus dan pada tahun 2011 kasus tertinggi terjadi pada bulan mei sebesar 173 kasus. Sedangkan untuk kasus terendah pada tahun 2010 terjadi pada bulan September dan tahun 2011 terjadi pada bulan November. Untuk periode Januari-Mei 2012 kasus tertinggi terjadi pada bulan Maret dan terendah terjadi pada bulan Mei. Meskipun kasus campak sudah mulai menurunnamun masih terdapat daerah-daerah kantong campak. Pada tahun 2010 dan 2011 terdapat 5 kab/kota yang terjadi KLB campak lebih dari 1 kali. Surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi bertujuan untuk terus memantau kejadian kasus campak di Wilayah Jawa Timur. Dalam pelaksanaannya tentu terdapat beberapa masalah yang dihadapi. Untuk mengetahui berbagai masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan surveilans campak dan mengetahui penyebabnya maka perlu dilakukan analisis sistem. Pendekatan Sistem adalah upaya untuk melakukan pemecahan masalah yang dilakukan dengan melihat masalah yang ada secara menyeluruh dan melakukan analisis secara sistem. Dengan analisis ini diharapkan dapat diketahui berbagai masalah dalam surveilans campak dan menentukan penyebabnya guna perbaikan sistem surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi jawa Timur.

B. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2002). Jadi, penelitian ini mendeskripsikan sistem surveilans Campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dimana penelitian dilakukan pada Bulan Agustus 2012. Pengumpulan data menggunakan tehnik wawancara dengan menggunakan kuisoner pada seluruh staf surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

INPUT
Kebutuhan akan data/Informasi Jenis Data (Var) Sumber Data MAN (Brainware) Kuantitas/Kualifi kasi, Tugas

PROSES

OUTPUT

Pengumpulan Data

INFORMASI
Sesuai Kebutuhan Relevan Tepat Waktu Akurat

MONEY
Alokasi khusus Kecukupan MATERIAL Hardware : form, sarana/ prasarana Software METHOD Prosedur/tata kerja

Pengolahan dan Analisis Data

MASALAH ???
Kemampuan pengolahan/ analisis data Sarana/prasarana pengolahan/analisis - Hardware - Software Kelengkapan Data Ketepatan pengumpulan data

MASALAH ???

Proses Pengolahan dan Analisis Data

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

C. Hasil dan Pembahsan Secara struktur unit yang melaksanakan kegiatan surveilans campak adalah seksi pencegahan pengamatan penyakit dan penanggulangan masalah kesehatan (P4MK) bidang pengendalian penyakit dan masalah kesehatan (P4MK) Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Gambaran Sistem Surveilans Campak berdasarkan Pendekatan Sistem (Input, Proses dan output) Gambaran Input Sistem Surveilans Campak Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk dapat berfungsinya suatu sistem. Input dalam suatu sistem terdiri dari kebutuhan akan data, Man, Money, Material, dan Method,.

a. Jenis Data Jenis data yang ada pada surveilans campak dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data rutin dan data KLB.Data ini diperoleh dari Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Rumah sakit di Jawa Timur. Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Surveilans Campak Dinas Kesehatan Provinsi jawa Timur Tahun 2012 Jenis Data Sumber data Laporan CBMS-C1 Dinkes Kab/kota Laporan integrasi (AFP, campak, TN) Dinkes Kab/kota Laporan rekapitulasi KLB Campak Dinkes Kab/kota Laporan kelengkapan laporan RS dan Puskesmas RS dan Puskesmas Laporan hasil pemeriksaan campak BBLK Surabaya Absensi C1 non KLB Dinkes Kab/kota Jumlah tenaga dalam seksi P4MK sebesar 39 orang yang tersebar dalam 3 program besar yaitu program surveilans, imunisasi dan bencana. Untuk surveilans campak sendiri terdiri dari 5 orang dengan tugas yang berbeda, yaitu: 2 orang surveilans officer dengan pendidikan S2 1 orang program pengelola surveilans PD31dengan pendidikan S1 2 orang tenaga administrasi dengan pendidikan SLTA

Tabel 2. Tenaga Surveilans Campak Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Tenaga Dinas Kesehatan Prov. Jatim 2 orang tenaga epidemilog ahli S2 1 orang tenaga epidemilog ahli (S1) 2 orang tenaga administrasi (SMA) Tidak ada tenaga dokter umum Indikator (kepmenkes no.1116 th 2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemilogi kesehatan) 1 tenaga epidemiolog ahli (S2) 2 tenaga epidemiolog ahli (S1) 2 tenaga epidemilog terampil 1 tenaga dokter umum Hasil Memenuhi syarat Tidak memenuhi Tidak memenuhi Tidak memenuhi

Berdasarkan indikator yang ada maka dapat dikatakan bahwa untuk tenaga surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jatim masih kurang memenuhi syarat untuk jumlah tenaga S1, dokter umum dan tenaga epidemiolog terampil.

b.

Sumber dana ( Money ) Sumber dana untuk kegiatan surveilans campak ini terbatas sekali, untuk kegiatan

sosialisasi atau pelatihan biasanya digabung dengan kegiatan surveilans yang lain seperti AFP yang mendapat dana dari WHO. Untuk di tingkat kabupaten juga seperti itu sumber dananya sangat minim sekali tidak ada dana untuk pengiriman spesimen ke laboratorium sehingga masih ada beberapa kab/kota yang belum melakukan CBMS.

c.

Bahan( Material ) Bahan atau format pelaporan yang digunakan dalam kegiatan surveilans campak

adalah sama seperti dalam petunjuk teknis surveilans campak tahun 2008, diantaranya yaitu: format C1 laporan kasus campak, format C2 standart informasi minimal faktor risiko pada penyelidikan KLB campak, format C-KLB-K laporan rekapitulasi kasus KLB campak kab/kota, format C-KLB-P laporan rekapitulasi kasus KLB campak provinsi, format C3 rekapitilasi data hasil penyelidikan KLB campak, format integrasi K laporan surveilans integrasi AFP dan PD3I kab/kota, format integrasi P laporan surveilans integrasi AFP dan PD3I provinsi, serta format absensi P kelengkapan dan ketepatan laporan surveilans integrasi AFP dan PD3I Provinsi.

d.

Sarana/ Alat

Tabel 3. Perbandingan jumlah sarana dan indikatornya pada Surveilans Campak Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Sarana Fasilitas Dinas Kesehatan Prov Jatim Indikator Hasil 1 paket jaringan elektromedia 1 paket jaringan elektromedia Memenuhi syarat 1 paket alat komunikasi (telepon, 1 paket alat komunikasi (telepon, Memenuhi faksimili) faksimili, syarat SSB dan telekomunikasi lainnya) 1 paket kepustakaan 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans campak dan program aplikasi komputer 1 paket kepustakaan 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer . 1 roda empat, 1 roda dua Memenuhi syarat Memenuhi syarat

. 2 roda empat, 1 roda dua

Memenuhi syarat

e.

Metode( Methode ) Metode yang digunakan dalam surveilans campak sesuai dengan petunjuk teknis

surveilans campak tahun 2008. Data kasus campak yang sudah terkumpul dari kab/kota selanjutnya akan dilaporkan oleh petugas surveilans campak provinsi ke surveilans pusat melalui email ke afpdata@yahoo.com setiap bulan yang dapat digunakan sebagi alat bantu pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan pemberantasan campak.

Gambaran Proses Sistem Surveilans Campak Proses dalam sistem surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi jawa Timur terdiri dari pengumpulan data, pengolahan data, analisis dan interpretasi data, umpan balik dan diseminasi informasi. a. Pengumpulan Data Data surveilans campak diperoleh dari laporan rutin kabupaten/kota yang ada di Jawa timur. Sedangkan kab/kota data tersebut diperoleh dari laporan dari Puskesmas dan rumah sakit. Laporan rutin surveilans campak Dinas kesehatan provinsi Jawa Timur berasal dari 38 kab/kota yang terdiri dari 949 puskesmas dan 154 rumah sakit yang harus dikumpulkan setiap bulan. Data yang dikumpulkan antara lain kasus campak rutin C1, hasil pemeriksaan laboratorium dan apabila terjadi KLB wajib melaporkan format C1, C2, C3 dan laporan rekapitulasi KLB campak kab/kota (C-KLB-K). Adapun masalah dalam pengumpulan data adalah ketepatan laporan yang sangat rendah. Pada tahun 2010 ketepatan laporannya sebesar 27% sedangkan pada tahun 2011 ketepatan laporannya sebesar 9,4%. Ketepatan laporan yang rendah ini disebabkan oleh adanya kesadaran petugas entri data tingkat kabupaten untuk mengirimkan laporan tepat waktu. Hal ini juga berkaitan dengan adanya otonomi daerah yang mengakibatkan adanya pemikiran kab/kota bukan bawahan provinsi.

b.

Pengolahan, analisis dan interpretasi Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputerisasi menggunakan

program excel karena untuk pencatatannya belum tersedia sistem berbasis web. Data yang sudah dikumpulkan dari seluruh kab/kota di Jawa Timur kemudian dimasukkan ke program excel untuk kemudian diolah. Sebelum data di olah dilakukan validasi terlebih dahulu. apakah jumlah kasus yang dilaporkan sudah sama dengan laporan STP. Apabila ada data

yang kurang lengkap atau jumlahnya tidak sama maka segera dilakukan konfirmasi ke masing-masing kab/kota yang bersangkutan. Pengolahan data pada surveilans campak ini sudah dibedakan berdasarkan status imunisasi dan berdasarkan golongan umur. Sedangkan untuk kab/kota yang sudah mulai menggunakan CBMS data yang diolah tidak hanya berdasarkan pada status imunisasi atau pergolongan umur, tetapi juga berdasarkan tanggal mulai munculnya rash, tanggal dilakukan pengambilan spesimen serta hasil akhir dari pemeriksaan laboratoriumnya. Sehingga bisa diketahui dengan pasti apakah kasus tersebut merupakan kasus campak konfirm lab, rubella konfirm lab, mix campak dan rubella konfirm lab, negatif campak dan rubella atau campak klinis. Data yang sudah diolah dilakukan analisis dan interpretasi oleh seluruh staf teknis surveilans campak yang terintegrasi dengan surveilans PD3I. Bentuk analisis yang dilakukan secara rutin adalah kelengkapan dan ketepatan laporan, sedangkan untuk trend kasus campak, grafik atau pemetaan dilakukan tidak rutin hanya pada saat akan dilakukan feedback atau pertemuan tingkat provinsi. Hasil interpretasi akan semakin bagus apabila data yang dikumpulkan lengkap. Dan juga karena laporan tidak diterima tepat waktu maka analisis dan interpretasi juga terlambat dilakukan.

c.

Feed Back (Umpan balik) dan Diseminasi Informasi Selama ini feedback yang dilakukan berupa SMS, telepon atau via email

mengingatkan ke kab/kota bahwa laporan bulanannya belum masuk atau kurang lengkap. Sedangkan untuk feedback berupa laporan tertulis secara resmi jarang dilakukan hanya 1kali setahun. Diseminsasi informasi hasil kegiatan surveilans campak dilakukan ketingkat pusat melalui laporan bulanan yang dikirim melalui email dengan alamat afpdata@yahoo.com. Salah satu media atau sarana untuk diseminasi informasi bisa berupa buletin epidemiologi yang dikeluarkan sebanyak 4 kali setahun. Buletin epidemiologi diterbitkan olek seksi P4MK dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan didistribusikan ke dinas kesehatan kab/kota sejawa timur. Sedangkan untuk media diseminasi informasi yang lain bisa berupa profil tahunan dinas kesehatan provinsi jawa timur. Namun, kendalanya adalah penerbitan profil yang sering terlambat.

Gambaran Output Sistem Surveilans Campak Setelah dilakukan analisa maka keluarlah output atau informasi yang tersaji dalam bentuk tabel, grafik dan peta. Informasi yang bisa diperoleh dari hasil analisis data adalah trend bulanan kasus campak di Jawa Timur, distribusi kasus campak menurut golongan umur, distribusi kasus campak berdasarkan status imunisasi, hasil kegiatan CBMS di Jawa Timur, dan daerah-daerah di jawa Timur yang masih rawan terkena KLB campak. Permasalahan yang terjadi pada output sistem surveilans campak adalah hasil laporan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur sering terlambat mengingat ketepatan laporan di Dinas Kesehatan Kab/Kota yang di bawah standart. Selain itu informasi yang bisa diperoleh dari output surveilans campak adalah indikator kinerja surveilans campak. Dengan adanya indikator tersebut bisa dilakukan evaluasi kegiatan surveilans campak selama setahun. Indikator kinerja surveilans campak bisa dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Indikator Kinerja Surveilans Campak Tahun 2011 Indikator Minimum target Kelengkapan laporan puskesmas 90 % C1 Ketepatan laporan puskesmas C1 80 % Kelengkapan SARS 90 % Sumber : Laporan Seksi P4MK Hasil kegiatan 100 % 9.4 % 100 %

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk indikator kelengkapan laporan RS dan puskesmas sudah di atas standart yaitu sebesar 100%. Sedangkan untuk ketepatan laporan masih di bawah standart yaitu sebesar 9,4%.

Gambaran Sistem Informasi Surveilans Campak yang sedang Berjalan Analisis Sistem Surveilans bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang terdapat dalam sistim yang sekarang berjalan, sehingga permasalahan yang teridentifikasi bisa diselesaikan, dengan demikian sistem mampu memenuhi kebutuhan informasi epidemiologi yang terpercaya, cepat dan tepat. Untuk memahami sistem informasi surveilans campak yang sedang berjalan akan digambarkan dalam bentuk Data Flow Diagram (DFD).

Dinas Kesehatan Kab/Kota

Kasi P4MK Dinas Kesehatan Kab/Kota Sistem Informasi Surveilans Campak Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

Kabid P2MK

BBLK Surabaya Subdit Surveilans Depkes RI

Gambar 3. Diagram Konteks Sistem Informasi Surveilans Campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur

Berdasarkan gambar 4.7 dapat diketahui bahwa input atau sumber data untuk pelaporan surveilans campak berasal dari Dinas Kesehatan Kab/Kota di Jawa Timur dan juga BBLK Surabaya. Data yang berasal dari Dinas Kesehatan Kab/Kota dan BBLK Surabaya kemudian diolah oleh tim surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dimana hasil atau informasi yang dihasilkan disebarkan ke Dinas Kesehatan Kab/Kota di Jawa Timur untuk feedback, kasi P4MK, kabid P2MK, dan subdit surveilans Depkes RI sebagai laporan.

10

Dinas Kesehatan Kab/Kota Dinas Kesehatan Kab/Kota Pengumpul an Data BBLK Surabaya

Pengolahan, Analisis dan Interpretasi Data

Kasi P4MK

Kabid P2MK

1. Data C1 2. Data W2 3. Status imunisasi 4. Data hasil pemeriksa an spesimen campak 5. STP

1. Kasus 2. Keleng Kapan 3. Ketepatan 4. Imunisasi 5. Laborato rium 6. Mingguan 7. Bulanan

Subdit Surveilans Depkes RI

Gambar 4. Diagram level n Sistem Informasi Surveilans Campak Dinas Kesehatan Provinsi jawa Timur Berdasarkan gambar 4 dapat diketahui bahwa input atau sumber data untuk pelaporan surveilans campak berasal dari Dinas Kesehatan Kab/Kota di Jawa Timur berupa laporan rutin kasus campak dan juga dari BBLK Surabaya yang berupa laporan hasil pemeriksaan spesimen campak. Data tersebut dikumpulkan oleh tim surveilans campak setiap bulan. Data yang dikumpulkan tersebut berupa data C1,W2, LB1, STP, status imunisasi dan data hasil pemeriksaan spesimen campak. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan sehingga diperoleh informasi mengenai kasus campak, kelengkapan dan ketepatan laporan, status imunisasi penderita campak, hasil laboratorium / konfrm lab kasus tersangka campak, jumlah kasus mingguan dan bulanan.

Masalah Sistem Informasi Surveilans Campak Identifikasi masalah sistem informasi surveilans campak di Dinas kesehatan provinsi jawa timur berdasarkan pendekatan input, proses, output adalah sebagai berikut :

11

Tabel 5. Masalah Sistem Surveilans Campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Input, Proses, Output No. 1. Komponen INPUT Masalah Tidak tersedianya sumber dana untuk operasional CBMS (pemeriksaan lab) sehingga belum semua daerah melakukan CBMS Validitas data kurang, ada jumlah kasus campak antara C1, LB1 dan STP tidak sama Belum semua kab/kota melakukan CBMS Data KLB campak dari form C1, C2, C3 yang sudah dikimpulkan Kab/kota tidak dilakukan analisis secara rutin Selama ini hanya dilakukan analisis faktor resiko status imunisasi dan umur, belum dilakukan analisis faktor resiko berdasarkan status gizi, defisiensi vit A, dan faktor lingkungan Umpan balik laporan secara tertulis /resmi ke kab/kota hanya 1kali setahun Penerbitan buletin epidemiologi tidak rutin 3bulan sekali Indikator ketepatan laporan di bawah target ( 80%) yaitu 9,4% hasil laporan sering terlambat mengingat ketepatan laporan selalu dibawah standar Masih banyak daerah kantong campak yang sangat rentan terjadi KLB. Pada tahun 2010 dan 2011 terdapat 5 kab/kota yang terjadi KLB campak lebih dari 1kali.

a.

b. 2. PROSES a. b. c.

d. e. a. b. c.

3.

OUTPUT

Alternatif Pemecahan Masalah Sistem Surveilans Campak Alternatif pemecahan masalah sistem surveilans campak di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur yaitu : Alternatif Pemecahan Masalah pada Komponen Input Sistem Surveilans Campak 1. Mensosialisasikan pentingnya ketepatan laporan bulanan kab/kota kepada petugas entri laporan 2. Memberikan reward kepada petugas untuk meningkatkan kesadaran pengiriman laporan tepat waktu. 3. Mengajukan anggaran untuk pelaksanaan CBMS kab/kota sehingga semua kab/kota melakukan CBMS 4. Melakukan validasi data Alternatif Pemecahan Masalah pada Komponen Proses Sistem Surveilans Campak 1. Mensosialisasikan tujuan dan manfaat dari CBMS serta mengajukan anggaran untuk operasinal CBMS

12

2.

Melakukan analisis data yang diperoleh dari form C1, C2, dan C3 secara rutin sehingga bisa diperoleh informasi menyeluruh tentang kejadian KLB campak yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan

3. Analisis faktor resiko ini bisa diperleh dari form C2 sehingga apabila form C2, dan C3 pada kejadian KLB sudah dilakukan analisis maka bisa diketahui faktor resiko selain umur dan status imunisasi bisa dilakukan Alternatif Pemecahan Masalah pada Komponen Output Sistem Surveilans Campak 1. Melakukan feed back secara tertulis/resmi sehingga pihak kab/kota merasa diperhatikan dan hal ini bisa memotivasi petugas untuk mengirimkan laporan tepat waktu. 2. Melakukan analisis kasus campak yang terjadi untuk mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi. Dengan mengetahui faktor risiko terjadinya campak maka tindakan pencegahan bisa efektif.

D. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil analisis sistem surveilans campak maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada sistem surveilans campak terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan indikator, yaitu untuk tenaga petugas sesuai dengan kepmenkes no.1116 tahun 2003 tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemilogi yaitu tidak terdapat tenaga dokter umum. Selain itu juga diketahui bahwa untuk indikator ketepatan laporan masih di bawah standart yaitu sebesar 9,4%. 2. Alternatif pemecahan masalah di Dinas Kesehatan Provinsi jawa Timur adalah sebagai berikut: a. Mensosialisasikan pentingnya ketepatan laporan bulanan kab/kota kepada petugas entri laporan dan tujuan serta manfaat dari CBMS b. Memberikan reward kepada petugas untuk meningkatkan kesadaran pengiriman laporan tepat waktu. c. Mengajukan anggaran untuk pelaksanaan CBMS kab/kota sehingga semua kab/kota melakukan CBMS d. Melakukan validasi data

13

e. Melakukan analisis data yang diperoleh dari form C1, C2, dan C3 secara rutin sehingga bisa diperoleh informasi menyeluruh tentang kejadian KLB campak yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk pengambilan kebijakan. f. Melakukan feed back secara tertulis/resmi sehingga pihak kab/kota merasa diperhatikan dan hal ini bisa memotivasi petugas untuk mengirimkan laporan tepat waktu.

DAFTAR PUSTAKA Azwar, Azrul, 1996.Pengantar Administrasi Kesehatan, Edisi Ketiga. Jakarta: Binarupa Aksara. Bustan, MN., 2006. Pengantar Epidemiologi (Edisi Revisi). PT Rineka Cipta. Jakarta. Casaeri, 2003. Faktor-faktor Risiko kejadian Campak di Kabupaten KendalTahun 2002.Tesis, FKM - Universitas Diponegoro. Chriswardani S. Metode Penentuan Prioritas Masalah. Bahan Kuliah Perencanaan dan Evaluasi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Diponegoro. Daihani, 2001. Komputrisasi Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT. Elek Media Komputindo Gramedia. Depkes RI RI, 2008. Petunjuk Teknis Surveilans Campak. Jakarta: Direktorat Jendral PP dan PL Depkes RI RI. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2009. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2009. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2010. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Fuad. A. 2005. Peran Teknologi Informasi Untuk Mendukung Manajemen InformasiKesehatan di Rumah Sakit. [serial online]. http://www.anisfuad.wordpress.com/2005/09/13/peran-teknologi-informasiuntukmendukung-manajemen-informasi-kesehatan-di-rumah sakit.[ sitasi 25Juli 2012].

Gede Karya, 2004. Pengembangan Model Audit Sistem Informasi Berbasis Kendali, Buletin Integral Vol.9 No.1 Tahun 2004. Jamil. 2007. Pengambilan Keputusan: Materi elearning Ilmu Kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Jogiyanto, 2005. Analisis dan Desain Sistem. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kepmeneks RI, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/Sk/Viii/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan..

14

Kompas, 2012. Jutaan Bayi Tidak Terimunisasi Lengkap. http://health.kompas.com/read/2012/07/12/02362636/Jutaan.Bayi.Tidak.Terimunisa si.Lengkap (sitasi 7 Agustus 2012) Kristanto, 2008. Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya. Yogyakarta: Gava Media. Leman, 1998. Metode Pengembangan Sistem Informasi. Jakarta: PT. Prenhallindo. Lipperel, Saverborn. 2000. Sistem Inormasi Manajemen. Bandung: PT. Refika Aditama. McLeod, 2007. Sistem Informasi Manajemen Edisi ke-9. Jakarta : PT.Macanan Jaya Cemerlang. Muninjaya, A.A.Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC. Oetomo, 2006. Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi. Yogyakarta : Penerbit Andi. Sartika, 2012. Dampak Kurang Vitamin A terhadap Campak.http://dewisartika29.com/2012/04/dampak-kurang-vitamin-terhadapcampak_21.html (sitasi 7 Agustus 2012). Seksi Pencegahan Pengamatan Penyakit dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (P4MK) 2010, 2010. Laporan Tahunan 2010 Seksi P4MK. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Seksi Pencegahan Pengamatan Penyakit dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (P4MK) 2011, 2011. Laporan Tahunan 2010 Seksi P4MK. Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Seksi Pencegahan Pengamatan Penyakit dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (P4MK) 2011, 2011. Laporan Surveilans Campak Berbasis Individu (Case Based Measles Surveillance) - C1.Surabaya: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Setiawan, 2008. Penyakit Campak. Jakarta : Penerbit Sagung Setia. Soedarto, 2007. Sinopsis Kedokteran Tropis. Surabaya : Airlangga University Press. Sutabri, 2005.Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tommy. 2000. Campak. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. .Timmerck, 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar. Edisi II. Jakarta : EGC.

15

STUDI KUALIATIF DALAM KERANGKA KAJIAN AWAL MENGENAI UPAYAUPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WALURAN KABUPATEN SUKABUMI TAHUN 2011 Felix Kasim, Kristin Kartika Bagian Imu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT Malaria according to WHO (2009) is an infectious disease spread by the Anopheles mosquito which is still a threat to 3.3 billion people around the world. Although malaria is preventable, but the current morbidity and mortality is still high. In Indonesia, malaria is still a clinical problem, both in big cities and in remote areas because of the presence of endemic areas with potentially devastating disease. This study aims to determine the efforts that has been done to prevent and eradicating malaria in Waluran subdistrict, and obstacles that arising from these efforts, benefits, and ecpectations in reducing malaria morbidity and mortality . Researchers using qualitative methods, data collection techniques with the observation of participation, in-depth interviews with Waluran Head Health Center, Programmer Malaria, and focused group discussion of the population that exposed to malaria. From the research, obtained the efforts that have been done to prevent and eradicating malaria in Waluran subdistrict, and also obstacles, benefits and expectations from the health center Waluran in reducing malaria morbidity and mortality. So, it can be concluded, efforts to prevention and eradicating malaria in the region of Waluran Health Center good enough, but still require a lot of support, especially from many side supported by the program and program implementation as well as availability of facilities and infrastructure. Also required an increase in Human Resources in endemic areas, especially in terms of education in order to change health behaviors. Keyword : Malaria ABSTRAK Penyakit malaria menurut WHO (2009) merupakan penyakit infeksi yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles yang masih merupakan ancaman bagi 3,3 milyar orang di seluruh dunia. Meskipun Malaria dapat dicegah, namun saat ini morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi. Di Indonesia, penyakit malaria masih merupakan problema klinis, baik di kota besar maupun di daerah terpencil karena terdapatnya daerah endemis yang potensial menimbulkan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mencegah dan memberantas malaria di Kecamatan Waluran, serta kendala yang timbul dari upaya tersebut, manfaat, dan harapan dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit Malaria.

16

Peneliti menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data dengan observasi partisipasi, wawancara mendalam Kepala Puskesmas Waluran, Programmer Malaria, dan focused group discussion penduduk yang pernah terkena penyakit Malaria. Dari hasil penelitian, didapatkan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mencegah dan memberantas malaria di Kecamatan Waluran, dan juga kendala, manfaat dan harapan dari Puskesmas Waluran dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit Malaria. Dapat disimpulkan, upaya penanganan malaria di wilayah kerja Puskesmas Waluran sudah cukup baik, namun masih memerlukan banyak dukungan, terutama dari berbagai pihak yang didukung oleh program dan pelaksanaan program yang baik serta tersedianya sarana dan prasarana. Selain itu diperlukan peningkatan SDM di daerah endemis, terutama dalam hal pendidikan agar dapat terjadi perubahan perilaku kesehatan. Kata kunci : Malaria

A. Pendahuluan Penyakit malaria menurut Laporan Malaria dari WHO (2009) merupakan penyakit infeksi yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles. Meskipun penyakit ini dapat dicegah dan diobati, namun masih merupakan ancaman bagi 3,3 milyar orang di seluruh dunia, yang meliputi 106 negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Tiap tahun, tercatat terdapat 234 juta kasus dan 863.000 kematian yang disebabkan malaria, dimana 89% nya terdapat di daerah sekitar Sahara Afrika yang rata-rata menyebabkan kematian seorang anak tiap 45 detik (Malaria Consortium, 2011). Dari 32 negara di dunia yang sedang berusaha mengeliminasi malaria, terdapat 11 negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, yaitu: Bhutan, China, Korea, Indonesia, Malaysia, Philippina, Republik Korea, Pulau Solomon, Sri Lanka, Thailand dan Vanuatu. Beberapa negara ini telah melakukan usaha yang signifikan dalam mengeliminasi malaria, beberapa lainnya baru memulai. Akan tetapi, tidak seperti negara-negara di sub-Sahara Afrika, tantangan terbesar adalah untuk mengeliminasi Plasmodium vivax (Hsiang et al, 2010). Di Indonesia, penyakit malaria masih merupakan problema klinis, baik di kota besar maupun di daerah terpencil. Hal ini disebabkan karena perkembangan transportasi yang menyebabkan mobilitas penduduk sangat tinggi dari dan ke daerah di mana fokus/endemik malaria berada (Harijanto, 1999). Diperkirakan lebih dari 90 juta penduduk, bahkan hampir setengah penduduk Indonesia tinggal di daerah yang beresiko tertular malaria. Daerah dengan malaria klinis tinggi masih dilaporkan terutama dari kawasan

17

Timur Indonesia antara lain propinsi-propinsi Papua, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara. Case fatality rate (CFR) malaria berat dilaporkan berkisar 10-50% (Harijanto, 1999; Departemen Kesehatan RI et al, 2003). Pemerintah Indonesia melalui Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial telah mengadopsi konsep dan program Roll Back Malaria pada tanggal 8 April 2000, dan secara nasional dicanangkan Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria) sebagai operasional dari Roll back malaria di Indonesia. Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria) melibatkan unsur masyarakat, sektor swasta, dunia usaha, LSM, dan agen-agen pembangunan lainnya (UNDP, 2004). Pada tahun 2010, Global Fund Malaria Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menetapkan 424 kabupaten dari 576 kabupaten di Indonesia sebagai daerah Endemis Malaria, salah satunya yaitu kabupaten Sukabumi (Kunto, 2011). Di Kabupaten Sukabumi, penyakit malaria sebagai salah satu masalah kesehatan. Penyakit malaria terjadi tiap tahun dan mengalami kecenderungan naik dan turun. Penyakit malaria yang penyebarannya tidak merata di berbagai wilayah dan menunjukan angka peningkatan kasus pada bulan-bulan tertentu, dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Terdapat dua daerah endemis malaria, yaitu daerah pantai dan pegunungan. 12 Kecamatan di daerah pantai, yaitu: Cisolok, Cikakak, Palabuhan ratu, Citarik, Simpenan, Ciemas, Tamanjaya, Ciracap, Surade, Buniwangi, Tegalbuleud dan Cibitung, sedangkan daerah malaria di pegunungan, yaitu: Cimanggu, Jampangkulon, Waluran, Lengkong (Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2007). Di Kecamatan Waluran, yang merupakan daerah pegunungan, berada di Sukabumi bagian Selatan, terdiri dari 5 desa, dengan 2 desa diantaranya endemis malaria. Hal ini disebabkan karena adanya lahan yang dapat dijadikan tempat perkembangbiakan oleh vektor malaria. Selain itu, migrasi penduduk ke daerah endemis Malaria menyebabkan penduduk pulang dengan infeksi Malaria. Puskesmas Waluran sudah melakukan berbagai upaya dalam rangka mewujudkan program Gebrak Malaria, namun kasus malaria masih ditemukan setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit malaria masih menjadi masalah kesehatan di Kecamatan Waluran, dan tidak menutup kemungkinan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang terjadi di Wilayah Kecamatan Simpenan pada tahun 2003 dan 2004 terjadi di Wilayah Kecamatan Waluran apabila pemberantasan malaria tidak dilakukan dengan tepat.

18

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menurunkan jumlah kasus dan annual parasite insidence masih belum mencapai target yang diharapkan sehingga dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis memilih judul tersebut.

B. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali upaya-upaya yang sudah dilakukan dalam pelaksanaan upaya pencegahan dan pemberantasan malaria di Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi, kendala-kendala yang timbul upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala, manfaat, dan harapan untuk masa yang akan datang. Sampel yang ditentukan adalah Kepala Puskesmas Waluran, Programmer Malaria, penduduk yang pernah terkena penyakit Malaria. Teknik pengambilan sampel yaitu teknik Purposive sampling. Purposive sampling, untuk Kepala Puskesmas Waluran dengan kriteria,yaiu merupakan penanggung jawab masalah kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Waluran dan mengetahui masalah penyakit Malaria dengan baik di wilayah Kecamatan Waluran. Programmer Malaria dengan kriteria, yaitu penanggung jawab program Malaria di wilayah kerja Puskesmas Waluran dan engetahui masalah penyakit Malaria dengan baik di wilayah Kecamatan Waluran. Penduduk, dengan kriteria yaitu berusia lebih dari 15 tahun , pernah terkena penyakit malaria mininal 1x, dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang lain, dapat membaca dan menulis, dapat berbahasa indonesia , tinggal di wilayah kerja puskesmas waluran. Untuk pendekatan kualitatif, peneliti mengobservasi lokasi, yaitu desa Samarang yang merupakan daerah endemis malaria. Observasi dilakukan langsung ke desa untuk melihat secara langsung lagoon Malaria dan melihat secara langsung perilaku masyarakat sekitar dalam upaya pencegahan dan penanganan malaria. Peneliti melakukan Focus Group Discussion pada 8 orang penduduk yang pernah terkena penyakit Malaria, yang memenuhi kriteria pengambilan sampel. Diskusi dilakukan di Pustu di Desa Waluran Mandiri. Diskusi dipimpin oleh salah seorang anggota grup diskusi yang memiliki kemampuan untuk memimpin diskusi. Diskusi diawali dengan pembukaan oleh peneliti mengenai topik yang akan didiskusikan, sesuai dengan pedoman diskusi. Diskusi berjalan tanpa keterlibatan peneliti dalam diskusi. Peneliti sesekali memberi sedikit masukan sebagai keyword agak diskusi berjalan kembali. Selama diskusi, pembicaraan direkam sengan tape recorder. Diskusi ditutup saat sudah terjadi kejenuhan

19

dalam pembicaraan dan anggota grup diminta untuk bersedia kembali berbincang-bincang apabila ada informasi yang kurang. Selain itu juga dilakukan in depth interview pada petugas kesehatan (Puskesmas) yang bertanggung jawab menangani masalah Malaria, yaitu Kepala Puskesmas Waluran dan Programmer Malaria, yang memenuhi kriteria pengambilan sampel. Wawancara dilakukan di ruang rapat Puskesmas, agar tehindar dari kebisingan yang mengganggu konsentrasi saat pengambilan data. Wawancara dilakukan berdasarkan pedoman wawancara yang telah dibuat, dengan memberi pertanyaan terbuka dan membiarkan petugas kesehatan mengutarakan semua hal yang ingin dibincangkan tanpa dibatasi oleh peneliti. Apabila terjadi deadlock/ pembicaraan macet, peneliti memberi keyword sesuai dengan pedoman wawancara. Semua pembicaraan direkam dengan tape recorder. Diskusi ditutup saat sudah terjadi kejenuhan dalam pembicaraan dan petugas kesehatan diminta untuk bersedia kembali berbincang-bincang apabila ada informasi yang kurang. Instrumen pokok penelitian adalah kamera dan rekaman (tape recorder) untuk menyimpan hasil wawancara dan diskusi. Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : Partisipative observation dengan menggambarkan keadaan dari yang peneliti lihat di lapangan. In depth interview dan focus group discussion dengan penyusunan transkrip wawancara dan diskusi, dilakukan open coding yaitu dipilih pernyataan-pernyataan yang berasal dari responden yang sesuai dengan topik penelitian, selective coding dengan menentukan kategori-kategori dari hasil open coding tersebut. Kategori-kategori tersebut adalah kendala, upaya, harapan, dan manfaat dan pembuatan main theory yaitu teori utama berdasarkan hasil dari selective coding dan melakukan analisis-analisis berdasarkan data yang ada. Penelitian ini merupakan penelitian serial, dimana pada penelitian ini peneliti melakukan analisis data sampai tahap selective coding, kemudian menyusun main theory. Penelitian ini dilakukan di Wilayah kerja Puskesmas Waluran, Kecamatan Waluran. Penelitian berlangsung mulai Juni 2011 sampai Juli 2011.

C. Hasil dan Pembahasan Kecamatan Waluran merupakan suatu daerah di Kabupaten Sukabumi bagian Selatan yang terdiri dari 5 desa dengan 2 desa diantaranya endemis malaria yaitu Desa Waluran Mandiri dan Desa Sukamukti (Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2007). Hal

20

ini disebabkan karena adanya lahan yang dapat digunakan vektor sebagai tempat berkembangbiak. Pada Desa Waluran Mandiri terdapat lagoon yang menetap sepanjang tahun yaitu di Kampung Samarang, sedang di desa Sukamukti lagoon hanya muncul saat musim penghujan. Wilayah yang peneliti observasi yaitu Kampung Samarang yang mewakili daerah endemis Malaria. Perjalanan menuju daerah endemis dapat ditempuh dengan kendaraan roda 4 maupun kendaraan roda 2, jarak terdekat dari Puskesmas ke daerah endemis adalah 1 jam. Kondisi jalan sebagian sudah diaspal, sebagian lagi belum, jalan masih terdiri dari tanah liat yang dipadatkan dan tidak rata. Menurut penduduk sekitar, saat musim hujan dan jalanan becek, kendaraan tidak dapat melewatinya sehingga perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Hal ini menyebabkan upaya pengobatan dan pencegahan penyakit malaria belum maksimal. Kondisi jalan yang rusak menyebabkan daerah-daerah tersebut sulit dijangkau sehingga pelayanan kesehatan belum maksimal, terutama untuk penyuluhan dan pelaksanaan program Malaria seperti ACD (Active Case Detection). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan programmer malaria dan Kepala Puskesmas. ...karena jalan kesana cukup susah dijangkau yah, khususnya jalannya masih tanah liat, karena kalau musim hujan dengan roda dua tidak bisa sampai kesana. Harus jalan kaki... Kondisi jalan yang jelek menyulitkan pelayanan kesehatan, terutama ACD dan penyuluhan... Selain itu, kondisi jalan yang rusak bukan hanya menyebabkan petugas kesehatan sulit menjangkau daerah tersebut, tetapi juga masyarakat di daerah tersebut sulit untuk pergi mencari pengobatan. Hal ini sesuai dengan hasil diskusi. ...saya rumahnya jauh, enggak terjangkau, ee jadi saya ga tau petugas datang kesini. Jadi saya merasa sakit ajah terus... Masyarakat merasa kesulitan dalam mencari pengobatan karena daerah endemis Malaria sebagian besar jauh dari Puskesmas dan sulit dijangkau. Hal ini sesuai dengan yang peneliti lihat di lapangan, bahwa untuk mencapai jalan raya, dari pemukiman penduduk terdekat harus menempuh jarak kurang lebih 5 km. Bagi masyarakat yang kurang mampu, tentu hal ini menjadi kendala karena dengan kondisi sakit harus menempuh jarak yang jauh dan jalanan yang rusak. Bahkan bila musim hujan harus dilalui dengan berjalan kaki. hal ini menyebabkan perilaku masyarakat dalam mencari kesehatan masih kurang.

21

Daerah endemis Malaria pada Kecamatan Waluran merupakan daerah pegunungan, yang masih asri, dengan hutan dan rawa-rawa di sekitarnya. Tempat ini merupakan tempat yang nyaman untuk nyamuk Anopheles berkembangbiak. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Nurmaini (2003), yaitu nyamuk Anopheles mempunyai bermacam breeding place, sesuai dengan jenis anophelesnya. Beberapa spesies senang berkembangbiak di air payau, sebagian suka tempat yang terlindung dari sinar matahari, sebagian lagi suka tempat yang terpapar dari sinar matahari. Tempat seperti sungai yang mengalir lambat atau sawah disenangi untuk perkembangbiakan (Nurmani, 2003). Hal ini sesuai dengan yang peneliti lihat yaitu sebuah rawa (lagoon) yang sebagian terpapar matahari, sebagian terlindung dari matahari. Daerah yang terlindung matahari adalah perairan yang dikelilingi semak-semak dan rumput tinggi yang sangat cocok untuk tempat perkembangbiakan vektor malaria. Hal ini menandakan bahwa lagoon tersebut masih aktif dan potensial menimbulkan penyakit Malaria. Berbagai upaya telah dilakukan Puskesmas Waluran untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan Malaria. Penyuluhan merupakan hal yang terus digalakkan dalam mencegah peningkatan kasus. Penyuluhan dilakukan sebulan sekali di Posyandu maupun di tempat umum yang banyak dikunjungi masyarakat seperti Masjid. Penyuluhan dilakukan rutin untuk meningkatkan pengetahuan dan merubah perilaku masyarakat, yang diharapkan dapat mengurangi, bahkan menmberantas penyakit Malaria dari Kecamatan Waluran. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan programmer Malaria. ...kita sering mengadakan penyuluhan di posyandu maupun di mesjid, biasanya satu bulan sekali kalau tidak ada halangan... Salah satu perubahan perilaku yang diharapkan yaitu penggunaan kelambu untuk pencegahan terhadap vektor. Puskesmas Waluran sering menghimbau masyarakat agar menggunakan kelambu yang diberi insektisida. Penggunaan kelambu cukup efektif karena dapat mencegah gigitan nyamuk di malam hari, terutama saat sedang tidur. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan P.N Harijanto bahwa tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan cara tidur mamakai kelambu yang dicelup insektisida, mencegah berada di alam bebas saat malam hari, menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquities repellents): gosok, spray, asap, elektrik, dan memproteksi rumah tinggal dengan kawat anti-nyamuk. Dalam penggunaan massal di Waluran, pada tahun 2006 pernah

22

dibagikan kelambu pada daerah endemis, namun saat ini sudah tidak digunakan lagi karena menurut masyarakat kelambu sudah rusak. Hal lain yang dilakukan yaitu melakukan kegiatan penemuan penderita baik secara aktif (Active Case Detection) maupun pasif (Passive Case Dectection). Secara aktif dimana puskesmas Waluran mempunyai dua orang juru malaria desa yang aktif mengunjungi masyarakat, membuat sediaan darah semua penderita malaria klinis yang ditemukan dan memberikan pengobatan klinis dan selalu memantau perkembangan pasien-pasien yang terbukti sediaan darahnya positif. Selain itu dilakukan kegiatan MBS dengan mengambil seluruh sediaan darah dari penderita yang tinggal di daerah endemis apabila ada beberapa orang yang saat dilakukan ACD, hasil sediaannya positif. Hal ini disebabkan ada

kecenderungan bahwa untuk daerah malaria yang masyarakatnya sudah pernah terkena malaria muncul kasus malaria tanpa klinis. Penderita terlihat sehat namun di darahnya terdapat parasit malaria. Sedangkan untuk tindakan pemberantasan, dalam hal antilarva telah dilakukan penanaman ikan pemakan larva dengan bekerjasama dengan kecamatan sebanyak 2 kali pada tahu 2009 dan tahun 2011. Namun hal ini tidak ditunjang dengan kebersihan lagoon. Pembersihan lagoon oleh masyarakat tidak dilakukan secara rutin sehingga tepi lagoon terdapat banyak rumput dan semak tergenang. Genangan air inilah yang merupakan tempat perindukan nyamuk. Selain itu, rumput dan semak tersebut menghalangi ikan untuk dapat berenang ke tepi dan memakan larva, sehingga penanaman ikan menjadi kurang bermanfaat. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan programmer Malaria. ...menghimbau agar masyarakat agar rajin membersihkan lagoon ... ...ikan tersebut tidak nyampe ke pinggir karena pinggir lagoon tersebut masih banyak rumput-rumput, masih kotor, kurang bersih... Dalam hal pengamatan kepadatan nyamuk, Puskesmas Waluran juga bekerjasama dengan dinas kesehatan propinsi dalam penangkapan nyamuk. Penangkapan nyamuk ini dilakukan sebagai usaha untuk mengamati kepadatan populasi nyamuk di daerah endemis. Untuk pengobatan, meski petugas kesehatan sudah menghimbau untuk berobat sampai tuntas, namun sebagian masih belum mau berobat sampai tuntas. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara Kepala Puskesmas. ... masih belum mau diobati, mau berobat, berobat pun tidak tuntas... Hal ini juga sesuai dengan hasil diskusi.

23

...meminta obat ke pertugas kesehatan, tapi saya jarang makan obat tersebut, karena terlalu gede-gede obatnya... Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan masyarakat daerah endemis sehingga untuk pengobatan pun mereka masih ragu. Masyarakat kurang mengetahui mengenai penyakit Malaria, sehingga penyakit ini dianggap ringan. Bila gejala sudah hilang, sebagian masyarakat menghentikan minum obat, bahkan sudah pergi ke wilayah lain untuk bekerja. Hal ini merupakan kendala untuk memberantas Malaria, karena apabila pengobatan tidak tuntas, penderita tersebut dapat mengalami relaps. Relaps terjadi karena adanya beberapa jenis parasit yang dapat dormant di hati dan dapat kambuh kembali saat imunitas penderita rendah. Penderita Malaria di Kecamatan ini bukan hanya indigenous namun juga import. Kasus indigenous cenderung rendah dibandingkan impor. Kasus import banyak dan cenderung meningkat disebabkan oleh pekerjaan penduduk ke luar kota, ke daerah endemis Malaria. Hal ini menyebabkan banyak penduduk yang pulang dalam keadaan sakit Malaria. Hal ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh Puskesmas dengan memberitahu mereka yang akan bekerja ke daerah endemis untuk datang ke Puskesmas sebelum bepergian untuk memperoleh obat profilaksis, dan kembali ke Puskesmas setelah pulang dari daerah endemis untuk di follow up. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan programmer Malaria. ...sebagian masyarakat sudah tahu, untuk yang akan bekerja ke daerah endemis, beberapa sudah ke Puskesmas untuk meminta obat profilaksis... Namun tetap saja walaupun sudah tahu, namun merka tidak pergi ke Puskesmas untuk meminta obat profilaksis. Bahkan saat sedang dalam pengobatan pun sebagian sudah pergi lagi untuk bekerja tanpa sempat di follow up. Hal ini menyebabkan Petugas kesehatan kesulitan dalam mengadakan pengobatan secara tuntas. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit Malaria sehingga mereka merasa kurang perlu untuk melakukan hal tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil diskusi. ...saya ga tau menahu tentang ee penyakit tersebut... Dan juga, sebagian sudah mengetahui , hal ini tersirat dalam hasil diskusi. ...rawanya itu ga terawat maka anjurannya harus dibersihin gituh...

24

Kalimat diatas menunjukkan bahwa masyarakat sebagian sudah mengetahui namun kurang kepeduliannya mengenai penyakit ini. Hal ini terlihat dari lagoon yang tidak terawat sehingga masih menjadi tempat yang potensial bagi perkembangbiakan nyamuk. Bagi sebagian masyarakat yang belum mengetahui penyakit ini, sebagian meminta obat ke Puskesmas dan sebagian lagi meminum obat-obatan warung, bahkan ada sebagian yang tidak diobati. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Ifakara, Nigeria oleh Hausmann-Muela, Ribera, Nyamongo tahun 2003, bahwa sebagian pengobatan hanya dilakukan secara tradisional untuk menghilangkan gejala, meskipun pengobatan modern di tempat itu sudah ideal dalam mengobati malaria (Hausmann-Muela et al, 2003). Dalam mengatasi kendala-kendala yang ada untuk mensukseskan pemberantasan malaria ini Puskesmas Waluran berkerjasama secara lintas sektoral baik dengan dinas kesehatan kabupaten maupun provinsi, kecamatan, pihak desa, maupuan aparat keamanan, sesuai dengan konsep Gebrak Malaria. Dengan Dinas Kesehatan dalam hal penyediaan obat-obatan, pihak Kecamatan dan Desa dalam hal modifikasi lingkungan (lagoon), aparat keamanan dalam penertiban masyarakat pada waktu dilakukan ACD (Departemen Kesehatan RI et al, 2003). Seperti yang telah kita ketahui salah satu poin dalam Roll Back Malaria adalah peningkatan perbaikan kualitas dari pencegahan dan pengobatan malaria melalui perbaikan kapasitas personel kesehatan yang terlibat (Departemen Kesehatan RI et al, 2003). Wujud dari hal tersebut dengan diadakannya pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan di puskesmas baik programmer, petugas mikroskopis, maupun Juru Malaria Desa sebagai peningkatan sumber daya manusia yang kita miliki. Sesuai dengan yang dikatakan Kepala Puskesmas. ...meningkatkan kemampuan sumber daya agar lebih maksimal, dengan mengirim staf untuk pelatihan-pelatihan... Programer Malaria baru saja mengikuti pelatihan selama 4 hari di Sukabumi, sedangkan untuk Juru Malaria Desa belum pernah mengikuti pelatihan, karena belum ada program, menurut Programmer Malaria. Namun selain dari peningkatan kualitas petugas kesehatan itu sendiri pengetahuan masyarakatpun harus ditingkatkan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk penyuluhanpenyuluhan yang dilakukan puskesmas kepada masyarakat selain bertujuan untuk merubah perilaku hidup masyarakat menjadi perilaku hidup bersih dan sehat juga bermanfaat untuk

25

menyadarkan masyarakat agar mau ikut terjun langsung bersama-sama puskesmas untuk penanganan malaria. Pemberantasan malaria bukanlah hal yang mudah tetapi perlu kerjasama dari berbagai pihak hal ini yang ditekankan dalam program Gebrak malaria yaitu gerakan nasional seluruh komponen masyarakat untuk memberantas malaria secara intensif melalui kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan badan-badan internasional serta penyandang dana sehingga diharapkan dapat memberantas malaria.

D. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan: 1. Upaya penanganan malaria di wilayah kerja Puskesmas Waluran sudah cukup baik, namun belum maksimal dan masih memerlukan banyak faktor pendukung, terutama dari berbagai pihak yang didukung oleh program dan pelaksanaan program yang baik serta tersedianya sarana dan prasarana. 2. Upaya yang dilakukan tersandung berbagai kendala seperti sarana dan prasarana, pengetahuan dan perilaku masyarakat (pendidikan). Dengan adanya kendalakendala tersebut sehingga menyebabkan pelaksanaan program kesehatan anak di puskesmas belum berjalan optimal. 3. Manfaat dari pelaksanaan program baru dirasakan oleh sebagian masyarakat, belum merata. 4. Harapan dari upaya-upaya ini adalah dapat meningkatkan pengetahuan dan perilaku masyarakat sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan Malaria. Saran: 1. Untuk Kepala Puskesmas: meningkatkan kerja sama lintas sektoral dengan Kecamatan untuk meningkatkan program pendidikan, dengan Departemen pemerintahan lainnya dalam sarana prasarana seperti perbaikan jalan, dan juga dalam pemberantasan vektor. 2. Untuk Penanggung jawab program Malaria: meningkatkan pelaksanaan penyuluhan program pencegahan dan pemberantasan Malaria dan lebih aktif dalam menjalankan program.

26

3. Mendirikan Pos Malaria Desa untuk memudahkan masyarakat pelayanan lebih merata.

memperoleh

4. Untuk masyarakat: dapat memberikan respon yang lebih baik dan mendukung keberlangsungan program ini, dengan cara bekerja sama dengan puskesmas untuk mencegah dan memberantas Malaria terutama dengan perubahan perilaku dan pembersihan lagoon Malaria.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM dan PLP, Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang. 2003. Modul Epidemiologi Malaria. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM dan PLP, Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang. 2003. Modul Pengobatan Malaria Kabupaten. Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi,Sub Din P2M PLP. 2007. Kerangka Acuan Kegiatan Pembebasan Malaria Untuk Menuju Sukabumi Bebasa Malaria Tahun 2010. Harijanto T.N. 1999. Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta :EGC. Hausmann-Muela, Ribera, Nyamongo. 2003. [cited 2011 June 12]. Health-seeking behaviour and the health system response. http://www.infosihat.gov.my/artikelHP/bahanrujukan/HEandICT/Health_seeking_b ehaviour.pdf Hsiang, MS., Abeyasinghe, R., Whittaker, M., Feachem, RGA. 2010. [cited 2011 June 12]. Malaria elimination in Asia Pacific: an under told story. http://www.malariaeliminationgroup.org/sites/default/files/APMEN%20Lancet%20 Comment%20may2010.pdf. Kunto Wibisono B. 2011. [cited 2011 June 12]. 424 Kabupaten di Indonesia Ditetapkan Endemis Malaria. http://www.antaranews.com/berita/235322/424-kabupaten-diindonesia-ditetapkan-endemis-malaria. Malaria Consortium. 2011. [cited http://www.malariaconsortium.org/. 2011 June 12]. Malaria.

Nurmani. 2003. [cited 2011 June 12]. Mentifikasi Vektor Dan Pengendalian Nyamuk Anopheles Aconitus Secara Sederhana. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3705/1/fkm-nurmaini1. pdf. UNDP. 2004. [cited 2011 June 12]. Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia. www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/IndonesiaMDG_BI_Goal6.pdf.

27

ARTIKEL ILMIAH MODEL PREDIKSI KEJADIAN TUBERKULOSIS (TB) PADA ANAK (Studi Kasus di BP4 Purwokerto) Dwi Sarwani SR*), Bambang Hariyadi*) dwisarwanisr@yahoo.com ABSTRAK Indonesia mencatat peringkat keempat di dunia sebagai penyumbang kasus Tuberkulosis (TB) terbesar di dunia. Jika kasus TB dewasa tinggi dapat disimpulkan TB paru anak pun tinggi. TB paru pada anak berpotensi menimbulkan masalah mulai dari gagal tumbuh, kecacatan bahkan kematian.. Proporsi TB anak pada tahun 2010 di Indonesia adalah sebesar 9,5% dan di Jawa Tengah sebesar 14,3%. Penelitian ini bertujuan untuk merancang model prediksi yang dapat mengidentifikasi kejadian TB paru anak..Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan kasus kontrol. Populasi kasus adalah anak usia 0-5 tahun yang didiagnosis di BP 4 Purwokerto menderita TB paru anak. Populasi kontrol adalah anak usia 0-5 tahun yang merupakan tetangga kasus dan tidak menderita TB paru anak. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat untuk merancang model prediksi. Hasil penelitian menunjukkan anak dengan status gizi kurang, ada kontak dengan penderita TB paru dewasa dan ada perokok di dalam rumahnya mempunyai risiko 89,9% untuk menderita TB paru anak. Saran orang tua untuk menghindarkan anaknya kontak dengan penderita TB paru dewasa dan memperhatikan asupan makanan sehingga status gizinya baik. Kata kunci *) : Prediksi, model, TB anak : Dosen Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed Purwokerto

PREDICTIVE MODEL CHILDREN PULMONARY TUBERCULOSIS (Case Study in BP 4 Purwokerto) Dwi Sarwani SR*), Bambang Hariyadi*) ABSTRACT Indonesia places the four rank regarding tuberculosis cases in the world. If pulmonary tuberculosis in adult was high so in children high too. Children Pulmonary tuberculosis caused failure grow, disable and died.Insiden children pulmonary tuberculosis in Indonesia 9,5% and in Centra Java 14,3%. This research aimed to create a predictive model for identifying children pulmonary tuberculosis . This was observational research with case-control approach. Number of samples was 64 persons in which it was divided into 32 cases and320 controls. The case group was all children pulmonary tuberculosis sufferers who were hospitalized at BP4 Purwokerto. On the other hand, the control group was all cases neighbours who did not suffer from children pulmonary tuberculosis. Data analysis used the methods of univariate, bivariate and multivariate (Logistic Regression).

28

The result showed that children had undernutritional, contact with adult pulmonary tuberculosis and inside smoker in hausehad probability 89.9% the occurrence of childrenpulmonary tuberculosis. As a suggestion, avoid contact with adult pulmonary tuberculosis and children need to consume nourishing foods and improve their life-styles.

Key word *)

: predivtice, model, children pulmonary tuberculosis : Lecturer at the Public Health Department of Medicine and Health Sciences Faculty Unsoed Purwokerto

A. Latar Belakang Menurut laporan WHO (2007), estimasi insidens semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2006 adalah sebesar 234/100.000 penduduk/tahun, sedangkan insiden kasus BTA positif adalah 104/100.000 penduduk/tahun. Prevalens semua kasus TB adalah 253/100.000 penduduk/tahun. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas tahun 2006 terdapat sebanyak 5.815 kasus TB, 600 penderita TB yang diobati dan tingkat kesembuhan TB sebesar 94,20%. Penelitian Rejeki, dkk (2009) menyebutkan kasus TB BTA positif di Kabupaten Banyumas masih cukup banyak yaitu pada tahun 2006 sebanyak 1410 kasus BTA positif, tahun 2007 sebanyak 615 kasus BTA positif dan tahun 2008 sebanyak 613 BTA positif. Program pemberantasan TB paru telah dilaksanakan sejak tahun 1995 terkoordinasi dengan strategi DOTS (Directty Observed Treatment Shortcouse) sesuai rekomendasi WHO. Prioritas strategi DOTS lebih ditujukan kepada upaya penemuan dan pengobatan penderita TB paru dewasa, usia diatas 15 tahun, sedang penderita TB anak tidak ditargetkan dalam program pemberantasan di Indonesia (Depkes RI, 2007). Data secara global menunjukkan diantara 100.000 penduduk ditemukan 130 penderita penyakit TB pada usia dewasa dan diperkirakan 5-15% diantaranya adalah diderita anak-anak. Sumber penularan TB paru yang paling tinggi adalah dari orang dewasa, hal ini berarti jika angka kejadian TB paru pada orang dewasa tinggi dapat disimpulkan kejadian TB anakpun tinggi. Kondisi demikian dapat terjadi karena orang dewasa dengan BTA positif akan menularkan 10 orang disekitarnya. Penelitian Rejeki (2011) menyatakan ada hubungan antar riwayat kontak dengan kejadian TB paru, artinya seseorang yang pernah kontak dengan penderita TB paru mempunyai risiko 3,98 kali lebih besar untuk menderita TB.

29

Penularan TB terjadi melalui udara dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil TB infeksius. Bayi dan anak yang kontak serumah dengan penderita TB dewasa terutama BTA positif merupakan kelompok risiko tinggi menderita TB. Anak usia kurang dari 1 tahun merupakan kelompok paling paling rawan terinfeksi TB, tingkat kerawanan akan menurun dengan bertambahnya umur. Pada usia 5-9 tahun anak memiliki resiko infeksi lebih rendah (Hentihu, 2007). Penyakit TB pada anak berpotensi menimbulkan berbagai masalah mulai dari fatal tumbuh, kecacatan bahkan kematian.Anak penderita TB seringkali terlambat dibawa ke pelayanan kesehatan, biasanya dibawa ke rumah sakit dengan infeksi yang sudah meluas bahkan sudah menyerang selaput otak (meningitis). Hillet al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi TB anak yaitu imunisasi BCG, riwayat kontak, status gizi, status ekonomi rendah dan kepadatan hunian (5 atau lebih orang dalam 1 ruang). Data BP4 Purwokerto tahun 2010 ada sebanyak 1078 kasus TB paru dan 628 berasal dari wilayah Kabupaten Banyumas. Kasus TB anak di Kabupaten Banyumas sendiri adalah 216 kasus dengan rincian 134 kasus (34,4%) terjadi pada usia 0-5 tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk membuat model prediksi kejadian TB pada anak dengan berbagai faktor penelitian sehingga bisa diupayakan pencegahannya.

B. Subyek dan Metode Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan rancangan kasus kontrol. Penelitian dilakukan dengan cara observasi retrospektif dengan tujuan untuk merancang model prediksi kejadian TB paru anak. Analisis data secara univariat, bivariat dengan uji Chi Square serta mengetahui besar risiko (odds ratio) dan multivariat untuk membuat model prediksi. Populasi kasus adalah anak usia 0-5 tahun yang didiagnosis di BP 4 Purwokerto menderita TB paru anak. Populasi kontrol adalah anak usia 0-5 tahun yang merupakan tetangga kasus dan tidak menderita TB paru anak. Jumlah sampel 32 kasus dan 32 kontrol. Variabel penelitian adalah status gizi, status imunisasi BCG, riwayat kontak, pendidikan orang tua, pendapatan orang tua, kepadatan hunian, kondisi ventilasi, perilaku menggunakan ventilasi, kondisi lantai, keberadaan perokok dan kejadian TB paru anak.

30

Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan Chi Square untuk mengetahui OR dan analisis multivariat dan pembuatan model prediksi dengan regresi logistik.

C. Hasil Perbandingan kondisi kasus dan kontrol dilihat dari variabel bebas yang diteliti disajikan pada Tabel 1. Berikut: Tabel 1. Distribusi Kasus dan Kontrol Berdasarkan Variabel Bebas Variabel Status gizi - Kurang - Normal Imunisasi BCG - Tidak pernah - Pernah Riwayat Kontak - Ada - Tidak ada Pendidikan orang tua - Rendah - Tinggi Pendapatan orang tua - Rendah - Tinggi Ventilasi - Tidak memenuhi syarat - Memenuhi syarat Perilaku penggunaan ventilasi - Tidak pernah/jarang dibuka - Dibuka setiap hari Lantai rumah - Lantai tanah - Lantai plester/keramik Keberadaan perokok - Ada perokok - Tidak ada KASUS N 25 10 2 33 25 10 18 17 18 17 6 29 11 24 1 34 29 6 % 71,4 28,6 5,7 94,3 71,4 28,6 51,4 48,6 51,4 48,6 17,1 82,9 31,4 68,6 2,9 97,1 82,9 17,1 n 12 23 1 34 7 18 18 17 4 31 7 28 4 31 1 34 18 17 KONTROL % 34,3 65,7 2,9 97,1 20,0 80,0 51,4 48,6 11,4 68,6 20,0 80,0 11,4 88,6 2,9 97,1 51,4 48,6

31

Rangkuman hasil analisis bivariat sebagai berikut : Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Variabel Independen Status gizi Imunisasi BCG Riwayat Kontak Pendidikan Orang Tua Pendapatan Orang Tua Kepadatan Hunian Kondisi Ventilasi Perilaku Penggunaan Ventilasi Kondisi Lantai Keberadaan perokok OR (95% CI) 4,79 (1,74 13,19) 2,06 (0,18 23,80) 10,0 (3,31 30,23) 1,0 (0,39 2,25) 8,21 (2,39 28,19) 3,75 (1,38 10,17) 0,83 (0,25 2,77) 3,55 (1,00 12,55) 1,0 (0,06 16,65) 4,56 (1,52 13,72) p value 0,002 0,551 0,000 1,000 0,000 0,008 0,758 0,038 1,000 0,004

Hasil analisis multivariat disajikan pada tabel berikut ini: Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda No 1. 2. 3. Variabel Independen Riwayat kontak (ada kontak) Keberadaan perokok (ada perokok) Status gizi (gizi kurang) OR (95% CI) 15,80 (3,36 74,31) 6,57 (1,26 33,80) 6,10 (1,41 30,23) p value 0,000 0,025 0,016

Hasil model prediksi terakhir disajikan sebagai berikut: Model Prediksi yang dihasilkan : 1 P (x) = -----------------------------------1 + e (a+b1x1 + b2 x2 + + bpxp) 1 P (x) = -----------------------------------1 + 2,7183( - 4,273+ 1,809 + 2,760 + 1,876) 1 P (x) = -----------------------------------1 + 2,71832,172 = 0,898 = 89,8%

32

Artinya : Anak dengan status gizi kurang, ada kontak dengan penderita TB dewasa dan ada perokok aktif dalam rumahnya mempunyai risiko 89,9% untuk menderita TB paru anak.

D. Pembahasan dan Kesimpulan 1. Model Prediksi Kejadian TB Anak Hasil analisis multivariat menunjukkan ada beberapa variabel yang bermakna dan menjadi model prediksi yaitu variabel riwayat kontak dengan penderita TB BTA positif, status gizi dan keberadaan perokok aktif dalam rumah. Variabel yang terbukti sebagai counfonding dalam penelitian ini adalah perilaku penggunaan ventilasi dan pendapatan keluarga. Model prediksi yang dihasilkan adalah :Anak dengan status gizi kurang, ada kontak dengan penderita TB dewasa dan ada perokok aktif dalam rumahnya mempunyai risiko 89,9% untuk menderita TB paru anak.Hasil ini menunjukkan keberadaan penderita TB BTA dewasa merupakan ancaman bagi anak-anak di lingkungannya.Anak yang mengalami kontak dengan penderita TB BTA positif merupakan kelompok risiko tinggi untuk mengalami infeksi TB.Sekitar 30% orang yang mengalami kontak yang dekat dengan penderita TB BTA positif menunjukkan bukti infeksi, dan sekurangnya setengah dari mereka mengalami perkembangan menjadi sakit TB pada 2 tahun pertama.Berdasarkan penelitian Naning (2003), terdapat perbedaan risiko relatif sebesar 2,78 (95% CI: 1,82-4,25) pada kontak dengan penderita TB BTA positif dibandingan dengan kontak dengan penderita TB BTA negatif untuk mengalami infeksi TB. Ketika batuk atau bersin, penderita TB BTA positif menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama (Depkes, 2007).Daya penularan penderita TB BTA positif ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.Sedangkan, faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lienhardt (2003) di Gambia menunjukkan bahwa kejadian TB diantara kontak yang serumah dengan penderita TB BTA positif dipengaruhi oleh karakteristik kontak, karakteristik penderita TB, frekuensi paparan kontak dengan penderita TB,

33

kedekatan genetik kontak dengan penderita TB, kedekatan sosial kontak dengan penderita TB dan tingkat keparahan penderita TB. Status gizi juga merupakan faktor risiko TB paru anak. Penelitian Gupta et al (2011) menyatakan bahwa gizi buruk dan kemiskinan merupakan faktor predisposisi meningkatnya kasus TB paru di negara berkembang. Gizi yang seimbang pada umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakit infeksi, tetapi sebaliknya kekurangan gizi akan berakibat penurunan daya tahan tubuh sehingga tubuh rentan terhadap infeksi. Penyakit TB paru sering ditemukan pada masyarakat pada sosial ekonomi rendah dan daerah yang status gizinya kurang. Status gizi kurang meningkatkn angka kesakitan penyakit TB paru. Keberadaan perokok aktif dalam rumah juga merupakan ancaman masalah kesehatan bagi orang-orang disekitarnya.penelitian Hillet al (2006) menyatakan merokok berhubungan dengan meningkatkan risiko tuberkulosis. Gajalakshmi menyatakan merokok meningkatkan insiden tuberkulosis dan menyebabkan separuh kematian pada pria di India. Merokok baik aktif maupun pasif meningkatkan risiko infeksi pnemonia, ISPA dan juga Tb paru. Rokok dapat mengganggu kejernihan mokosa silia yang mana digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan infeksi. Merokok dimungkinkan menghasilkan penurunan fungsi T sel yang dimanifestasikan oleh penurunan

perkembangbiakan mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam melawan infeksi akut. Merokok juga mempunyai dampak negatif pada fungsi B-limposit membawa kepada menurunnya produksi imunoglobulin. Secara ringkas merokok dapat meningkatkan risiko infeksi melalui efek yang bersifat merugikan pada struktur dan fungsi jalan pernapasan dan respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008).

2. a.

Faktor yang terbukti berhubungan dengan kejadian TB anak Riwayat kontak dengan penderita TB BTA positif Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan ada hubungan antara riwayat kontak dengan penderita TB BTA positif dengan kejadian TB anak.Anak yang mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB dewasa mempunyai risiko 15 kali lipat untuk menderita TB paru anak dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak setelah dikontrol variabel perilaku penggunaan ventilasi dan pendapatan

34

keluarga. Hasil penelitian ini sesuai dengan Saiman (2001) menyatakan bahwa anak yang pernah kontak dengan orang dewasa yang menderita TB BTA positif lebih dari 12 bulan mempunyai risiko 4,2 kali untuk menderita TB dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat kontak penderita TB BTA positif. Hasil penelitian

Tipayamongkholgul M et al (2005) menyatakan anak yang mempunyai kontak dengan pasien TB mempunyai risiko tinggi terkena tuberkulosis, walaupun anak tersebut pernah diimunisasi saat bayi. Kontak yang sangat erat dengan nilai OR=85 dan kontak yang erat dengan nilai OR=31. b. Status gizi Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian TB anak. Anak dengan status gizi kurang mempunya risiko 6 kali lebih besar untuk menderita TB paru anak dibandingkan anak dengan status gizi baik setelah dikontrol variabel perilaku penggunaan ventilasi dan pendapatan keluarga. Hasil ini sesuai dengan penelitian Yusri (2005) yang menyatakan, anak-anak dengan keadaan status gizi kurang, dapat meningkatkan risiko 9,7 kali lebih besar dari pada anak-anak yang berstatus gizi baik terhadap kejadian infeksi penyakit termasuk infeksi TB. c. Keberadaan perokok Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan ada hubungan antara keberadaan perokok dengan kejadian TB anak.Anak yang dalam rumahnya terdapat perokok mempunyai risiko 6 kali lebih besar untuk menderita TB paru anak setelah dikontrol variabel perilaku penggunaan ventilasi dan pendapatan keluarga. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ajis (2009) yang menyatakan, mereka yang terpapar asap rokok (baik aktif atau pasif) mempunyai risiko menjadi sakit TB 2,436 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak terpapar asap rokok. Hasil penelitian Tipayamongkholgul M et al (2005) menyatakan anak yang terpapar rokok pasif mempunyai risiko 9,3 kali untuk menderita tuberkulosis, dalam artian anak yang terpapar rokok secara pasif berisiko berkembang menjadi tuberkulosis, walaupun mereka tidak kontak langsung dengan penderita tuberkulosis. Perokok pasif mempunyai efek mengurangi fungsi paru pada anak-anak.Racun dalam rokok mempunyai mempunyai dampak menurunkan imunitas.

35

d.

Perilaku menggunakan ventilasi Hasil analisis bivariat menunjukkan perilaku menggunakan ventilasi dengan kejadian tuberkulosis anak, sedangkan hasil analisis multivariat menunjukkan perilaku penggunaan ventilasi sebagai counfonding/perancu. Penelitian ini menunjukkan

sebagian besar responden sudah mempunyai ventilasi yang memenuhi syarat yaitu > 10% luas lantai, hanya perilaku penggunaan ventilasi yang masih kurang.Responden jarang membuka jendela/lubang ventilasi dirumahnya dengan benar.Jendela/lubang ventilasi dibiarkan dalam kondisi tertutup setiap harinya, hal ini yang menyebabkan ruangan menjadi lembab sehingga bakteri dapat hidup dan berkembang. e. Pendapatan keluarga Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian tuberkulosis anak, sedangkan hasil analisis multivariat menunjukkan pendapatan keluarga sebagai counfonding.Keterbatasan dalam penelitian ini hanya melihat pendapatan secara kotor belum dikurangi kebutuhan dan jumlah anggota keluarga yang dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA

Ajis, E. 2009.Hubungan Antara Faktor-Faktor Eksternal dengan Kejadian penyakit Tuberkulosis Pada Balita. FK UGM. Yogyakarta. American Thoracis Society. 2000, Diagnostic Standars and Classification of Tuberculosis in Adults and Children, Am J Respir Crit Care Med. 16. p:1376-95 Depkes RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Gerdunas-TB. Jakarta Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Banyumas 2006. Purwokerto Gupta, S Shenoy VP, Mukhopadhyay C, Bairy L, Muralidharan S. 2011. Role of Risk Factors and Socio-Economic Status in Pulmonary Tuberculosis: a Search for the Root Couse in Tertiary Care Hospital South India. Tropical Medicine and International Health 16 (1) Januari 2011. Hill PC, Sillah DJ, Donkor SA, Out J, Adegbola RA, Lienhardt C. 2006.Risk Factors for Pulmonary Tuberculosis : a clinic-based case control study in The Gambia. BMC Public Health. Vol 6: 156 Lienhardt, C, MD, Sillah J, Fielding K. 2003. Risk Factors for Tuberculosis Infection in Children in Contact With Infectious Tuberculosis Cases in The Gambia, West Africa, Pediatrics. 111 (5) Mei.p : 608-14

36

Naning, R. 2003. Tuberculosis Infection In Infants And Children Who Have Contact With Positive Sputum Adult Tuberculosis.Thesis.UGM. Yogyakarta Saiman, L., Gabriel PS, Schulte J, Vargas MP, Kenyon T, Onorato I. 2001. Risk Factors for Latent Tuberculosis Infection Among Children in New York City.Pediatric :Department of Pediatrics, Columbia University. Vol 107:1-2 Rejeki, DSR, dan Suratman. 2011. Analisis Faktor Risiko Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas.Prosiding Puslit Pangan, Gizi, Kesehatan LPPM Unsoed Rejeki, DSR, Nurlaela S, dan Suratman. 2009. Gambaran Tuberkulosis Paru di Kabupaten Banyumas 2004-2008.Prosiding. FKM Undip tbcindonesia. 2008. Global Tuberculosis Control. WHO tbcindonesia.or.id. diakses tanggal 22 Desember 2009. Report 2008. www.

Tipayamungkhalgul M, Pudhipak A, Chearskul S and Schakorn P. Factors Associated with the Development of Tuberculosis in BCG Immunization Children. Southeast Asian J Trop Med. Vol 36 No. 1. Yusri.2005. Beberapa Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Anak di Kota Palembang.On-line. Diakses 11 April 201

37

MODEL PROMOSI KESEHATAN MELALUI STIMULASI TUMBUH KEMBANG ANAK AUTIS Atik Badiah, Mahasiswa S3 PP UNS Minat Promosi Kesehatan INTISARI

Latar Belakang : Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase Golden Age. Golden age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Selain itu, penanganan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelainan yang bersifat permanen dapat dicegah. Sedini mungkin pemantauan dapat dilakukan oleh orang tua. Selain itu pemantauan juga dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan posyandu. Oleh karena itu, pengetahuan tentang deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dimiliki oleh orang tua, dan masyarakat (Soetjiningsih, 2005) Autis merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu. Sampai saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autis, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan maupun penanganan yang tepat. Model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan otangtua agar mampu bekerja lebih efektif, mempersiapkan anak autis dalam menghadapi tantangan yang tidak dapat dihindari serta dapat melakukan stimulasi tumbuh kembang anak autis. Tujuan Penelitian : Menyusun model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis. Metode Penelitian : Penelitian ini dilakukan di Pos pelayanan terpadu wilayah Puskesmas Umbulharjo Yogyakarta. Jenis penelitian kuantitatif eksploratif. Rancangan penelitian metode eksperimental dan korelasional. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak autis, semua orangtua yang mempunyai anak autis di wilayah Puskesmas Umbulharjo. Sampel diambil dengan cara rule of thumb sebanyak 30 sampel anak autis dan 30 sampel orangtua yang mempunyai anak autis selama 16 minggu (4 titik pengamatan tumbuh kembang anak autis). Untuk mendiskripsikan variabel penelitian digunakan analisis statistik deskriptif. Selanjutnya dilakukan pengujian hubungan kausal antar berbagai variabel terpilih untuk menghitung besarnya pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung. Uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan analisis lintasan (path analysis). Kata kunci: Promosi kesehatan, stimulasi, pertumbuhan, perkembangan, autis

38

HEALTH PROMOTION MODEL GROWTH AND DEVELOPMENT TROUGHT STIMULATION FOR AUTISM Atik Badi'ah, PP UNS S3 Student Interests Health Promotion ABSTRACT

Background: Growth and development has increased rapidly at an early age, from 0 to 5 years. This period is often referred to as the phase of the "Golden Age". Golden age is a very important time to pay attention to child development carefully in order to be detected as early as possible in case of abnormality. In addition, the appropriate handling of abnormalities in the golden age can minimize the growth and development disorders that permanent abnormalities can be prevented. Monitoring can be done as early as possible by the parent. Besides monitoring can also be done by the community through neighborhood health center. Therefore, knowledge about early detection of growth and development of children need to be held by the parents, and the community (Soetjiningsih, 2005) Autism is a phenomenon that still holds many secrets even been studied for more than 60 years ago. It is not yet able to find the exact cause of autism disorders, and therefore has not developed ways of prevention and appropriate treatment. Models of health promotion through stimulation of growth and development of children with autism can improve their knowledge and skills otangtua be able to work more effectively, prepare autistic children for the challenges that can not be avoided and can stimulate growth and development of children with autism. Research Objectives: Create a model for health promotion through stimulation of growth and development of children with autism. Methods: The research was carried out in the Postal Services Umbulharjo integrated health center region of Yogyakarta. Type of exploratory quantitative research. The design of experimental and correlational research methods. The population of this study are all autistic children, all parents who have children with autism in the Puskesmas Umbulharjo. Samples were taken in a "rule of thumb" as many as 30 samples and 30 samples of autistic children of parents who have children with autism for 16 weeks (4 observation points autistic child development). To describe the study variables used descriptive statistical analysis. Further testing of the causal relationship between different variables selected to calculate the amount of influence either directly or indirectly. The statistical test used is multiple regression analysis and analysis of the trajectory (path analysis). Keywords: Health promotion, stimulation, growth, development, autism

39

A. Latar belakang Millenium Development Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan bersama antara 189 negara anggota PBB manusia melalui komitmen

untuk melaksanakan delapan tujuan

pembangunan. Adapun ke delapan tujuan tersebut yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan. Indonesia merupakan salah satu anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memiliki dan ikut melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Yogyakarta sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia juga ikut serta mendukung komitmen pemerintah tersebut, dengan melaksanakan program dan kegiatan yang bertujuan untuk mencapai target MDGs. Tujuan pembangunan Millenium yang ditargetkan untuk dapat dicapai pada tahun 2015 dijadikan sebagai salah satu pemacu semangat untuk melakukan upaya yang lebih baik dalam penanganan permasalahan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Dua tujuan MDGs adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua dan mensejahterakan masyarakat, dalam hal ini untuk anak berkebutuhan khusus seperti anak autis. Autis adalah salah satu gangguan perkembangan yang disebabkan kerusakan organis pada otak. Umumnya mereka mengalami kesulitan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal, ketika mereka menginginkan sesuatu, caranya adalah menarik-narik tangan orang lain untuk mendapatkan perhatian dan selain itu mereka juga sangat kaku dengan kegiatan rutin mereka seakan-akan sedang menjalani ritual tertentu. Sikap tersebut seperti menarik diri, tidak menjalin komunikasi, berbicara sendiri, menyanyi sendiri tanpa sebab, berputarputar tanpa alasan, bahkan dapat menimbulkan kejengkelan orang disekitarnya. Anak Autis memiliki kemampuan dan karakteristik yang berbeda satu sama lain, sehingga hal tersebut menentukan caranya berinteraksi terhadap diri dan lingkungan serta menjadikan anak Autis sebagai pribadi yang unik (Ginanjar, 2007). Autis merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu. Sampai saat ini belum dapat ditemukan penyebab pasti dari gangguan autis, sehingga belum dapat dikembangkan cara pencegahan maupun

40

penanganan yang tepat. Pada awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional. Sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa anak autis disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Minshew, Schopler dan Mesibov, 1992; Waterhouse, dalam Huebner dan Lane, 2001; Frith, 2003). Pada awal tahun 1970 penelitian tentang ciri-ciri anak autis berhasil menentukan kriteria diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam DSM-III (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder). Gangguan autis didefinisikan sebagai gangguan perkembangan dengan tiga ciri utama, yaitu gangguan pada interaksi sosial, gangguan pada komunikasi, dan keterbatasan minat serta kemampuan imajinasi (Ginanjar, 2007) Di Amerika Serikat saat ini perbandingan antara anak normal dengan anak autis 150:1, di Inggris 100;1, sementara di Indonesia belum ada data tentang anak autis karena belum pernah ada survei resmi. Walaupun berbeda dengan anak yang normal, anak autis tetap mempunyai hak-hak dasar sebagaimana anak normal. Anak autis perlu bermain, belajar dan bersosialisasi dalam komunitas di lingkungannya. Anak autis memerlukan pengawasan dan perhatian yang lebih besar dari orang tuanya dibanding dengan anak normal lainnya (Ginanjar, 2007). Prevalensi anak autis kurang lebih 2-5 kasus per 10.000 anak-anak di bawah usia 12 tahun. Bila terdapat gangguan mental (retardasi mental) berat yang menyertai beberapa ciri-ciri autis, rata-rata meningkat menjadi 20 per 10.000 anak. Pada kebanyakan kasus autis dimulai sebelum usia 36 bulan dan mungkin hal ini kurang mendapat perhatian bagi orang tuanya bergantung dari kesadaran dan beratnya gejala yang kelihatan. Kualitas seorang anak dapat dinilai dari proses tumbuh kembang. Proses tumbuh kembang merupakan hasil interaksi faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik/keturunan adalah faktor yang berhubungan dengan gen yang berasal dari ayah dan ibu, sedangkan faktor lingkungan meliputi lingkungan biologis, fisik, psikologis, dan sosial. Pertumbuhan dan perkembangan mengalami peningkatan yang pesat pada usia dini, yaitu dari 0 sampai 5 tahun. Masa ini sering juga disebut sebagai fase Golden Age. Golden age merupakan masa yang sangat penting untuk memperhatikan tumbuh kembang anak secara cermat agar sedini mungkin dapat terdeteksi apabila terjadi kelainan. Selain itu, penanganan kelainan yang sesuai pada masa golden age dapat meminimalisir kelainan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga kelainan yang bersifat permanen dapat dicegah. Pemantauan

41

tumbuh kembang anak meliputi pemantauan dari aspek fisik, psikologi, dan sosial. Pemantauan tersebut harus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan. Sedini mungkin pemantauan dapat dilakukan oleh orang tua. Selain itu pemantauan juga dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan posyandu. Oleh karena itu, pengetahuan tentang deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan anak perlu dimiliki oleh orang tua, dan masyarakat (Soetjiningsih, 2005) Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses yang diawali dari konsepsi (pembuahan) sampai pematangan atau dewasa. Melalui proses tersebut anak tumbuh menjadi lebih besar dan bertambah matang dalam segala aspek baik fisik, emosi, intelektual, maupun psikososial. Apabila terdapat suatu masalah dalam proses tersebut maka berakibat terhambatnya anak mencapai tingkat tumbuh kembang yang sesuai dengan usianya. Apabila gangguan ini berlanjut maka akan menjadi suatu bentuk kecacatan yang menetap pada anak. Namun, apabila sejak dini gangguan tumbuh kembang sudah terdeteksi, maka kita dapat melakukan suatu intervensi sesuai dengan kebutuhan anak. Melalui intervensi yang dilakukan sejak dini itulah tumbuh kembang anak pada tahap selanjutnya dapat berjalan dengan lebih baik. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan merupakan masalah yang banyak dijumpai di masyarakat, sehingga sangatlah penting apabila semua komponen yang terlibat dalam tumbuh kembang anak, yaitu orang tua, guru dan masyarakat dapat bekerja sama dalam melakukan pemantauan sejak dini (Soetjiningsih, 2005) Pengukuran pertumbuhan dan perkembangan dapat dilakukan sedini mungkin sejak anak dilahirkan. Deteksi dini merupakan upaya penjaringan yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menemukan penyimpangan tumbuh kembang dan mengetahui serta mengenal faktor risiko pada balita. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses tumbuh kembang. Upaya-upaya tersebut diberikan sesuai dengan umur perkembangan anak, dengan demikian dapat tercapai kondisi tumbuh kembang yang optimal. Pengukuran pertumbuhan dan perkembangan meliputi dua hal pokok, yaitu penilaian pertumbuhan fisik dan penilaian perkembangan. Masing-masing penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri (Soetjiningsih, 2005)

42

Stimulasi sangat membantu dalam menstimulasi otak untuk menghasilkan hormonhormon yang diperlukan dalam perkembangannya. Stimulasi dapat diberikan dalam berbagai bentuk yang sederhana dan mudah untuk dilakukan. Stimulasi tersebut dapat berupa kehangatan dan cinta tulus yang diberikan orang tua. Selain itu, orang tua dapat memberikan pengalaman langsung dengan menggunakan panca inderanya (penglihatan, pendengaran, perasa, peraba, dan penciuman). Interaksi anak dan orang tua melalui sentuhan, pelukan, senyuman, nyanyian, dan mendengarkan dengan penuh perhatian juga merupakan bentuk stimulasi secara dini. Ketika anak yang belum dapat berbicara mengoceh, ocehan itu perlu mendapatkan tanggapan sebagai bentuk stimulasi kemampuan bicara anak. Sejak dini orang tua semestinya mengajak bercakap-cakap dengan suara lembut dan memberikan rasa aman kepada anak. Ketika dilahirkan, otak anak sudah mempunyai sel syaraf yang bermilyaran jumlahnya, namun jumlah itu banyak yang hilang seteah dilahirkan. Ketika otak mendapatkan suatu stimulus yang baru, maka otak akan mempelajari sesuatu yang baru. Stimulus tersebut akan menyebabkan sel syaraf membentuk sebuah koneksi baru untuk menyimpan informasi. Sel-sel yang terpakai untuk menyimpan informasi akan mengembang, sedangkan yang jarang atau tidak terpakai akan musnah. Di sinilah pentingnya suatu stimulasi yang rutin diberikan. Stimulasi yang terus-menerus diberikan secara rutin akan memperkuat hubungan antar syaraf yang telah terbentuk sehingga secara otomatis fungsi otak akan menjadi semakin baik. Masalah kecacatan pada anak merupakan masalah yang cukup kompleks baik secara kuantitas maupun kualitas, mengingat berbagai jenis kecacatan mempunyai permasalahan tersendiri. Jika masalah anak penyandang cacat ini ditangani secara dini dengan baik dan keterampilan mereka ditingkatkan sesuai minat, maka beban keluarga, masyarakat dan negara dapat dikurangi. Sebaliknya jika tidak diatasi secara benar, maka dampaknya akan memperberat beban keluarga dan negara. Anak autis merupakan salah satu kelompok anak dengan permasalahan khusus yaitu kurang mampu mengorganisasi sesuatu, kurang merencanakan sesuatu, mengalami kesulitan mencari penyelesaian dan kurang fleksibel melakukan tugas. Anak autis tidak dapat menunjukkan hubungan kasih sayang. Barangkali mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak autis tidak dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Diketahui bahwa stimulus sensor anak autis diproses dengan cara berbeda dengan anak normal sehingga mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam mengeksperesikan

43

kasih sayang dengan cara yang lazim yang dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri. Kadangkala anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam berhubungan dengan orang lain. Penemuan kelainan perkembangan otak yang meliputi adanya cerebral palsi, gangguan pemusatan perhatian hiperaktifitas (GPPH), gangguan emosi, gangguan perilaku adaptif, gangguan perkembangan sosial, gangguan interaksi dengan orang lain (autis). Pengembangan model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis dapat memberikan pelayanan kepada anak autis yang berkualitas dengan akses yang mudah pada masyarakat. Orangtua dapat diberikan pengetahuan untuk melakukan stimulasi tumbuh kembang anak autis di rumah dalam upaya bantuan rehabilitasi pada anak autis. Model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan otangtua agar mampu bekerja lebih efektif, mempersiapkan anak autis dalam menghadapi tantangan yang tidak dapat dihindari serta dapat melakukan stimulasi tumbuh kembang anak autis. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Agustus 2012 dengan cara wawancara pada sebagian orangtua di posyandu wilayah industri Puskesmas Umbulharjo Yogyakarta didapatkan hasil bahwa orangtua belum pernah mendapatkan materi khusus tentang tumbuh kembang anak autis dan belum mengetahui cara menstimulasi tumbuh kembang anak autis. Berdasarkan hal-hal tersebut peneliti tertarik mengambil judul penelitian Disertasi Model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis . Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk : a. Menganalisis faktor-faktor internal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak autis. b. Menganalisis faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak autis. c. Menganalisis status gizi yang mempengaruhi tumbuh kembang anak autis. d. Menganalisis stimulasi tumbuh kembang anak autis. e. Menyusun model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis. Model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis yang akan dikembangkan oleh peneliti dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

44

Lembaga kebijakan

Semua komponen berjalan sesuai dengan Tupoksi Evaluasi

PosYandu, Perawat dan Bidan

Sukses berkesinambungan

Keluarga
Model Promosi Kesehatan melalui stimulasi tumbuh

Puskesmas

Lembaga ekonomi dan keuangan

kembang anak autis

Tokoh masyarakat (Kepala Desa, RW, RT)

Lembaga pendidikan TTToko sekolah autis

Gambar 1. Modifikasi model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis (Sumber : Hartoyo dkk, 2003)

45

Kerangka Berfikir INPUT


Faktor Internal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak autis (X1) : a. Ras/etnik (X1-1) b. Latar belakang Keluarga (X1-2) c. Umur anak (X1-3) d. Jenis Kelamin (X1-4) e. Genetik (X1-5) f. Kelainan kromosom (X1-6)

PROSES

OTPUT

Faktor Eksternal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak autis (X2) : 1.Faktor Prenatal a. Gizi ibu hamil (X2-1) b. Mekanis (X2-2) c. Toksin/Zat kimia (X2-3) d. Endokrin (X2-4) e. Radiasi (X2-5) f. Infeksi (X2-6) g. Kelainan imunologi (X2-7) h. Anoksia embrio (X2-8) i. Psikologi Ibu (X2-9) j. Kehamilan tidak diinginkan (X2-10) 2. Faktor Intranatal a. Komplikasi persalinan (X2-11) 3. Faktor Postnatal a. Gizi anak (X2-12) b. Penyakit kronis/kelainan kongenital (X2-13) c. Lingkungan Fisik dan kimia (X2-14) d. Psikologis anak (X2-15) e. Endokrin (X2-16) f. Sosio ekonomi (X2-17) g. Lingkungan pengasuhan (X2-18) h. Stimulasi (X2-19) i. Obat-obatan (X2-20) Status Gizi anak Autis (X3) : a. BB/U (X3-1) b. TB/U (X3-2) c. BB/TB (X3-3)

Stimulasi Tumbuh Kembang Anak Autis (Y) 1. Pertumbuhan : a. Berat Badan/BB (Y1) b. Tinggi Badan/TB (Y2) c. Lingkar Kepala/LK (Y3) d. Lingkar Lengan Atas/LLA (Y4) e. Lingkar Dada/LD (Y5) f. Lingkar Perut/LD (Y6) 2. Perkembangan : a. Personal Sosial (Y7) b. Motorik Halus (Y8) c. Bahasa (Y9) d. Motorik Kasar (Y10) (Y)

Model promosi kesehatan melalui stimulasi tumbuh kembang anak autis

Gambar 2. Kerangka Berfikir (Sumber : Papalia, 1989, Soetjiningsih, 2005 dan DepKes, 2004)

46

B. Subyek dan Metode Penelitian ini dilakukan di pos pelayanan terpadu (Pos Yandu) dan di rumah-rumah wilayah industri Puskesmas Umbulharjo Yogyakarta. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif eksploratif. Rancangan penelitian menggunakan metode

eksperimental dan korelasional, yakni penelitian survei yang bertujuan menjelaskan pengaruh dan menguji adanya hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesis. Penggalian data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan penyebaran quesioner kepada orangtua yang mempunyai anak autis dengan lembar observasi untuk anak autis. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak autis, semua orangtua yang mempunyai anak autis di wilayah Puskesmas Umbulharjo. Sampel diambil dengan cara rule of thumb (Murti B, 2010) sebanyak 30 sampel anak autis dan 30 sampel orangtua yang mempunyai anak autis selama 16 minggu (4 titik pengamatan tumbuh kembang anak autis). Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan, wawancara terstruktur, pengisian quesioner dan intervensi kepada 30 anak autis dan 30 orang tua yang mempunyai anak autis. Pengumpulan data selama 16 minggu (4 titik pengamatan tumbuh kembang anak autis). Pengambilan data dilakukan di wilayah industri puskesmas Umbulharjo Yogyakarta dimulai dengan mencari anak autis di pos yandu wilayah industri Puskesmas Umbulharjo Yogyakarta dan dilanjutkan dengan stimulasi di rumah-rumah orangtua yang mempunyai anak autis. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran hasil penelitian yang sudah ada, kajian pustaka yang relevan serta pencatatan data yang telah dikumpulkan oleh pihak yang berkompeten seperti puskesmas Umbulharjo dan Dinas Kesehatan Kota

Yogyakarta. Data dan semua informasi yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Untuk mendiskripsikan variabel penelitian digunakan analisis statistik deskriptif. Selanjutnya dilakukan pengujian hubungan kausal antar berbagai variabel terpilih untuk menghitung besarnya pengaruh baik langsung ataupun tidak langsung. Uji statistik yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan analisis lintasan (path analysis).

47

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 2004, Pedoman Pelaksanaan Stimulasi Deteksi dan Intervensi dini Tumbuh Kembang anak di tingkat pelayanan kesehatan dasar, Jakarta Ginanjar, 2007. Memahami Spektrum Autistik Secara Holistik, Disertasi, Fak Psikologi Universitas Indonesia. Handojo, Y, 2003, Autisma, Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer (BIP) Hartoyo dkk, 2003. Pengembangan Model Tumbuh Kembang Anak Terpadu, Plan Indonesia Bogor dengan Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, IPB Bogor. Ismail, D., 2001, Peranan Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Kembang Balita Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia., Naskah pidato pengukuhan pada penerimaan Jabatan Guru Besar FK UGM di Yogyakarta tanggal 10 November 2001. Ismail, D, 2007, Peran Dokter Anak Untuk Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak Gifted, Dalam Seminar Memahami keunikan dan menyiapkan Masa Depan Anak Gifted, Sardjito, Yogyakarta. Murti B, 2010, Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian kuantitatif dan Kualitatif di bidang Kesehatan, gadjah Mada University Press. Naido and Wills, 1996. Health Promotion Foundations For Practice, Bailliere Tindal, London Philadelphia Toronto Sydney Tokyo Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, PT Rineka Cipta, Jakarta Papalia et al, 1989. Human Development, Mc Graw-Hill Book Company. Soetjiningsih, 2005, Tumbuh Kembang Anak, edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Sunartini, 2009, Deteksi Gangguan Perkembangan Otak dan Perkembangan Potensi anak dengan kemampuan dan kebutuhan khusus, naskah pidato pengukuhan pada penerimaan Jabatan Guru Besar FK UGM di Yogyakarta tanggal 28 Mei 2009 Tesoriero F, 2010, Community Development, Community-Based Alternatives In An Age Of Globalisation, Pearson Australia.

48

STUDI FAUNA NYAMUK ANOPHELES sp. PADA DAERAH PERSAWAHAN DI KELURAHAN OESAO, KECAMATAN KUPANG TIMUR, KABUPATEN KUPANG PROPINSI NTT TAHUN 2011 R.H. Kristina, SKM, M.Kes **), Yuanita Rogaleli*), J.Pitreyadi Sadukh *) ABSTRAK Latar Belakang: Sekitar 50% dari Populasi Indonesia rawan terkena malaria, terutama daerah pedesaan dan antara masyarakat miskin. Daerah yang paling rawan malaria terletak diluar Jawa, terutama daerah timur Indonesia, yaitu NTT, Maluku dan Papua. Nyamuk Anopheles Sp yang telah ditetapkan atau dikonfirmasi sebagai vektor malaria di Prop NTT yaitu Anopheles Sundaicus, Anopheles Subpictus dan Anopheles Barbirostris. Berdasarkan laporan Dinkes Propinsi NTT angka annual parasite incidence (API) tahun 2008 sebesar 0,3 %, tahun 2009 sebesar 0,1 %, tahun 2010 sebesar 3,23%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fauna (jenis nyamuk Anopheles) dan perilaku dari nyamuk Anopheles Sp pada daerah persawahan di Kelurahan Oesao Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Adapun tujuan khususnya untuk mengetahui spesies nyamuk Anopheles sp, kepadatan nyamuk, bagaimana aktivitas mengigit nyamuk Anopheles sp, tempat istirahat nyamuk Anopheles sp, kepadatan jentik nyamuk Anopheles sp. Metodelogi Penelitian: Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan rancangan cross sectional study. Subyek penelitian adalah spesies dan perilaku nyamuk Anopheles sp di Kelurahan Oesao Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Populasi dalam penelitian ini seluruh nyamuk Anopheles yang berada di lokasi penelitian. Sampelnya yaitu seluruh nyamuk Anopheles sp yang tertangkap di lokasi penelitian dengan 3 kali pengulangan penangkapan. Kepadatan jentik diukur dengan menggunakan cidukan, untuk kepadatan nyamuk Anopheles dengan menggunakan perhitungan Man Hour Density (MHD), skala pengukuran interval. Hasil Penelitian: Hasil dari penelitian ini yaitu ditemukan 4 jenis spesies Anopheles di Kelurahan Oesao yaitu An.Vagus sebesar 45,97%, An.Barbirostis sebesar 29,03%, An.indefinitus sebesar 16,13% dan An.Annularis sebesar 8,87%. Jumlah dan kepadatan nyamuk Anopheles berdasarkan metode penangkapan pada malam hari pada bulan Juni dan Juli tahun 2011 didapatkan An. Vagus sebesar 45,97%, An. Barbirostris sebesar 29,03%, An. Indenfinitus sebesar 16,13% dan An. Annularis 8,87%. Kepadatan nyamuk Anopheles sp tertinggi ditemukan disekitar kandang (Metode KD), yakni An. Vagus 2,8333 ekor per orang per jam dan An.Barbirostis 1,778 ekor per orang per jam. Aktivitas menggigit An.Vagus dan An.Barbirostris di Kelurahan Oesao ditemukan sepanjang malam dan mencapai puncaknya pada jam 21.00 03.00. Tempat istirahat atau kebiasaan istirahat dari An. Vagus dan An.Barbirostris di Kelurahan Oesao pada malam hari banyak ditemukan istirahat disekitar kandang. Kepadatan larva Anopheles sp di Kelurahan Oesao

49

tertinggi pada habitat sawah dengan kepadatan 3,01 per cidukan dan terendah pada habitat sungai dengan kepadatan 0,36 per cidukan. Saran: Agar terhindar dari gigitan nyamuk masyarakat disarankan menggunakan kelambu berinsektisida, memasang kawat kasa pada ventilasi rumah, memisahkan tempat ternak dengan rumah, bagi Dinkes agar memprioritaskan pengendalian nyamuk Anopheles dengan metode indoor dan pengendalian terhadap larva dengan metode biologi kontrol. Kata Kunci : An.Vagus, An.Barbirostis, An.indefinitus, An.Annularis, Kepadatan Nyamuk **) Peneliti Utama: *)Peneliti, dosen Poltekkes Kemenkes Kupang Jurusan Kesehatan Lingkungan Kupang- NTT.

50

FAUNA STUDY OF ANOPHELES MOSQUITOES SP. IN RICE FIELD IN URBAN AREAS OESAO, DISTRICT EAST KUPANG, KUPANG REGENCY PROVINCE NTT, YEAR 2011 R.H. Kristina, SKM, M.Kes **), Yuanita Rogaleli *), J.Pitreyadi Sadukh *) ABSTRACT Background: About 50% of Indonesia's population is vulnerable to malaria, especially rural areas and among the poor. Most vulnerable area malaria-prone areas located outside Java, especially the eastern region of Indonesia, namely NTT, Maluku and Papua. Sp Anopheles mosquito that has been well known or confirmed as malaria vectors in the Province NTT as if Anopheles Sundaicus , Anopheles Subpictus and Anopheles Barbirostris. Based on figures reported NTT Provincial Health Office Annual Parasite Incidence (API) in year 2008 amounted to 0.3 %, in 2009 by 0.1%, in 2010 3.23%. Objective: This study aimed to determine the fauna (Anopheles mosquitoes) and the behavior of the mosquito Anopheles sp in the rice fields in the village Oesao District East Kupang in Kupang Regency. The study is particularly conducted to determine the mosquito Anopheles sp, mosquito density, how the mosquito biting activity of Anopheles sp, the resting place of Anopheles mosquito, and the density of Anopheles mosquito,s larvae . Research Method : The study is conducted by descriptive exploratory study using a cross sectional study. The analysis unit of this study is especially focused Subjects were species and behavior of Anopheles sp in the Oesao Village eastern part of Kupang Regency. The population in this study all Anopheles mosquitoes that are exist at the sites. Meanwhile, the Sample analysis merely include the entire mosquito Anopheles sp caught at study area with three times repetitions . Larvae density was measured using detention, for a density of Anopheles mosquito using a calculation Man Hour Density (MHD), a scale of measurement interval. Results: The results of this research that found 4 species of Anopheles in the Village Oesao the An.Vagus by 45.97%, amounting to 29.03% An.Barbirostis, An.indefinitus by 16.13% and An.Annularis by 8, of 87%. The number and density of Anopheles mosquitoes by capture method at night in June and July of 2011 found An. Vagus by 45.97%, An. Barbirostris amounted to 29.03%, An. Indenfinitus amounted to 16.13% and An. Annularis 8.87%. Highest density of Anopheles sp was found near the cage (method KD), namely An. Vagus 2.8333 fish per person per hour and An.Barbirostis 1.778 fish per person per hour. An.Vagus and biting activity in the Village Oesao An.Barbirostris found throughout the night and peaked at 21:00 to 03:00. Break or break habits of An. Vagus and An.Barbirostris in Sub Oesao at night are found resting near the cage. The density of larval Anopheles sp highest in Sub Oesao habitat density field with 3.01 per detention and lowest in the river habitat with densities 0.36 per detention. Suggestion: To avoid mosquito bites people are advised to use insecticide-treated nets, installing wire mesh on the vents, separating the cattle home, the health office in order to prioritize the Anopheles mosquito control methods to control larvae indoor and biological control methods. Keywords : An.Vagus, An.Barbirostis, An.indefinitus, An.Annularis, Mosquito Density. **) Researcher, *) Researcher who is lecturer in Kupang Health Polytechnic , Department of Environmental Health,

51

POTENSI BUDAYA LOKAL DALAM RANGKA USAHA MENINGKATKAN STATUS GIZI BALITA (Dengan Pemanfaatan Ikan Sisa Hasil Sortir untuk MP-ASI Balita) Oleh : Oktia Woro Kasmini H, Galuh Nita Prameswari

ABSTRAK Berdasarkan budaya lokal, system social dan potensi bahan pangan lokal, maka tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa sortir (fingerlings) dengan berbagai konsentrasi ke dalam tepung ubi jalar dan tepung terigu pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap kadar protein serta daya terimanya, dalam rangka usaha perbaikan status gizi balita. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental. Variabel bebas, konsentrasi penambahan tepung ikan (0%,10%, 20% dan 30%) dari jumlah tepung ubi jalar atau tepung terigu yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan biskuit MP-ASI.Variabel terikat adalah kadar protein dan daya terima. Analisis data menggunakan analisis univariat (deskriptif) dan analisis bivariat (Anova dan Friedman test). Hasil penelitian didapat kesimpulan: 1) Pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung ubi jalar pada biskuit terhadap kadar protein, tertinggi pada konsentrasi 30% dan kadar protein meningkat sesuai dengan konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan. Sedangkan pada penambahan ke dalam tepung terigu, tertinggi pada konsentrasi 10% dan kadar protein cenderung menurun pada penambahan tepung ikan, 2) Pada penambahan dalam tepung ubi jalar daya terima paling baik pada konsentrasi 30%, dan pada penambahan dalam tepung terigu pada konsentrasi 0%, 3) Biskuit MP-ASI yang paling memberi keuntungan adalah biskuit MP-ASI dengan bahan dasar tepung ubi dengan konsentrasi tepung ikan 30%. Kata kunci : Budaya, gizi, ikan sortir, MP-ASI, balita

52

POTENTIAL OF LOCAL CULTURE IN ORDER TO IMPROVE NUTRITIONAL STATUS OF CHILDREN (Utilization of the fishsort results for complementary foods of breast milk for children under five) ABSTRACT Based on the local culture, social system and the potential of local food, so the goal of this study is to determine the effect of addition the flour of fish sort result(fingerlings) with various concentrations into the sweet potato flour and wheat flour in the manufacture of biskuits complementary feeding on levels of protein and acceptance of people, in order to improve nutritional status of children. Design of this research is experimental research.The independent variable, the concentration of the addition of flour fish (0%, 10%, 20% and 30%) fromamount of sweet potato flour or wheat flour is used as base material in the manufacture of biskuits complementary foods.The dependent variable is the level of protein and acceptance of people.Analysisof data using descriptive analysis. The results obtained conclusions: 1) the effect of the concentration of the addition of fish meal fingerlings into sweet potato flour in the biskuits to the protein content, the highest concentration is 30% and protein levels increased with the concentration of flour fish is added.Meanwhile, in addition to the wheat flour, the highest concentration is 10% and protein levels tended to decrease on the addition of flour fish, 2) the addition of the sweet potato flour are best receivedof people at a concentration 30%, and the increase in wheat flour at a concentration of 0% , 3) Complementary feeding biskuits is the most profitable is biskuits with sweet potato as base material with a concentration 30% of flour fish. Keywords : culture, nutrition, fish sorting, complementary feeding, children under five

A. Pendahuluan Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2007 menimbulkan permasalahan baru yang berpengaruh pada peningkatan keluarga miskin dan penurunan daya beli pangan masyarakat. Terjadinya penurunan ketersediaan pangan keluarga berpengaruh terhadap status gizi anak khususnya anak balita yang menyebabkan asupan makanan yang diterima balita tidak sesuai dengan kebutuhannya sehingga berpotensi menimbulkan kasus gizi kurang bahkan gizi buruk pada balita (Dinas Pertanian, 2008: 1). Prevalensi kasus gizi kurang dan pendek yang terjadi pada balita di Indonesia tahun 2007 sebesar 18,4% dan 36,6%, tahun 2010 menurun menjadi 17,9% dan 35,6%, tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah (BAPPENAS, 2011: 24).

53

Menurut data Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2010, jumlah kasus gizi kurang di kecamatan Semarang Utara sebesar 6,98% (18 kasus). Pada bulan April 2011, salah satu puskesmas di Semarang Utara yaitu Puskesmas Bandarharjo terdapat 42 kasus gizi kurang (Puskesmas Bandarharjo, 2011: 1). Salah satu kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo yaitu Kelurahan Tanjungmas merupakan daerah bertipologi pantai yang berpotensi sebagai sumber zat gizi. Tetapi berdasarkan studi pendahuluan, daerah ini masih banyak dijumpai kasus gizi kurang khususnya tingkat kecukupan konsumsi protein pada balita sebesar 64% (16 anak) dari 25 responden. Potensi pangan lokal di Kelurahan Tanjungmas yaitu ikan sisa hasil sortir (fingerlings) yang masih muda. Sedangkan kebiasaan yang merupakan budaya local didaerah ini adalah mengawetkan ikan sisa sortir menjadi ikan asin dan menjadi konsumsi untuk semua anggota keluarga, termasuk anak-anaknya. Ikan fingerlings yang masih segar lebih banyak mengandung zat gizi dibandingkan dengan yang sudah diasinkan atau diawetkan. Disamping itu ikan fingerlings ini bisa dimanfaatkan untuk salah satu jenis makanan yang bergizi untuk balita. Upaya yang mungkin dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kasus gizi kurang adalah Pemberian Makanan Pengganti ASI pada Balita (MP-ASI) dengan pemanfaatan ikan fingerlings yang merupakan sumber protein lokal. Budaya local lainnya adalah yang berkaitan dengan nilai dan sistem social, dimana nilai ikan yang besar mempunyai nilai yang tinggi ditinjau dari stratanya (kelasnya) maupun dari segi ekonomi. Keluarga yang menggantungkan penghasilan dari ikan mempunyai rasa kesatuan berupa rasa gotong royong dan kekeluargaan yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk usaha meningkatkan status gizi balita. Pembuatan MP-ASI sebaiknya menggunakan bahan makanan setempat lain yang bergizi tinggi, agar pembuatan MP-ASI tidak mengandalkan daerah lain, sehingga upaya pelestarian MP-ASI lebih terjamin dan dapat menghasilkan makanan yang padat gizi (Moehji, 2003: 50). Oleh karena itu, selain penggunaan tepung ikan fingerlings sebagai sumber protein, digunakan pula ubi jalar (ipomea batatas) yang mengandung karbohidrat yang tinggi sebagai sumber tenaga (Murtiningsih dan Suryanti, 2011: 54). Selain penggunaan ubi jalar dalam pembuatan biskuit, diperlukan pula tambahan lain seperti tepung terigu agar didapatkan biskuit yang lebih sehat dan bernutrisi (Douglas, 2009: 130). Selain kandungan energinya yang cukup tinggi, ubi jalar dan gandum banyak disukai oleh masyarakat dan sangat cocok diolah menjadi tepung dan pati. Tepung ubi jalar

54

dan epung terigu dapat dimanfaatkan untuk membuat makanan yang lezat, salah satunya adalah biskuit MP-ASI, tetapi kandungan protein tepung ubi jalar rendah yaitu hanya sebesar 5,12% (Murtiningsih dan Suyanti, 2011: 57). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings dalam tepung ubi jalar dan tepung terigu pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap kadar protein dan daya terimanya, dalam rangka usaha meningkatkan status gizi balita. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa sortir (fingerlings) dengan berbagai konsentrasi (0%, 10%, 20% dan 30%) kedalam tepung ubi jalar dan tepung terigu pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap kadar protein serta daya terimanya.

B. Metodologi Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental, single factor dengan dasar rancangan acak lengkap (Irianro, 2004:219; Usman, 2009:239). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: konsentrasi penambahan tepung ikan (0%,10%, 20% dan 30%) dari jumlah tepung ubi jalar atau tepung terigu yang digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan biskuit MP-ASI. Pemilihan konsentrasi 0%, 10%, 20%, 30%, berpedoman pada penggunaan konsentrasi penambahan yang digunakan oleh peneliti terdahulu, dimana setiap substitusi dilakukan peningkatan 10% yang dikontrol dengan 0% dan tidak lebih dari substitusi 50% dari bahan baku. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah: 1) Kadar protein biskuit MP-ASI, 2) Daya terima terhadap biskuit MP-ASI, meliputi: rasa, warna, aroma dan tekstur. Sedangkan variabel perancu untuk kadar protein adalah proses pemanggangan, komposisi adonan, bahan kimia, suhu & PH, yang dikendalikan dengan penggunaan metode dan resep yang sama saat proses pembuatan biskuit. Sedangkan variabel perancu untuk daya terima dikendalikan dengan cara membuat sampel biskuit dengan ciri-ciri fisik yang sama, membuat ruang khusus untuk pengujian dan menggunakan panelis yang memiliki kondisi kesehatan yang baik. Analisis data dengan analisis univariat dan bivariat (uji Anova dan Fiedman test). Analisis univariat digunakan untuk mengetahui konsentrasi penambahan tepung ikan banjar (rastrelliger sp), kadar protein dan daya terima biskuit MP-ASI. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan banjar

55

(rastrelliger sp) dalam tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap kadar protein dan daya terima.
Kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan dalam skema berikut: Variabel Bebas
Konsentrasi penambahan tepung ikan sortir (fingerlings) dalam tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit MP-ASI (Konsentrasi 0%, 10%, 20% dan 30%)

Variabel Terikat

1. Kadar protein biskuit MPASI

Konsentrasi penambahan tepung ikan sortir (fingerlings) dalam tepung terigu pada pembuatan biskuit MP-ASI (Konsentrasi 0%, 10%, 20% dan 30%)

2. Daya terima terhadap biskuit MP-ASI (rasa, warna, aroma dan tekstur)

Variabel Perancu
1. Kadar protein: proses pemanggangan, komposisi adonan, bahan kimia, suhu & pH 2. Daya terima: Kondisi sampel, kondisi lingkungan sampel dan kondisi panelis.

Gambar 1. Kerangka Konsep

C. Hasil Pada penelitian pengujian kadar protein sebanyak 3 kali (triplo) dilaksanakan di laboratorium jurusan kimia Universitas Negeri Semarang, sedangkan uji daya terima biskuit MP-ASI terhadap panelis, dilaksanakan di Posyandu Kasih Ibu Jl. Mintojiwo Dalam VI RT8 RW4 , Gisikdrono, Semarang. Hasil yang didapat adalah sebagai berikut:

1.

Analisis Kadar Protein Dalam penetapan kadar protein, sampel yang diuji adalah biskuit hasil eksperimen

(penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung terigu atau tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit MP-ASI) dengan menggunakan metode Spektrofotometri, dan data yang diperoleh sebagai berikut :

56

Tabel 1. Hasil Uji Kadar Protein Biskuit Penambahan Tepung Ikan Sisa Hasil Sortir (Fingerlings) Ke Dalam Tepung Terigu Kode Konsentrasi Tepung Ikan pada Kadar Protein Biskuit Biskuit MP-ASI % A1 0% 2,45 A2 10% 2,93 A3 20% 2,81 A4 30% 2,68 Sumber : Data primer

Berdasarkan pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa terdapat 4 buah biskuit MP-ASI dengan konsentrasi tepung ikan sisa hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu sebesar 0%, 10%, 20%, dan 30%. Pengujian kadar protein pada biskuit MP-ASI dilakukan tiga kali uji (triplo), dan diperoleh kadar protein yang tertinggi pada konsentrasi penambahan 10% dengan kadar protein sebesar 2,93%, sedangkan kadar protein terendah pada konsentrasi penambahan 0% dengan kadar protein sebesar 2,45%.

Tabel 2. Hasil Uji Kadar Protein Biskuit Penambahan Tepung Ikan Sisa Hasil Sortir (Fingerlings) Ke Dalam Tepung Ubi Jalar Kode Konsentrasi Tepung Ikan pada Kadar Protein Biskuit Biskuit MP-ASI % B1 0% 4,02 B2 10% 5,12 B3 20% 5,56 B4 30% 7,62 Sumber : Data primer

Berdasarkan pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa terdapat 4 buah biskuit MP-ASI dengan konsentrasi tepung ikan sisa hasil sortir (fingerlings) dalam tepung ubi jalar sebesar 0%, 10%, 20%, dan 30%. Pengujian kadar protein pada biskuit MP-ASI dilakukan tiga kali uji (triplo), dan diperoleh kadar protein yang tertinggi pada konsentrasi penambahan 30% dengan kadar protein sebesar 7,62%, sedangkan kadar protein terendah pada konsentrasi penambahan 0% dengan kadar protein sebesar 4,02%.

57

2. Uji Daya Terima Uji daya terima pada penelitian ini berkaitan dengan aspek rasa, warna aroma, dan tekstur. Menurut penilaian panelis terhadap masing-masing aspek uji daya terima, maka rekapitulasi tingkat kesukaan biskuit MP-ASI adalah sebagai berikut: Tabel 3. Rekapitulasi Penilaian Panelis Terhadap Uji Daya Terima Biskuit Penambahan Tepung Ikan Sisa Hasil Sortir (Fingerlings) Ke Dalam Tepung Terigu Skor Pada Masing-Masing Konsentrasi Penambahan Biskuit Aspek Daya Terima 0% 10% 20% 30% Rasa 1,75 1,62 1,81 1,44 Warna 1,81 1,25 1,69 1,69 Aroma 2,00 1,69 1,75 1,37 Tekstur 1,75 1,69 1,75 1,38 Jumlah 7,31 6,25 7,00 5,88 Rata-rata 1,82 1,56 1,75 1,47 Kriteria Suka Suka Suka Suka Sumber : Data primer

Berdasarkan hasil rekapitulasi data pada Tabel 3, dapat disimpulkan bahwa biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan sisa hasil sortir (fingerlings) 0% ke dalam tepung terigu memberikan tingkat kesukaan (tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur) yang baik dibandingkan yang lain. Tabel 4. Rekapitulasi Penilaian Panelis Terhadap Uji Daya Terima Biskuit Penambahan Tepung Ikan Sisa Hasil Sortir (Fingerlings) Ke Dalam Tepung Ubi Jalar Skor Pada Masing-Masing Konsentrasi Penambahan Biskuit Aspek Daya Terima Rasa Warna Aroma Tekstur Jumlah Rata-rata Kriteria Sumber : Data primer 0% 1,44 1,69 1,62 1,81 6,56 1,64 Suka 10% 1,44 1,81 1,50 1,69 6,44 1,61 Suka 20% 1,56 1,69 1,75 1,31 6,31 1,58 Suka 30% 1,88 1,75 1,75 2,00 7,38 1,85 Suka

Berdasarkan hasil rekapitulasi data pada Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan sisa hasil sortir (fingerlings) 30% ke

58

dalam tepung ubi jalar memberikan tingkat kesukaan (tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur) yang baik dibandingkan yang lain.

3. Uji Normalitas Data Berdasarkan hasil perhitungan uji normalitas data yang dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk, diketahui bahwa data kadar protein (0%, 10%, 20% dan 30%) memiliki p value 0, 152 (P > 0,05), maka data terdistribusi normal, sehingga akan dilakukan uji hipotesis menggunakan uji Anova, dan data daya terima pada keempat aspek (rasa, warna, aroma dan tekstur) memiliki p value <0,05 maka data tidak terdistibusi normal, sehingga pengujian hipotesisnya menggunakan uji Friedman test.

4. Analisis Bivariat Hubungan konsentrasi penambahan tepung ikan banjar (rastrelliger sp) dalam tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap kadar protein didapatkan hasil sebagai berikut : Tabel 5. Hasil Uji Pengaruh Konsentrasi Penambahan Tepung Ikan Banjar (Rastrelliger Sp) Dalam Tepung Ubi Jalar Pada Pembuatan Biskuit PMT Terhadap Kadar Protein. No Uji Anova Keterangan P Value 1 Uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung 0,800 Tak Signifikan ikan sisa hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu pada pembuatan biskuit 2 PMT terhadap kadar protein 0,000 signifikan Uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa hasil sortir (fingerlings) dalam tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap kadar protein Berdasarkan Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan pada penambahan tepung ikan sisa hasil sortir ke dalam tepung terigu terhadap kadar protein biskuit. Sebaliknya ada hubungan yang signifikan pada penambahan tepung ikan sisa hasil sortir ke dalam tepung ubi jalar terhadap kadar protein biskuit.

59

Tabel 6. Hasil Uji Hubungan Konsentrasi Penambahan Tepung Ikan Sisa Hasil Sortir (Fingerlings) Dalam Tepung Terigu Dan Tepung Ubi Jalar Pada Pembuatan Biskuit PMT Terhadap Daya Terima. Uji Friedman Test P Value Keterangan Uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa 0,082 Signifikan hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu dan tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap daya terima aspek rasa. Uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa 0,024 Signifikan hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu dan tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap daya terima aspek warna. Uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa 0,025 Signifikan hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu dan tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap daya terima aspek aroma. Uji pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan sisa 0,063 Signifikan hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu dan tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap daya terima aspek tekstur. Berdasarkan Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan konsentrasi penambahan tepung ikan sisa hasil sortir (fingerlings) dalam tepung terigu dan tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit PMT terhadap daya terima untuk semua aspek

D. Pembahasan 1. Pengaruh Konsentrasi Penambahan Tepung Ikan Sisa Hasil Sortir (Fingerlings) Terhadap Kadar Protein Hasil uji kadar protein pada 4 sampel biskuit MP-ASI dengan konsentrasi tepung ikan fingerlings dalam tepung terigu sebesar 0%, 10%, 20%, dan 30%, diperoleh kadar protein yang tertinggi pada konsentrasi penambahan 10% dengan kadar protein sebesar 2,93%, sedangkan kadar protein terendah pada konsentrasi penambahan 0% dengan kadar protein sebesar 2,45%. Uji kadar protein juga menunjukkan adanya penurunan jumlah protein yaitu dari konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung terigu 10% kadar proteinnya 2,93%, pada konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings

dalam tepung terigu 20% kadar proteinnya turun menjadi 2,81%, dan pada konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung terigu 30% kadar proteinnya turun menjadi 2,68%.

60

Hasil tersebut menunjukan bahwa penambahan tepung ikan pada konsentrasi berapapun akan dapat meningkatkan kadar protein dalam MP-ASI-ASI. Sedangkan faktorfaktor yang mempengaruhi kadar protein pada proses pengolahan MP-ASI-ASI perlu dipertimbangkan. Menurut Harris dan Karmas (1989) proses pemanggangan dan pemasakan menurunkan tingkat asam amino yang ditambahkan kepada berbagai produk pangan. Waktu dan suhu pengolahan serta kadar dan susunan racikan mempengaruhi besarnya susutan. Dilain pihak, Rosenberg dan Rohdenburg (1951) melaporkan terjadi susutan lisin (bentuk asam amino) rata-rata sebesar 15% dalam pemanggangan roti, dengan selang dari 9,5 sampai 23,8%. Lisin (bentuk asam amino) yang ditambahkan juga susut dengan laju yang sama. Sedangkan Matthews, dkk (1969) melaporkan terjadinya susutan lisin tambahan sebesar 4% akibat pembakaran chapatty dan sebesar 25% dalam pembakaran roti. Penelitian Jansen, dkk (1964) menunjukkan terjadinya susutan gizi dari lisin sebesar 15% jika roti dipanggang selama 30 menit pada suhu oven 230oC. Meningkatnya waktu pemanggangan juga meningkatkan susutan lisin alami dan lisin tambahan. Penambahan susu bubuk tak berlemak dalam jumlah sedang ke dalam adonan sangat meningkatkan susutan lisin, mungkin karena meningkatnya reaksi Maillard sebagai akibat tingginya konsentrasi gula pereduksi (Harris dan Karmas, 1989). Hasil uji kadar protein pada 4 sampel biskuit MP-ASI dengan konsentrasi tepung ikan fingerlings dalam tepung ubi jalar pada penambahan 0% sebesar 4,02%, penambahan 10% sebesar 5,12%, penambahan 20% sebesar 5,56%, penambahan 30% sebesar 7,62%. Uji kadar protein menunjukkan adanya peningkatan jumlah protein yaitu dari konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung ubi jalar 0% sampai 30%, kadar proteinnya mengalami peningkatan secara berkala. Disini terlihat perbedaan kadar protein yang lebih tinggi pada ke 4 sampel bikuit. Dimulai dengan konsentrasi campuran tepung ikan fingerlings 0% (hanya dengan tepung ubi jalar saja), kandungan protein sudah cukup tinggi dibandingkan dengan sampel biskuit hanya dengan tepung terigu saja. Walaupun kandungan protein tepung terigu (8,9 gr) lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein tepung ubi jalar (5,12 gr), hal ini dapat disebabkan karena terjadi proses denaturasi pada pemasakan biskuit. Sedangkan peningkatan secara berkala pada berbagai konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings kemungkinan disebabkan oleh kandungan tepung ubi jalar yang lebih tahan terhadap faktor-faktor pada proses pengolahan menjadi biskuit. Dapat

61

dikatakan bahwa untuk mendapatkan kandungan MP-ASI yang tinggi protein, maka akan lebih menguntungkan jika tepung ubi jalar digunakan sebagai bahan dasar MP-ASI.

2. Uji Daya Terima Berdasarkan hasil rekapitulasi penilaian panelis terhadap uji daya terima biskuit penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung terigu dapat disimpulkan bahwa biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings 0% ke dalam tepung terigu memberikan tingkat kesukaan rata-rata (tingkat kesukaan panelis terhadap rasa, warna, aroma dan tekstur) yang paling tinggi dibandingkan yang lain, dengan nilai menonjol pada aspek warna dan aroma yang paling disukai, walaupun dengan kandungan kadar protein biskuit yang paling rendah. Daya terima terhadap rasa merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang panelis atau penguji mutu dari suatu komoditi atau produk makanan yang akan diuji. Indera pengecap sangat berperan dalam uji ini (Soekarto, 1990:78). Warna biskuit yang dihasilkan dengan menggunakan bahan dasar terigu ini sangat bergantung pada penambahan konsentrasi tepung ikan.makin banyak tepung ikan yang dicampurkan, maka warna biskuit makin coklat kekotoran, sehingga perlu dipertimbangkan penambahan zat pewarna. Penambahan tepung ikan fingerlings yang paling banyak (pada penelitian ini 30%) akan merugikan dari semua aspek, yaitu aspek rasa, warna, aroma, dan tekstur. Jika ditinjau lebih detail maka daya terima pada aspek rasa yang paling disenangi adalah pada penambahan tepung ikan 20%, pada aspek warna pada penambahan tepung ikan 10%, pada aspek aroma pada penambahan tepung ikan 0%, pada aspek tekstur pada penambahan tepung ikan 0% dan 20%. Rekapitulasi penilaian panelis terhadap uji daya terima biskuit penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung ubi jalar, diketahui bahwa panelis cenderung suka pada biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung ubi jalar 30%, dengan kelebihan pada aspek rasa, aroma dan tekstur serta kandungan protein tertinggi. Sedangkan panelis cenderung tidak suka pada biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung ubi jalar 0% dan 10%. Secara detail maka daya terima paling baik untuk aspek rasa pada penambahan tepung ikan 30%, aspek warna pada penambahan tepung ikan 10%, aspek aroma pada penambahan tepung ikan 20% dan 30%, aspek tekstur pada penambahan tepung ikan 30%. Sehingga dapat

62

disimpulkan bahwa pada biskuit MP-ASI-ASI dengan bahan dasar tepung ubi jalar, maka penambahan konsentrasi tepung ikan sangat bermanfaat, baik ditinjau dari segi daya terima maupun kadar protein yang dikandung pada biskuit. Menurut Fardiaz, dkk (1992) sifat-sifat fungsional protein adalah sifat-sifat yang menentukan perilaku protein dalam makanan selama pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya yang mempengaruhi mutu makanan dan penerimaannya oleh konsumen. Protein digambarkan sebagai komponen yang paling reaktif diantara komponen-komponen bahan pangan. Senyawa ini dapat bereaksi dengan gula-gula pereduksi, lemak, dan produkproduk oksidasi, polifenol, dan komponen bahan pangan lainnya. Reaksi-reaksi ini menyebabkan turunnya nilai gizi, timbulnya warna coklat, dan pembentukan citarasa. Hal tersebut yang menyebabkan biskuit dengan konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings sebesar 30% memiliki rasa yang lebih gurih dibandingkan biskuit lain, oleh karena sifat dasar yang dimiliki oleh tepung ikan Fingerlings adalah gurih, sehingga, semakin banyak kadar tepung ikan yang ditambahkan dalam tepung ubi jalar maka biskuit MP-ASI yang dihasilkan akan semakin gurih. Kebanyakan produk pangan mempunyai nilai mutu subyektif yang sangat tinggi dan dapat diukur dengan instrument fisik. Sifat subyektif ini lebih umum pada tingkat kesukaan salah satunya pada aspek warna. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. termasuk pada uji panelis, dimana mengemukakan pribadi yaitu kesan yang berhubungan dengan kesukaan atau tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai (Soekarto, 1990:70). Pada aspek warna biskuit MP-ASI, menunjukkan bahwa panelis cenderung lebih menyukai warna pada biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung terigu 0% dan dalam tepung ubi jalar 10%. Warna yang terbentuk dipengaruhi oleh kandungan protein dan reaksi yang ditimbulkan. Sehingga, semakin banyak kadar tepung ikan yang ditambahkan, maka biskuit MP-ASI yang dihasilkan akan semakin berwarna coklat-kehitaman. Dapat dikatakan bahwa warna biskuit MP-ASI dipengaruhi oleh bahan dasar dalam pembuatan adonan seperti tepung ubi jalar, tepung terigu dan kuning telur. Penilaian aspek aroma biskuit MP-ASI, menunjukkan bahwa panelis cenderung lebih menyukai aroma pada biskuit MP-ASI yang menggunakan campuran tepung ikan

63

Fingerlings dalam tepung terigu dengan konsentrasi 0%, karena memiliki aroma khas biskuit pada umumnya. Sedangkan aroma yang paling tidak disukai yaitu konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dalam tepung terigu 30%. Hal ini dikarenakan biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan 30% mempunyai aroma khas biskuit tetapi aromanya tidak sekuat biskuit dengan konsentrasi 0% dan 10%. Semakin banyak penambahan tepung ikan, maka aroma dari biskuit MP-ASI yang dihasilkan akan lebih beraroma amis. Pada biskuit dengan bahan dasar ubi jalar, maka panelis cenderung lebih menyukai aroma pada biskuit MP-ASI yang menggunakan campuran tepung ikan dengan konsentrasi 20% dan 30%. Hal ini berbanding terbalik dengan hasil uji daya terima pada biskuit dengan bahan dasar tepung terigu, karena aroma biskuit dipengaruhi oleh aroma wangi dari tepung ubi jalar. Uji daya terima pada aspek tekstur biskuit MP-ASI, dapat diketahui bahwa panelis cenderung suka pada biskuit MP-ASI dengan konsentrasi penambahan tepung ikan Fingerlings dengan bahan dasar tepung terigu 0%, 20% dan 30% yang menggunakan bahan dasar tepung ubi jalar. Hal ini dipengaruhi oleh tepung ubi jalar yang mampu mengurangi tekstur yang keras, dibandingkan biskuit MP-ASI yang lain.

E. Penutup Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1) Pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap kadar protein, tertinggi pada konsentrasi 30% dan kadar protein meningkat sesuai dengan konsentrasi tepung ikan yang ditambahkan, 2) Pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung terigu pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap kadar protein, tertinggi pada konsentrasi 10% dan kadar protein cenderung menurun pada penambahan tepung ikan, 3) Pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung ubi jalar pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap daya terimanya paling baik terdapat pada konsentrasi 30%, 4) Pengaruh konsentrasi penambahan tepung ikan fingerlings ke dalam tepung terigu pada pembuatan biskuit MP-ASI terhadap daya terimanya paling baik terdapat pada konsentrasi 0%, 5) Biskuit MP-ASI yang paling memberi keuntungan baik dari segi kandungan protein maupun daya terima adalah biskuit MP-ASI dengan bahan dasar tepung ubi dengan konsentrasi tepung ikan 30%.

64

DAFTAR PUSTAKA

Badan Riset Kelautan Dan Perikanan, 2006, Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil dan Dinamika Perikanan Pukat Cincin Di Laut Jawa dan Sekitarnya, Jakarta:BRKP. BAPPENAS. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2011-2015, 2011, http://bappenas.go.id/node/165/2981/rencana-aksi-nasional-pangan-dan-gizi-20112015/ diakses 28 April 2011. Dinas Pertanian. Program Pemberian MP-ASI Berbahan Baku Lokal Sebagai Salah Satu Penunjang Ketahanan Pangan Bagi Keluarga Miskin, http://www.distan.pemdaprobolinggo.go.id/index.php?option=content& task =view&id=430&Ite-mid =2, diakses 28 April 2011. Harris dan Karmas, 1989, Evaluasi Nilai Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan, Bandung: ITB Bandung. Murtiningsih, 2011, Membuat Tepung Umbi dan Variasi Olahannya, Jakarta:AgroMedia Pustaka. Usman Mustofa, dkk, 2009, Statistika, Bandung: SINAR BARU ALGENSINDO Moehji S, 2003, Ilmu Gizi Penanggulangan Gizi Buruk 2, Jakarta: Papas Sinar Sinanti. Soekarto Soewarto, 1990, Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: Dirjen Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Tejasari, 2005, Nilai Gizi Pangan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Winiarti Pudji Rahayu, 1998, Penuntun Praktikum Penelitian Organoleptik, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

65

ANALISIS PHBS ANAKSEKOLAH DALAMPENCEGAHANTERJADINYAFOODBORNE DISEASES


*)

FarianiSyahrul*)danM.AtoillahIsfandiari*) stafpengajarDepartemenEpidemiologi FKM Unair ABSTRAK

Kualitas sumber daya manusia (SDM) antara lain ditentukan oleh dua faktor yang saling berhubungan dan saling bergantung, yaitu pendidikan dan kesehatan. Pendidikan pada umumnya berhubungan dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Kesehatan seseorang, termasuk anak sekolah diantaranya didapat dari asupan makanan. Namun seringkali, makanan tersebut dapat menimbulkan suatu masalah kesehatan, diantaranya adalah foodborne diseases (penyakit bawaan makanan). Foodborne diseases adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan dan/atau minuman yang tercemar. Tujuan penelitian adalah melakukan analisis PHBS anak sekolah dalam pencegahan terjadinya foodborne diseases. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan disain penelitian studi kasus kontrol. Pada penelitian ini, dilakukan studi kasus control terpisah antara sekolah yang memiliki kantin dans ekolah yang tidak memiliki kantin. Sampel kasus adalah siswa sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya yang terkena foodborne diseases pada bulan Januari Juli 2011 sedangkan sampel control adalah siswa sekolah dasar di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya yang tidak terkena foodborne diseases pada bulan Januari Juli 2011. Jumlah sampel kasus adalah total populasikasus, sedangkan sampel control sebesar 1 : 3. Dilakukan uji beda dua proporsi dengan menggunakan uji Chi Square, serta analisis faktor risiko dengan menghitung Odds Rasio (OR) serta 95% CI. Hasilpenelitianmenunjukkanbahwapada sekolah yang memiliki kantin, sebagian besar PHBS siswa baik pada kelompok kasus (66,7 %) maupun kelompok kontrol (66,7 %) adalah sedang. Pada sekolah yang tidak memiliki kantin, sebagian besar siswa pada kelompok kasus (46,7 %) mempunyai PHBS rendah dan sebagian besar siswa pada kelompok kontrol (64,4 %) mempunyai PHBS sedang. Faktor risiko terjadinya foodborne diseases pada sekolah yang memiliki kantin yang bermakna hanya kebiasaan jajan di warung dalam (p=0,037) dan jajan di luar pagar sekolah (p=0,014). Artinya adalah proporsi siswa pada kelompok kasus yang mempunyai kebiasaan jajan di warung dalam sekolah lebih besar daripada proporsi siswa pada kelompok kontrol. Selain itu . proporsi siswa pada kelompok kasus yang mempunyai kebiasaan jajan di luar pagar sekolah lebih besar daripada proporsi siswa pada kelompok kontrol.Faktor risiko terjadinya foodborne diseasespada sekolah yang tidak memiliki kantin yang bermakna adalah kebiasaan cuci tangan sebelum makan (p=0,049) dan kebiasaan cuci tangan setelah bermain (p=0,032). Risiko terjadinya foodborne diseases (diare,typhus dan GE) pada siswa yang tidak mempunyai kebiasaan cuci tangan sebelum makan sebesar 4,43 kali lebih besar dibandingkan siswa yang mempunyai kebiasaan cuci tangan sebelum makan. Risiko terjadinya foodborne diseases (diare,typhus dan GE) pada siswa yang tidak mempunyai kebiasaan cuci tangan setelah bermain sebesar 4,98 kali lebih besar dibandingkan siswa yang mempunyai kebiasaan cuci tangan setelah bermain

66

Saran dari hasil penelitian ini adalah (1) perlu peningkatan PHBS anak sekolah terutama kebiasaan cuci tangan (2) peningkatan kebiasaan cuci tangan sebaiknya diiringi dengan penyediaan sarana cuci tangan berupa air mengalir dan sabun yang letaknya tidak jauh dari area bermain atau kelas, serta penyediaan sabun di kamar mandi/toilet. Kata Kunci : foodborne diseases, PHBS, anaksekolah

67

PENGARUH MODAL SOSIAL TERHADAP ANGKA BEBAS JENTIK DI KECAMATAN MAMPANG PRAPATAN, JAKARTA SELATAN TAHUN 2012 Dharma Sutanto*, Ririn Rinanti**, Airis Meifitri**, Anatasyalia**, Citra Rasjmi Cara*** ABSTRAK Tujuan penelitian ; untuk mendapatkan gambaran pengaruh modal sosial terhadap angka bebas jentik (ABJ).agar dapat diaplikasikan dalam program pencegahan demam berdarah dengue. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional). Populasi : seluruh kepala rumah tangga Sampel ditarik secara random , sebesar 267 kepala keluarga di kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (134 orang di kelurahan Mampang (MP) dan 133 orang di kelurahan Kuningan Barat (KB), Kedua kelurahan terpilih berdasarkan jumlah kasus tertinggi ( KB ) dan terendah (MP ) sesuai laporan puskesmas kecamatan. Waktu: Juli sampai Agustus 2012 Variabel terikat adalah ABJ dan variabel bebas adalah Modal Sosial. Instrumen : kuesioner Hasil :(1) ABJ di kelurahan KB : 80.6%. dan MP: 85.7% , secara statisik tidak berbeda bermakna (2) Jumlah rumah di dua kelurahan dengan Modal Sosial level tinggi ada 170 dan Modal Sosial rendah 97 orang, (3) Positif jentik pada modal sosial tinggi 4 rumah (2,35%) , pada modal sosial rendah 42 (43,29 %) .(4) Modal sosial tinggi mempunyai risiko 0.0032 kali mempunyai jentik di rumahnya OR 0,0032 ( CI 95%: 0.11<OR<0.092, p<0.0001).. (5) Ditinjau dari unsur unsur Modal Sosial , pada uji chi-kuadrat antara risiko keberadaan jentik dengan unsur modal sosial : trust, proaktif, partisipasi lokal dan ketetanggaan masing masing unsur level tinggi mempunyai risiko lebih kecil yaitu ( OR 0,374, p<0001) ; (OR= 0,442; p=0.014); ( OR= 0,308; p<0.0001 ) dan (OR=0.496 ; p=0.038) sedangkan ketiga unsur lainnya ( value, kekeluargaan dan toleransi ) walaupun berbeda namun secara statistik risikonya tidak bermakna (p>5%) Simpulan: (1) Modal sosial mempunyai pengaruh positif terhadap angka bebas jentik (2) Modal sosial level tinggi mempunyai risiko amat kecil (OR 0.0032) /untuk ditemukan jentik (3) Dirinci menurut unsurnya, terdapat perbedaan bermakna pada unsur trust,proaktif, partisipasi lokal dan ketetanggaan, level tinggi mempunyai risiko lebih kecil ditemukan jentik dibandingkan level rendah. Rekomendasi: (1) Modal sosial perlu diaplikasikan dalam PSN (2 ) perlu penelitian lebih lanjut untuk menggali dan meningkatkan potensi modal sosial Kata kunci : modal sosial, angka bebas jentik, demam berdarah dengue *Dosen ilmu kesehatan masyarakat FK Trisakti ** peserta program studi profesi dokter FK Trisakti *** dokter puskesmas kecamatan Mampang Prapatan Alamat email: dhsutanto@yahoo.com

68

A. Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu yang terpenting adalah kegiatan pemberantasan sarang nyamuk ( PSN ) dengan gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Menimbun ).. Dengan PSN diharapkan rumah-rumah menjadi bebas jentik. Angka bebas jentik (ABJ) adalah presentase rumah dan atau tempat umum yang tidak ditemukan jentik pada pemeriksaan . ABJ yang ditargetkan oleh Depatemen Kesehatan Republik Indonesia sebesar 95%..(1) Tiga modal,( sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya keuangan ) telah dikerahkan untuk mencegah penyakit DBD, namun tidak berhasil . Tinggal satu modal yang belum digunakan, yaitu modal sosial .Modal sosial adalah bentuk keterikatan antara interaksi individu yang satu dengan individu yang lain, tetangga,atau dengan sekelompok komunitas, yang memungkinkan terjadinya kerja sama untuk mencapai suatu tujuan
(2,3,)

. Banyak publikasi yang menyatakan bahwa semakin tinggi modal sosial akan
( 4,5,6,7,8,9,10,11

semakin baik kesehatan

) Bahkan Eriksson (11) menyatakan modal sosial dapat

dipertimbangkan untuk dijadikan strategi penting dalam promosi kesehatan. Karena itu ingin diteliti adakah pengaruh modal sosial terhadap upaya pencegahan penyakit DBD. Masalah penelitian :Apakah ada pengaruh modal sosial terhadap angka bebas entik? Tujuan : Diketahuinya pengaruh modal sosial terhadap angka bebas jentik untuk dimanfaatkan dalam program pencegahan DBD

B. Metode Penelitian 1. Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang menggunakan metode penelitian observasional analitik dengan pendekatan poton lintang (cross sectional). . 2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Mampang Prapatan dan Kelurahan Kuningan Barat Kecamatan Mampang Prapatan. Kecamatan Mampang Prapatan merupakan tempat pendidikan studi profesi dokter FK Universitas Trisakti Kedua kelurahan terpilih karena jumlah kasus DBD di kecamatan Mampang Prapatan, tertinggi di kelurahan KB dan terendah di MP. . Waktu penelitian dilakukan selama Juli - Agustus 2012.

69

3. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga di Kelurahan Mampang Prapatan dan Kelurahan Kuningan Barat, Jakarta Selatan. 4. Jumlah Sampel: sesuai dengan rumus didapatkan jumlah sampel adalah 267 orang di MP 133 orang dan di KB 134 orang 5. Teknik Sampling : random sampling 6. Variabel : variabel terikat: Angka Bebas Jentik ; Variabel bebas : Modal Sosial ( trust, value, participasi lokal,ketetanggaan, kekeluargaan, proaktive ,toleransi kemajemukan) 7. Instrumen Penelitian: Kuesioner modal sosial (2) 8. Formulir pemeriksaan jentik dan senter 9. uji statistik : Chi-kuadrat dengan program SPSS 17.0

C. Hasil Penelitian 1. Pemeriksaan jentik (ABJ) dan Modal Sosial Hasil Pemeriksaan Jentik kecamatan 45 rumah positif jentik dan 222 negatif jentik atau ABJ = 81.88% . Modal sosial :didapatkan persentase modal sosial level tinggi : 63.7 % dan level rendah 36.3 %.

2.

Analisis hubungan antara Modal Sosial dan angka bebas jentik; Hubungan Modal Sosial dengan Angka Bebas Jentik serta risiko didapat jentik

positif di rumah dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Hubungan Modal Sosial menurut levelnya terhadap keberadaan jentik ---------------------------------------------------------------------------------MODAL Sosial Jentik OR CI 95% p + MS Tinggi 4 166 0.032 0.011 - 0.92 <0.0001 Rendah 42 56 Modal sosial level tinggi mempunyai risiko sangat rendah( 0.032 kali) didapatkan jentk dirumahnya dibandingkan dengan level rendah.

3.

Hubungan unsur unsur modal sosial dengan angka bebas jentik

Menurut unsur unsurnya pengaruh modal sosial dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

70

Tabel 2. Pengaruh unsur-unsur modal sosial terhadap keberadaan jentik ----------------------------------------------------------------------------------------------Unsur modal sosial Jentik Pos. Neg. OR CI 95% p ----------------------------------------------------------------------------------------------Trust 0.274 0.011 0.092 <0.0001 Tinggi 18 155 Rendah 28 66 Proaktif 0.042 0.231 0.846 0.014 Tinggi 28 131 Rendah 28 90 Partisipasi 0.308 0.154 0.617 < 0.0001 Tinggi 13 124 Rendah 33 97 Ketetanggaan 0.496 0.259 - 0.949 <0.0001 Tinggi 25 156 Rendah 21 65 0.832 0.433 1.599 0.613 Value Tinggi 28 144 Rendah 18 77 Keluarga 0.104 0.547 2.231 0.861 33 154 Tinggi Rendah 13 67 Toleransi 0.695 0.317 1.353 0.294 Tinggi 29 157 Rendah 17 64 -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Dari tabel diatas terlihat bahwa unsur-unsur modal sosial yang tinggi levelnya mempunyai risiko rendah untuk ditemukan jentik, pada unsur Trust, Proaktif, Partisipasi lokal serta ketetanggaan. Level tinggi mempunyai risiko rendah dan pada uji chi-kuadrat menunjukkan perbedaan significant. Sedangkan pada unsut Value, Keluarga, Toleransi walaupun ada perbedaan antara level tinggi terhadap level rendah namun secara statistik tidak bermakna ( p>5%)

D. Pembahasan Hasil penelitian ini mendapatkan adanya pengaruh positif modal sosial terhadap angka bebas jentik. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang menyatakan ada hubungan positif antara modal sosial dengan kesehatan (
4,5,6,7,8,9,10,11

). Modal sosial

mempermudah individu memperoleh akses dan informasi kesehatan. Mengurangi beban psikologis dan biaya ekonomi dalam pelayanan kesehatan informal serta merupakan

71

power, kekuatan

melobby pemerintah untuk memperbaiki fasilitas kesehatan, fasilitas . Dirinci menurut unsur unsur modal sosial (1)

transportasi, dan fasilitas olahraga. (6)

Trust, merupakan unsur utama , dapat dikatakan merupakan lem (glue) yang memperkuat semua interaksi hubungan individu dengan individu, dengan keluarga, tetangga, teman dan lain-lain, Trust yang rendah di kota metropolitan, menyebabkan kriminalitas tinggi, tempattempat umum tak terawat kebersihannya.(2) Dampaknya Juru pemantau jentik yang tak dikenal, tak akan dibukakan pintu rumah oleh penghuninya . (2) Partisipasi lokal,

misalnya gotong royong, sudah merupakan sesuatu yang jarang terjadi di kota metropolitan. Bandingkan dengan Bantul, Yogyakarta, dengan gotong royong pasca bencana gempa bumi tahun 2006, semua pengungsi secara cepat dan efisien dapat mendirikan rumahnya kembali ( 12) . (3) Value dan reciprocity, misalnya memberikan nasi bungkus pada pengungsi ketika gunung Merapi meletus menunjukkan modal sosial yang tinggi.

E. Simpulan 1. Angka Bebas Jentik (ABJ) di kecamatan Mampang Prapatan 88,89%, belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah ( > 95%) 2. Modal sosial mempunyai pengaruh positif terhadap angka bebas jentik, level tinggi sangat kecil risiko ditemukan jentik di rumahnya 3. Unsur unsur modal sosial yang tinggi levelnya,.terutama unsur trust, partisipasi lokal, proaktive dan hubungan ketetanggaan, mempunyai risiko lebih kecil untuk dijumpai jentik pada rumahnya dibandingkan level rendah. Sedangkan pada unsur unsur lainnya walaupun ada perbedaan namun tidak significant. modal sosial

F. Saran 1. Modal sosial perlu diaplikasikan dalam program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 2. Perlu upaya meningkatkan modal sosial baik dengan cara memperkuat bonding (penguatan hubungan horisontal) maupun bridging (penguatan hubungan vertikal) 3. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menggali dan meningkatkan potensi modal sosial beserta unsur-unsurnya

72

DAFTAR PUSTAKA

Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, 2004, Petunjuk Pelaksanaan & Petunjuk Teknis (Juklak & Juknis) Pelaksanaan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk ( PSN) Demam Berdarah Dengue (DBD) 30 MENIT, Sekali semnggu secara serentak di tatanan rumah tangga di propinsi DKI Jakarta Grootaert Christian, 2000. Social Capital household welfare and poverty in Indonesia, Revised draft, 2000, Local level instituinal study, Social development Department, Enviromentally and socially Sustainability, Development Network, The World Bank. Onyx;Jenny, Paul Bullen, 2000; Measuring Social Capital in Five Communities, Journal of Behavioral Applied Sciences, 38 ,1 23-42 Campbell Catherine and Rachel Wood, 1999 Social Capital and Health, Health Education Authorithy, London Maltin Erikson, 2010; Social Capital health and Community Action, Implications for Health Promotions , Umea University, Sweden Scheffler, Nicholas C.Petis,Francesca Borgonovi and Timothy T.Brown,OECD Centre for Education Research and Innovation, 2010. Mellor JM and Jeffrey Milyo, , 2000, State Social Capital and Individual Health Status, University of Chicago, Morgan Antony and Catherine Swann ( editors), 2004 Social Capital for Health: issues of definition, measurement and links to health, Health development agencies, www.hda.nhs.uk Rocco Lorenzo, Fumagalli Elena and Marc Suhrcke, 2011 From Social Capital to healthand back, HEDG , The University of York Beaudoin C.E. News, Social Capital and Health in the Context of Katrina, Journal of Health Care for the poor and underserved 18 (2007) : 418-430. Tampubolon,Gindo; 2009, Neighborhood social capital and individual mental health, Institute for Social Change, University of Manchester. Baiquni M, 2009 , Gotong Royong as local wisdom: Recovery program after Earthquake in Yogyakarta, dalam Sudibyakto , Dyah dan Raditya Jati ( editor) Proceeding international seminar DISASTER, Theory, Research and Policy, The Graduate School of Gajah Mada University

73

ANALISIS PERILAKU PADA KEJADIAN TB PARU RESISTEN DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2009-2010 Ikes Dwiastuti 1, Ida Leida M.Thaha 1, Wahiduddin 1 1 Jurusan Epidemiologi FKM Unhas, Makassar ABSTRAK Latar Belakang : Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting, baik di Indonesia maupun Negara berkembang lainnya. Penanggulangan tuberkulosis terutama di negara berkembang masih belum memuaskan. Permasalahan yang dihadapi adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat anti tuberkulosis atau dikenal dengan drug resistant TB (DRTB). Di Kota Makassar tahun 2009-2010, terdapat sebanyak 65 kasus penderita TB paru yang mengalami kejadian resistensi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar risiko faktor perilaku terhadap kejadian TB paru resisten di Kota Makassar tahun 2009-2010. Subjek dan Metode : Jenis penelitian adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan studi kasus kontrol. Populasinya adalah seluruh penderita TB paru yang datang dan berobat ke pelayanan kesehatan (rumah sakit, BBKPM dan Puskesmas) di Kota Makassar tahun 2009-2010. Sampelnya adalah penderita TB paru yang dahaknya dikultur di laboratorium NECHRI pada tahun 2009-2010, terdiri dari sampel kasus yaitu penderita TB paru yang mengalami kejadian Resisten Obat Anti Tuberkulosis sedangkan sampel kontrol yaitu Penderita TB paru yang tidak mengalami kejadian Resisten Obat Anti Tuberkulosis. Metode pengambilan sampel dengan cara non random sampling yaitu Purposive sampling dengan besar sampel yaitu 100 perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : 4. Adapun variabel independen yaitu kejadian TB Paru Resisten sedangkan variabel dependen yaitu PMO, kepatuhan minum obat, riwayat pengobatan, keteraturan pengobatan dan perilaku merokok. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada PMO memiliki OR=1,758; tidak patuh minum obat memiliki OR=3,5; memiliki riwayat pengobatan OR=7,429 serta masih merokok sejak terdiagnosis TB paru OR=1,204 sedangkan keteraturan pengobatan memiliki OR=1,0. Kesimpulan : Tidak ada PMO, tidak patuh minum obat, memiliki riwayat pengobatan serta masih merokok sejak terdiagnosis TB paru merupakan faktor risiko kejadian TB paru resisten sedangkan keteraturan pengobatan bukan merupakan faktor risiko kejadian TB paru resisten. Penelitian ini menyarankan perlunya memberikan pemahaman kepada PMO mengenai tugas dan informasi yang seharusnya diberikan kepada penderita TB paru yang mengalami kejadian resistensi, pencantuman siklus jadwal minum obat pada kemasan obat dan menyediakan kartu checklist menelan obat bagi PMO. Kata kunci : TB Paru, Perilaku, PMO, Kejadian Resistensi

74

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU IBU BURUH PABRIK TENTANG KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DENGAN STATUS GIZI ANAK BALITA Irma Aryati Octaviani*, Ani Margawati** , Yauminnisa Hapsari**, Firdaus Wahyudi** ABSTRAK Latar Belakang: Kekurangan gizi menjadi salah satu penyebab kesakitan dan kematian pada anak-anak usia dibawah lima tahun. Ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik mempunyai waktu bekerja lebih lama, sehingga berhubungan dengan waktu yang dimiliki ibu untuk merawat anak dan menyediakan makanan yang bergizi bagi keluarganya. Salah satu upaya yang diharapkan berdampak pada perbaikan status gizi adalah meningkatkan mutu konsumsi makanan melalui program Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi). Rendahnya pengetahuan dan perilaku ibu terhadap gizi dan kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh pada pencapaian program Kadarzi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan pengetahuan dan perilaku ibu buruh pabrik tentang Kadarzi dengan status gizi anak balita. Metode: Studi cross sectional pada 39 anak balita dari ibu buruh pabrik di kelurahan Pagersari, Ungaran kabupaten Semarang bulan April-Mei 2012. Usia anak balita 12-36 bulan. Status gizi berdasarkan nilai z-score. Pengetahuan tentang Kadarzi diukur dengan kuesioner. Perilaku ibu tentang Kadarzi diukur menggunakan kuesioner, tes laboratorium kandungan yodium garam dan recall 3x24 jam. Asupan energi dan protein ditentukan dari recall 3x24 jam. Analisis bivariat menggunakan Fishers Exact dan Kolmogorov-smirnov. Variabel perancu asupan zat gizi digunakan uji korelasi parsial. Hasil: Sebanyak 17,9% balita gizi kurang, 5,1% balita sangat pendek, 23,1% balita stunting dan 15,4% balita kurus. Sebanyak 94,9% ibu belum berperilaku Kadarzi dan 5,1% ibu sudah berperilaku Kadarzi. Ibu yang berpengetahuan cukup tentang Kadarzi sebanyak 59%, berpengetahuan baik 28,2% dan berpengetahuan kurang 12,8%. Tidak ada hubungan antara pengetahuan Kadarzi dengan perilaku Kadarzi (p>0,05). Terdapat hubungan antara pengetahuan ibu tentang Kadarzi dengan status gizi anak balita berdasarkan TB/U (p<0,05), namun tidak terdapat hubungan antara pengetahuan ibu tentang Kadarzi dengan status gizi anak balita berdasarkan BB/U dan BB/TB (p>0,05). Tidak ada hubungan antara perilaku Kadarzi dengan status gizi anak balita berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB (p>0,05). Terdapat hubungan antara pengetahuan Kadarzi dengan status gizi anak balita berdasarkan BB/U dan TB/U setelah dikontrol dengan asupan energi dan protein (p<0,05). Ada hubungan antara perilaku Kadarzi dengan status gizi anak balita berdasarkan BB/U dan BB/TB setelah dikontrol dengan asupan energi dan protein (p<0,05). Kesimpulan: Sebanyak 17,9% balita gizi kurang, 5,1% balita sangat pendek, 23,1% balita stunting dan 15,4% balita kurus. Ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang Kadarzi dengan status gizi anak balita pada indikator TB/U tetapi tidak ditemukan hubungan

75

antara pengetahuan ibu tentang Kadarzi dengan status gizi anak balita pada indikator BB/U dan BB/TB. Tidak terdapat hubungan antara perilaku Kadarzi dengan status gizi balita dengan status gizi anak balita pada indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Kata Kunci: Status gizi, anak balita, ibu buruh pabrik, perilaku Kadarzi, pengetahuan Kadarzi * Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang ** Dosen Bagian IKM-KP Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

76

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN TINGKAT INTELLIGENCE PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KELAS B WILAYAH PIMPINAN CABANG AISYIYAH (PCA) BLIMBING SUKOHARJO JAWA TENGAH Sunarti, Sawitri, Melly Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ABSTRACT Background: Preschoolers including those most vulnerable to nutritional diseases, rapid growth, and require nutrients in large numbers. Malnutrition will bring adverse effects on the lives of children, especially in disorder of development, low resistance to disease, and the lower level of intelligence. Children who have less or poor nutritional status are at risk of losing the level of intelligence or IQ by 10-15 points. The purpose of this study was to determine the relationship between nutritional status to the level of intelligence in preschoolers. Methods: This was analitic research using cross sectional approach. The sample in this research was 77 children. Sampling using probability proportionate to size. The variables studied include nutritional status and level of intelligence. Nutritional status was identified from the value of Z score IMT / U. Intelligence level were measured by using the coloured progressive matrices test (CPM). The relationship of the variables seen using Chi Square test. Results: The results showed that of the 77 children obtained from 13 children (16.9%) were included in the criteria of abnormal nutritional status, there are 7 children (9%) had good intelligence levels and 6 children (7.8%) had levels of less intelligence. Bivariate analysis showed the relationship of nutritional status to the level of intelligence p> 0.05 (p = 1.000). Conclusion: There was no relationship between the nutritional status of preschool children with a level of intelligence. Keywords: Preschool children, Nutritional status, the level of intelligence.

A. Pendahuluan Peningkatan sumber daya manusia merupakan rangkaian upaya membangun manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Berkaitan dengan ini peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak terbatas pada kelompok umur tertentu tetapi mencakup seluruh penduduk Indonesia. Salah satu upaya yang mempunyai dampak cukup penting terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi masyarakat. Status gizi anak mempengaruhi perkembangan kognitif dan malnutrisi pada waktu bayi dan balita dapat menurunkan tingkat kecerdasan. Anak usia prasekolah

77

termasuk kelompok yang rentan terhadap penyakit gizi (Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Defisiensi Besi (ADB), Gangguan Akibat kekurangan iodium (GAKY), dan Kurang Vitamin A) dan penyakit infeksi. Pada masa prasekolah mengalami pertumbuhan yang pesat, dan memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Konsumsi makan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dapat memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Peran zat gizi tidak hanya pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan4. Penelitian Iskandar (2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi anak usia prasekolah dengan kecerdasan (tingkat intelligence). Gizi buruk akan membawa dampak buruk pada kehidupan anak, terutama gangguan tumbuh kembang, rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence pada anak usia prasekolah di Taman kanak-kanak (TK) kelas B wilayah Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah.

B. Metode Penelitian 1. Jenis, Tempat, dan Waktu. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Taman Kanak-kanak di Wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah, yaitu TK ABA Imam Syuhodo dan TK Aisyiyah Cabang Blimbing. Waktu penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 30 Mei - 13 Juni 2012. 2. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah semua anak TK kelas B di TK ABA Imam Syuhodo dan TK Aisyiyah Cabang Blimbing yang berjumlah 130 anak, yang terdiri dari 60 anak pada TK ABA Imam Syuhodo dan 70 anak pada TK Aisyiyah Cabang Blimbing. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan probability

proportionate to size, diperoleh sampel 35 anak pada TK ABA Imam Syuhodo dan 40 anak pada TK Aisyiyah Cabang Blimbing. Memilih anggota sampel masing-masing TK secara random, yaitu simple random sampling. Sampel dipilih menggunakan criteria sampel sebagai berikut : anak yang berumur di atas 5 7 tahun, Tidak menderita penyakit ganguan saraf, seperti cerebral palsi, autis.

78

3. Teknik dan pengumpulan data a. Data primer Data status gizi diperoleh melalui pengukuran antropometri yaitu berat badan diukur dengan timbangan injak berketelitian 0.1 cm dan tinggi badan diukur menggunakan microtoise berketelitian 0.1 cm, kemudian dihitung nilai z score IMT/U dengan menggunakan software WHO antro plus. Kemudian dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu Normal : -2 SD sampai dengan 1 SD dan Tidak normal : < -2 dan >1 SD. Skala yang digunakan nominal dikotomi. Intelligence diukur menggunakan tes Coloured progressive matrices (CPM), hasilnya Jumlah jawaban yang benar dibandingkan dengan nilai persentil menurut umur anak. Berdasarkan nilai persentil dikategorikan, yaitu kurang : x 50 dan Baik : x > 50. Skala yang digunakan nominal dikotomi. b. Data sekunder Meliputi gambaran umum atau profil, dan peraturan pada msing-masing TK, yaitu TK Aisyiyah Cabang Blimbing dan TK ABA Imam Syuhodo yang diperoleh dari arsip sekolah dan wawancara pihak sekolah. 4. Pengolahan dan analisis data Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer. Analisis data univariat disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel, untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis data bivariat dijelaskan dengan menggunakan uji Chi-Square pada = 0,05 dan interval kepercayaan 95%, yang disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi proporsi. C. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah Cabang Blimbing terletak di Blimbing RT 4 RW IV, Desa Wonorejo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Taman Kanak-kanak ABA Imam Syuhodo terletak di Dusun Jengglong RT 03 RW V, Kelurahan Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. 2. Karakteristik Sampel Penelitian. Sampel pada penelitian ini adalah TK kelas B di wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah. Sampel pada penelitian ini berjumlah 77 anak. Sampel Terdiri dari TK Aisyiyah Cabang Blimbing berjumlah 40 anak, tetapi ada 1 sampel yang drop 79

out ketika penelitian berlangsung, sehingga sampel menjadi 39 anak. Sampel pada TK ABA Imam Syuhodo berjumlah 38 anak. Tabel 1. Karakteristik responden n (%) Anak Umur (tahun) 5 6 7 Jenis kelamin Perempuan Laki-laki 20 52 5 36 41 (26) (67.5) (6.5) (46.8) (53.2)

Orangtua Pekerjaan ayah

Buruh Pedagang Wiraswasta Swasta PNS Tidak bekerja Buruh Pedagang Wiraswasta Swasta PNS Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana Rendah Tinggi

10 3 20 31 13 31 2 2 17 12 13 13 14 27 5 18 9 16 30 5 17

(13) (3.9) (26) (40.3) (16.9) (40.3) (2.6) (2.6) (22.1) (15.6) (16.9) (16.9) (18.2) (35.1) (6.5) (23.4) (11.7) (20.8) (39) (6.5) (22.1)

Pekerjaan Ibu

Pendidikan Ayah

Pendidikan Ibu

Penghasilan orangtua 22 (28.6) 55 (71.4) 77 (100.0)

Total Sumber ; data primer, 2012

80

3. Analisis univariat Status gizi anak prasekolah di wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah didominasi oleh responden dengan status gizi normal yaitu sebanyak 64 responden (83.1%), dan status gizi tidak normal sebanyak 13 responden (13%). Tingkat intelligence anak prasekolah di Wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah sebagian besar adalah normal sebesar 44 anak (57.1%).

Tabel 2. Analisis Univariat Status Gizi dan Tingkat Intelligence Pada Anak Prasekolah di TK kelas B Wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo. n (%) Status gizi Tidak normal Normal Tingkat intelligence Kurang Baik Total Sumber : Data primer, 2012 13 (16.9) 64 (83.1) 33 (42.9) 44 (57.1) 77 (100.0)

4. Analisis Bivariat Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence pada anak prasekolah di TK wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah dengan menggunakan uji statistik chi square. Hasil uji Chi Square didapatkan dari nilai signifikansi (p value) = 1.000 pada = 0.05 dan nilai p >, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence anak prasekolah. Dilihat dari nilai ratio prevalen (RP) yaitu 1.074 (95% CI = 0.623 1852), artinya anak yang mempunyai status gizi tidak normal, mempunyai peluang memiliki tingkat intelligence kurang sebesar 1.074 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi normal, dan secara statistik tidak bermakna.

81

Tabel 3. Hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa tengah. No Status Gizi Tingkat Intelligence Baik kurang 1 2 Total Sumber : Data primer, 2012. Normal Tidak normal % % 83.1 16.9 100 1.000 1.074 (0.623 1.852) Total % Sig RP (95% CI)

37 48.1 27 35.1 64 7 9 6 7.8 13

44 57.1 33 42.9 77

D. Pembahasan Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa status gizi tidak berhubungan dengan tingkat intelligence (p=1.000). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian. Petrus (2003)5 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi masa lampau (BB/U) dan status gizi saat ini (BB/TB) dengan tingkat intelligence. Selain itu, penelitian Andarwati dkk (2006)6 menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan intelligence. Hal ini berarti bahwa intelligence tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi, tetapi terdapat faktor lain yang lebih dominan yang dapat mempengaruhi tingkat intelligence. Keadaan gizi yang cukup pada masa pertumbuhan khususnya pada umur 0-2 tahun dapat berpengaruh terhadap perkembangan otak manusia (termasuk didalamnya intelligence) optimal berlangsung sejak janin sampai umur 2 tahun7. Periode ini ditandai dengan multiplikasi dan pertumbuhan sel cepat, sesudah periode ini sel hanya bertambah ukurannya. Studi membandingkan pertumbuhan otak antara bayi normal dengan bayi marasmus (kekurangan protein) hasilnya menunjukkan bahwa total kandungan protein dan DNA lebih tinggi pada bayi normal. Gangguan perkembangan otak pada awal kehidupan akan berdampak negatif pada usia selanjutnya, sebab anak yang pernah menderita kurang gizi mempunyai ukuran otak lebih kecil dibanding ukuran otak rata-rata anak dengan gizi baik8. Status gizi anak umur 2 tahun kebawah merupakan periode emas dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut penelitian Anwar (2010)9 status gizi kurang yang terjadi pada umur 2 tahun kebawah dan tidak mendapatkan penanganan yang benar maka dampaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak 82

selanjutnya. Apabila seorang anak mengalami gangguan gizi setelah umur 2 tahun, ada kemungkinan tingkat intelligencenya baik tetapi perkembangan fisik terganggu, hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan otak berlangsung maksimal selama 2 tahun10 Azwar (2010)11 menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intelligence yaitu faktor internal (genetika) dan eksternal (lingkungan). Faktor genetik memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Faktor genetik memiliki peran besar 48% dalam membentuk intelligence anak, sedangkan 52% intelligence dibentuk oleh lingkungan. Penelitian dilapangan ditemukan bahwa adanya anak dengan kembar identik yang dibesarkan dalam lingkungan yang sama, memperoleh asupan makanan dengan kualitas yang sama dan mempunyai status gizi yang sama, memperlihatkan hasil tes intelligence yang sama. Faktor lingkungan meliputi rangsangan intelelektual dan gizi yang cukup. Rangsangan intelektual berupa pendidikan, status sosial ekonomi, penyediaan sarana dan fasilitas, keterampilan dan sebagainya12. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara pendidikan orangtua dengan tingkat intelligence anak, tetapi anak dengan pendidikan orangtua yang tinggi banyak dijumpai memiliki tingkat intelligence baik. Tingkat pendidikan orangtua yang tinggi akan lebih mampu memberikan stimulasi bahasa dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan pola pikirnya13. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara status ekonomi dengan tingkat intelligence, tetapi ditemukan bahwa anak yang mempunyai tingkat intelligence baik, banyak ditemukan pada keluarga dengan tingkat status ekonomi yang tinggi. Hal ini kemungkinan dikarenakan status ekonomi yang tinggi mampu menyediakan fasilitas permainan educative yang dapat mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan intelligence. Keadaan dilapangan memperlihatkan bahwa anak di TK ABA Imam Syuhodo dengan tingkat intelligence baik, lebih banyak dibandingkan dengan TK Aisyiyah cabang Blimbing. Hal ini dikarenakan bahwa di TK ABA Imam Syuhodo waktu belajar di sekolah lebih lama, sehingga interaksi anak dengan guru juga lebih optimal. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial dilingkungan diusahakan disesuaikan dengan kebutuhannya, anak membutuhkan pendidikan yang diharapkan dapat menstimulasi perkembangan kemampuan anak, sehingga anak memperoleh tambahan kata-kata yang dipergunakan untuk mengekspresikan dirinya dan pengalamannya. Keterbatasan

83

pembendaraan kata-kata akan mempersempit pemikiran dan mengakibatkan intelligence menurun14.Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik15.

E. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian dan pembahasan adalah : 1. Status gizi anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah mayoritas responden dengan status gizi normal yaitu sebanyak 64 responden (83.1%), dan status gizi tidak normal (obesitas dan gizi kurang) sebanyak 13 responden (13%). 2. Tingkat intelligence anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah sebagian besar adalah normal sebesar 44 anak (57.1%), dan anak yang memiliki tingkat intelligence yang kurang yaitu sebanyak 33 anak (42.9%). 3. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence pada anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA Iskandar, S., 2009, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecerdasan Anak Umur 5-6 Tahun Di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Nutrisia, 11(1):Pp. 26-31 Sari, Y., Hanam, H., Tri, S., 2007, Hubungan Status Gizi Dengan Nilai Evaluasi Murni SD Kecamtan Salamantan Kabupaten Bangkayang Kalimantan Barat, Jurnal Nutrisia, 8(1):Pp. 18-53 Santosa, S., Ranti, A.L., 2009, Kesehatan dan Gizi, Rineka Cipta, Jakarta. Bappenas, 2011-2015, Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi : www.Bappenas.go.id/get-file-server/node/GTS, diakses pada tanggal 2 April 2012, Yogyakarta Petrus., 2003, Status Gizi Intelligence Dan Prestasi Belajar Murid Sekolah Dasar Suku Bajau Di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Kendari, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Andarwati, R., Prawirohartono, E., Gamayanti, I., 2006, Hubungan Berat Badan Lahir Pemberian ASI Eksklusif Status Gizi Dan Stimulasi Kognitif Dengan Kecerdasan Anak Usia 5-6 Tahun, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 2(3):Pp 95-100 Almatsier, S., 2009, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

84

Khomsan, A., 2004, Pangan dan Gizi untuk kesehatan, Rajagrafindo, Jakarta. Anwar, LM., 2010, Pengaruh Status Gizi Pada Umur 2 Tahun Kebawah Terhadap Tingkat Kecerdasan Anak Umur 5-6 Tahun Di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dhini,. 2003, Perbedaan Intelligence Dan Prestasi Belajar Anak Stunted Dan Non Stunted Di Kecamatan Bukit Batu Kota Palangkaraya, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Azwar, S., 2010, Pengantar Psikologi Inteligensi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Purwondari, H., Prawirohartono, E.P., Hartati. S., 2008, Usia Penyapihan Dan Hubungannya Dengan Intelligence Pada Siswa TK, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 5(1):Pp. 21-27 Pratisti, W.D., Ekowarni, E., 2002, Pola Berpikir Anak Prasekolah Ditinjau Dari Kemampuan Berbahasa, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 6(1):Pp. 21-31 Davidoff, L.L., 1991, Psikologi Suatu Pengantar, Terjemahan, Erlangga, Jakarta. Andriani, M.,Wirjatmadi, B., 2012, Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan, Kencana Pranada Media Group, Jakarta

85

MODEL PEMBERDAYAAN POLA ASUH UNTUK MENANGGULANGI MASALAH GIZI BURUK PADA BALITA DI KABUPATEN BANTUL DAERAH PASCA GEMPA
Waryana, Totok Mardikanto, Bhisma Murti, Diffah Hanim

A. Latar Belakang Angka kematian bayi di Indonesia dewasa ini masih tinggi yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita 44 per 1.000 kelahiran hidup. Tingginya angka kematian bayi dan kematian balita tersebut dikarenakan masih ditemukan beberapa masalah kesehatan di masyarakat. Salah satu di antara masalah tersebut adalah gizi buruk pada balita. Riset kesehatan dasar tahun 2010, ditemukan berbagai masalah kesehatan, salah satu di antaranya adalah masalah gizi pada balita(Depkes RI, 2009). Prevalensi gizi buruk rerata nasional 6,65% (dengan indeks BB/U. Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta rerata prevalensi gizi buruk 0,7% . Hasil pemantauan status gizi balita tahun 2011 di Kabupaten Bantul menunjukkan 11,85% balita dengan status gizi kurang dan 0,7% balita dengan gizi buruk. Jumlah KEP dan gizi buruk di Kabupaten Bantul meningkat setelah dilanda bencana alam gempa bumi tektonik pada bulan Mei tahun 2006 (Dinkes Kabupaten Bantul, 2011). Kejadian gizi buruk telah mengancam kualitas generasi muda bangsa Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa, sehingga perlu upaya penanggulangan yang serius. Anak yang menderita gizi buruk akan mempengaruhi sumber daya manusia. Akibat kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik serta tidak optimalnya perkembangan dan kecerdasan. Akibat lainnya adalah terjadinya penurunan produktivitas, menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit yang akan meningkatkan risiko kesakitan dan kematian (Soekirman, 2000). Berbagai macam program perbaikan gizi sudah lama dilaksanakan pemerintah pusat maupun pemerintah, akan tetapi sampai saat ini kasus gizi buruk masih banyak ditemukan di masyarakat. Adanya fakta masih banyak ditemukan kasus gizi buruk pada balita, menunjukkan bahwa program pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi buruk belum berhasil dengan optimal. Kurang optimalnya hasil upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah gizi buruk ini dikarenakan kebijakan program penanggulangan masalah gizi buruk yang dilaksanakan pemerintah selama ini kurang tepat. Masyarakat belum menyadari

86

sepenuhnya bahwa masalah gizi buruk itu menjadi tanggung jawab keluarga bersama masyarakat. Keberdayaan dan kesadaran masyarakat dalam menanggulangi masalah gizi buruk pada balita masih rendah. Upaya penanggulangan harus dilaksanakan oleh masyarakat secara mandiri pemrintah sebagai fasilitator. Upaya penanggulangan masalah gizi yang dilaksanakan

masyarakat di Kabupaten Bantul dilaksanakan dengan strategi pemberdayaan masyarakat. Untuk memperoleh rumusan/konsep tentang model pemberdayaan masyarakat perlu

dilakukan analisis proses, hasil, dan manfaat upaya penanggulangan maslah gizi buruk dengan strategi pemberdayaan masyarakat pada focus pola asuh balita. Penelitian ini bertujuan menganalisis proses, hasil dan manfaat pemberdayaan masyarakat untuk menanggulangi masalah gizi buruk pada balita melalui pemberdayaan pola asuh yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat serta faktor-faktor pendukung dan penghambat.

B. Subjek dan Metode Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Imogiri II Kecamatan

Imogiri dan Puskesmas Sanden Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan dipilihnya lokasi di wilayah kerja Puskesmas Imogiri II dengan pertimbangan prevalensi gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas Imogiri II tahun 2011 sebesar 0,19% paling rendah di antara 27 puskesmas yang ada di Kabupaten Bantul (Dinkes Kabupaten Bantul, 2011). Jenis penelitian ini adalah penelitian fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Fenomena yang akan digali pada penelitian ini adalah aktivitas keluarga, masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta dalam menanggulangi masalah gizi buruk pada balita melalui pemberdayaan pola asuh.Disain penelitian ini adalah studi kasus (Murti, 2010). Informan penelitian ini adalah kepala keluarga dengan kasus balita gizi buruk, ibu balita atau pengasuh, kader posyandu, tokoh masyarakat, pamong desa, pengurus organisasi pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), dan petugas pembina dari puskesmas. Sampel informan penelitian diambil secara non-random dengan teknik purposive sampling.

Variabel penelitian ini meliputi: Status ekonomi keluarga, pemenuhan kebutuhan pangan, kondisi kesehatan lingkungan rumah, pemanfaatan pelayanan kesehatan , lingkup pemberdayaan masyarakat, penerima manfaat, kinerja Sistem pemberdayaan masyarakat,

87

partisipasi masyarakat, peran swasta, peran pemerintah, peran tokoh masyarakat, praktik pola asuh balita, asupan energy, asupan protein, perbaikan status gizi , faktor pendukung dan penghambat. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam, focus group discussion, observasi, dan dokumentasi. Data asupan energi dan protein dikumpulkan dengan teknik recall 24 jam. Instrumen untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah peneliti sendiri. Alat bantu yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data adalah panduan wawancara mendalam, panduan FGD, pedoman observasi, format recall 24 jam, alat tulis, tape recorder, dan camera. Validitas/keabsahan data penelitian ini dijamin dengan cara peneliti melakukan pengumpulan data menggunakan teknik trianggulasi, melakukan pengumpulan data dengan tekun, memperpanjang masa pengamatan dan melakukan member check. Analisis data penelitian dilakukan dengan cara mebandingkan tema temuan dari masyarakat denga teori dan hasil penelitian yang relevan.

C. Hasil Penelitian Sebagian besar kasus gizi buruk disertai dengan penyakit infeksi terutama PKTB. Semua kasus gizi buruk tingkat asupan energi dan protein dalam kategori defisit. Kasus gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Bantul disebabkan rendahnya asupan energi dan protein serta adanya penyakit infeksi PKTB yang diderita balita. Rendahnya asupan energi dan terjadinya infeksi dilatarbelakangi oleh lingkungan rumah, dan ekonomi keluarga. tingkat pendidikan orang tua, kondisi

a. Pendidkan dan ekonomi keluarga Sebagian kepala keluarga balita gizi buruk bekerja sebagai buruh atau buruh tani atau karyawan swasta dengan penghasilan rata-rata RP.35.000,-/hari. Pendidikan kepala keluarga sebagian besar berpendidikan SLTP, dan sebagian lagi berpendidikan SLTA, dan SD. Ibu balita sebagian besar berpendidikan SLTP, dan sebagian ibu balita berpendidikan SLTP dan SD. Sebagian besar keluarga memperoleh bahan pangan berasal dari pembelian dan hasil tanaman dari sawah atau kebun. Semua keluarga balita kasus gizi buruk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi keluarga dengan memasak sendiri. Ibu balita merupakan figur orang yang setiap hari

88

memasak dan menghidangkan makan untuk seluruh anggota keluarga. Keluarga terutama bu balita merupakan sasaran atau objek sekaligus objek upaya penanggulangan masalah gizi buruk pada balita melalui pemberdayaan pola asuh.

b. Kondisi Rumah dan Lingkungan Perumahan Keluarga Balita Kondisi kebersihan lingkungan perumahan sebagian besar keluarga balita gizi buruk nampak kurang bersih. Pengaturan pakaian tidak teratur, banyak debu dan sampah. Kondisi lingkungan di luar rumah kurang bersih, banyak sampah berserakan. Tempat pembuangan sampah ada di jogangan di sekitar rumah, sampah tidak dibakar sehingga nampak kotor.

c. Proes Pemberdayaan Pola Asuh di Kabupaten Bantul Pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan masalah gizi buruk pada balita yang dilaksanakan masyarakat di Kabupaten Bantul mencakup pembinaan manusia, pembinaan usaha, pembinaan lingkungan, dan bina kelembagaan. Kegiatan yang dilaksanakan di untuk menanggulangi masalah gizi buruk berupa pemberdayaan pola asuh, dengan wadah posyandu. Tenaga pelaksana adalah keluarga terutama ibu balita dan kader. Keluarga merupakan kelompok terkecil di masyarakat yang langsung sebagai pelaksana penanggulangan masalah gizi buruk pada balita karena keluarga terutama orang tua balita merupakan orang yang bertanggungjawab memelihara gizi dan kesehatan balita, istilah bagi masyarakat Bantul orang tua itulah yang setiap hari nggulowentah (mengasuh). Istilah kata nggulowentah mempunyai makna memberikan perawatan, perhatian dan kasih sayang pada balita. Kebijakan yang dibuat pemerintah Kabupaten Bantul untuk memanggulangi masalah gizi buruk dengan strategi pemberdayaan masyarakat.

d. Partisipasi Masyarakat dalam Pemberdayaan Pola Asuh Partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk dilaksanakan mulai dari tingkat keluarga. Di tingkat keluarga orang tua balita mengenal, melaksanakan, memantau, dan menilai upaya penanggulangan masalah gizi buruk pada balita. Bentuk kegiatan upaya penanggulangan masalah gizi buruk yang dilaksanakan di tingkat keluarga adalah menyediakan makanan bergizi bagi balita, merawat kebersihan dan kesehatan balita, dan mengasuh balita.

89

e. Peran tokoh masyarakat dalam Pemberdayaan Pola Asuh Balita Tokoh masyarakat yang berperan dalam penanggulangan masalah gizi buruk adalah pamong desa, khususnya bagian kemasyarakatan (Kesra), kepala dukuh, ketua RT, ketua Dasawisma, dan pengurus PKK baik tingkat desa maupun tingkat pedukuhan. Tokoh masyarakat berperan dalam menyadarkan, memotivasi, memfasilitasi dan ngesuhi.

f. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Pola Asuh Anak Pemerintah yang berperan dalam pelaksanaan penaggulangan masalah gizi buruk pada balita adalah instansi dari puskesmas dan PLKB. Peran puskemas dalam penanggulangan masalah gizi buruk adalah melatih, membina, memfasilitasi, memantau, dan mengevaluasi.

g. Pola Asuh Balita Sebagian besar balita diasuh oleh ibu balita sendiri, hanya sebagian kecil balita yang diasuh oleh kerabat keluarga lain (nenek). Kerabat keluarga lain yang ikut membantu mengasuh balita adalah nenek, kakek, bapaknya balita sendiri, dan tante, atau bude. Ibu merupakan figur orang yang setiap hari bertanggung jawab terhadap terpenuhinya kebutuhan gizi, kebersihan, kesehatan dan kasih sayang balita. Aktivitas keluarga terutama ibu balita dalam mengasuh balita dilakukan sejak balita bangun tidur sampai tidur malam. Aktivitas ibu balita atau pengasuh meliputi tindakan dalam memberikan minum, memandikan, menggosok gigi, memberi bedak memberi

minyak penghangat tubuh, memberi sarapan pagi, mengganti pakaian, menjaga kebersihan tubuh balita, mengawasi balita bermain, memberi makan siang, memberikan makan kecil, menggendong, dan memperhatikan kebutuhan balita yang lain. 1) Penyediaan makan untuk balita Keluarga memenuhi kebutuhan gizi balita ditempuh dengan cara menyediakan makan untuk balita dengan cara sebagian dimasak jadi satu dengan masakan seluruh anggota keluarga dan sebagian makanan dimasak sendiri khusus untuk balita disesaikan dengan umur balita. 2) Tahap Tahap Pemberian Makan dan Bentuk Makanan Balita Ibu balita sebagian besar memberi makan pada balita dilakukan bertahap sesuai dengan pertambahan umur balita. Sebagian besar ibu balita memberi makan balita hanya

90

ASI saja ketika balita masih bayi berumur umur 0 sampai dengan 6 bulan. Setelah balita berumur enam bulan, bayi mulai diberi maknan tambahan (MP-ASI). 3) Frekuensi Makan dan Kualitas Hidangan Sebagian besar balita diberi makan utama tiga sampai kali sehari pagi, siang dan sore atau malam. Belum semua orang tua balita memberi buah untuk dikonsumsi balita setiap hari. Hidangan yang diberikan pada balita belum semua mengandung gizi seimbang, biasanya kurang bahan makanan sumber vitamin terutama buah, atau protein. 4) Upaya Keluarga Mengatasi Balita Susah Makan Ibu balita mengatasi balita susah makan dengan memberi makan berganti ganti, mengusahakan makanan yang disukai anak, dengan merayu anak, makan sambil bermainmain sehingga anak mau makan lebih banyak. Ada sebagian ibu balita yang mengatasi balita susah makan dengan cara balita dicekoki dengan jamu jawa cabe puyang, dibelikan multivitamin, dan didadahke ke tempat mbah dukun pijat. 5) Upaya Kaluarga untuk Meningkatkan Berat Badan Balita Upaya yang dilakukan orang tua balita, terutama ibu balita untuk meningkatkan berat badaan jika berat badan anak tidak naik dilakukan dengan upaya meningkatkan nafsu makan anak, jika anak sakit diperiksakan ke puskesmas, anak dipijat ke tempat mbah dukun, kalau siang anak harus istirahat dan tidur. Orang tuaselalu mengawasi balita dan mengusahakan kalau siang harus tidur. Kebiasaan orang tua ndadahke ke tampat mbah dukun bayi merupakan kebiasaan yang bik. 6) Peningkatan Asupan Energi dan Protein balita Hasil pengukuran asupan energi dan protein pada bulan Juni diperoleh rata-rata asupan energi sebesar 670,97 kkal dan rata-rata asupan protein sebesar 16,47 gr. Rata rata tingkat kecukupan energi sebesar 62,8% (dalam kategori kurang) dan rata-rata tingkat kecukupan protein sebesar 52,73% (dalam kategori defisit). Hasil pengukuran asupan energi dan protein pada bulan September 2012 diperoleh rata-rata asupan energi sebesar 870,97 kkal dan rata-rata asupan protein sebesar 28,47 gr. Rata rata tingkat kecukupan energi sebesar 80,0% (dalam kategori baik) dan rata-rata tingkat kecukupan protein sebesar 67,0% (dalam kategori kurang). Selama tiga bulan ada kenaikan asupan energi dan protein.

91

7) Perbaikan Status Gizi Balita Sebagian besar baliat meningkat status gizinya setelah tiga bulan diberdayakan dalam pola asuh ballita. Hasil pengamatan perkembangan status gizi balita yang dilakukan selama 8 bulan, dari dua puluh balita tersebut ada tiga belas balita yang meningkat status gizinya.

C. Pembahasan Proses pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan masyarakat sudah baik menempatkan masyarakat, terutama keluarga sebagai subjek atau pelaku utama, tokoh masyarakat berperan sebagai motivator dan ngsesuhi, dan pemerintah sebagai fasilitator. Tindakan ibu balita atau pengasuh dalam memenuhi kebutuhan gizi, menjaga kebersihan, dan memelihara kesehatan balita (pola asuh) menunjukkan betapa besar peran dan perhatian keluarga terutama ibu balita atau pengasuh dalam upaya menanggulangi masalah gizi buruk pada balita sehingga balita dapat tumbuh dan berkembang optimal. Perencanaan dengan model bottom-up dilaksanakan secara kolektif, melibatkan unsur-unsur governance, mengandalkan persuasi. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu proses pengembangan potensi dan kemampuan, sehingga tumbuh kapasitas untuk

memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Pemberdayaan masyarakat adalah pembangunan sosial, dari, oleh, dan untuk masyarakat secara swadaya. Konsep

pemberdayaan masyarakat mempunyai beberapa prinsip yaitu: penyadaran, pelatihan, pengorganisasian, pengembangan kekuatan, dan membangun dinamika. Masyarakat harus mendapatkan penyadaran, sehingga dapat dicapai hasil pembangunan yang optimal. Membangun kesadaran memang tidak segampang membalikkan telapak tangan, mengingat objek yang dihadapi adalah manusia yang memiliki karakter yang berbeda dan bermacammacam. Sadar berarti mengetahui kelemahan dan kekuatannya (Adi, 2007). Kasus balita gizi buruk di Kabupaten Bantul disebabkan oleh asupan energi dan protein yang rendah dan adanya penyakit infeksi PKTB pada balita. Sebagian besar kasus balita gizi buruk menderita penyakit infeksi PKTB. Asupan energi dan portein yang rendah dan adanya penyakit PKTB pada balita ini merupakan faktor langsung yang berpengaruh terhadap terjadinya kasus gizi buruk (Unicef, 200). Rendahnya asupan energi dan protein bbbbdan penykit infeski berkaitan dengan ekonomi, pendidikan, lingkungan tempat tinggal keluarga.

92

Menurut pengamatan peneliti banyak faktor sosial ekonomi yang dimiliki kelurga tetapi sukar untuk dinilai secara kuantitatif, khususnya pendapatan dan kepemilikan (barang berharga, tanah, ternak). Kepemilikan barang berharga, tanah, ternak, dan usaha lain merupakan aset keluarga yang memiliki nilai ekonomi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sebenarnya keadaan ekonomi keluarga kasus gizi buruk tidak semuanya termasuk keluarga dengan ekonomi kurang mampu. Kasus gizi buruk di Kabupaten Bantul tidak semata-mata karena ekonomi keluarga yang kurang mampu. Di balik keterbatasan ekonomi keluarga itu terdapat sumber daya alam dan potensi yang bisa dikembangkan dan diberdayakan untuk menanggulangi masalah gizi buruk. Kasus gizi buruk dapat ditanggulangi dengan strategi pemberdayaan masyarakat. Keluarga merupakan kelompok pertama dan utama sebagai pelaku kegiatan, dimlai dari pencegagahan. Pembardayaan pada keluarga tidak hanya pada pola asuh balita saja tetapi ditambah dengan pengelulaan keuangan dan lingkungan agar bersih dan sehat. Keluarga terutama ibu balita bisa diberdayakan agar mampu mengelola keuangan dan potensi sumberdaya lokal yang dimiliki keluarga. Upaya penanggulangan masalah gizi buruk dapat dilakukan keluarga dan masyarakat dengan mengelola keuangan dari pendapatan yang serba terbatas dengan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki yang berupa bahan pangan hasil dari sawah dan kebun. Keluraga dan masyarakta diberdayakan agar selalu menjaga lingkungan yang bersih sehingga balita bebas dari penyakit.

DAFTAR PUSTAKA Adi IR. 2007. Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan intervensi komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Budimanto A. 1995. Teori pembangunan dunia ketiga. Yogyakarta: Gramedia. Depkes RI.2003. Indikator Indonesia sehat 2010 dan pedoman penetapan indikator provinsi sehat dan kabupaten/kota sehat. Jakarta. _______. 2000. Paket KIE untuk pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak. Jakarta. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2011. Laporan program perbaikan gizi. Gibson RS. 2005. Prinsiples of nutritional asssesment. New York: Oxford University Press 93

Mardikanto T. 2010. Konsep Pemberdayaan Masyarakat, Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan UPT Penerbitan dan Percetakan Surakarta. UNS Press Universitas Sebelas Maret. Murti B. 2010. Disain dan ukuran sampel untuk penelitian kuntitatif dan kualitatif di bidang kesehatan. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Rogers EM dan Shoemaker F.1999. Diffusion of innovation. Third edition: NewYork: Free Press. Sastroasmoro. 2007. Membina tumbuh kembang anak. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Soekirman. 1999. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat. Dirjen Pendidikan Tinggi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Soetjiningsih. 2001. Tumbuh kembang anak. Surabaya: Penerbit Buku Kedokteran. Shils EM, Olson JA, dan Shike, M. 1994. New York: Lean & Febika. Sugiono, 2006. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung:

UNICEF. 2004. Strategy for improved nutrittion of children and women in developing countries. New York: UNICEF. Walhqvist, ML. 199. Food and nutrition. NSW Australia: Allen & Unwin. Wijaya, M. 2009. Kemiskina, penguatan kelompok usaha dan promosi kesehatan. Dialog Kebijakan Publik. 7(3): 1-10: Departemen Komunikasi dan Informatika.

94

FAKTOR RISIKO INSTRINSIK YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI KEC. KADUGEDE, KAB. KUNINGAN JAWA BARAT, 2011 Cecep Heriana1, Lia Novita Aprilianti2, Dewi Mustikawati1 ABSTRAK Latar Belakang : Pneumonia masih menjadi penyakit terbesar penyebab kematian anak di dunia dan di Indonesia proporsi kematian balita akibat pneumonia 30 %, angka kematian pneumonia balita diperkirakan di atas 4 per 1000 kelahiran hidup. Angka kejadian atau prevalensi pneumonia pada tahun 2011Kab. Kuningan menduduki peringkat pertama dari sepuluh besar penyakit dengan jumlah penderita 3.886 (34,46%) dan ditemukan adanya Angka Kematian Bayi (AKB) akibat pneumonia yaitu sebanyak 1 orang serta Kecamatna Kadugede urutan terbesar ketiga di Kabupaten Kuningan. Subjek dan Metode :Jenis penelitian analitik observasional dengan desain case control, populasi balita 0-5 tahun yang diperiksa di Puskesmas Kadugede, sampel kasus adalah balita yang mederita Pneumonia dan sampel kontrol adalah balita yang tidak menderita Penumonia yang mempunyai karakteristik sama dengan kasus, sampel 88 balita atau perbandingan sampel 1 : 1 dengan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Variabel yang diteliti : status pemberian ASI, status imunisasi, status gizi, pemberian suplemen vitamin A dan riwayat penyakit ISPA sebelumnya. Alat ukur variabel dengan menggunakan kuesioner, dan metode analisis data dengan univariat, bivariat dengan uji chi-square dan multivariat dengan regresi logistik, untuk melihat besar risiko menggunakan odds rasio (OR). Hasil : Hasil univariat menunjukan 40% ASI Ekslusif, 84% status imunisasi lengkap, 45% status gizi baik, 62% diberikan suplemen vitamin A dan 54% mempunyai riwayat penyakit ISPA sebelumnya. Hasil analisis bivariat, status pemberian ASIp value 0,003,OR:3,7 (CI 95% : 1,43-10.16), status imunisasi p value 0,306, OR:3,1 (CI 95% :0,23-168,92), status gizi p value 0,005, OR:3,1 (CI 95% : 1,29-8,92), pemberian suplemen vitamin A p value 0,01 OR:3,1 (CI 95% : 1,07-9.50) dan riwayat penyakit ISPA sebelumnya p value 0,00, OR:6,5 (CI 95%:2,24-19,7). Hasil analisis multivariat, riwayat penyakit sebelumnya p value 0,00, OR:5,42 9CI 95%: 0,80-2,84). Kesimpulan : Terdapat hubungan yang significant antara faktor risiko status pemberian ASI, status gizi, pemberian vitamin A dan riwayat penyakit ISPA sebelumnya dengan kejadian penumonia di Kecamatn Kadugede. Saran untuk Puskemas, melakukan kegiatan Promosi ASI Ekslusif, pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan status gizi, pemberian vitamin A, memberikan layanan kuratif bagi yang sudah terinfeksi penumonia Kata Kunci : risiko intrinsik, penumonia, balita, Kadugede
1 2

). Dosen STIKes Kuningan Jawa Barat ). Mahasiswa PS D3 Kebidanan STIKes Kuningan Jawa Barat

95

A. Latarbelakang Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus. Gejala penyakit ini berupa napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak
(1)

. Pneumonia masih menjadi penyakit terbesar penyebab kematian anak

dan juga penyebab kematian pada banyak kaum lanjut usia di dunia. World Health Organization (WHO) tahun 2005 memperkirakan kematian balita akibat pneumonia di seluruh dunia sekitar 19-26% atau berkisar 1,6 2,2 juta, sedangkan pada tahun 2007 diperkirakan terdapat 1,8 juta kematian akibat pneumonia atau sekitar 20% dari total 9 juta kematian pada anak, di mana sekitar 70% terjadi di negara-negara berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yang meliputi imunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus (DPT) dan campak yang telah dilaksanakan pemerintah selama ini dapat menurunkan proporsi kematian balita akibat pneumonia. Dimana hal ini sesuai dengan target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) ke-4 (empat) yaitu menurunkan angka kematian balita menjadi duapertiga pada tahun 2015.Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya untuk penanggulangan pneumonia, tetapi kasus pneumonia masih tetap tinggi.Angka kematian bayi di atas 40 per 1000 kelahiran hidup (di Indonesia : 41 per 1000 kelahiran hidup), angka kematian balita di atas 15 per 1000 balita (di Indonesia : 81 per 1000 kelahiran hidup). Proporsi kematian balita akibat pneumonia 30% di Indonesia, angka kematian pneumonia balita di atas 4 per 1000 kelahiran hidupdi Indonesia(2).Pevalensi pneumonia pada bayi di Indonesia adalah 0,76% dengan rentang antar provinsi sebesar 013,2%. Prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (13,2%) dan Bali (12,9%), sedangkan provinsi Jawa Barat 1,1%. Prevalensi pada anak balita (1-4 tahun) adalah 1,00% dengan rentang antar provinsi sebesar 0,1%-14,8%. Seperti pada bayi, prevalensi tertinggi adalah provinsi Gorontalo (19,9%) dan Bali (13,2%) sedangkan provinsi Jawa Barat 1,4%(3). Prevalensi Pneumonia Balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007(4) Angka kejadian atau prevalensi pneumonia pada tahun 2011Kab. Kuningan menduduki peringkat pertama dari sepuluh besar penyakit dengan jumlah penderita 3.886 (34,46%) dan ditemukan adanya Angka Kematian Bayi (AKB) akibat pneumonia yaitu sebanyak 1 orang(5). Di Puskesmas Kadugede pada tahun 2009,jumlah penderita pneumonia

96

balita 57 orang (20,8%). Sedangkan angka kejadian pada tahun 2010, jumlah penderita pneumonia 94 orang (33,45%) dan pada tahun 2011 jumlah penderita mengalami penurunan menjadi 48 orang (17,08%)(6). Meskipun demikian, hal ini menunjukan bahwa angka kejadian pneumonia masih tinggi, sehingga perlu dicari faktor-faktor risiko penyebab terjadinya pneumonia. Faktor-faktor risiko penyebab terjadinya pneumonia terdiri dari faktor instrinsik dan ekstrinsik.Faktor risiko instrinsik diantaranya status imunisasi, status pemberian ASI, status gizi, suplementasi vitamin A dan zinc serta riwayat penyakit lainnya. Sedangkan faktor ekstrinsik diantaranya polusi udara di dalam rumah, kepadatan tempat tinggal, tingkat pendidikan ibu rendah, dan tingkat sosial ekonomi yang rendah(1). Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Faktor risiko intrinsik yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kadugede Tahun 2011.

B. Tujuan Untuk mengetahui hubungan faktor risiko instrinsik dengan kejadian Pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kadugede Kabupaten Kuningan tahun 2011.

C. Metode Jenis penelitian analitik dengan menggunakan rancangan case control Adapun skema dari penelitian ini adalah sebagai berikut : + FR Kasus

+ -

FR

Kontrol

Gambar 1. Skema Penelitian Retrospektif

97

Keterangan : FR : Faktor Risiko + : Pemberian ASI ekslusif, status gizi baik, imunisasi sesuai umur, diberikansuplemen vitamin A serta tidak ada riwayat penyakit ISPA. - : Pemberian ASI tidak ekslusif, status gizi lebih dan kurang, imunisasi tidak sesuai umur, tidak diberikan suplemen vitamin A serta ada riwayat penyakit ISPA. Populasi penelitian adalah semua balita usia 0 5 tahun yang memeriksakan diri ke Puskesmas Kadugede selama tahun 2011. Perbandingan sampel 1 : 1. Kelompok sampel kasus adalah seluruh balita penderita pneumonia yang berkunjung ke Puskesmas Kadugede tahun 2011 yaitu sebanyak 44 orang.Kelompok sampel kontrol diambil dari pasien rawat jalan di Puskesmas Kadegede tetapi tidak menderita sakit pneumonia yang sama jumlahnya dengan sampel kasus sebanyak 44 anak balita dengan melakukan randomisasi dengan teknik simple random sampling, keseluruhan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 88 balita atau perbandingan sampel 1 : 1. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah status pemberian ASI, status imunisasi, status gizi, suplementasi vitamin A dan riwayat penyakit lainnya. Sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah kejadian pneumonia pada balita. Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langusng dari responden dan data sekunder yang dikumpulkan dengan melakukan studi dokumen/arsip laporan rutin Puskesmas yang ada di wilayah kerja Dinas KesehatanKabupaten Kuningan.Pengolahan data dilakukan menggunakan software Stata versi 11.0 dan secara manual meliputi editing, koding, pemasukan data, tabulasi data untuk mengetahui gambaran statistik.Analisis yang digunakan univariat, bivariat dan multivariat serta untuk melihat besar risiko dengan menggunakan nilai Odds Rasio (OR).Uji statistik yang digunakan adalah dengan menggunakan uji Chi-square, karena kedua variabelnya termasuk variabel kategorik (skala nominal). Menentukan uji kemaknaan hubungan dengan cara membandingkan nilai p (p value) dengan nilai = 0,05 pada taraf kepercayaan 95% dan derajat kebebasan = 1 dengan kaidah keputusan sebagai berikut : Nilai p (p value) < 0,05 maka Ho ditolak, yang berarti ada hubungan yang bermakna antara variabel bebas dengan variabel terikat. Nilai p (p value) > 0,05 maka Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel bebas dengan variabel terikat (Sugiyono, 2004).

98

Setelah uji Chi-square, peneliti melakukan analisis untuk mengetahui faktor risiko dengan menggunakan Odd Ratio (OR).

D. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai faktor risiko intrinsik yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kadugede Tahun 2011. 1. Analisis Univariat Tabel 1. Hasil Analisis Univariat Variabel Status Pemberian ASI ASI Ekslusif ASI Tidak Ekslusif Status Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap Status Gizi Baik Tidak Baik Pemberian Suplemen Vit A Ya Tidak Riwayat Penyakit ISPA Tidak Ya 2. Analisis Bivariat P valu N,(%) 40,(45,5) 48,(54,5) 84,(95,5) 4,(4,5) 45,(51,1) 43,(48,9) 62,(70,5) 26,(29,5) 54(61,4) 34(38,6)

Tabel 2. Hasil analisis Bivariat Kejadian Pneumonia Kasus Kontrol Jml % Jml % Status Pemberian ASI Status Imunisasi Ekslusif Tidak Ekslusif Lengkap Tidak lengkap Baik Status Gizi Tidak Baik 13 31 41 3 16 28 32,5 64,6 48,8 75 35,5 65,2 27 17 43 1 29 15 67,5 35,4 51,2 25 64,4 34,8

Total Jml % 10 40 48 84 4 45 43 10

OR CI 95% e 3,7 3 1,4310.16 8

0,00 0 0

10 0,30 0 10 0 10 0 0,00 10 0 3,3 5 1,298,93 8 3,1 6 0,23168,92 4

99

Pemberian Suplemen Riwayat penyakit sebelumnya Total

Ya Tidak Ada Tidak

26 18 26 18 44

42 70 76,5 33,3 100

36 8 18 26 44

58 30 23,5 66,7 100

62 26 34 54

10 10 10 10 0 0,00 0 6,5 2,2419,7 0 0,01 0 3,1 1,079,50 1

3. Analisis Multivariat Tabel 3. Hasil Analisis Multivariat dengan regresi logistik Tahap Tahap 1 Pemberian ASI Status Imunisasi Status Gizi Pemberian Suplemen Riwayat penyakit sebelumnya Pemberian ASI Status Gizi Riwayat penyakit sebelumnya Pemberian ASI Riwayat penyakit sebelumnya Koefisien 0,991 1,121 0,76 0,62 1,69 1,21 0,79 1,65 1,26 1,82 OR 2,69 3,07 2,14 1,86 SE 1,41 3,89 1,14 1,07 Z 1,88 0,89 1,48 1,07 P 0,06 0,37 0,13 0,28 0,00 CI 95% Min Max 0,96 7,56 0,25 36,81 0,78 5,91 0,59 5,80 1,87 15,67 2,19 1,78 2,70 2,23 2,84

5,42 1,93 3,12 2,69 0,50 2,42 2,14 0,50 1,59 5,42 0,53 3,11 2,69 0,49 2,57 5,42 0,51 3,52

Tahap 2

0,01 0,23 0,112 0,18 0,00 0,61 0,10 0,00 0,29 0,80

Tahap 3

E. Pembahasan 1. Hubungan Status Pemberian ASI dengan Kejadian Pneumonia Status pemberian ASI mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sutami dkk (2011) di Kabupaten Kebumen yang menunjukan hasil bahwa ibu yang tidak memberikan ASI ekslusif akan meningkatkan risiko 4 kali lebih besar terkena pneumonia dibandingkan dengan ibu yang memberikan ASI ekslusif(7). Menurut Rasmaliah (2004), pemberian ASI selama 4-6 bulan pertama sejak lahir ternyata mampu menurunkan insidensi pneumonia jika dibandingkan dengan pemberian susu formula. Bayi usia 0-5 bulan yang tidak diberi ASI beresiko 5 kali kemungkinan meninggal karena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif
(8)

. Hal

100

ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang dilakukan 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi bakteri dan virus.Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa antara hasil penelitian atau fakta lapangan sesuai dengan teori.

2. Hubungan Status Imunisasi dengan kejadian Pneumonia Status imunisasi tidak mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.Hal ini dikarenakan distribusi data imunisasi balita lebih banyak atau sebagian besar telah diberi imunisasi dan sebagian kevil yang belum diberi imunisasi.Hal ini bertentangan dengan penelitian Rasmaliah (2004) yang menyatakan bahwa imunisasi yang tidak memadai atau tidak lengkap mempengaruhi terjadinya peningkatan insidens dan kematian pneumonia pada bayi dan anak balita. Anak yang belum pernah mendapat imunisasi campak mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kematian pada bayi dan balita yang sedang menderita pneumonia(7). Menurut Kartasasmita (2010), pemberian imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia. Imunisasi yang berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia adalah imunisasi pertusis (DTP), campak, Haemophilus influenza, dan

pneumokokus.Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa antara hasil penelitian atau fakta lapangan tidak sesuai dengan teori(9).

3. Hubungan antara Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia Status gizi mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita.Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Rofiah (2006) di Puskesmas Welahan Kabupaten Jepara yang menunjukan bahwa status gizi kurang dan lebih akan berisiko sebesar 8,3 kali terjadinya pneumonia. Menurut Kartasasmita (2010), asupan gizi yang kurang merupakan risiko untuk kejadian dan kematian balita dengan infeksi saluran pernapasan. Perbaikan gizi seperti pemberian ASI ekslusif dan pemberian mikro-nutrien bisa membantu pencegahan penyakit pada anak.Pemberian ASI sub-optimal mempunyai risiko kematian karena infeksi saluran napas bawah, sebesar 20%.Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa antara hasil penelitian atau fakta lapangan sesuai dengan teori.

101

4. Hubungan antara Pemberian Suplementasi Vitamin A dengan kejadian Pneumonia Pemberian suplementasi vitamin A mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rofiah (2006) di Puskesmas Welahan Kabupaten Jepara yang menunjukan bahwa balita yang tidak diberikan suplementasi vitamin A akan meningkatkan risiko sebesar 15 kali terjadinya pneumonia(10).Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa antara hasil penelitian atau fakta lapangan sesuai dengan teori. 5. Hubungan antara riwayat penyakit Sebelumnya dengan kejadian Pneumonia Riwayat penyakit sebelumnya mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Menurut Rasmaliah (2004), penyakit infeksi akan menurunkan nafsu makan anak sehingga konsumsi makanan menurun, padahal kebutuhan anak akan gizi waktu sakit akan meningkat(4). Jadi anak yang berulangkali terkena penyakit infeksi dan kronis lebih berisiko terjadinya pneumonia.Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikemukakan bahwa antara hasil penelitian atau fakta lapangan sesuai dengan teori. Sehingga penelitian mengenai faktor risiko terhadap kejadian pneumonia sifatnya tidak tunggal,artinya faktor risiko yang satu dengan faktor risiko lainnya saling berkaitandalam mempengaruhi kejadian pneumonia. Sedangkan probabilitas balita yang tidak mempunyai riwayat penyakit ISPA sebelumnya untuk terjadinya pneumonia sebesar 20,2%. F. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di wilayah kerja puskesmas kadugede tahun 2011 diperoleh suatu kesimpulan mengenai faktor risiko intrinsik yang berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita sebagai berikut : 1. Terdapat hubungan yang bermakna antara status pemberian ASI, status gizi, suplementasi vitamin A, dan riwayat penyakit ISPA sebelumnya dan tidak terdapat hubungan antara status imunisasi dengan kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kadugede tahun 2011 2. Variabel yang paling beresiko terjadinya penumonia pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kadugede tahun 2011 adalah riwayat penyakit ISPA sebelumnya.

102

G. Saran 1. Untuk Dinas Kesehatan Meningkatkan kembali program Pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dengan mengendalikan faktor risiko supaya menurunkan angka kejadian penumonia dimasa yang akan datang 2. Untuk Puskesmas Kadugede Melakukan kegiatan Promosi ASI Ekslusif, pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan status gizi, pemberian vitamin A, memberikan layanan kuratif bagi yang sudah terinfeksi penumonia

DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan. (2006:6). Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia WHO. (2005). Recommended Surveilance Standards Second Edition. Departemen of Communicable Desease Surveilance and Response. Anonim1.(2010). Angka Kematian Bayi Riset Kesehatan Dasar. (2007). Diunduh dari www.depkes.go.id pada tanggal 13 Oktober 2011.Survei Demografi Kesehatan Indonesia. (2007). Diunduh dari www.depkes.go.id pada tanggal 13 Oktober 2011. Dinas Kesehatan Kab. Kuningan (2010), Profil Kesehatan Kabupaten Kuningan. Laporan Tahunan UPTD Puskesmas Kadugede Tahun 2011. Sutami dkk. (2011). Status pemberian ASI mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Di Kabupaten Kebumen Rasmaliah. (2004). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara. Anonim5Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara. Kartasasmitha, C. B. (2010). Pemberian Imunisasi dapat menurunkan risiko untuk terkena pneumonia. Rofiah. (2006). Beberapa Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pnemonia di Wilayah Kerja Puskesmas Welahan Kabupaten Jepara. Hasil penelitian. Jepara.

103

STADIUM KANKER, PARITAS, DAN USIA, KAITANNYADENGAN KELANGSUNGANHIDUPLIMATAHUNPADA PASIENKANKERSERVIKS DI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA M. Atoillah Isfandiari1, KharinaAulia ABSTRAK LatarBelakang. Mortalitas yang disebabkan oleh kanker serviks masih tinggi di Indonesia. Data statistic terbaru menunjukkan, setiap satu jam wanita meninggal setelah menderita penyakit ini. Beberapa factor termasuk stadium kanker pada saat pertama penyakit ini diterapi, paritas, dan usia pasien di atas 40 tahun di perkirakan mempengaruhi kelangsungan hidup pasien. Penelitianini bertujuan menganalisis hubungan antara stadium kanker pada saat pertama kali diterapi, jumlah paritas, dan usia, dengan ketahanan hidup lima tahun pasien kanker seviks. SubjekdanMetode. Studi ini adalah studi kasus kontrol yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada Maret-April 2011. Dipilih sampel 128 pasien kanker serviks, 59 % di antaranya berpendidikan SMA keatas, dan 72% responden tidak bekerja. Responden terdiri atas 64 pasien yang bertahan hidup<5 tahunsetelah diagnosis sebagai kelompok kasus, dan 64 pasien yang bertahan 5 tahun sebagai kelompok kontrol, Data dianalisis dengan menggunakan regresi logistik sederhana, Odds Ratio (OR) dengan Confidence Interval 95%. Hasil.Stadium karsinoma serviks pertama kali pasien diterapi memiliki hubungan dengan kelangsungan hidup 5 tahun pasien(OR= 4,89; CI95% 2,27 hingga 10,52, p <0,001), paritas tinggi(OR= 1,87CI5% 0.89 hingga 0,90, p= 0,097), danusia lebih dari 40 tahun (OR=1.56; CI95% 1,03 hingga 2,36, p= 0,037). Sebanyak 43% responden dengan kelangsungan hidup >5 tahun tersebut berpendidikan SMA ke atas, dan sebanyak 50% dari responden dengan kelangsungan hidup >5 tahun tersebut tidak bekerja. Kesimpulan. Terdapat hubungan yang secara statistik bermakna antara stadium kanker pada saat pertama pasien pertama kali diterapi dan usia di atas 40 tahun dengan kelangsungan hidup pasien kanker serviks. Terdapat hubungan antara paritas tinggi dan kelangsungan hidup, meskipun secara statistik tidak bermakna. Deteksi dini kanker serviks sangat dianjurkan untuk wanita, karena terapi pada tahap awal kanker akan meningkatkan harapan hidup dan tingkat kelangsungan hidup pasien. Kata kunci: Kelangsungan hiduplimatahun, stadium kankercerviks, paritas, usia

DepartemenEpidemiologi FKM Unair

104

SURVEI BASELINE KUALITAS KESEHATAN IBU HAMIL DAN BALITA DI DESA TELUKNAGA Veli Sungono, David Fairholm, Dwi Savitri
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Jl. Boulevard Jendral Sudirman Lippo Karawaci, Tangerang 15811 (Sebelah Rumah Sakit Siloam Lippo Village) Email: vsungono@gmail.com, veli.sungono@uph.edu

ABSTRACT Survei Rumah Tangga tahun 2007 menunjukkan angka kematian ibu sebesar 390 kematian dari 100.000 kelahiran hidup. Indonesia mempunyai komitmen kuat bagi Millenium Development Goals dalam menurunkan 2/3 kematian balita dan maternal mortality ratio di tahun 2015. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi tingkat kesehatan ibu hamil dan balita. Design studi cross sectional dengan metode survei rumah tangga pada semua ibu yang mempunyai balita (1.073 responden) yang tinggal di desa Teluknaga, Tangerang telah dilaksanakan. Tingkat demografi, kesehatan, pelayanan kesehatan Ibu dan Anak didapatkan dengan survei menggunakan kuesioner dan observasi setempat. Hasil survei menunjukkan dari 1.073 responden, 60 persen hanya bersekolah sampai SD dan 5persen berpendidikan Akademi/Universitas. Rata-rata usia kehamilan pertama adalah 20 tahun, dengan frekuensi melahirkan sebanyak 2.34 kali dengan frekuensi maksimum 11 kali. Sebanyak 11.9% ibu pernah mengalami keguguran dan 1.2% bayi yang dilahirkan sudah meninggal. Sebagian besar ibu-ibu hamil, sejumlah 64.89%, melakukan persalinan di rumah bidan, tetapi 13.20% ibu melakukan persalinan di rumah dan hanya 19% yang melahirkan di rumah sakit dan 3% di Puskesmas. Sebanyak 71 persen ibu melakukan persalinan dengan bantuan bidan tetapi masih ada sekitar 10 persen ibu yang melahirkan dengan bantuan dukun beranak. Jumlah kematian bayi di bawah 1 tahun tercatat sebanyak 5.4% dan balita 2.35%. Masih ada 30% ibu-ibu yang buang air besar di sungai, demikian halnya dengan balita (33%). Tingkat ASI eklusif masih sangat rendah yaitu rata-rata hanya 30 hari. Kesimpulan: Tingkat keguguran masih tinggi dan persalinan yang ditolong oleh dukun masih sekitar 10%. Tingkat pendidikan ibu masih sangat rendah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tingkat pengetahuan kesehatan ibu hamil masih perlu peningkatan kualitasnya dan akses terhadap pelayanan kesehatan professional perlu ditingkatkan. Keyword: Kesehatan Ibu Hamil, Balita, Pelayanan Kesehatan, MDG

A. Latar Belakang Masalah kesehatan maternal telah menjadi perhatian utama dunia pada saat ini. Upaya peningkatan kesehatan telah dicanangkan secara internasional oleh World Health Organization (WHO) melalui Millennium Development Goals (MDGs) tahun 2015. Data dari Survey Rumah Tangga 2007 menunjukkan bahwa Angka Kematian Ibu/Maternal Mortality Ratio (MMR) di Indonesia sebesar 390 kematian dari 100.000 kelahiran. 105

Kematian Ibu pada persalinan merupakan hal yang dapat dicegah, salah satunya dengan antenatal care. Namun pada kenyataannya, tidak semua ibu hamil melakukan antenatal care secara rutin dikarenakan keterbatasan ekonomi, kurangnya pengetahuan Ibu tersebut, dan akses terhadap pelayanan kesehatan di Puskesmas maupun Posyandu. Keterbatasan dalam melakukan Antenatal care sangat berisiko bagi kehamilan berisiko seperti tekanan darah tinggi dan pre-eclamsia yang merupakan menjadi faktor risiko terhadap kematian ibu hamil. Data demografi desa teluk naga adalah 2846 kepala keluarga dengan 13572 jumlah jiwa dalam keluarga terhitung tahun 2010 dan pada dusun kebon nangka adalah 452 kepala keluarga dengan 2373 jiwa terhitung tahun 2010. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyebab kematian terbanyak disebabkan saat persalinan dan segera setelah persalinan. Faktor risiko lainnya juga disebabkan adanya faktor keterlambatan atau yang dikenal dengan 5T yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat dirujuk, terlambat mengenali bahaya, terlambat sampai di fasilitas kesehatan, dan terlambat memperoleh pelayanan yang memadai. Padahal faktor keterlambatan adalah sesuatu yang dapat dicegah sedini mungkin. Salah satunya cara yang sederhana adalah memperlengkapi ibu hamil dengan pengetahuan mengenai bahaya kehamilan, dan apa yang harus mereka lakukan dalam mengatasi masalah 5T. Melalui kegiatan intervensi ini, mahasiswa akan bekerja sama dengan Puskesmas, Posyandu, dan Kelurahan dalam melakukan pemberdayaan wanita dan keluarga dalam mempersiapkan kehamilan, kelahiran, dan pasca melahirkan. Jika ibu hamil dan keluarganya mengenali faktor risiko kehamilan, maka pencegahan kematian ibu hamil dapat dikurangi secara signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kesehatan ibu hamil dan balita di Desa Teluknaga. Data baseline ini dapat digunakan untuk perbaikan tingkat kesehatan ibu hamil dan balita dan intenvensi yang lebih tepat sasaran yang pada akhirnya akan membawa peningkatan kualitas hidup, kesehatan, dan kesejahteraan masing-masing anggota masyarakat. Estimasi dari BPR pada tahun 2003 angka Kematian Balita/AKB telah menurun dari 35 kematian per 1.000 kelahiran pada tahun 2002-2003 menjadi 33,9 per 1.000 kelahiran hidup. Akan tetapi AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN. Data menunjukkan bahwa AKB Indonesia 4,6 kali lbih tinggi dari Malaysia; 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina; dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand. Data

106

MDGs tahun 2007 menunjukkan Indonesia menduduki peringkat ke-6 tertinggi setelah Singapura (3 per 1000), Brunai Darrusalam (8 per 1.000), Malaysia (10 per 1.000), Vietnam (18 per 1.000) dan Thailand (20 per 1.000). Di sisi yang lain, Angka Kematian Bayi antar provinsi yang satu dengan provinsi lainnya terjadi kesenjangan yang besar. AKB tertinggi ditemukan di Nusa Tenggara Barat (66); Gorontalo (50), Nusa Tenggara Timur (46), dan Sulawesi Tengah (42). DKI Jakarta yang merupakan provinsi dengan AKB terbaik masih sebesar 18 per 1.000 yaitu empat kali lebih rendah daripada provinsi dengan AKB terburuk. Kesenjangan antarwilayah satu dengan wilayah lainnya menunjukkan penyebab yang unik di setiap daerah. Penyebab Kematian Bayi sebesar 75 persen di Indonesia adalah infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA), komplikasi perinatal, dan diare. Rendahnya status kesehatan maternal miskin ini berhubungan dengan keterbatasan mereka dalam mengakses pelayan kesehatan karena faktor biaya (cost-barrier), geografis dan transportasi. Hal ini menunjukkan bahwa status kesehatan ibu dan balita, akses dan kualitas pelayanan kesehatan masih rendah serta perilaku hidup bersih dan sehat belum dilaksanakan oleh semua maternal. Kematian Ibu disebabkan oleh banyak komplikasi pada saat kehamilan, melahirkan dan periode setelah melahirkan. Komplikasi banyak disebabkan oleh status kehamilan dan beberapa disebabkan penyakit yang diderita selama kehamilan. Empat penyebab kematian ibu adalah pendarahan yang banyak terjadi pada saat melahirkan, infeksi, kelainan hipertensi saat hamil (eclampsia) dan pekerjaan yang terlalu berat. Komplikasi akibat aborsi yang tidak aman mengakitkan 13% kematian ibu. Secara global, sebanyak 80% kematian ibu berhubungan dengan penyebab tersebut. Selain itu 20% kematian disebabkan penyebab tidak langsung seperti penyakit yang dialami saat kehamilan seperti malaria, anemia, dan HIV. Wanita dapat juga meninggal akibat kondisi kesehatan yang buruk pada saat pembuahan dan keterbatasan dalam mengakses pelayanan kesehatan yang optimal untuk kehamilan dan bayi mereka. Pemerintah berkomitmen kuat dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita melalui Jaring Pengaman Sosial dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan bakar Minyak/KPSBBM yaitu dengan memberikan akses pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin. Lewat KPSBBM masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan dasar seperti pelayanan kebidanan dasar, pelayanan perbaikan gizi, posyandu, pemberantasan penyakit menular, dan revitalisasi kewaspadaan pangan dan gizi. Selain itu

107

pada tahun 2005, pemerintah juga telah memberikan Askeskin yaitu Jaminan Pelayanan Kesehatan untuk membantu mempercepat penurunan angka kemarian bayi dan balita terutama pada masyarakat miskin. Bantuan ini memungkinkan masyarakat yang miskin untuk memperoleh akses pemeriksaan kehamilan dan kunjungan bayi Komplikasi kematian persalinan merupakan sesuatu yang dapat dicegah. Salah satunya adalah dengan pemeriksaan antenatal care yang teratur. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, upaya pencegahan kematian di suatu daerah dapat berbeda dengan daerah lainnya, mengingat perbedaan geografis dan budaya antar daerah. Suatu program pencegahan belum tentu dapat berhasil diterapkan di daerah tertentu. Pelayanan antenatal care merupakan salah satu upaya dalam mencegah kematian ibu. Akan tetapi dalam pelaksanaanya tidak semua pelayanan antenatal care diakses oleh ibu-ibu hamil. Demikian juga Posyandu yang direncanakan untuk meningkatkan kesehatan Ibu dan Balita belum tentu dikunjungi oleh warga setempat. Dalam pelaksanaan, terdapat berbagai faktor-faktor lain seperti demografi dan kebudayaan yang mempengaruhi keinginan dan kemampuan warga dalam mengakses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu data dan informasi tingkat kesehatan maternal dan balita, demografi, dan kebudayaan di suatu daerah sangat diperlukan dalam mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian tersebut. Selama ini sangatlah sulit untuk mendapatkan gambaran kematian maternal di tingkat kelurahan dan tingkat kesehatan balita. Melalui baseline survey ini diharapkan akan memperoleh status kesehatan maternal dan Balita di Desa Teluknaga.

B. Subyek dan Metode Studi ini merupakan survey baseline di Desa Teluknaga dengan metode crosssectional. Berdasarkan data dari Kelurahan Teluknaga bulan Oktober 2010; jumlah penduduk sebanyak 13.673 populasi yang terdiri dari 3.167 keluarga; 8.096 balita; 1.842 ibu hamil dan 1.674 bayi di bawah 1 tahun. Populasi yang disurvei adalah semua ibu yang mempunyai balita dan tinggal di desa Teluknaga, Kecamatan Teluknaga, Tangerang selama tahun 2011-2012. Enumerator merupakan ibu-ibu yang tinggal di Desa Teluknaga dan sudah mendapatkan training khusus dalam survey di lapangan. Enumerator akan mengunjungi rumah per rumah untuk mewawancarai ibu-ibu yang mempunyai balita yang tercatat di data posyandu. Selain itu balita yang tidak terdaftar namanya juga akan

108

diwawancara. Jika Ibu-ibu dari Balita tersebut tidak dapat diwawancarai pada hari tersebut, enumerator akan membuat janji untuk kunjungan berikutnya.Kriteria Inklusi: Ibu yang mempunyai Balita atau sedang hamil, dan tinggal di Desa Teluknaga. Data akan dikumpulkan oleh ibu-ibu yang sudah direkrut, diseleksi, ditraining, disupervisi oleh Fakultas Kedokteran, Universitas Pelita Harapan. Petugas enumerator merupakan wanita yang tinggal di Desa Teluknaga. Mereka telah berpengalaman dalam pengambilan data di masyarakat. Hal ini akan sangat berguna dalam mendapatkan kualitas data yang bagus. Enumerator akan mendapatkan list respondent yang harus disurvey setiap pagi sebelum mereka survey ke lapangan. Koordinator lapangan akan mengecek kelengkapan dan isi kuesioner siang hari setelah survey lapangan. Jika ada jawaban yang belum terisi dan tidak konsisten, coordinator lapangan akan mengembalikan kuesioner tersebut kepada enumerator. Koordinator lapangan akan bertemu dengan enumerator siang hari setelah survey lapangan untuk menerima hasil kuesioner yang baru dan mengklarifikasi kuesioner yang belum lengkap atau kurang jelas. Kuesioner yang dipakai merupakan kuesioner yang sistematis dan telah diuji coba validitas di lapangan. Revisi kuesioner ini akan mengumpulkan informasi tentang data demografi, nutrisi, status imunisasi, pelayanan kesehatan, dan kesehatan lingkungan. Dalam pengambilan data ada beberapa metode yang akan dilakukan: Interviewer. Metode ini akan dilakukan untuk mengumpulkan data tentang social ekonomi, demografi, perilaku sehat, akses terhadap pelayanan kesehatan dan kesehatan Ibu sewaktu hamil dan Balita. Observasi. Metode ini akan digunakan saat pengambilan data untuk mencari tahu tentang status kesehatan Balita. Observasi Kartu Menuju Sehat (KMS) akan diperlukan untuk mengumpulkan informasi tentang imunisasi balita dan kunjungan ke Posyandu.

C. Analisa Statistik Template data untuk data entry dibuat dengan menggunakan program Epi-Data. Untuk meminimalisasi kesalahan pada saat data entry, template tersebut akan dilengkapi dengan program untuk menchek data yang tidak terisi, double input, dan logical check. Pemeriksaan data entry akan dilakukan setelah data diinput ke dalam program computer untuk mencegah kesalahan. Setelah semua proses data entry, data akan dianalisa dengan

109

menggunakan program STATA 9.2. Data dibersihkan, direcord, dan dideskripsikan menurut mean, standard deviasi, nilai minimal, maksimal untuk variabel numerik. Sedangkan variabel kategorik dijabarkan dalam bentuk jumlah dan persentase.

D. Hasil Penelitian Dari survei deskriptif ini didapatkan mayoritas (60%) responden hanya mempunyai pendidikan tertinggi sampai SD, dan hanya 4.6% yang sudah mencapai

akademi/universitas. Usia ibu-ibu yang disurvei rata-rata 28 tahun dan usia pertama kehamilan 20 tahun dengan usia kehamilan termudah 12 tahun dan usia tertua 35 tahun. Saat disurvei, terdapat 26 ibu-ibu yang sedang hamil. Pemberian ASI ekslusif hanya mempunyai mean 30 hari dengan standar deviasi 63.37. Sejumlah 148 (14%) responden mengaku pernah mengalami keguguran, dan 15 responden (1.3%) pernah melahirkan bayi yang sudah meninggal. Tingkat penghasilan responden dalam survei ini terlihat bahwa terdapat 70% di bawah Rp 1.500.000 dan hanya 2.43% yang berpenghasilan lebih dari Rp 5.000.000,00. Sebanyak 63% masyarakat telah mempunyai JAMKESMAS. Yang menarik saat pergi ke tempat melahirkan, 66% responden menggunakan jasa ojek/sepeda motor. Sebagian besar (71%) melahirkan dengan dibantu oleh bidan. Hanya 18.78% yang dibantu oleh dokter, dan masih ada sekitar 10% persalinan yang ditolong oleh dukun. Tempat melahirkan yang paling banyak terjadi adalah di rumah bidan dan 19% telah pergi ke tenaga dokter. Tingkat pengendalian kehamilan telah dilaksanakan oleh 90% dari responden, dan sekitar 70% menggunakan kontrasepsi berupa suntik KB/Keluarga Berencana. Survei ini didapatkan sebanyak 32% ibu-ibu masih membuang air besar (BAB) di sungai, demikian halnya juga dengan balita 33%. Hanya sekitar 66% ibu-ibu yang membuang air besar (BAB) di WC/toilet. Sebagian balita BAD di kebun/halaman (3.75%) dan sisanya di got (5.2%). Keadaan ini menunjukkan masih terdapat masalah sanitasi dan higiene setempat.

110

Tabel 1. Karakteristik Responden Ibu Balita di Desa Teluknaga Variabel Umur Ibu saat disurvei Umur Ibu pertama hamil Saat disurvei sedang hamil (n/%) ASI Eklusif (hari) Jumlah kehamilan Lahir hidup (n/%) Pernah Keguguran (n/%) Pernah Lahir mati (n/%) Pendidikan tertinggi Ibu (n/%) Di bawah SD SD SMP/setingkat SMU/setingkat Akademi/Universitas Tabel 2. Karakteristik Responden dan Kebiasaan Hidup No Variabel 1 Pendapatan (Rupiah) <700.000 700.000-999.999 1.000.000-1.499.999 1.500.000-1.999.999 2.000.000-2.999.999 3.000.000-3.999.999 4.000.000-4.999.999 >=5.000.000 2 Punya JAMKESMAS 3 Transportasi Ke tempat melahirkan Rumah Ojek/Sepeda motor Jalan Kaki Mobil 4 Ibu merokok saat disurvei 5 Suami responden merokok 6 Tempat BAB Ibu WC/toilet Sungai Kebun/halaman Got/saluran air 7 Tempat BAB Balita WC/toilet Sungai Kebun/halaman Got/saluran air n 176 221 351 150 100 35 8 26 676 138 529 125 3 6 765 653 314 17 1 553 322 36 50 Persent 16.48 20.69 32.87 14.04 9.36 3.28 0.75 2.43 63.3 17.36 66.54 15.72 0.38 0.56 71.36 66.29 31.88 1.73 0.1 57.55 33.51 3.75 5.2 Mean SD 28.86 6.01 20.38 3.74 26 (2.43%) 30.5 63.37 2.34 1.49 (1066 /86.7%) (148/13.79%) (15/1.3%) 21 (1.96%) 623 (58.06%) 191 (17.8%) 188 (17.52%) 50 (4.66%) Min/Max 16/50 (12/35) (0/900) (1/11)

111

Tabel 3. Tingkat Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil No Variabel 1 Persalinan Bayi Normal Sesar 2 Penolong Persalinan Dokter Bidan Dukun Lainnya 3 Tempat Melahirkan Rumah Sendiri Rumah Bidan Rumah Sakit Puskesmas 4 Menggunakan Kontrasepsi/KB Spiral Suntik Pil KB Kondom Tubektomi KB kalender n 957 115 200 757 106 2 141 693 206 28 973 10 780 176 9 25 8 Persent 89.27 10.73 18.78 71.08 9.95 0.19 13.2 64.89 19.28 2.62 90.76 0.96 74.93 16.89 0.87 2.4 0.87

E. Pembahasan dan Kesimpulan Keberhasilan dalam menurunkan angka kematian ibu tidak hanya dipengaruhi oleh ketersediaan pelayanan kesehatan saja, tetapi juga kemudahan masyarakat dalam menjangkau pelayanan kesehatan dan kesadaran akan pentingnya melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan tersebut. Dari hasil studi baseline ini didapatkan data demografik, sosial ekonomi dan tingkat kesehatan ibu hamil dan balita serta pelayanan kesehatan . Desa Teluk Naga termasuk dalam kategori desa miskin menurut Badan Pusat Statistik. Pendapatan per kapita keluarga yang kurang dari Rp 500.000,00 sebanyak 65,3%, sedangkan mereka yang berada pada kisaran Rp 500.000,00-Rp 1.000.000,00 hanya 20,3%. Mayoritas ibu-ibu hanya mengeyam pendidikan setinggi SD dan di bawah SD (60%) dan hanya 4.6% yang pernah berpendidikan di tingkat Diploma/Universitas. Pendidikan yang rendah ini sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan maupun perilaku ibu terhadap kesehatannya maupun kesehatan bayi yang dilahirkan. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan BAB di WC hanya 66.29% dan pada balita 57.55%. Sekitar 32% responden dan 33% balita

112

BAB di sungai. Sebagian balita BAB di got/saluran air dekat halaman rumah (5.2%) dan sisanya di kebun/halaman rumah (3.75%). Faktor ekonomi pun menjadi kendala bagi warga Dusun Kebon Nangka pada umumnya untuk memperoleh fasilitas kesehatan meskipun 63.3% warga di Desa Teluk Naga sudah memiliki Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Angka cakupan JAMKESMAS ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang terdata hanya 16.48% yang penghasilannya di bawah Rp 700.000,00. Salah satu persyaratan untuk mendapatkan JAMKESMAS adalah tingkat pendapatan perbulan di bawah Rp 700.000,00 dengan asumsi kelompok tersebut dianggap sebagai kelompok miskin, sehingga perlu dibantu dalam hal jaminan kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Usia kehamilan pertama rata-rata sudah mencapai 20 tahun. Akan tetapi masih ditemukan responden yang pertama kali hamil saat berusia sangat muda yaitu 12 tahun. Dari outcome melahirkan terlihat bahwa tingkat keguguran yang pernah responden alami cukup tinggi (147 kasus keguguran atau 12%). Terdapat sekitar 15 kasus lahir mati (1.2%). Walaupun tingkat aborsi yang tercatat hanya 1 kasus (0.09%), mungkin saja kasus aborsi underestimate akibat bisa jawaban yang sangat berhubungan dengan etik. Sekitar 10% ibu hamil masih memilih dukun beranak sebagai tenaga penolong persalinan. Data ini lebih rendah daripada ibu di NTB (26%) dan NTT (38%) (IDI, 2007). Dari pengamatan dan wawancara di lapangan, peneliti menemukan beberapa alasan mengapa mereka lebih memilih dukun beranak antara lain. Pertama, biaya melahirkan di dukun itu jauh lebih murah dibandingkan dengan melahirkan di bidan ataupun di dokter atau klinik rumah sakit. Biaya rata-rata melahirkan dengan bantuan dukun yaitu kurang lebih sebesar Rp 200.000,00. Biaya ini jauh lebih tinggi daripada melahirkan di Bidan (kurang lebih Rp 800.000), Rumah sakit (kisaran Rp 3.000.000-Rp 15.000.000,00) tergantung kelas, ruangan, dan jenis rumah sakit. Kedua, dukun beranak masih merupakan keluarga dari warga masyarakat yang tinggal di sana. Ini lah salah satu alasan mengapa ibu hamil lebih memilih melahirkan dengan dibantu oleh pihak keluarga mereka dan sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun cara perawatan dan persalinan. Ketiga, pembayaran biaya melahirkan di dukun dapat dicicil dan dukun beranak biasanya membantu ibu-ibu dalam hal memasak, memandikan bayi, menyediakan makanan. Hal ini lah yang tidak diperoleh dari pelayanan rumah sakit. Masyarakat menengah ke bawah cenderung memilih

113

ditolong oleh dukun daripada tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Setelah departemen kesehatan memberikan JAMPERSAL (Jaminan Persalinan) bagi ibu-ibu hamil, terdapat kecenderungan masyarakat pergi ke tenaga kesehatan (bidan/dokter) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih professional. Penolong persalinan dari tenaga medis oleh dokter dan bidan sudah mencapai hampir 90%. Hasil ini jauh lebih tinggi daripada Data BPS tahun 2005 (70.46%). Jumlah kematian bayi di bawah 1 tahun cukup tinggi (5.42%) dan Balita 2.35%. Sebagian ibu-ibu tidak mengetahui penyebab kematian bayi bahkan sebagian mengaitkan kematian dengan kepercayaan/mistik seperti akibat keluar waktu Sholat Magrib. Akan tetapi sebagian besar bayi meninggal dengan gejala biru dan kesulitan bernafas. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan khusus mengenai penyebab kematian bayi dan balita di desa ini. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat cakupan penolong persalinan yang ditolong oleh tenaga medis sudah bagus, tetapi perlu lebih ditingkatkan. Jumlah kematian bayi di bawah 1 tahun dan balita perlu dikurangi dengan memberikan penyuluhan mengenai penyebab umum kematian bayi dan balita serta apa yang harus mereka lakukan. Dengan adanya JAMPERSAL, ibu-ibu hamil dapat didorong untuk melakukan akses terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu pemberian insentif bagi dukun yang mereferensikan pasiennya akan dapat membantu masyarakat memilih akses terhadap tenaga kesehatan professional. Keterbatasan Penelitian: Survei potong lintang ini belum dapat mengukur Maternal Mortality Ratio/Angka Kematian Ibu, dan Angka Kematian Balita yang membutuhkan observasi yang lebih dari 1 tahun dan follow up pengamatan harus secara berkala.

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik, 2005 IDI Propinsi NTB dan NTT, Survey Rumah Tangga Tentang Perilaku Kesehatan Ibu dan Anak Serta Pola Pencarian Pengobatan di Tingkat Masyarakat, 2007. Hanley, J.A., Hagen,C.A. and Shiferaw, T. Confidence intervals and sample size calculations for the sisterhood method of estimating maternal mortality. Studies in Family Planning 27(4) July/August 1996. Rutenberg, N. and Sullivan, J.M. Direct and indirect estimates of maternal mortality from the sisterhood method. IRD/Macro International Inc., Washington DC, 1991.

114

Stanton, C., Abderrahim, N. and Hill, K. DHS maternal mortality indicators: An assessment of data quality and implications for data use. Demographic and Health Surveys Analytical Report No 4, Macro International Inc. Calverton, Maryland, USA, September 1997. WHO/UNICEF. The Sisterhood method to estimate maternal mortality. Report of a technical meeting, 5-6 December 1996.

115

FAKTOR SOSIAL EKONOMI DAN RISIKO GANGGUAN TIROID PADA WANITA USIA SUBUR DI KECAMATAN PRAMBANAN KABUPATEN SLEMAN Mutalazimah1, Budi Mulyono2, Bhisma Murti3, Saifuddin Azwar4
1

Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (Mahasiswa Program Doktor Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada), 2 Bagian Patologi Klinis RSUP DR. Sardjito Yogyakarta, 3Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, 4Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK Latar Belakang: Faktor sosial ekonomi seperti pendidikan, pendapatan keluarga dan pekerjaan memberikan kontribusi terhadap perilaku kesehatan dan risiko terjadinya penyakit. Penelitian ini bertujuan mengestimasi besarnya hubungan antara pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan dengan risiko untuk mengalami gangguan tiroid pada wanita usia subur (WUS) di daerah endemis defisiensi yodium Subjek dan Metode: Penelitian observasional dilakukan dengan pendekatan potong lintang di daerah endemis defisiensi yodium di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Sampel terdiri atas 115 WUS dipilih secara random. Status tiroid diukur dengan thyroid stimulating hormone (TSH) dan free thyroxine (FT4). Tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan pekerjaan diukur melalui wawancara. Hubungan variabel diukur dengan odds ratio (OR) dan CI 95%, diuji dengan uji Chi Kuadrat. Hasil: Sampel berpendidikan dasar (rendah) 77 (67,0%), tidak bekerja 59 (51,3%), berpenghasilan < upah minimum rata-rata (UMR) 103 (89,6%), dan mengalami gangguan tiroid 33 (28,7%). Terdapat hubungan antara peningkatan risiko gangguan tiroid dengan tingkat pendidikan rendah (OR= 1,8; 95% CI 0,7 hingga 4,5), pendapatan keluarga < UMR (OR = 4,9; 95% CI 0,6 hingga 40,0), dan tidak bekerja (OR = 1,4; 95% CI 0,6 hingga 3,2). Kesimpulan: Tingkat pendidikan rendah, pendapatan keluarga < UMR, dan tidak bekerja merupakan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan tiroid pada WUS di daerah endemis defisiensi yodium. Kata kunci: sosial ekonomi, gangguan tiroid, wanita usia subur. ______________ Alamat korespondensi: Mutalazimah, Program Studi Gizi FIK UMS, Jl. A. Yani Pabelan Surakarta, (0271) 717417, Fax: (0271) 715448, HP: 08156859388, email:mutalazimah@gmail.com

116

A. Latar Belakang Gangguan tiroid merupakan kondisi yang disebabkan oleh terganggunya fungsi kelenjar tiroid, baik menjadi hipoaktif maupun hiperaktif. Penelitian Lamfon (2008) menemukan, bahwa defisiensi yodium merupakan faktor penyebab yang paling dominan pada terjadinya gangguan tiroid, baik hipotiroidisme maupun hipertiroidisme, dibandingkan dengan faktor-faktor penyebab yang lain. Defisiensi yodium yang berlangsung dalam jangka panjang akan meningkatkan kadar TSH, tetapi produksi hormon tiroksin dalam kadar normal yang konstan, kondisi ini dikenal sebagai hipotiroidisme subklinis (Stone dan Wallace, 2003; Brown et al., 2005; Zimmermann, 2009). Sebaliknya, bila kadar TSH menurun tetapi produksi hormon tiroksin dalam kadar normal disebut sebagai hipertiroidisme subklinis. Indonesia belum terbebas dari masalah defisiensi yodium, hal ini ditunjukkan oleh peningkatan prevalensi total goitre rate (TGR) dari 9,8% pada tahun 1998, menjadi sebesar 11,1% pada tahun 2003 (Tim GAKY Pusat, 2005). Tentu saja angka TGR di Indonesia tersebut masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena WHO memberi batas maksimal 5 % (Zimmermann, 2009). Daerah endemis GAKY berisiko menyebabkan defisiensi yodium pada semua kelompok umur, mulai dari janin, neonatal, anak-anak, remaja, dewasa dan lanjut usia. Dampak dari defisiensi yodium mencakup spektrum yang sangat luas, seperti: abortus, lahir mati, cacat bawaan, kematian perinatal, kematian bayi, kretin, gondok, hypothyroidism, penurunan IQ, gangguan fungsi mental, gangguan fungsi otot, pertumbuhan terhambat dan iodine induced hyperthyroidism atau IIH (Dillon dan Milliez, 2000; Verma dan Raghuvanshi, 2001; Sebotsa et al., 2009). Berbagai masalah yang berkaitan dengan yodium dan tiroid pada kelompok dewasa terjadi 4 10 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria, khususnya pada masa usia produktif (Strieder et al., 2003; Gonen et al., 2004; Fountoulakis et al., 2007; Lamfon, 2008; Watt, 2009). Tidak terdeteksinya wanita usia produktif yang menderita defisiensi yodium, akan menimbulkan risiko kehamilan yang berkaitan dengan kematian janin, dengan prevalensi sampai 79% (Allan et al., 2000; Andersson et al., 2004; Hetzel, 2005; Girling, 2006; Wang et al., 2009). Selain itu, adanya peningkatan congenital hypothyroidism, kretinisme, keterbelakangan mental, gangguan perkembangan psikomotor dan menurunnya kecerdasan pada anak yang akan dilahirkan, karena IQ anak menjadi lebih

117

rendah 4 sampai 7 poin (Smallridge dan Ladenson, 2001; Glinoer, 2008; Bogale et al., 2009; Charlton et al., 2010). Berbagai permasalahan gizi termasuk gangguan tiroid yang berkaitan dengan defisiensi yodium, faktor ekologi mempunyai peran penting sebagai penyebabnya, diantaranya adalah infeksi, konsumsi makanan, pengaruh budaya, faktor sosial ekonomi, produksi pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan (Supariasa et al, 2002). Faktor sosial ekonomi seperti pendidikan, pekerjaan dan pendapatan juga merupakan faktor sosiodemografi yang berkaitan secara erat dengan status kesehatan dan perilaku kesehatan (Green dan Kreuter, 2007; Glanz et al, 2008). Dalam teori health belief model, faktor sosial ekonomi merupakan salah satu modifying factors yang akan membentuk individual beliefs yang sangat berperan dan menentukan kemampuan untuk menilai dan merasakan kondisi kesehatan dalam tubuh individu tersebut (Glanz et al, 2008). Faktor sosial ekonomi

merupakan bagian dari faktor demografi yang berkaitan dengan status kesehatan dan perilaku kesehatan, karena merupakan faktor predisposing yang ikut berperan dalam peningkatan wawasan, persepsi dan perilaku yang positif dalam rangka self awareness seperti dalam pemilihan pola makan, penerapan pola hidup sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (Suhrcke et al, 2008). Penelitian ini bertujuan mengestimasi besarnya hubungan antara pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan dengan risiko untuk mengalami gangguan tiroid pada wanita usia subur (WUS) di daerah endemis defisiensi yodium. Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Prambanan, karena angka TGR sebesar 35,8%, lebih tinggi dibandingkan dengan angka TGR di Kabupaten Sleman sebesar 18,1%. Dengan prevalensi > 20%, Kecamatan Prambanan merupakan daerah endemis GAKY tingkat berat (Dinkes Sleman, 2003).

B. Subjek dan Metode Jenis penelitian merupakan penelitian observasional, dilakukan dengan pendekatan potong lintang di daerah endemis defisiensi yodium di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Sampel terdiri atas 115 WUS yang dipilih secara random. Status tiroid diukur dengan thyroid stimulating hormone (TSH) dan free thyroxine (FT4). Tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, dan pekerjaan diukur melalui wawancara. Hubungan variabel diukur dengan OR dan CI 95%, diuji dengan uji Chi Kuadrat.

118

C. Hasil Faktor sosial ekonomi seperti pendidikan, pendapatan keluarga dan pekerjaan memberikan kontribusi terhadap perilaku kesehatan dan risiko terjadinya penyakit.

Distribusi karakteristik status sosial ekonomi dan hubungannya dengan gangguan tiroid pada WUS, beserta hasil analisis OR dan hasil pengujian Chi Kuadrat disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Asosiasi status sosial ekonomi dan gangguan tiroid pada WUS Sosial ekonomi Gangguan tiroid Ya Tidak n(%) n(%) 25(32,5) 8(21,1) 32(31,1) 1(8,3) 19(32,2) 14(25,0) 33(28,7) 52(67,5) 30(78,9) 71(68,9) 11(91,7) 40(67,8) 42(75,0) 82(71,3) n total(%) p OR (95% CI)

Pendidikan Dasar Lanjutan Pendapatan < UMR UMR Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja n total (%)

77(67,0) 38(33,0) 103(89,6) 12(10,4) 59(51,3) 56(48,7) 115(100)

0,292

1,8(0,7-4,4)

0,190

4,9(0,6-40)

0,517

1,4(0,6-3,2)

Analisis deskriptif yang dapat disimak dari Tabel 1. antara lain bahwa sebagian besar sampel berpendidikan dasar yakni 67%, berpendapatan < UMR 89,9% dan tidak bekerja 51,3%, sedangkan yang mengalami gangguan tiroid 28,7%. Hasil uji Chi Kuadrat pada ketiga variabel pendidikan, pekerjaan dan pendapatan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai p masing-masing 0,292; 0517; dan 0,191. Meskipun demikian, dari deskripsi tabel silang dapat dilihat adanya kecenderungan, yakni persentase sampel yang mengalami gangguan tiroid, lebih tinggi berasal dari sampel yang berpendidikan dasar, tidak bekerja dan berpendapatan < UMR. Kajian terhadap nilai OR didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara peningkatan risiko gangguan tiroid dengan tingkat pendidikan rendah (OR= 1,8; 95% CI 0,7 hingga 4,5), pendapatan keluarga < UMR (OR = 4,9; 95% CI 0,6 hingga 40,0), dan tidak bekerja (OR = 1,4; 95% CI 0,6 hingga 3,2).

119

D. Pembahasan Gangguan tiroid pada penelitian ini diinterpretasikan menggunakan kadar TSH dalam serum, yang didefinisikan dengan interval referensi normal sekitar 0,4-4,0 U/l, sedangkan interval referensi normal untuk kadar FT4 berkisar 0,7-2,1 ng/dl. Ditemukan 28,7% sampel mengalami gangguan tiroid baik hipotiroid subklinis maupun hipertiroid subklinis. Beberapa penelitian menunjukkan adanya gangguan tiroid bergeser kepada kasus hipertiroid, seperti penelitian Mutalazimah (2011) menemukan kasus hipertiroid subklinis pada wanita usia produktif di daerah endemis defisiensi yodium di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman sebesar 26%. Penelitian lain mengenai kecenderungan kasus hipertiroid subklinis, adalah penelitian Hermann et al. (2004) dan Lamfon (2008) yang menyatakan adanya kecenderungan penurunan serum TSH pada subjek di daerah endemis defisiensi yodium. Hasil penelitian ini mendapatkan 67% tingkat pendidikan sampel adalah pendidikan dasar, hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Mutalazimah (2001) di

Kecamatan Prambanan sebesar 46% dan BPS Sleman (2012) untuk Kabupaten Sleman sebesar 44%. Persentase pendidikan dasar yang lebih tinggi ini dikarenakan perbedaan wilayah penelitian yakni di daerah endemis defisiensi yodium (pegunungan) yang sebagian besar tanahnya bukan tanah yang subur. Pada penelitian ini, meski tidak berhubungan signifikan, namun pendidikan rendah menjadi faktor meningkatnya risiko gangguan tiroid pada WUS. Beberapa hasil penelitian menyebutkan keterkaitan pendidikan dengan status gizi dan kesehatan, seperti Handal et al.(2007), demikian juga Diez dan Fortiz (2009) yang menemukan hubungan pendidikan ibu dan neurobehavioral anak, berhubungan juga dengan perilaku kesehatan. Penelitian lain juga menemukan hubungan yang sangat kuat antara pendidikan dan obesitas, karena pendidikan terkait erat dengan gaya hidup dan perilaku dalam mengatur pola makan (Yen et al., 2009). Pendidikan merupakan salah satu faktor demografi sebagai faktor predisposisi, yang akan mempengaruhi persepsi individu. Persepsi merupakan hasil dari proses pembentukan cara pandang seseorang yang berasal dari ranah kognisi. Pendidikan merupakan determinan utama yang berkaitan dengan persepsi, karena dengan pendidikan seseorang akan mengalami maturasi pola pikir, menambah pengalaman, melalui setiap tahap dalam proses belajar, memperluas wawasan,

120

dan pengetahuan yang akan diterapkan pada konsep hidup sehat dalam pencegahan dan penanganan penyakit. Deskripsi sampel yang mempunyai pendapatan < UMR pada penelitian ini sebesar 89,6%. Angka UMR yang dimaksud adalah UMR untuk Kabupaten Sleman dan 4 kabupaten lainnya di Provinsi DIY pada semua sektor sebesar Rp 892.660,-. Tingginya persentase pendapatan yang < UMR, dikarenakan lokasi penelitian di daerah pegunungan batu cadas, yang sebagian besar pekerjaannya sebagai petani dan buruh tani, yang terkendala secara geografis sehingga hanya dapat menanam jenis palawija tertentu, seperti singkong, jagung dan beberapa jenis sayuran. Sebab lainnya yang sangat berkaitan adalah > 50% sampel tidak bekerja. Tampaknya hal ini menjadi relevan bila dikaitkan dengan angka keluarga miskin di Kecamatan Prambanan sebesar 41,8% (BPS Sleman, 2007). Meski tidak signifikan, tetapi nilai OR menunjukkan pendapatan yang rendah meningkatkan risiko gangguan tiroid pada WUS. Beberapa hasil penelitian menyebutkan keterkaitan pendapatan dengan status gizi dan kesehatan, seperti penelitian Mahgoub et al. (2006) yang mengindikasikan bahwa rendahnya pendapatan berkaitan dengan kejadian malnutrisi, karena daya beli terhadap pangan dan ketersediaan pangan tingkat rumah tangga menjadi rendah. Selanjutnya Kranz et al. (2008) menemukan hubungan yang signifikan antara pendapatan dan status berat badan anak, demikian juga penelitian Yen et al. (2009) dan Dupuy et al. (2011) yang menemukan hubungan yang sangat kuat antara pendapatan dan obesitas serta antara pendapatan dan kegemukan pada anak. Kesemuanya karena satu alasan bahwa dengan peningkatan pendapatan akan meningkatkan kuantitas diet pada anak, rumah tangga dengan pendapatan yang cukup akan lebih leluasa memilih jenis makanan yang disukai dalam jumlah sesuai kebutuhan. Pendapatan juga meningkatkan peluang untuk mengakses pelayanan kesehatan (Mutalazimah, 2001; Suhrcke et al., 2008) dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Karakteristik sampel yang tidak bekerja pada penelitian ini sebesar 51,3% yakni sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan sendiri. Angka pengangguran pada WUS ini, lebih tinggi bila dibandingkan dengan data BPS Sleman (2007) yang menyebutkan jumlah penduduk yang tidak bekerja di Kecamatan Prambanan dibandingkan dengan usia produktif sebesar 12%. Keterkaitan status pekerjaan dengan status gizi dan kesehatan, telah ditemukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, seperti Yen et al. (2009)

121

dan Lee (2011) yang menemukan hubungan status pekerjaan dengan obesitas. Pekerjaan terkait dengan perilaku hidup sehat dan penyakit karena dengan pekerjaan, seseorang akan lebih berpeluang meningkatkan pendapatan, mengakses informasi melalui teman sejawat atau institusinya, menambah pengalaman dan wawasan dalam mengakses pelayanan kesehatan, sehingga dapat lebih mengelola kebutuhannya terhadap seluruh aspek yang terkait dengan peningkatan derajat kesehatan. E. Kesimpulan Penelitian ini menemukan sampel berpendidikan dasar (rendah) 77 (67,0%), tidak bekerja 59 (51,3%), berpenghasilan < upah minimum rata-rata (UMR) 103 (89,6%), dan mengalami gangguan tiroid 33 (28,7%). Terdapat hubungan antara peningkatan risiko gangguan tiroid dengan tingkat pendidikan rendah (OR= 1,8; 95% CI 0,7 hingga 4,5), pendapatan keluarga < UMR (OR = 4,9; 95% CI 0,6 hingga 40,0), dan tidak bekerja (OR = 1,4; 95% CI 0,6 hingga 3,2). Tingkat pendidikan rendah, pendapatan < UMR, dan tidak bekerja merupakan faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan tiroid pada WUS di daerah endemis defisiensi yodium.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, W.C., Haddow, J.E., Palomaki, G.E., Williams, J.R., Mitchell, M.L., Hermos, R.J., Faix, J.D., Klein, R.Z. (2000) Maternal thyroid deciency and pregnancy complications: implications for population screening. Journal of Medical Screening; 7:127130. Andersson, M., Takkouche, B., Egli, I., Allen, H.E., de Benoist, B. (2004). Current global iodine status and progress over the last decade towards the elimination of iodine deciency. Bulletin of the World Health Organization;83:518-525. Bogale, A., Abebe, Y., Stoecker, B.J., Abuye, C., Ketema, K., Hambidge, K.M. (2009) Iodine status and cognitive function of women and their five year old children in rural Sidama, Southern Ethiopia. East African Journal of Public Health;6(3):299302. BPS Kabupaten Sleman. (2007). Prambanan dalam angka. http://slemankab.bps.go.id. BPS Kabupaten Sleman. (2012). Persentase penduduk 15 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan dan jenis kelamin di Kabupaten Sleman. http://slemankab.bps.go.id. Brown, B.T., Bonello, R., Pollard, H. (2005) The biopsychosocial model and hypothyroidism. Chiropractic & Osteopathy, 13:5.

122

Charlton, K.E., Gemming, L., Yeatman, H., Ma, G. (2010) Suboptimal iodine status of Australian pregnant women reects poor knowledge and practices related to iodine nutrition. Nutrition; 26:963968. Diez, S.M.U., Fortiz, A.P. (2009). Socio-demographic predictors of health behaviors in Mexican college students. Health Promotion International, Vol. 25 No. 1 doi:10.1093/heapro/dap047. Dillon, J.C., Milliez, J. (2000) Reproductive failure in women living in iodine deficient areas of West Africa. British Journal of Obstetrics and Gynaecology; May,107:631-636. Dinkes Kabupaten Sleman. (2003) Hasil pemantauan garam beryodium dan pemutakhiran data GAKY Kabupaten Sleman, Sleman. Dupuy, M., Godeaul, E., Vignes, C., Ahluwalia, N. (2011). Socio-demographic and lifestyle factors associated with overweight in a representative sample of 11-15 year olds in France: Results from the WHO-Collaborative Health Behaviour in Schoolaged Children (HBSC) cross-sectional study. BMC Public Health, 11:442 Fountoulakis, S., Philippou, G., Tsatsoulis, A. (2007) The role of iodine in the evolution of thyroid disease in Greece: from endemic goiter to thyroid autoimmunity. Hormones;6(1):25-35. Girling, J.C. (2006) Thyroid disorders in pregnancy. Current Obstetrics & Gynaecology, 16:4753. Glanz, K., Rimer, B.K., Viswanath, K. editors. 4th ed. (2008). Health behavior and health education : theory, research, and practice. Published by Jossey-Bass. A Wiley Imprint 989 Market Street, San Francisco, CA 94103-1741 www.josseybass.com Glinoer, D. (2008) Thyroid regulation and dysfunction in the pregnant patient, University Hospital Sant-Pierre-Universite Libre de Bruxelles, Brussels Belgium, www.thyroidmanager.co.id Gonen, M.S., Kisakol, G., Cilli, A.S., Dikbas, O., Gungor, K., Inal, A., Kaya, A. (2004) Assessment of anxiety in subclinical thyroid disorder. Endocrine Journal;51(3):311315. Green, L.W., Kreuter, M.W. (2007). Health Promotion Planning: An Educational and Ecological Approach. Mayfield Pub. Co. Handal, A.J., Lozoff, B., Harlow, S.D. (2007). Sociodemographic and nutritional correlates of neurobehavioral development: a study of young children in a rural region of Ecuador. Rev Panam Salud Publica/Pan Am J Public Health. 21(5). Hermann, D., Hewer, W., Lederbogen, F. (2004) Testing the association between thyroid dysfunction and psychiatric diagnostic group in an iodine-deficient area. Journal of Psychiatry and Neuroscience;29(6):444-449. Hetzel, B.S. (2005) Towards the global elimination of brain damage due to iodine deficiencythe role of the International Council for Control of Iodine Deficiency Disorders. International Journal of Epidemiology;34:762764.

123

Kranz, S., Findeis, J.L., Shrestha, S.S. (2008). Use of the Revised Childrens Diet Quality Index to assess preschoolers diet quality, its sociodemographic predictors, and its association with body weight status. Jornal de Pediatria. 0021-7557/08/84-01/26. Lamfon, H.A. (2008) Thyroid disorders in Makkah, Saudi Arabia. Ozean Journal of Applied Sciences;1(1):55-58. Lee, Choonsoo. (2011). The Effect of Socioeconomic and Sociodemographic Variables on Obesity-Using Pooled Regression and Pseudo Panel Approach. Seventh Annual Conference Asia-Pasific Economic Association. June 24-25, 2011. Busan Mahgoub, S.E.O., Nnyepi, M., Bandeke, T. (2006). Factors affecting prevalence of malnutrition among children under three years of age in Botswana. African Journal of Agricultural, Nutrition and Development, 6 (1), 2006, ISSN 1684-5378. Mutalazimah. (2001). Hubungan Karakteristik Ibu Dan Status Keluarga Sejahtera Dengan Pemilihan Penolong Persalinan Dan Metode Kontrasepsi Di Wilayah Kerja Puskesmas Prambanan I Kabupaten Sleman Tahun 2000. Skripsi. http://www.fkm.undip.ac.id Mutalazimah. (2011). Uji diagnostik hipotiroidisme pada wanita dewasa melalui pengembangan skala hipotiroid. Laporan hasil pra penelitian di Kecamatan Cangkringan (Perpustakaan Bappeda Kabupaten Sleman, belum terpublikasi). Sebotsa, M.L.D., Dannhauser, A., Mollentze, W.F., Oosthuizen, G.M., Mahomed F.A., Jooste, P.L. (2009) Knowledge, attitudes and practices regarding iodine among patients with hyperthyroidism in the Free State, South Africa. South African Journal of Clinical Nutrition;22(1):18-21. Smallridge, R.C., Ladenson, P.W. (2001). Hypothyroidism in pregnancy: consequences to neonatal health. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism;June,86(6)2349-2353. Stone, B.M., Wallace, B.R. (2003). Medicare coverage of routine screening for thyroid dysfunction, Institute of Medicine, The National Academic Press, Washington DC. Strieder, T.G.A., Prummel, M.F., Tijssen, J.G.P., Endert, E., and Wiersinga, W.M. (2003) Risk factors for and prevalence of thyroid disorders in a cross-sectional study among healthy female relatives of patients with autoimmune thyroid disease. Clinical Endocrinology;59:396401. Suhrcke, M., Walters, S., Mazzuco, S., Pomerleau, J., McKee, M., Haerpfer, C.W. (2008). Socioeconomic differences in health, health behaviour and access to health care in Armenia, Belarus, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, the Republic of Moldova, the Russian Federation and Ukraine, WHO Publication. Supariasa, I Nyoman Dewa. Bakri, Bachyar. Fajar, Ibnu. 2002. Penilaian Status Gizi. EGC Penerbit Buku kedokteran, Jakarta. Tim GAKY Pusat, (2005) Rencana aksi nasional kesinambungan program penanggulangan gangguan akibat kurang yodium, Tim GAKY Pusat, Jakarta. Verma, M., Raghuvanshi, R.S. (2001) Dietary iodine intake and prevalence of iodine deficiency disorders in adults. Journal of Nutritional & Environmental Medicine;11:175180. Wang, Y., Zhang, Z., Ge, P., Wang, Y., Wang, S. (2009) Iodine deficiency disorders after a decade of universal salt iodization in a severe iodine deficiency region in China. Indian Journal of Medical Research;Oct,130:413-417.

124

Watt, T. (2009) Development of a Danish thyroid-specific quality of life questionnaire, PhD Thesis, Department of Endocronology, Copenhagen University Hospital Rigshospitalet and Health Service Research, Institute of Public Health. Yen, S.T., Chen, Z., Eastwood, D.B. (2009). Lifestyles, Demographics, Dietary Behavior, and Obesity: A Switching Regression Analysis. Health Research and Educational Trust. Health Services Research 44:4. DOI: 10.1111/j.1475-6773.2009.00969.x Zimmermann, M.B. (2009) Iodine deciency in pregnancy and the effects of maternal iodine supplementation on the offspring: a review. American Journal of Clinical Nutrition;89(suppl):668S72S.

125

HUBUNGAN KARAKTERISTIK WANITA PEKERJA SEKSUAL (WPS) DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DAN HUMAN IMMUNNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DIWILAYAH PUSKESMAS BAKAUHENI KECAMATAN BAKAUHENI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN TAHUN 2012 Dewi Yurniati *) dan Kodrat Pramudho **) ABSTRAK Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Semakin tingginya kejadian IMS dan HIV di wilayah Puskesmas Bakauheni, Kecamatan Bakauheni Kabupataen Lampung Selatan, dilaporkan pada tahun 2011 sebanyak 221 kasus dengan 216 IMS dan 5 HIV. Hal ini berkaitan dengan karakteristik WPS yang berada di wilayah Puskesmas Kecamatan Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan yaitu tipe WPS, umur, pendidikan, pengetahuan, lama bekerja sebagai WPS, jumlah pelanggan seks, cuci vagina dan penggunaan kondom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan Karakteristik WPS dengan Kejadian IMS dan HIV di wilayah Puskesmas Bakauheni. Disain penelitian kuantitatif yang dilengkapi dengan penelitian kualitatif. Besar sampel berjumlah 68 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, indepth interview dan FGD. Data kuantitatif dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan uji chi square serta analisis multivariat dengan regresi logistic. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tipe WPS dengan umur, (p=0,557), dengan pendidikan (p=0,201), dengan lama bekerja sebagai WPS (p=0,625), dengan jumlah pelanggan seks (p=0,164), dengan cuci vagina (p=0,625), dengan penggunaan kondom (p=0,143). Sedangkan yang ada hubungan antara tipe WPS dengan pengetahuan terhadap kejadian IMS dan HIV (p=0,027). Rekomendasi penelitian ini untuk menekan dan mengurangi resiko tertularnya IMS dan HIV, maka perlu upaya meningkatkan pengetahuan WPS tentang penyakit IMS dan HIV serta untuk Puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat agar lebih meningkatkan upaya promosi dan penyuluhan IMS dan HIV baik bagi para WPS maupun masyarakat sekitar lokasi penelitian tersebut.

*) staf Puskesmas Bakauheni **) staf pengajar Program Pasca Sarjana UMITRA Lampung

126

BIDAN DAN PERSALINAN OLEH TENAGA KESEHATAN: DETERMINAN SOSIAL DAN GEOGRAPHIS

Ansariadi, Tri Vonya BP., Wahiduddin BagianEpidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
ABSTRACT

Skilled birth assistant (SBA) is a key component to reduce maternal mortality. In Indonesia, the coverage of SBA was varied among regionsand proportin of poor households at distric level. The aim of this study is to correlate the proportion of poor household at district level and the ratio of midwife per village and the coverage of skilled birth attendants based on region.This is an ecological study that used data from Institute of Health and Research, Ministry of Health. These data was a combination from various national surveys like Riskesdas, Susenas and Podes 2007-2008. Correlational analysis was perfomed to test the hypothesis that included of 440 districts in Indonesia.This study found that there is a positive correlation between the ratio of midwife per village and the coverage of skilled birth attendants (r = 0.68; p =0.000). This correlation varied at different region; Kalimantan (r = 0.76), Sumatera (r = 0.63), Sulawesi (r = 0.57) , Jawa-Bali ( r = 0.47) , Maluku-Papua-Nusa Tenggara (r= 0.44 ). This study also reveals that the correlation coeficion was varied according to the percentage of poor people at district level; quartil 1 (r =0.69), quartil 2 (r=0.62), quartil 3 (r=0.51), quartil 4 (r=0.34). In conclusion, the ratio of midwife per village increases as the percentage the skilled birth attendants increases. The correlation varied across regions and proportion of poor people at distric level. Key Words : GIS, poverty, skilled birth attendants, region, Midwives A. Latar Belakang Keberadaan bidan di desa merupakan salah satu komponen penting kelangsungan hidup ibu dan anak terhadap

(Anand & Barnighausen, 2004). Namun demikian,

ketersediantenaga kesehatan tersebut belum menjamin tercapainya cakupan yang tinggi terhadap persalinan oleh tenaga kesehatan(Koblinsky et al, 2006;Kruk et al 2008). Faktor lain seperti ketersediaan infrastuktur transportasi, telekomunikasi, biaya persalinan dan kebiasaan suatu daerah turut menentukan pilihan ibu hamil untuk memanfaatkan tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan((Penchansky & Thomas, 198; Koblinsky et al, 2006; Titaley et al, 2010). Menurut WHO (2006) Indonesia merupakan salah satu dari 57 negara yang masih kekurangan tenaga kesehatan.Jumlah tenaga kesehatan untuk membantu persalinan masih kurang di daerah pedesaan dan di masyarakat miskin (Achadi E.et al,2007;Widayatun, 2003).Kurangnya jumlah tenaga kesehatan diakui sebagai salah satu penghambat dalam meningkatkan cakupan persalinan tenaga kesehatan.

127

Di Indonesia sejak tahun 1989 telah melaksanakan program Bidan Desa (BDD) dengan tujuan peningkatan persalinan oleh tenaga kesehatan. Program BDD menyatakan setiap desa memiliki minimal satu bidan, namun seiring pertambahan penduduk dan melihat kondisi geografi Indonesia maka Kementrian Kesehatan menyatakan setiap desa terdapat dua sampai tiga bidan agar meningkatkan pelayanan khususnya pelayanan kesehatan maternal. Namun dari 175.124 bidan yang terdaftar di Kementerian Kesehatan tahun 2010, ternyata hanya mencukupi kebutuhan 80 persen bidan yang ada di Indonesia (Depkes RI, 2011).Selain jumlah yang kurang, sebaran tenaga bidan yang tidak merata Terjadi kesenjangan pemanfaatan layanan persalinan antara kelompok miskin dan kaya. Di Indonesia, persentase masyarakat miskin bervariasi antar kabupaten/kota dan region. Survei Potensi Desa tahun 2007 menunjukkan masalah kesehatan termasuk angka kematian ibu dan bayi yang tinggi di wilayah Indonesia Timur. Salah satu yan memberi kontribusi adalah ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan yang belum sesuai kebutuhan. Terjadi kesenjangan yang besar antar region dalam hal pelayanan kesehatan. Region Maluku- Papua-Nusa Tenggara merupakan region dengan masalah akses layanan kesehatan tertinggi, kemudian region Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan Jawa-Bali (Survei Podes, 2007). Walaupun beberapa penelitian dengan setting Indonesia, telah melaporkan bahwa keberadaan tenaga keberadaan tenaga kesehatan berhubungan dengan peningkatan cakupan tenaga persalinan (Scott & Ronsmans, 2009; Hatt, et al 2009; Frankenberg et al. 2009, Achadi et al, 2007), tidak banyak study yang meneliti lebih lanjut bagaimana hubungan tersebut pada wilayah kabupaten di setiap region dan berdasarkan kategori proporsi penduduk miskin di Indonesia. Infromasi ini penting oleh karena faktor konteks seperti keadaan geographis dan status ekonomi di setiap region berbeda. Juga akan berguna untuk mendisain pendekatan yang spesifik wilayah untuk meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Wanles, et al, 2010; Singh, et al 2009). Penelitian ini bertujuan bertujuan untuk mengetahui korelasi antara rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia secara nasional. Penelitian ini juga melihat korelasi rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan berdasarkan persentase masyarakat miskin per kabupaten dan berdasarkan pembagian wilayah secara regional.

128

B.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian ekologis. Jenis penelitian ini membandingkan beberapa variabel pada sekelompok tertentuberdasarkanunit pengamatan populasi atau unit analisis agregat, bukan berdasarkan individu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kota/kabupaten di Indonesia yang telah melaksanakan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), SurveiSosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan survei Potensi Desa (Podes) tahun 2007 dan 2008 yaitu sebanyak 440 kabupaten/kota,yang di peroleh dari Litbangkes Depkes.Unit analisis dari penelitian adalah kabupaten. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan data diperoleh dari Riskesdas 2007merupakan variabeldependen.Sedangkan rasio bidan per desa yang diperoleh dari survei Podes 2008 dan persentase masyarakat miskin per kabupaten yang diperoleh dari Susenas 2007 adalah variabel independen.Rasio bidan merupakan perbandingan jumlah seluruh bidan yang bertugas di kabupaten/kota tersebut, yaitu bidan rumah sakit, puskesmas, bidan desa, bidan berstatus PNS, PTT, dengan jumlah seluruh desa yang ada di kabupaten/kota yang sama. Data persentase masyarakat miskin per kabupaten diurutkan dari persentase terendah hingga tertinggi kemudian dibagi menjadi empat bagian sama besar (4 kuartil). Kuartil satu menunjukkan daerah kabupaten yang lebih sedikit angka kemiskinanya sedanngkan kuartil empat berarti kabupaten dengan proporsi penduduk miskin yang tinggi. Selanjutnya korelasi antara rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan diuji berdasarkan pembagian kuartil persentase masyarakat miskin dan berdasarkan pembagian wilayah regional yaitu lima regional meliputi Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara. Pengolahan dan analisis data menggunakan program SPSS dan GIS ArcView 9.2 di gunakan untuk menampilkan peta distribusi bidan berdasarkan rasio per desa, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan persentase masyarakat miskin per kabupaten. Uji korelasi yang digunakan untuk mengetahui korelasi antara rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah uji korelasi Rank Spearman, yang didahului dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui kenormalan distribusi data. .
C. Hasil

Secara nasional, rasio bidan per desa adalah 1,26. Gambar 1 menunjukkan bahwa sebagian besar kabupaten memiliki bidan desa kurang dari dua orang per desa terutama di

129

wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku NTT dan Papua. Beberapa kabupaten di wilayah Sumatera Utara memiliki bidan antara dua sampai tiga per desa. Di Sumatera Barat terdapat kabupaten dengan ratio lebih ari tiga orang perdesa. Rasio bidan per desa pada region Sumatera dan Jawa-Bali sebesar 1.5, sedangkan pada region Kalimantan, Sulawesi dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara masing-masing 0.86; 0.91 dan 0.8,

Gambar 1. Peta rasio bidan per desa menurut kabupaten di Indonesia tahun 2007

Persentase cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2007 secara nasional sebesar 77.21%. Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan bervariasi antara region satu dengan yang lain. Cakupan >90% umumnya berada di region oleh kabupaten/kota region Jawa-Bali dan Sumatera misalnya Provinsi DIY Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Sedangkan pada region Maluku-Papua-Nusa Tenggara hanya beberapa kota yang mencapai cakupan 70%-80%, selebihnya cakupannya <70%.

130

Gambar 2. Peta cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan per kabupaten di Indonesia tahun 2007

Pada gambar 3 disajikan peta persentase masyarakat miskin per kabupaten .Gambar tersebut menunjukkan kabupaten dengan jumlah penduduk miskin yang berada pada kelompok di atas 25% berada di wilayah Papua, Aceh, Gorontalo, NTT, dan sebagian Maluku.

Gambar 3. Peta persentase masyarakat miskin per kabupaten di Indonesia tahun 2007

131

Terdapat korelasi positif yang kuat (r= 0.68)antara rasio bidan per desa per kabupaten dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan per kabupaten (Tabel 1). Semakin besar rasio bidan per desa maka semakin besar pula cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan.Kabupaten/kota yang memiliki rasio bidan 3 per desa, cakupan persalinannya mencapai 90%.Hasil uji statistik dengan koefisien determinasi diperoleh nilai R2=0,47. Artinya variasi rasio bidan per desa dapat menjelaskan 47 % terhadap variasi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di tingkat kabupaten di Indonesia Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan per kabupaten.Namun korelasi tersebut bervariasi antar regional. Korelasi paling kuat terdapat pada regional Kalimantan (r= 0.76), Sumatera (r=0.63) dan Sulawesi (r=0.57). Korelasi paling lemah terdapat pada regional Jawa-Bali (0.47). Koeifisen korelasi ini hampie sama dengan korelasi untuk regional Maluku-Papua-Nusa Tenggara ( r= 0.44). Tabel 1. Korelasi Rasio Bidan per Desa dengan Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan menurut Kategori Persentase Masyarakat Miskindan Pembagian Regional
Wilayah r p value

hampir sama koefisien

Indonesia Region Kalimantan (n=52) Sumatera (n=132) Sulawesi (n=62) Jawa Bali (n=124) Maluku-NTT-Papua (n=70) Kuartil presentase penduduk miskin Kuartil 1 Kuartil 2 Kuartil 3 Kuartil 4

0,68

0,006

0,76 0,63 0,57 0,47 0,44

0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

0,69 0,62 0,51 0,34

0,000 0,000 0,000 0,000

Penelitian ini juga mendapatkan bahwa terdapat korelasipositif yang signifikan antara rasiobidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan bervariasi antara kuartil 1 hingga kuartile 4. Semakin besar persentase masyarakat miskin per

kabupaten maka semakin rendah nilai korelasi antara rasio bidan per desa dengan cakupan 132

persalinan.Semakin banyak penduduk miskin pada kabupaten maka semakin kecil variasi cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang dapat dijelaskan oleh rasio bidan per desa. Korelasipaling besar terjadi pada kuartil 1 yaitu kelompok kabupaten/kota yang memiliki persentase masyarakat miskin antara2.10%-9.71% dengan korelasi positif dan berhubungan kuat (r=0.69).Koefisien korelasi menurun pada kuartile dua dan tiga. Koefisein korelasi pada kuartil empat atau yaitu kelompok kabupaten/kota dengan persentase masyarakat miskin 25.35% 53.34% adalah 0.34 atau korelasi positif yang

sedang.Sebagai contoh, Kabupaten Raja Ampat memiliki persentase masyarakat miskin terbesar (53.34%).Di kabupaten ini cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (42.7%) dan rasio bidannya (0.66 per desa).Data ini menunjukkan bahwa kabupaten yang besar persentase masyarakat miskinnya, cenderung memiliki cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang rendah.

D. Pembahasan Penelitian ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara rasio bidan dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan per kabupaten. Walaupun secara nasional ratio per desa telah tercapai, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, diketahui rasio bidan 42.9 per 100.000 penduduk, belum sesuai target nasional yaitu 100 bidan per 100.000 penduduk. Hasill ini sejalan dengan penelitian E. Achadi et al di Banten (2007) yang menyatakan bahwa persentase cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan juga meningkat seiring dengan peningkatan rasio bidan. Daerah dengan rasio bidan 2 - 4 orang per 10.000 penduduk memiliki cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 32% dan di daerah yang memiliki rasio bidan 6 orang per 10.000 penduduk peningkatan cakupan persalinannya hingga 65%.Studi ekologi Chen et al (2004) juga menyatakan hal sama bahwa 20% cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dicapai oleh daerah dengan rasio bidan 2 per 10.000 penduduk dan cakupan akan terus meningkat apabila jumlah bidan juga meningkat yaitu pada daerah dengan rasio 25 bidan per 10.000 penduduk cakupan persalinannya mencapai 80%. Di Kabupaten/kota yang tergolong dalam kuartil 4 dimana presentasi masyarakat miskin yang besar (25.35%-53.45%) ratio bidan korelasi bidan dengan cakupan persalinan tenaga kesehatan tergolong lemah.Hal ini berarti masyarakat miskin kurang dimanfaatkan

133

layanan persalinan oleh bidan. Salah faktor yang mungkin banyak memberikan kontribusi yang di laporkan pada beberapa study adalah biaya persalinan yang tidak terjangkau oleh orang miskin. Penelitian Abbas& Kritiana (2006) danZere et al (2011) menyatakan bahwa pemanfaatan bidan cenderung dilakukan ibu dengan pendapatan tinggi, sedangkan ibu yang tergolong masyarakat miskin memilih tenaga non kesehatan karena mereka berpendapat bahwa pertolongan persalinan oleh bidan biayanya lebih mahal. Penelitian Makowiecka et all (2007) dan Kruk et all (2008) menyatakan bahwa masalah pendapatan keluarga menghambat masyarakat untuk memanfaatkan persalinan oleh bidan. Data Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa hanya 69.4% masyarakat miskin yang memanfaatkan persalinan oleh tenaga bidan dan dokter, selebihnya memanfaatkan dukun atau keluarga. Tahun 2008 pemerintah telah melaksanakan program Jamkesmas. Kemudian

dikembangkan ke program Jampersal pada bulan 2011.Kebijakan ini di harapkan dapat menggurangi hambatan financial pada pada masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan.Berhubung kebijakan ini masih relative baru, belum banyak study yang melakukan bagaimana korelasi bidan dan tenaga kesehatan setelah kebijakan jampersal di laksanakan. Berdasarkan pembagian wilayah regional, korelasi rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan bervarasi antar region.Korelasi pada region Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi lebih kuat dibanding Jawa-Bali dan Maluku-PapuaNusa Tenggara.Pada region Kalimantan, rasio bidan per desa berhubungan sangat kuat. Temuan ini berarti bahwa masyarakat di region Kalimantan cenderung lebih memanfaatkan pelayanan bidan dalam persalinan sehingga cakupannya akan meningkat. Penelitian Rukmini dan Ristrini (2007) menyatakan bahwa dibeberapa kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan, bidan desa telah melaksanakan kemitraan yang baik dengan dukun bayi. Terjalin kerja sama yang baik antara bidan dan dukun sehingga keberadaan bidan dapat lebih dimaksimalkan sehingga berpengaruh pada cakupan persalinan. Region Maluku-Papua-Nusa Tenggara memiliki korelasi rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan terendah dibanding region lainnya.Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya yaitu masyarakat lebih percaya pada dukun atau keluarga untuk menolong persalinan dibanding bidan (Widayatun,2003). Pada region Jawa-Bali korelasi rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan juga lemah. Namun pola penyebab rendahnya korelasi tersebut berbeda dengan yang terjadi di region Maluku-

134

Papua-NusaTenggara. Pada region Maluku-Papua-Nusa Tenggara, jumlah bidan per desa lebih kecil dibanding region lain sehingga cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan rendah, juga dipengaruhi oleh kondisi geografinya yang luas dan sulit dijangkau. Walaupun ratio bidan per desa sama, tetapi kondisi geographis yang berbeda menyebabkan kemampuna untuk akses berbeda sehinga variasi antar region juga berbedea. Region Jawa-Bali memiliki rasio bidan per desa yang sesuai target nasional dan kondisi geografi yang mudah dijangkau, namun pemanfaatan persalinan oleh tenaga kesehatan masih kurang karena jumlah penduduk yang besar sehingga bidan memiliki sasaran layanan yang besar dan tidak mampu memberikan layanan kepada semua penduduk sehingga korelasinya rendah. Namun beberapa kabupaten/kota di region ini sudah mencapai target cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sesuai target MDGs meskipun rasio bidan yang rendah (< 3 bidan per desa). Di region ini ibu yang akan bersalin mempunyai akses untuk mencari tenaga kesehatan yang berkompeten dalam menolong persalinan dan tidak hanya berpatokan pada bidan, mereka berupaya mencari penolong lainnya seperti dokter dan dokter spesialis obstetrik ginekologi (Women research institute, 2008). Karena penelitian ini adalah penelitian korelasi, tidak dapat menunjukkan hubungan kausal.Namun demikian informasinya bermanfaat ketika membandingkan wilayah yang berbeda.

E.

Kesimpulan dan Saran

Rasio bidan per desa berkorelasi positif kuat dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, semakin besar rasio bidan per desa maka semakin besar cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Korelasi rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan bervariasi berdasarkan kategorikabupaten persentase masyarakat miskin, terjadi penurunan besarnya koefisien korelasi dengan meningkatnya jumlah orang miskin di kabupaten tersebut.Semakin besar persentase masyarakat miskin per kabupaten maka semakin lemah korelasi ratio bidan desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan.Korelasi rasio bidan per desa dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan bervariasi berdasarkan pembagian regional. Korelasi pada region Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi lebih kuat dibanding pada region Jawa-Bali dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara.Disarankan Untuk
meningkatkan cakupan persalinan perlu ada intervensi khusus pada kabupaten dengan jumlah

135

penduduk miskinnya berada diatas seperempat jumlah penduduknya. Pada wilayah ini perlu di pertimbangkan untuk menambah ratio bidan.Peneliti berikutnya perlu menganalisis faktor kontextual laindi setiap yang berhubungan dengan variasi cakupan pertolongan persalinan seperti perbedaan infrastrukturdi setiap kabupaten. Juga perlu di bandingkan dengan pertolongan persalinan berdasarkan jumlah bidan per jumlah per penduduk. hubungan

DAFTAR PUSTAKA
Abbas & Kristiani.2006.Pemanfaatan Pelayanan Bidan di Desa Kabupaten Muaro Universitas Gadjah Mada Jambi.Workingpaper Yogyakarta.Online(lrckmpk.ugm.ac.id/.../No_20%20_Abbas_07_06.).Tanggal akses 21 Februari 2012.

Achadi E, Scott S, Pambudi ES et al. 2007. Midwifery provision and uptake of maternity care in Indonesia.Tropical Medicine and Internattional Health 12,1490-497. Alwi, Qomariah.Ghani & Delima.2005.Budayapersalinan Suku Amungme dan Suku Kamoro, Papua.Jurnal Kedokteran Universitas Trisakti Vol.23 No.4.Online (www. univmed.org/ wpcontent/uploads/ 2011/02/Qomariah .pdf).Tanggalakses 21 Februari 2012 Anand S & Barnighausen T .2004.Human resoures and health outcomes: cross-country econometric study.Lancet 364, 1203-1609. Chen L, Evans T, Anand S et al. 2004. Human resources for health: over coming the crisis.Lancet 364, 1984-1990. Departemen Kesehatan RI. 2001. Standar profesi bidan. Departemen Jakarta.Online(perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/560/.../BK2008G118.pdf).Tanggal akses 2011. Kesehatan,

Departemen Kesehatan RI. 2009.Menuju Persalinan yang Aman dan Selamat agar Ibu sehat Bayi Sehat. Promosi Kesehatan Depkes RI, Jakarta.Online(perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//.../1/BK2009-Sep15.pdf). Tanggal akses 20 November 2011.

Frankenberg, E., Buttenheim, A., Sikoki, B., & Suriastini, W. (2009). Do Women Increase Their Use of Reproductive Health Care When It Becomes More Available ? Evidence from Indonesia. Studies in Family Planning, 40(1), 27-38. Hatt, L., Stanton, C., Ronsmans, C., Makowiecka, K., & Adisasmita, A. (2009). Did professional attendance at home births improve early neonatal survival in Indonesia ? Health Policy and Planning, 24(4), 270-278
Koblinsky M, Matthews Z, Hussein J et al. 2006. Going to scale with professional skiled care.Lancet 368, 1377-1386. Kruk M.E, M.R. Prescott & S. Galea. 2008. Equity of Skilled Birth Attendant Utilization in Developing Countries: Financing and Policy Determinant.American Journal of Public Health Vol 98, No. 1. Laporan Direktur KIA. 2011. Analisis Kematian Ibu Di Indonesia Tahun 2010 Berdasarkan Data SDKI, Riskesdas dan Laporan Rutin KIA. Bina Kesehatan Ibu, Bandung.Online

136

(www.kesehatanibu.depkes.go.id/wp-content/.../download.pdf) November 2011.

.Tanggal

akses

20

Nurmisih.2002.Hubungan Antara Akses Pelayanan dan Pemanfaatan Layanan Pertolongan Persalinan di Provinsi Jambi.Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.9No.1.Online(www.unv_batanghari_jurnal_ilmiah/hubungan../pdf).Tanggal akses 30 Maret 2012.

Pechanski R, Thomas JW, 1981. The concept of access: definition and relationship to consumer satisfaction.Med Care. Feb;19(2):127-40.
Rukmini&Ristrini.2007.Persepsi Dukun Bayi terhadap Kemitraan dengan Bidan dalam pertolongan persalinan di Pedesaan (Studi di Prov.Jawa Timur dan Kalimantan Selatan).Buletin Penelitian Sistem Kesehatan-Vol.10 N0.2,116122. Online(www.Buletin_Kesehatan/10207116122_14102935.pdf).Tanggal akses 21 Februari 2012.

Scott, S., & Ronsmans, C. (2009). The relationship between birth with a health professional and maternal mortality in observational studies: a review of the literature. Tropical Medicine & International Health, 14(12), 1523-1533 Singh, A., Mavalankar, D. V., Bhat, R., Desai, A., Patel, S. R., Singh, P. V., et al. (2009). Providing skilled birth attendants and emergency obstetric care to the poor through partnership with private sector obstetricians in Gujarat, India. Bulletin of the World Health Organization, 87(12), 960-964. Titaley, C. R., Hunter, C. L., Dibley, M. J., & Heywood, P. (2010). Why do some women still prefer traditional birth attendants and home delivery?: a qualitative study on delivery care services in West Java Province, Indonesia. BMC Pregnancy and Childbirth, 10(43)
Wakur,One dkk.2007.Program Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas; Studi Fungsi Dinas Kab. Keerom Papua.Working Paper,first draft No.21. (http://lrc-kmpk.ugm.ac.id). Tanggal akses 20 Februari 2012.

Wanless, D., Mitchell, B. A., & Wister, A. V. (2010). Social Determinants of Health for Older Women in Canada: Does Rural-Urban Residency Matter? Canadian Journal on Aging-Revue Canadienne Du Vieillissement, 29(2), 233-247.
Widayatun. 2003.Program Penempatan Bidan di Desa di Indonesia dan Tingkat Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak..Buletin Pengkajian masalah Kependudukan dan Pembangunan, X (1-3).Online (elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../585/585.pdf).Tanggal akses 20 November 2011. Women Research Instute.2008.Ketersediaan dan Pemanfaatan Layanan Kesehatan Bagi Ibu Melahirkan di 7 Kabupaten; Lombok Tengah,Indramayu,Surakarta,Jembrana,lampung Utara, Sumba Barat dan Lebak.Women Research Instute(WRI) Indonesia.Online (wri.or.id /files/Hasil%20Studi%20Kesehatan%20WRI_Ind.pdf).Tanggal akses 2 Februari 2012. World Health Organization .2007.Maternal Mortality in 2005: Estimates developed by WHO, UNICEF, UNFPA and the World Bank.WHO, Geneva.Online (www.who. int/whosis/mme_2005.pdf).Tanggal akses 25 November 2011. World Health Organization. 2011. Skilled Birth Attendants. WHO,Geneva.Online (www .nep.searo.who.int/LinkFiles/Home_Skilled_Birth_Attendant1.pdf). Tanggal akses 20 Januari 2012.

137

Yenita,Sri.2011.Faktor Determinan Pemilihan Tenaga Penolong Persalinan Di Wilayah Kerja Puskesmas Desa Baru Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2011.Artikel Program Pascasarjana Univ. Andalas Padang.Online(pasca.unand.ac.id/.../faktor-determinan-pe..pdf).Tanggal akses 20 Januari 2012. Zere E, Oluwole D, Kirigia JM, Mwikisa CN, & Mbeeli T. 2011. Inequities in skilled attendance at birth in Namibia: A decomposition analysis.BMC pregnancy and Childbirth 11, 1471-2393.

138

ANALISIS PENCAPAIAN PROGRAM KIA dan KB DI PUSKESMAS (Studi di Puskesmas Pengalaman Belajar Lapangan II Fakultas Kedokteran UNDIP) Budi Palarto Suharto, Hari Peni Julianti, Yauminnisa Hapsari * ABSTRAK LATAR BELAKANG : Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan KB merupakan salah satu program kesehatan wajib di Puskesmas yang dilakukan dalam rangka meningkatkan status kesehatan masyarakat. Faktanya, untuk mencapai tujuan tersebut masih banyak ditemukan masalah yang terbukti belum mencapai cakupan pelayanan sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Permasalahan yang berkaitan dengan pencapaian program KIA dan KB di Puskesmas ini berpengaruh terhadap tujuan tercapainya penurunan kematian anak dan peningkatan kesehatan ibu seperti yang tertuang dalam MDGs. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran permasalahan yang ada. TUJUAN : Untuk mengetahui gambaran pencapaian program KIA dan KB berdasarkan hasil laporan SPM (Standar Pelayanan Minimal) Puskesmas. METODE : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menganalisis laporan evaluasi pencapaian program KIA dan KB di Puskesmas Tempuran, Salaman I, Secang I, Muntilan I, Grabag, Borobudur, Mungkid Kabupaten Magelang dari bulan Januari sampai Juli 2012 yang dilakukan oleh mahasiswa FK UNDIP, FK TRISAKTI, dan FK UPN Veteran Jakarta HASIL : Pencapaian program KIA dan KB yang tidak memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) yaitu : cakupan kunjungan bumil K1 33,3%; cakupan kunjungan bumil K4 100%; deteksi kasus risiko tinggi ibu hamil 33,3%; ibu hamil dengan komplikasi yang di tangani (PONED) 13,3%; cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 60%; cakupan Kn1 60%; cakupan kunjungan neonatus Kn2 33,3%; cakupan kunjungan neonatus Kn3 53,3%; cakupan kunjungan bayi 13,3%; BBLR yang ditangani 6,67%; jumlah dukun bayi terlatih, 46,67%; frekuensi pembinaan dukun 53,3%; deteksi dini tumbuh kembang anak balita dan pra sekolah 60%; cakupan pemeriksaan kesehatan siswa SD & setingkat 40%; cakupan pemeriksaan kesehatan siswa TK 20%; cakupan pelayanan kesehatan remaja (penjaringan kelas 1 SLTP/SLTS/Sederajat) 33,3%; jumlah TK yang dibina 40%; cakupan peserta kb aktif 66,67%; jumlah posyandu pra usila dan usila yang ada 13,3%; cakupan pelayanan prausila dan usila 60%. KESIMPULAN : Sebagian besar hasil penilaian pencapaian program KIA dan KB tidak memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) sesuai target yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari akar permasalahannya sehingga dapat membuat pemecahan masalah yang lebih tepat. Kata kunci : program kesehatan ibu & anak dan KB, upaya kesehatan wajib Puskesmas *Dosen Bagian IKM-KP Fakultas Kedokteran UNDIP

139

THE ANALYSIS OF PLANNED PARENTHOOD (KB) AND MATERNAL AND CHILD HEALTH PROGRAM (KIA) ACHIEVEMENT PROGRAM IN COMMUNITY HEALTH CENTER (Study in Community Health Center Learning Experience Field II Medical Faculty UNDIP) Budi Palarto Suharto*, Hari Peni Julianti*, Yauminnisa Hapsari * ABSTRACT Background : Maternal and Child Health Program (Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)) is one of the obligatory health programs in Community Health Centre that is undergone in order to improve society health status. In fact, in order to gain these objectives, there are still many issues that have not been proven to attain coverage services in accordance to the Minimum Service Standards (SPM). Issues related to achievements of the KIA and KB programs at this Community Health Centre has an influence towards the attainment of decrease in child mortality and improvement of maternal health as stated in the MDGs. The purpose to conduct this research is to reveal the existing problems. Objective : In order to describe the achievement of KIA and KB program based on reports from the SPM (Minimum Service Standards) Community Health Center. Method : This research is observational research analyzing evaluation report of KIA and KB achievement programs in Community Health Service in Tempuran, Salaman I, Secang I, Muntilan I, Grabag, Borobudur, Mungkid, Magelang Residence from January to July 2012 that undergone by student Medical Faculty of UNDIP, TRISAKTI and UPN Jakarta. Result : The achievement of the KIA and KBs program that did not fulfill SPM are : the scope of pregnant mother visit K1 33,%; the scope of pregnant mother visit K4 100%; the detection of cases of high risk pregnant woman 33,3%; pregnant woman with complications in the handle (PONED) 13,3%; childbirth aid coverage by health workers 60%; Kn1 60% coverage; coverage of neonatal visit Kn2 33,3%; coverage of neonatal visit Kn3 53,3%; coverage of the visit baby 13,3%; BBLR handle 6,67%; the number of trained midwife 46,67%; the frequency of the midwifes coaching 53,3%; the early detection of growing child toddler and pre school 60%; the scope of the medical examination the elementary school students 40%; the scope of the medical examination the kindergarten students 20%; adolescent health service coverage (grade 1 junior high school/equal) 33,3%; the number of kindergarten promoted 40%; the scope of KB active participant 66,67%; the number of pre elderly and old ages posyandu 13,3%; the scope of the service for pre elderly and old age 60%. Conclusion : Most of the result of Planned Parenthood and Maternal and Child Health Program Achievement Assessment is fail to meet the minimum services standard based on target that is created by Health Office Centre in Magelang Distric. Therefore, it is required to undergo a further research in order to find the root problem so that can create more precise solving problem. Key word : Planned Parenthood (KB) and Maternal and Child Health Program (KIA), Community Health Center *Lecture in IKM-KP Medical Faculty UNDIP

140

ASSOCIATION BETWEEN SOCIAL SUPPORT AND COMMON MENTAL DISORDERS (CMDS) IN PREGNANT WOMEN WITH PREECLAMPSIA/ECLAMPSIA IN SUKOHARJO DISTRICT, CENTRAL JAVA INDONESIA JANUARY 2010-DECEMBER 2011 Wibowo, Y.1, Hakimi, M.2, Marchira, C.R.3 ABSTRACT Background: In 2010, the highest direct cause of maternal mortality was preeclampsia/eclampsia (PE/E) (47.62%). Social support influenced the mental health in pregnant women according to different family structure. The distress during pregnancy was likely to lead to PE/E. In Sukoharjo, there were increased psychosis cases from 1387 (2008) to 2445 (projected in 2010). The objective was to analyze the association of social support and common mental disorders (CMDs) in pregnant women with PE/E. Methods: This study was a matched case-control study. Cases were pregnant women who have been diagnosed with PE/E by a hospital specialist. Controls were pregnant women with normal pregnancies or not diagnosed as PE/E by health workers. Instruments: social demographic questionnaire, SSQ-6 and SRQ-20. Analysis using Chi Square, McNemar, stratified analysis, and conditional logistic regression multiple. Results: Respondents were 286 people, 56.99% live in nuclear family, 45.10% had low social support, and 27.27% had CMDs (+). Low social support was not directly associated to PE/E. Compared with high social support, those with low social support had a 26 fold increased risk of CMDs (+) (p<0.01, OR=26.4, 95% CI: 10.67 to 77.20). Several variables significantly associated with PE/E were CMDs (+) (p<0.01, OR=6.11, 95% CI: 2.99 to 14.07), low family income (p<0.01, OR=2 , 93, 95% CI: 1.56 to 5.82), history of chronic hypertension (+) (p<0.01, OR=7.67, 95% CI: 2.32 to 39.89), history of PE/E (+) (p<0.01), and history of hereditary of PE/E (+) (p=0.01, OR=6, 95% CI: 1.34 to 55.20). Conclusion: Low social support was not directly associated to PE/E but it was associated to CMDs (+). CMDs (+), low family income, history of chronic HT (+), history of PE/E (+), and history of hereditary of PE/E (+) were associated to PE/E. There is need for an integrated service between the MCH program, non-communicable diseases prevention program, and mental health, as well as social support from family. Future study should specify the methodology and the improvement of social support in the emotional and instrumental support as well as the quality of the relationship. Keywords: Social support, CMDs, PE/E
1 2

Field Epidemiology and Training Program, Gadjah Mada University Department of Obstetrics and Gynecology, Gadjah Mada University 3 Department of Psychiatry, Gadjah Mada University

141

KEHAMILAN DAN PERSALINAN DENGAN INFEKSI HIV DI RSUP DR. KARIADI PERIODE 1 JANUARI 2006- 31 DESEMBER 2010 Firdaus Wahyudi*, Ani Margawati*, Yauminnisa Hapsari* ABSTRAK Tujuan : Mengetahui gambaran umum kehamilan dan persalinan pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode 1 Januari 2006 31 Desember 2010. Metode : Deskriptif retrospektif Hasil : Pada periode 1 Januari 2006-31 Desember 2010 terdapat 28 kasus kehamilan dan persalinan dengan infeksi HIV yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang (RSDK) yaitu 2 pasien pada tahun 2006, 3 pasien pada 2007, 4 pasien pada 2008, 7 pasien pada 2009 dan 12 pasien pada tahun 2010. Pasien terbanyak berasal dari dalam kota Semarang (50%). Sebagian besar (85,7%) tertular melalui kontak seksual. Hanya 14,3% yang terdiagnosis HIV di klinik antenatal RSDK. Sebanyak 78,6% pasien hamil dalam stadium klinis 1. Ditemukan 53,5% pasien mempunyai kadar CD4 kurang dari 350/mm3 dengan tidak ada data viral load. Sejumlah 71,4% mendapatkan ART selama kehamilannya. Cara persalinan terpilih adalah seksio sesarea (89,3%) dengan 10,7% melahirkan pervaginam. Komplikasi yang terjadi meliputi partus prematurus (32,1%) dan ketuban pecah dini (10,7%). Kesimpulan : Terdapat 28 pasien dengan infeksi HIV yang melahirkan di RSDK selama 5 tahun dimana dengan viral load yang tidak diketahui serta pemberian ART yang belum menyeluruh, maka cara persalinan terpilih adalah seksio sesarea. Komplikasi terbanyak adalah partus prematurus dan ketuban pecah dini. Kata Kunci : HIV dalam kehamilan, PMTCT, transmisi vertikal, antiretroviral, seksio sesarea * Dosen Bagian IKM-KP Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

142

PREGNANCY AND DELIEVERY ACCOMPANIED WITH HIV INFECTION IN KARIADI GENERAL HOSPITAL DURING JANUARY 1ST, 2006 - DECEMBER 31ST, 2010

Firdaus Wahyudi*, Ani Margawati*, Yauminnisa Hapsari* ABSTRACT Objective: Knowing the general overview of pregnancy and childbirth in patients with HIV infection / AIDS in KariadiHospital Semarangperiod January 1st, 2006 - December 31st, 2010. Methods: Descriptive retrospective Results: In the period January 1st, 2006 - December 31st, 2010 there were 28 cases of pregnancy and childbirth with HIV infection who were treated at KariadiHospital Semarang(RSDK) ie 2 patients in 2006, 3 patients in 2007, 4 patients in 2008, 7 patients in 2009 and 12 patients in 2010. Most patients (50%) came from the Semarang city. The majority (85.7%) infected through sexual contact. Only 14.3% were diagnosed with HIV at antenatal clinics of RSDK. A total of 78.6% patients become pregnant in clinical stage 1. Found 53.5% of patients had CD4 levels less than 350/mm3 with no viral load data. There were 71.4% of patients get treatment during pregnancy. The delivery option had chosen is a Caesarean section (89.3%),although 10.7% undergo vaginal delivery. The most common obstetric complications include prematurus parturition (32.1%) and premature rupture of membranes (10.7%). Conclusion: There were 28 patients with HIV infection who delivered in RSDK for 5 years in which the viral load is unknown and the provision of ART is not yet complete, then the chosen mode of delivery was Caesarean section. The common complications are prematurus parturition and premature rupture of membranes. Keywords: HIV in pregnancy, PMTCT, vertical transmission, antiretroviral, Caesarean Section *Lecture in IKM-KP Medical Faculty UNDIP

143

STUDI TENTANG PERILAKU MAKAN MENYIMPANG PADA SISWI SMAN 6 JAKARTA Dianita Ratnasari, Ratu Ayu Dewi Sartika Universitas Indonesia ABSTRAK Perilaku makan menyimpang adalah gangguan perilaku makan yang berdampak serius pada diet seseorang, seperti mengonsumsi makanan dalam jumlah yang sangat sedikit atau sebaliknya makan secara berlebihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor individu dan lingkungan dengan perilaku makan menyimpang, menggunakan disain studi cross-sectional. Hasil penelitian menunjukan bahwa 6,8% subyek menderita anoreksia nervosa, 50,0% bulimia nervosa, 6,4% binge eating disorder, 0,4% EDNOS (Eating Disorder No Otherwises Specified), dan 36,4% subyek normal/tanpa gangguan perilaku makan menyimpang. Faktor risiko yang berhubungan signifikan (nilai p<0,05) dengan perilaku makan menyimpang adalah pengetahuan diet, citra tubuh, rasa percaya diri, pengaruh keluarga, pengaruh teman sebaya dan keterpaparan terhadap media massa (televisi dan situs internet). Perlu dilakukan upaya penyuluhan dan konseling secara efektif dan berkesinambungan dari pihak sekolah dan bekerja sama dengan puskesmas dalam melaksanakan program edukasi gizi bagi siswi, khususnya mengenai pengetahuan diet, citra tubuh yang ideal, rasa percaya diri, dan pentingnya asupan gizi pada remaja putrid dan dampak kekurangan zat gizi.

Kata Kunci: perilaku makan menyimpang, siswi SMA, anoreksia, bulimia

144

SURVEI PERILAKU BERISIKO PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DI PUSKESMAS DENGAN PROGRAM HARM REDUCTION DI KOTA BANDUNG Nindya Anggi Sinantara1, Arifah Nur Istiqomah2, Bony Wiem Lestari3
1

Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran UNPAD 2 Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran UNPAD 3 Departemen Epidemiologi dan Biostatistik Fakultas Kedokteran UNPAD

ABSTRAK Latar Belakang: Pengguna narkoba suntik (penasun) memegang peranan yang penting dalam penyebaran HIV, dan lebih dari 50%-nya telah tertular HIV. Populasi ini tidak hanya memiliki risiko tinggi tertular HIV karena perilaku berbagi jarum suntiknya, tetapi juga memiliki risiko untuk menularkan HIV ke sub populasi lain melalui hubungan seksual tanpa kondom. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik demografis dan perilaku berisiko terkait napza dan seksual pada penasun yang mengikuti program harm reduction di puskesmas kota Bandung. Subjek dan Metode: Subjek penelitian adalah 100 penasun yang mengikuti program harm reduction di puskesmas kota Bandung, dan dipilih dengan teknik consecutive sampling. Metode penelitian yang digunakan adalah survei deskriptif cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terpimpin. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 87% responden adalah laki-laki dan 75% responden berada di usia produktif. Responden yang dijangkau rata-rata menggunakan napza selama 6 4 tahun. Sebanyak 53% responden menyuntik setiap hari dengan frekuensi penyuntikan rata-rata antara 1-3 kali per hari. Hampir seluruh responden menyuntikkan heroin dalam setahun terakhir. Proporsi responden yang menggunakan multidrug adalah 79%. Sebanyak 54% responden melakukan berbagi alat suntik dan peralatan menyuntik bersama penasun lain yang rata-rata berjumlah 1-3 penasun yang berbeda. Proporsi responden yang aktif secara seksual setahun terakhir sebanyak 88%. Penggunaan kondom yang tidak konsisten saat melakukan hubungan seks dilaporkan oleh 67% responden. Kesimpulan: Melihat fakta di atas, perilaku menyuntik dan seks berisiko masih cukup tinggi di kalangan penasun sehingga program harm reduction dan program intervensi lainnya perlu ditingkatkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Kata kunci : HIV, pengguna narkoba suntik, perilaku berisiko, harm reduction

A. Latar Belakang Sampai saat ini secara global, epidemi HIV tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius, dengan estimasi 33,3 juta Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Pada tahun 2009, diperkirakan 2,6 juta orang baru terinfeksi HIV. Lima negara yaitu India, Indonesia, Myanmar, Nepal, dan Thailand merupakan negara-negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang tinggi yaitu lebih dari 1 % total populasi penduduknya, namun jumlah infeksi baru setiap tahunnya menunjukkan tren menurun di empat negara mayoritas tersebut kecuali Indonesia. Pada beberapa tahun belakangan, penggunaan jarum suntik semakin 145

dianggap sebagai salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran HIV di Indonesia. Sejumlah usaha untuk memperkirakan jumlah penasun menjadi lebih sistematis. Pada tahun 2009, secara resmi diperkirakan terdapat 218.000-253.000 penasun di Indonesia. Penasun didominasi oleh non-pelajar (79%), dan mayoritas terdapat di provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan.(WHO et al., 2009) Laporan WHO dari tahun 2003 hingga pertengahan 2008 menunjukkan penggunaan jarum suntik merupakan cara utama penularan HIV di Indonesia. Diperkirakan sejumlah penderita HIV pada tahun 2006, sebanyak 46 %-nya merupakan pengguna narkoba suntik.(WHO, 2010) Data yang didapat dari Surveilans Terpadu-Biologis Perilaku (STBP) tahun 2007 yang dilakukan pada kelompok berisiko tinggi di enam kota di Indonesia, menunjukkan bahwa 42,8 % penasun telah terinfeksi HIV, dengan prevalensi 55-56% di kota Medan, Jakarta, Surabaya, dan 43% di kota Bandung.(KPAN, 2007b) Menurut laporan surveilans AIDS Kemenkes RI pada trimester kedua 2011, Jawa Barat menempati urutan kedua dengan jumlah kasus AIDS sebanyak 3809 dan jumlah kasus AIDS yang disebabkan oleh penggunaan narkoba suntik sebanyak 2750. Berdasarkan data resmi yang dikeluarkan Ditjen PPM & PL Depkes RI pada tahun 2009, Kota Bandung menempati posisi teratas dari 19 kota/kabupaten di Jawa Barat dalam jumlah kasus AIDS. Penggunaan jarum suntik pada kalangan penasun secara bergantian merupakan cara yang efisien untuk menularkan HIV/AIDS. Hal ini disebabkan oleh tingginya prevalensi perilaku menyuntik dan hubungan seks berisiko pada kalangan penasun.(KPA, 2006) Data STBP tahun 2007 di kota Bandung, prevalensi perilaku berisiko terkait napza pada penasun sebesar 24 % dan perilaku berisiko terkait seksual pada penasun sebesar 63%.(KPAN, 2007b) Penularan HIV/AIDS berlangsung sangat cepat pada kalangan penasun dan menjadi kunci penularan ke subpopulasi lain terutama penasun yang aktif secara seksual hingga dapat mengenai anak-anak, karena mayoritas penasun aktif secara seksual dan memiliki banyak pasangan.(KPAN, 2008) Berdasarkan pengalaman di banyak negara, program pencegahan epidemi HIV/AIDS harus berdasarkan pada pemahaman yang menyeluruh tentang karakteristik penasun dan perilaku berisiko yang memungkinkan penasun terinfeksi HIV/AIDS.(Dinkes, 2006) Hal tersebut dikarenakan penasun merupakan populasi kunci yang memegang peranan penting dalam penularan HIV/AIDS, sehingga pemahaman karakteristik dan

146

perilaku menjadi penting untuk keperluan intervensi pencegahan HIV/AIDS di kalangan penasun di kemudian hari. Survei untuk mengetahui karakteristik dan perilaku berisiko penasun pada puskesmas yang menjalankan program harm reduction masih terbatas padahal pemahaman terhadap kelompok ini sangat penting mengingat penasun merupakan populasi kunci penyebaran HIV/AIDS dan harm reduction adalah upaya penting untuk menghambat penyebaran HIV/AIDS, serta puskesmas adalah tombak utama pemerintah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dibutuhkan survei sebagai langkah awal surveilans dalam penanganan epidemi HIV di kota Bandung. Survei ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian dan dilakukan di beberapa puskesmas kota Bandung yang menjalankan program harm reduction.

B. Subjek dan Metode Penelitian ini menggunakan rancangan survei deskriptif cross sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah pengguna narkoba suntik yang berkunjung ke Puskesmas di kota Bandung. Sampel dipilih dengan consecutive sampling, yang merupakan cara nonprobability sampling yang dianggap mendekati probability sampling. Semua subjek yang memenuhi syarat penelitian akan diambil datanya sampai dengan besar sampel terpenuhi. Variabel yang diteliti adalah karakteristik penasun, perilaku berisiko terkait napza dan perilaku berisiko terkait seks pada penasun. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang telah disusun oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dengan beberapa tambahan. Kuesioner pada penelitian ini digunakan sebagai pedoman wawancara yang dilakukan pada responden. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur pada penasun yang mengikuti program harm reduction di 11 Puskesmas di Kota Bandung. Pada penelitian ini berhasil dikumpulkan data dari 100 orang responden.

C. Hasil dan Pembahasan 1. Karakteristik Penasun Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, diketahui bahwa proporsi penasun laki-laki lebih besar daripada penasun wanita. Proporsi penasun laki-laki sebanyak 87% sementara penasun wanita adalah 13%.Data tersebut sesuai dengan STBP 2007 di kota Bandung yang menunjukkan proporsi penasun pria lebih besar daripada penasun wanita, yaitu

147

92%.(KPAN, 2007a) Penasun pria yang aktif secara seksual dapat berisiko menularkan HIV ke pasangan seksualnya. Berdasarkan karakteristik usia, diketahui bahwa usia penasun berkisar antara 17-42 tahun, yang merupakan usia produktif. Rata-rata usia penasun adalah 29 ( 5) tahun. Data ini sesuai dengan penelitian tahun 2010 di kota Bandung, yaitu ratarata usia penasun adalah 28 (4) tahun.(Shelly et al., 2010) Pendidikan tertinggi penasun di kota Bandung adalah SLTA, sebanyak 64% dan hal ini sesuai dengan data STBP tahun 2007 maupun STBP tahun 2005. Sebanyak 47% penasun berpenghasilan rata-rata antara 500ribu 1,5 juta rupiah per bulannya. Proporsi penasun yang sudah menikah dan yang belum menikah hampir sama, yaitu berkisar antara 40-42%.

2. Perilaku Berisiko Terkait Napza pada Penasun Hasil survei kami menunjukkan bahwa rata-rata lama menyuntik para penasun adalah 6 (4) tahun. Lebih dari setengah penasun menyuntik setiap hari dalam sebulan terakhir, dengan frekuensi rata-rata 1-3 kali setiap harinya. Hasil ini memiliki kesesuian dengan beberapa penelitian di Indonesia dan di Estonia, yaitu frekuensi penyuntikan setiap hari dalam sebulan terakhir menunjukkan angka lebih dari 50%.(Kemenkes et al., 2005, Uuskula et al., 2008) Sebagian besar penasun menggunakan lebih dari 1 substansi napza, dan substansi satuan yang paling sering digunakan adalah heroin. Penggunaan heroin dalam setahun terakhir masih populer di kalangan penasun. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitan baik dalam maupun luar negeri (Amerika, Australia, China, dam Jerman) yang menunjukkan masih tingginya (>80%) penggunaan heroin yang disuntikkan walaupun substansi ini semakin langka di pasaran dunia terutama di Indonesia. Pengguna heroin seringkali memiliki komorbiditas psikiatri, yang berperan penting dalam luarannya yang buruk. Gangguan kepribadian antisosial merupakan gangguan paling umum, disertai dengan depresi dan gangguan kecemasan. Pada survei ini diketahui penggunaan methadone oleh penasun masih rendah yaitu 27%, dan penasun yang menggunakannya masih mengkonsumsi napza jenis lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh penggunaan layanan Methadone Maintenance Therapy (MMT) yang kurang dari yang seharusnya dan tingginya angka drop-out terapi.(Afriandi et al., 2009) Berdasarkan hasil survei, lebih dari setengah responden menyatakan pernah berbagi alat suntik dan peralatan menyuntik selama menjadi penasun. Hasil ini sesuai dengan penelitian di China yang menyebutkan bahwa sebanyak 51.1% penasun di China Selatan menyatakan pernah berbagi alat suntik dan peralatan

148

menyuntik selama menjadi penasun, dan 81.9% nya positif mengidap Hepatitis C.(Garten et al., 2004) Pada STBP tahun 2004, diketahui bahwa rata-rata perilaku berbagi dilakukan bersama 1-5 orang yang berbeda, dan data ini sesuai dengan data survei yang didapatkan. Dalam seminggu terakhir, proporsi penasun yang menyatakan berbagi jarum adalah 20%. Sebanyak 73% responden pernah melakukan pencucian atau pembersihan jarum dan alat suntik dan sebagian besar responden mencuci atau membersihkan dengan cairan yang benar. Dibandingkan STBP 2005, terjadi peningkatan yang signifikan pada proporsi

perilaku mencuci jarum dan alat suntik dengan cairan yang benar, yaitu berkisar antara 1421% naik menjadi 58-79%.(BPS et al., 2005) Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jangkauan program harm reduction di Indonesia, yang salah satu programnya adalah pencucihamaan jarum suntik. Puskesmas, LSM, dan petugas lapangan merupakan tempat favorit bagi penasun untuk mendapat jarum dan alat suntik steril (baru). Hasil survei menunjukkan sebanyak 75% penasun mengakses LJASS baik dari puskesmas, LSM, dan petugas lapangan dalam sebulan terakhir. Dibandingkan dengan hasil STBP 2005, terjadi pergeseran sumber JASS bagi penasun, yaitu lebih dari 51% penasun memilih apotik dan 37% penasun memilih teman penasun lainnya. Hal tersebut dikarenakan semakin luasnya jangkauan harm reduction dan penasun mulai berani untuk mengakses layanan harm reduction di puskesmas. Frekuensi penggunaan JASS baru sebelum dibuang sebagian besar adalah satu kali. Sebanyak 84% penasun membuang jarum dan alat suntik bekas dengan aman. Berdasarkan STBP 2007, proporsi penasun yang membuang jarum terakhir dengan aman sebesar 58%. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan perilaku terkait pemusnahan peralatan suntik bekas pakai.

3. Perilaku Berisiko Terkait Seks pada Penasun a. Hubungan Seksual dalam Setahun dan Sebulan Terakhir
Tabel 1. Karakteristik Hubungan Seksual Penasun
Karakteristik Pernah Melakukan Hubungan Seks Setahun Terakhir Ya Tidak Tidak menjawab Tidak ingat Pernah Berhubungan Seks Dalam Sebulan Terakhir dengan Masingmasing Pasangan Frekuensi (n=100) 88 10 1 1 Persentase

88% 10% 1% 1%

149

Ya Tidak Tidak Jawab Jumlah Pasangan Seks 1 pasangan Lebih dari 1 pasangan Tidak ingat/tidak menjawab Status Pasangan Seks Pasangan tetap (Suami atau istri atau kekasih) Pasangan tetap (WPS atau gigolo) Pasangan tidak tetap (Bukan WPS atau gigolo) Pasangan tidak tetap (WPS atau gigolo) Tidak jawab

96 4 14 73 14 13 64 1 31 5 13

84% 4% 12% 73% 14% 13% 64% 1% 31% 5% 13%

Berdasarkan hasil survei, 88% responden masih aktif secara seksual selama setahun terakhir dan 96% pernah berhubungan seksual dalam sebulan terakhir. Hasil penelitian-penelitian sebelumnya berbeda dengan hasil survei ini yang menunjukkan hanya sebagian kecil penasun yang memiliki jumlah pasangan lebih dari satu yaitu 14%, dan hal ini menunjukkan adanya perubahan tren dalam perilaku seksual pada penasun.

Tabel 2. Pasangan Seksual dalam Setahun Terakhir


Pasangan Seks Setahun Terakhir Pasangan tetap (Suami atau istri atau kekasih) Pasangan tidak tetap (Bukan WPS atau gigolo) Tidak ingat/tidak menjawab Pasangan tetap dan Pasangan tidak tetap (Bukan WPS atau gigolo) Pasangan tetap dan Pasangan tidak tetap (WPS atau gigolo) Pasangan tidak tetap (WPS atau gigolo) Pasangan tetap (WPS atau gigolo) Jumlah Frekuensi (n= 100) 50 20 13 11 3 2 1 100 Persentase 50% 20% 13% 11% 3% 2% 1% 100%

Berdasarkan data survei, setengah dari penasun memilki pasangan tetap, dan hanya sebagian kecil yang memiliki pasangan tetap sekaligus pasangan tidak tetap (14%). Terdapat perbedaan yang signifikan dengan hasil STBP 2007 di kota Bandung yang menunjukkan bahwa proporsi penasun yang memiliki berhubungan seksual dengan pasangan tidak tetap setahun terakhir sebesar 59%, dan proporsi penasun pria yang melakukan hubungan seksual dengan WPS dalam setahun terakhir sebesar 46%. Penurunan yang drastis ini dapat disebabkan oleh meningkatnya intervensi komunikasi perubahan

150

perilaku yang terfokus pada seks aman, pengurangan jumlah pasangan, dan akses terhadap kondom. b. Penggunaan Kondom Tabel 3. Penggunaan Kondom saat Berhubungan Seksual
Karakteristik Penggunaan Kondom Sebulan Terakhir Sering Selalu Kadang-kadang Tidak Jawab Tidak Pernah Penggunaan Kondom saat Berhubungan Seks Terakhir Kali Ya Tidak Tidak Jawab 59 37 18 52% 32% 16% 11 30 41 17 15 10% 26% 36% 15% 13% Frekuensi (n=100) Persentase

Pemakaian kondom yang tidak konsisten dilaporkan oleh mayoritas penasun dengan semua jenis pasangan pada STBP 2007 di kota Bandung. Berdasarkan hasil survei, penggunaan kondom yang tidak konsisten dinyatakan oleh 67% responden. Hasil ini memperlihatkan bahwa peluang penyebaran HIV dan infeksi oportunis lain dari penasun ke pasangan maupun anak-anaknya sangat besar, sehingga perlu dilakukan upaya yang maksimal untuk menguranginya. c. Risiko Ganda pada Penasun Kelompok penasun yang berisiko ganda terdiri dari penasun yang berperilaku menyuntik sekaligus berperilaku seks yang tidak aman. Berdasarkan hasil survei, terdapat 37% penasun yang memiliki risiko ganda. Besarnya proporsi penasun yang memiliki risiko ganda dapat menjadi tanda bahaya terkait dengan penyebaran HIV yang cepat di kalangan penasun, diikuti oleh penyebaran ke sejumlah besar pasangan seksualnya.(Des Jarlais, 2007) Hasil penelitian ini menggambarkan karakteristik demografis dan perilaku beriko terkait napza dan seks pada penasun, yang menunjukkan bahwa penasun rentan untuk

151

tertular atau menularkan blood-borne viruses khususnya HIV maupun infeksi oportunis lain. Frekuensi penggunaan napza suntik dan perilaku berbagi alat suntik dan peralatan menyuntik pada penasun di survei ini telah mengindikasikan potensi penasun untuk tertular HIV. Selain itu, survei ini mengindikasikan potensi penularan HIV dari penasun kepada pasangan seksualnya yang ditunjukkan dengan cukup bervariasinya jaringan seksual dari penasun dan masih rendahnya tingkat konsistensi dalam penggunaan kondom. Tingginya proporsi penasun dengan risiko ganda (37%) menunjukkan adanya potensi penyebaran HIV yang cepat, baik di kalangan penasun maupun pasangan seksualnya. Oleh karena itu program harm reduction di masa yang akan datang perlu ditingkatkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV.

D. Kesimpulan Dari hasil penelitian mengenai perilaku berisiko penasun di Puskesmas dengan program harm reduction di kota Bandung tahun 2011, dapat disimpulkan bahwa: 1. Sebagian besar penasun adalah laki-laki (87%) dan berada di usia produktif (75%). Tingkat pendidikan penasun sebagian besar adalah SLTA ke atas, dengan pendapatan perbulan rata-rata 500.000-1.5 juta rupiah. Proporsi penasun yang sudah menikah (42%) dan yang belum menikah (40%) hampir sama. 2. Penasun yang dijangkau rata-rata menggunakan napza selama 6 tahun dan lebih dari setengah penasun menyuntik setiap hari dengan frekuensi penyuntikan rata-rata berkisar antara 13 kali per hari. Pada umumnya penasun tidak hanya menggunakan heroin, tetapi dikombinasikan dengan jenis napza yang lain. Proporsi penasun yang menggunakan multidrug adalah 79%. 3. Selama menjadi penasun, sebanyak lebih dari setengah jumlah penasun melakukan berbagi alat suntik dan peralatan menyuntik bersama penasun lain, yang rata-rata berjumlah 1-3 penasun yang berbeda. Sebagian besar (62%) penasun sudah mempraktikkan cara pencucihamaan alat suntik dan peralatan menyuntik dengan benar. 4. Sebagian besar (88%) penasun aktif secara seksual dalam satu tahun terakhir ini. Hanya sekitar 10% penasun melaporkan tidak memiliki pasangan seksual, selebihnya memiliki pasangan seks yang beragam seperti memiliki pasangan tetap, pasangan tidak tetap, pasangan komersial, atau kombinasi dari ketiga jenis pasangan seks tersebut. Sebanyak

152

14% penasun memiliki pasangan lebih dari satu. Dari keseluruhan penasun, sebanyak 61% memiliki pasangan tetap. Penggunaan kondom yang tidak konsisten dalam melakukan hubungan seks dengan pasangannya dinyatakan oleh 67% responden. 5. Sumber utama JASS yang digunakan penasun berasal dari Puskesmas, petugas lapangan, dan LSM. Jumlah penyuntikan penasun yang cenderung intens tidak diimbangi oleh rata-rata jumlah LJASS yang didapatkan yaitu sebanyak 1-25 per bulannya. Proporsi penasun yang membuang limbah jarum pada tempatnya sebesar 70%.

DAFTAR PUSTAKA 1. AFRIANDI, I., ADITAMA, T. Y., MUSTIKAWATI, D., OKTAVIA, M., ALISJAHBANA, B. & RIONO, P. 2009. HIV and injecting drug use in Indonesia: epidemiology and national response. Acta Med Indones, 41 Suppl 1, 75-8. 2. BPS, ASA, MOH, NAC, USAID & FHI 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia. Jakarta. 3. DES JARLAIS, D. C. 2007. Preventing HIV transmission among injecting drug users (IDUs) and from IDUs to noninjecting sexual partners in Sichuan, China. Sex Transm Dis, 34, 583-5. 4. DINKES 2006. Rapid Situations and Responses Assessment Penyebaran HIV/AIDS pada Kalangan Pengguna Narkoba Suntik di 10 Wilayah Jawa Barat. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. 5. GARTEN, R. J., LAI, S., ZHANG, J., LIU, W., CHEN, J., VLAHOV, D. & YU, X. F. 2004. Rapid transmission of hepatitis C virus among young injecting heroin users in Southern China. Int J Epidemiol, 33, 182-8. 6. KEMENKES, KPAN, FHI, USAID & BPS 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia, Jakarta. 7. KPA 2006. Memahami HIV/AIDS dan Pengurangan Dampak Buruk Napza Suntik, Komisi Penanggulangan AIDS Propinsi Jawa Barat. 8. KPAN 2007a. Integrated Biological Behavioral Surveillance (IBBS) among Most-atRisk Group (MARG) in Indonesia. 9. KPAN 2007b. Integrated Biological Behavioural Surveillance amongst Most at Risk Groups (MARS) in Indonesia. Jakarta. 10. KPAN 2008. Pedoman Prosedur Pelaksanaan Program Pengurangan Dampak Buruk Bagi Pengguna Napza Suntik Di Puskesmas, Jakarta. 11. SHELLY, I., DIBA, B., TEDDY, H., IKE, S., LUCAS, P. & REINOUT, V. C. 2010. High risk behavior for HIV transmission among former injecting drug users: a survey from Indonesia. BMC Public Health, 10, 472.

153

12. UUSKULA, A., KALS, M., RAJALEID, K., ABEL, K., TALU, A., RUUTEL, K., PLATT, L., RHODES, T., DEHOVITZ, J. & DES JARLAIS, D. 2008. High-prevalence and high-estimated incidence of HIV infection among new injecting drug users in Estonia: need for large scale prevention programs. J Public Health (Oxf), 30, 119-25. 13. WHO 2010. HIV/AIDS in the South-East Asia Region. 14. WHO, UNAIDS & UNICEF 2009. Epidemiological fact sheet on HIV and AIDS: Core data on epidemiology and response : Indonesia - 2008 Update. Geneva.

154

PROTECTIVE BEHAVIOURS OF HIV/STI BRIDGING POPULATIONS IN JAYAPURA, PAPUA, INDONESIA Sutjipto and Rossi Sanusi Center for Health Service Management, GadjahMada University School of Medicine,Yogyakarta, Indonesia ABSTRACT Background:The 2011 Integrated Behavioral & Biological Surveillance (IBBS) covered 300 ARM, 250 direct FSWsand 250 indirect FSWsin the Jayapura Municipality. A preliminary analysis of the data showed that last-sex condom non-use rates of ARM, DFSW clients and IFSW clients are, consecutively, 96.33%, 91.20% and 97.60%. The HIV rates of these ARM, DFSWs, and IFSWs are, respectively, 0.67%, 9.60%, and 3.2%; and, the syphilis rates are, correspondingly, 6.33%, 6.0%, and 2.8%. This study aimed to examine the protective behaviours (use condom, visit STI clinic, use medicines as advised, limit sex partners, do not use vaginal douche), HIV/STI lab test results, sex partners and mobility of at risk men (ARM), direct female sex workers (DFSWs) and indirect female sex workers (IFSWs) in Jayapura, Papua, Indonesia. Subject and Method:Itemsof theIBBS 2011 Questionnaireswere examined to identify variables that are related to protective behaviours, lab test results, sex partners and mobility of the three HIV/STI bridging populations. The Stata12 software was used to inspect/codebook variables that arerelated to the selected items, to recode numeric data into categorical data, and to generateone-way and two-way tables. Results:Of the 250 DFSWs and 250 IFSWs surveyed 243 (97.20%) and 247 (98.80%), respectively,were temporary residents in Jayapura. During the last 12 months 147 (58.80%) DFSWs and 129 (51.60%) IFSWs visited their place of origin, of whom 17 (11.56%) and 2 (1.55%) were, respectively, HIV positive and 9 (6.12%) and 4 (3.10) were, respectively, Syphilis positive. The protective behavior rates of ARM (i.e., motor-cycle taxi drivers) are high (use condom 97.89%,limit sex partners 96.80%, visit STI clinic87.50% and use medicines as advised79.05%). However, IFSWs who had sex with these ARMreported a last-sex condom-use rate of only 21.87%. By comparison, the DFSWs indicated a 73.58% last-sex condom-use rate by ARM. Most of the sex transactions conducted by the DFSWs were in the red-light districts (87.60%), where the always propose condom use and always use condom rates are low - 10.50% and 3.65%, respectively. The sex transactions carried out by IDFSWs were spread out in massage parlors (40.00%), restaurants and discotheques (42.4%) and hotels/motels (41.6%), where the reported always propose condom use and always use condom rates are greater than 70%. Conclusions: HIV/STI prevention interventions ought to be concentrated in the red-light districts (directed at DFSWs), massage parlors, restaurants/discotheques and hotels/motels (directed at IFSWs) and motor-cycle taxi posts.Inconsistencies in reporting protective behaviours by different actors should be taken into consideration when designing intervention programs.

155

Reference: Ghimire, L., Smith, W.C.S., van Teijlingen, E.R., Dahal, R., &Luitel, N.P. (2011).Reasons for non- use of condoms and self- efficacy among female sex workers: a qualitative study in Nepal.BMC Women's Health, 2011, 11:42. MoH, Republic of Indonesia. (2011). Report on the Development of HIV & AIDS in Indonesia until June 2011. MoH, Republic of Indonesia. (2006). Risk Behavior and HIV Prevalence in Tanah Papua 2006 - Results of the IBBS 2006 in Tanah Papua.

156

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG BAHAYA MEROKOK DENGAN TINDAKANMEROKOK REMAJADI PASAR BERSEHATI KOTA MANADO Woodford Baren S. Joseph, Budi T. Ratag, Jane Pangemanan, Jootje M. L. Umboh, Marsel V. Anto FakultasKesehatanMasyarakatUniversitas Sam RatulangiManado ABSTRAK Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-rata umur mulai merokok secara nasional adalah 17,6 tahun dengan persentase penduduk yang mulai merokok tiap hari terbanyak pada umur 15-19 tahun. Data ini menunjukkan bahwa perilaku merokok pada kelompok usia remaja (10-20 tahun) perlu mendapat perhatian khusus. Pengetahuan dan sikap tentang bahaya merokok bagi kesehatan yang kurang baik dapat membentuk perilaku merokok pada remaja, terutama pada kelompok remaja termarginalisasi. Penelitianinibertujuan untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang bahaya merokok dengan tindakan merokok pada remaja di PasarBersehati Kota Manado. Penelitianini merupakan surveianalitikdenganrancangancross sectional study. Sampel berjumlah 35 orang remaja yang tinggal di PasarBersehati Kota Manado. Pengetahuan, sikap dan tindakan diukur menggunakan menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Analisis hubungan dilakukan secara partial menggunakan ujistatistikfishers exact test (CI=95%, =0,05). Hasilpenelitianmenunjukkanbahwa 32 remaja (91,4%) memilikipengetahuanbaikdan 3 remaja (8,6%) memilikipengetahuankurangbaik. Sebanyak 12 remaja (34,3%) memilikisikapbaik, sedangkan 23 lainnya(65,7) memilikisikapkurangbaik. Sebanyak 12 remaja (34,3%) bukanperokokdan 23remaja (65,7%) adalahperokok. Analisis hubungan antara pengetahuan dengan tindakan menunjukkan p=0,27 dan hubungan antara sikap dengan tindakan menunjukkan p=0,007 Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang bahaya merokok dengan tindakan merokok dan ada hubungan antara sikap tentang bahaya merokok dengan tindakan merokokremaja yang tinggal di PasarBersehati Kota Manado. Perludiciptakanlingkungan yang mendukungperubahansikapdantindakanremaja diantaranya dengan menjadikan PasarBersehati Kota Manado sebagai kawasan bebas asap rokok. Kata kunci : pengetahuan, sikap, tindakan, remaja, merokok

Korespondensi : E-mail : baren_joseph@yahoo.co.id HP : 081340063778

157

ADOLESENCTS INDIVIDUAL CHARACTERISTIC AND KNOWLEDGE LEVEL ABOUT HIV/AIDS AMONG SENIOR HIGH SCHOOL STUDENT IN MANADO KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV/AIDS PADA SISWA SMA DI KOTA MANADO Jane Maureen Pangemanan1, Jeini Ester Nelwan2, Joy Zeekeon3
2

Bagian Ilmu Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Bidang Minat Epidemiologi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado 3 Bidang Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Manado

ABSTRAK Remaja telah menjadi kelompok berisiko karena situasi yang timbul dari rasa ingin tahu mereka, pengetahuan yang kurang, dan rawan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengetahuan tentang HIV / AIDS di kalangan siswa SMA di Manado. Sebanyak 166 siswa SMA berusia 14-18 tahun berpartisipasi dalam survei. Sebuah kuesioner digunakan untuk mengumpulkan informasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang HIV / AIDS yang baik. Memperkuat dan meningkatkan sumber-sumber informasi, khususnya keakuratan dan kelengkapan, akan membantu dalam memastikan bahwa remaja memperoleh informasi HIV / AIDS kesehatan yang mereka butuhkan. Kata kunci: Remaja, SMA, Pengetahuan tentang HIV/AIDS

ABSTRACT Adolescents form substantial risk group due to situations arising out of their curiosity, haphazard knowledge, and risk-prone. This study aimed to analyze knowledge about HIV/AIDS among senior high school students in Manado. A total of 166 senior high school students aged 14-18 years participated in the survey. A self-administered questionnaire was used to collect information. The results showed that levels of HIV/AIDS knowledge were good. Strengthening and improving information sources, particularly its accuracy and comprehensiveness, would help in ensuring that adolescents obtained the HIV/AIDS health information they needed. Key words : Adolescents, Senior High School, Knowledge of HIV/AIDS

158

EFEKTIFITAS LAYANAN TERKAIT PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS MELALUI PENGURANGAN DAMPAK BURUK PENGGUNAAN NAPZA SUNTIK (HARM REDUCTION) DI INDONESIA, 2012 Heru Suparno, Diah Setia Utami, Ferdinand Siagian, Amry Ismail dan Luluk Ishardini Pusat Penelitian Kesehatan-Universitas Indonesia ABSTRAK Latar Belakang Layanan terkait penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik (Harm Reduction) bervariasi di berbagai unit layanan. Masalah umum yang dihadapi adalah kesinambungan layanan dan penerimaan program Harm Reduction. Prioritas intervensi/ program/ layanan yang mempunyai dampak masih menjadi perdebatan. Diperlukan paket layanan yang cocok dengan kondisi di Indonesia di berbagai tatanan. Hasil penelitian ini untuk menjawab pertanyaan tentang paket layanan Harm Reduction yang bagaimana yang efektif untuk dilakukan di RS, PKM, LP dan LSM. Tujuan Tujuan umum studi adalah menilai efektivitas layanan terkait penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik (Harm Reduction) di Indonesia. Tujuan khusus adalah menilai efektivitas layanan terkait penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik (Harm Reduction) dan menilai kemampuan penyelenggaraannya di Rumah Sakit, Puskesmas, Lapas dan LSM. Metode Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui Rapid Assessment Prosedure: Pengumpulan data mencakup informasi terkait elemen layanan HR, cakupan, kualitas, kesinambungan, pembiayaan, teknologi, sumberdaya dan penerimaan layanan. Unit analisis adalah unit layanan HR di berbagai tatanan pelaksana layanan, antara lain di Rumah Sakit, Puskesmas. Lapas dan LSM. Sampel unit layanan dipilih secara purposive sebanyak 19 unit layanan diberbagai tatanan di 6 kota, melakukan wawancara dengan 20 informan dari pemangku-kepentingan terkait program HR dan melakukan FGD terhadap berbagai kelompok penasun (8 kelompok). Temuan Cakupan layanan HR yang diselenggarakan di Rumah Sakit dan Puskesmas umumnya belum maksimal. Kegiatan penjangkauan yang diselenggarakan LSM dilaporkan cukup memenuhi capaian program (rata-rata 5 orang outreach menjangkau 80 - 200 klien per bulan) Penilaian kualitas layanan berdasar prespektif penasun dan provider yang muncul merujuk pada keterbatasan ruang layanan methadone di Puskesmas dan keterbatasan jumlah tenaga penjangkau di LSM Puskemas dan Rumah Sakit. Konseling perubahan perilaku dan penurunan risiko umumnya belum dilakukan secara adekuat di semua tempat layanan. Hingga saat ini operasional layanan HR di berbagai seting layanan sebagian besar masih didanai oleh donor asing, disalurkan secara langsung atau tidak langsung melalui Dinas

159

Kesehatan setempat. Jaminan kelangsungan layanan terkait Penanggulangan HIV dan AIDS melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik dari pihak pemerintah daerah secara eksplisit belum dituangkan dalam anggaran daerah. Para pemangku kepentingan masih enggan memperjuangkan pembiayaan operasional layanan HR ke APBD karena masih adanya bantuan dari donor asing. Secara umum, Rumah Sakit, Puskesmas, Lapas dan LSM mampu menyelenggarakan layanan terkait penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik sesuai dengan peran dan fokus kegiatannya. Beberapa jenis layanan diberikan secara gratis terhadap kliennya. Hanya beberapa jenis layanan dipungut bayar dan dinilai klien realtif cukup mahal seperti pemeriksaan CD4. Dari aspek penerimaan, layanan LJASS masih menjadi polemik berbagai pihak khususnya di Lingkungan Kepolisian. Implikasi Kebijakan Mempertimbangkan aspek efektivitas dan kemampulaksanaan, maka hasil penelitian merekomendasi mengembangkan paket layanan untuk diselenggarakan di Rumah Sakit, Puskesmas dan Lapas mencakup layanan: Terapi Rumatan Metadon dan Care Support and Treatment: VCT, ARV, IMS, IO termasuk TB, Toksoplasmosis dan penyakit oportunistik lainnya, serta memberikan layanan Konseling Pengurangan Risiko dan Perubahan Perilaku. LSM menyelenggarakan kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan dengan melakukan Konseling Pengurangan Risiko dan Perubahan Perilaku dengan memberikan layanan konseling yang adequat. Mendorong penyelenggara layanan terkait Penanggulangan HIV dan AIDS melalui pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik untuk meningkatkan kerjasama dalam hal penyediaan layanan, saling memberikan rujukan dan kerjasama lain terkait layanan ini.

160

PENGETAHUAN DAN PEMBERIAN INFORMASI TENTANG BAHAYA ROKOK PADA SISWA SMP DAN SMA DI YOGYAKARTA Prabandari, YS.*^, Istiyani, T.^, Nugroho, DJ.^,Padmawati, RS.*^, & Rahaju, JD.^
*Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada ^Quit Tobacco Indonesia, Pusat Bioetika dan Humaniora Kedokteran & Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT Latarbelakang Adanya peningkatan jumlah perokok di usia muda dan pengurangan usia mulai merokok perlu mendapatkan perhatian. Semakin muda usia mulai merokok, semakin tinggi risiko terjadinya penyakit akibat merokok. Ketidaktahuan remaja pada rokok dan akibatnya akibat kurangnya pemberian informasi tentang bahaya rokok menyebabkan pengetahuan remaja tentang akibat kebiasaan merokok terbatas. Kurikulum kesehatan pada anak dan remaja sekolah sangat sedikit menyinggung buruknya kebiasaan menggunakan tembakau. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengetahuan dan pemberian informasi tentang bahaya rokok pada siswa di Yogyakarta. Subjek dan Metode Penelitian Penelitian dengan rancangan potong lintang ini melibatkan sebanyak 882 siswaSMP dan 1252 pelajar SMA dari 22 sekolah di Yogyakarta. Sampel diambil secara acak bertingkat, berdasarkan tingkat SMP dan SMA serta status sekolah (negeri, swasta akreditasi A dan B). Variabel dalam penelitian ini meliputi pengetahuan siswa tentang bahaya merokok, pemberian informasi tetang bahaya rokok oleh guru sekolah serta mata pelajaran yang menginformasikan tentang bahaya rokok dan isi informasinya. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil Penelitian Sebagian besar siswa baik siswa SMP maupun SMA sudah memiliki pengetahuan bahwa asap rokok dapat menimbulkan penyakit serius bagi orang di sekitar perokok. Sebagian besar siswa mengetahui bahwa berapapun jumlah rokok yang dihisap dalam sehari tetap merugikan kesehatan. Sebagian besar siswa sudah pernah diberi informasi tentang bahaya rokok oleh guru di sekolah mereka. Informasi tentang bahaya merokok sebagian besar diberikan di pelajaran Pendidikan kesehatan jasmani, Bimbingan konseling, Biologi, Agama dan Kimia. Sebagian informasi yang diberikan adalah tentang bahaya rokok bagi kesehatan. Kesimpulan Sebagian besar siswa mengetahui tentang bahaya asap rokok bagi orang yang ada di sekitar perokok dan tingkat aman konsumsi rokok dalam sehari. Di sekolah, siswa sudah banyak yang mendapatkan informasi tentang bahaya rokok, namun informasi tersebut masih sangat terbatas. Permasalahan merokok perlu diintegrasikan dalam kurikulum sekolah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman siswa. Kata kunci: pengetahuan, pemberian informasi, bahaya rokok, siswa

161

A. Latarbelakang Rokok merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang mendasar di Indonesia. Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam konsumsi rokok di seluruh dunia dengan jumlah perokok sekitar 65,9% untuk perokok laki-laki dan 4,2% untuk perokok perempuan (Riskesdas, 2010). Kematian akibat rokok di Indonesia sebanyak 427.848 orang / tahun atau 1.172 orang per hari (WHO, 2008). Beban kematian ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan jumlah perokok terus meningkat di negara berkembang. Peningkatan insidensi perokok di negara berkembang diperkirakan terjadi karena perokok usia muda semakin bertambah (Peto, 1994). Dalam Global Youth Tobacco Survailance (GYTS) pada tahun 2007 dilaporkan bahwa terdapat 9,5% pelajar usia 13-15 tahun yang merokok di 140 negara dengan 151 tempat penelitian di dunia (Warren, et al., 2008). GYTS juga melaporkan bahwa dari 151 tempat penelitian, 87 di antaranya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna prevalensi perokok pelajar laki-laki dan perempuan. Sementara itu di 59 tempat penelitian, pelajar perokok laki-laki prevalensi lebih tinggi daripada perempuan dan 5 tempat penelitian menunjukkan hasil kebalikannya, prevalensi pelajar perokok perempuan lebih tinggi daripada pelajar perokok laki-laki. Data GYTS yang didapatkan di Indonesia (diwakili oleh kota Jakarta) pada tahun 2006 menunjukkan prevalensi perokok sebesar 11,8 secara keseluruhan, dan pelajar perokok laki-laki sebesar 23,9. Pelajar perokok perempuan hampir sepersepuluh pelajar laki-laki, yaitu 1,9 (Warren, et al., 2008). Hasil ini sedikit berbeda dengan yang dilaporkan oleh Aditama di tahun 2000. Sebagai salah satu peserta Global Youth Tobacco Survey, Aditama (2000) melaporkan persentase perokok di Jakarta. Proporsi perokok teratur di Jakarta untuk usia 13-15 adalah sebesar 38.9% untuk remaja laki-laki dan 4.4% untuk remaja perempuan. Laporan GYTS yang dilakukan tahun 2006 dalam paragraf sebelumnya tersebut juga berbeda dengan yang dilaporkan dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di

Indonesia pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007). Pada Riskesdas tahun 2007 dilaporkan bahwa perokok usia 15-24 tahun sebesar 24,6%. Perokok perempuan dalam Riskesdas tidak dilaporkan menurut golongan umur, dan persentase perokok perempuan di Indonesia untuk seluruh golongan umur adalah 4,4% (Sebanyak 3% perokok saat ini dan 1,4% perokok kadang-kadang). Pada laporan Riskesdas tahun 2010 terjadi peningkatan perokok usia 1524 tahun dari 24.6% pada tahun 2007 menjadi 26.6% di tahun 2010 (Riskesdas, 2010). Persentase perokok wanita untuk seluruh golongan umur juga mengalami peningkatan, 162

terutama perokok saat ini. Pada data Riskesdas 2007 perokok perempuan saat ini adalah 3%, di laporan Riskesdas 2010 adalah 4%. Peningkatan prevalensi perokok di usia muda, terutama di Indonesia perlu mendapat perhatian mengingat prevalensi penyakit dengan faktor risiko kebiasaan merokok, seperti hipertensi, stroke, jantung dan diabetes di Indonesia yang meningkat seiring dengan usia. Data Riskesdas pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi hipertensi, stroke, jantung dan diabetes untuk golongan usia produktif (25-34 tahun dan 35-45 tahun) sebesar 6,3 dan 11,9 untuk hipertensi serta 2,9 dan 8,1 pada stroke. Sementara prevalensi diabetes pada usia tersebut adalah 0,2 dan 0,7 serta prevalensi jantung sebesar 0,5 dan 1. Prevalensi penyakit tidak menular yang mempunyai risiko kebiasaan merokok perlu dicermati, karena bila tidak ada tindakan yang dilakukan, kematian karena penyakit tersebut akan semakin bertambah. Beban sakit yang tinggi akan berdampak pula pada beban anggaran yang ditanggung oleh negara, terlebih lagi bila pemerintah Indonesia akan memberlakukan jaminan nasional di tahun 2014. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) tahun 2010, prevalensi perokok usia 10 tahun ke atas di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebesar 25,3% yang merupakan perokok setiap hari dan 7,0% yang merupakan perokok kadang-kadang. Data ini tidak jauh berbeda dengan data yang dilaporkan Prabandari (2006), perokok teratur (merokok > 3 batang dalam 30 hari dan merokok minimal 1 batang dalam 7 hari/24 jam) pelajar laki-laki usia 15-18 tahun adalah 35% dan pelajar perempuan sebesar 6% di Kota Yogyakarta. Konsumsi rokok yang sebesar ini tentunya akan memberikan risiko yang tinggi pada berbagai macam penyakit dan juga kematian. Adanya peningkatan jumlah perokok di usia muda dan pengurangan usia mulai merokok merupakan kondisi yang harus mendapatkan perhatian. Penurunan usia merokok merupakan hal yang serius. Perokok pemula merupakan calon perokok loyal di masa mendatang karena ketergantungan yang diakibatkan oleh nikotin pada rokok. Semakin muda mulai merokok, risiko terkena dampak kesehatan semakin tinggi (Roemer, 1993). Selain itu, ketergantungan pada tembakau merupakan hal yang penting pula untuk dipertimbangkan mengingat perokok sulit untuk menghentikan kebiasaannya. Sebesar 70% perokok ingin menghentikan kebiasaannya, namun hanya 10% yang berhasil (Jones, 2003).

163

Meskipun beberapa institusi melakukan usaha untuk berhenti merokok, seperti Yayasan Kanker dan Yayasan Jantung Indonesia, namun publikasi tentang keberhasilan intervensi masih terbatas (Prabandari, 2006). Namun demikian, data dari 3 penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa remaja di Indonesia sudah tahu akibat merokok, namun secara umum. Sebanyak 53% remaja usia 9-15 tahun di Jakarta tahu bahwa merokok berhubungan dengan kanker paru (Wawolumaya, 1996). Demikian pula sebesar 93% remaja SMA dan 33% SMP tahu tentang bahaya rokok (Rustamadji, 1986). Peneliti lainnya menemukan bahwa 75% pelajar SMA di Jakarta dan 75% di Yogyakarta tahu tentang bahaya merokok, namun hanya 9% dan 7% yang tahu akibat rokok secara spesifik (Bany, disitasi dari Santoso, 1993). Kurikulum kesehatan pada anak dan remaja sekolah sangat sedikit menyinggung buruknya kebiasaan menggunakan tembakau (Prabandari, 2001). Hal ini membawa konsekuensi pada terbatasnya pemberian informasi tentang bahaya rokok yang didapatkan para siswa di sekolah. Siswa yang sudah mengetahui bahaya rokok tentunya diharapkan terjadi perubahan pola pikir ataupun pemahamannya, sehingga dapat mempengaruhi pola perilaku merokok anak usia sekolah (remaja). Dengan demikian, penelitian tentang pengetahuan dan pemberian informasi tentang bahaya rokok pada remaja sekolah perlu dilakukan mengingat penelitian seperti ini belum banyak dilakukan. Penelitian tentang masalah rokok yang sudah banyak dilakukan lebih fokus meneliti jumlah perokok termasuk jumlah perokok di usia remaja. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memaparkan deskripsi pengetahuan dan pemberian informasi tentang bahaya rokok pada remaja pelajar di Yogyakarta.

B. Metode dan Subjek Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian non-experimental dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Penelitian ini dilaksanakan di 9 SMP dan 13 SMA di wilayah kota Yogyakarta dengan melibatkan 2154 siswa SMP dan SMA dikota Yogyakarta. Berdasar respon dan kelengkapan data, hanya sebesar 2132 kuesioner yang dapat dianalisis. Variabel dalam penelitian ini adalah pengetahuan siswa SMP dan SMA tentang bahaya rokok, yang terdiri dari pengetahuan tentang pengaruh asap rokok bagi orang di sekitar perokok, pengetahuan tentang tingkat aman konsumsi rokok dalam sehari, dan

164

pengetahuan tentang tingkat bahaya rokok putih dibandingkan rokok kretek. Variabel lainnya adalah pemberian informasi tentang bahaya rokok, terdiri dari pernah tidaknya siswa diberi informasi tentang bahaya rokok oleh guru, mata pelajaran yang memberikan informasi tentang bahaya rokok,dan cara informasi tersebut diberikan oleh guru. Variabel berikutnya adalah pelajaran yang memuat informasi tentang bahaya merokok. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen berupa kuesioner yang dibuat dan divalidasi oleh tim Quit Tobacco Indonesia, Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora Kedokteran, Fakultas Kedokteran UGM. Penelitian dilakukan pada akhir tahun 2009. Pada awal analisis hasil dalam penelitian ini, dilakukan analisis univariat untuk karakteristik demografi responden. Sedangkan data yang lain dianalisis secara deskriptif dan dipaparkan dengan tabulasi silang. C. Hasil Penelitian Penelitian ini melibatkan 2132 siswa yang terdiri dari pelajar SMP dan SMA di kota Yogyakarta. Karakteristik responden penelitian ini seperti terlihat pada tabel 1. Sebagian besar responden adalah pelajar perempuan, meskipun perbedaan persentasenya dengan pelajar laki-laki tidak terlihat bermakna. Usia responden terbanyak adalah 14-16 tahun dan bersekolah di SMA, di sekolah swasta disamakan. Sebagian besar responden mempunyai uang saku kurang dari Rp. 10.000 per hari. Tabel 1. Karakteristikresponden Karakteristik responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 11-13 tahun 14-16 tahun 17-20 tahun Status Sekolah Negri Swasta disamakan Jenjang SMP SMA Uang saku 0-Rp. 10.000 Rp. 11.000- Rp. 50.000 Rp. 50.000 keatas N 1046 1086 492 1307 338 1004 1150 882 1252 1875 150 4 % 49,1 50,9 22,8 60,7 15,7 46,6 53,4 41,3 58,7 92,3 7,4 0,2

165

Pengetahuan para siswa tentang bahaya rokok, baik siswa tingkat SMA maupun tingkat SMP bisa dikatakan sudah memadai. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel 2 bahwa sebagian besar siswa (lebih dari 72%) mengetahui asap rokok dapat menimbulkan penyakit berat bagi orang lain di sekitar perokok. Selain itu, lebih dari 73% pelajar juga mengetahui bahwa seberapapun jumlah rokok yang dihisap dalam sehari tetap merugikan kesehatan (tidak aman). Namun demikian, untuk pengetahuan tentang perbedaan tingkat bahaya antara rokok putih dan rokok kretek masih menunjukkan ketidakyakinan, lebih dari 58% pelajar merasa tidak yakin. Dengan kata lain, sebagian besar siswa belum mengetahui perbedaan atau perbandingan bahaya yang diakibatkan oleh menghisap rokok putih dan rokok kretek. Tabel 2. Pengetahuan tentang Bahaya Rokok Pengetahuan tentang Bahaya Rokok Pengaruh asap rokok bagi orang lain di sekitar perokok Menimbulkan penyakit berat Menimbulkan penyakit ringan Tidak berbahaya Tingkat aman konsumsi rokok dalam sehari <= 5 batang >= 6-12 batang >= 13-20 batang >= 21-30 batang >= 31 batang Berapapun jumlahnya tidak aman Tingkat bahaya rokok putih dibandingkan rokok kretek Lebih berbahaya Lebih tidak berbahaya Tidak yakin SMA (%) 84,1 14 1,8 5,2 6,9 1,0 0,3 1,3 85,4 14 27,4 58,7 SMP (%) 72,1 24,9 3 7,7 12,1 3,6 1,3 2,1 73,2 17,6 17,4 65

Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa sudah pernah diberi informasi tentang bahaya rokok oleh guru di sekolah mereka. Namun, masih ada juga siswa yang menyatakan bahwa mereka ada yang tidak pernah diberi informasi tentang bahaya rokok. Informasi diterima dengan proporsi yang hampir serupa untuk pelajar dengan status merokok yang berbeda.

166

Tabel 3. Pemberian Informasi tentang Bahaya Rokok oleh Guru Status merokok Eksperimen Tidak merokok Diberi info Tidak diberi info Tidak ingat N 188 31 37 (%) (12,2) (11,9) (11,6) N 1294 222 272 (%) (83,9) (85,1) (85,3)

Perokok reguler N 61 8 10 (%) (4,0) (3,1) (3,1)

Pelajar melaporkan bahwa informasi mengenai bahaya merokok sebagian besar diberikan pada mata pelajaran Bimbingan Konseling, disusul dengan Pendidikan kesehatan jasmani, Biologi, Agama dan Kimia. Pelajaran lain yang menyinggung bahaya merokok yang dilaporkan di atas 10% pelajar adalah fisika, sosiologi dan PPKN (lihat Tabel 4). Tabel 4. Mata pelajaran yang memberikan informasi bahaya rokok Mata Pelajaran Biologi Fisika Kimia Geografi Sejarah Ekonomi Sosiologi Matematika Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Bahasa Jawa Pendidikan Kesehatan Jasmani Kesenian Agama PPKN BK/Bimbingan Konseling Lain-lain Frekuensi 835 175 341 32 41 60 160 37 131 86 32 692 23 425 162 958 93 % 38,76 11,07 21,58 2,02 2,59 3,79 10,13 2,34 8,29 5,43 2,02 43,79 1,45 26,88 10,25 60,63 5,99

Selain dari mata pelajaran disekolah, dalam mengisi kuesioner poin lain-lain, siswa melaporkan bahwa mereka juga mendapatkan informasi tentang bahaya rokok pada saat MOS (Masa Orientasi Siswa), Penyuluhan, diskusi UKS (Unit Kesehatan Sekolah). Informasi yang diberikan oleh guru pada siswa sebagian besar adalah tentang

bahaya merokok, seperti terlihat pada tabel 5 berikut. Selain itu, lebih dari 10% pelajar melaporkan bahwa dalam pemberian informasi tersebut, mereka yang telah mulai merokok diminta untuk berhenti. Pemahaman bahwa merokok merugikan diri sendiri dan orang lain (AROL=asap rokok orang lain atau perokok pasif) masih sedikit dilaporkan oleh siswa

167

diinformasikan dalam pembelajaran mereka. Demikian pula dengan informasi bahwa merokok menyebabkan ketergantungan. Tabel 5. Isi informasi yang disampaikan pada siswa Isi Informasi Merokok dapat membahayakan kesehatan karena : 1. Mengandung zat berbahaya seperti nikotin dan tar. 2. Dapat merusak organ tubuh seperti jantung dan paru-paru. 3. menyebabkan penyakit kanker dan impotensi. Tidak ingat isi informasi yang disampaikan Merokok dapat memperpendek usia dan menyebabkan kematian Merokok dapat merugikan diri sendiri dan orang lain Rokok mahal dan siswa belum bisa cari uang sendiri Rokok menyebabkan kerugian, tidak ada manfaat dan membuat ketagihan Awal kejadian buruk dan diharamkan agama Hanya meminta untuk berhenti merokok Merusak konsentrasi dan merusak moral bangsa N 815 % 37,83

108 42 46 15 39 10 246 32

5,01 1,94 2,13 0,68 1,8 0,46 12,25 1,48

Selain itu, informasi tentang bahaya rokok yang diterima oleh siswa ternyata juga beragam. Sebagian kecil pelajar melaporkan bahwa mereka mendapatkan informasi bahwa merokok merusak konsentrasi dan moral bangsa, rokok adalah mahal dan merupakan awal kejadian buruk serta diharamkan oleh agama.

D. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan para siswa tentang bahaya rokok baik tingkat SMP maupun tingkat SMA sudah bisa dikatakan memadai, meskipun terbatas pada pengetahuan tentang hal yang umum tentang akibat kebiasaan merokok. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Bandy (disitasi oleh Santoso, 1993), bahwa remaja pelajar di Yogyakarta sebagian besar mengetahui bahaya merokok, namun kurang detail. Pelajar melaporkan bahwa merokok mengakibatkan penyakit yang berbahaya. Hasil yang lebih menarik adalah pemahaman pelajar tentang AROL (asap rokok orang lain). Lebih dari 70% siswa sudah mengetahui bahaya asap rokok bagi orang yang berada di sekitar perokok yaitu dapat menimbulkan penyakit serius. Hasil ini tentunya cukup melegakan, karena AROL dapat mengakibatkan penyakit yang hampir serupa dengan yang dihisap perokok aktif atau perokoknya sendiri (Gilliland et al., 2000).

168

Selain bahaya asap rokok, siswa juga mengetahui bahwa berapun jumlah rokok yang dihisap dalam sehari tetap merugikan kesehatan. Sudah banyaknya siswa yang memiliki pengatahuan dalam hal ini mungkin karena saat ini banyak sekali informasi dari media yang dapat diakses oleh para siswa, baik dari media cetak maupun media elektronik. Selain itu, kota Yogyakarta telah melakukan beberapa kegiatan pemberian informasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Yogyakarta, demikian pula beberapa mahasiswa fakultas kesehatan, seperti dilaporkan oleh seorang guru di Yogyakarta pada saat peneliti menyebarkan kuesioner di sekolah. Sebagian besar siswa juga menyatakan bahwa mereka pernah diberi informasi tentang bahaya rokok oleh guru di sekolah. Hal ini seperti hasil penelitian Global Youth Tobacco Survey yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2000 menunjukkan bahwa lebih dari 60% remaja merasa pernah mendapatkan pelajaran yang menyinggung soal tembakau (Aditama, 2000). Selain mendapat informasi tentang bahaya rokok dari beberapa mata pelajaran, siswa ternyata juga mendapat informasi melalui penyuluhan. Semakin banyaknya penyuluhan tentang bahaya rokok di tingkat sekolah salah satunya terkait dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang diberikan oleh pemerintah, dan salah satu penggunaannya untuk kampanye mengurangi dampak buruk akibat rokok. Informasi yang diberikan oleh guru di sekolah telah beragam, termasuk AROL dan menyinggung masalah moral dan agama, selain juga tentang tanggung jawab diri sendiri. Hasil ini cukup menarik, terlebih bahwa cukup banyak guru yang menyinggung tentang rokok di beberapa mata pelajaran, tidak hanya BK, Pendidikan kesehatan jasmani atau biologi saja, namun juga pelajaran kimia, PPKN dan agama. Keterkaitan agama dengan kebiasaan merokok ini sebetulnya telah ada yang meneliti, dan Juon (2002) melaporkan bahwa keteraturan dalam beribadah dapat mencegah berubahnya status perokok dari tidak merokok menjadi perokok. Penelitian ini mempunyai keterbatasan dalam hal analisis, karena hanya memaparkan secara deskriptif dan tidak melakukan pengukuran asosiasi. Selain itu, penelitian ini menggunakan kuesioner self report, yang meskipun telah diusahakan administrasi penyebaran kuesionernya dilakukan secara optimal, namun tidak menutup kemungkinan ada pelajar yang mengisi tidak dengan sungguh-sungguh. Status merokok dalam penelitian ini juga ditetapkan dengan laporan dari pelajar berdasar pertanyaan di kuesioner dan tidak dilakukan pengujian urin atau saliva.

169

E. Kesimpulan dan saran Sebagian besar siswa baik tingkat SMP maupun SMA mengetahui bahwa asap rokok berbahaya untuk orang yang berada di sekitar perokok karena dapat menimbulkan penyakit yang serius. Dalam hal tingkat aman konsumsi rokok dalam sehari, sebagian besar siswa (lebih dari 73%) mengetahui bahwa berapapun jumlah rokok yang dihisap dalam sehari tetap membahayakan kesehatan. Pemahaman ini perlu dipertahankan dan bila memungkinkan ditambah dengan informasi yang lebih detail tentang bahaya merokok. Sekolah dapat bekerja sama dengan Dinas Kesehatan atau Institusi kesehatan untuk dapat menyusun bahan yang dapat diberikan pada siswa. Sebagian besar siswa juga pernah mendapat informasi tentang bahaya rokok dari guru di sekolah. Guru yang sering memberikan informasi tersebut biasanya dari guru yang mengampu BK (Bimbingan dan Konseling) , Pendidikan kesehatan jasmani, Biologi dan Kimia. Informasi yang diberikan ke siswa lebih banyak pada bahaya rokok untuk kesehatan. Hasil ini perlu mendapatkan apresiasi dengan memberikan penyegaran informasi tentang bahaya merokok bagi guru. Walaupun sebagian besar siswa sudah memiliki pengetahuan tentang bahaya rokok dan sudah banyak yang memperoleh informasi tentang bahaya rokok dari guru sekolah, namun informasi yang didapatkan masih sangat terbatas. Berdasarkan hal ini disarankan agar permasalahan merokok dapat diintegrasikan dalam kurikulum sekolah, baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Pengintegrasian ini menjadi hal yang sangat penting untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang masalah merokok. Dengan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang masalah rokok diharapkan dapat menekan jumlah perokok di usia remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama,T. 2000. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Mahasiswa akademi perawat dan perawat serta Mahasiswa Fakultas Kedokteran Dalam Masalah Rokok. Jurnal Kardiologi Indonesia,1:60-63 Departemen Kesehatan RI. 2011 Riskesdas Indonesia tahun 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Departemen Kesehatan RI. 2008 Riskesdas Indonesia tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

170

Gilliland, FD., Berhane, K., McConnell R., Gauderman, WJ., Vora, H., Rappaport, EB. Maternal Smoking during pregnancy, environmental tobacco smoke exposure and childhood lung fuction. Thorax 55:271-276 Jones, K. 2003. Health and Human Behavior. New York: Oxford University Press. Juon, H., Ensminger, M., Sydnor, K. 2002.A longitudinal study of developmental trajectories to young adult cigarette smoking. Drug and Alcohol Dependence 66:303-314 Peto, R. 1994. Smoking and death: the past 40 years and the next 40. British Medical Journal 309:937-939 Prabandari, YS. 2006 Smoking inovulation program to prevent the uptake of smoking among junior high school students in Yogyakarta Municipality, Indonesia. Unpublished Dissertation. New Castle Australia: the University of Newcastle Roemer, R. 1993. Legislative Action to Combat the World Tobacco Epidemic. Geneve: WHO Rustamadji, H. 1986. Pola Merokok Pelajar Jakarta Selatan Tahun 1986 Kesehatan Masyarakat Indonesia XVI:344-348 Majalah

Santoso, S. 1993. Perilaku remaja yang berkaitan dengan kebiasaan merokok. Cermin Dunia Kedokteran 84:41-47 Wawolumaya, C. 1996. Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan perilaku murid sekolah dasar kelas 5 dan 6 di dua sekolah negeri di Jakarta. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia 24:154-252 Warren, CW., Jones, NR., Peruga, A., Chauvin, J., Baptise, JP., de Silva, VC., Awa., F., Tsouros, A., Rahman, K., Fishburn, B., Bettcher, DW., Asma, S. 2008 Global Youth Tobacco Surveillance, 2000-2007. MMWR 57 (SS-1) : 1-27 WHO, 2008. MPOWER. WHO: Jakarta

171

PAPARANIKLANROKOKDAN STATUS MEROKOKREMAJAPELAJAR DI YOGYAKARTA Prabandari, YS.*^, Nugroho, DJ.^,Istiyani, T.^, Padmawati, RS.*^, &Rahayu, DR^.
*BagianIlmuKesehatanMasyarakat, FakultasKedokteran, UniversitasGadjahMada ^Quit Tobacco Indonesia, PusatBioetikadanHumanioraKedokteran& PusatPerilakudanPromosiKesehatan, FakultasKedokteran, UniversitasGadjahMada

ABSTRACT Latarbelakang Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 dan 2010, menunjukkan kenaikan pada perokok usia 15-24 tahun, yaitu 24,6% pada tahun 2007 menjadi 26,6% di tahun 2010. Penelitian di negara maju menunjukkan adanya asosiasi antara paparan promosi rokok dengan penambahan jumlah anak yang mencoba menggunakan tembakau. Seiring dengan adanya desentralisasi, jumlah iklan rokok di sekitar Kota Yogyakarta meningkat semenjak tahun. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan paparan iklan rokok dan status merokok pelajar di Yogyakarta. Subjek dan Metode Penelitian Penelitian dengan rancangan potong lintang ini melibatkan sebanyak 1046 pelajar lakilaki dan 1086 pelajar perempuan yang berasal dari 22 SMP dan SMA di Yogyakarta. Sample diambil secara acak bertingkat, berdasarkan tingkat SMP dan SMA serta status sekolah (negeri, swasta akreditasi A dan B). Variable yang diteliti adalah persepsi terhadap iklan rokok, paparan iklan rokok dan status merokok siswa.Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil Penelitian Pelajar laki-laki dan perempuan mempunyai persepsi serupa pada persentase yang tertinggi, yaitu iklan dipersepsikan mempunyai pesan untuk mengurangi stress. Pria lebih mempersepsikan bahwa iklan mempunyai pesan yang menunjukkan agar pria terlihat dewasa, sementara wanita lebih mempersepsikan pesan iklan sebagai sarana berbaur social para pria. Dalam tabel silang ditunjukkan bahwa paparan iklan rokok menunjukkan persentase yang semakin besar pada perokok coba-coba dan sebagian besar perokok teratur pernah mendapatkan rokok gratis dari sponsor industri rokok. Kesimpulan Paparan iklan rokok bagi remaja menjadi salah satu pemicu perilaku merokok. Semakain gencar iklan rokok maka akan meningkatkan prevalensi merokok dikalangan remaja. Sebagian besar remaja masih menghubungkan iklan merokok ini dengan pengurangan tekanan hidup, tingkat kedewasaan seseorang maupun dengan sarana pergaulan. Kata kunci: paparan iklan rokok, status merokok, remaja pelaja A. Latar Belakang Kematian akibat tembakau di Asia diperkirakan melonjak sebesar hampir empat kali lipat, dari 1,1 milyar ke 4,2 milyar pada tahun 1990 2020, sementara pada negara maju

172

penambahannya sebesar 50% (Murray & Lopez, 1997). Beban kematian ini diperkirakan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah perokok di negara berkembang yang besarnya dua kali lipat dengan pertambahan di negara maju. Bertambahnya jumlah perokok di negara berkembang diperkirakan terjadi karena peningkatan perokok usia muda (Peto, 1994). SKRT yang dilakukan di Indonesia menunjukkan peningkatan jumlah perokok di usia muda. SKRT yang dilakukan pada tahun 1986 menunjukkan bahwa perokok usia 1014 tahun dan 15-19 tahun adalah 0.6% dan 13.2%, sementara jumlah ini melonjak hampir dua kalinya di tahun 1995, yaitu sebesar 1.1% dan 22.6% pada usia yang sama (Suhardi, 1997). Penelitian Smet, Maes, De Clereq, Haryanti dan Winarno (1999) pada remaja di Semarang menunjukkan angka perokok teratur sebesar 8.2%, 15.5%, 24.7% dan 38.7% untuk usia 11, 13, 15 dan 17 tahun. Hasil Riskesdas pada tahun 2007 dan 2010 menunjukkan peningkatan perokok usia 15-24 tahun dari 24.6% pada tahun 2007 menjadi 26.6 di tahun 2010. Selanjutnya pada tahun 2000, sebagai salah satu peserta Global Youth Tobacco Survey, Aditama (2000) melaporkan persentase perokok di Jakarta. Proporsi perokok teratur di Jakarta untuk usia 13-15 adalah sebesar 38.9% untuk remaja laki-laki dan 4.4% untuk remaja perempuan. Adanya peningkatan jumlah perokok di usia muda dan pengurangan usia mulai merokok perlu mendapatkan perhatian karena dapat merupakan masalah kesehatan yang serius. Semakin muda usia mulai merokok, semakin tinggi risiko terjadinya penyakit akibat merokok (Roemer, 1993). Selain itu, ketergantungan pada tembakau merupakan hal yang penting pula untuk dipertimbankan mengingat perokok sulit untuk menghentikan kebiasaannya. Penelitian menunjukkan bahwa dua pertiga perokok berkeinginan untuk menghentikan kebiasaan tersebut (Ogden, 1996). Gencarnya iklan rokok di Indonesia tidak diimbangi dengan semangat

mempromosikan anti tembakau. Kurikulum kesehatan pada anak dan remaja sekolah sangat sedikit menyinggung buruknya kebiasaan menggunakan tembakau (Prabandari, 2000), meskipun pada Global Youth Tobacco Survey yang dilakukan di Jakarta pada tahun 2000 menunjukkan bahwa lebih dari 60% remaja merasa pernah mendapatkan pelajaran yang menyinggung soal tembakau (Aditama, 2000). Sementara itu iklan rokok seperti tidak ada batasan. Pengamatan selama tahun 2000-2002 di Yogyakarta menunjukkan bahwa iklan rokok yang outdoor semakin lama semakin banyak jumlahnya (Prabandari, 2004).

173

Bertambahnya jumlah perokok di usia muda dan meningkatnya paparan iklan rokok di Indonesia perlu mendapatkan perhatian. Studi di negara maju menunjukkan bahwa iklan rokok merupakan faktor potensial pencetus inisiasi merokok di kalangan remaja (Botvin, Botvin, Michela, & Filazzola, 1991; Pucci & Siegel, 1999). Botvin dkk (1991) yang melakukan penelitiannya di New York pada remaja pelajar setingkat SMP (tingkat 8 dan 9) melaporkan hasil bahwa remaja yang dengan cepat mengenal merek rokok melalui gambar iklan yang dipaparkan pada remaja tersebut cenderung untuk merokok. Selanjutnya,

penelitian tersebut juga melaporkan bahwa remaja yang merokok untuk coba-coba atau lebih dikenal dengan perokok eksperimental menunjukkan pengenalan terhadap iklan rokok yang lebih daripada remaja yang tidak merokok. Pucci dan Siegel (1999) melakukan penelitiannya di Massachusset pada remaja usia 12-15 tahun Remaja-remaja ini diikuti sampai 4 tahun kemudian. Kepada mereka ditanyakan majalah yang disenangi dan paparan iklan rokok di majalah-majalah tersebut kemudian diidentifikasi. Merek rokok yang biasa dipromosikan pada majalah-majalah remaja populer di data untuk kemudian dikaitkan dengan merek rokok yang dihisap oleh mereka yang merokok 4 tahun kemudian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa merek rokok yang mempunyai frekuensi tinggi diterbitkan oleh majalah yang populer di kalangan remaja Massachusset ternyata mempunyai hubungan dengan merek yang dicoba untuk dihisap para perokok pemula. Selain itu penelitian juga menunjukkan bahwa perokok remaja memilih merek rokok yang paling sering muncul di majalah remaja populer tersebut. Sargent dkk (2000) melakukan penelitiannya di daerah rural di Vermont, Amerika. Penelitiannya merupakan penelitian kohort, mengikuti anak SD tahun ke 4 sampai dengan anak tersebut masuk SMA (tingkat 11 sekolah Amerika). Penelitiannya menghubungkan antara reseptivitas atau penerimaan terhadap promosi rokok dengan perilaku merokok. Remaja dianggap tinggi penerimaannya terhadap promosi rokok bila memakai atau menyimpan segala hal yang berkaitan dengan promosi rokok, seperti topi, kaos, ballpoint dll yang berlambang merek rokok. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa remaja dengan tingkat penerimaan terhadap promosi rokok tinggi (mempunyai dan memakai barangbarang dengan logo merek rokok) menunjukkan kecenderungan untuk merokok atau mengubah statusnya dari tidak merokok menjadi perokok eksperimen, atau dari perokok eksperimen menjadi perokok teratur.

174

Gilpin, White, Meisser dan Pierce pada tahun 2007 melaporkan penelitian longitudinal yang dilakukan dengan mengikuti remaja usia 12-15 tahun California. Remaja yang belum merokok diikuti selama 3-6 tahun. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja yang bisa menyebutkan iklan rokok favorit dan memiliki barang promosi dari industri rokok berhubungan dengan perilaku merokok pada saat dewasa dengan OR 1,46-1,84. Adanya hubungan antara paparan iklan rokok dan bertambahnya jumlah perokok di Indonesia belum pernah diteliti. Djutaharta dan Surya (2003) yang melakukan pengumpulan penelitian merokok yang pernah dilakukan di Indonesia melaporkan bahwa belum terdapat penelitian di Indonesia yang menghubungkan antara paparan iklan rokok dan mulainya atau bertambahnya perokok di usia muda di antara 46 penelitian tentang merokok yang berhasil dikumpulkan. Pada tahun 2007 dalam studi di Jakarta, dilaporkan bahwa 99,7% remaja di Indonesia melihatiklanrokok di TV, 87% pada billboards di

pinggirjalan, 76% pada media cetak, dan81%di antara remajajugapernahmengunjungiacara yang disponsori paling tidakoleh 1 perusahaanrokok.Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui persepsi remaja terhadap iklan rokok, paparan iklan rokok dan status merokok remaja di Yogyakarta.

B. Metode dan Subjek Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian non-experimentaldengan rancangan potong lintang (cross sectional). Penelitian ini dilaksanakan di 22 SMP dan SMA di wilayah kota Yogyakarta dengan melibatkan 2154 siswa SMP dan SMA dikota Yogyakarta. Berdasar respon dan kelengkapan data, hanya sebesar 2132 kuesioner yang dapat dianalisis. Variabel dalam penelitian ini adalah persepsi tentang iklan rokok, yaitu cara pandang remaja terhadap pesan iklan rokok. Variabel yang kedua adalah paparan iklan rokok, yang terdiri dari persepsi tentang dorongan iklan untuk merokok, kepemilikan barang promosi rokok, terpengaruhnya perilaku merokok karena iklan rokok dan pernah tidaknya menerima rokok gratis dari perusahaan rokok. Variabel lainnya adalah statusmerokok pada siswa SMP dan SMA di Daerah Istimawa Yogyakarta. Status merokok diklasifikasikan menjadi 3 yaitu bukan perokok adalah responden yang sama sekali belum pernah merokok walaupun hanya 1 hisapan, perokok coba-coba adalah responden yang pernah merokok namun tidak pernah habis 1 batang penuh seumur hidupnya, dan dalam 24

175

jam pada satu minggu terakhir tidak merokok atau dalam 1 bulan terakhir rokok yang dihisap kurang dari 3 batang, dan perokok teratur adalah responden yang dalam 24 jam pada 1 minggu terakhir merokok minimal 1 batang atau merokok lebih dari 3 batang pada 1 bulan terakhir. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen berupa kuesioner yang dibuat dan divalidasi oleh tim Quit Tobacco Indonesia (QTI)Pusat Kajian Bioetika dan Humaniora FK UGM. Pada awal analisis hasil dalam penelitian ini, dilakukan analisis univariat untuk karakteristik demografi responden dan persepsi remaja terhadap pesan iklan rokok. Lalu dilanjutlan dengan analisis bivariat untuk melihat hubungan dengan variabel terikat, yaitu paparan iklan rokok dan status merokok siswa. Data dianalisis secara deskriptif, dipaparkan dengan tabulasi silang.

C. Hasil Penelitian Penelitian ini melibatkan lebih banyak partisipan perempuan dari pada laki-laki, namun perbedaan jumlah perempuan dan laki-laki ini hanya 0,8% sehingga bisa dikatakan proporsi antara remaja perempuan dan laki-laki berimbang. Usia partisipan paling banyak adalah usia 14-16 tahun (60,7%), usia ini adalah usia rerata siswa SMP dan SMA diKota Yogyakarta. Untuk status sekolah subjek lebih banyak proporsi untuk sekolah swasta dari pada sekolah negeri dan berada paling banyak di kelas 1 SMA. Uang saku siswa sebagian besar sekitar Rp.0- Rp10.000,- perhari (92,3%), dalam rentang ini uang saku tiap siswa sangat bervariasi ada yang Rp.1000,-Rp.2000,- tapi paling banyak adalah Rp.5000,-. Tabel 1. KarakteristikHasilPenelitian Karakteristik responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Usia 11-13 tahun 14-16 tahun 17-20 tahun Status Sekolah Negri Swasta disamakan Kelas 1 SMP 2 SMP N 1046 1086 492 1307 338 1004 1150 412 339 % 49,1 50,9 22,8 60,7 15,7 46,6 53,4 19,2 15,8

176

3 SMP 1 SMA 2 SMA 3 SMA Uang saku 0-Rp. 10.000 Rp. 11.000- Rp. 50.000 Rp. 50.000 keatas

131 686 452 114 1875 150 4

6,1 32,0 21,1 5,3 92,3 7,4 0,2

Tabel 2 menunjukkan persepsi remaja terhadap pesan iklan rokok. Berbagai iklan rokok yang terdapat di Yogyakarta mempunyai berbagai pesan. Pesan yang telah dikategorikan pada penelitian terdahulu (Nichter, Padmawati, Prabandari, Danardono, Nichter, 2008) ditanyakan untuk melihat remaja mempersepsikan pesan tersebut atau tidak pada iklan rokok. Hasilnya menunjukkan persentase tertinggi yang serupa pada remaja laki-laki maupun perempuan, yaitu pesan iklan yang menunjukkan bahwa rokok sebagai pereda stress. Selanjutnya, persentase terbanyak ke dua pada remaja laki-laki adalah bahwa pesan iklan rokok menunjukkan bahwa rokok membawa pada maturitas pria dewasa, sementara pesan terbanyak ke dua dilaporkan oleh remaja putri bahwa pesan iklan rokok lebih pada popularitas bagi laki-laki atau rokok sebagai sarana social para lelaki. Yang menarik ditunjukkan dengan persentase rendah adalah pesan rokok sebagai budaya Indonesia. Hasil ini ditemukan baik pada remaja laki-laki dan remaja perempuan. Remaja perempuan juga sedikit yang mempersepsikan bahwa pesan iklan rokok menunjukkan modernitas pada wanit. Tabel 2. Persepsi remaja terhadap iklan rokok Pria (%)* N=502 33,1 47,4 47,0 66,4 22,4 30,2 32,6 53,4 14,1 10,3 12,6 Wanita (%)* 30,6 44,5 36,4 59,9 16,9 29,2 26,6 38,2 18,4 9,0 7,9 Total (%)* 31,8 45,9 41,6 63,1 19,6 29,7 29,5 45,7 16,3 9,7 10,2

Merokok membuat pria lebih maskulin Merokok membuat pria dapat berbaur secara social dengan teman-temannya Merokok membantu mengisi waktu luang Merokok mengurangi stress Merokok meningkatkan focus dan konsentrasi Merokok meningkatkan kreativitas Merokok membuat pria lebih menarik Merokok membuat pria lebih dewasa Merokok membuat orang popular Merokok membuat wanita lebih modern Merokok sesuai dengan budaya Indonesia

177

Gambaran perilaku merokok siswa dapat dilihat pada diagram yang tersaji dibawah. Partisipandapat dikategorikan dalam tiga kategori, yaitu siswa yang tidak merokok 84 % (1817 siswa) kemudian siswa yang merokok hanya untuk coba-coba sebanyak 12% (258 siswa) dan siswa yang merokok secara teratur sekitar 4% (79 siswa) dari total siswa sebanyak 2154 siswa.
Pola Perilaku Merokok Sisw a eksperim nonsmoke reguler

79; 4%

258; 12%

1817; 84%

Gambar 1. Prevalensi merokok siswa SMA dan SMP di Yogyakarta

Berdasarkan tabel dibawah dapat dilihat bahwa ternyata iklan dan sponsor masih dapat mendorong remaja sekarang untuk merokok. Untuk siswa laki-laki yang masuk dalam kategori perokok teratur maka sekitar 43,8% menyatakan iklan dan sponsor mendorong untuk merokok sedangkan bagi perokok peerempuan menyatakan 66,7% ada kaitan antara iklan yang mendorong untuk merokok. Industri rokok dalam menjerat konsumen dikalangan remaja menggunakan berbagai macam cara salah satu caranya dengan pembagian rokok secara gratis . Sebanyak 52,1% siswa laki-laki yang merokok secara reguler menyatakan bahwa pernah menerima promosi rokok secara gratis sedangkan untuk perokok wanita yang menyatakan pernah menerima promosi rokok secara langsung sekar 33,3%.

178

Tabel 3.PaparanIklanRokokdan Status Merokok Jeniskelamin Status merokok Laki-laki (dalam %)* Perempuan (dalam %) Teratur CobaTidak Teratur Coba- Tidak (n=73) coba merokok (n=6) coba merokok (n=226) (n=392) (n=30) (n=854) 43.8 45.7 44.6 66.7 70.0 61.7

Iklandan sponsor rokokmendoronganak muda untukmerokok Memilikibarangpromo siperusahaanrokok Pernahmerokokkarenat erpengaruholehiklanat aupromosidariperusah aanrrokok Pernahmendapatkanro kok gratis olehperusahaanrokok

38.4 34.7

25.5 31.8

19.8 3.1

50.0 50.0

34.9 43.3

16.1 0.8

52.1

25.3

15.0

33.3

24.1

5.9

Selain rokok gratis industri rokok memberikan hadiah pada konsumennya yang berupa barang promosi atau souvenir dengan logo industry rokok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perokok wanita teratur memiliki lebih banyak barang promosi dari industri dibanding dengan non perokok dan perokok eksperimental.

D. Pembahasan Berdasar hasil yang telah dilaporkan diketahui bahwa persepsi terhadap pesan iklan terbanyak adalah remaja menganggap pesan rokok tergambarkan sebagai pereda tekanan atau stress. Pola ini terlihat baik pada remaja pria maupun wanita. Selanjutnya, remaja lakilaki lebih mempersepsikan bahwa iklan rokok mempunyai pesan bahwa produknya meningkatkan kedewasaan dan maturitas. Sementara perokok wanita memandang bahwa yang pesan rokok membuat para pria popular di antara teman-temannya. Persepsi terhadap pesan iklan ini dapat dipahami karena iklan luar ruang yang banyak terdapat di Yogyakarta sebagian menunjukkan gambaran menjadi laki-laki dan dalam usia yang matang. Selain itu iklan di beberapa tempat menunjukkan adanya pertemanan dan pergaulan, dan oleh remaja hal ini dipersepsikan bahwa rokok adalah sarana untuk popularitas. Bagi para remaja wanita, pesan iklan rokok kurang dipandang sebagai ajakan untuk menjadi wanita modern. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan masih sedikit wanita. iklan rokok yang menampilkan

179

Hasil yang menunjukkan bahwa remaja pria mempersepsikan pesan iklan rokok sebagai gambaran kedewasaan dan maturitas serupa dengan yang ditemukan Amerika pada remaja Afrika America. Penelitian dengan metode kualitatif menemukan bahwa remaja Afrika Amerika yang menyukai rokok merek tertentu mempersepsikan iklan rokok mengesankan bahwa merokok adalah symbol kenjantanan dan kedewasaan (Gittlesohn, McCormick, Allen, Grieser, Crawford & Davis, 1999). Penelitian ini juga menunjukkan adanya pola yang menunjukkan hubungan antara paparan iklan dengan perilaku rokok remaja. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian sebelumnya yang menunjukan bahwa remaja yang terpapar iklan rokok serta barang berlogo sebagai barang promosi mempunyai kecenderungan menjadi perokok reguler hamper tiga kali lipat dari pada remaja yang tidak terpapar iklan rokok (OR=2,70)(Biener & Siegel, 2000). Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa 46% remaja yang tidak merokok dalam perkembangannya menjadi perokok eksperimen ataupun perokok reguler dalam kurun waktu kurang lebih 5 tahun karena paparan iklan rokok yang terus menerus dan menyimpan barang promosi dari produsen rokok. Kepemilikan barang promosi dan adanya iklan ini dilaporkan dalam penelitian terdahulu di Yogyakarta (Prabandari & Supriyati, 2004).Dikatakan oleh subjek penelitian dalam FGD (focus group discussion) bahwa sponsor rokok tersebut sangat mempengaruhi pribadi remaja, terlebih sponsor rokok yang membagikan rokok secara gratis kepada pengunjung suatu kegiatan. Di satu sisi, remaja telah di pengaruhi oleh iklan rokok, di sisi lain remaja tersebut mendapatkan rokok secara gratis, sehingga remaja tersebut tertantang untuk mencoba merokok. Pembagian rokok secara gratis ini biasanya tidak hanya diberikan kepada orang dewasa, tetapi juga diberikan kepada anak-anak dan remaja. Hal tersebut sebenarnya sangat disayangkan oleh remaja. Penelitian tersebut juga melaporkan bahwa hubungan paparan iklan rokok dengan status merokok ditemukan bermakna pada remaja laki-laki, namun tidak demikian halnya pada remaja perempuan. Meskipun penelitian yang dilakukan ini tidak melakukan analisis hubungan dengan statistic, namun gambaran yang serupa dengan penelitian Prabandari & Supriyati (2004) ditemukan. Remaja pria kemungkinan mendapatkan paparan yang lebih banyak daripada remaja putri. Penelitian potong lintang ini membatasi pada analisis deskriptif dan tidak melakukan analisis lanjut. Hal tersebut merupakan kelemahan penelitian ini. Di samping

180

itu, status merokok yang ditetapkan disini diperoleh dari pengisian kuesioner dan tidak dilakukan pemeriksaan urin ataupun saliva.

E. Kesimpulan dan Saran Remaja mempersepsikan iklan rokok dengan hal-hal yang bersifat pergaulan dan kedewasaan sehingga membuat remaja semakin tertarik untuk mencoba merokok sesuai dengan gambaran iklan yang mereka lihat. Berdasarkan hal ini maka perlu adanya upaya pembatasan iklan secara umum baik dengan media cetak maupun elektronik. Pembatasan iklan ini dapat mengurangi paparan informasi tentang rokok bagi remaja. Selain pembatasan iklan pemerintah perlu melakukan pembatasan penjualan khususnya terhadap remaja yang masih berusia dibawah 18 tahun. Hal ini sesuai dengan kerangka kesepakatan internasional tentang pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control). Dikalangan remaja sendiri perlu diberikan pemahaman yang benar tentang bahaya rokok yang mengancam masa depan mereka, salah satu strateginya dengan membentuk pendidik sebaya (peer educator) dikalangan remaja. Adanya peer educator ini dapat memberikan pemahaman yang benar tentang bahaya merokok sehingga remaja yang belum merokok tidak jadi merokok (preventif) atau juga mambantu usaha berhenti merokok bagi remaja yang sudah terlanjur merokok (kuratif).

DAFTAR PUSTAKA Aditama, T. 2000a. Indonesia-Jakarta Global Youth Survey (GYTS). Jakarta Biener, L., &Siegel, M. 2000. Tobacco marketing and adolescent smoking: more support for a causal. American Journal of Public Health 90 (3): 407 Botvin, E., Botvin, G., Michela, J., Baker, E., Filazzola, A. 1991. Adolescent smoking behavior and the recognition of cigarette advertisements. Journal of Applied Social Psychology 21:919-932 Djutaharta, T., & Surya, HV. (2003). Research on Tobacco in Indonesia : An Annotated Bibiliography and Review on Tobacco Use, Health Effects, Economics, and Control Efforts. Washington, USA: The World Bank. Gilpin, E.A., White, MM., Messer, K., & Pierce, JP 2007 Receptivity to tobacco advertising and promotion among young adolescents as a predictor of established smoking in young adulthood. American Journal of Public Health 97(8): 1489-1495

181

Gittlesohn, J., McCormick, LK., Allen, P., Grieser, M., Crawford, M, & Davis, S. 1999 Inter-ethnic differences in youth tobacco language and cigarette brand preferences. Ethnicity & Health 4(4): 285-303 Murray, C., Lopez, A. 1997. Alternative projections of mortality and disability by cause 1990-2020: Global burden of disease study. Lancet 349:1498-1504 Nichter M, Padmawati RS, Prabandari YS, Ng N, Danardono M, Nichter M. 2008 Reading Culture from Tobacco Advertisements in Indonesia. Tob. Control 25(1): 1-23 Ogden, J. 1996. Health Psychology: A Text Book Buckingham, Philadelphia: Open University Peto, R. 1994. Smoking and death: the past 40 years and the next 40. British Medical Journal 309:937-939 Peto, R. 1994. Smoking and death: the past 40 years and the next 40. British Medical Journal 309:937-939 Prabandari, Y.S., Higginbotham, N. 2000. Exploring perceptions of smoking inoculation program to prevent the uptake of smoking among junior high school students: a qualitative approach, Bangkok, Thailand Prabandari, Y.S., & Supriyati. 2004 Paparan iklan rokok dan perilaku merokok remaja SMP dan SMA di Yogyakarta. Laporan Penelitian Dana Masyarakat. FK UGM Pucci, L., Siegel, M. 1999. Exposure to brand-specific cigarette advertising in magazines and its impact on youth smoking. Preventive Medicine 29:313-320 Roemer, R. 1993. Legislative Action to Combat the World Tobacco Epidemic WHO Sargent, J., Dalton, M., Beach, M., Bernhardt, A., Heatherton, T., & Stevens, M. (2000). Effects on cigarette promotions on smoking uptake among adolescents. Preventive Medicine, 30, 320-327 Smet, B., Maes, L., DeClereq, L., Haryanti, K., Winarno, R. 1999a. Determinants of smoking behaviour among adolescents in Semarang, Indonesia. Tobacco Control 8:186-191 Suhardi 1997. Perilaku merokok di Indonesia (Smoking behavior in Indonesia) National Household Survey Series Jakarta, Indonesia: Department of Health - Health Research and Development Bodies

182

STUDI PENGETAHUAN TENTANG HIV/AIDS DAN TINDAKAN YANG BERISIKO TERHADAP TERJADINYA INFEKSI HIV/AIDS PADA PELAJAR DAN MAHASISWA DI KOTA KUPANG TAHUN 2011 1 Wanti, 2Kusmiyati, 3Irfan, 4RH. Kristina 1,2,3 Poltekkes Kemenkes Kupang Abstract The HIV/AIDS cases from 1997 to May 2011 in NTT Province were 1405 and Kupang Municipality is the second higehst area with HIV/AIDS (19,2%). The highest case is founded in people between 26 to 35 years old and it is estimated that group infected or get the risk when 15-25 years old or when that group still in high school or university. This research aims are to describe the knowledge about HIV/AIDS and the risky attitude to HIV/AIDS infection among student in high school and university in Kupang Municipality. An observational descriptif was conducted in this research and the samples are 200 students in 5 high schools and 5 universities. Purposive sampling was used to get these samples. Quesioners was used for data collecttion in this research. To analized the data, Ms Word and Ms Excel were used. This research found all students (100%) already know about HIV/AIDS and its risk factors. Actually, there are many students have risky attitute of HIV/AIDS infection such as share non steril needle to make tatto (6.5%), shaving use non steril knife (7%), having sex (18%). Their partner sex is not just their girlfriend/boyfriend, but also friend and sex worker. Only 27,8% of them always used condom when they have sex with their partner. For this reason, the education and promotion of HIV/AIDS is need to be done by collaboration between the education departemen, health departemen and other stakeholder to prevent HIV/AIDS infection. Key Words: Knowledge, Attitude, HIV/AIDS, Student, High School, University 1. Pendahuluan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome

(HIV/AIDS) hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus HIV/AIDS di NTT dari tahun 1997 - Mei 2011 adalah 1405 kasus (Dinkes Propinsi NTT, 2011). Diantara kasus tersebut terjadi kematian sebanyak 347 orang. Kota Kupang memiliki kasus tertinggi kedua setelah Kabupaten Belu yaitu 270 kasus dengan 45 kematian (Dinkes Propinsi NTT, 2011). Trend kasus HIV/AIDS di NTT mulai dari tahun 1997 Mei 2011 meningkat cukup tajam, dari 1 pada tahun 1997 menjadi 1405 pada Mei 2011. Hal ini bisa saja terjadi karena semakin baiknya sistem pencatatan dan pelaporan serta sistem penemuan kasus di puskesmas ataupun rumah sakit, atau bisa saja terjadi karena kesadaran masyarakat dalam pencarian pengobatan dan konseling semakin meningkat. Selain karena hal-hal diatas, peningkatan kasus HIV/AIDS bisa saja terjadi karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS sehingga menyebabkan mereka mempunyai kebiasaan yang berisiko tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS.

183

Kasus HIV/AIDS di NTT tidak hanya terpusat pada kelompok tertentu saja tetapi hampir merata pada semua jenis pekerjaan dan semua kelompok umur. Sampai Mei 2011, HIV/AIDS di NTT sebagian besar menyerang ibu rumah tangga, pegawai swasta dan petani. Berdasarkan kelompok umur, HIV/AIDS di NTT juga menyerang di semua kelompok umur, mulai 0 sampai >55 tahun dan pada kelompok umur 26-35 tahun ditemukan kasus HIV/AIDS tertinggi (Dinkes Propinsi NTT, 2011), dimana diperkirakan kelompok tersebut terinfeksi HIV sekitar 5-10 tahun sebelumnya atau kira-kira saat berumur 15-25 tahun dimana usia itu merupakan usia dimana anak di bangku SLTA atau mahasiswa. Melihat sampai saat ini kasus HIV/AIDS lebih banyak pada kelompok usia produktif (26-35 tahun), dimana mereka ini diperkirakan terinfeksi pada saat remaja yaitu saat menduduki bangku SLTA dan PT maka perlu adanya suatu penyuluhan atau intervensi tentang HIV/AIDS pada remaja yang lebih intensif untuk mencegah adanya perilaku yang berisiko sehingga bisa mencegah juga terjadinya infeksi HIV/AIDS pada kelompok tersebut. Penyuluhan itu sendiri akan lebih efektif dan efisien kalau diketahui masalah sebenarnya yang ada diantara kelompok berisiko tersebut. Sampai sekarang belum banyak diteliti bagaimanakah tindakan para pelajar dan mahasiswa terkait dengan risiko infeksi HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimanakah pengetahuan tentang HIV/AIDS dan tindakan yang berisiko terhadap terjadinya infeksi HIV/AIDS pada pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang sebagai daerah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi kedua setelah Belu. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif. Data dikumpulkan dengan wawancara pada 100 pelajar dan 100 mahasiswa di 5 SLTA/SMK dan 5 Perguruan Tinggi/PT di Kota Kupang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli November 2011. Sampel diambil dengan purposive sampling dimana pemilihan sampel penelitian berdasarkan pertimbangan tertentu yaitu kesediaan dan kesiapan baik dari pihak sekolah/PT maupun pelajar dan mahasiswanya sebagai responden penelitian. Responden harus menandatangani informed consent sebagai tanda persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ini. Data yang terkumpul diedit, diolah dan disajikan dalam bentuk table dan grafik kemudian dianalisa secara deskriptif untuk menggambarkan pengetahuan dan tindakan berisiko pelajar dan mahasiswa terhadap terjadinya infeksi HIV/AIDS. 3. Hasil Penelitian A. Pengetahuan Pelajar dan Mahasiswa Tentang HIV/AIDS

184

Pada penelitian ini, semua responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS dengan sumber yang bervariasi, seperti ditunjukkan di Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi Tentang HIV/AIDS di Kota Kupang Tahun 2011
Variabel Jumlah Mendengar ttg HIV/AIDS (n = 200) Pernah mendengar 200 Tidak Pernah Mendengar 0 Sumber Informasi Ttg HIV/AIDS (n =231) TV/Radio 113 Koran/Majalah/Jurnal 73 c. sekolah, teman, gereja, dll 37 Persentase (%) 100,0 0.0 50,7 32,7 16,6

Pengetahuan responden tentang risiko HIV/AIDS bervariasi, dimana sebagian besar responden (93,5%) menjawab bahwa seks bebas tanpa kondom berisiko terhadap penularan HIV, seperti ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2. Pengetahuan Responden tentang Faktor Risiko Penularan HIV/AIDS di Kota Kupang Tahun 2011
Risiko Penularan HIV (n = 200) Seks bebas tanpa kondom Transfusi Darah Memakai jarum suntik yang tidak steril Ibu hamil terinfeksi HIV/AIDS kepada janinnya Memakai jarum untuk tato bergantian Donor darah Memakai jarum untuk tindik bergantian Memakai pisau cukur bergantian Digigit nyamuk Memakai sikat gigi bersama-sama Makan satu meja bersama penderita HIV/AIDS Memakai toilet bersama penderita HIV/AIDS Berjabatan dengan penderita HIV Berciuman pipi dengan penderita HIV/AIDS Bersentuhan dengan penderita HIV/AIDS Jumlah 187 156 148 141 133 115 107 77 60 47 16 14 10 9 8 Persentase (%) 93.5 78.0 74.0 70.5 66.5 57.5 53.5 38.5 30.0 23.5 8.0 7.0 5.0 4.5 4.0

Pada penelitian ini menemukan bahwa pengetahuan responden tentang cara pencegahan HIV yaitu dengan tidak berganti-ganti pasangan (90,5%), tidak melakukan transfusi darah yang tercemar HIV (76,5%), berhubungn seks memakai kondom (76%), menggunakan jarum suntik yang steril (73%), dan 6,5% responden masih berpendapat dengan tidak memakai toilet bersama-sama dengan penderita HIV, seperti ditunjukkan dalam Tabel 3.

185

Tabel 3. Pengetahuan Responden Tentang Cara Pencegahan HIV di Kota Kupang tahun 2011
Pencegahan HIV (n= 200) Tidak berganti-ganti pasangan Tidak melakukan transfusi darah yang tercemar HIV Berhubungan seks memakai kondom Menggunakan jarum yang steril Tidak memakai jarum tato bersama-sama Tidak memakai jarum tindik bersama-sama Ibu pengidap HIV tidak boleh hamil Tidak menggunakanalat cukur bersama-sama Tidak menggunakan sikat gigi bersama-sama Olahraga yang cukup Makan makanan bergizi Istirahat yang cukup Hindari gigitan nyamuk Tidak makan bersama dengan penderita HIV Tidak berpegangan tangan dengan penderita HIV Tidak berciuman dengan pengidap HIV Tidak bersentuhan dengan penderita HIV Tidak memakai toilet bersama dengan penderita HIV Jumlah 181 153 152 146 126 100 91 80 48 60 54 50 33 23 21 18 18 13 Persentase (%) 90.5 76.5 76.0 73,0 63.0 50.0 45.5 40.0 24.0 30.0 27.0 25.0 16.5 11.5 10.5 9.0 9.0 6.5

B. Tindakan Pelajar dan Mahasiswa Yang Berisiko Terhadap Terjadinya Infeksi HIV/AIDS Pada penelitian ini ditemukan ada beberapa responden yang melakukan tindakan berisiko terhadap terjadinya penularan HIV. Gambar 1 menunjukkan bahwa beberapa responden yang memiliki tindakan yang berisiko terhadap terjadinya infeksi HIV/AIDS seperti memakai alat cukur yang tidak steril dan memakai sikat gigi bergantian dengan orang lain dimana masing-masing adalah 19%, melakukan hubungan seksual (18%), sedangkan pemakaian jarum yang tidak steril untuk tindik dan tato juga ditemukan yaitu masing-masing 7% dan 5%.

Gambar 1. Perilaku Pelajar dan Mahasiswa Yang Berisiko Terhadap Terjadinya Penularan HIV Di Kota Kupang Tahun 2011

186

Gambar 2 menunjukkan perilaku seksual pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang, yaitu paling banyak adalah berpegangan tangan (60%), sedangkan perilaku yang dalam persentase sedikit yaitu meraba-raba alat kelamin (14%), masturbasi (15,5%) dan berhubungan seksual (18%).

Gambar 2. Perilaku Seksual Pelajar dan Mahasiswa di Kota Kupang Tahun 2011 Dari 131 responden laki-laki, 24 orang (18,3%) dan dari 69 perempuan ditemukan 12 orang (17,4%) sudah melakukan hubungan seksual. Seks yang pertama untuk laki-laki adalah umur 13 tahun, sedangkan pada perempuan 15 tahun.

Gambar 3. Usia Pelajar dan Mahasiswa Saat Berhubungan Seksual Pertama Kali di Kota Kupang Tahun 2011 Pasangan seks responden yang pertama adalah pacar (72,2%), tunangan (11,1%), teman (8,3%), suami (5,6%) dan PSK (2,8). Gambar 4 menunjukkan tempat mereka melakukan hubungan seks yang pertama bervariasi.

Gambar 4. Tempat Responden Saat Berhubungan Seks Pertama Kali di Kota Kupang Tahun 2011

187

Pada saat wawancara dilakukan ternyata 2 orang dari 36 yang pernah berhubungan seks sudah tidak pernah lagi melakukan hubungan seks dan sisanya masih melakukan hubungan seks dengan pasangannya yaitu pacar (73,5%), tunangan (11,8%), suami (5,9%), PSK (5,9%) dan teman (2,9%). Ditemukan juga dari 34 responden yang masih melakukan hubungan seks dalam satu tahun terakhir ternyata 7 orang (20,6%) mempunyai pasangan seks lebih dari 1 orang.

Gambar 5. Alasan Responden Tidak Memakai Kondom Saat Berhubungan Seksual di Kota Kupang Tahun 2011 Pemakaian kondom dari 36 responden yang pernah melakukan hubungan seks yaitu 10 orang (27,8%) selalu memakai kondom, 16 orang (44,4%) kadangkadang saja dan 10 orang (27,8%) tidak pernah memakai kondom. Responden yang selalu/kadang-kadang memakai kondom menjelaskan tujuan memakai kondom yaitu untuk mencegah kehamilan (44,2%), mencegah penularan penyakit kelamin (30,2%), dan mencegah penularan penyakit HIV/AIDS (25,6%). Alasan responden tidak pernah/jarang memakai kondom yaitu merasa tidak nyaman saat berhubungan seks (38,2%), susah mendapatkan kondom (8,8%), pasangan tidak mau (38,2%) dan persediaan habis (14,7%). C. PEMBAHASAN Pada penelitian ini 100% responden pernah mendengar tentang HIV/AIDS tetapi masih banyak yang belum tahu tentang faktor risiko penularan HIV dimana responden masih menganggap bahwa faktor risiko dari penularan HIV/AIDS yaitu melalui gigitan nyamuk, makan satu meja dengan penderita HIV/AIDS, memakai toilet bersama dengan penderita HIV/AIDS, berjabatan tangan dengan penderita HIV/AIDS, berciuman pipi dengan penderita HIV/AIDS dan bersentuhan dengan penderita. Padahal yang sebenarnya penularan HIV tidak mudah terjadi dari orang ke orang dan tidak bisa melalui kontak fisik biasa baik di tempat kerja maupun sekolah dan di

188

tempat umum, tidak bisa melalui makanan, minuman, alat makan dan minum bersama dengan penderita, tidak bisa melalui kontak intim biasa seperti berjabat tangan, bersentuhan, berpelukan dan berciuman pipi, serta tidak bisa melalui gigitan serangga, batuk, bersin, pemakaian kolam renang dan toilet bersama. Akibat pengetahuan yang salah tersebut membuat mereka menjadi ketakutan dengan penderita HIV/AIDS dan akan mengucilkan seseorang penderita HIV/AIDS. Kesalahan persepsi tersebut juga akhirnya akan membuat hak asasi pengidap HIV/AIDS dan keluarganya terampas karena baik pengidap HIV/AIDS maupun keluarganya yang sehatpun dilarang berakfitas secara normal, ditolak di sekolah, di dunia kerja maupun di masyarakat. Akibat persepsi yang salah dari masyarakat mengakibatkan juga banyak pengidap HIV dan keluarganya tidak mau berterus terang tentang keberadaan pengidap tersebut dan secara otomatis mereka tidak mau berobat juga karena ketidaksiapan mereka terhadap perlakuan masyarakat. Pengetahuan pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa penularan HIV/AIDS terjadi terutama melalui hubungan seks baik heteroseksual maupun homoseksual, penggunaan alat suntik/pisau cukur yang tidak steril secara bergantian dengan seorang pengidap HIV, ibu pengidap HIV ke bayi (melalui plasenta, selama persalinan atau ASI), transfusi darah atau pencangkokan organ tubuh dari donor pengidap HIV (KPAN, 2005; Nelson & Williams, 2009; Depkes RI, 2009). Virus HIV tidak bisa hidup dalam tubuh nyamuk dan saat menghisap darah manusia nyamuk tidak memasukkan darah ke tubuh manusia sehingga nyamuk tidak bisa menularkan HIV. Aktifitas bersama dengan pengidap HIV tidak bisa menularkan HIV kecuali saat kontak dengan penderita ada luka di tubuh orang tersebut maupun si penderita HIV sehingga memungkinkan darah atau cairan lain yang mengandung virus HIV bisa masuk. Lebih lanjut dikatakan bahwa virus HIV banyak ditemukan di darah, cairan sperma/semen, cairan vagina, cairan otak dan ASI sehingga cairan tersebut berpotensi dalam penularan HIV. Virus HIV kadang-kadang ditemukan di air liur, air mata, urin dan sekret bronkial tetapi sampai sekarang belum dilaporkan adanya penularan melalui sekret tersebut (KPAN, 2005). Pengetahun responden tentang pencegahan terjadinya penularan HIV/AIDS tidak semuanya benar. Hal ini terbukti masih ada responden yang menjawab salah tentang cara-cara pencegahan HIV, misalnya olahraga yang cukup, makan makanan

189

bergizi, istirahat yang cukup, hindari gigitan nyamuk, tidak makan bersama dengan penderita HIV, tidak berpegangan tangan dengan penderita HIV, tidak berciuman dengan pengidap HIV, tidak bersentuhan dengan penderita HIV dan tidak memakai toilet bersama dengan penderita HIV. Pendapat tersebut salah karena dengan melakukan itu semua tidak menghindari diri dari risiko tertular HIV/AIDS karena memang hal-hal tersebut bukanlah faktor risiko dari penularan HIV/AIDS. Menurut UNAIDS (2003) penggunaan kondom, sama sekali tidak berhubungan seks (Absteinance), monogami atau setia pada satu pasangan (be faitfull), penundaan hubungan seksual dan setia terhadap pasangan merupakan kunci pencegahan HIV/AIDS. Penelitian ini menemukan masih banyak responden yang mempunyai tindakan yang berisiko terhadap terjadinya infeksi HIV antara lain memakai alat pisau cukur yang tidak steril dan memakai sikat gigi bergantian dengan lain, dan memakai jarum/pisau yang tidak steril secara bergantian untuk tato/tindik telinga. Tindakan pemakain jarum yang tidak steril secara bergantian berisiko terhadap terjadinya penularan HIV karena apabila orang pertama yang memakai alat tersebut adalah penderita HIV maka bisa menginfeksi orang kedua yang sehat. Selain itu, penelitian ini juga menemukan sebanyak 18% responden sudah melakukan hubungan seks. Menurut Pangkahila (1997), masa pacaran sering disalahartikan menjadi masa belajar untuk melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis, mulai dari ciuman ringan, ciuman bibir, saling masturbasi, seks oral, bahkan sampai hubungan seksual (Nursal, 2008). Penelitian ini juga berusaha mencari tahu perilaku seksual pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang dan hasilnya ternyata perilaku seksual pelajar dan mahasiswa di Kota Kupang hampir 50% sudah terlalu jauh yaitu sudah melakukan ciuman bibir sampai melakukan hubungan seksual. Mereka yang sudah melakukan hubungan seksual adalah 18% yaitu 18,3% dari laki-laki dan 17,4% dari perempuan. Seks pertama kali untuk laki-laki adalah 13 tahun dan perempuan adalah 15 tahun. Presentase pelajar/mahasiswa yang sudah melakukan hubungan seks di Kota Kupang ini sama dengan penelitian di Menado dan Bitung yaitu laki-laki lebih tinggi dari perempuan, hal ini dikarenakan secara sosial laki-laki cenderung lebih bebas dibanding perempuan dan orang tua cenderung lebih protektif pada perempuan (Nursal,

190

2008). Selain itu, Roche menuliskan bahwa pria lebih permisif dalam perilaku seksual (Faturochman, 1992). Angka perilaku seks pada pelajar dan mahasiswa ini lebih tinggi dari hasil Survei Kesehatan Reproduksi Indonesia (SKRRI) tahun 2002-2003 dimana ditemukan hanya 5,1% remaja berusia 15-24 tahun yang sudah melakukan seks dengan presentase laki-laki juga lebih tinggi dari perempuan. Pada survei tersebut ditemukan persentase di kota lebih tinggi dibanding di desa, sedangkan pada penelitian ini hanya dilakukan di kota sehingga kemungkinan ini juga alasan mengapa persentase pelajar dan mahasiswa yang sudah berhubungan seks di Kota Kupang lebih tinggi dari penelitian lainnya karena hanya dilakukan di kota dimana biasanya perilaku berpacaran di kota lebih bebas dibanding di desa. UNAIDS mengatakan bahwa munculnya gejala AIDS dari pertama kali terinfeksi adalah 5-10 tahun atau lebih lama yaitu 10-15 tahun. Pada penelitian ini usia remaja berhubungan seksual yang pertama kali adalah umur 13-23 tahun. Jika pada saat itu dia langsung terinfeksi HIV maka kemungkinan munculnya gejala AIDS adalah usia 18-33 tahun dan usia itu termasuk usia terbanyak yang terinfeksi HIV/AIDS di NTT sehingga disini penyuluhan HIV/AIDS harus dilakukan sejak remaja menduduki bangku SLTP/SLTA. Dari 36 responden yang pernah berhubungan seks, hanya 2 orang (5,6%) yang termasuk seks yang aman karena pasangannya adalah suami mereka, sedangkan yang lain (94,4%) seks pranikah. Pasangan seks yang pertama mereka selain suami antara lain pacar (72,2), tunangan (11,1%), teman (8,3%), dan PSK (2,8%) dan kebanyakan mereka lakukan di kost (36,1%). Hubungan seks pranikah selain dilarang dalam norma sosial maupun agama juga dapat mengakibatkan penularan PMS termasuk HIV/AIDS, kehamilan di luar nikah dan aborsi tidak aman (Nursal, 2008). Secara psikologis seks pranikah juga akan berdampak negatif karena bagaimanapun orang tersebut akan dibayang-bayangi perasaan tidak nyaman, malu, bersalah, berdosa, takut, rendahnya harga diri, depresi dan bila sampai terjadi kehamilan pasti banyak penolakan yang akan dialami dari masyarakat maupun keluarga dan itu bisa membuat beban

mental/psikologis bagi orang tersebut (Conger, 1991; Nursal, 2008). Dari yang pernah berhubungan seks, hanya 34 orang yang masih berhubungans eks dalam 1 tahun terakhir, dimana 7 diantaranya memiliki 2 pasangan seks.

191

Responden yang pernah melakukan hubungan seks ini ternyata hanya 27,8% yang selalu memakai kondom. Tindakan mereka tidak memakai kondom tersebut berisiko terhadap penularan HIV terutama bagi mereka yang mempunyai pasangan lebih dari 1 atau berhubungan seks dengan PSK karena belum tentu pasangan seks mereka bebas HIV. Mereka yang hanya kadang-kadang atau tidak pernah memakai kondom memberikan alasan antara lain merasa tidak nyaman saat memakai, sulit mendapatkan kondom, persediaan habis dan pasangan seks tidak mau memakainya. Melihat rendahnya pemakaian kondom pada responden di Kota Kupang ini maka penting adanya program kondomisasi dalam artian setiap hubungan yang seks yang tidak aman dianjurkan memakai kondom. Kondom disini selain bisa berfungsi mencegah kehamilan juga bisa mencegah adanya penularan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS, mengingat diantara mereka ada yang berhubungan seks dengan PSK atau mempunyai 2 pasangan seks. Penelitian ini tidak mencari tahu alasan remaja melakukan seks pranikah tetapi menurut teori yang ada bahwa ada beberapa alasan: bukti cinta, dijanjikan akan menikah, rasa ingin tahu yang tinggi tentang seksualitas, takut mengecewakan pacar, takut diputuskan pacar serta kurangnya pengetahuan tentang seksualitas yang didapat (Sarwono, 2006). Pangkahila (1997) menjelaskan bahwa semakin meningkatnya perilaku seksual pada remaja dikarenakan pengawasan dan perhatian orang tua yang longgar, pola pergaulan bebas dan lingkungan permisif serta banyaknya hal-hal yang memberikan rangsangan seksual semakin mudah dijumpai. Prastana (2005) dan WHO menjelaskan bahwa dengan adanya berbagai interaksi antara orangtua dengan remaja maka bisa menunda bahkan mengurangi perilaku seksual remaja. Dijelaskan juga oleh Mesche (1998) bahwa pola pengawasan orangtua yang otoriter, konservatif dan memegang teguh tradisi serta dengan adanya hubungan akrab dengan orang tuanya akan menunda umur pertama remaja untuk melakukan hubungan seks. Sehingga disini perlu juga disarankan kepada orang tua agar bisa memberikan perhatian dan bimbingan kepada anaknya agar tidak terlibat jauh dalam pergaulan dan seks bebas. Pada penelitian ini masih banyak ditemukan responden kurang mengerti tentang HIV/AIDS dan masih banyak ditemukan tindakan berisiko terhadap terjadinya infeksi HIV/AIDS. Hal tersebut kemungkinan karena terbatasnya informasi yang diterima mereka dimana sebagian besar sumber informasi mereka adalah TV/Radio

192

dan koran/majalah/jurnal. Biasanya informasi dari media terbatas dan hanya hal-hal tertentu saja yang bisa disampaikan (Nursal, 2008), hal ini mengingat semakin lama dan semakin besar kolom yang dipakai untuk penyampaian informasi maka semakin besar biaya yang dibutuhkan. Sebagai akibatknya informasi yang mereka terima hanya setengah-setengah saja dan kondisi ini tidak hanya menimbulkan salah persepsi tetapi juga mendorong remaja untuk mencoba-coba (Surono, 1997). Jadi disini penting adanya pemberian informasi yang cukup tidak hanya setengah-setengah terutama kepada kelompok pelajar dan mahasiswa, dengan harapan mereka yang mendapatkan informasi yang cukup tentang HIV/AIDS akan lebih bersikap bijaksana untuk tidak melakukan tindakan yang berisiko, misal seks tidak aman, pemakaian jarum yang tidak steril secara bergantian dan tindakan lain yang berisiko. Untuk itu perlu adanya kerjasama dengan sektor terkait untuk meningkatkan efektifitas penyuluhan seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Gereja/Masjid, Dinas Sosial dan dinas terkait lainnya. Hal ini sesuai dengan pengalaman dari banyak negara bahwa dengan keikutsertaan semua sektor terkait sebagai bentuk dukungan dan bimbingan tingkat elite dan komitmen politik, maka akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dan kesuksesan program yang ada (KPA, 2007). 4. Kesimpulan Banyak pelajar SLTA dan mahasiswa di Kota Kupang yang mempunyai pengetahuan yang kurang tentang HIV/AIDS dan mempunyai perilaku berisiko terhadap terjadinya infeksi HIV/AIDS antara lain memakai jarum tatto tidak steril (6,5%) dan pisau cukur tidak steril (7%), serta melakukan hubungan seksual (18%). Seks tidak aman banyak dilakukan dengan pacar, teman dan PSK. Hanya 27,8% dari yang melakukan hubungan seksual selalu memakai kondom. 5. Saran Perlu adanya penyuluhan tentang faktor risiko dan cara pencegahan HIV/AIDS, tidak hanya dari media cetak dan elektronik tetapi juga perlu keterlibatan secara aktif dan langsung dari dinas kesehatan, dinas pendidikan, dinas sosial, tokoh agama dan pemuka masyarakat yang bertujuan memberikan pemahaman yang benar tentang

HIV/AIDS pada pelajar/mahasiswa. Disarankan juga perlu adanya penelitian tentang efektifitas program HIV/AIDS yang sudah dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun swasta dalam mencegah peningkatan kasus HIV/AIDS.

193

DAFTAR PUSTAKA ACP. 2004. ACP Special Report: HIV/AIDS Preventing Testing treating. Amerika. CDC. 2009. Oral Sex and HIV Risk. CDC HIV/AIDS Facts. www.cdc.gov/hiv. Depkes RI. 2007. Profile Kesehatan Indonesia 2006. Depkes RI. Jakarta. Dinas Kesehatan Propinsi NTT. 2009. Laporan HIV/AIDS dan IMS sampai dengan Desember 2009. Kupang. Unpublished document. Dinas Kesehatan Propinsi NTT. 2009. Profil Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Dinas Dinas Kesehatan Propinsi NTT. Dinas Kesehatan Propinsi NTT. 2010. Laporan HIV/AIDS sampai dengan April 2010. Kupang. Unpublished document. Fatturochman. 1992. Sikap dan Perilaku Seksual Remaja Bali. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada. 12-17. Hadi. M.H. 2006. Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja. Skripsi (Unpublished). Depok. Fakultas Psikologi Universitas Gunadharma. Kemenkes RI. 2010. Kinerja Satu Tahun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009 2010. Jakarta. Kemenkes RI. Kemenkes RI. 2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia s/d Juni 2011. Jakarta. Ditjen PP & PL Kemenkes RI. KPAN. 2005. HIV/AIDS Sekilas Pandang. Jakarta. Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. Nursal, D.G.A. (2008). Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Maret: II (2). Princeton, Douglas C. 2003. Current Clinical Strategies. California. The Current Clinical Strategies Publishing Internet Site: www.ccspublishing.com/ccs. Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan permasalahannya. Yogyakarta. Sagung Seto. Suhud & Sanusi. 2004. HIV/AIDS Prevention Strategies And Community Empowerment. Kupang. YTB & Program PPSW. UNAIDS, UNICEF, & WHO. 2011. Global HIV/AIDS Response: Epidemic Update and Health Sector Progress Towards Universal Acces. UNAIDS. 2003. Mari Bergabung Menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia.

194

PENYEDIAAN PELAYANAN KESEHATAN SEKSUAL DAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI PUSKESMAS: TANTANGAN DAN ISU Augustina Situmorang, Yuly Astuti, Sari Seftiani
tinabaik2002@yahoo.com; aku.yuly@gmail.com; sarie_save@yahoo.com Pusat Penelitian Kependudukan-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI)

ABSTRAK Pertemuan International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo, menyepakati bahwa hak reproduksi adalah bagian dari Hak Asasi Manusi (HAM). Oleh karena itu pemerintah berkewajiban menyediakan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dan non diskriminatif kepada setiap individu, termasuk remaja. Sejalan dengan kesepatan tersebut, pada tahun 2001, Kementerian Kesehatan mengembangkan program pelayanan kesehatan reproduksi esensial yang terpadu di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas), termasuk di dalamnya Kesehatan Reproduksi Peduli Remaja (PKPR). Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, studi ini bertujuan untuk mengkaji pelaksanaan pelayanan PKPR di Puskesmas. Studi ini dilaksanakan dengan bekerja sama dengan UNFPA dan Kementrian Kesehatan pada tahun 2007 di 16 Puskesmas yang tersebar di empat kabupaten/kota, yaitu: Kota Pontianak dan Kabupaten Landak, Kabupaten Ogan Komering Ilir, serta Kabupaten Tasikmalaya. Studi ini menunjukkan bahwa program PKPR belum sepenuhnya dapat dilaksanakan di Puskesmas. Hanya sebagian kecil Puskesmas yang telah mempunyai program PKPR. Pelaksanaan PKPR di tingkat Puskesmas mengalami beberapa kendala, antara lain terkait dengan a. Keterbatasan Pemahaman Tenaga Kesehatan di Puskesmas b. Hambatan legal dan kebijakan dan c. Hambatan terkait sosial budaya. Ketiga hambatan tersebut berakibat pada enggannya sebagian petugas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi yang komprehensif terhadap remaja, khususnya remaja yang belum menikah. Mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja yang telah melakukan aktifitas seksual yang beresiko, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, khususnya di tingkat pelayanan dasar. Untuk itu perlu dilakukan konsensus mengenai hak remaja untuk mendapat informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif dengan memperhatikan norma agama dan budaya, namun juga memperhatikan kondisi remaja pada masa sekarang. Kata kunci: kesehatan reproduksi, remaja, kesehatan seksual, PKRE, Puskesmas

A. Latar Belakang Dalam pertemuan International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Cairo, telah disepakati bahwa hak reproduksi adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban menjamin pemenuhan HAM dan perlindungan warga dari perilaku yang melanggar HAM. Perlindungan ini terutama bagi perempuan dan remaja untuk mendapat informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas dan non- diskriminatif. Sebaliknya, individu mempunyai kewajiban untuk menuntut informasi dan pelayanan yang komprehensif sehingga dapat

195

mempelajari dan melindungi dirinya sendiri dari akibat-akibat yang tidak diinginkan, termasuk kematian ibu dan anak. Hasil kesepakatan Cairo juga merekomendasikan bahwa penyediaan pelayanan kesehatan reproduksi yang komprehensif harus diberikan melalui pelayanan yang terpadu dan diberikan pada tingkat pelayanan kesehatan dasar. Kesepakatan ini kemudian ditegaskan ulang dalam pertemuan para petinggi dunia tahun 2008 dengan memasukkan akses universal terhadap kesehatan reproduksi dalam Millenium Development Goals (MDGs) dan harus diwujudkan selambat-lambatnya pada tahun 2015. Sejalan dengan hasil konsensus di Cairo, pada tahun 2001, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan mengembangkan program pelayanan kesehatan esensial dengan memperkenalkan pelayanan kesehatan reproduksi yang terpadu di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas). Pelayanan tersebut meliputi empat komponen Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), yaitu (1) Kesehatan ibu dan bayi baru lahir, (2) Keluarga Berencana, (3) Kesehatan reproduksi remaja serta (4) Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS. Di dalam Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi secara eksplisit dinyatakan bahwa PKRE terpadu harus dilaksanakan di semua Puskesmas (Depkes RI, 2007). Terlepas dari kesepakatan internasional yang kemudian ditindaklanjuti dengan kebijakan nasional, penyediaan pelayanan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi terhadap remaja di Indonesia masih belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini antara lain karena isu terkait pelayanan kesehatan seksual dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja masih kontroversial. Berbagai kalangan termasuk petugas kesehatan masih belum dapat sepenuhnya bersetuju bahwa penyediaan informasi dan pelayanan seksual dan kesehatan reproduksi merupakan hak warga negara tanpa memandang status perkawinan, umur maupun jenis kelamin. Studi ini bertujuan mengkaji pelaksanaan pelayanan kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi terhadap remaja di Puskesmas.

B. Metodologi Informasi yang disajikan dalam kajian ini diperoleh berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (PPK-LIPI) antara lain studi Pelaksanaan PKRE Terpadu di Puskesmas. Studi ini dilaksanakan dengan bekerja sama dengan UNFPA dan Kementrian Kesehatan pada tahun 2007 di 16 Puskesmas yang tersebar di empat kabupaten/kota, yaitu: Kota Pontianak dan Kabupaten Landak (Provinsi

196

Kalimantan Barat), Kabupaten Ogan Komering Ilir (Provinsi Sumatera Selatan) serta Kabupaten Tasikmalaya (Provinsi Jawa Barat). Selain itu, informasi juga diperoleh dari rangkaian penelitian yang dilakukan oleh PPK-LIPI pada kurun waktu 2006-2009 dengan tema Kondisi Kesehatan Reproduksi di wilayah perbatasan dengan studi kasus di Kota Batam dan Kabupaten Sanggau. Kedua studi tersebut menggunakan kombinasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara terbuka, diskusi kelompok terfokus (FGD), observasi dan exit interview. Sementara itu, pengumpulan data kuantitatif diperoleh melalui penelusuran data sekunder, termasuk data yang dikeluarkan Dinkes, Puskesmas, lembaga pengelola KB di daerah, BPS dan Bappeda Kabupaten/Kota.

C. Temuan/Hasil Remaja pada masa sekarang berhadapan dengan tuntutan, harapan sekaligus risiko dan godaan yang lebih besar dan lebih kompleks dari yang dialami oleh remaja generasi sebelumnya. Selain meningkatnya jumlah penduduk usia remaja (10-24 tahun), banyak studi menunjukkan bahwa remaja pada masa kini mempunyai mobilitas yang lebih tinggi, sekolah lebih lama, lebih cepat mendapat menstruasi, lebih lama kawin dan cenderung melakukan aktifitas seksual sebelum menikah (Bongaarts and Cohen, 1998; Caldwell et al.,1998; Singh, 1998; Zabin and Kiragu, 1998; Situmorang, 2003). Perubahan-perubahan penting ini, bersamaan dengan urbanisasi dan kemajuan teknologi informasi secara global, telah menjadikan remaja semakin terpapar terhadap risiko yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Beberapa studi di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah remaja yang telah melakukan aktifitas seksual berisiko semakin meningkat. Hal ini antara lain dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2008, menunjukkan bahwa 62,7 persen siswa SMP dan SMA di 17 kota besar di Indonesia sudah pernah melakukan hubungan seks. Pada umumnya remaja yang melakukan sek pra nikah tidak menggunakan alat pelindung. Studi yang dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada tahun 2006 menunjukkan bahwa sebagian besar remaja (60 persen) yang pernah melakukan hubungan seks tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi termasuk kondom. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila temuan studi yang dilakukan oleh Australian National University (ANU) dan Universitas

197

Indonesia (UI) menunjukkan bahwa 38,7 persen remaja usia 17-24 tahun hamil di luar nikah. Beberapa studi juga menginformasikan bahwa tindakan pertama yang dilakukan remaja bila hamil di luar nikah adalah melakukan aborsi dengan berbagai cara, antara lain dengan meminum jamu atau ramuan lainnya maupun tindakan seperti menekan atau melakukan pijatan di perut yang dapat merusak organ reproduksi. Berhubungan seks yang tidak aman juga menyebabkan banyak remaja yang terinfeksi penyakit menular seksual termasuk HIV dan AIDS. Data yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sampai bulan Juni tahun 2012, 41,5 persen kasus AIDS dijumpai pada mereka yang berumur 20-29 tahun, hal ini berarti kemungkinan awal terjadinya infeksi HIV adalah antara usia 15 dan 24 tahun. Pelaksanaan Pelayanan Seksual dan Kesehatan Reproduksi Remaja di Puskesmas: Tantangan dan isu Kebijakan nasional memberikan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja di tingkat Puskesmas pada dasarnya sudah dimulai pada awal tahun 2000, dengan diperkenalkannya Program PKRE Terpadu di tingkat pelayanan dasar, termasuk didalamnya komponen Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Kebijakan ini kemudian diperkuat dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada bagian enam pasal 71-73 UU tersebut terkait Kesehatan Reproduksi, diamanatkan bahwa kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan (pasal 72). Oleh sebab itu, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana (pasal 73). Namun, tampaknya kedua kebijakan tersebut belum sepenuhnya dapat dilaksanakan di Puskesmas. Hanya sebagian kecil Puskesmas yang telah mempunyai Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Puskesmas yang mempunyai PKPR umumnya adalah puskesmas yang menjadi binaan (pilot project) UNFPA dan Kementerian Kesehatan terkait Program PKRE Terpadu di Puskesmas. Ada beberapa kendala yang ditemukan, antara lain: a. Keterbatasan pemahaman tenaga kesehatan di Puskesmas Pemahaman tenaga kesehatan terkait pelayanan terhadap remaja masih terbatas. Pelayanan untuk remaja masih cenderung dilaksanakan dengan penyuluhan ke sekolahsekolah melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) maupun Palang Merah

198

Remaja (PMR). Hanya sebagian kecil puskesmas yang telah melakukan screening dan konseling untuk remaja tentang kesehatan reproduksi. Beberapa petugas kesehatan pada dasarnya sudah ada yang dilibatkan dalam pelatihan PKPR, namun karena belum ada program khusus untuk kesehatan reproduksi remaja di Puskesmas yang bersangkutan, permasalahan kesehatan reproduksi remaja juga belum dapat diatasi. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan petugas kesehatan di Puskesmas, sebagian petugas kesehatan termasuk dokter masih enggan memberikan alat kontrasepsi, termasuk kondom kepada remaja yang belum menikah. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa secara pribadi mereka tidak setuju memberikan kondom atau alat kontrasepsi kepada pasien yang belum menikah. Alasan lain yang juga sering dikemukakan adalah adanya kekhawatiran bahwa hal tersebut akan dipermasalahkan oleh masyarakat dan dihadapkan pada undang-undang yang mengatakan alat kontrasepsi hanya untuk pasangan usia subur. b. Hambatan piranti legal dan kebijakan Berbeda dengan Undang-Undang kesehatan, undang-undang kependudukan di Indonesia membatasi pemberian alat kontrasepsi kepada individu yang belum menikah. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang kependudukan mengatakan bahwa pelayanan keluarga berencana termasuk pemberian kontrasepsi hanya diperuntukkan untuk pasangan usia subur. Undang-undang yang merupakan revisi dari UU Nomor 10 Tahun 1992 tersebut sering digunakan oleh petugas kesehatan sebagai pedoman untuk tidak memberikan alat kontrasepsi kepada remaja yang belum menikah meskipun telah pernah terinfeksi penyakit seksual menular. c. Hambatan terkait sosial budaya Beberapa petugas kesehatan enggan memberikan informasi dan pelayanan kesehatan yang menyeluruh kepada remaja karena kuatir akan mendapat keluhan dari masyarakat. Banyak tokoh masyrakat, khususnya dikalangan pemuka agama dan anggota legislatif yang berpendapat bahwa memberikan informasi dan pelayanan terkait hubungan seks yang aman akan mendorong remaja untuk melakukan seks pra-nikah.

Adanya kendala tersebut mengakibatkan sebagian besar Puskesmas di daerah penelitian belum mempunyai progam PKPR yang memadai. Di antara Puskesmas yang

199

mempunyai program PKPR, hanya sebagian kecil yang sudah mempunyai petugas yang telah mendapatkan pelatihan PKPR dan mempunyai ruang khusus untuk konseling remaja.

D. Diskusi dan Penutup Dalam kurun waktu tahun 2000 sampai sekarang, kebijakan dan program terkait kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi remaja sudah banyak dilakukan. Namun, pelaksanaan kebijakan dan program tersebut tampaknya masih setengah hati. Hal ini antara lain karena isu terkait kesehatan seksual dan reproduksi remaja masih kontroversial, baik di tingkat nasional maupun daerah. Sebagian pembuat kebijakan masih beranggapan bahwa seks adalah masalah pribadi yang tidak perlu dibicarakan di ruang publik. Masalah yang terkait dengan perilaku seksual remaja diserahkan kepada keluarga sepenuhnya. Hal ini tentu saja tidak dapat menyelesaikan masalah, mengingat sebagian besar orang tua di Indonesia enggan atau malu berbicara mengenai seks dengan anaknya. Sebagian masyarakat bahkan menganggap tabu bagi orang tua untuk membahas seks dengan anaknya yang belum menikah. Selain itu, tidak sedikit orang tua yang juga mempunyai pemahaman yang terbatas mengenai seks. Banyak orang tua yang beranggapan bahwa remaja sudah mendapatkan informasi mengenai kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi dari sekolah. Namun, sampai sekarang materi tentang kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi belum dimasukkan dalam kurikulum nasional. Hanya sebagian kecil wilayah yang sudah memulai memasukkan kesehatan reproduksi sebagai muatan lokal, meskipun masih terkendala dalam penyediaan guru yang dapat menyampaikan isu tersebut secara komprehensif. Kebijakan dan Program yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan sebagian remaja pada masa kini, khususnya mereka yang sudah aktif secara seksual. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif, khususnya di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas) untuk menangani permasalahan ini. Namun, agar hal tersebut bisa terlaksana, perlu dilakukan suatu konsensus mengenai hak remaja untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi dengan memperhatikan norma agama dan budaya, namun juga tidak mengabaikan kondisi remaja pada masa sekarang. Hal ini harus dilakukan para pembuat kebijakan ditingkat nasional. Argumen yang mengatakan bahwa penyedian informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi terhadap remaja akan mendorong remaja melakukan hubungan seks pra nikah adalah kontraproduktif. Sebagai akibat semakin banyak remaja yang melakukan hubungan seks di luar nikah tanpa

200

mempunyai pengetahuan dan akses yang memadai bagaimana melindungi diri dari risiko yang tidak diinginkan. Bila hal ini terus dibiarkan maka semakin banyak remaja Indonesia yang mempunyai masalah kesehatan reproduksi, baik secara fisik, mental maupun sosial.

DAFTAR PUSTAKA
CALDWELL, J. C., CALDWELL, P., CALDWELL, B. K. & PIERIS, I. 1998. The Construction of Adolescent in A Changing World: Implication for Sexuality, Reproduction and Marriage. Studies in Family Planning, 29 (2), 137-153. SINGH, S. 1998. Adolescent Childbearing in Developing Countries: A Global Review. Studies in Family Planning, 29 (2), 117-136. SITUMORANG, A. 2003. Chastity and Curiosity: Attitudes and Behavior of Young People in Medan Regarding Virginity and Premarital Sex. Journal of Population, 9 (2), 27-54. SITUMORANG, A., PURWANINGSIH, S. S., WIDAYATUN & FATONI, Z. 2009. The phenomenon of Sexually Transmitted Diseases Including HIV/AIDS in Batam City: Policy Alternative and Prevention Programs Jakarta: PPK LIPI. SITUMORANG, A., PURWANINGSIH, S. S., WIDAYATUN, FATONI, Z. & ASTUTI, Y. 2007. The phenomenon of Sexually Transmitted Diseases Including HIV/AIDS in Border Areas: Case Study in Batam City and Sanggau District. Jakarta: PPK LIPI. SITUMORANG, A., PURWANINGSIH, S. S., WIDAYATUN, FATONI, Z. & ASTUTI, Y. 2008. Implementation of Integrated Essential Reproductive Health Services in the Primary Health Care. Jakarta: PPK LIPI and UNFPA. ZABIN, L. S. & KIRAGU, K. 1998. The Health Consequences of Adolescent Sexual and Fertility Behavior in Sub-Sahara Africa. Studies in Family Planning, 29 (2), 210-232.

201

JAMKESMAS/JAMKESDA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK NYATA KEPEDULIAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP ODHA DI TANAH PAPUA Agus Dwi Setiawan, S.Sos, MKM Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia ABSTRAK Pendahuluan Jamkesmas/jamkesda adalah program pembiayaan kesehatan bagi masyarakat di seluruh tanah Papua secara gratis yang bisa digunakan ke fasilitas kesehatan pemerintah seperti puskesmas (PKM) ataupun RS pemerintah. Program jamkesmas/jamkesda digulirkan oleh Gubernur Papua sejak bulan Januari tahun 2009 dan mulai berlaku untuk seluruh wilayah di tanah Papua tidak terkecuali ODHA. Dalam implementasi program jamkesmas/ jamkesda perlu dilakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaannya, khususnya terkait akses terhadap pelayanan pengobatan dan perawatan di PKM/RS pemerintah bagi ODHA. Metode Penilaian terhadap akses layanan, pengobatan dan perawatan ODHA di RS dan PKM dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode observasi, wawancara mendalam dan focus froup discussion (FGD). Wawancara mendalam dilakukan kepada seluruh manager kasus yang ada di RS dan PKM di kota Jayapura, kabupaten Jayapura, dan kabupaten Wamena. Selain itu wawancara mendalam juga dilakukan pada 18 orang ODHA yang tersebar di ketiga kabupaten tersebut. Metode observasi dan FGD lebih banyak dilakukan pada pelayanan petugas kesehatan di setiap RS dan PKM. Hasil Hampir sebagian besar ODHA di tanah Papua sudah tercover jamkesmas/ jamkesda. Bahkan untuk ODHA yang asli orang Papua, secara otomatis akan tercover jamkesda. Sedangkan untuk masyarakat pendatang bisa juga mendapatkan layanan jamkesmas dengan mengurus kartu jamkesmas di RS pemerintah setempat. Keberadaan MK di LSM, PKM dan RS sangat dibutuhkan bagi ODHA dalam pemberian akses pelayanan, pengobatan dan perawatan di tanah Papua. Melalui seorang MK, informasi yang benar tentang HIV/AIDS mulai bisa dipahami oleh ODHA dan berbagai kalangan termasuk keluarga ODHA sehingga sedikit demi sedikit bisa mengurangi stigma terhadap ODHA di tanah Papua. Namun demikian kendala utama yang dihadapi MK adalah adanya keterbatasan dana operasional, khususnya bagi mereka yang berada di kabupaten Jayapura dan Wamena. Hal ini terkait dengan biaya transportasi apabila ada ODHA yang dirujuk dan harus dirawat di RS di kota Jayapura, demikian juga dengan transportasi untuk pengambilan ARV ke kota Jayapura. Semua beban biaya tersebut tidak mungkin dibebankan pada ODHA karena pada umumnya mereka adalah golongan ekonomi kurang mampu, sedangkan jamkesmas/ jamkesda tidak mengalokasikan dana tersebut. Khusus untuk beberapa LSM di kabupaten Wamena, beban financial yang mereka hadapi cenderung lebih besar dibanding dengan di kota atau kabupaten Jayapura. Pada umumnya beberapa ODHA di kabupaten Wamena berasal dari beberapa kabupaten wilayah pegunungan Jaya Wijaya untuk mencari pengobatan dan perawatan di RSUD Wamena.

202

Sebagian pasien yang dirasa sudah tidak bisa ditangani di RSUD Wamena akan dirujuk ke RS di kota Jayapura. Selama dalam masa pengobatan dan perawatan inilah mereka biasanya tinggal di rumah singgah secara gratis dan mendapat dukungan berupa bahan makanan ataupun perawatan dari LSM/institusi terkait. Banyaknya pasien yang tinggal dalam waktu yang cukup lama di rumah singgah selama masa pengobatan dan perawatan, menjadi satu beban yang cukup memberatkan bagi setiap institusi/LSM bersangkutan. Tidak sedikit ODHA yang sulit untuk memperoleh perhatian, dukungan dan perawatan atau yang lebih sering dikenal dengan istilah care support & treatment (CST) karena alasan prosedural tertentu, misalnya pengambilan ARV di RS harus dilakukan sendiri oleh ODHA dan tidak boleh diwakilkan karena alasan registrasi pasien. Bentuk kendala lain adalah masih ditemukan adanya bentuk bantuan terhadap ODHA dari LSM yang sifatnya tidak gratis tetapi dengan system pinjaman dengan bunga 0.5% per bulan yang tentunya sangat memberatkan bagi ODHA. Kesimpulan dan Saran Jamkesmas/ jamkesda sangat membantu ODHA di tanah Papua untuk memperoleh CST di RS pemerintah ataupun PKM. Peran dan dukungan psikologis dari MK sangat memberikan motivasi bagi ODHA sehingga mereka mempunyai tekad untuk tetap berjuang dan bertahan hidup. Prosedur pengambilan ARV yang tidak seragam, dan RS rujukan yang hanya terpusat di kota Jayapura menjadi salah satu kendala bagi ODHA di kabupaten Jayapura ataupun Wamena untuk mendapatkan layanan lebih lanjut. Suatu potensi yang bisa dikembangkan adalah dengan memaksimalkan peran MK dalam melakukan dampingan bagi ODHA yang tentunya harus diperhatikan ketersediaan sarana dan prasarananya oleh Pemda setempat. Penataan kembali SOP pengambilan ARV dan layanan CST sehingga bisa lebih efektif dan efisien bagi semua pihak. Dan perlu adanya perhatian khusus terhadap pengembangan RS rujukan di tempat lain selain kota Jayapura, khususnya di kabupaten Wamena.

203

ANALISIS SITUASI PEREDARAN GANJA DI INDONESIA, 2008-2011 Purwa Kurnia Sucahya Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia ABSTRAK Pendahuluan Jumlah penyalahguna narkoba diperkirakan sekitar 3.7 juta sampai 4.7 juta orang di Indonesia (BNN & PPKUI, 2011) atau sekitar 2.2% dari total penduduk yang berumur 1059 tahun. Dari seluruh penyalahguna tersebut, ganja merupakan jenis narkoba yang paling banyak dipakai atau sekitar 2,7 juta sampai 2,8 juta orang. Tujuan Memberikan gambaran situasi peredaran dan penyalahgunaan ganja di Indonesia, 20082011 Metode Literatur review, re-analisis data survei penyalahgunaan narkoba yang dilaksanakan oleh BNN & PPKUI, data laporan pihak kepolisian & BNN, serta wawancara mendalam ke berbagai pihak, seperti pengguna, kepolisian, BNNP di Aceh, Sumatera Utara, dan Bali. Hasil Ganja cenderung mengalami penurunan dalam 3 tahun terakhir. Saat ini jumlah pengguna ganja diperkirakan sekitar 65% dari total populasi penyalahguna narkoba. Kebanyakan dari mereka terkonsentrasi di pulau Jawa, terutama di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Ladang ganja telah ditemukan di 4 provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan (2010), dan Lampung (2011) dalam empat tahun terakhir. Padahal sebelumnya hanya ada 2 provinsi yang menjadi basis penanaman ganja yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Jumlah luas ladang yang disita dan jumlah pohon yang disita per hektar menunjukkan pola penurunan dalam 3 tahun terakhir. Provinsi Aceh masih merupakan basis penyitaan ladang ganja terbesar mencapai 95%-98% dari total luas ladang yang disita tahun 2008-2011. Demikian pula, jumlah kasus dan tersangka ganja yang berhasil diungkap pihak kepolisian cenderung mengalami penurunan dalam 4 tahun terakhir tetapi tidak untuk berat ganja yang dibawa per tersangka. Menurut beberapa informan, penurunan jumlah kasus dan tersangka ganja dipicu oleh maraknya perdagangan shabu dan ekstasi. Kesimpulan dan Saran Walaupun peredaran ganja cenderung mengalami penurunan tetapi masih yang paling favorit diantara jenis narkoba lainnya. Basis produksi ganja ada di provinsi Aceh dan Sumatera Utara, dengan memperketat pengawasan dan memperkuat sistem pemantauan jalur keluar-masuk di perbatasan provinsi tersebut diharapkan mampu menekan peredaran ganja ke provinsi lainnya.

204

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN HIV/AIDS OLEH PEKERJA SEKS KOMERSIL DI PANTI SOSIAL KARYA WANITA ANDAM DEWI SUKARAMI KABUPATEN SOLOK Masrizal * ABSTRAK Data jumlah komulatif kasus AIDS berdasarkan Propinsi tanggal 31 Maret 2008, Sumatera Barat menduduki peringkat ke 10 dari 33 Propinsi di Indonesia. 34 kasus AIDS di Sumatera Barat dengan faktor risiko di antaranya hubungan heteroseksual, homoseksual, IDU (Injecting Drugs User), transfusi darah dan transmisi perinatal. Pekerja seks komersial merupakan kelompok berperilaku risiko tinggi tertular HIV. Survei awal yang dilakukan peneliti terhadap 5 orang PSK didapatkan informasi bahwa 3 orang dari 5 orang PSK tidak ada yang menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS oleh Pekerja Seks Komersial di Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi Sukarami Kabupaten Solok tahun 2009. Desain penelitian ini adalah cross sectional study, data menggunakan data primer yaitu bertanya langsung ke responden dan data sekunder merupakan data pendukung meliputi gambaran umum mengenai kegiatan PSK dan informasi yang di dapatkan dari petugas di Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi Sukarami Kabupaten Solok yang dilaksanakan dari bulan Januari-Juni 2009. Populasi penelitian adalah seluruh PSK dengan jumlah 43 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket. Data diolah dengan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian diperoleh sebagian besar PSK memiliki pendidikan rendah (86%) dan 69.8% PSK memiliki pengetahuan tinggi, 53.5% sikap positif dan lingkungan yang berpengaruh terhadap tindakan pencegahan HIV/AIDS (90.7%), Hasil analisis bivariat ada hubungan antara pengetahuan dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS dan tidak ada hubungan antara pendidikan, sikap dan lingkungan dengan tindakan pencegahan HIV/AIDS. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh responden (55.8%) melakukan tindakan pencegahan yang kurang terhadap HIV/AIDS di Panti Sosial Karya Wanita Andam dewi Sukarami Kabupaten Solok tahun 2009. Agar tindakan pencegahan HIV/AIDS oleh PSK baik sesuai yang diharapkan maka diharapkan pada petugas kesehatan untuk lebih mensosialisasikan bagaimana tindakan pencegahan HIV/AIDS dan memberi motivasi pada PSK untuk melakukan upaya pencegahan terhadap HIV/AIDS dan diharapkan adanya penelitian lain yang berhubungan dengan faktor tindakan pencegahan terhadap HIV/AIDS oleh PSK, seperti peran Nakes dan Pemerintah. Kata Kunci : HIV/AIDS, seks, PSK FKM Universitas Andalas Padang Email masrizal_khaidir@yahoo.com

205

MANAGEMENT OF HIV REACTIVE BLOOD DONORS IN TRANSFUSION UNIT IN INDONESIA. THE ROLE IN HIV PREVENTION IN INDONESIA. HANDYCAPS, OPPROTUNITIES AND LESSON LEARN FROM SEMARANG. A NEED TO SCALE UP PROJECT TO INDONESIAN HIV REACTIVE MANAGEMENT Budi Laksono*, Donald Stewart**, Suharyo***. *Student of PHD Program MedicalScience UNDIP/stf dinkesprov jateng. **Proffesor supervisor, ***promoter research ABSTRACT Background. In Indonesia, AIDS is important challenges since the new cases increase sharply when the increase in others countries going down. Finding early new cases is important to themselves and also for community. Early detection gains the early health access, spread prevention and healthier behavior change. In Indonesia, 15.000-20.000 blood donor each year screened HIV reactive. However, there are not management HIV in donor blood unit to keep the donor understands their status and keep them in good management to maintain their health and prevent the risk of spreading the diseases. It is ironic because almost all countries in the world set the health services to reactive blood donors. The reason that speech by officers in transfusion unit is cause by the letter of agreement of 3 minister (Health, Menkokesra and Red Cross) indicate that the transfusion, that in Indonesia conducted majority by Red cross are screened for the blood only not screened for the person. Unlink anonymous system used in this case. The aims of the agreement are to protect the donor to the discrimination. However, the letter impact to the ignoring the donor to know their status and healthier behavior and access change. Methods. Based on the condition, Red Cross Semarang initiate to make pilot project to inform the status to the reactive donor to involve in voluntary counseling and testing (VCT). The services conducted since 2006 and formal integrated services begun since in 2010. Result. From January 2010 September 2012, 256 reactive donor invited to come to Red Cross, however, 78 person who response to come and follow the counseling. 75 person who regret from program and did not take the post test counseling. 16 (20,5%) of them are true positive HIV. The services indicate that all previous frightened are false. To establishes the VCT services is cheap, easy, did not spend a lot of time and small number officer is enough. The service is highly confidential and client believe to the health officers approach, and all person who come to VCT clinic both they are positive or negative, appreciate, applause to the services. There are no complains and laws problem. The system should be introduced to all transfusion / donor unit in Indonesia because the advantages to the donor and also for community. The further project is scale up the Semarang HIV reactive blood management pilot to be Indonesian

206

A. Background Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) become news modern infection health problem in the world at last second millennium. WHO estimate more 65 millions people infected. The new cases increase from 4 million per year in 2003 to 8 million per year in 2007 (WHO,2008). Since 2007 the trend of spreading diseases was decrease, however some region and countries still increases sharp include Indonesia. The impact of the disease is worse in developing countries since the spread is high and the health services and ARV access is low. In Africa, AIDS cause the young dead and decrease the life expectancy to 9 years (UNAIDS, 2004). WHO report the death in 2004 is 2,4 millions, decrease to 2 million in 2007 and 1,8 millions in 2010. Although it was decrease, the death rate is still high and impacted to the national development because the death affected to the productive age. Indonesia affected by AIDS since 1989 and the trend still increase however in in 2008 the casereported are 13,424 and in

some contries in ASEAN the trend decreased.

2010 21.441 and in 2011 26,483 new cases (Dirjen PPM 2011). Although over all the prevalence in Indonesia is 3,96/100.000, the potency to achieve epidemic problem in the future was showed. Moreover, the spread AIDS in Indonesia is categorized Not under control (Emeldrorf, 2007). The indicators show that sexual transmition noted 190 -270 .000 people life in prostitution with 7 10 consumers. Using condom among them under 15 % . there were not social security to the child and women ( UNDP, 2006). The drug use increase from 2,21 % (4,02 millions) to 2,8 % (5 millions) people (BNN,2011). The mortality related to the AIDS is high Indonesia because the classic infections such as the gastroenteritis is still high. The total death related to AIDS in 2008 were 1362, in 2009 were 5342, in 2010 were 7658. Their death left the sadness since leave the wife and children who highly risk contaminated to the AIDS and without social security. The international efforts have been conducted under supervised WHO to limited the spread, and care. Indonesia under Social Welfare coordinator Ministry set up the strategy like WHO suggested. However in the field there were not significant (Elmendorf, 2007). The main program in HIV spread prevention is found the victims in the early stage, change the behavior to be healthier, early medicine ARV approach, maintained the adherence and social welfare. In order to find the early stage infected person, WHO recommended Provider Initiated Counseling and testing. In Indonesia this program is still rare because

207

human right perception is false. Health officer frightened to tell the status to the client because worry to the future consequence. If they avoid telling this, they have not any consequences anymore. In the national site, the worry about this was represented in Health ministry agreement that the blood donor unit /transfusion unit use un link anonymous and screening is not directed for the donors but to the blood only. It is so very nave because it is about 15000 persons every years who can be informed and served in Indonesia. Moreover, the informed consent that signed by the donor is legal protection to the officers to confidentially inform to the client. Almost all countries n the world give the information to the blood donor who HIV reactive without any perception to broke the human right, why the perceptions of human right grow in Indonesia? Is there a real problem of legal procedure or the ignorance to the victims?

B. Role the Blood Donor Screening in HIV Prevention In the 8 teens decades, the transfusion is important transmission for HIV. After cheap blood screening methods found, it use globally hence the transmission HIV due to transfusion were limited. However, the blood from person in window period is still

handicaps. The people who regularly receipt the blood such as Thallesemia patients are person in high risk to infected HIV although the optimum screening have conducted. When a reactive person have not confirmed yet, and they donate the blood again in the Red Cross blood donor in Indonesia, it is a high risk to spread due to the human error or laboratory error. The blood donor person are person who have attention and action for humanity. Usually they have health grade higher that average person in community. Also they have better education level in the community. To inform their status when they are in dangerous (in HIV suspected) is part of our responsibility to protected them who help the community. To inform to them is a part to protect the community as whole. To inform them is parallel to the laws of out break diseases in the world that say that we must Inform to the people in risk to the dangerous or potential dangerous. In the public health view of HIV/AIDS, prevention is the most important. When the medicine cant give a good promise to cure, the prevention become more important. In the community, when a disease existing, the case finding then followed by good management of care and support is the best way to solve the problem. In the HIV, general screening is good, but the risk of discrimination make a special management should be done. IN the

208

blood donors case, where the health officer can serve them in private room and private cases, the PICT can be conducted in good environment. Also to serve them in VCT is easy for the health officers, if they need a empowering , it is just a short refreshing because in fact, all cases in doctor room is confidential. Moreover, people who are donor the blood are so many and average gave better education and health awareness. In Thailand, the anonymous clinic, where the reactive hiv donor, directly referred to this clinic. The clinic included in the red cross society building hence the referral can be done in a system (Laksono, 2005). In Malaysia the similar services conducted too (Laksono,2007). IN Singapore, the system stronger. The result of blood donor or the laboratories result that indicate the HIV reactive, should be follow up. When they are a foreign worker, the government return the worker directly. When they are the citizen, the cure management conducted strongly (Laksono, 2010). In vietnam, the management of HIV reactive

conducted in join between red cross and hospital (laksono 2012). The HIV reactive blood donor referral is important to develop the sustainable community because the contribution of the prevention is important. Also, the system is integral with informed consent and the officers provided in every level. In Indonesia, more than 4.500.000 blood donor every year. The person are reactive were more than 1015.000/year (PMI, 2010). When a person unconscious that they are positive, they will in their previous life style that spread the HIV to others. When they are a good people, they transmit to their spouse in a months, in a year their baby will affected. When they life in their previous life style that free or use needle, in a month they transmit to more 10 person and in a year will transmitted a huge number of people. The management in hiv reactive blood donors have a good role to prevent spread HIV in community

B. PMI, history of transfusion and PMI Semarang and Unit Transfusion Services The history of transfusion in Indonesia begin in revolution struggle in Dutch colonialism. The existence of Red cross can be accepted by both Indonesia and Netherland and the victim care can be established in better condition. The existence of Red Cross that neutral in conflict, voluntary and no commercial increase the people trust to donate voluntary. When Government and politic going decrease of acceptance of the public, because of inter-sector and inter culture conflict, the role of red cross more important and believed. The transfusion unit of PMI increase in number of branch places and number of

209

the blood donors. When health development grow, and more hospital built and more health services need blood, the role of transfusion unit of PMI increase and become informal blood supplier in all hospitals. The informal supplier is stopped when government make a legislation no 18 year : 1980. That say that PMI is only one organization that provide transfusion service in Indonesia. Then Health minister make a letter legislation no 478/Menkes/per.1990 and than the Directorate general make SOP of transfusion with number of letter 1147/Yanmed/RSDKS/1991 (PMI, 2011). In 2012, more than 160 branch of PMI who serve the transfusion. 4,5 millions pack of blood each year available in Indonesia now (PMI, 2012). Red cross Semarang (PMI Semarang) is a city branch PMI Indonesia. Similar to all branch of PMI, PMI Semarang serve some program include disaster management and transfusion. A branch is lead by a committee leader who lead the committee that include of 7 15 member of committee. The committee create a rule and plan of the programs. A daily manager or head of office conduct the program day to day. A transfusion unit is a one of some unit in PMI. However, the existence of transfusion unit is special because it role the medic and high technology of health service that no all committee understand about the management of transfusion. Hence in medic technical, the transfusion unit closed related to the national transfusion unit. The national transfusion of central /national PMI create some procedure for national rule in transfusion include medic technical and administrative. The condition make the unit transfusion in city branch like autonomy unit or special unit that the committee can not involve to much. In some case it is good because the committee member is not too understand about medic. Moreover, the services involve huge money that sensitive. The weakness is when some person in committee, need to change the management of HIV reactive, there are many resistance from transfusion unit. Transfusion unit can not follow the HIV that proposed by committee because the national transfusion have not given recommendation yet. Based on the condition, in 2006, committee accepted the Budis proposal to open Anonymous clinic in PMI Semarang building (separated to Unit transfusion). A simple room to VCT prepared and a joint activities with Budi Husada VCT Clinic conducted. Budi Husada VCT clinic serve VCT since 2002. The join include the laboratory examination that handle by Budi Husada. The clinic was open in 16 September 2006 by the new committee leader, Drs. Saman Kadarisman. The organization and the proposal of the

210

establishment was in attachment. The SOP of services in the attachment. Because the transfusion unit of PMI Semarang cannot refer the reactive person to anonymous clinic, so the services was opened to all people in Semarang and indirectly if there any person of donors who want to come. Some leaflet about HIV were made and give to the people] who come to red cross and transfusion unit. Of course in 2006, no one reactive donor came to the anonymous clinic. Also in 2007 and 2008. The people who come were people from community who read the leaflet or read in the new paper out our service. Base on the condition, we prepared to create a national seminar that invite the person in center / national board of transfusion, they are minister of health, Red cross national leader, national committee on HIV/AIDS, and university. With a budget limitation, lack of sponsorship, the seminar was conducted in 5 April 2008. The seminar invite minster of health that represented by head of directorate general PPM, National Red cross (PMI) was represented by head of national transfusion, and University was represented by medical laws expert DR. Gatot Suharto SH, Sp.K. the audience came from Aceh to west Papua, 35 audience from many branch of transfusion unit all over city and province in Indonesia. The result indicate that 2 branch of transfusion conduct the services like VCT but informally done by a concern doctor. Almost all audience have similar feeling to serve VCT but they waiting the national procedure and cancelation of minister legality that say that screen ust for blood not for person. The discus understands the floor willing but representative from Jakarta can not fast take decision. Then the recommendation was made (see the appendix, recommendation). The recommendation was sent to minister of health, national committee of HIV/AIDS, National Red Cross Indonesia, Menkokesra ect. However, the response of the recommendation have not shown yet. (recommendation in the attachment). In 2008, our proposal to upgrade the infrastructure services to Red Cross Netherlands with co assistance Budi Husada Wahana Bakti Foundation accepted hence the clinic supported 12 millions rupiah to buy some equipment, leaflet, chair and able and computer. The grant was facilitated by Red Cross central /national, Jakarta. The grant indicate that Central / National board of transfusion understand about the PMI Semarang activities in VCT. Although they have never state to support or prohibit, the agreement indicate that they support. After 3 years serve the VCT in anonymous clinic of Red Cross

211

Semarang, some corrections had been done. In anniversary of International Red cross and also anniversary of the anonymous clinic for the thirds, 16 September 2009, we present the progress report of the services and plan in the future. The plan include : 1. Change the name of anonymous clinic become VCT clinic. So the services are clear and straight. 2. The Head of PMI Semarang committee and director of Unit of Transfusion PMI Semarang make agreement to formally to scale up the services. Beginning in next year (2010), all HIV reactive blood donor will be invite to come to Transfusion unit like the Hepatitis, malaria and syphilis reactive, then they referred to VCT clinic. The second point of above is great forward of the services. This agreement may uncoordinated to the national protocol, however, for the bigger use, Ms Rini, keep the risk after our clinic take the risk for years and showed that the risk is handled well. The report of the activities of services in attachment from 2010 t0 2011. Result of the service are : 1. In 2010, 102 blood were HIV reactive. All persons were invited to Red cross, but the people respons the invitation only 9 person (8,8%) . In 2011, 67 . blood were HIV reactive and 20 (29,8%) person response and come to clinic. 2. In 2010, the positive are and in 2011 the positive are 3. The people who come the clinic are accepted by SOP ang they accept our services by well, good response, cooperative. No body refuses both the negative and positive. Some of them appreciate and some of them keep me as counselor and ask me to be their family. And one of them gives donate for clinic 200.000 rupiah as his support. No complaint, no avoiding. 4. The person who positive, followed by CD4 examination in hospital. If they happy to go to hospital, we give them referral letter, but if they worry, we take the blood of vein and send the blood to hospital. 5. If the CD4 is over 350 cell/mL, we follow the SOP in Indonesia, they supported by behavior change only to avoid spred the diseases and better life style to keep their health status. If their CD4 under 350, we offer them to join the ARV program to maintaining their health and join in the city meeting of people with live with HIV that conducted in hospital and supported too by Budi Husada wahana bakti foundation (www.budihusada.com).

212

C. Conclusion HIV/AIDS is important problem in developing countries pasticularly Indonesia. Indonesia become the 3 greatest spreading HIV in the world after China, India. When world spread trend is going lower, Indonesia included the countries with sharp increase. Moreover, Indonesia included to the countries that the HIV spread is not under control. Once of the potential spread is from the blood transfusion. However, in Indonesia, recently have no HIV Reactive blood donor management in transfusion unit in Red Cross yet, Although more 10.000 per year the blood were HIV reactive. There some reasons include ministry laws, frightened to the discrimination effect, effect of complaint and legal administration, there were not SOP to conduct it and others. It occur nationally. Some effort and proposal include national seminar about it and its recommendation have been made and sent but there are not change. Based on the condition, Red Cross Semarang conducted the VCT services since 2006. However, since 2009, the transfusion unit of Red Cross Semarang does referral the reactive blood donors to VCT clinic of Red Cross Semarang. This decision is not usual and the first in Indonesia. However, after 2 years of services, there are no complains, legal problem, difficulties both to the time person to help, no additional facilities must be given. D. Lesson Learn Based on the success of the services, it is showed that the previous frightened about VCT services included in red cross transfusion or other transfusion unit is not true. The doubt that if the services will be conducted will spent a lot of budget, additional officers also is not true. Conducted the VCT services included in transfusion unit is emerge, cheap, easy and can be scale up now for all transfusion unit in all over Indonesian. E. Recommendation Based on the above we recommends : 1. The health department established a committee that identification the causes why the HIV reactive blood donor have not been managed yet. This committee should finished the work in a month only. 2. If there a legal problems, due to the health ministry laws, the laws should be change fastly. 3. The committee identification the capacity in all transfusion unit to set up the management. 213 services of the counselors although the counselors is volunteer. No new budget must be used, no new

4. The unit that have enough medical doctor, based on the objective work analysis (to serve the VCT is maximal 90 minutes total (pre test and post test counseling) must conducted the services in next second months. If the medical doctor have no confidence to conduct, they should come to their university to take short course in their university or the red cross conducted the course for them all. 5. Health department and red cross should evaluate the activities and in 6 months after acidity, all transfusion unit should establish the HIV reactive management. HEALTH PROMOTION PROJECT : SCALE UP PROGRAM OF HIV REACTIVE BLOOD DONORS TO BE INDONESIAN PROGRAMS Based on the previous conditions where VCT program for HIV reactive blood donors is emerge and to set up the management to VCT is cheap, easy and can be done, we propose a national effort to scale up the Semarang lesson to be Indonesia program. The step that should be done are : 1. Met to the Ministry of health, national committee of HIV AIDS, National/ central Red Cross Indonesia to report the last condition of HIV in Indonesia and the role of transfusion unit to limit the spread in Indonesia. Report the Semarang initiative and lesson in last 6 years to be. 2. Support them to make national committee to do the recommendation above. If they do to slow, we can make the independent committee to support the stake holder to do the recommendation above. 3. Establish the national effort to prepare the scale up include the course or refreshing the doctor in transfusion unit to conduct the VCT services in their unit. 4. National celebration to start the new services 5. Evaluation the program every month and a semester. 6. Re-plan the continues programs to national better services.

214

Lampiran 1

Penanggung jawab Penasehat Ketua Wk. Ketua Sekretaris Bendahara Bidang bidang: - Ketua Yankes - Ketua Lab - Ketua Vokasional

: Ketua Pengurus PMI Kota Semarang (Drs. Saman Kadarisman) : Prof. Dr. dr. A.G. Sumantri : Dr. Budi Laksono, MHSc : Hj. Sulaningsih Bahrun : Sri Jadmiko : Siti Aminah

: Dr. Rosiawati. : Dr. Rini Astuti. : Joko

Anggota : Dr. Anis, Drg. Umi Anggota : Dr. Sherly, Dr. Rosita.

- Manajemen Kasus : Dinu dan Suradi - Spiritual - Konselor - Relawan konselor : Agus Setyono : Rani : Rtn. Oma, Rtn. Djoko Moerwinanto

215

Lampiran 2 PROSEDUR PELAYANAN KLINIK CONFIDENTIAL - PMI KOTA SEMARANG

KLIEN I.
- Donor / umum - Terdidik / terpelajar - Kesadaran sendiri

- Langsung
KLIEN II
- Donor PMI - Terinformasi oleh petugas

KLINIK KONFIDENTIAL

private info

PMI KOTA SEMARANG INFORMASI AWAL PROGRAM KLINIK KONFIDENSIAL

private respon

MODEL SWALAYAN
KONSELING PRE TEST TAHAP I KONSELING TAHAP II (MATERI POST TEST) TEST

MODEL KONVENTIONAL
KONSELING PRE TEST PROGAM (VCT) I TEST

PROGAM POST - TEST

KONSELING PASCA TEST -

PROGAM PEMBINAAN PERILAKU SEHAT. PENGOBATAN. VOCASIOANAL

RAHASIA PRIBADI

216

Lampiran 3 TAHAPAN KONSELING I. PRA KONSELING/PENDAFTARAN. Pra konseling adalah tahapan dimana seseorang datang ke klinik VCT setelah menerima pemberitahuan keadaan darahnya yang kurang baik oleh petugas yang berwenang. Pemberintahuan bisa lewat sms, telpon atau surat tertutup. Pada fase ini diberitahukan mengapa dipanggil. Pemberitahuan dilakukan oleh PMI karena ada sesuatu yang perlu diperiksa lebih lanjut. Hasil

pemeriksaan PMI awal hanya dugaan, belum tentu benar, artinya belum tentu apa yang ditulis dalam surat itu pasti benar, yaitu darahnya kurang baik. Mungkin bisa juga karena cemaran makanan, obat, atau infeksi penyakit lain yang bisa menyebabkan hasil keliru atau meragukan. Sehingga klien tidak perlu resah. Kemudian diberitahu sepintas keuntungan bila diperiksa lebih lanjut. Dengan pemeriksaan lanjutan maka akan diktetahui dengan tepat apa benar ada penyakit atau tidak. Bila ada penyakit tidak perlu cemas karena dengan tahu lebih awal, maka akan diobati lebih baik. Kerugian juga ada yaitu kita kadang tidak suka bila tahu dirinya sakit. Tetapi hal ini salah karena bila memang ia dalam kondisi sakit, suatu saat pasti akan tampak juga. Dan pada saat itu mereka dalam kondisi yang parah. Diberitahu tahapan testnya yaitu konseling pre test, test dan konseling pasca test. Diberi tahu bahwa yang bersangkutan berhak berhenti di tahapan apa saja bIla tidak suka atau kemudian. Konseling dan bisa dilakukan dimana saja di kota ini. Konseling di PMI tidak bayar. Dan test juga tidak bayar. Bila klien yakin dan tetapi mau ikut, maka berikan form perdaftaran.

217

II.

KOSELING PRA TEST. Merupakan proses lanjutan dari atas, diawali dengan penyerahan form pendaftaran yang telah ditanda tangani ybs. Pada beberapa kasus orang datang langsung pada fase ini,karena sudah mantap atau sbelumnya pernah ikut informasi tentang test ini. Pada fase ini klien akan dikonseling dengan materi tentang : i. Informasi tentang penyakit malaria, lues, hepatitis dan hiv/aids. Meliputi apa penyababnya, gejalanya, cara penularannya, pentingnya menjaga kesehatan diri dan orang lain dari resiko penularannya ii. Manfaat dan kerugian mengikut test. Manfaat test adalah 1. tahu kondisi diri lebih dini sehingga bisa bisa diobati dengan baik. 2. bila tahu, maka bis amendapat akses pelayanan lebih dini sehingga penyakit tidak makin parah. 3. kesehatan ybs akan lebih baik karena akan berusaha menjaga diri lebih baik dari pada bila tidak tahu. 4. bila tahu statusnya, maka bila penyakit itu bisa menular pada oranglain, maka akan dicegah dengan baik sehingga orang orang disekitar kita yang kita cintai tidak tertular. 5. kerugiannya adalah tidak semua orang senang bila tahu dirinya sakit. Walau persepsi ini salah,karena bila memang ia sakit meskipun sekarang belum muncul gejala, suatu saat pasti akan muncul gejala dan sakit bahkan mungkin bisa lebih parah. Ketakutan tahu keadaanya tergantung dari pasien sendiri. iii. Kesiapan klien untuk ikut fase test. .. Tujuan dari fase ini i. menyiapkan klien agar ikut test. ii. Kesiapkan mental bila ada kemungkinan memang positif dan kesyukuran dan perilaku yang makin sehat bila memang neagativ. iii. Mendapatkan data pribadi klien yang menjadi resiko keadaanya seperti seksual, penggunaan jarum atau tranfusi dll.

218

Luaran dari fase ini, klien tahu manfaatnya ikut test. Dan mau atau menolak test atau fase berikutnya. Bila mau maka ia akan menandatangani form informed consent.

III.

PENGAMBILAN DARAH DAN TEST. Pada tahap ini dilakukan pengambilan darah dan test. Pengambilan darah bisa dilakukan pada saat pascakonseling pra test bila ybs setuju. Tetapi bisa juga pada hari lain sesuai dengan pesetujuan klien. Darah kemudia di test dengan elisa (enzym like immunoassay) atu dengan rapit test. Bila hasil reaktif, maka diulangi hingga 3 test. Sesuai dengan standar who, bila ketiganya positif, maka bisa dikatakan klien positif HIV/AIDS. Bila dua positif satu negativ atau satu positif dua negativ maka adalah meragukan. Bila ketiganya negative maka negativ. Bila hasil dari laborat sebelumnya adalah reaktif, maka harus ditest 3 kali langsung.

IV.

KONSELING POST TEST. Pada konseling ini diaali dengan tawaran apakah yang bersangkutan masih ingin terus mengetahui atau tidak siap. Klien boleh mengundurkan diri walau belum diberi tahu. Bila klien terus maju, maka masuk tahap konseling. Tahap ini dipaparkan bahwa pada saat ini semua orang beresiko tertular semua penyakit menular termasuk 4 yang diduga. Penyakit ini bisa menular karena seksual, injeksi bersama atau dari tranfusi. Walaupun bisa menular tetapi tidak semua orang akan tertular secara pasti karena penularan terjadi hanya bila kondisi badan lemah, atau virus yang masuk banyak sekali, atau sistem kekebalan tubuh lagi ada masalah. Oleh karena itu bila memang hasilnya negatif, maka harus disyukuri karena pernah beresiko tetapi masih dilindungi oleh Tuhan sehingga kita masih sehat biasa. Ke depan klien harus menjaga diri jangan sampai bersikap yang mengandung resiko tersebut. Bila memang postif,

219

i. jangan berpikir sempit karena penyakit semua di atas bila diobati dnegan baik tidak akan membahayakan. Sebab seperti halnya diabet, hipertensi, dll, bila tidak diobati dengan baik bisa sebabkan kesakitan dan kematian cepat. Tetapi bila diobati dengan baik akan tetap sehat. ii. Tidak sendirian. Saat ini di Indonesia sudah lebih dari 300.000 orang terinfeksi. Di semarang lebih dari 1300 orang. Bahkan sekarang ada pekumpulan orang dengan HIV/AIDS yang berkumpul setiap bulan sekali dan mereka semua sehat. iii. Pengobatannya gratis di RSUP karyadi. iv. Tidak perlu obat khusus. Pada klien yang masih sehat,tidak perlu obat khusus. Cuma jaga kondisi badan, makan teratur, hindari infeksi. Tidak perlu harus minum vitamin dll asalmakan teratur. v. Bukan vonis mati. Orang dengan HIV/AIDS bisa hidup sehat wajar seperti lainnya, spt pemain basket amerika yang lebih dari 20 tahun hidup dengan aids dan maish kerja normal. vi. PMIakan terus mendampingi yang bersangkutan untuk mendapat kesehatan yang terbaiknya. Bila hingga kini tidak ada keraguan, maka berikan hasilnya pada yang bersangkutan . Pada beberapa kasus, orang ingin langsung mendapatkan hasil tanpa konseling ini, hal ini harus dihindarkan.

220

Lampiran 4

SURAT PERNYATAAN INFOREMED CONSENT

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama Alamat Umur Pekerjaan : : : :

Agama / kepercayaan : Dengan ini menyatakan bahwa saya secara sukarela datang pada: Nama Jabatan Praktek : ................................................................ :................................................................. : klinik VCT PMI KOTA SEMARANG

Untuk mendapat konseling tentang kemungkinan sesuatu hal yang ada dalam darah saya seperti malaria, hepatitis B, lues, HIV dll yang menyebabkan darah saya kurang baik. Saya bersedia mengikuti semua tahapan konseling yang diselenggarakan. Demikian pernyataan ini untuk dipergunakan seperlunya.

Semarang, 200... Yang menyatakan

221

Lampiran 5 SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama Alamat Umur : : :

Dengan ini menyatakan bahwa saya TELAH mendapatkan informasi tentang penyakit yang kemungkinan menyebakna darah saya kurang baik meliputi : 1. INFORMASI TENTANG PENYAKIT LUES, HEPATITIS, MALARIA & HIV/AIDS PENYEBABNYA. GEJALA PADA SETIAP STADIUM. PENULARANNYA. TANGGUNG JAWAB DAN PENTINGNYA MENJAGA KESEHATAN DIRI SENDIRI.

2. MANFAAT dan KERUGIAN BILA MELAKUKAN TEST. 3. KESIAPAN MENTAL MELAKUKAN TEST

Demikian pernyataan ini untuk dipergunakan seperlunya.

Semarang, 200... Yang menyatakan

222

Lampiran 6

DATA MANAJEMEN TERPADU REAKTIF HIV PMI SEMARANG MONTH/Y REAKTIF response PRETEST Jan-10 Feb-10 Mar-10 Apr-10 May-10 Jun-10 Jul-10 Aug-10 Sep-10 Oct-10 Nov-10 Dec-10 Jan-11 Feb-11 Mar-11 Apr-11 May-11 Jun-11 Jul-11 Aug-11 Sep-11 Oct-11 Nov-11 Dec-11 Jan-12 Feb-12 Mar-12 Apr-12 May-12 Jun-12 Jul-12 Aug-12 Sep-12 TOTAL 8 13 15 14 11 4 9 5 4 5 6 8 4 4 5 12 2 5 9 6 5 15 6 8 6 9 8 9 12 6 11 7 5 256 1 0 3 2 3 2 0 2 0 2 1 3 0 2 3 4 2 2 3 3 2 1 2 1 3 3 2 4 6 4 4 5 3 78 1 0 3 2 3 2 0 2 0 2 1 3 0 2 3 4 2 2 3 3 2 1 2 1 3 3 2 4 6 4 4 5 3 78 BLOOD TEST 1 0 3 2 3 2 0 2 0 2 1 3 0 2 3 4 2 2 3 3 2 1 2 1 3 3 2 4 6 4 4 5 3 78 POST POSITIF TEST 1 0 3 2 2 1 1 RESIGN 2 0 2 1 0 2 1 1 3 0 2 2 3 3 3 1 RESIGN 2 2 3 1 3 2 1 2 2 1 3 3 1 2 4 5 1 1 RESIGN 4 4 1 5 1 3 1 75 16

223

Lampiran 7

REKOMENDASI DAN USULAN HASIL SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN HIV/AIDS DALAM TRANSFUSI DI SEMARANG, 12 APRIL 2008.

PMI CABANG KOTA SEMARANG DALAM PARTISIPASI PENCEGAHAN HIV/AIDS DI INDONESIA

SEMARANG, 12 APRIL 2008

KAMI PESERTA SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN HIV/AIDS MENCATAT 1. HIV/AIDS adalah penyakit yang disebabkan virus yang menular dari orang ke orang lainnya melaui hubungan sexual, penggunaan jarum bersama, kecelakaan transfusi, ibu ke janinnya. 2. Penularan di Indonesia terutama oleh hubungan sexual dan jarum suntik narkoba.

224

3. Penularan secara umum meningkat seperti deret ukur. Trend menaik tajam pada sejak tahun 1999 Hingga tahun 2007. 4. Penularan oleh sexual terjadi karena sexual tidak sehat yaitu sex tanpa kondom dengan PSK atau Orang lain sudah yang terinfeksi. 5. Sampai saat ini pengobatan belum efektif memperpanjang umur penderita karena factor infeksi yang tinggi. 6. Hampir semua pasangan (istri/suami) orang terinfeksi dan anak yang lahir dari hubungan sexnya beresiko tinggi terinfeksi juga. 7. Perilaku sex yang longgar terjadi karena arus globalisasi terutama media masa yang makin besar. Peran media masa sangat besar dalam perubahan persepsi dan perilaku sex, terutama lewat pemberitaan yang porno, vulgar, memancing imaginasi sexual dan melonggarkan akses sexual dll. Peran media masa juga besar dalam menjaga pesepsdi dan perilaku sehat denga pemberitaan yang sehat, agamis dan pendidikan sex yang baik. 8. Penularan melalui jarum sekarang meningkat sejalan dengan penggunaan jarum narkoba di masyarakat. 9. Tahun 2005 ini diperkirakan oleh BNN, pengguna jarum narkoba sekitar 572.000. 10. WHO sebelumnya mengestimasikan bahwa Indonesia terdapat 280.000 orang yang sudah tertular HIV/AIDS (2007). 11. WHO juga mencatat bahwa penularan HIVAIDS di Indonesia not under control 12. PMI melakukan screening kepada klien dengan metoda yang paling akhir. 13. PMI telah melakukan upaya promotif, preventif dan kuratif dan rehabilitatif dalam melayani masyarakat dalam HIV/AIDS. 14. 3 pilar langkah PMI sesuai SU IFRC XIII yaitu anti stigma dan diskrimasi, perawatan ODHA dan keluarganya. 15. Dalam kegiatan strategis PMI 2005 2009, tercatat bahwa PMI berpartisipasi aktif dalam penanggulangan HIV/AIDS melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu pencegahan, perawatan dan dukungan ODHA dengan pengembangan jejaring dengan instansi terkait. 16. Tercatat juga indikator kegiatannya adalah adanya standart operasional, juknis dari cabang hingga pusat. 17. Uji saring dilakukan PMI sejak tahun 1992 dengan keppemenkes 622/1922.

225

18. Uji saring dilakukant erhadap hepatitis B, C dan shipilis dan HIV/AIDS. 19. Ketiga penyakit pertama sudah diinformasikan kepada klien langsung dengan surat kecuali HIV/AIDS . 20. Pelayanan unlinked anonymus di PMI telah diubah menjadi linked confidential. 21. Masih adanya masalah dalam uji saring HIV/AIDS karena self deferral rendah, kejujuran infeksi hiv rendah, notifikasi dan penanganan donor hiv reaktif, ideal dari pelayanan adalah inisiasi reaktif dengan perujukan ke VCT center. 22. Dalam Keppermenkes 622 / 1992 tidak jelas mendelegasikan kewajiban PMI untuk melakukan inisiatif perujukan klien dengan reaktif ke klinik VCT sehingga petugas PMI tidak ada yang merujuk kasus reaktiuf ke klinik VCT. 23. Dalam permenkes 622, dinyatkaan bahwa tugas PMI hanya screening bukan diagnosa sehingga hanya melakukan screening saja. 24. Dalam permenkes 622 tidak tertulis larangan UTDC PMI merujuk klien positif ke klinik VCT. 25. Keterbatasan terdapat pada hampir semua UTDC PMI untuk bisa melaksanakan VCT karena adanya ketidakjelasan pada satu sisi adanya paradigma baru PMI dalam partisipasi aktif pencegahan HIV/AIDS pada sisi lain belum adanya juknis dan SOP tentang manajemen kasus. darah reaktif 26. Screening yang dilakukan PMI terhadap klien berkisar 1 perseribu reaktif. Dengan sebaran 0,7 1,7 permil. 27. Jumlah darah yang terskreening di Indonesia meliputi ribuan pertahun. Di

Semarang tercatat tahun 2006 adalah 54, tahun 2006 : 73, dan pada tahun 2007 : 74. 28. Setiap donor yang reaktif adalah orang yang beresiko terinfeksi HIV/AIDS. 29. Berdasar report PMI Semarang, darah reaktif yang negative hanya sekitar 25% berarti 75% darah reaktif adalah positif HIV/AIDS. 30. Dalam rekomendasi WHO terakhir diharapkan semua unit pelayanan kesehatan bisa menjadi Provider Iniciative counselling and tersting (PICT). 31. Sudah menjadi etika pelayanan bahwa perlindungan dan pembinaan klien adalah bagian dari pelayanan donor darah. 32. Pemberian informasi kemuju kepada VCT adalah upaya yang bertanggung jawab terhadap klien dalam memahmi kondisi kesehtannnya dan secara dini menjadi lebih sehat.

226

33. Disemua negara tetangga, Red cross society sudah menerapkan PICT bahkan di Thailand red cross society memiliki klinik anonimus di lokasi transfusi darahnya. 34. Konsep seperti itu, walau tidak lazim sudah dilakukan oleh PMI Kota Semarang dengan klinik VCT nya walau tidak mendapat klien dari pendono ryang dirujuk UTDC. 35. Konsep sama dengan thailand sudah dilakukan di PMI Kab. Sragen 36. Di Lampung, seorang dokter pengurus UTDC melakukan inisitatif counseling dan testing dan berhasil memberi informasi yang mengarah pada VCT dan beberapa klien bisa mengetahui statusnya dengan tidak ada kekecewaan justru terima kasih dari klien. 37. Surat pernyataan di PMI belum memenuhi syarat infored consent seperti yang dikemukakan oleh Kabid HIV/AIDS/AIDS direktoral Jenderal P2ML. 38. Informed consent bisa dibuat di UTDC asal memenuhi 3 C yaitu confidential, conseling dan 39. Secara etika medis, seseorang dengan HIV/AIDS berhak mendapatkan hak informasi statusnya kecuali ia menolak. 40. UTDC bisa melakukan perujukan bila mempunyai infored consent yang memenuhi syarat 3 C di atas dan disetujui oleh klien.

227

SEMUA PESERTA SEMINAR NSIONAL MANAJEMEN HIV/AIDS DALAM TANSFUSI BERKEYAKINAN BAHWA 1. Penularan HIV/AIDS akan terus meningkat sejalan dengan perilaku sex tidak sehat dan penggunaan jarum bersama narkoba yang tinggi. 2. Perilaku yang tidak sehat akan terus berkembang karena pada satu sisi glonbalisasi informasi terus berjalan dan upaya pengurangan dampak buruk seperti pendidikan sex, kewajiban dan kesadaran memakai kondom PSK dan Klien belum tertata, hukum perlindungan warga dari kemungkinan tertular oleh penderita tidak ada, dll. 3. Dalam beberapa tahun ke depan, akan terjadi ledakan besar penderita HIV/AIDS dengan segala konsekuensi ekonnomi, kesehatan, sosial, politik, psikologis dll. 4. Dengan trend statistik yang ada, maka pada tahun 2010, tahun tinggal landas pembangunan kesehatan, justru bangsa ini terlilit oleh problema AIDS dengan kesakitan lebih dari 2 juta dan kematian usia produkstif karena AIDS menjadi kematian utama seperti halnya Thailand dalam dekade terakhir ini. 5. Pada masa tersebut, maka diperlukan dana luar biasa untuk pengobatan dan kehilangan materi dan potensi bangsa luar biasa. 6. Lebih dari itu, kepedihan bangsa akan muncul karena munculnya phenomena kematian yang memilukan orang tua muda dan munculnya anak yatim yang banyak dan para nenek dan kakek harus menjadi ayah para cucunya, 7. Pada kondisi itu, upaya untuk kembali akan sangat mahal, berat bila tidak mampu bangsa ini menanggulangi, bisa menimbulkan fitnah, perpecahan, bahkan disintegrasi bangsa. 8. upaya pencegahan adalah tanggung jawab semua potensi di masyarakat termasuk PMI dan semua pelayanan kesehatan. 9. PMI dengan pilarnya bertanggung jawab terhadap kliennya dalam upaya mendapatkan derajat kesehatan tertinggi, bukan hanya menerima darah. 10. Setiap pendonor yang positif adalah potensi penular pada keluarga, teman dekat, petugas kesehatan, masyarakat umum. 11. Pendonor positif HIV tidak tahu bahwa dirinya terinfeksi sehingga perilaku sehat, akses kesehatan tidak didapatkan mereka.

228

12. Pendonor yang terinfeksi HIV/AIDS pada dasarnya mempunyai latar belakang beresiko dan bisa terus mempunyai kegiatan beresiko apalagi tidak pernah mendapat akses status dirinya. 13. Setiap inisiatif yang diberikan dengan baik dan tidak menjurus pada satu diagnosa, seperti yang dillakukan di Sragen, Thailand dan semua negara maju lainnya bisa dilakukan di semua UTDC 14. Point di atas pada dasarnya sejalan dengan konsep WHO dalamk PICT yang sudah diterima masyarakat internasional. 15. Bahkan WHO mendorong setiap unit pelayanan kesehatan menjadi Provider Iniciative Counseling dan testing. 16. Walau jumlahnya banyak tetapi tidak menutup orangnya adalah satu untuk beberapa kasus reaktif. 17. PMI tidak harus melakukan VCT sendiri karena hampir di kota terdapat UTDC terdapat juga klinik VCT. 18. Kapasitas LSM peduli HIV/AIDS yang memiliki kliniik VCT di Semarang, Jakarta dll jauh lebih besar dari pada besaran reaktif atau positif yang dilaporkan. 19. PMI tidak melanggar permenkes 622 bila melaksanakan PICT dengan menginisiasi klien yang reaktif untuk mengikuti program VCT, mengutarakan manfaat dan kerugian secara terbuka bila mengikuti dan tidak memaksa klien, serta memberi ruang bagi yang tidak menerima. 20. Perujukkan adalah inisiatif yang bisa disetujui atau ditolak klien sehingga tidak melanggar HAM, etik medis dan medikolegal. 21. Dengan memberi pelayanan, perlindugan dan pembinaan sebagai PICT, PMI akan melakukan potensinya yang terbaik dalam menekan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat yang merupakan tanggung jawab dari Depkes juga serta tidak melanggar peraturan, hukum dan hak asasi setiap klien.

229

BERDASARKAN HAL DI ATAS, KAMI PESERTA SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN HIV/AIDS MEREKOMENDASIKAN SBB:

1. Depkes lebih gigih dalam mencegah penyebaran HIV/AIDS di masyarakat dengan langkah yang tepat, aksi dan segera. 2. PMI ikut berperan dalam kapasitasnya dalam pencegahan penyebaran HIV/AIDS di masyaraat terutama kliennya sesuai dengan Rencana strategis yang ditulis pada buku pandukan kerja 2004 2009. 3. Dilakukan kerja sama depkes dan PMI dalam mengelola klien dengan hasil reaktif apalagi yang dikonform positif agar mereka terlindungi, mendapat akses kesehtan dan pembinaan yang paling baik dan dini. 4. Dikondisikan agar terbentuk lingkungan yang kondusif agar pelayanan pendonor yang reaktif dan positif bisa terselenggarakan di semua unit transfusi darah (UTD). 5. Bagi institusi dan perorangan yang telah melakukan pelayanan konseling dan pembinaan korban HIV/AIDS terutama klien donor darah dengan melakukan inovasi dan aksi seperti yang sudah dilakukan di UTDC PMI Kab Sragen dan dokter di UTDC Kota Lampung diberikan penghargaan atas kepeduliannya dan keberaniannya. 6. Bagi pendonor yang reaktif agar dibina, dilindungi dan diberi hak informasinya kecuali yang menolak agar mereka mendapatkan statusnya secara dini agar akses kesehatan dan perubahan habit lebih sehat bisa terbina. 7. pendonor reaktif atau yang dikonform positif agar diberi pelayanan kesehatan oleh PMI bila memiliki fasilitas pelayanan kesehatan dasar atau dirujuk pada insitusi yang berwenang. 8. pendonor yang reaktif atau positif pasca konform dilindungi dari stigma dan diskriminasi dengan perlindungan konfidential service sesuai dengan etika medis dan hukum yang berlaku.

230

BERDASARKAN HAL DI ATAS, KAMI PESERTA SEMINAR NASIONAL MANAJEMEN HIV/AIDS MENGUSULKAN SBB: 1. Dalam waktu yang tidak lama agar diadakan revisi permenkes 622 sehingga mendorong PMI untuk melakukan manajemen kasus darah reaktif tanpa merasa melanggar permenkes. 2. Selama menunggu revisi, agar diterbitkan surat edaran yang menyatakan bahwa unti transfusi darah baik yang dikelola PMI maupun Depkes bisa dan wajib melakukan provider Iniciative Counselling and testing (PICT) sebagaimana rekomendasi WHO. 3. Diadakan lokakarya untuk membuat manajemen kasus pengelolaan darah reaktif /positif sehingga klien bisa mendapatkan informasi terbaik tanpa menimbulkan keraguan provider dan cara yang baku dan terbaik sehingga tidak melanggar HAM seseorang dan hukum. 4. Depkes mendorong terbentuknya klinik klinik VCT yang dikelola oleh masyarakat dan jajaran dibawahnya serta rumah sakit dengan mengadakan pelatihan dan asistensi pembentukkan klinik VCT di daerah dimana UTD terdapat. 5. Depkes sebagai penanggung jawab pelayanan transfusi mendorong PMI dan UTD dibawah Depkes agar melakukan PICT baik dengan membuat MOU baru atau revisi MOU yang lama. 6. PMI dan UTDC dibawah Depkes yang belum memiliki klinik VCT agar membuat MOU dengan pengelola klinik VCT di setiap tingkat wilayah untuk sistem perujukkan. 7. PMI sebelum revisi UU 622 terwujud agar melaksanakan rencana strategis 20042009 dimana akan aktif berpartisipasi dalam pencegahan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat dengan indikator tertulisnya terntuk juknis dan SOP untuk pelayanannya. 8. Dibentuk pokja bersama PMI dan Depkes di tingkat pusat hingga daerah untuk menjamin agar pelaksanaan PICT berjalan sesuai dengan harapan dengan sistem perencanaan, sistem pelaksanaan dan sistem supervisi dan evaluasi yang baik. 9. Diadakan pelatihan pelatihan bagi petugas di UTD terutama yang bertanggung jawab terhadap serologi dan perujukkan agar pelaksanaan rujukkan berjalan baik.

231

10. Diberi penghargaan bagi ketua UTDC Kab Sragen dan Dokter Ayu dari lampung yang dengan inisiatifnya melakukan pelayanan plus kepada pendonor reaktif untuk mendapatkan status HIV/AIDS dan membinanya sehingga menjadi potensi positif bagi PMI, Keluarga, Negara dan bangsa. 11. Dibuat buku saku petujuk praktis pembuatan klinik VCT dan sosialisasinya kepada stake holder agar mereka secara private maupun institusional membentuk VCT sebagai layanan sosialnya. 12. KPA sebagai institusi nasional yang diberi amanat bangsa untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS di Indonesia bisa menginisiasi problem solving yang praktis dan nyata di semua tingkat dan model penyebaran HIV/AIDS termasuk dalam potensinya PMI dalam skreening darah.

RESUME REKOMENDASI SEMINAR

HIV/AIDS

di Indonesia meningkat cepat dan trend penyebarannya masih

menaik terus. WHO mencatat peningkatan HIV/AIDS di Indonesia not under control. Estimasi korban tahun 2007 tercatat 280 ribu. Estimasi ini paralel dengan kasus pendonor darah yang notabene orang sehat sekitar 1 perseribu. Penekanan penyebaran adalah tanggung jawab semua pihak termasuk unit pelayanan kesehatan yang direkomendasikan WHO agar menjadi provider iniciative counseling and testing (PICT) Unit transfusi Palang Merah Indonesia sebagai kepanjangan tangan dari Departemen Kesehatan dalam upaya penyediaan kebutuhan darah merupakan unit pelayanan kesehatan yang sebaiknya melaksanakan PICT. UTD PMI telah melakukan skreening dan tercatat ribuan orang tercatat reaktif. Dari yang reaktif rata- rata sekitar 75% adalah positif. Setiap orang yang positif adalah orang yang pernah berperilaku yang memungkinkan ia tertular dan mungkin masih berperilaku dan berpotensi menularkan pada orang lain termasuk pada keluarga, teman dan masyarakat.

232

Idealnya setiap orang reaktif diberi hak informasi untuk mendapat status HIV/AIDS nya dengan mengikuti program VCT. Hal sama sudah diberlakukan di hampir semua negara ASEAN bahkan di Kab Sragen sudah diberlakukan tanpa ada masalah. Dan PMI Kota Semarang mempunyai unit VCT tetapi belum pernah mendapat rujukan dari UTD.

UTD lainnya di Indonesia tidak ada yang melakukan PICT karena terbentur pada Permenkes 622 yang tidak secara jelas mendorong UTD menjadi PICT bahkan tersirat UTD hanya sebagai skreening saja.

Rujukkan kasus yang selama ini terlah dilakukan ke Depkes/dinkes tidak ada tindak lanjut VCT. Dari dasar itu, maka Seminar Nasional Manajemen HIV/AIDS dalam Transfusi merekomendasikan dan mengusukan agar permenkes bisa disempurnakan sehingga tujuan skreening tercapai, juga peran Depkes sebagai penjaga gerbang pencegahan penularan HIV/AIDS juga tercapai.

Bila diperlukan waktu dalam penyempurnaan, agar diterbitkan surat edaran oleh Depkes yang mendorong semua layanan kesehatan termasuk Unit Transfusi Darah untuk menginisiasikan konseling dan testing pada klien reaktif.

Disusun manajemen kasus HIV/AIDS dalam transfusi dan pelayanan kesehatan lainnya agar pelaksanaan PICT lancar dan tidak menimbulkan gejolak sebaliknya diterima masyarakat terutama klien reaktif dengan positif.

UTD PMI maupun yang dikelola Depkes tidak harus melakukan VCT tetapi dengan perujukkan ke Klinik VCT terdekat. Depkes mendorong terbentukknya klinikVCT di semua rumah sakit dan praktek dokter pribadi yang mau secara sukarela.

233

RENDAHNYA PENGETAHUAN DOKTER SWASTA TENTANG PENATALAKSANAAN TB ANAK DI KOTA JAYAPURA, PAPUA Hasmi, dkk ABSTRAK Penanggulangan TB anak selalu dikaitkan dengan upaya penatalaksanaan TB anak, sedangkan keberhasilan penatalaksanaan TB anak sangat tergantung dari pengetahuan dokter nya terhadap penatalaksanaan TB anak itu sendiri. Jika pengetahuan dokternya rendah maka hampir pasti penanggulangan TB anaknya tidak berhasil. Seperti yang ditemukan pada penelitian ini yang menemukan bahwa 69,2 % dokter praktek swasta di Jayapura, berpengetahuan rendah tentang penatalaksanaan TB paru anak. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dokter praktik swasta tentang penatalaksanaan TB Paru anak . Penelitian dilakukan di Kota Jayapura pada tahun 2011 dengan menggunakan sebanyak 26 responden yang khusus menanyakan dengan tentang penatalaksanaan TB Paru anak pada dokter praktik swasta yang menangani pasien TB paru anak. Hasilnya adalah 69,2 % dokter praktek swasta berpengetahuan rendah tentang penatalaksanaan TB Paru anak.

Kata kunci : Pengetahuan, dokter praktek swasta, penatalaksanaan TB anak

234

KONSELING TESTING INISIASI PETUGAS (KTIP) SUATU MODEL PELAYANAN KOLABORASI TB-HIV TERINTEGRASI di BBKPM SURAKARTA SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN CAKUPAN LAYANAN TES HIV Makiyatul M, Tri S., Sigit P., Mohammad F. Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta ABSTRAK Latar Belakang :WHO dan UNAIDS (2007) merekomendasikan Voluntary Counseling and Testing (VCT)/Konseling Testing Sukarela(KTS) dan Provider Initisiated Testing and Counseling (PITC) / Konseling Testing Inisiasi Petugas (KTIP) di fasilitas kesehatan untuk menurunkan beban HIV pada penderita TB. Hal ini sesuai dengan kebijakan WHO dalam program kolaborasi TB-HIV . Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalens HIV diantara pasien TB serta mengukur cakupan tes HIV pada kolaborasi TB-HIV model KTIP. Subjek dan Metode :Penelitian potong lintang pasien TB paru dewasa di klinik rawat jalan BBKPM Surakarta pada bulan Maret 2008 hingga Desember 2011. Kriteria inklusi adalah TB Paru berat/TB reaktivasi dan TB dengan faktor risiko HIV.Pasien yang memenuhi kriteria dirujuk/rekomendasikan oleh petugas kesehatan dokter/perawat untuk dilakukan konseling dan testing HIV diklinik KTIP. Analisis data dengan menggunakan SmallStata 12. Hasil :Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi bersedia untuk diberi pretes konseling (n=348), tetapi yang bersedia untuk melakukan testing HIV dari tahun 20082011 berturut-turut sebanyak 81%, 91%, 93% dan 87% .Dibanding dengan model KTS diseting yang sama pada 2008, pasien yang bersedia dites HIV sebanyak 65%. Prevalens HIV positif diantara semua pasien TB di BBKPM Surakarta tahun 2008-2011 antara 0,88 % hingga 1,15%(0,91% tahun 2008, 0,93% tahun 2009, 0,88 tahun 2010, 1,15 tahun 2011). Sedangkan pada KTS diseting serupa di dapatkan 0,2 % (2008). Kesimpulan :Pilot project PITC/KTIP di BBKPM Surakarta menunjukkan tingkat penerimaan pasien TB untuk diperiksa status HIV-nya lebih besar (81%) dibandingkan klinik KTS pada seting yang sama (65%).5 Pada studi lanjutan juga ditemukan kecenderungan yang semakin meningkat (81%-93%). Kata Kunci : Tuberkulosis, HIV, kolaborasi, KTIP

A. Latar Belakang Setiap tahunnya kasus tuberkulosis (TB) di Indonesia bertambah sekitar seperempat juta kasus dengan 140.000 kematian. Saat ini TB merupakan pembunuh utama diantara penyakit infeksi dan pembunuh ketiga di Indonesia setelah penyakit jantung dan infeksi saluran pernapasan akut. Di tingkat global, Indonesia menjadi penyumbang kasus terbesar

235

nomor empat dengan distribusi kasus terbesar pada usia produktif (15-55 tahun) (WHO, 2012). Permasalahan TB ini diperberat dengan meningkatnya kasus Human

Immunodeficiency Virus (HIV) pada penderita TB dan sebaliknya. Jumlah kasus HIV/AIDS secara kumulatif meningkat tajam 1,487 pada 2003 mencapai 24,131 pada 2006. Epidemi HIV mencapai 33 provinsi di Indonesia dengan prevalensi tertinggi di provinsi Papua dan Papua Barat, yaitu 2.4% pada populasi umum di usia 15-49 (WHO, 2009). Orang dengan HIV yang menderita TB akan cepat timbul AIDS sedangkan HIV sendiri akan mempengaruhi perjalanan klinis TB karena sistem kekebalan tubuh yang lemah sehingga menimbulkan Multi Drug Resistance (MDR) TB. WHO memperkirakan bahwa hampir sepertiga dari 40 juta orang yang menderita HIV/AIDS saat ini juga menderita infeksi TB. TB merupakan infeksi oportunistik yang paling sering terjadi pada penderita HIV/AIDS dan penyebab kematian terbesar (11-50%3-6 ) (WHO, 2003). Konseling dan testing HIV direkomendasikan untuk setiap pasien TB di setiap negara dengan populasi umum lebih dari 1% tingkat infeksi HIV (ISTC/2009). Konseling dan testing HIV untuk pasien TB beresiko HIV memberikan peluang yang besar untuk pencegahan HIV dan dapat mengendalikan epidemi TB (Bock, 2008,WHO, 2003). WHO

dan UNAIDS (2007) merekomendasikan VCT/ KTS dan PITC/KTIP di fasilitas kesehatan untuk menurunkan beban HIV pada penderita TB. Hal ini sesuai dengan kebijakan WHO dalam program kolaborasi TB-HIV (Harries, 2008). Penanggulangan kasus TB memerlukan keterpaduan atau kolaborasi program TB (DOTS) dan HIV. Testing HIV dilakukan untuk pasien TB yang dicurigai mempunyai faktor risiko HIV seperti pengguna napza suntik (PENASUN), Pekerja Seks Komersial (PSK), lelaki suka lelaki (LSL), dan sebagainya (Bock, 2008, Nateniyom, 2008). Model KTIP bisa digunakan pada pelayanan kesehatan yang melaksanakan DOTS untuk menjaring KTIP pada kasus TB Paru dengan faktor risiko HIV(WHO, 2003).Namun di Indonesia model ini belum digunakan dan belum diketahui efektifitasnya dibandingkan KTS. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalens HIV pada penderita TB Paru serta mengukur cakupan tes HIV dengan model KTIP pada kolaborasi TB-HIV yang

236

diintegrasikan dengan pelayanan DOTS. KTIP diharapkan bisa menambah akses layanan HIV/AIDS pasien TB, meningkatkan angka kesembuhan TB, mengurangi angka kematian selama terapi obat anti tuberkulosis dan mengurangi angka putus berobat.

B. Subjek dan Metode Penelitian potong lintang pasien TB paru dewasa di klinik rawat jalan BBKPM Surakarta pada bulan Maret 2008 hingga Desember 2011. Kriteria inklusi adalah TB Paru berat/TB reaktivasi dan TB dengan faktor risiko HIV. TB paru berat meliputi TB kambuh, TB kronis, MDR TB dan TB gagal pengobatan. Faktor risiko HIV meliputi pengguna napza suntik (Penasun), pekerja seks komersial (PSK), lelaki suka lelaki (LSL), transfusi darah, Waria dan sebagainya. Pasien yang memenuhi kriteria dirujuk/rekomendasikan oleh petugas kesehatan dokter/perawat untuk dilakukan konseling dan testing HIV diklinik KTIP. Di klinik KTIP pasien dilakukan KIE (Konseling, Informasi dan Edukasi) TB-HIV oleh konselor HIV. Setelah dilakukan KIE pasien didorong dan dianjurkan untuk dilakukan konseling dan testing HIV dengan prinsip 3 C(Informed Consent, Counselling and Confidentiality). Konseling yaitu komunikasi bersifat rahasia antara klien dan konselor. Proses konseling termasuk evaluasi risiko personal penularan HIV, fasilitas, pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil tes positif (Bock, 2008). Tes status HIV dilakukan melalui proses pengambilan darah dengan 3 metode analisa serologik HIV yang berbeda yaitu rapid test SD, Oncoprobe dan Intec (WHO UNAIDS, 2007). Pendekatan yang kami lakukan dijelaskan pada bagan 1. Analisis data dengan menggunakan SmallStata12.

237

Bagan 1. Alur konseling dan Testing HIV di Klinik KTIP BBKPM Surakarta

C. Hasil Semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi bersedia untuk diberi pretes

konseling (n=348), tetapi yang bersedia untuk melakukan testing HIV dari tahun 2008-2011 berturut-turut sebanyak 81%, 91%, 93% dan 87% (Grafik 1).Data 2008, dibanding dengan klinik KTS pada setting serupa, tingkat penerimaan pasien TB untuk diperiksa status HIVnya lebih besar (81% vs 65%). Tabel 1. Jumlah Kunjungan Pasien KTIP, Yang Bersedia Pretes Konseling, Bersedia dites HIV, Hasil HIV Positif dan Indeterminan
TB Risti No 1 2 Indikator 2008 Jumlah kunjungan Jumlah yang diberi pretest konseling Jumlah ditesting HIV 53 53 2009 82 82 2010 40 40 2011 38 38 2008 57 57 2009 32 32 2010 17 17 2011 29 29 2008 110 110 2009 114 114 2010 57 57 TB Jumlah 201 1 67 67

50

79

38

34

38

25

15

24

88

104

53

58

238

Jumlah yang diberi post test konseling dan menerima hasil Jumlah hasil yang reaktif (pos HIV) Jumlah indeterminanposit if

50

79

38

34

38

25

15

24

88

104

53

58

16

13

17

16

17

18

Hasil HIV positif dari semua yang dites HIV tahun 2008-2011 berturut-turut 9,1%, 15,4 %, 32,1% dan 31%. Hasil indeterminan 2008-2011 adalah 6,8%, 5,8%, 7,5% dan 6,9%. Grafik 1. Persentase Pasien KTIP Yang menerima Pre test konseling, MenerimaTes HIV dan reaktif positif Tahun 2008-2010

Berdasarkan jenis kelamin, perempuan yang menolak tes HIV tahun 2008-2011 berturut-turut 32,3%,, 0.88%, 0% dan 50%. Masih dibutuhkan penelitian yang lebih dalam mengenai pengaruh faktor gender terhadap penerimaan tes HIV. Usia geriatri (lebih dari 50 tahun) cenderung menolak dibandingkan usia produktif. Data kami, pada usia di atas 50 tahun penerimaan pasien terhadap tes HIV adalah , 50% pada tahun 2008 , 83% tahun 2009, 100.% pada tahun 2010 dan 75% pada 2011. Berdasarkan faktor risiko , dari tahun 2008 hingga 2011, penerimaan pasangan ODHA terhadap tes HIV relatif lebih rendah (25%- 87%) dibanding ODHA dengan faktor risiko lain. Dan semuanya adalah perempuan. Sedangkan berdasarkan beratnya kasus TB pasien dengan kasus gagal, kasus

239

kambuh dan kasus MDR-TB

mempunyai penerimaan tes HIV relatif lebih rendah

dibandingkan kasus yang lain dari tahun 2006 hingga 2011. Proporsi pasien HIV diantara pasien TB yang memenuhi kriteria inklusi meningkat dari tahun ke tahun (dari tahun 2008-2011 adalah 7.27%., 20%, 35,42% dan 34,62%). Hal ini disebabkan adanya intensifikasi penemuan faktor risiko HIV pada pasien TB. Prevalens HIV positif diantara semua pasien TB di BBKPM Surakarta tahun 20082011 antara 0,88 % hingga 1,15%(0,91% tahun 2008, 0,93% tahun 2009, 0,88 tahun 2010, 1,15 tahun 2011). Sedangkan pada KTS diseting serupa di dapatkan 0,2 % (Rahadi, 2008). Grafik 2. Presentase Pasien Klinik KTS Yang Menerima Pretes Konseling, Tes HIV dan HIV Positif

D. Pembahasan dan Kesimpulan Pilot project PITC/KTIP di BBKPM Surakarta menunjukkan tingkat penerimaan pasien TB untuk diperiksa status HIV-nya lebih besar (81%) dibandingkan klinik KTS pada seting yang sama (65%) (Rahadi W, 2008). Pada studi lanjutan di klinik KTIP juga ditemukan kecenderungan yang semakin meningkat (81%-93%). Tes HIV pada klinik KTIP BBKPM Surakarta ini inklusif untuk pasien TB dengan risiko tinggi HIV dan TB berat dengan pertimbangan Jawa Tengah masih merupakan daerah epidemi HIV rendah. Penjaringan kasus pada KTIP lebih bisa mendorong pasien untuk mengetahui status HIV-nya disamping memudahan akses pasien TB untuk pemeriksaan HIV dalam satu pintu. KTIP direkomendasikan untuk memperluas cakupan layanan HIV dalam layanan yang terintegrasi dengan DOTS (WHO, 2003, WHO UNAIDS, 2007, Harries 2998 dan Bock,

240

2008). Pada kasus khusus misalnya pada pasangan seksual ODHA, TB kasus kambuh/gagal, MDR-TB, dan pasien geriatri/usia tua, pasien yang sakit berat

(severe/terminal ill) pretes konseling mungkin tidak diperlukan meningat penerimaan pasien yang rendah dengan risiko penularan yang tidak bisa dihindarkan (CDC, 2012). Di masa depan, jika model KTIP diterapkan, maka akan lebih banyak pasien TB yang diketahui status HIV-nya, sehingga akses layanan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy/ART) juga harus ditingkatkan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemangku program TB dan AIDS di tingkat nasional untuk mengembangkan prosedur koordinasi layanan ART pada layanan kesehatan yang menjalankan program DOTS.

DAFTAR PUSTAKA

Bock, N.N., Nadol, P., Rogers, M., Fenley, M.A., Moore, J., Miller, B. 2008. Providerinitiated HIV testing and counseling in TB clinical settings: tools for program implementation. Int.J. Tuberc. Lung Dis. 12(3):S69-S72. CDC. 2012. Implementation of Routine HIV Testing in Health Care Settings: Issues for Community Health Centers.Available at: http://www.cdc.gov/hiv/topics/testing/ resources/guidelines/pdf/routineHIVtesting.pdf Harries A, Maher D, Graham S.. 2004. World Health Organization : TB / HIV A Clinical Manual. 2nd Edition. World Health Organization p: 33 Nateniyom, S.,Jittimanee, S.X., Viriyakitjar, D., Jittimanee, S., Keophaithool, S., Varma, J.K. 2008. Provider-initiated diagnostic HIV counseling and testing in tuberculosis clinics in Thailand. Int. J. Tuberc. Lung Dis. 12(80) 955-961. Rahadi W, Suwignyo N, Priliono T. 2008. Decentralized Network In Scaling Up TB-HIV In Central Java, Indonesia. Semarang : Diseminasi penelitian. WHO. 2003.Guidelines for implementing collaborative TB and HIV program activities. Geneva, Switzerland: World Health Organization. Available at http://www.who.int/tb/publications/2003/en/index.1.html WHO UNAIDS. 2007. Guidance on Provider-Initiated HIV testing and counseling in Health Facilities. Geneva, Switzerland. WHO.2012. Indonesia Country Profile.Availabel at https://extranet.who.int/sree/Reports? op=Replet&name=/WHO_HQ_Reports/G2/PROD/EXT/TBCountryProfile&ISO2= ID&outtype=pdf

241

PREVALENSI PEROKOK REMAJA PELAJAR SMP DAN SMA KOTA YOGYAKARTA TAHUN2000-2009 Prabandari, YS dan Dewi, A
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Quit Tobacco Indonesia, Pusat Bioetika dan Humaniora Kedokteran & Pusat Perilaku dan Promosi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT Latarbelakang Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Pacific yang belum meratifikasi FCTC(Framework Convention on Tobacco Control), sehingga kegiatan pengendalian tembakau masih sangat terbatas, terutama di tingkat nasional. Pengendalian tembakau baru dimulai tingkat lokal dengan diterimakannya DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau) di tahun 2008, termasuk di Yogyakarta, salah satunyaadalah sosialisasi Kawasan Tanpa Rokok/KTR di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan secara prevalensi perokok remaja di Yogyakarta pada tahun 2000 dan 2009. Subjek dan Metode Penelitian Penelitian yang membandingkan dua data dengan rancangan potong lintang ini melibatkan sebanyak 2.375 siswa SMP tahun 2000 serta882 siswaSMP dan 1.252 siswa SMA di tahun 2009 di Yogyakarta. Partisipan dipilih dengan cara sampling acak bertingkat, berdasarkan tingkat SMP dan SMA serta status sekolah. Variabel dalam penelitian ini meliputistatus merokok dan jejaring sosial perokok. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil Penelitian Prevalensi perokok pelajar pria adalah 30%perokok teratur dan 35% eksperimenter di tahun 2000, menjadi 24% perokok teratur dan perokok eksperimenter 9% di tahun 2009.Sebanyak 17% pelajar perempuan merupakan perokok eksperimenter di tahun 2000, dan menjadi 2,3% di tahun 2009. Prevalensi perokok teratur pada pelajar perempuan adalah 6% pada tahun 2000 dan 1,6% di tahun 2009. Prevalensi teman dekat merokok di kalangan pelajar menurun dari tahun 2000 ke tahun 2009, baik pada pelajar laki-laki maupun perempuan, demikian pula kakak laki-laki yang merokok. Prevalensi pelajar baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai ayah merokok lebih tinggi di tahun 2009. Kesimpulan Prevalensi pelajar laki-laki dan perempuan tahun 2000 dan 2009 menunjukkan penurunan. Sebagian besar pelajar mempunyai ayah perokok dan prevalensi pelajar yang mempunyai teman dekat perokok mengalami penurunan dari tahun 2000-2009. Program pengendalian tembakau perlu diperluas agar penurunan prevalensi dapat lebih tajam.

Kata kunci: prevalensi perokok, jejaring sosial perokok, pelajar SMP dan SMA

242

A. Latar Belakang Prevalensi perokok yang dari tahun ke tahun tidak menurun secara bermakna menjadikan pengendalian tembakau menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di dunia, terlebih lagi perokok usia muda semakin bertambah. Global Youth Tobacco Survailance (GYTS) pada tahun 2007 melaporkan sebanyak 9,5% pelajar usia 13-15 tahun di dunia adalah perokok, dan dari 151 tempat penelitian di dunia, separuhnya lebih menunjukkan prevalensi perokok laki-laki dan perempuan yang sama (Warren, et al., 2008). Perokok usia muda di Indonesia juga menunjukkan prevalensi yang selalu naik dalam dua dekade. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di tahun 1995 menunjukkan prevalensi perokok usia 10-14 tahun dan 15-19 dua kali lipat dibandingkan dengan SKRT tahun 1986. Pada tahun 1986 perokok usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun sebesar 0.6% dan 13.2%, di tahun 1995 prevalensinya menjadi 1.1% dan 22.6% pada usia yang sama (Suhardi, 1997). Sepuluh tahun kemudian Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 dan dilanjutkan Riskesdas 2010 masih menunjukkan peningkatan perokok usia 15-24 tahun, dari 24.6% menjadi 26.6 di tahun 2010. Disamping kenaikan prevalensi perokok di usia muda, perokok pemula di Indonesiajuga semakin muda. Hal tersebut ditunjukkan dengan menurunnya usia

terbanyak mulai merokok dari 17,4 tahun, dan telah menurun menjadi 14-15 tahun di tahun 2009 (Riskesdas, 2007; Riskesdas, 2010) Peningkatan perokok di semua usia, makin mudanya usia mulai merokok dan semakin bertambahnya prevalensi penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok mendorong disepakatinya FCTC, dan di tahun 2003 FCTC telah ditandatangani lebih dari 150 negara di dunia. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pacific yang belum meratifikasi FCTC. Belum ditandatanganinya FCTC membuat pengendalian tembakau di Indonesia berjalan lambat, dan aktivitas pengendalian tembakau lebih diinisiasi oleh pemerintah local (Prabandari, Padmawati, Ng, 2010) Pada tahun 2009 WHO mengenalkan MPOWER (Monitor penggunaan tembakau dan pencegahannya , Perlindungan terhadap asap tembakau, Optimalkan dukungan untuk berhenti merokok , Waspadakan masyarakat akan bahaya tembakau, Eliminasi iklan, promosi dan sponsor terkait tembakau dan Raih kenaikan cukai tembakau)sebagai langkah untuk pengendalian tembakau (WHO, 2008). Ke enam langkah tersebut sebagian hanya

243

dapat diterapkan secara nasional dan sebagian dapat dimulai di tingkat local.Seiring dengan diluncurkannya DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau), beberapa daerah mulai mengembangkan kebijakan local pengendalian tembakau.Sebagian daerah mulai

mempunyai peraturan daerah Kawasan Tanpa Rokok/KTR (Prabandari, Padmawati & Ng., 2010).KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan atau penggunaan rokok. Tempat yang merupakan KTR adalah tempat kerja, angkutan umum, tempat ibadah, arena kegiatan anak-anak, tempat proses belajar mengajar dan tempat pelayanan kesehatan. Yogyakarta pada tahun 2007 mempunyai PERDA (Peraturan Daerah) nomer 5 tentang Pencemaran udara, dan pasal 11 mengatur KTR. Pengaturan KTR diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur (PERGUB) nomer 39 Tahun 2009, tentang KTR (Prabandari, 2011). Pada saat yang hampir bersamaan dengan terbitnya PERDA pencemaran udara, dana DBHCT diluncurkan ke daerah penghasil tembakau atau yang mempunyai pabrik rokok. Seiring dengan adanya DBHCT, kegiatan pengendalian tembakau, terutama untuk melaksanakan PERDA ataupun PERGUB mulai dilakukan, termasuk sosialisasi KTR di sekolah-sekolah di Yogyakarta.Kebijakan di salah satu negara bagian di Amerika membuktikan bahwa dukungan yang kuat dan penguatan terhadap kebijakan KTR, terutama dari staf di sekolah, diikuti dengan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan KTR di sekolah, berhubungan dengan perilaku merokok siswa (Adams, Jason, Pokorny, & Hunt, 2009). Sekolah atau tempat pendidikan, bersama dengan tempat pelayanan kesehatan adalah area KTR, dalam artian, tempat tersebut adalah 100% KTR, dan tidak menyediakan ruang untuk merokok. Peraturan bahwa sekolah merupakan KTR sebetulnya telah diatur dengan Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no 4/U/1997 tentang Lingkungan Sekolah bebas rokok.Namun demikian, dalam penelitiannya di tahun 1999, Prabandari (2000) melaporkan bahwa peraturan Sekolah bebas rokok menurut beberapa guru hanya berlaku untuk murid, tidak berlaku untuk guru.Sementara pengertian KTR adalah kawasan tanpa rokok yang berarti seluruh kawasan adalah bebas rokok, tidak memandang siapapun. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan di Yogyakarta bekerja sama dengan Dinas Pendidikan adalah sosialisasi PERDA dan PERGUB tentang KTR di sekolah yang dilakukan sejak tahun 2008. Kegiatan ini mengundang guru dan murid secara bertahap, dengan tujuan, sekolah melaksanakan KTR 100%. Dalam laporan penelitian yang

244

didasarkan data skunder nasional di US tentang pemberlakukan KTR di sekolah, Kumar et al. (2005) melaporkan bahwa pemberlakukan KTR yang menyeluruh, termasuk tidak membolehkan guru merokok di sekolah, berhubungan dengan perilaku merokok siswa. Semakin ketat pelaksanaan KTR semakin rendah perilaku merokok siswa. Adanya sosialisasi PERDA dan PERGUB tentang KTR di sekolah diharapkan akan dapat membawa efek pada perilaku siswa, yang pada akhirnya juga dapat mengurangi prevalensi merokok remaja. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan

mendeskripsikanprevalensi merokok siswa di tahun 2000, pada saat KTR di sekolah belum diterapkan secara penuh dan dibandingkan dengan prevalensi merokok siswa tahun 2009, di saat sekolah-sekolah di Yogyakarta telah mendapatkan sosialisasi untuk melaksanakan KTR sepenuhnya.

B. Metode dan Subjek Penelitian Penelitian ini menggunakan dua data survei yang dilakukan dengan rancangan potong lintang (cross sectional). Penelitian pada tahun 2000 dilaksanakan di 20 SMP di Kota Yogyakarta dan melibatkan 2375 siswa. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 dilaksanakan di 9 SMP dan 13 SMA dengan melibatkan 2154 siswa SMP dan SMA dikota Yogyakarta. Variabel penelitian yang pertama adalah statusmerokok pada siswa SMP dan SMA di Daerah Istimawa Yogyakarta. Status merokok diklasifikasikan menjadi 3 yaitu bukan perokok adalah responden yang sama sekali belum pernah merokok walaupun hanya 1 hisapan, perokok coba-coba adalah responden yang pernah merokok namun tidak pernah habis 1 batang penuh seumur hidupnya, dan dalam 24 jam pada satu minggu terakhir tidak merokok atau dalam 1 bulan terakhir rokok yang dihisap kurang dari 3 batang, dan perokok teratur adalah responden yang dalam 24 jam pada 1 minggu terakhir merokok minimal 1 batang atau merokok lebih dari 3 batang pada 1 bulan terakhir. Variabel berikutnya adalah jejaring sosial perokok, yaitu teman dekat yang merokok, keluarga merokok yang terdiri dari ayah, ibu, kakak lelaki atau perempuan dan kakek yang merokok. Pada survei di tahun 2000 guru merokok juga ditanyakan, sementara pada survei 2009, pertanyaan tersebut tidak ditanyakan. Variabel demografi yang dikumpulkan adalah jenis kelamin, umur dan uang saku siswa. Umur dilaporkan dalam satuan tahun dan dikategorikan menjadi 3, sama atau di

245

bawah 14 tahun, 15 tahun dan di atas atau sama dengan 16 tahun. Uang saku siswa didasarkan penerimaan uang saku siswa harian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan instrumen berupa kuesioner yang disusun oleh peneliti utama untuk survei di tahun 2000, validitas instrumen dilaporkan dalam Prabandari (2006) dan survei 2009 kuesioner divalidasi oleh tim Quit Tobacco Indonesia, Pusat Bioetika dan Humaniora Kedokteran, Fakultas Kedokteran UGM. Pada awal analisis hasil dalam penelitian ini, dilakukan analisis univariat untuk karakteristik demografi responden. Sedangkan data yang lain dianalisis secara deskriptif.

C. HasilPenelitian Penelitian ini melibatkan sebanyak 2375 siswa pada tahun 2000 dan 2132 siswa yang terdiri dari siswa SMPdan SMA di kota Yogyakarta di tahun 2009, karakteristik

responden penelitian ini seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 1. Karakteristikresponden 2000 Laki-laki Perempua n % n % n Status sekolah Negeri Swasta status disamakan/akreditasi A Swasta, status diakui/akreditasi B Umur < 14 tahun 15tahun >16 tahun Uang saku <Rp. 2,000,Rp. 2,000 Rp5,000 >Rp 5,000 45 33 22 9 55 36 552 401 264 103 673 441 56 27 17 13 65 22 647 313 198 150 752 256 2009 Laki-laki Perempuan % 39. 1 56. 9 4.0 40. 5 15. 3 44. 1 2.3 52. 9 44. 8 n 409 595 42 420 159 457 % 53.8 43.0 3.2 34.2 22.5 43.3 n 584 467 35 369 243 467

54 44 2

567 467 16

48 49 3

481 500 27

23 526 445

0.8 52.9 46.3

8 537 470

246

Siswa yang terlibat dalam ke dua survey sebagian besar siswa perempuan, dengan usia yang bervariasi, namun sebagian besar berusia 15 tahun dan di atas 15 tahun. Uag saku terbanyak adalah di antara kurang dari Rp 2000 dan antara Rp. 2000-Rp 5000 sehari.Sebagian besar siswa berasal dari sekolah negeri.

Tabel 2. Status Merokok Siswa 2000 Laki-laki Perempuan % n % n Non perokok Perokok eksperimen Perokok teratur 35 30 35 394 337 398 77 17 6 832 186 68 2009 Laki-laki % n 67.8 9.8 22.4 679 98 224 Perempuan % n 96.1 2.3 1.6 1028 25 17

Status merokok siswa laki-laki dan perempuan di tahun 2000 menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada perokok eksperimen dan perokok teratur.Prevalensi non perokok di tahun 2009 lebih tinggi, baik pada siswa laki-laki dan perempuan.

Tabel 3. Jejaring Sosial yang Merokok 2000 Laki-laki Perempua n % n % n Teman dekat merokok Tidak ada seorang pun Satu atau lebih teman merokok Tidak tahu Keluarga merokok Ayah Ibu Kakek/nenek Kakak laki-laki Kakak perempuan Guru merokok Tidak ada seorang pun Beberapa/sedikit Hampir semuanya/semua 10 90 115 1003 26 74 273 766 2009 Laki-laki Perempuan % 17.2 74.6 8.2 78.4 3.6 30.7 52.5 4.2 n 177 769 85 435 18 157 281 21 % 32.9 60.9 6.2 81.6 1.7 24.1 36.2 2.1 n 54 656 67 467 9 125 195 11

65 8 25 43 5 4 71 25

706 76 237 429 44 46 818 285

65 6 23 38 4 5 72 23

678 53 217 356 38 52 789 247

247

Dalam tabel 3 dapat diperoleh informasibahwa siswa yang mempunyai teman dekat 1 orang perokok atau lebih menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada survey tahun 2000, baik pada siswa laki-laki maupun perempuan. Sekitar 90% siswa laki-laki dan 74% siswa perempuan mempunyai paling sedikit 1 teman dekat perokok di tahun 2000, sedangkan pada tahun 2009, sebesar 75% siswa laki-laki dan 61% siswa perempuan yang memiliki 1 atau lebih teman dekat perokok. Prevalensi siswa yang memiliki bapak perokok lebih tinggi pada survey 2009, baik pada siswa laki-laki dan perempuan.Pola ini juga ditemukan pada siswa yang memiliki kakak laki-laki perokok.Pada survey tahun 2000, hanya 4% siswa melaporkan tidak adanya guru yang merokok. Melalui kata lain, pada tahun 2000 sebagian besar siswa melaporkan sebagian guru di sekolah adalah perokok.

D. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi perokok, baik siswa laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan, prevalensi non perokok lebih tinggi pada survey yang dilakukan di tahun 2009.Meskipun penelitian ini bukan penelitian longitudinal dan hanya membandingkan dua studi potong lintang dengan populasi yang berbeda, hasil ini dapat mengindikasikan bahwa terdapat perubahan dalam perilaku merokok siswa setelah sosialisasi KTR di lingkungan sekolah berdasar PERDA dan PERGUB.Untuk menarik kesimpulan bahwa KTR di lingkungan sekolah efektif untuk mengurangi prevalensi merokok remaja masih terlalu dini dan memerlukan kajian lanjut.Setelah PERDA dan PERGUB diterapkan di Yogyakarta, beberapa area yang seharusnya KTR juga sudah dimulai.Oleh karena itu masyarakat Yogyakarta sudah mulai terpapar dengan KTR, dan harapannya siswa pun mulai dapat memikirkan tentang pilihan mereka untuk menjadi perokok atau tidak. Dalam penelitian Wakefield, et al (2000) yang didasarkan survey nasional yang dilakukan pada remaja di Amerika dilaporkan bahwa intervensi yang berupa KTR di fasilitas sekaligus larangan merokok di rumah, ditambah dengan dukungan terhadap aturan KTR di sekolah baik oleh guru dan pengurus sekolah serta orang tua mempunyai hubungan signifikan sebagai factor protektif untuk mencegah remaja menjadi perokok. Saat ini di Yogyakarta juga telah dilakukan gerakan RW dengan rumah bebas asap rokok (Prabandari, 2011), yang meskipun belum seluruh RW di Yogyakarta, namun bila sebagiane rumah telah mempunyai aturan tidak boleh merokok, hal ini akan membawa efek pada perilaku

248

merokok orang dewasa, yang pada akhirnya juga memberikan lingkungan positif bagi anak dan remaja. Temuan lainnya dalam penelitian ini adalah lebih rendahnya prevalensi pelajar yang memiliki satu teman perokok atau lebih pada pelajar laki-laki dan perempuan pada survey di tahun 2009 dibandingkan dengan survey di tahun 2000.Hasil ini sebetulnya linier dengan temuan sebelumnya yang menunjukkan bahwa perilaku merokok siswa laki-laki dan perempuan lebih rendah di survey 2009 dibanding di survey 2000.Berkurangnya teman dekat yang merokok juga merupakan indikasi yang positif, karena teman merokok berhubungan dengan perilaku merokok remaja.Mempunyai sahabat atau teman serta orang tua perokok mempunyai hubungan yang kuat dengan perilaku merokok, dan hal ini

ditemukan di Canada (Pederson, 1999) , California (Unger dkk, 2002), serta di Indonesia (Wawolumaya, 1996; Prabandari, 2006). Semakin sedikit teman dekat yang merokok diharapkan akan juga akan mencegah lajunya prevalensi merokok di kalangan remaja. Lebih tingginya prevalensi siswa yang mempunyai Bapak dan kakak laki-laki perokok di survey yang dilakukan pada tahun 2009 dibandingkan dengan survey 2000 merupakan kondisi yang memerlukan perhatian khusus, karena ada paradoks. Adanya PERDA dan PERGUB yang mengatur KTR dapat berdampak dua sisi, yang pertama, beberapa area akan membatasi ruang gerak perokok, sehingga perokok akan merokok di tempat yang diperbolehkan, dan sayangnya hal itu akan membawa ke dampak KTR di sisi berikutnya. Perokok akan merokok di rumah bersama anggota keluarga lainnya, termasuk para remaja. Meskipun gerakan rumah bebas asap rokok telah dilakukan, namun masih banyak RW yang belum melakukan gerakan tersebut, sehingga perokok dewasa masih cukup leluasa merokok di rumah, disaksikan atau bersama keluarga yang lain. Hal ini tentunya dapat dilihat bahwa prevalensi perokok dewasa laki-laki di Indonesia dalam Riskesdas 2007 dan 2010 masih 65%, dan berdasar data Riskesdas 2007, 87% perokok masih merokok di dalam rumah bersama keluarga. Banyaknya guru yang merokok di tahun 2000 dapat dipahami karena pada tahun tersebut PERDA dan PERGUB belum diterapkan, meskipun telah ada Instruksi Menteri Pendidikan tentang peraturan larangan merokok di lingkungan sekolah. Seperti dilaporkan Prabandari (2000), beberapa sekolah masih membolehkan guru merokok di lingkungan sekolah, sehingga adanya guru yang merokok di sekolah dapat diamati siswa dan dapat merupakan indikasi yang kurang bagus, karena guru adalah tokoh panutan.Perlunya

249

penguatan dengan adalanya tokoh panutan untuk tidak merokok sangat penting dalam mempengaruhi perilaku tidak merokok.Seperti dijelaskan dalam teori kognitif social yang dikembangkan oleh Bandura (1978). Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa melalui pengamatan terhadap orang lain, satu konsepsi tentang cara pola perilaku baru mulai terbentuk dan pada kesempatan berikutnya, konstruksi simbolik akan menjadi panduan untuk bertindak. Melalui kata lain, seseorang akan belajar tentang perilaku baru, dalam hal ini adalah remaja yang masuk di sekolah dengan KTR dan tidak ada guru atau orang lain di sekolah yang merokok, akan membentuk pola perilaku tidak merokok pula, karena perilaku tidak merokok inilah yang menjadi panduan bagi remaja tersebut. Terlebih lagi bila semakin sedikit contoh orang yang merokok, termasuk bila orang tua juga turut mendukung kebijakan KTR di sekolah dengan menerapkan KTR di rumah. Kajian ini mempunyai beberapa keterbatasan dari sisi metode penelitian.Yang pertama adalah penelitian ini membandingkan dua studi potong lintang, yang mengambil data dari dua populasi yang berbeda, sehingga bukan penelitian kohort.Oleh karena itu, pengambilan kesimpulan pada kajian ini bila diacu perlu pembahasan lebih

lanjut.Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berbeda, namun dalam penelusuran data, dapat diperoleh beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk menetapkan status merokok. Kedua kuesioner adalah self-report, yang dapat memungkinkan siswa menjawab tidak dengan sungguh-sungguh, namun pada kedua survey, enumerator di lapangan telah menekankan pada para siswa bahwa kerahasiaan dan informasi akan terjamin, sehingga jawaban siswa tidak mempengaruhi nilai akademis, dan informasi yang didapatkan dapat dijamin kebenarannya. Status merokok di dalam studi ini juga hanya didasarkan informasi tertulis, tidak dilakukan pemeriksaan urin maupun saliva.

E. Kesimpulan dan Saran Prevalensi perokok siswa laki-laki dan perempuan lebih rendah pada survei 2009 dibanding dengan prevalensi perokok di tahun 2000. Prevalensi teman dekat yang perokok pada siswa laki-laki dan perempuan pada survey 2009 juga lebih rendah dibandingkan dengan survey tahun 2000. Sebaliknya, prevalensi ayah dan kakak laki-laki perokok pada siswa laki-laki dan perempuan lebih tinggi di survei 2009 dibanding dengan survei 2000. Meskipun studi ini tidak dapat menyimpulkan bahwa perbedaan prevalensi perokok siswa laki-laki dan perempuan lebih rendah di tahun 2009 dibanding survei di tahun 2000

250

ini adalah efek dari penerapan KTR di sekolah dan kegiatan pengendalian tembakau di Yogyakarta, namun adanya perbedaan prevalensi ini dapat merupakan indikator bahwa bagaimanapun pengendalian tembakau perlu terus dikembangkan dan KTR penuh di sekolah harus diterapkan dan dimonitor. Pengembangan RW dengan rumah bebas asap rokok juga perlu dikembangkan, karena akan memberikan lingkungan yang positif bagi siswa.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, ML., Jason, LA., Pokorny, S., & Hunt, Y. 2009 The relationship between school policies and youth tobacco use. Journal of School Health 79 (1): 17-23 Bandura, A. 1978 Self Efficacy: Toward a Unifying Theory of Behavioral Change. Adv. Behav. Res. Ther. 1:139-161 Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Panduan Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta: Depkes RI (2006) Departemen Kesehatan RI. 2011 Riskesdas Indonesia tahun 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Departemen Kesehatan RI. 2008 Riskesdas Indonesia tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Kumar, R., OMalley, PM., & Johnston, LD. 2005 School tobacco control policies related to students smoking and attitudes toward smoking: National survey results, 19992000. Health Education Behavior 32:780-794 Pederson, L., Koval, J., McGrady, G., Tyas, S. 1998. The degree and type of relationship between psychosocial variables and smoking status for students in grade 8: is there a dose-response relationship? Preventive Medicine 27:337-347 Prabandari, Y., Higginbotham, N. 2000. Exploring perceptions of smoking inoculation program to prevent the uptake of smoking among junior high school students: a qualitative 2 approach, Presentation in International Conference on Clinical Epidemiology Network, Bangkok, Thailand Prabandari, YS. 2006 Smoking Inoculation for preventing the uptake of smoking among junior high school student in Yogyakarta Municipality. Doctorate Degree Dissertation.University of Newcastle, Australia. Tidak dipublikasikan Prabandari, YS., Ng, N., Padmawati, RS. 2010 Kawasan Tanpa Rokok sebagai Alternatif Pengendalian Tembakau- Studi Efektivitas Penerapan Kebijakan Kampus Bebas RokokTerhadap Perilaku dan Status Merokok Mahasiswa di Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta . Jurnal Manajemen dan Pelayanan Kesehatan 12(4):218-225 Suhardi 1997.Perilaku merokok di Indonesia.National Household Survey Series Jakarta, Indonesia: Department of Health - Health Research and Development Bodies

251

Unger, J., Yan, L., Shakib, S., Rohrbach, L., Chen, X., Qian, G., Chou, C., Jianguo, S., Azen, S., Zheng, H., Johnson, A. 2002. Peer influences and access to cigarettes as correlates of adolescent smoking : a cross-cultural comparison of Wuhan, China and California. Preventive Medicine 34:476-484 Wakefield, M.A., Chaloupka, F.J., Kaufman, NJ., Orleans, TC., Barker, DC., & Ruel, EE. 2000. Effect of restrictions on smoking at home, at school and in public places on teenage smoking : cross sectional study. BMJ 321: 333-337 Wawolumaya, C. 1996. Penelitian tentang pengetahuan, sikap dan perilaku murid sekolah dasar kelas 5 dan 6 di dua sekolah negeri di Jakarta 1994-1995. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia 24:154-252 WHO, 2008.MPOWER. Jakarta: WHO

252

ANALISIS FAKTOR RISIKO TERHADAP DISLIPIDEMIA BERDASARKAN INDIKATOR RASIO KOLESTEROL TOTAL/K-HDL DAN RASIO K-LDL/K-HDL PADA PENDUDUK DEWASA RURAL Namanda, Ratu Ayu Dewi Sartika ABSTRAK Dislipidemia merupakan keadaan abnormal dari salah satu kadar lemak darah. Rasio kolesterol total/K-HDL atau K-LDL/K-HDL merupakan prediktor kuat dalam memprediksi terjadinya aterosklerosis. Jenis disain penelitian adalah studi potong lintang. Populasi adalah seluruh orang dewasa laki-laki/perempuan yang berusia 35-60 tahun di daerah rural. Hasil penelitian menunjukkan proporsi subyek yang memiliki rasio kolesterol total/K-HDL tinggi dan rasio K-LDL/K-HDL tinggi sebesar 27,3% dan 13,1%. Faktor risiko utama yang berhubungan dengan rasio kolesterol total/K-HDL adalah indeks massa tubuh (IMT) setelah dikontrol oleh usia riwayat jantung dan tingkat stres. Sedangkan untuk rasio K-LDL/K-HDL adalah penyakit DM (diabetes mellitus) setelah dikontrol oleh kebiasaan merokok dan indeks massa tubuh (IMT). Perlunya sosialisasi pengukuran terhadap rasio kolesterol total/K-HDL dan rasio KLDL/K-HDL sbg upaya pencegahan penyakit pembuluh darah serta melakukan kegiatan edukasi akan pentingnya pengontrolan rutin terhadap berat badan serta menerapkan gaya hidup seimbang. Kata Kunci : rasio kolesterol total/K-HDL, rasio K-LDL/K-HDL, dewasa, rural

253

KUALITAS HIDUP PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK TERMINAL DI RSU PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Titiek Hidayati 1; Akrom 2
1) Dept. Epidemiologi, Kesehatan Masyarakat danKedokteran Keluarga FKIK UMY; 2) Bagian Farmasi klinik dan Farmakoepidemiologi Biomolekuler, Fakultas Farmasi UAD

ABSTRAK Latar Belakang dan Tujuan: Gagal Ginjal Kronik terminal (GGKT) merupakan masalah kesehatan di dunia dengan insidensi, morbiditas dan mortalitas yang tinggi serta memberikan dampak secara ekonomi, fisik dan material pada penderita, keluarga maupun negara. Penderita GGKT biasanya diikuti dengan penurunan kualitas hidup. Tujuan penelitain untuk mengetahui bagaimana gambaran kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional pada 100 naracoba dengan GGKT yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah. Variabel yang diamati meliputi umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, jenis pendidikan dan WHOQol. Kualitas hidup ditetapkan dengan menggunakan kuesioner WHOQALY yang berbahasa Indonesia. Data diolah secara diskriptif dan analitik. Uji chi square digunakan untuk menilai hubungan factor umur, jenis kelamin dan tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita GGKT di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil: Penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta sebagian besar mengalami penurunan kualitas hidup (64% v.s. 36%). Factor umur dan jenis kelamin tidak berhubungan dengan kualitas hidup penderita GGKT yang dirawat di PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Variabel jenis pekerjaan berhubungan secara kurang signifikan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Variabel kebiasaan merokok berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Tempat tinggal dan jenis pendidikan berhubungan secara signifikan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakart. Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa factor yang merupakan determinan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta adalah alamat tempat tinggal dan jenis pendidikan. Faktor yang berhubungan secara kurang signifikan dengan kualitas hidup adalah jenis pekerjaan. Sedangkan factor yang tidak berhubungan dengan kualitas hidup adalah factor jenis kelamin. Kata Kunci: GGKT, kualitas hidup, cross sectional; PKU Muhammadiyah Yogyakarta

254

A. Pendahuluan Gagal Ginjal Kronik terminal atau end stage renal disease (ESRD) (GGKT) merupakan masalah kesehatan dunia (Stevens et al., 2006; Kher, 2002). Menurut US Renal Data System diperkirakan pada tahun 2025 penderita gagal ginjal akan mencapai dua kalilipat dari tahun 2000 (Go et al., 2004). Insidensi gagal ginjal kronik di Indonesia diduga sebesar 100-150 tiap 1 juta penduduk per tahun. Jika dibandingkan dengan penyakit jantung koroner, stroke, diabetes mellitus dan kanker, angka GGKT di Indonesia ini jauh lebih kecil, akan tetapi menimbulkan masalah besar oleh karena biaya pengobatannya mahal dan berjangka lama (Bakri, 2005). Gagal ginjal kronik/terminal (GGKT) tidak saja

mengakibatkan kerugian secara fisik, psikis dan ekonomi pada diri penderita tetapi juga menjadi beban bagi keluarga, masyarakat maupun negara (Bakri, 2005; Remuzzi et al., 2002). Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan terdapat penurunan fungsi ginjal oleh karena adanya kerusakan dari parenkim ginjal yang bersifat kronik dan irreversibel.Untuk menjaga homeostasis tubuh, Penderita gagal ginjal kronik terminal membutuhkan 8-12x hemodialisis per bulan dengan biaya rata-rata Rp 600.000/hemodialisis (Bakri, 2005). Hemodialisis tidak saja menguras keuangan penderita juga merupakan beban secara fisik dan psikis. Hemodialisis menurunkan kualitas kidup pasien. Setiap hemodialisis penderita harus meluangkan waktu 3 jam untuk proses hemodialisis dan sering diikuti dengan rasa sakit dan beban psikis karena tergantung pada bantuan orang lain. Penderita GGKT biasanya memiliki kualitas hidup lebih rendah (Cohen et al., 2007; Scot et al., 2007; Wu et al., 2004). Pasien gagal ginjal kronik rentan terhadap kematian, pasien yang terdiagnosis penyakit gagal ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes memiliki kemungkinan mengalami kematian dibandingkan penderita 5 sampai 10 kali lebih besar jika

penyakit kardiovaskuler (Go et al., 2004). Tingkat kematian

penderita GGKT pada tahun pertama mencapai 20% dan meningkat menjadi 60% pada tahun kelima sakit (Dalrymple and Go, 2008). Faktor faktor yang diduga berhubungan dengan penurunan kualitas hidup penderita GGKT antara lain faktor penyakit, penurunan glomerular filtration rate (GFR), faktor infeksi akut dan komorbid, faktor gaya hidup, faktor demografi serta faktor sosial ekonomi. Rumah Sakit Umum PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah salah satu rumah sakit rujukan di Yogjakarta untuk perawatan penderita gagal ginjal dan membuka

255

pelayanan hemodialisis. Penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal yang dirawat di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta penting dilakukan. Kualitas hidup pasien dapat menjadi acuan keberhasilan dari suatu tindakan/intervensi atau terapi. Disamping itu, data tentang kualitas hidup penderita GGKT juga dapat menjadi data awal untuk pertimbangan merumuskan intervensi/tindakan yang tepat bagi pasien. Tetapi sampai sejauh ini belum dilakukan penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan penurunan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronikterminal yang melakukan program hemodialisis di unit hemodialisis RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan latar belakang seperti tersebut permasalahan penelitian ini adalah bagaimana gambaran kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal yang melakukan program hemodialisis di unit hemodialisis RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

B. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilaksanakan di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. RSU PKU Muhammadiyah merupakan salah satu dari rumah sakit di DIY yang mempunyai pusat hemodialisis.

Populasi, subjek penelitian dan jumlah sampel Populasi adalah pasien yang terdiagnosis gagal ginjal kronis terminal, dengan kriteria diagnosis yaitu kliren kreatinin <5ml/menit atau kadar kreatinin serum darah lebih besar atau sama dengan 10 mg/dl yang dapat diketahui dari rekam medis dan memerlukan hemodialisa secara kontinyu minimal selama tiga bulan. Kriteria inklusi subyek penelitian : (i). Orang Indonesia (Jawa, Sunda, Melayu); (ii). Usia 15-75 tahun dan (iii). Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dengan mengisi dan menandatangani lembar pernyataan persetujuan serta kooperatif. Kriteria eksklusi subyek

penelitian (i). Memiliki penyakit ginjal bawaan; (ii). Riwayat transplantasi ginjal dan (iii). Penyakit jiwa Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus penentuan besar sampel untuk pengujian hipotesis menurut Lemeshow at al (1997). Dengan data proporsi penderita GGKT di Indonesia sebesar 2% (p=0,02), q=0,98 dan tingkat kemaknaan 95% maka jumlah

256

sampel penelitian minimal berjumlah 84 naracoba. Antisipasi terhadap kesalahan dan kegagalan dalam proses penelitian, jumlah sampel ditambah dengan 10% dari sampel minimal yaitu 8,4 atau dibulatkan menjadi 9, sehingga jumlah sampel minimal yang dibutuhkan sampling. adalah 93 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara random

Alat, bahan dan prosedur penelitian. Alat atau perlengkapan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: (i). Kuesioner WHOQol, dipergunakan untuk mendapatkan data primer dari responden tentang kualitas hidup responden; (ii). Form pengambilan data, dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder antara lain umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, alamat tempat tinggal dan jenis pekerjaan. Pengambilan data primer pada sampel dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner meliputi identitas responden dan kualitas hidup responden.serta data lain yang terkait dengan variabel penelitian.

Cara analisis data Data yang diperoleh diolah menggunakan tabel 2x2 dan dianalisis dengan uji kai kuadrat untuk mengetahui relative risk dan menilai adanya hubungan antara faktor umur, jenis kelamin, alamat, jenis pekerjaan dan tingkat pendidikan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik.

C. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil a. Karakteristik Naracoba Gambaran umum naracoba yang dilibatkan dalam penelitian tampak pada tabel 1. Dari tabel 1 diketahui bahwa lebih dari 50% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan Sleman, diikuti naracoba dari Kab. Bantul dan berikutnya Wonosari dan Kulon progo. Sebagian besar responden adalah laki-laki (64 v.s. 36), berusia 41 tahun ke atas (71% v.s. 29%), berpendidikan SMA ke atas (67% v.s. 33%) dan bukan perokok (11% v.s. 89%). Sebagian besar (64%) dari naracoba memiliki status kualitas hidup rendah.

257

Tabel 1. Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, Tempat tinggal, Pekerjaan dan Kualitas Hidup. Karakteristik Persentase Laki-laki 64 Jenis kelamin: Perempuan 36 -20 1 Umur : 21- 40 28 41 60 51 >60 20 Tidak tamat SD 3 Pendidikan: Tamat SD 19 Tamat SMP 11 Tamat SMA 30 >SMU (PT) 37 Kota Yogyakarta 28 Alamat/tempat Sleman 36 tinggal: Bantul 26 Kulon Progo 2 Wonosari dan lainnya 8 PNS-Polri-Abri 8 Pekerjaan : Swasta-wiraswasta 12 Petani Buruh - tukang 14 Tidak berkerja 66 Baik 36 Kualitas hidup Kurang 64 b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta Hasil uji chi square untuk mengetahui variable yang berhubungan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta tampak pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Chi Square dan mantel haesnzel karakteristik demografi, aktivitas merokok, komorbid hepatitis, kualitas keluarga dan kepuasan pelayanan dengan kualitas hidup penderita GGKT di RSU PKU Muhamadiyah Kualitas hidup Karakteristik RR CI Signifikansi Kurang Baik baik Jenis kelamin Laki-laki 22 42 1,05 0,44-2,49 0,91 wanita 12 24 Umur Tidak lansia 30 62 0,48 0,11-2,1 0,32 Lansia 4 4 Alamat Kota Yk 17 11 5 1,97-12,71 0,01 Luar Kota 17 55 Pekerjaan PNS 5 3 3,62 0,81-16,19 0,92 Bukan PNS 29 63 Pendidikan SMU 16 47 0,36 0,15-0,89 0,02 >SMU 18 19

258

Dari uji chi square hubungan umur dan jenis kelamin naracoba dengan kualitas hidupnya penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta tidak berhubungan dengan kualitas hidupnya (rhitung<rtabel; p>0,05). Dari hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa umur dan jenis kelamin penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah tidak berhubungan dengan kualitas hidup mereka. Dari hasil uji tampak bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pendidikan dan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah. Penderita GGKT yang berpendidikan SMU ke bawah risiko untuk mengalami kualitas hidup kurang adalah 0,36 kali jika dibandingkan dengan penderita GGKT yang berpendidikan lebih tinggi dari SMU (RR=0,36; CI=0,15-0,89; p<0,05). Penderita GGKT tinggal di kota Yogyakarta memiliki kualitas hidup lebih baik peluangnya 5x dari pada penderita GGKT yang tinggal di luar kota Yogyakarta (rhitung>rtabel; p<0,05; RR=5; CI=1,97 12,71). Dari tabel 2 diketahui bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara jenis pekerjaan PNS (sipil-militer) dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah dengan kualitas hidup mereka (rhitung<rtabel; p>0,10; RR=3,62; CI=0,82 16,54). Sehingga dari hasil ini dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang kurang signifikan antara jenis pekerjaan dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah.

2. Pembahasan Dari hasil penelitian diketahui bahwa lebih dari 50% naracoba berasal dari Kota Yogyakarta dan Sleman, diikuti naracoba dari Kab. Bantul dan berikutnya Wonosari dan Kulon progo. Sebagian besar responden adalah laki-laki (64 v.s. 36), berusia 41 tahun ke atas (71% v.s. 29%), berpendidikan SMA ke atas (67% v.s. 33%) dan bukan perokok (11% v.s. 89%). Sebagian besar (64%) dari naracoba memiliki status kualitas hidup rendah dan kebanyakan dari golongan bukan pegawai negeri dengan penghasilan yang relatif lebih rendah dan biasanya tanpa jamianan dana pensiun dan asuransi. Hasil penelitian tidak berbeda dengan hasil-hasil penelitian lainnya (Halan et al., 2006).

259

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa penderita gagal ginjal kronik terminal yang menjalani hemodialisis di RSU PKU muhammadiyah Yogyakarta sebagian besar (64%) memiliki kualitas hidup rendah (skor<60), Hal ini sesuai dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Hemodialisis merupakan salah satu determinan kuaitas hidup dimana hemodialisis menurunkan kualitas hidup seseorang (Yang et al., 2005). Kualitas hidup adalah persepsi seseorang tentang posisinya dalam hidup dalam kaitannya dengan budaya dan sistem tata nilai di mana ia tinggal dalam hungannya dengan tujuan, harapan, standar, dan hal-hal menarik lainnya. WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai the individuals perception of their life status concerning the context of culture and value system inwhich they live and their goals, expectations, standards,and concerns.. Penderita GGKT yang menjalani hemodialisis sering diikuti dengan penurunan kualitas hidup (Scot et al., 2007). Sejalan dengan hasil penelitian sistematik review oleh Tonelli et al. (2006), penelitian Hwang et al. (2008) juga menunjukkan bahwa penderita GGKT memiliki risiko kematian yang lebih tinggi jika dibandingkan bukan penderita GGKT(Hwang et al., 2008). Dari penelitian sebelumnya telah diketahui factor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien antara lain adanya (1). rasa nyeri dan ketidaknyamanan yang diakibatkan dari sakit gagal ginjal yang diderita atau tindakan atau prosedur pengobatan terkait sakit yang diderita, (2). gangguan tidur, (3). depresi, (4). ketidaknyamanan karena penyakit penyerta, (5). kualitas pelayanan dan perawatan, (6). penyakit penyerta, (7). status sosial ekonomi dan (8). dukungan keluarga (Cohen et al., 2007, Scot et al., 2007;Yang et al., 2005). Pasien gagal ginjal kronik juga rentan terhadap kematian, pasien yang terdiagnosis penyakit gagal ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes memiliki kemungkinan mengalami kematian 5 sampai 10 kali lebih besar jika dibandingkan penderita penyakit

kardiovaskuler (Go et al., 2004). Tingkat kematian penderita GGKT pada tahun pertama mencapai 20% dan meningkat menjadi 60% pada tahun kelima sakit. Disamping menurunnya glomerula filtration rate (GFR), faktor infeksi akut dan komorbid serta gaya hidup tak sehat merupakan faktor-faktor yang sangat berperanan dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas penderita GGKT dengan hemodialisis (Dalrymple and Go, 2008). Alamat tempat tinggal penderita merupakan salah satu determinan kualitas hidup penderita GGKT yang melakukan hemodialisis di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan jarak tempuh dan waktu perjalanan serta

260

kenyamanan dalam transportasi. Penderita GGKT minimal melakukan 1x hemodialisis dalam seminggu, itu artinya minimal dalam satu minggu seorang penderita GGKT harus melakukan perjalanan dari rumah menuju RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, boleh jadi kondisi dan situasi perjalanan merupakan stressor yang cukup berpengaruh terhadap kualitas kesehatannya. Penelitian oleh Moist et al. (2008) pada penderita GGKT di Amerika menunjukkan fenomena yang sama, bahwa penderita GGKT yang membutuhkan waktu perjalanan yang lebih lama memiliki tingkat kualitas hidup yang lebih rendah. Waktu perjalanan berhubungan dengan kenaikan risiko kematian dan penurunan kualitas hidup penderita GGKT yang menjalani program dialysis (Moist et al., 2008). Disamping faktor jarak tempuh atau alamat tempat tinggal, tingkat pendidikan berhubungan dengan kualitas hidup. Tingkat pendidikan lebih tinggi dari SMU memiliki kualitas hidup yang lebih baik jika dibandingkan penderita GGKT yang berpendidikan maksimal SMU. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya (Wesolowski et al., 2004). Faktor alamat berhubungan dengan kemudahan mendapatkan layanan dan transportasi menuju rumah sakit untuk hemodialisis, sedangkan tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat kesadaran dan perubahan gaya hidup serta kesadaran menjalani pengobatan. Beberapa faktor demografi yang berepngaruh terhadap kualitas hidup penderita GGKT antara lain umur, jenis pekerjaan, status marital, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan (Yang et al., 2008; Wesolowski et al., 2004).. .

D. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpunal sbb: Sebagian besar (64%) penderita GGKT yang menjalani hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta memiliki kualitas hidup rendah. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, umur dan jenis pekerjaan dengan kualitas hidup penderita GGKT yang menjalani hemodialisis di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Terdapat hubungan status pendidikan dan alamat tempat tinggal dengan kualitas hidup penderita gagal ginjal kronik terminal di RSU PKU Muhamadiyah Yogyakarta. Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. Perlu diteliti jenis penyakit komorbid.

261

Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dibiayai oleh DIKTI melalui Proyek Hibah Bersaing tahun anggaran 2012 & 2013, oleh karena itu disampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga.

DAFTAR PUSTAKA Bakri, S., 2005. Deteksi dini dan upaya-upaya pencegahan progresifitas penyaki gagal ginjal kronik, Jurnal Medika Nusantara, 26(3):36-39 Cohen, SD., Patel, SS., Khetpal, P. Peterson, RA., Kimmel, PL., 2007. Pain, sleep disturbance, and quality of life in patients with chronic kidney disease, Clin J Am Soc nephrol 2: 919-925 Dalrymple, LS. and Go, AS., 2008. Epidemiology of acute infections among patients with chronic kidney disease,J. American society of nephrology Go, A.S., Chertow, G.M., Fan, D., Hsu, C.Y., 2004. Chronic kidney disease and the risk of death, cardiovascular events and hospitalization, NEJM, 351:1296-305 Hallan, S.I., Coresh, J., Astor, B.C., sberg, A., Powe, N.R., Romundstad, S., Hallan, H.A., Holme, J., 2006. International Comparison of the Relationship of Chronic Kidney Disease Prevalence and ESRD Risk, J Am Soc Nephrol 17: 2275-2284 Hwang, S., Lin, M., Chen, H., Hwang, S.C., Yang, W.Y., Hsu, C., Chiu, H., Mau, L., 2008. Increased risk of mortality in the elderly population with late-stage chronic kidney disease: a cohort study in Taiwan, Nephrology Dialysis Transplantation,23(10):3192-3198 Kher, V., 2002. End stage renal disease in developing countries, J. Kidney International, 62:350-362 Lemeshow, S., Hosmer, Jr. D.W., Klar, J., Iwanga, S.K., 1997. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Terjemahan.Cetakan pertama. Jogjakarta:Gadjah Mada University Press Moist, L.M., Gresham, J.L.B., Pisoni, R.L., Saran, R., Akiba, T., Jacobson, S.H., Fukuhara, S., Mapes, D.L., Rayner, H.C., Saito, A., Port, F.K., 2008. Travel Time to Dialysis as a Predictor of Health-Related Quality of Life, Adherence, and Mortality: The Dialysis Outcomes and Practice Patterns Study (DOPPS), American Journal of Kidney Diseases, 51, 4, 641-650 Remuzzi,G., Ruggenenti, P., Perico, N. 2002. Chronic renal diseases Renoprotective benefits of Renin-angiotensin System Inhibition, Annual of Internal Medicine;136(8):604-615 Scott D. Cohen, Samir S. Patel, Prashant Khetpal, Rolf A. Peterson, and Paul L. Kimmel, 2007. Pain, Sleep Disturbance, and Quality of Life in patients with Chronic Kidney Disease, Clin J Am Soc Nephrol 2: 919-925, Stevens, L.A., Coresh, J., Greene, T., Levey, A.S., 2006. Assesing kidney functionmeasured and estimated glomerular filtration rate, NEJM, 354:2473-83

262

Tonelli, M., Wiebe, N., Culleton, B., House, A., Rabbat, C., Fok, M., McAlister, Garg, A.X., 2006. Chronic Kidney Disease and Mortality Risk: A Systematic Review, J Am Soc Nephrol 17: 2034-2047 Wesoowski, T,, Szyber, P., 2004. Usage of the WHOQOL-100 as a trial of objective estimation of quality of life in end-stage renal disease patients treated with renal transplantation, Pol Merkur Lekarski. ;17(99):260-6 Wu, AW., Fink, NE., Jane, Manzi, M., Meyer, KB., Finkelstein, FO., Chapman, MM., Powe, NR., 2003, Changes in quality of life during hemodilysis and peritoneal dialysis treatment: generic and disease specific measures, Journal of the American society of nephrology. Wu AW, Fink NE, Marsh-Manzi JV, Meyer KB, Finkelstein FO, Chapman MM, Powe NR., 2004. Changes in quality of life during hemodialysis and peritoneal dialysis treatment: generic and disease specific measures., J Am Soc Nephrol. 15(3):743-53 Yang, S., Kuo, P., Wang, J., Lin, M., Su, S., 2005. Quality of Life and Its Determinants of Hemodialysis Patients in Taiwan Measured With WHOQOL-BREF(TW), American Journal of Kidney Diseases, Volume 46,4,635-641

263

PENINGKATAN PERAN PENDERITA DALAM UPAYA PENEMUAN SUSPEK TB PARU DI KOTA PALU
Herawanto 1), Chatarina U.W2) Atoillah Isfandiari 2) 1) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako 2) Departemen Epidemiologi, FKM Unair Surabaya.

ABSTRAK Latar Belakang. Pasien TB perlu diberdayakan melalui pemberian informasi yang memadai tentang TB, pentingnya upaya pencegahan dan pengendalian TB, serta hak dan kewajiban pasien TB. Pemberdayaan pasien TB telah menjadi suatu strategi yang telah di cantumkan dalam strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2011-2014. Subjek dan Metode. Penelitian ini merupakan pre eksperimen dengan pendekatan action research. Sampel terdiri atas 45 penderita TB Paru triwulan 1 tahun 2012 mendapatkan pelatihan penemuan suspek TB. Hasil. Karekteristik responden 53,3% berumur < 40 tahun, 55,6% berjenis kelamin laki-laki, 62,2% berpendidikan tinggi dan 68,9% tidak bekerja. Pengetahuan menunjukkan adanya perubahan positif antara pretest dan posttest 60%; peran penderita dalam upaya penemuan suspek yang menemukan 33,3%, pencatatan yang sesuai 86,7% dan pelaporan yang sesuai 93,3%. Jumlah suspek yang ditemukan adalah 17 suspek dari 15 penderita yang menemukan. Kesimpulan.Melalui pelatihan TB, penderita TB dapat diberdayakan untuk membantu meningkatkan penemuan suspek TB. Disarankan untuk melakukan peningkatan peran penderita melalui pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, penemuan kasus suspek TB, melakukan pencatatan dan pelaporan dengan benar. Kata kunci : TB Paru, Penemuan Suspek, Peran Penderita. A. Latar Belakang Mycobacterium tuberculosis dikatakan sebagai bakteri pembunuh nomor satu. World Health Organization (WHO) memperkirakan bakteri ini telah membunuh 2 juta jiwa setiap tahunnya. Antara tahun 2002-2020 diperkirankan sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi. Jika dilakukan perhitungan pertambahan jumlah pasien sekitar 2,8-5,6 juta jiwa setiap tahun, dan 1,1-2,2 juta jiwa akan meninggal karena TB. Perkiraan WHO, yaitu sebanyak 2-4 orang terinfeksi TB setiap detik, dan hampir 4 orang setiap menit meninggal karena TB. Fakta TB di Indonesia sampai saat ini seperempat juta kasus dan 140.000 kematian terjadi setiap tahun, dan TB di Indonesia sebagai pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia. Pada tahun 2010,

264

peringkat penderita TB di Indonesia turun ke urutan 5 di dunia setelah hampir 10 tahun lamanya menempati urutan ke-3 di dunia (Anggraeni, 2011). Berdasarkan jumlah penduduk yang ada di Sulawesi Tengah, maka diperkirakan kasus TB BTA Positif di masyarakat sekitar 5.208 orang. Pada tahun 2010 hanya ditemukan 2.307 kasus yang menandakan CDR hanya 45,54%. CDR masih sangat rendah meskipun ada yang menyampaikan sudah cukup baik diantaranya adalah kabupaten Poso, Kabupaten Banggai dan Kabupaten Tolotoli. Tetapi secara rata-rata provinsi masih di bawah 70% (Dinkes Sulteng, 2010). Kota Palu yang merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Tengah, sampai dengan tahun 2010 meliliki angka CDR sebesar 39,3% dengan jumlah suspek TB Paru sebanyak 4.402 dan yang positif sebanyak 259 orang dengan Cure Rate sebanyak 212 orang atau 84,80%, meningkat dibandingkan pada CDR tahun 2009 yaitu 37,5% dengan jumlah suspek TB Paru sebanyak 1.364 dan yang positif 243 dengan Cure Rate 174 orang atau 82,85% (Dinkes Kota Palu, 2011). Masyarakat dan pasien TB perlu diberdayakan melalui pemberian informasi yang memadai tentang TB, pentingnya upaya pencegahan dan pengendalian TB, serta hak dan kewajiban pasien TB sebagaimana tercantum dalam TB patient charter. Pemberdayaan masyarakat lebih lanjut dapat difasilitasi melalui penguatan desa siaga untuk pengendalian TB. Pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan TB Paru merupakan suatu strategi yang dikembangkan dalam strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2011-2014, selain pemberdayaan masyarakan juga diterapkan strategi dengan memberdayaan pasien TB (Kemenkes, 2011). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah peningkatan peran penderita TB Paru dapat dilakukan dalam upaya penemuan suspek TB Paru. Peningkatan peran ini diawali dengan pemberian pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan penderita tentang TB Paru serta melakukan upaya penemuan suspek TB Paru, pencatatan dan pelaporan. B. Subjek dan Metode Penelitian ini adalah pre eksperimental dengan pendekatan Action Research. Penelitian ini dilakukan di Kota Palu, Sulawesi Tengah dan waktu penelitian dilakukan selama 3 bulan. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru triwulan 1 tahun 2012 yang sedang menjalani pengobatan baik fase intensif

265

maupun fase lanjutan pada saat pelaksanaan penelitian di seluruh puskesmas Kota Palu. Pengambilan sampelnya adalah dengan total populasi, besar sampel yaitu 45. Analisis data dilakukan secara deskriptif.

C. Hasil 1. Karakteristik Responden Penelitian ini menemukan bahwa responden dengan golongan umur < 40 tahun merupakan kelompok tertinggi, yaitu 53,3% (24 orang). Sebagian besar responden adalah laki-laki yaitu 55,6% (25 orang). Sedangkan responden dengan pendidikan tinggi adalah yang terbanyak, yaitu 62,2% (28 orang) dan responden sebagian besar tidak bekerja yaitu 68,9% (31). Tabel 1. Karakteristik Responden Variabel Umur Katergori < 40 40 Laki-laki Jenis Kelamin Perempuan Rendah Pendidikan Tinggi Bekerja Pekerjaan Tidak Bekerja 2. Pengetahuan Responden Pengetahuan umum responden tentang TB Paru merupakan bagian penting yang dinilai dalam penelitian ini untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan penderita TB Paru tentang penyakit yang diderita oleh mereka, hasil pre test dan post test menunjukkan perubahan pengetahuan setelah intervensi yaitu mencapai 60% (12 orang). Tabel 2. Pengetahuan Responden Pengetahuan Tinggi Pre test Rendah Total Post test Tinggi 25 (100%) 12 (60%) 37 (82,2%) Rendah 0 (0%) 8 (40%) 8 (17,8%) Total 25 (100%) 20 (100%) 45 (100%) n 24 21 25 20 17 28 14 31 % 53,3 46,7 55,6 44,4 37,8 62,2 31,1 68,9

266

3. Peran Penderita TB Paru Dalam Upaya Penemuan Suspek TB Paru Peran penderita TB Paru dalam upaya penemuan suspek TB Paru merupakan kegiatan untuk menemukan suspek TB Paru di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, pencatatan dan pelaporan suspek TB Paru yang ditemukan sesuai dengan ketentuan. Tabel 3. Peran Penderita TB Paru Katergori Menemukan Penemuan Suspek Tidak Menemukan Sesuai Pencatatan Tidak Sesuai Sesuai Pelaporan Tidak Sesuai Variabel n 15 30 13 2 14 1 % 33,3 66,7 86,7 13,3 93.3 6.7

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa responden yang menemukan suspek TB Paru adalah 33,3% (15 orang) sedangkan responden yang mencatat suspek yang ditemukannya sesuai dengan formulir berdasarkan hasil pemeriksaan petugas adalah 86,7% (13 orang). Jika dilihat berdasarkan pelaporan makan sebagian besar responden melaporkan suspek yang ditemukannya sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu 93.3 % (14 orang).

4. Hubungan Karakteristik Responden dengan Peran Penderita Hasil penelitian hubungan karakteristik dan penemuan suspek TB Paru maka kelompok umur < 40 tahun dan 40 tahun memiliki persentasi yang sama dalam menemukan suspek, yaitu 33,3 sedangkan jenis kelamin perempuan lebih banyak menemukan suspek yaitu 50% (10 orang). Jika berdasarkan pendidikan maka yang paling banyak menemukan suspek adalah yang berpendidikan rendah yaitu 41,2% (7 orang) dan yang menemukan suspek sebagian besar adalah yang tidak bekerja yaitu 38,7% (12 orang). Jika dilihat berdasarkan pengetahuan maka yang menemukan suspek sebagian besar memiliki pengetahuan tinggi yaitu 73,3% (11 orang). Hubungan karakteristik dengan pencatatan menemukan bahwa yang paling banyak melakukan pencatatan dengan sesuai adalah golongan umur < 40 tahun yaitu 87,5% (7 orang), jenis kelamin laki-laki 100% (5 orang), berpendidikan tinggi 100% (8 orang), kelompok yang bekerja 100% (3 orang) dan berpengetahuan tinggi yaitu 84,6% (11 orang).

267

Hasil penelitian juga menemukan hubungan antara karakteristik dengan pelaporan yang sesuai paling banyak adalah kelompok umur < 40 yaitu 100% (8 orang), laki-laki 100% (5 orang), responden dengan pendidikan tinggi 100% (8 orang), responden tidak bekerja yaitu 91,7% (11 orang) dan pengetahuan tinggi melakukan pelaporan dengan sesuai adalah 78,6% (11 orang).

5. Jumlah Suspek TB Paru Yang Ditemukan Oleh Penderita TB Paru Jumlah suspek TB Paru yang ditemukan penderita merupakan hasil dari kegiatan penderita untuk menemukan suspek di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Hasil menunjukkan bahwa penderita yang menemukan 1 (satu) suspek TB Paru adalah 86,7% (13 orang). Dari 15 penderita total suspek TB Paru yang ditemukan adalah 17 suspek TB Paru. Tabel 4. Jumlah Suspek TB Paru Yang Ditemukan Penderita TB Paru Suspek Yang Ditemukan 1 2 Total n 13 2 15 % 86,7 13,3 100

D. Pembahasan dan Kesimpulan 1. Pengetahuan Umum Responden Tentang TB Paru Pengetahuan termasuk pengetahuan tentang kesehatan merupakan suatu penunjang dalam setiap aktifitas, khususnya di sini adalah pengetahuan tentang TB Paru untuk menunjang kegiatan penemuan suspek, yang terdiri dari penyebab TB Paru, cara penularan, gejala, cara pencegahan, dan pengobatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan atau perubahan pengetahuan setelah dilakukan pelatihan. Adanya intervensi berupa pelatihan ternyata dapat meningkatkan pengetahuan, karena pengetahuan merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam suatu kegiatan, dalam hal ini adalah kegiatan penemuan suspek. Pengetahuan yang baik dari responden tentunya akan membantu atau mempermudah mereka dalam mencari seseorang dengan gejala TB Paru, minimal orang dengan gejala yang sama seperti yang mereka rasakan. Jika dilakukan analisis lebih jauh, maka ditemukan bahwa sebagian besar yang berpengetahuan tinggi adalah umur < 40 tahun,

268

jenis kelamin laki-laki, berpendidikan tinggi serta tidak bekerja. Alvares DKK (2003) dengan memberikan pendidikan untuk peningkatan kepatuhan pasien TB yang merupakan bagian dari intervensi dapat meningkatkan proporsi pasien yang yang berobat dengan tuntas, kegiatan pendidikan juga perlu digabungkan dengan partisipasi masyarakat dalam pelayanan kesehatan untuk mengatasi kesehatan masyarakat secara komprehansif. Sabri (2011) juga mengemukakan bahwa dengan memberikan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan kepada kelompok kemitraan dapat berpartisipasi untuk meningkatkan cakupan orang yang diperiksa di klinik. Pemberdayaan juga dilakukan pada kelompok pedagang pasar untuk menjaring suspek, dimana ditemukan bahwa dengan pelatihan dan sosialisasi dapat menigkatkan pengetahuan tentang TB kelompok ini mencapai 55% (Amran DKK, 2010).

2. Penemuan Suspek TB Paru Penemuan pasien sampai saat ini dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan suspek dilakukan di unit pelayanan kesehatan, yaitu petugas menunggu pasien yang datang didukung dengan penyuluhan yang aktif baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan suspek (Depkes RI, 2007). Penelitian menunjukkan bahwa dari 45 responden (penderita TB Paru) yang mengikuti penelitian, hanya sebagian kecil yang menemukan suspek. Kurangnya penderita yang menemukan suspek diperkirakan karena masih ada stigma negatif pada penderita TB, hal ini dibuktikan dengan sebagian besar responden menyatakan bahwa Penderita TB Paru mendapat pandangan negatif dari orang lain sehingga penderita TB Paru merasa malu dengan penyakit yang dideritanya dan akan menyembunyikan penyakitnya dari orang lain. Penelitian Sabri (2011) menemukan bahwa dari partisipasi kelompok pada pemberdayaan masyarakat dapat menemukan 9 penderita TB BTA positif dan 14 suspek TB. Amran DKK (2010) juga menyatakan bahwa setelah diberikan pelatihan dan sosialisasi pada kelompok pedagang pasar yang dilibatkan dalam upaya penjaringan suspek dapat menemukan 72 suspek TB dan 11 orang diantaranya merupakan TB BTA Positif. Penemuan suspek dihubungkan dengan karakteristik responden, maka responden yang menemukan suspek TB Paru sama antara kelompok umur kurang dari 40 tahun

269

dan lebih atau sama dengan 40 tahun. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin penemuan suspek lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Perempuan dimungkinkan dapat melakukan kegiatan penemuan suspek karena sebagian besar kegiatannya dilakukan di rumah, dan perempuan lebih banyak bersosialisasi dengan tetangga sehingga memudahkan untuk menemukan suspek disamping kegiatan yang sering dilakukan setiap hari. Jika dianalisis lebih jauh, ternyata perempuan dalam penelitian ini sebagian besar menyelesaikan pendidikan tinggi, sebagian besar tidak bekerja dan umur kurang dari 40 tahun. Penemuan suspek jika dilihat dari pendidikan responden maka kelompok dengan pendidikan rendah merupakan kelompok yang paling banyak menemukan, hal ini dimungkinkan bahwa pendidikan tidak berpengaruh terhadap upaya penemuan suspek karena yang berpendidikan tinggi atau berpendidikan rendah dapat menemukan suspek, namun dengan analisis lebih lanjut maka yang berpendidikan tinggi sebagian besar merupakan kelompok dengan pengetahuan yang tinggi. Penelitian Morisky DKK (1990) bahwa dengan pendidikan kesehatan yang terstruktur akan meningkatkan kontinuitas dan perilaku kepatuhan berobat pada penderita TB. Sedangkan jika dilihat dari pekerjaan, penemuan suspek lebih banyak dilakukan oleh kelompok yang tidak bekerja, hal ini karena kelompok yang tidak bekerja lebih banyak memiliki waktu yang luang dalam menemukan suspek di sekitar tempat tinggalnya, kelompok yang tidak bekerja terlihat sebagian besar merupakan kelompok dengan pengetahuan yang tinggi. Hubungan pengetahuan dengan penemuan suspek hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok yang menemukan suspek sebagian besar adalah yang berpengetahuan tinggi baik pre test maupun post test. Pengetahuan yang baik tentang TB Paru akan berpengaruh terhadap kemampuan responden dalam menemukan suspek atau mengidentifikasi orang dengan gejala TB Paru. Maryun (2007) menemukan bahwa ada hubungan pengetahuan dengan kinerja petugas dalam cakupan penemuan kasus baru BTA positif.

3. Pencatatan Suspek TB Paru Yang Ditemukan Oleh Penderita Pencatatan merupakan kegiatan penderita atau responden untuk mencatat suspek yang ditemukan pada formulir yang telah disediakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden melakukan pencatatan sesuai dengan yang telah

270

ditentukan. Hal ini dimungkinkan karena penderita yang melakukan pencatatan memiliki umur kurang dari 40 tahun dimana mereka masih memiliki fisik yang kuat dalam dan kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan merekan yang telah berumur lebih tua. Berdasarkan jenis kelamin, seluruh laki-laki melakukan pelaporan dengan sesuai dan jenis kelamin perempuan ada yang melakukan pelaporan tidak sesuai dengan yang telah ditentukan, namun jika dilihat dari jumlah pencatatan yang sesuai, maka perempuan yang paling banyak melakukan pelaporan dengan sesuai, hal ini dikarenakan perempuan sebagian besar berpendidikan tinggi, sebagian besar tidak bekerja, dan sebagian besar berpengetahuan tinggi. Berdasarkan pendidikan, pencatatan suspek yang sesuai lebih banyak dilakuan oleh responden dengan pendidikan tinggi, namun tidak jauh berbeda dengan yang berpendidikan rendah, sedangkan jika dilihat dari pekerjaan maka responden yang bekerja yang paling banyak melakukan pencatatan sesuai dengan ketentuan dibanding yang tidak sesuai, namun jika dibandingkan dengan yang tidak bekerja maka yang paling banyak melakukan pencatatan sesuai yang telah ditentukan adalah kelompok yang tidak bekerja. Sama dengan penemuan suspek, pada pencatatan pengetahuan yang tinggi merupakan responden yang melakukan pencatatan sesuai dengan yang telah ditentukan.

4. Pelaporan Suspek TB Paru Yang Ditemukan Oleh Penderita Kegiatan pelaporan merupakan kegiatan akhir dari rangkaian penemuan suspek, dimana responden melaporkan suspek yang ditemukannya ke petugas yang ada di puskesmas. Penelitian ini mencoba kegiatan pelaporan oleh penderita TB yang menemukan suspek, dari kegiatan tersebut sebagian besar responden melakukan pelaporan sesuai dengan yang telah ditentukan. Jika dilihat berdasarkan umur, maka golongan umur kurang dari 40 tahun merupakan responden yang seluruhnya melaporkan dengan sesuai, hal ini dimungkinkan bahwa dari segi fisik penderita dengan umur kurang dari 40 tahun masih dapat beraktifitas dengan baik. Seperti pada penemuan dan pencatatan suspek, pelaporan suspek yang sesuai didominasi responden dengan jenis kelamin perempuan, sedangkan berdasarkan pendidikan pelaporan yang sesuai adalah responden dengan pendidikan tinggi dan yang

271

tidak sesuai adalah responden dengan pendidikan rendah. Dilihat dari pekerjaan maka pelaporan yang sesuai adalah respenden yang bekerja jika dilihat dari persentasi dengan yang tidak sesuai, namun jika dilihat jumlahnya maka yang melakukan pelaporan sesuai ketemtuan paling banyak adalah kelompok yang tidak bekerja, dan pengetahuan responden sebagian besar memiliki pengetahuan tinggi baik pada saat pre test maupun post test. Analisis lebih jauh menemukan bahwa karakteristik jenis kelamin perempuan lebih banyak melakukan pelaporan sesuai dengan ketentuan karena perempuan sebagian besar berpendidikan tinggi dan berpengetahuan tinggi, perempuan juga sebagian besar tidak bekerja sehingga kegiatannya lebih banyak di rumah.

5. Jumlah Suspek TB Paru Yang Ditemukan Oleh Penderita Hanya sebagian kecil responden yang menemukan suspek, beberapa hal yang ditemukan di lapangan yang diperkirakan sebagai faktor kurangnya responden yang menemukan suspek adalah masih adanya stigma negatif sehingga penderita TB Paru merasa malu untuk diketahui oleh orang lain sedang menderita TB Paru, hal ini yang membuat penderita menyembunyikan penyakitnya, karena dengan melakukan penemuan suspek TB Paru orang lain akan mengetahui penyakitnya. Stigma sosial tentang TB jauh lebih sedikit dipelajari dibandingkan dengan penyakit lain seperti AIDS atau masalah mental. Namun, memiliki implikasi penting pada orang yang mendapat stigma, stigma muncul karena adanya rasa takut terinfeksi atau tertular. Adanya stigma dikatakan dapat membawa seseorang kepada kerugian, hilangnya percaya diri serta terjadinya depresi (Macq J DKK, 2005). Baral DKK (2007) juga mengemukakan bahwa akibat adanya stigma, penderita terisolasi dari keluarga dan teman, sebagian lgi menghindar agar tidak tertular. Penderita juga menyembunyikan penyakit mereka dari orang lain agar tidak mandapat diskriminasi. Penemuan suspek ini tentunya dipengaruhi oleh karakteristik, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan pengetahuan. Pengetahuan yang baik merupakan salah satu faktor yang mendukung penderita dalam menemukan suspek. Responden yang menemukan suspek sebagian besar adalah yang berumur kurang dari 40 tahun, jenis kelamin perempuan, pendidikan tinggi dan tidak bekerja. Responden yang menemukan suspek ini tersebar di beberapa puskesmas, namun terdapat 1 puskesmas yang jumlah penemuan suspeknya dapat dikatakan tinggi, yaitu puskesmas Kamonji,

272

dimana puskesmas ini merupakan puskesmas dengan wilayah kerja paling luas dan terdapat di tengah-tengah kota Palu, serta memiliki pasien TB Paling banyak setiap tahunnya, sehingga kemungkinan faktor yang membuat penemuan suspek di tempat ini cukup besar dibanding puskesmas lain adalah karena jumlah penduduknya yang besar. Terjadi peningkatan jumlah suspek di puskesmas setelah adanya intervensi. Fahrudda (2005), dari Pendekatan Kemitraan Berbasis Masyarakat (Penguyuban penderita) dalam Program Penanggulangan TB menemukan bahwa dengan adanya kegiatan dari anggota paguyuban sebagai penjaring suspek telah membantu puskesmas meningkatkan angka penemuan penderita TB. Beberapa hal yang berkaitan dengan pemberdayaan terutama pada penderita TB menemukan bahwa dengan adanya klub TB dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan, perubahan positif terhadap TB, reaksi awal untuk diagnosis TB, kesalahpahaman mengenai penyebab dan pengobatan TB, kepatuhan dan keyakinan terhadap perawatan kesehatan modern (Demissie DKK, 2003). Wandwalo DKK, (2004) juga

mengemukakan bahwa strategi DOTS berbasis masyarakat dapat mencapai hasil pengobatan yang baik, pada penelitian lain Wandwalo DKK (2006) menemukan bahwa pembiayaan pengobatan dengan strategi DOTS akan lebih murah jika dilakukan dengan metode berbasis masyarakat dibandingkan dengan pengobatan di fasilitas kesehatan.

6. Kesimpulan Penemuan suspek TB Paru dapat dilakukan melalui peningkatan peran penderita. Pencatatan suspek TB Paru yang ditemukan sebagian besar telah dilakukan sesuai dengan formulir yang telah disiapkan berdasarkan pemeriksaan petugas di puskesmas. Pelaporan Suspek TB Paru ke petugas di puskesmas telah sesuai dengan ketentuan. Ada hubungan karakteristik dengan peran penderita dalam upaya penemuan suspek TB Paru. Terjadi peningkatan jumlah suspek di puskesmas 2 bulan setelah intervensi.

273

DAFTAR PUSTAKA Alvarez Gordillo GDC, Alvarez Gordillo JF & Dorantes Jimenez JE, 2003, Educational strategy for improving compliance with the tuberculosis treatment regimen in Chiapas, Mexico. Revista Panamericana De Salud Publica 14, p 402-408. Amran, DKK. 2010, Efektifitas ketua kelompok pedagang dalam melibatkan komunitas pasar tradisional untuk penjaringan suspek TB, Riset Operasional TB Sulawesi Tenggara: Sulawesi Tenggara. Anggraeni, D.S. 2011, Stop Tuberkulosis. Bogor Publishing House: Bogor. Hal 6-25. Januari 2009 Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia 2009, Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis, Depkes dan IDI, Jakarta. Hal 9-20 Dinas Kesehatan Sulawesi Tengah 2011, Profil kesehatan Sulawesi Tengantahun 2010, Dinkes Sulawesi Tengah, Palu. Dinas Kesehatan Kota Palu 2011. Profil kesehatan kota Palu tahun 2010, Dinkes Kota Palu, Palu. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011. Laporan situasi terkini perkembangan tuberkulosis di Indonesia Januari-Juni 2011. Ditjen PP&PL Kementrian Kesehatan, Jakarta. Fahrudda, A, 2006. Pendekatan kemitraan berbasis masyarakat (Penguyuban penderita TB) dalam program penanggulangan tuberkulosis di Puskesmas Sumberjambe, J Kesehatan Masyarakat UI, 21 (3), hlm 7&8. Kementrian Kesehahatan Republik Indonesia 2011, Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis edisi 2, Kementrian Kesehatan RI, Jakarta. Hal 11-12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Rencana aksi nasional public private mix pengendalian tuberculosis Indonesia: 2011-2014. Kemenkes RI, Jakarta. Maryun, Yuyun, 2006, Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Petugas Program TB Paru Terhadap Cakupan Penemuan Kasus Baru BTA (+) di Kota Tasikmalaya, tesis, FKM UNDIP, Semarang. Morisky DE. , Malotte CK, Choi P, Davidson P, Rigler S, Sugland B, Langer M, 1990, A Patient Education Program to Improve Adherence Rates with Antituberculosis Drug Regimens. Health Educ Behavior 17: p 253-266 Sabri, Rika, 2011, The community participation in the case detection of the suspect pulmonary tuberculosis in the district of Tanah Datar, west Sumatra, Indonesia. International Journal of Public Health Research Special Issue, p 219-223. Wandwalo E, Kapalata N, Egwaga S & Morkve O, 2004, effectiveness of communitybased directly observed treatment for tuberculosis in an urban setting in Tanzania: a randomized controlled trial. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease 8, p 1248-1254. Wandwalo E, Robberstad B & Morkve O, 2005, Cost and cost-effectiveness of community based and health facility based directly observed treatment of tuberculosis in Dar es Salaam, Tanzania. Cost Effectiveness and Resource Allocation, Biomed Central, p 1-9.

274

GAMBARAN KEPUASAN DAN ALASAN PASIEN RAWAT JALAN MEMILIH MEMANFAATKAN ULANG PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS BAHU KOTA MANADO TAHUN 2010. Fina Pelealu, A.J.M. Rattu, F.J.O. Pelealu, Budi T. Ratag,Jane M. Pangemanan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi ABSTRAK Puskesmas sebagai salah satu sentra pelayanan publik di sektor kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan yang berkualitas dan dapat memenuhi harapan para pasien sebagai pengguna layanan. Pasien yang berkunjung ke puskesmas sering menyoroti pelayanan oleh tenaga kesehatan ataupun faktor-faktor lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan di puskesmas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan dan alasan pasien rawat jalan untuk memilih memanfaatkan ulang pelayanan kesehatan di Puskesmas Bahu Kota Manado. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif dengan rancangan studi potong lintang (crosssectional study). Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Bahu Kota Manado pada bulan Juni-Juli 2010 (1 bulan). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan yang berkunjung ke Puskesmas dalam 1 bulan. Sampel berjumlah 97 (pasien) berdasarkan perhitungan jumlah kunjungan rata-rata per bulan pasien rawat jalan pada tahun 2009 yaitu 3150 pasien Pengambilan sampel dilaksanakan secara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara menggunakan kuesioner sebagai instrumen. Variabel yang diteliti yaitu pelayanan dokter, pelayanan tenaga keperawatan, kondisi lingkungan fisik dan ketersediaan sarana penunjang medis dan non medis serta alasan pasien rawat jalan melakukan kunjungan ulangan. Tingkat kepuasan pasien diukur dengan skala Likert dan dilakukan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (75,8%) pasien rawat jalan merasa puas dengan pelayanan dokter dan mayoritas (72,3%) pasien menyatakan puas dengan pelayanan tenaga keperawatan. Adapun sebanyak 72,0% pasien menyatakan puas dengan kondisi fisik di lingkungan puskesmas serta sebanyak 72,3% pasien merasa puas dengan sarana penunjang medis dan non medis. Secara umum, terdapat sebesar 20,6% pasien yang merasa sangat puas, 69,1% yang merasa puas, 10,3% menyatakan cukup puas, sementara tidak ada pasien (0%)yang merasa tidak puas atau kurang puas. Alasan yang paling dominan pasien rawat jalan dalam memanfaatkan ulang pelayanan kesehatan yaitu sikap ramah dokter terhadap pasien dengan persentase 83,5%. Dapat disimpulkan bahwa umumnya pasien rawat jalan di Puskesmas Bahu menyatakan puas dengan pelayanan yang mereka terima. Kata kunci: kepuasan pasien, alasan pasien, puskesmas, rawat jalan

275

FAKTOR RISIKO PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD KABUPATEN KARANGANYAR Rosita Purnama Dewi, Henry Setyawan Susanto, Sri Yuliawati ABSTRAK Latar Belakang: Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan melalui pengelolaan DM. Tingginya jumlah pasien DM rawat inap di RSUD Kabupaten Karanganyar menggambarkan bahwa pengelolaan DM belum berhasil, yaitu masih banyak kasus komplikasi akibat kadar gula darah tidak terkendali. Keberhasilan pengelolaan DM sangat tergantung dari upaya pasien dalam merubah perilakunya mulai dari pengetahuan, sikap dan praktik agar sesuai dengan perilaku pengelolaan DM. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku (pengetahuan, sikap dan praktik) dalam hal diet, olahraga dan pengobatan dengan kadar gula darah. Subjek dan Metode: Jenis penelitian ini adalah analitik dengan desain cross sectional study. Populasi penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 yang berobat di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Karanganyar. Sampel diambil sebanyak 72 orang, menggunakan teknik purposive sampling dengan kriteria pemilihan inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data dianalisis menggunakan uiji chisquare dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil: Faktor perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah adalah sikap olahraga (p=0,012; OR=6,2; 95%CI=1,3-29,9), sikap pengobatan (p=0,009; OR=6,7; 95%CI=1,432,2), praktik diet (p=0,004; OR=7,7; 95%CI=1,6-37,2), praktik olahraga (p=0,004; OR=7,7; 95%CI=1,6-37,2), dan praktik pengobatan (p=0,002; OR=9; 95%CI=1,8-43,1). Sedangkan pengetahuan diet (p=0,163; OR=4,9; 95%CI=0,5-41), pengetahuan olahraga (p=0,170; OR=4,4; 95%CI=0,5-37,1), pengetahuan pengobatan (p=0,125; OR=3,9; 95%CI=0,8-19,1) dan sikap diet (p=0,125; OR=3,6; 95%CI=0,7-17,7) tidak berhubungan dengan kadar gula darah. Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor risiko perilaku yang berhubungan dengan kadar gula darah adalah sikap olahraga, sikap pengobatan, praktik diet, praktik olahraga dan praktik pengobatan. Kata kunci Pustaka : Faktor perilaku, pengelolaan DM, kadar gula darah, DM tipe 2 : 82 (1985 2012)

276

PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG STROKE : STUDI KUALITATIF DI KECAMATAN KEPANJEN, KABUPATEN MALANG, JAWA TIMUR Tita Hariyanti Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Latar Belakang Pengetahuan masyarakat tentang stroke yang masih minimal dapat mempengaruhi keterlambatan pertolongan yang dapat berakibat pada mortalitas yang tinggi.Hal ini diduga disebabkan oleh pengetahuan masyarakat tentang stroke yang kurang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi pengetahuan masyarakat tentang stroke dan pengaruh keterpaparan dengan stroke terhadap pengetahuan. Subjek dan Metode Penelitian kualitatif ini dilakukan menggunakan metode wawancara dengan panduan pertanyaan terbuka (open ended question) yang meliputi definisi, penyebab, gejala, faktor risiko, dan penanganan stroke. Sepuluh responden dipisahkan ke dalam dua kelompok yaitu 5 orang pernah terpapar stroke (menderita stroke atau ada anggota keluarga yang menderita stroke) dan 5 orang belum pernah terpapar. Hasil dianalisis secara deskriptif. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak tujuh orang mengaku tidak mengetahui definisi stroke, dan hanya satu orang yang dapat menjawab dengan tepat gejala, faktor risiko, serta penangannya. Dari tujuh orang tersebut, ada yang beranggapan bahwa sakitnya disebabkan karena guna-guna, terlalu lelah, dan terlambat makan. Dua orang yang lain mengetahui sebagian tentang stroke, dan hanya satu orang laki-laki muda yang bekerja di institusi pendidikan kesehatan yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang stroke. Paparan dengan penyakit dan tingkat pendidikan tidak menjamin pengetahuan tentang stroke lebih baik. Usia dan latar belakang pekerjaan mungkin berperan terhadap pengetahuan seseorang tentang stroke. Dua responden yang berusia kurang dari 40 tahun mempunyai pengetahuan yang lebih baik. Hal ini mungkin disebabkan karena kelompok usia ini mempunyai akses terhadap informasi lebih tinggi. Responden yang mengetahui tentang definisi, penyebab, gejala faktor risiko, dan penanganan stroke adalah seorang laki-laki muda yang bekerja di institusi pendidikan kesehatan. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat tentang stroke masih rendah. Paparan terhadap penyakit dan tingkat pendidikan tidak menjamin tingkat pengetahuan yang baik. Usia dan latar belakang pekerjaan mungkin berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan tentang stroke. Keywords: pengetahuan tentang stroke, paparan stroke, usia, pekerjaan, akses informasi

277

HUBUNGAN ANTARA PERUBAHAN FUNGSI FISIK DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN RESPON PSIKOSOSIAL LANJUT USIA DI KELURAHAN KALICARI KODYA SEMARANG JAWA TENGAH Fery Agusman M.Mendrofa ABSTRAK Penelitian ini menggunakan desain diskriptif korelasional yang bertujuan untuk menguji hubungan antara perubahan fungsi fisik dengan respon psikososial lansia di Kelurahan Kembangarum Kodya Semarang Jawa Tengah. Populasi penelitian ini adalah seluruh lansia usia 60 tahun yang tinggal di Kelurahan Kalicari, Semarang yang berjumlah 300 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik multi stage random sampling, dengan cluster ditentukan pada tingkat RW yang memenuhi kriteria inklusi yaitu umur 60 tahun, tidak demensia, tidak cacat fisik, tinggal bersama keluarga, bersedia menjadi responden dan tinggal di Kelurahan Kembangarum, Semarang. Hubungan antara perubahan fungsi fisik dengan respon psikososial, menggunakan analisis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang signifikan (p value < 0,05). Hasil analisis variabel dukungan keluarga dengan respon psikososial menunjukkan hubungan yang signifikan, yaitu dukungan keluarga melalui komunikasi (p=0,002), dukungan emosional keluarga (p=0,000), dukungan melalui interaksi sosial (p=0,000) dan dukungan keluarga melalui upaya mempertahankan aktifitas fisik yang masih mampu dilakukan lansia (p=0,001). Dari hasil uji analisis Regresi linier ganda, variabel independen dukungan keluarga yang paling dominan dalam mempengaruhi variabel dependen respon psikososial lansia adalah dukungan keluarga melalui upaya mempertahankan aktifitas yang masih mampu dilakukan lansia, dengan koefisien Beta = 0,358. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa respon psikososial pada lansia akibat dari perubahan fungsi fisik, psikologis dan sosial, membutuhkan dukungan keluarga agar dapat beradaptasi secara adaptif selama proses perubahan tersebut. Hasil studi ini dapat digunakan untuk membantu meningkatkan pelayanan terhadap lanjut usia di keluarga melalui pemberdayaan keluarga dalam memberikan dukungan yang lebih efektif.

Kata kunci : perubahan fungsi fisik, dukungan keluarga, respon psikososial dan lansia Daftar Pustaka 47 (1984 2011)

278

RISIKO PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN KANKER PAYUDARA DI RSUP SANGLAH KOTA DENPASAR Estuning Hanindyta Mediasta1, Suariyani, NLP1, Pasek Kardiwinata, M1, Sutarga, M1 1 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Email: suar_chp@yahoo.com ABSTRAK Latar belakang: Kanker payudara menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting karena mortalitas dan mordibitasnya yang tinggi. Di Indonesia kanker payudara merupakan peringkat kedua dari seluruh jenis kanker yang menyerang masyarakat. Penyebab kanker payudara bersifat multifaktoral salah satunya faktor hormon yaitu melalui penggunaan kontrasepsi hormonal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar risiko penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker payudara di RSUP Sanglah Denpasar. Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan kasus kontrol tidak berpasangan secara hospital based. Sampel kasus adalah 40 orang wanita yang terdiagnosis kanker payudara dan sampel control adalah 40 orang wanita yang tidak terdiagnosis kanker payudara. Data dianalisis secara biavariat menggunakan uji Chi Square dan multivariate menggunakan regresi logistik. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang terbukti berpengaruh secara statistic signifikan, meningkatkan risiko kejadian kanker payudara yaitu lama penggunaan kontrasepsi hormonal >10 tahun (OR = 5,593; CI 95% = 1,754-17,829) dan riwayat kelurga kanker (OR = 7,400; CI 95%= 2,232 24,535). Sedangkan variabel bebas yang tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara pada wanita usia 30 tahun adalah umur dan umur menarke. Kesimpulan: Disarankan bagi instansi kesehatan untuk melakukan upaya pencegahan kanker payudara melalui penyuluhan mengenai faktor risiko kanker payudara dan pentingnya deteksi dini pada masyarakat yang berisiko. Bagi masyarakat, khususnya yang berisiko yaitu wanita pengguna kontrasepsi hormonal >10 tahun dan memiliki riwayat keluarga kanker agar waspada terhadap kejadian kanker payudara dengan melakukan deteksi dini seperti SADARI dan mammografi

A. Latar Belakang Kanker payudara merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, karena mortalitas dan mordibitasnya yang tinggi. Kanker payudara merupakan penyakit ganas yang paling sering dijumpai pada wanita, yaitu mencapai 18 % dari semua kanker yang terjadi pada wanita. Setiap tahunnya terjadi 1 juta kasus baru kanker payudara di seluruh dunia (McPherson et al, 2000). Menurut Kelsey (2003) yang dikutip dalam Indrati (2005), data histopatologik tahun 1994 menunjukkan kanker payudara di Indonesia merupakan

279

11,77 % dari seluruh kanker yang menyerang masyarakat dan merupakan peringkat kedua setelah kanker rahim (17, 70 %) dengan kasus sebanyak 2.743. Etiologi kanker payudara bersifat multifaktor yang mencakup faktor genetik, lingkungan dan reproduksi yang saling berinteraksi melalui mekanisme yang kompleks (Kubba, 2003). Pertumbuhan jaringan payudara sangat sensitif terhadap estrogen, maka perempuan yang terpajan estrogen dalam waktu jangka panjang akan memiliki risiko yang besar terhadap terjadinya kanker payudara (Sirait et al, 2009). Penelitian tentang pengaruh penggunaan kontrasepsi hormonal memberikan hasil yang tidak konsisten. Di Indonesia sendiri penggunaan hormon sebagai alat kontrasepsi sudah popular di masyarakat. Kasus kanker payudara juga banyak ditemukan di Provinsi Bali. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2010, jumlah penderita kanker payudara menduduki urutan pertama dibandingkan dengan jumlah penderita kanker lainnya yaitu dengan total 584 kasus. Salah satu rumah sakit dengan kasus kanker payudara yang cukup tinggi yaitu Rumah Sakit Umum Pusat ( RSUP ) Sanglah. Dengan dilatar belakangi tingginya jumlah kasus kanker payudara, inkonsistensi hasil penelitian terdahulu dan penggunaan secara luas kontrasepsi hormonal pada wanita usia subur, maka penulis mengusulkan untuk melakukan penelitian yaitu mengetahui risiko penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap kejadian kanker payudara pada wanita dan faktor lainnya yaitu umur menarke dan riwayat keluarga kanker.

B. Metodelogi Penelitian Penelitian ini merupakan observasional analitik menggunakan desain kasus kontrol tidak berpasangan (unmatching case control) secara hospital based. Penelitian dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar. Pengambilan data berlangsung pada bulan Maret sampai April 2012 melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Kelompok kasus adalah wanita usia 30 tahun penderita kanker payudara stadium I sampai IV yang berada di Bagian Bedah RSUP Sanglah Denpasar selama periode Januari sampai Desember 2011. Kelompok kontrol adalah wanita usia 30 tahun yang tidak

terdiagnosis kanker payudara dan mendapat pelayanan lain di RSUP Sanglah Denpasar pada waktu periode yang sama dengan sampel kasus. Kasus dan kontrol diwawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara bivariat dengan uji Chi Square pada

280

tingkat kemaknaan = 0,05 dan analisis multivariate dengan regresi logistik menggunakan perbandingan risiko Odds Ratio (OR).

C. Hasil Data diambil dari hasil pengisian kuesioner yang diberikan kepada 40 responden kasus dan 40 responden kontrol. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Kelompok Kasus dan Kelompok Kontrol di RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari-Desember 2011 Kasus Kontrol Karakteristik n % n % Kelompok Umur : 10 25,0 19 47,5 30-39 tahun 15 37,5 18 45,0 40-49 tahun 11 27,5 3 7,5 50-59 tahun 4 10,0 0 0,0 > 59 tahun Tingkat Pendidikan : 1 2,5 1 2,5 Tidak Sekolah 12 30,0 3 7,5 SD/sederajat 4 10,0 1 2,5 SLTP/sederajat 18 45,0 22 55,0 SLTA/sederajat 5 12,5 13 32,5 Akademi/PT Pekerjaan : PNS Pedagang/Wiraswasta Pegawai Swasta Tidak Bekerja Lainnya 8 3 6 14 10 20,0 7,5 15,0 32,5 25,0 11 10 9 9 1 27,5 25,0 22,5 22,5 2,5

Distribusi berdasarkan karakteristik kelompok umur terbanyak pada kasus yaitu kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 15 orang (37,5%). Sedangkan kelompok umur terbanyak pada kontrol yaitu kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 19 orang (47,5%). Distribusi karakteristik tingkat pendidikan akhir pada kelompok kasus dan kontrol sebagian besar menyelesaikan pendidikan terakhir hingga tamat SLTA/sederajat yaitu masingmasing sebanyak 18 orang (45,0%) dan 22 orang (55,0%). Sedangkan distribusi karakteristik pekerjaan sebagian besar dari kelompok kasus adalah tidak bekerja atau ibu rumah tangga yaitu sebanyak 14 orang (32,5%) dan pada kelompok kontrol paling banyak bekerja sebagai PNS yaitu sebanyak 11 orang (27,5%).

281

Tabel 2 memperlihatkan hasil analisis bivariat risiko penggunaan kontrasepsi hormonal >10 tahun, umur, umur menarke dan riwayat keluarga kanker terhadap kanker payudara. Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Variabel Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal: >10 tahun 10 tahun Umur : >40 tahun 40 tahun Umur Menarke : <12 tahun 12 tahun Riwayat Keluarga Kanker Ada Tidak ada Kasus n Kontrol n OR CI 95%

17 23 24 16 21 19 18 22

6 34 21 19 14 26 5 35

4,188

1,436-12,218

1,357

0,559-3,292

2,053

0,836-5,041

5,727

1,859-17,645

Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal >10 tahun secara signifikan meningkatkan risiko terkena kanker payudara (OR=4,19; CI 95%= 1,44-12,22). Wanita yang memiliki riwayat keluarga terkena kanker juga secara signifikan meningkatkan risiko terkena kanker payudara (OR=5,73; CI 95%= 1,86-17,65). Variabel bebas yang tidak meningkatkan risiko terkena kanker payudara pada wanita usia 30 tahun di RSUP Sanglah Denpasar adalah umur responden dan umur menarke. Analisis multivariat digunakan untuk mengetahui variabel bebas yang paling berpengaruh setelah dianalisis secara bersama-sama. Variabel bebas yang diikutkan pada analisis multivariat adalah lama penggunaan kontrasepsi hormonal >10 tahun dan riwayat keluarga kanker. Hasil analaisis multivariat seperti yang ditampilkan pada tabel 3, menunjukkan bahwa lama penggunaan kontrasepsi hormonal >10 tahun berpengaruh meningkatkan risiko terkena kanker payudara sebesar 5,59 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan atau 10 tahun (OR=5,59; CI 95%= 1,75-17,83) dan wanita yang memiliki riwayat keluarga menderita kanker berpengaruh meningkatkan risiko terkena kanker payudara sebesar 7,4 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat keluarga kanker (OR=7,4; CI 95%= 2,23-24,54)

282

Tabel 3. Hasil Analisis Multivariat Variabel Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal >10 tahun Riwayat Keluarga Kanker OR 5,59 7,40 CI 95% 1,75-17,83 2,23-24,54

Peluang individu untuk terkena kanker payudara berdasar model persamaan adalah : p p =
e a B1X1 B2 X 2 1 e a B1X1 B2 X 2

e 6, 4291, 721 2, 001 = 1 e 6, 4291, 721 2, 001


=

p p p

0,067 1 0,067

= 0,063 = 6,3 %

Wanita yang memiliki riwayat keluarga menderita kanker dan lama penggunaan kontrasepsi hormonal >10 tahun memiliki peluang untuk mengalami kejadian kanker payudara sebesar 6,3%.

D. Pembahasan dan Kesimpulan Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang menggunakan hormon progesteron atau kombinasi hormon progesteron dan estrogen (Saifuddin, 2003). Menurut teori dari Devita (1989) dalam Indrati (2005), kandungan estrogen dan progesterone pada kontrasepsi hormonal akan memberikan efek proliferasi berlebih pada duktus ephitelium payudara. Berlebihnya proses proliferasi bila diikuti dengan hilangnya kontrol atas proliferasi sel dan pengaturan kematian sel yang sudah terprogram akan mengakibatkan sel payudara berproliferasi secara terus menerus tanpa adanya batas kematian. Hilangnya fungsi kematian sel yang terprogram akan menyebabkan ketidakmampuan mendeteksi kerusakan sel akibat kerusakan pada DNA, sehingga sel-sel abnormal akan berproliferasi secara terus menerus tanpa dapat dikendalikan.

283

Pada penelitian ini membuktikan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal dalam jangka >10 tahun memberikan pengaruh peningkatan risiko untuk terkena kanker payudara sebesar 5,6 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita yang tidak menggunakan atau 10 tahun (OR = 5,59; CI 95% = 1,75-17,83; p = 0,004). Sehingga dapat dikemukakan bahwa semakin lama jangka waktu penggunaan kontrasepsi hormonal maka semakin tinggi kandungan estrogen dan progesterone dalam tubuh Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan risiko terhadap kejadian kanker payudara. Pada kelompok kasus pertama terdiagnosis kanker payudara banyak ditemukan pada umur >40 tahun yaitu 24 orang (60%). Umur sangat penting sebagai faktor risiko untuk kanker payudara. Kejadian kanker payudara meningkat cepat pada usia reproduktif dan setelah itu meningkat pada laju yang lebih rendah (Mc Pherson et al, 2000). Menurut Age Standardized Cancer Ratio (ASCAR) kasus kanker payudara wanita di Indonesia terbanyak menyerang kelompok umur 45 54 tahun dengan nilai ASCAR sebesar 17,38 (Indrati, 2005). Namun pada penelitian yang dilakukan ini menunjukkan faktor umur >40 tahun tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara pada wanita usia 30 tahun di RSUP Sanglah Denpasar (OR=1,357; CI 95% = 0,559 3,292; p = 0,499 (p>0,05). Menurut Caleste L dalam Harianto et al (2005), salah satu faktor endokrin yang memiliki hubungan dengan kanker payudara adalah total menstruasi dimana wanita yang menarke pada usia dini menandakan adanya kadar hormon estrogen dan progesteron yang tinggi dalam tubuhnya, sehingga wanita yang mengalami menarke pada usia terlalu awal yaitu dimulai sebelum usia 12 tahun menunjukkan adanya peningkatan risiko perkembangan kanker payudara dibandingkan dengan usia menarke di atas 16 tahun. Penelitian yang dilakukan di RSUP Sanglah Denpasar menunjukkan bahwa umur menarke <12 tahun bukan merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara (OR= 2,053; CI 95% = 0,8365,041; p = 0,115 (p>0,05). Wanita yang memiliki riwayat keluarga menderita kanker memiliki risiko 7,4 kali lebih besar untuk terjadi kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat kanker dalam keluarganya (OR = 7,400; CI 95%= 2,232 24,535; p = 0,001 (p < 0,05). Faktor riwayat keluarga dengan kanker payudara merupakan salah satu faktor risiko penting kanker payudara dan faktor keluarga ini terutama dari pihak ibu pada tingkat pertama yang meliputi ibu, bibi dan saudara perempuan (Bustan, 2007).

284

Hal ini diperkuat berdasarkan teori yang ada, sekitar 4% kanker payudara berhubungan secara kuat dengan riwayat keluarga karena kelainan faktor riwayat keluarga berkaitan dengan terdapatnya abnormalitas gen p53. Gen pada lengan panjang kromosom 17 (BRCA1) bertanggung jawab pada sebagian besar keluarga yang rentan terhadap timbulnya kanker payudara dan ini merupakan gen supresi tumor. Gen lainnya yang dicurigai yaitu pada kromosom 13q12-13 (BRCA2) yang berhubungan dengan keluarga dimana kanker payuadara timbul secara awal (Underwood, J. C. E, 2000). Terbukti meningkatkan risiko kejadian kanker payudara pada wanita usia 30 tahun di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2011 adalah lama penggunaan kontrasepsi hormonal >10 tahun (OR = 5,593; CI 95% = 1,754-17,829; p = 0,004). dan riwayat keluarga menderita kanker (OR = 7,400; CI 95%= 2,232 24,535; p = 0,001) dengan peluang individu untuk terkena kanker payudara adalah 6,3%. Sedangkan yang tidak terbukti meningkatkan risiko kejadian kanker payudara pada wanita usia 30 tahun di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2011 adalah faktor umur dan umur menarke Disarankan bagi instansi kesehatan untuk melakukan upaya pencegahan kanker payudara melalui penyuluhan mengenai faktor risiko kanker payudara dan pentingnya deteksi dini pada masyarakat yang berisiko. Bagi masyarakat, khususnya yang berisiko yaitu wanita pengguna kontrasepsi hormonal >10 tahun dan memiliki riwayat keluarga kanker agar waspada terhadap kejadian kanker payudara dengan melakukan deteksi dini seperti SADARI dan mammografi

DAFTAR PUSTAKA Bustan, M. N. (2007). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta Harianto, Mutiara, r. & Surachmat, h. (2005). Risiko Penggunaan Pil Kombinasi Terhadap Kejadian Kanker Payudara Pada Reseptor KB di Perjan RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2(1), 84-99 Indrati, R. (2005). Faktor Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Kanker Payudara.Tesis. Program Studi Magister Epidemiologi Universitas Diponogoro, Semarang Kubba, A. A. (2003). Breast Cancer and The Pill. Journal of The Royal Society of Medicine, 96. Tersedia : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC539508/pdf/0960280.pdf Akses : 15 Desember 2011

285

McPherson, Steel, C. M., & Dixon, J. M. (2000). ABC of Breast Diseases Breast CancerEpidemiology Risk Factors and Genetics. BMJ, 321. Tersedia : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1118507/?tool=pubmed Akses : 20 Desember 2011Underwood, J. C. E. (2000) Patologi Umum dan Sistematik. Vol. 2.Edisi 2. Jakarta: EGC. Saifuddin, A. B. (2003) Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Sirait, A. M., Oemiati, R., & Indrawati, L. (2009). Hubungan Kontrasepsi Pil dengan Tumor/Kanker Payudara di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, 59(8).

286

CULTURAL EPIDEMIOLOGI; Konsep Integratif Antara Antropologi dan Epidemiologi

M. Farid Hamzens (Dosen PSKM FKIK-UIN Jakarta)

A. Latar Belakang Epidemiologi secara konvensional diartikan sebagai satu ilmu yang mempelajari tentang penyebab dan penyebaran penyakit pada satu populasi. Dengan kata lain epidemiologi dipahami sebagai suatu bidang kajian yang menyangkut pengukuran frekuensi penyakit, distribusinya, serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penyakit tersebut. (Hennekens C, Buring; 1987). Para ahli epidemiologi berupaya membuat deskripsi tentang bentuk-bentuk penyakit dan lebih cenderung berdasarkan penelitian di laboratorium atau laporan-laporan kasus dengan pendekatan statistik dan probabilitas. Ketika mereka bekerja pada objek lintas budaya dalam berbagai kelompok masyarakat, mereka tidak bisa menghindar untuk berhubungan dengan masyarakat yang memiliki kebudayaan beragam. Hal inilah yang mendorong sebagian dari mereka untuk berfikir bahwa kebudayaan dapat diambil sebagai salah satu variabel baru terutama dalam mengobservasi prilaku dan penyakit. Sebagai respon terhadap pemikiran tersebut maka lahirlah sub bidang kajian epidemiologi sosial dalam epidemiologi. Fokus kajian epidemiologi sosial adalah mengkaji bagaimana masyarakat dan perbedaan bentuk organisasi sosial mempengaruhi kesehatan. Dalam penelitian-penelitian epidemiologi sosial upaya pengkajian kondisi sosial yang mempengaruhi penyakit kering dengan pendekatan perspektif kebudayaan. Faktor sosial yang menjadi perhatian epidemiologi sosial lebih menekankan kepada efek-efek yang terkait dengan kesehatan dari organisasi sosial, income, kekayaan, stres kerja, kelas sosial, keadilan sosial, dan okupasi (pekerjaan dan kependudukan). Dari lingkup kajian dan pokok perhatiannya tersebut semakin terasa bahwa epidemiologi sosial sangat kering bahkan tidak memperhatikan efek-efek kesehatan yang terkait dengan kebudayaan. Epidemiologi sosial lebih bersifat sosiologis, dan belum dapat menjawab persoalan yang dihadapi para ahli epidemiologi ketika melakukan kajian dalam konteks kebudayaan bahkan lintas budaya. Karena itulah muncul gagasan untuk melakukan kajian intergratif dengan kolaborasi antara

287

antropologi dan epidemiologi yang akhirnya dikenal dengan terminologi cultural epidemiology. Persentuhan epidemiologi dengan antropologi bermula dari pengalaman Sydney Kark dalam melaksanakan proyek pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa di Afrika Uatara yang disebut Pholela atau Polela dan Institute of Family and Community Health (IFCH) pada tahun 1945. Berdasarkan pengalaman tentang Pholela dan IFCH beliau meneruskan kajiannya tentang epidemiologi dan antropologi. Di samping belajar epidemiologi pada John Ryles Institute of Social Medicine di Oxford University (1947 1948) beliau juga belajar antropologi dengan E. E. Evans Pritchard, Meyer Fortes dan Max Gluckman sehingga mulai merubah pemikiran beliau tentang orientasi epidemiologi secara sosial. Selain S. Kark juga seorang dokter yang pernah terlibat dalam IFCH adalah Mervyn Susser yang kemudian menjadi editor pada American Journal of Public Health dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan epidemiologi sosial di Amerika. Seorang ahli antropologi yang juga terlibat pada IFCH adalah Norman Scotch yang belajar pada Sekolah Kesehatan Masyarakat di Boston dan sungguh-sungguh mencermati bagian-bagian yang signifikan dari epidemiologi untuk direview secara antropologi. Akhirnya Scotch berpandangan bahwa epidemiologi secara esensial adalah satu metode untuk melihat bagaimana secara bersama-sama faktor biologi, lingkungan, masyarakat, dan kebudayaan mempengaruhi kesehatan manusia. (Harwood, Alan, 2005) Secara historis kolaborasi ilmiah antara antropologi dengan epidemiologi dalam mengkaji, memahami, dan menjelaskan satu wabah penyakit pada kelompok masyarakat tertentu telah ada sejak abad ke 19, namun kolaborasi tersebut masih banyak memiliki keterbatasan, dan bahkan menyisakan beberapa masalah. Paling tidak, dua tulisan Trostle (1986-a dan 1986-b) dapat menjadi indikator bahwa telah terjadi kolaborasi ilmiah dalam mengkaji penyakit antara antropologi dan epidemiologi. Tulisan tersebut juga sekaligus dapat dinilai sebagai upaya untuk meletakkan dasar kajian interdisiplin antara antropologi dan epidemiologi. Perhatian yang terpusat kepada konsekuensi perubahan sosial dan kebudayaan terhadap kesehatan, memberikan dua catatan penting yaitu; pertama, paradigma antropologi dan biologi pada dasarnya tidak bertentangan; kedua, antropologi dan epidemiologi secara alamiah bisa bekerja sama dalam mengkaji dan meneliti penyakit pada satu kelompok masyarakat. Hal senada juga dinyatakan oleh Dunn dan Janes (1986) dalam tulisannya Introduction: Medical Anthropology and Epidemiology. Namun

288

peluang dan kemungkinan-kemungkinan untuk terciptanya kajian yang terintegrasi dari kedua bidang ilmu ini telah terabaikan. Pengabaian ini memang tidak membawa dampak yang membahayakan, tetapi telah melepaskan dan kehilangan peluang. Saran dan gagasan dari William True agar epidemiologi yang suka meminjam konsep-konsep yang luas dari berbagai disiplin ilmu dan megintegrasikannya dalam satu masalah penelitian, sebaiknya juga bisa menerapkan (menggunakan) pesan-pesan dan pendekatan holistik dari antropologi. (True, William; 1990). Upaya-upaya pengembangan integrasi antropologi dan epidemiologi selama ini secara praktis berbentuk saling melengkapi kebutuhan satu sama lain. Namun menurut Machael Agar (1996), harapan untuk menemukan satu sintesa konseptual dari antropologi dan epidemiologi akan bisa diujudkan melalui penyatuan kesadaran baru dan refleksi dari keduanya melalui pendekatan holistik, sistemik, dan sintesa konsep kebudayaan. Landasan Cultural Epidemiology (epidemiologi budaya) sebagai terminologi dari studi integratif keduanya telah tercipta dengan tujuan untuk meningkatkan ketepatan dan efektifitas dalam mengontrol dan mencegah penyakit, demikian juga untuk mengembangkan teori tentang analisa sosial dari penyakit. (Sommerfiled, 1996). Belakangan ini para ahli epidemiologi telah

memperlihatkan satu kesadaran terkait dengan kelemahan konsep-konsep dan metode kajian mereka, namun persoalan mendasar adalah penggunaan data kuantitatif yang umum dalam epidemiologi. Dengan demikian kolaborasi antropologi dan epidemiologi di masa lalu memiliki keanehan atau keganjilan. Upaya membangun penelitian multi metode mungkin bisa menjadi satu bentuk solusi, tetapi tantangan teoritis dan kritik-kritik terhadap konsep masih tetap menjadi satu hal yang luar biasa, karena itu Johannes Sommerfeld dan James Trostle (1996) mengusulkan agar pertukaran-perukaran (konsep dan teori) yang lebih produktif mungkin muncul sebagai sebuah konsekuensi dari kajian antropologi dalam epidemiologi. Sebagai seorang antropolog yang bekerja pada institusi pendidikan kedokteran dan kesehatan, khususnya kesehatan masyarakat, hal tersebut manjadi satu stimulus intelektual dan akademik bagi penulis. Kenyataan tersebut kemudian penulis terjemahkan menjadi satu tantangan dan sekaligus peluang untuk membangun satu upaya ilmiah yang dapat memberikan sumbangan teoritis dan konseptual dalam perkembangan ilmu antropologi dan ilmu kesehatan (khususnya epidemiologi). Hal ini juga didorong oleh satu pemikiran bahwa epidemiologi akahir-akhir ini menghadapi banyak masalah yang disebabkan oleh kesetiaan

289

bahkan ketaatan yang berlebihan terhadap paradigma biologi (McKinlay, 2000), karena itu sangat penting memperhatikan perspektif kebudayaan dalam epidemiologi. (Sommerfeld, 1996). Pendekatan biomedis oleh epidemiologi memiliki keterbatasan dalam menjelaskan faktor-faktor sosial dari etiologi dan resiko penyakit. Karenanya pendekatan kebudayaan (perspektif antropologi) akan dapat mengisi kelemahan tersebut terutama dalam hal identifikasi seting sosial, memahami kebudayaan dan kaitannya dengan penyakit. Untuk menciptakan keseimbangan pendekatan dalam penanganan kesehatan dan penyakit pada satu populasi masyarakat dibutuhkan satu kajian yang holistik, di mana integrasi antara antropologi dan epidemiologi akan dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Kajian integratif tersebut selama ini sering dikenal dengan terminologi cultural epidemiology, tetapi belum dilihat sebagai satu subdisiplin baik dalam epidemiologi maupun antropologi. Cultural epidemiology merupakan satu kosep kajian yang pokok utama perhatiannya pada kesehatan dan penyakit yang terkait dengan prilaku dan kepercayaan. (Trostle; 2005). Nampak jelas dalam konsep ini bahwa pemahaman tentang kebudayaan sangat terbatas, sehingga kurang memungkinkan untuk mengeliminir masalah-masalah metodologi, kritik teori dan konsep dari kolaborasi antropologi dan epidemiologi selama ini. Karena itulah penulis sekali lagi merasa terusik, sehingga ingin untuk melengkapi bahkan merekonstruksi ulang arah kajian cultural epidemiology, agar tidak lagi menyisakan permasalahan metodologi dan kritik-kritik teori dan konsep. Dalam hal ini yang menjadi faktor kunci adalah konsep kebudayaan. Dalam antropologi dikenal berbagai konsep kebudayaan yang memiliki efek metodologis dan teoritis terhadap satu kajian. Karena itu ketepatan penerapan dari konsep cultural epidemiology tergantung kepada ketajaman sintesa dari konsep kebudayaan yang digunakan. Ketika ahli epidemiologi dihadapkan kepada satu pekerjaan lintas bangsa (negara), atau dalam kelompok sosial bahkan etnik yang beragam dalam satu negara, tidak bisa mengelak untuk berhadapan dengan perbedaan kebudayaan. Realitas negara multi etnik seperti Indonesia yang memiliki ragam budaya yang relatif berbeda ikut mempengaruhi ketepatan, keefektifan, dan keberhasilan penanganan satu penyakit. Fakta Indonesia menunjukkan bahwa banyak penyakit baru (emerging diseases) dan penyakit lama yang muncul dan berkembang kembali (re-emerging diseases) di sejumlah daerah di Indonesia yang memerlukan satu pemikiran teoritis dan pendekatan yang holistik untuk menjelaskan

290

kondisi kesehatan, etiologi dan resiko penyakit dalam satu masyarakat. Menurut hemat penulis hal inilah yang menjadi salah satu faktor utama sulitnya penanganan satu wabah penyakit di Indonesia. B. Landasan Konseptual 1. Konsep Kebudayaan Konsep mendasar dan sekaligus merupakan konsep kunci dalam penelitian antropologi untuk bidang kajian apapun juga adalah perspektif kebudayaan. Apa yang hendak diidentifikasi dan dipahami, dianalisis, dan diinterpretasi (untuk membangun eksplanasi) oleh seorang antropolog akan tergambar dari bagaimana antropolog tersebut mengkonsepsikan kebudayaan dalam konteks penelitiaannya. (Geertz, C., 1973). Termasuk penelitian yang mengintegrasikan antara antropologi dan epidemiologi. Karena persoalan yang tersisakan dari upaya kolaborasi kedua bidang ilmu ini sebelumnya bersifat metodologis, kritik-kritik teori dan konsep, maka dengan menggunakan sintesis konsep kebudayaan yang baik masalah-masalah tersebut akan dapat teratasi. (Agar, 1996. dan Sommerfeld, J., 1996). Dalam membangun satu sintesis konsep kebudayaan, secara paradigmatis pertama sekali peneliti membelah antara evolusionisme dan pasca evolusionisme, atau bisa juga menggunakan terminologi antropologi Eropa dan antropologi Amerika. Evolusionisme yang diwakili oleh H. Morgan, Edwar B. Tylor, bahkan Durkheim mendapatkan kritik yang luar biasa dari Franz Boas sebagai tokoh antropologi Amerika. Kebudayaan menurut beliau hanya bisa dipahami dalam konteks yang spesifik. Pemahaman bahwa kebudayaan terintegrasi secara menyeluruh dihasilkan melalui proses sejarah yang spesifik lebih baik dari pada memahaminya sebagai sebuah refleksi dari tingkat evolusi secara universal. Boas setuju dengan Morgan dan Tylor bahwa proses teknologi terkadang inheren (melekat) pada masalah evolusi, tetapi tidak ada data-data etnografi yang menunjukkan bahwa sistem kekerabatan matrilinial mendahului sistem kekerabatan patrilinial. Atau pada bagian lain dikatakan bahwa tidak ada bukti-bukti etnografi yang dapat dijadikan dasar bahwa agama animisme berkembang sebelum politeisme. Dalam hal ini tidak ada bukti-bukti keterkaitan historis, bahkan tidak ada cara untuk membuktikannya, dan itu hanya sekedar asumsi belaka. Karena itu kerangka-kerangka pikir yang digunakan oleh evolusionisme bukan teori yang dihasilkan dari data etnografi, melainkan hanya pemaksaan asumsi-asumsi yang tidak terbukti terhadap data. Karena itu menurut Boas tugas utama seorang antropolog adalah 291

memberikan satu analisis yang mendalam terhadap kebudayaan yang unik dengan menggambarkan bentuk-bentuknya, dinamika reaksi individu terhadap kebudayaan dan sebaliknya. (Boas, 1896) Gagasan konsep kebudayaan Boas dikembangkan oleh muridnya Alfred Kroeber yang diawali dengan menetapkan masalah mendasar; pertama, bagaimana kebudayaan didefenisikan, kedua, bagaimana tindakan-tindakan yang lalu sebagai asal usul dikonstruksikan ke dalam konteks saat ini, ketiga, bagaimana interaksi antar kebudayaan diamati. Kebudayaan bagi Kroeber adalah realisasi dari berbagai pemikiran dan pemahaman manusia yang dikembangkan secara bertahap. Karenanya kebudayaan diletakkan pada lapisan tertinggi dalam masyarakat dengan konsekuensi; (1) bahwa kebudayaan yang dilandasi oleh faktor-faktor sosial dan psikosomatik akan berpengaruh secara signifikan terhadap prilaku dan aktivitas individu dan kelompok yang dibenarkan secara bersama, (2) hal ini juga dapat dijadikan argumentasi bagi asumsi bahwa temuantemuan pada lapisan paling atas (kebudayaan) akan berbeda jenisnya dari level yang lebih rendah. (Bohannan, 1988) Dalam mendefenisikan kebudayaan Kroeber membedakan antara culture dengan social. Secara bahasa perbedaan keduanya di mana kata social bukanlah kata asal dan relatif baru yang diturunkan dari terminologi Roma (civilis, civitas) yang terkait dengan defenisi Aristoteles tentang manusia sebagai zoon politicon. Sementara kata culture merupakan kata asal yang sama digunakan oleh para antropolog. (Bohannan, 1988). Society ditemukan sewaktu-waktu dalam kehidupan berkelompok, sementara culture terdiri dari elemen-elemen tindakan berulang (kebiasaan) dan kepercayaan yang dipelajari dan dimiliki bersama. (Kroeber, 1952). Keberadaan elemen-elemen tindakan dan keyakinan tersebut tidak tergantung kepada individu-individu yang meyakininya. Kebudayaan ditransmisikan melalui interaksi bukan genetik, karenanya kebudayaan dipelajari, dimiliki bersama, dibentuk, dan bermakna. Selanjutnya bagi Kroeber untuk menganalisa kebudayaan perlu dibedakan antara kebudayaan sebagai sistem gagasan dan pikiran manusia yang tumbuh dalam masyarakat dengan kebudayaan sebagai sistem tindakan manusia. Sistem gagasan dan pikiran manusia berada pada dataran abstrak yang ia sebut sebagai sistem budaya, sementara sistem tindakan sebagai ujud dari gagasan dan pikiran manusia disebut sebagai sistem sosial.

292

Konsep daerah kebudayaan Boas kemudian dikembangkan oleh Kroeber dengan mengidentifikasi unsur-unsur kebudayaan yang tidak pernah mendapat perhatian dari Boas. Pemikiran Kroeber di atas sejalan dengan gagasan Talcot Parsons. Tetapi di pihak lain konsep beliau tentang sifat superorganik dari kebudayaan bertentangan dengan pemikiran Parsons. Kebudayaan berkembang tidak sejalan, bahkan tidak tergantung dengan perkembangan organisma biologi manusia. Di mana kebudayaan berkembang lebih cepat dari organisma biologi manusia. Para ahli antropologi lain termasuk Parsons berpendapat bahwa menganalisa kebudayaan tidak bisa mengabaikan faktor biologi. Walaupun Kroeber akhirnya meninggalkan konsep ini setelah mendapat kritik semakin tajam terutama dari D. Bidney (On the Concept of Culture and Some CulturalFalacies; 1944), tetapi tetap menggunakan terminologi superorganik untuk menyatakan perbedaan perkembangan kebudayaan dengan organisma biologi manusia. Dari Boas dan Kroeber dapat kita petik bahwa memahami kebudayaan harus lepas dari persoalan konsep evolusi. Kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang abstrak dan dikaitkan dengan tindakan dan prilaku manusia yang kongkrit (nyata). Kebudayaan sebagai gagasan, pikiran, dan makna ditempatkan pada level yang paling tinggi yang disebut sebagai sistem budaya. Wujud dari sistem budaya adalah tindakan dan tingkah laku manusia yang disebut sebagai sistem sosial. Kemudian konfigurasi kebudayaan dihasilkan dari rentetan sejarah tatanan utama nilai-nilai kebudayaan. Artinya sifat kebudayaan dikondisikan oleh akumulasi masa lalu pendukung kebudayaan tersebut, sehingga pendekatan dalam memahami kebudayaan paling bagus dengan sejarah. Kecuali konsep di atas, untuk kepentingan penelitian integratif antara antropologi dan epidemiologi ini konsep Kroeber yang memisahkan antara kebudayaan dengan biologi harus mendapatkan koreksi, di mana biologi di sini tidak diasosiasikan sebagai proses evolusi biologi manusia, tetapi terkait dengan proses biologi lingkungan dan biologi penyakit yang mungkin dihasilkan oleh prilaku manusia. Bahkan penting untuk dicatat, bahwa ada pemikiran Morgan yang dapat kita gunakan, di mana beliau memposisikan kebudayaan sebagai mediasi (instrumen) antara prilaku manusia dengan alam lingkungan yang sarat dengan proses biologi. (Sahlins, 1976; 69-72). Perlu kehati-hatian dalam menggunakan konsep yang memandang bahwa kebudayaan berbeda dengan sosial (struktur sosial, organisasi sosial, dll) di mana prilaku manusia dipandang terkait dengan simbol dan kepercayaan. Mereka yang mengikuti Talcott

293

Parsons mengakui satu bidang lain yang terpisah dari kajian kebudayaan yang konsen terhadap analisa simbol dan makna, merupakan satu bidang yang berbeda dari sosial, meskipun faktanya bahwa konsep Parsons tentang "tindakan sosial" meliputi unsur-unsur kedua-duanya. (D. Schneider, 1976). Clifford Geertz membedakan antara struktur sosial sebagai proses prilaku intaraktif yang sedang berjalan dan kebudayaan sebagai kerangka kepercayaan, symbol, dan nilai-nilai. (Geertz, C., 1973) Kepercayaan, simbol, dan nilai-nilai melekat pada interaksi; tindakan sosial harus mencakup dimensi tersebut dan akan kehilangan makna tanpa adanya kepercayaan, simbol, dan nilai-nilai. Pernyataan tentang kepercayaan, penggunaan simbol, ekpresi nilai-nilai merupakan bagian dari proses prilaku interaktif yang sedang berjalan. Pemikiran yang terpisah dari satu kerangka muncul dari persepsi analitik pengamat yang melebihi perspektif pelaku. Ini memang bukan kekeliruan, tetapi satu hal yang tidak perlu. (Goody, J., 1994) Apapun pernyataan teoritis para ahli antropologi budaya, dalam prakteknya mereka menggunakan banyak bidang spesialiasi yang dinyatakan sebagai domain utama, seperti halnya simbol dan makna. Clifford Geertz (1973) memahami kebudayaan sebagai bentuk transmisi historis dari makna yang ada dalam simbol, satu sistem dari konsep yang diwariskan dan dinyatakan dalam satu bentuk simbol yang digunakan untuk berkomunikasi. Geertz membedakan antara kebudayaan sebagai media transmisi pemikiran dan struktur sosial sebagai bentuk asosiasi manusia dengan satu kegiatan timbal balik yang saling mempengaruhi di antara mereka.

2. Konsep Epidemiologi Epidemiologi merupakan suatu studi yang menyangkut pengukuran frekuensi penyakit, distribusinya, serta faktor-faktor yang menyebabkan munculnya penyakit tersebut. (Hennekens C, Buring; 1987). Sejak lebih dari 2.000 tahun yang lalu, Hippocrates telah mengawali pemikirannya bahwa lingkungan dapat mempengaruhi muncul dan berkembangnya suatu penyakit, namun baru pada abad ke-19 perhatian terhadap distribusi penyakit dilaksanakan secara luas, salah satu di antaranya adalah hasil jerih payah Dr John Snow. John Snow (1813-1858), seorang dokter di London, adalah ahli anestesi yang berperan dan berhasil membantu Ratu Victoria melahirkan kedua putranya dengan

294

menggunakan kloroform. Bertahun-tahun beliau menekuni dan berupaya mengamati, mencatat, dan memetakan kejadian wabah kolera di daerahnya yang kemudian dibukukan dan diterbitkannya sendiri dengan judul On the Mode of Communication of Cholera, namanya dikenang hingga kini. Penelitian beliau tentang kolera ini menjadi mahakarya klasik dalam bidang epidemiologi dan berbagai kajian dan penelitiannya masih banyak dirujuk oleh para ahli terkemuka hingga kini. (Hennekens C, Buring; 1987). Masalah sosial utama yang menjadi perhatian Snow waktu itu adalah wabah kolera, yang belum diketahui cara penularannya. Secara berkala penyakit ini melanda Benua Eropa dan menjadi penyebab kematian yang tinggi. Setelah mewabah di Benua Eropa secara hebat pada tahun 1832, penyakit ini kemudian mengancam Kota London pada tahun 1848 dan 1853. Menurut catatan Snow pada epidemi tahun 1848, kematian karena kolera terutama ditemukan di daerah selatan Sungai Thames dan semakin mengecil kasusnya pada daerah yang semakin jauh dari sungai. Di samping itu ia juga menemukan banyaknya kematian pada daerah yang kebutuhan airnya dipasok oleh dua perusahaan air (minum) swasta, Southwark and Vauxhal Water Company dan Lambeth Water Company. Di mana kedua perusahaan tersebut mendistribusikan air yang diambil dari Sungai Thames melalui jaringan pipa ke rumah-rumah penduduk. Snow mengalami kesulitan dalam penelitiannya karena akibat dari persaingan di antara kedua perusahaan tersebut membuat jaringan pipa yang berada di sebelah selatan Kota London waktu itu semrawut. Hanya hal-hal inilah yang dapat dihasilkan dari penelitian Snow, sampai kejadian epidemi berikutnya pada tahun 1853. Ketika bulan Juli 1853 wabah kolera kembali menjangkiti Kota London, Snow kembali melakukan penelitian di daerah selatan Sungai Thames seperti kejadian epidemi yang lalu. John Snow mendatangi rumah-rumah yang terkena musibah dan mengadakan penelitian tentang sumber air yang digunakan dalam rumah-rumah itu. Dari penelitian Snow tahun 1853 diketahui bahwa jumlah kematian pada rumah yang mendapat distribusi dari Southwark and Vauxhall Company jauh lebih besar daripada yang mendapat distribusi baik dari Lambeth Company maupun dari perusahaan lainnya atau dari sumber air selain dari sungai Thames, seperti dari sumur. Berdasarkan pengamatannya selama itu, Snow memiliki dugaan kuat bahwa terdapat hubungan antara penyakit kolera dan air.

295

Penelitian Snow yang membangun teori bahwa ada hubungan antara penyakit kolera dengan air menjadi titik awal bagi epidemiologi dan pengetahuan tentang adanya penyebab satu penyakit. Selanjutnya perkembangan epidemiologi diletakkan oleh Richard Doll dan kawan-kawan ketika mengadakan studi tentang kebiasaan merokok di kalangan dokter di Inggris pada tahun 1950-an. Penelitian Doll memberikan sumbangan berupa model penggabungan epidemiologi dengan pengamatan di bidang klinis, dan membawanya pada satu kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara kanker paru-paru dan kebiasaan merokok. Dari penelitian ini ruang lingkup epidemiologi meluas ke bidang penyakit kronis. Menurut Morris (1989), epidemiologi merupakan satu instrumen yang diharapkan mampu menjembatani antara kesehatan masyarakat (public health) dan klinik kesehatan. Lebih lanjut disebutkan bahwa epidemiologi kaya dengan saran temuan yang perlu ditindaklanjuti dengan studi klinis serta uji laboratorium. Saat ini urgensi atau bahkan peran penting dari epidemiologi semakin dirasakan secara sosial untuk menjaga agar manusia dapat tetap terjaga kesehatannya dengan mengurangi angka kesakitan. Malapetaka SARS yang menjadi pandemi di seluruh dunia beberapa tahun yang lalu tidak terlepas dari lemahnya penelitian epidemiologi yang dilakukan otoritas kesehatan di Provinsi Guangdong, China, (tempat asal dari virus SARS) menjadi bukti diperlukannya penelitian seperti yang pernah dilakukan Snow lebih dari satu abad yang lalu. Ketika wabah SARS mereda, pemerintah Indonesia teruratama Kementrian Kesehatan (Departemen Kesehatan waktu itu) tidak terlihat secara maksimal mengambil pelajaran dari petaka tersebut sampai avian influenza mengancam negara kita dan dunia. Kita tidak bisa mengira-ngira apa penyebab tejadinya ketimpangan dan kelemahan dalam penanganan masalah kesehatan dan penyakit di Indonesia. Walaupun dalam teori dasar tentang penyebab penyakit (Teori Segi Tiga Epidemiologi) dijelaskan bahwa ada tiga hal yang saling terkait sebagai penyebab muncul dan berkembangnya penyakit yaitu host, agent, dan lingkungan. Host merupakan faktor intrinsik yang dapat menimbulkan penyakit. Agent merupakan faktor yang menyebarkan virus atau bakteri dari host ke objek lain. Agent ini mencakup faktor biologi dan faktor sosial budaya. Lingkungan sebagai faktor ekstrinsik juga mencakup lingkungan biologis, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Namun fakta praktis pendekatan epidemologi lebih menekankan pada faktor biomedis, dan kurang bahkan hampir tidak memperhatikan faktor sosial dan kebudayaan sehingga

296

pemahaman etiologi dan penanganan masalah penyakit di Indonesia belum dilakukan secara holistik dan lebih optimal. Begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh epidemiologi, antara lain disebabkan oleh kesetiaan bahkan ketaatan yang berlebihan terhadap paradigma biologi (McKinlay, 2000), sehingga pemahaman tentang penyakit dipotong pada proses biologi penyakit tanpa memahami bagaimana proses biologi itu muncul. Karena itu sangat penting memperhatikan perspektif kebudayaan dalam epidemiologi. (Trostle, J., J Sommerfeld, 1996). Pendekatan biomedis memiliki keterbatasan dalam menjelaskan faktor-faktor sosial dalam etiologi dan resiko penyakit. Pendekatan kebudayaan akan dapat mengisi kelemahan tersebut terutama dalam hal identifikasi seting sosial, kebudayaan dan resikonya. Untuk menciptakan keseimbangan pendekatan dalam penanganan penyakit dan kesehatan masyarakat perlu dikaji lebih mendalam bagaimana pengaruh dan fungsi kebudayaan terhadap kondisi penyakit dan kesehatan masyarakat. (Winkelman, 2009). Di bawah ini peneliti mencoba menggambarkan bagaimana posisi kebudayaan dalam muncul dan berkembangnya penyakit dalam satu populasi masyarakat. Proses yang paling dekat dengan penyakit adalah biologi penyakit, yaitu proses bagaimana bacteri atau virus muncul berkembang biak pada host nya yang kemudian melalui vektor (agen) ditularkan kepada manusia. Keberadaan dan proses interaksi host dan agen tidak muncul dan terjadi begitu saja, tapi ada yang mendorong dan mendasari terciptanya proses interaksi biologi penyakit. Hal ini tercipta dan terjadi karena didorong oleh prilaku manusia (masyarakat). Sementara prilaku masyarakat merupakan wujud dari kebudayaan mereka. Karena itu kebudayaan menjadi sesuatu yang mendasar dalam tercipta dan berkembangnya penyakit. Dengan meminjam gambaran Koentjaraningrat tentang wujud kebudayaan maka gambaran posisi kebudayaan dalam muncul dan berkembangnya penyakit pada satu populasi masyarakat dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

297

Posisi kebudayaan dalam muncul dan berkembangnya penyakit

Penyakit

Proses Biologi Penyakit Prilaku

Sistem Budaya

Sistem Sosial

Produk Budaya
Wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat

Produk Budaya

Gambar 2.1

3. Cultural Epidemiology Persentuhan epidemiologi dengan antropologi bermula dari pengalaman Sydney Kark dalam melaksanakan proyek pelayanan kesehatan bagi masyarakat desa di Afrika Uatara yang disebut Pholela atau Polela dan Institute of Family and Community Health (IFCH) pada tahun 1945. Berdasarkan pengalaman tentang Pholela dan IFCH beliau meneruskan kajiannya tentang epidemiologi dan antropologi. Di samping belajar epidemiologi pada John Ryles Institute of Social Medicine di Oxford University (1947 1948) beliau juga belajar antropologi dengan E. E. Evans Pritchard, Meyer Fortes dan Max Gluckman sehingga mulai merubah pemikiran beliau tentang orientasi epidemiologi secara sosial. Selain S. Kark juga seorang dokter yang pernah terlibat dalam IFCH adalah Mervyn Susser yang kemudian menjadi editor pada American Journal of Public Health dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan epidemiologi sosial di Amerika. Seorang ahli antropologi yang juga terlibat pada IFCH adalah Norman Scotch yang belajar pada Sekolah Kesehatan Masyarakat di Boston dan sungguh-sungguh mencermati bagian-bagian yang signifikan dari epidemiologi untuk direview secara antropologi. Akhirnya Scotch berpandangan bahwa epidemiologi secara esensial adalah

298

satu metode untuk melihat bagaimana secara bersama-sama faktor biologi, lingkungan, masyarakat, dan kebudayaan mempengaruhi kesehatan manusia. (Harwood, Alan, 2005) Cultural epidemiology dapat dipahami sebagai kajian epidemiologi dengan perspektif kebudayaan. Landasan kajian cultural epidemiology telah tercipta dengan tujuan untuk meningkatkan ketepatan dan efektifitas dalam mengontrol dan mencegah penyakit, demikian juga untuk mengembangkan teori tentang analisa sosial dari penyakit. (Sommerfiled, 1996). Penerapan konsep ini mengalami hambatan, terutama kepatuhan dan ketaatan yang berlebihan oleh para ahli epidemiologi terhadap paradigma biologi dan penggunaan data kuantitatif yang umum dalam epidemiologi. (McKinlay, 2000). Karena itu kolaborasi antara antropologi dan epidemiologi di masa lalu memiliki keanehan atau keganjilan sehingga menyisakan masalah metodologi dan kritik terhadap teori dan konsep. Upaya membangun penelitian multi metode mungkin bisa menjadi satu bentuk solusi, tetapi tantangan teoritis dan kritik-kritik terhadap konsep masih tetap menjadi satu hal yang luar biasa. Dalam hal ini Johannes Sommerfeld dan James Trostle (1996) mengusulkan agar pertukaran-pertukaran (konsep dan teori) yang lebih produktif mungkin muncul sebagai sebuah konsekuensi dari kajian antropologi dalam epidemiologi. Mengacu kepada gagasan Sommerfeld dan Trostle ini, maka penerapan cultural epidemiology tidak lebih hanya sekedar pertukaran konsep dan teori secara produktif antara epidemiologi dan antropologi. Menurut hemat saya hal ini tidak akan dapat menyelesaikan masalah metodologi dan kritik terhadap teori dan konsep dari kajian cultural epidemiology. Karena itu diperlukan pengembangan konstruksi berfikir (rekonstruksi) dan aktualisasi dari cultural epidemiology. Praktek-praktek penelitian dan kajian dengan konsep Cultural epidemiology dinilai oleh banyak ahli ilmu sosial dan epidemiologi telah menyisakan banyak masalah baik metodologi maupun kritik-kritik teori dan konsep. Hal ini menurut hemat penulis adalah karena penggunaan konsep kebudayaan yang sangat terbatas, sehingga tidak

memungkinkan untuk mengeliminir masalah-masalah metodologi dan kritik-kritik teori dan konsep dari kajian integratif antara antropologi dan epidemiologi selama ini. Karena itu perlu dilakukan satu upaya untuk melengkapi bahkan merekonstruksi ulang arah kajian cultural epidemiology, agar tidak lagi menyisakan permasalahan metodologi dan kritikkritik teori dan konsep. Dalam antropologi dikenal berbagai konsep kebudayaan yang memiliki efek metodologis dan teoritis terhadap satu kajian. Karena itu ketepatan penerapan dari konsep

299

cultural epidemiology tergantung kepada ketajaman sintesa dari konsep kebudayaan yang digunakan. Konsep kebudayaan yang digunakan pada awal penerapan cultural epidemiology adalah kebudayaan dalam paradigma fungsionalisme struktural. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Sydney Kark merubah pemikirannya tentang orientasi sosial dari epidemiologi berdasarkan pengalamannya tentang Pholela dan IFCH yang

mengintegrasikan epdemiologi dan antropologi dengan belajar antropologi dari E. Evans Pritchard dan Meyer Fortes yang murid dari Malinowski. Secara umum konsep kebudayaan yang digunakan terkungkung oleh pemahaman kebudayaan yang mengacu kepada struktur sosial. John Cassel seorang dokter sekaligus ahli epidemiologi dari Afrika Utara bersamasama dengan ahli antropologi Donald Patrick dan psikolog David Jenkins berupaya mereformasi program IFCH melalui kajian interdisiplinary di Universitas North Carolina, Capel Hill. Artinya penerapan cultural epidemiology oleh Cassel mulai begeser dari paradigma fungsionalisme struktural. Beliau mencoba memisahkan dengan tegas antara sistem sosial dengan sistem kebudayaan. Dengan mengacu kepada Clifford Geertz beliau memahami kebudayaan sebagai satu jaringan makna di mana dengan makna tersebut manusia meginterpretasikan pengalamannya dan dengan makna itu pula mereka bertindak. Sementara strukturn sosial dipahami sebagai satu cara kehidupan kelompok masyarakat diatur, aturan hubungan-hubungan sosial manusia. (Casssel, et al, 1960). Hal ini beliau lakukan untuk membedakan antara kebudayaan dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Menurut Machael Agar (1996), upaya membangun satu sintesa konseptual dan teoritis melalui kajian antropologi dan epidemiologi akan bisa diwujudkan melalui penyatuan kesadaran baru (penulis artikan sebagai orientasi baru) dan refleksi dari keduanya melalui pendekatan holistik, sistemik, dan sintesa konsep kebudayaan. Gagasan Machael Agar ini menjadi landasan berfikir bagi saya dalam memahami kenapa penerapan konsep cultural epidemiology menyisakan masalah metodologi dan kritik-kritik teori dan konsep. Pendekatan holistik merupakan perspektif antropologi yang berupaya melakukan kajian terhadap pengalaman-pengalaman manusia secara keseluruhan (C. Ember dan M. Ember, 2007). Dalam memahami dan menjelaskan masalah sehat dan sakit (khususnya TB paru), antropologi mempelajari saling keterkaitan dari semua faktor kehidupan manusia. Pendekatan sistemik dimaksudkan bahwa dalam memahami masalah sehat dan sakit atau

300

secara spesifik masalah TB paru dipahami dengan memandang bahwa kebudayaan sebagai satu sistem yang saling terkait. Artinya saling keterkaitan antara ide-ide, aktivitas sosial (prilaku), dan artifak-artifak yang ada dalam masyarakat dan mereka gunakan untuk memahami fenomena kehidupan dan lingkungan. Namun hemat saya, penggunaan konsep kebudayaan dalam penerapan cultural epidemiology selama ini terkungkung pada satu paradigma dalam antropologi. Seperti Sydney Kark yang dibayang-bayangi oleh paradigma fungsionalisme struktural, sementara pembaharu John Cassel menundukkan diri pada paradigma interpretivisme Clifford Geertz. Pada hal perdebatan konsep kebudayaan dalam paradigma yang berbeda, dalam antropologi sendiri juga menjadi perdebatan yang berimplikasi pada metodologi dan teori. Karena itu, apabila kerangka berfikir dan penerapan cultural epidemiology tunduk kepada salah satu paradigma dalam menggunakan konsep kebudayaan akan tetap menyisakan masalah metodologi dan teori. Malasah tersebut akan dapat diselesaikan dengan cara menggunakan konsep kebudayaan yang disintesakan dari berbagai paradigma antropologi yang relevan. Dalam upaya rekonstruksi dan aktualisasi cultural epidemiology peneliti tidak akan menggunakan konsep kebudayaan yang mengacu kepada salah satu paradigma secara ketat. Peneliti akan membuat satu analisis terhadap beberapa konsep kebudayaan yang relevan untuk digunakan dalam cultural epidemiology dan kemudian membuat sebuah sintesa konsep kebudayaan. Dengan sintesa konsep kebudayaan itulah dikembangkan kerangka pikir untuk merekonstruksi dan aktualisasi cultural epidemiology.

C. Rancangan Kerangka Teori Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kelemahan sistem kesehatan dari suatu daerah dapat menyebabkan penyebaran suatu penyakit secara global dan menimbulkan malapetaka yang hebat. Pemahaman bidang kesehatan di Indonesia selalu dikonotasikan sebagai pelayanan terhadap orang sakit di pusat kesehatan masyarakat atau di rumah sakit. Asumsi ini semakin kuat ketika ada indikator bahwa minat para dokter lebih tinggi terhadap bidang spesialisasi klinik dari pada bidang epidemiologi, dan manajemen rumah sakit juga melupakan peran penting kesehatan di suatu daerah. Karena banyak penyakit baru (emerging diseases) dan penyakit lama yang muncul dan berkembang kembali (re-emerging diseases) di sejumlah daerah di Indonesia maka epidemiologi sebagai bagian dari sistem

301

perlu di bangun satu pemikiran teoritis dengan perspektif sosial dan kebudayaan untuk memahami dan menjelaskan kondisi kesehatan, etiologi dan resiko penyakit yang ada dalam satu masyarakat secara holistik. Upaya ini dilakukan untuk melengkapi praktikpraktik dan kajian epidemiologi yang masih belum optimal di Indonesia. Penelitian ini ingin membangun satu eksplanasi bagaimana kebudayaan, lingkungan (medical ecology), dan proses biologi penyakit bersama-sama mempengaruhi kondisi kesehatan, atau menimbulkan dan menyebarkan penyakit (etiologi dan resiko). Dalam hal ini penulis mengambil kasus tuberculosis (TBC paru) untuk dipahami dan dijelaskan secara holistik, sistemik, dan konseptual teoritis kenapa tuberculosis (TBC paru) yang sudah ada di Indonesia sejak zaman kolonial dan ditanggualngi dengan berbagai program sampai saat ini masih belum bisa terselesaikan dengan baik dan optimal. Terutama yang ingin dijelaskan adalah saling keterkaitan atau pengaruh mempengaruhi antara kebudayaan dengan lingkungan (medical ecology), pengaruh kebudayaan terhadap faktor biologi penyakit terkait dengan tuberculosis (TB paru). Kerangka teori yang hendak dibangun ini akan digunakan sebagai alur pikir dalam penelitian untuk menghasilkan satu konsep bahkan teori (local theory) dalam kerangka cultural epidemiology. Atau paling tidak rancangan teori ini diharapkan dapat digunakan untuk membangun sebuah anthropological review terhadap teori-teori dan konsep dalam epidemiologi.

1. Kebudayaan dan Kesehatan Kebudayaan saling terkait dengan tindakan dan prilaku baik individu maupun kelompok yang dapat menimbulkan dan menyeberkan penyakit. Bagaimana seseorang atau sekelompok individu memahami dan meresponi penyakit dan menggambarkan gangguan kesehatan. Kebudayaan ditempatkan pada posisi sentral dalam mendiagnosa resiko dan etiologi penyakit serta berbagai isu penting dalam kesehatan. Peningkatan pelayanan kesehatan membutuhkan perhatian terhadap perspektif kebudayaan tentang penyakit. Kesehatan manusia terkait dengan sistem kebudayaan yang mencakup elemen mendasar dan lebih luas dari apa yang dilakukan oleh ahli biologi, kimia, dan fisika. Dalam perspektif kebudayaan pemahaman tentang penyakit mencakup aspek psikologi, sosial, emosional, mental, dan spiritual. Antropologi kesehatan merupakan disiplin utama yang meghubungkan antara medis, kebudayaan, prilaku kesehatan, dan memasukkan perspektif kebudayaan ke dalam

302

seting klinik dan program kesehatan masyarakat. Perspektif kebudayaan dari antropologi kesehatan secara mendasar memberikan kemampuan tindakan atau pelayanan, program kesehatan masyarakat yang efektif, dan pendidikan terhadap pasien. Konsep kebudayaan merupakan hal mendasar untuk memahami kesehatan, etiologi dan resiko penyakit karena tindakan dan prilaku kesehatan manusia dan tindakan profesional pengobatan saling terkait dengan kebudayaan. Kebudayaan mencakup bentukbentuk pembelajaran dari prilaku bersama satu elompok masyarakat. Pembelajaran prilaku bersama tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka kerja untuk memahami prilaku manusia, termasuk prilaku kesehatan, terutama perbedaan-perbedaan prilaku antar kelompok masyarakat dalam hal kesehatan dan kepercayaan. Kebudayaan adalah faktor penentu kondisi kesehatan yang prinsip, terutama dalam hal keterpaparan dan/atau proteksi dari penyakit melalui interaksi dengan lingkungan (fisik dan sosial).

2. Kebudayaan dan Aspek Biologi Penyakit Jika kita melihat penyebab penyakit bahkan kematian di Amerika dan negara maju lainnya, berdasarkan data Departemen Kesehatan dan Pelayanan Manusia Amerika Serikat serta WHO ternyata bukan faktor biologi penyakit yang banyak menjadi penyebab, tetapi justru faktor kebudayaan lebih banyak menentukan. Karena itu tidaklah terlalu atau selalu tepat jika kita mengatakan bahwa penyebab kematian adalah faktor biologi penyakit, terkait dengan virus atau faktor disfungsi genetik. Lebih jauh dari itu, faktor biologi dari penyakit tersebut merupakan hasil dari proses sosial dan kebudayaan terhadap kondisi biologi yang normal, termasuk penyebab fundamental dalam menghasilkan patologi. Kondisi seperti cancer, penyakit hati, jantung, bahkan muncul dan berkembangnya bakteri dalam penyakit infeksi (termasuk tuberculosis) disebabkan oleh masalah tindakan dan prilaku manusia yang selalu terkait dengan kebudayaan, seperti prilaku makan atau konsumsi, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan lain-lain. (Michael Winkelman, 2009)

3. Kebudayaan dan Aspek Lingkungan (Medical Ecology) Tentang Penyakit Kesehatan dan penyakit dipengaruhi oleh berbagai interaksi dengan lingkungan. Medical ecology menjelaskan hubungan penyakit dengan lingkungan fisik, lingkungan biologi, dan lingkungan sosial. Seperti kondisi iklim, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan dinamika penduduk. Sistem lingkungan dikonsepsikan oleh tiga aspek pokok yaitu fisik,

303

biologi, dan kebudayaan yang saling berinteraksi satu sama lain dan juga dengan populasi manusia dalam menentukan penyakit. Kesehatan dan penyakit dihasilkan dalam satu interaksi biologi manusia dengan lingkungan melalui aktivitas-aktivitas kebudayaan yang dapat menurun dan menaikkan frekuensi dari kualitas penyakit. (Michael Winkelman, 2009). Skema teoritis tersebut dapat digambarkan secara sederhana pada gambar 3.1. Gambar 3.1 Medical Ecology

Kesehatan, Etiologi dan Resiko Penyakit

Biologi Keterangan : : menentukan/mempengaruhi : membentuk/mencipta : saling terkait / saling membentuk

Kebudayaan

Cultural epidemiology melakukan kajian dengan perspektif kebudayaan terhadap muncul dan berkembangnya satu penyakit, dalam penelitian ini yaitu penyakit tuberculosis (TB paru). Kajian cultural epidemiology bertujuan untuk meningkatkan ketepatan dan efektifitas dalam mengontrol dan mencegah penyakit, demikian juga untuk

mengembangkan teori tentang analisa sosial dari penyakit. (Sommerfiled, 1996). Belakangan ini para ahli epidemiologi telah banyak menyadari kelemahan-kelemahan konsep-konsep dan metode kajian mereka selama ini, terutama yang mendasar adalah penggunaan data kuantitatif yang umum dalam epidemiologi. Karena itu kajian-kajian integratif antara antropologi dan epidemiologi di masa lalu memiliki keanehan atau keganjilan. Permasalahan dan keganjilan tersebut tidak hanya dalam hal metodologi, tetapi juga tantangan teoritis dan kritik-kritik terhadap konsep masih tetap menjadi satu hal yang

304

luar biasa. Dengan membangun satu sistem integrasi dari konsep-konsep antropologi dan epidemiologi sebagai kerangka pikir untuk mengkaji dan memahami tuberculosis akan dapat menghasilkan konsep dan teori untuk penanganan tuberculosis lebih tepat dan optimal. Sebagimana usulan Johannes Sommerfeld dan James Trostle (1996) agar dilakukan pertukaran-perukaran (konsep dan teori) yang lebih produktif sebagai sebuah konsekuensi dari kajian antropologi dalam epidemiologi. Cultural epidemiology dengan perhatian pokok kepada efek-efek kesehatan yang terkait dengan prilaku dan kepercayaan. (Harwood, Alan; 2005), menurut hemat penulis terlalu menyederhanakan penggunaan konsep kebudayaan, sehingga kurang mampu memberikan solusi terhadap masalah-masalah metodologi dan kritik teori dan konsep dari kajian integratif antara antropologi dan epidemiologi selama ini. Karena itu perlu dilakukan upaya untuk melengkapi bahkan merekonstruksi ulang arah kajian cultural epidemiology, agar tidak lagi menyisakan permasalahan metodologi dan kritik-kritik teori dan konsep. Walaupun pembahasan konsep kebudayaan pada Bagian II di atas

mengenyampingkan paradigma evolusionisme klasik, tapi penulis memberikan koreksi terhadap Kroeber yang memisahkan antara kebudayaan dan biologi, bahkan penulis memberikan perhatian terhadap L. H. Morgan yang evolusionis. Untuk memposisikan kebudayaan pada sentral analisis penelitian ini, penulis mencoba melihat hubungan kebudayaan dengan lingkungan dan biologi justru dengan pemikiran Lewis Hendry Morgan yang disimpulkan oleh Marshall Sahlins bahwa kebudayaan merupakan mediasi (instrumen) antara prilaku manusia dengan alam - lingkungan. (Sahlins, 1976; 69-72). Keterkaitan antara biologi dengan kebudayaan dalam penelitian ini tidak diasosiasikan bahwa biologi sebagai proses evolusi melainkan proses biologi penyakit yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam konteks kebudayaannya. Karena itu skema teoriritis pada Gambar 3.1 di atas dapat dikembangkan seperti yang terlihat pada gambar 3.2 di bawah ini.

305

Gambar 3.2 Medical Ecology

Kebudayaan & Prilaku

Kebudayaan Muncul dan Berkembang TB paru Kebudayaan

Biologi Penyakit

Tindakan/Prilaku

Keterangan : : menentukan/mempengaruhi : membentuk/mencipta : saling terkait / saling membentuk

4. Kebudayaan dan Tindakan Sosial, Prilaku Manusia Skenario yang hendak penulis jelaskan secara teoritis adalah bagaimana kebudayaan menjadi unsur sentral, bahkan mendasar dan esensial dalam memahami dan menjelaskan muncul dan berkembangnya tuberculosis (TB paru). Peran kebudayaan yang diposisikan sebagai mediator (instrumen) antara tindakan sosial atau prilaku manusia dengan

lingkungan (medical ekology), dan begitu juga antara tindakan sosial atau prilaku manusia dengan faktor proses biologi penyakit. Dengan demikian interaksi ketiga unsur ini (tindakan sosial atau prilaku, lingkungan - medical ecology, dan proses biologi penyakit) dengan dimediasi oleh kebudayaan sebagai instrumen menjadi faktor yang mempengaruhi keberadaan dan berkembangnya tuberculosis (TB paru), resiko dan penyebeb nya. Kaena itu penulis meletakkan kebudayaan sebagai sentral analisis, sehingga kebudayaan dan prilaku masyarakat menjadi entri poin dalam menjelaskan masalah ini. Untuk memahami masalah prilaku masyarakat dan kebudayaan kita coba merunut dari akarnya yaitu dari teori klasik tentang prilaku dan tindakan sosial oleh Max Weber (1864 1920). Membicarakan teori prilaku dan tindakan sosial Weber tidak bisa lepas dari masalah konsep fakta sosial. Fakta sosial bagi Weber berbeda dengan Durkheim, di mana

306

Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dengan pranata sosial. Keduanya secara bersama-sama membantu membentuk prilaku manusia yang memiliki arti dan penuh makna. Memahami pranata tanpa memperhatikan tindakan manusianya sendiri, menurut Weber kita telah mengabaikan masalah-masalah yang prinsip dari kehidupan sosial. Perkembangan dari satu relasi sosial juga dapat dijelaskan melalui tujuan-tujuan dari manusia yang membangun relasi sosial tersebut, di mana tindakan-tindakan yang ia lakukan memberikan manfaat dan makna bagi pelaku, dan sekaligus memberikan perbedaan makna kepada tindakan itu sendiri seiring dengan perjalanan waktu. Bagi Weber tindakan sosial itu adalah prilaku individu di mana prilaku tersebut memiliki makna subjektif bagi sipelaku dan diarahkan kepada tindakan orang lain. (Talcot Parson, (edt): 1964). Terminologi tindakan oleh Weber hanya ditujukan untuk prilakuprilaku yang memiliki makna subjektif bagi sipelaku yang memiliki satu tujuan atau didorong oleh satu mptivasi. Baik itu prilaku nyata maupun prilaku yang tak terlihat seperti perenungan, merencanakan, atau mengambil keputusan. Kesadaran akan arti dari tindakan itulah yang mencirikan hakikat manusia sebagai pelaku, tetapi kesadaran itu bukanlah prilaku. Tanpa ada unsur kesadaran tidak dapat dikatakan sebagai tindakan manusia. Tindakan manusia itu akan menjadi tindakan sosial jika arti dari makna subjektif sebuah tindakan membuat pelaku memikirkan atau meperhitungkan tindakan orang lain. Karena itu menurut Weber tindakan sosial selalu berakar dalam kesadaran individu dan berangkat dari kesadaran tersebut. Tindakan sosial yang selalu berakar dalam kesadaran individu dan bertolak dari situ harus dipelajari dan dipahami tidak hanya dengan mempelajari pranata dan struktur sosial dari luar saja tetapi juga prilaku itu sendiri. Jika prilaku itu dikesampingkan maka kita tidak akan menemukan inside-story dan tidak menjangkau unsur utama dan pokok dari tindakan sosial itu. Kelakuan manusia harus dijelaskan dengan mendalami dan memahami seluruh sistem makna subjektif yang mendahului, menyertai, bahkan menyusul tindakan tersebut. Untuk menjelaskan dan menerangkan tindakan manusia, harus mendalami seluruh sistem makna subjektif yang mendahului dan menyertai tindakan tersebut. Terkait dengan penjelasannya tentang masyarakat sosialis, Weber menyatakan bahwa penelitian sosiologi yang betul-betul empiris adalah penelitian yang dimulai dengan pertanyaan; motivasimotivasi manakah yang menentukan dan membimbing tindakan individu sebagai anggota

307

masyarakat, sehingga masyarakat dapat muncul dan dapat bertahan terus ? (Talcot Parson, (edt): 1964: 107) Selanjutnya Weber tertarik dengan masalah rasional, seperti mengapa institusi sosial di negara-negara Eropa berkembang semakin rasional, sementara di belahan bumi di lar Eropa terjadi kendala perkembangan tersebut. Salah satu rasionalitas yang biasa digunakan Weber adalah rasionalitas formal yang meliputi proses berfikir aktor dalam membuat pilihan-pilihan untuk alat dan tujuan. Pilihan-pilihan dibuat dengan mengacu kepada kebiasaan, peraturan, dan hukum yang bersifat universal. Ketiga hal tersebut bersumber dari struktur yang berskala besar, seperti struktur birokrasi dan ekonomi. Untuk membangun teori ini Weber melakukan studi perbandingan pada masyarakat Eropa, Cina, dan India. Melalui penelitian ini beliau menggambarkan faktor-faktor yang mendorong dan menghambat perkembangan rasionalisasi. Mengapa sistem ekonomi rasional (kapitalis) berkembang dengan baik di negaranegara Barat (Eropa), sementara di luar Eropa kapitalisme gagal. Dari penelitian beliau di Eropa, Cina, dan India disimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh peran sentral agama. Agama telah memainkan peran kunci dalam pertumbuhan kapitalisme di Eropa, sementara agama di Cina dan India telah gagal mengembangkan kapitalisme. Sehingga Weber menyimpulkan bahwa agama yang rasionallah (calvinisme) yang dapat menumbuhkan kaptalisme, sementara agama yang irrasional (Toaisme dan Hinduisme) gagal mengembangkan sistem ekonomi rasional. (Weber dalam Talcot Parson, (edt): 1968 Vol, II; 575). Karena itu Weber lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap tindakan-tindakan ekonomi. Ide dan gagasanlah yang menentukan sistem ekonomi dan tindakan ekonomi. Bukan ekonomi (materi) yang menentukan

idealisme atau gagasan seperti yang dikembangkan dalam pemikiran pengikut Marx. Weber menjadikan individu sebagai kesatuan dasar analisis sosialnya. Individu menghayati nilai-nilai kebudayaan dan mewujudkannya dalam bentuk tindakan. Jadi tipetipe ideal seperti kapitalisme, feodalisme, tindakan rasional dan lain-lain dijabarkan dengan prilaku-prilaku individu. Weber mengakui bahwa individualitas dari konsep kebudayaan diturunkan dari bentuk yang unik, yang mana elemen-elemen tersebut mencakup penomena yang terjadi. Talcot Parsons sebagai pengikut Weber, pada awalnya nampak sekali bahwa pemikirannya tentang tindakan sosial sangat dipengaruhi oleh Weber. Namun akhirnya

308

pemikiran beliau juga tidak bisa dipungkiri terpapar oleh pemikiran Durkheim. Parson tidak melihat bahwa tindakan manusia mutlak ditentukan oleh faktor individu sebagaimana halnya Weber, di mana oleh Parson peran individu tersebut sewaktu-waktu akan atau bisa lenyap di balik peran-peran yang dilembagakan melalui struktur sosial dan pola-pola prilaku. Karena itu kesatuan realitas sosial terkecil adalah peranan-peranan sosial -sebagian dilembagakansehingga masyarakat dan kehidupan kolektif harus dilihat sebagai sebuah jaringan relasi yang beliau sebut sebagai sistem sosial. (Parson, T, 1951). Artinya bagi Parsons, di samping otoritas individu manusia bertindak sesuai dengan peran apa yang ditentukan dan ditetapkan oleh kebudayaan setempat bagi pelaku. Talcott Parsons menggambarkan strukur tindakan sosial dengan melihat empat komponen penting; organisme prilaku, sistem kepribadian, sistem sosial, sistem kebudayaan. Organisma prilaku adalah sebuah sistem yang berfungsi untuk adaptasi

(menyesuaikan) diri dan merubah lingkungan. Sistem kepribadian berfungsi untuk mencapai tujuan dengan cara menetapkan tujuan dan memobilisasi potensi untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem sosial berfungsi untuk mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponen agar terintegrasi. Sistem kebudayaan berfungsi untuk memelihara pola prilaku dengan menyediakan nilai-nilai dan norma yang memotivasi manusia untuk bertindak. (Parsons T., 1968) Dari Weber dapat dipahami bahwa individu-individu bertindak dan berprilaku sesuai dengan apa yang ia pahami dari tipe-tipe ideal seperti nilai-nilai dan norma kebudayaan-- sehingga sulit bagi kita menggunakan konsep tindakan sosial ini untuk dijadikan sebagai acuan dalam meneliti kebudayaan masyarakat. Karena masing-masing individu dilihat memiliki cara bertindak yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang ia pahami masing-masing. Sementara Parson mencoba mengembangkan konsep Weber yang menekankan kepada otoritas individu menjadi konsep bahwa individu sewaktu-waktu dapat bertindak sesuai dengan apa yang ia pahami tentang nilai-nilai dan norma, namun di lain waktu ia terpaksa harus bertindak sesuai dengan peran apa yang telah ditetapkan kebudayaan kepadanya. Pemikiran Parson sangat kental dengan nuansa fungsionalisme. Banyak tulisan-tulisan dan para ahli yang kritis terhadap Parson dan fungsionalisme, namun tidak berarti bahwa pengaruh Parson telah selesai. Anthony Giddens memandang bahwa kritik-kritik tersebut wajar, karenanya beliau menganggap perlu dilakukan perubahan yang radikal terhadap teorema Parsons. Paling tidak Giddens memandang bahwa

309

fungsionalisme terlalu menekankan keunggulan keutuhan sosial atas individu sebagai subjek manusia atau aktor. Struktur mendapatkan penekanan yang lebih dibandingkan individu dan tindakan dalam kaca mata fungsionalisme. Untuk memberikan perspektif lain maka Giddens menggagas teori strukturasi. (Giddens, A., 2003). Giddens mengatakan bahwa para fungsionalis dan para pengritiknya sama-sama terlalu memberikan perhatian terhadap gagasan fungsi dari pada gagasan struktur sehingga struktur digunakan sebagai gagasan yang diterima mentah-mentah. Nampak jelas di sini bahwa struktur merupakan bentuk pencetakan (pola) dari hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan dualisme subjek dan objek sosial sehingga struktur bersifat eksternal bagi tindakan manusia yang mengekang prakarsa subjek. Di lain pihak para strukturalis dan post-strukturalis memberikan penekanan pada gagasn struktur, yang memandang bahwa struktur bukanlah pola, tetapi sebagai titik persinggungan antara kehadiran dan ketidak hadiran. Sekilas kedua pandangan ini sepertinya tidak ada kaitan sama sekali, pada hal memiliki hubungan yang sangat signifikan terutama dalam aspek-aspek penting dari struktur hubungan-hubungan sosial. Hal yang tidak terlihat dari kedua pandangan ini adalah persoalan ruang dan waktu, di mana oleh Giddens menjadi perhatian. Dalam analisis sosial, struktur seharusnya mengacu kepada sifat-sifat struktur agar bisa memberikan batasbatas ruang dan waktu dalam sistem-sistem sosial sehingga memungkinkan terjadinya praktek-praktek sosial yang sama dalam berbagai ruang dan waktu dan memberinya suatu bentuk sistematik. (Giddens, A., 2003; 19 - 20). Bagi Giddens struktur tidak hanya mengacu kepada aturan-aturan yang terdapat dalam produksi dan reproduksi sistem-sistem sosial, tetapi juga mengacu kepada sumberdaya-sumberdaya. Karenanya aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya tersebut menjadi aspek paling penting dari struktur yang secara berulang dilibatkan dalam institusiinstitusi. Berangkat dari sinilah Giddens menjelaskan bagaimana prilaku aktor individu mereproduksi sifat-sifat struktural dari kolektifitas yang lebih besar. Masyarakat atau kolektifitas memang tidak tergantung kepada individu tertentu, tetapi masyarakat akan berantakan jika individu atau agen --menurut terminologi Giddens-- yang terlibat tindakan-tindakan aktor sosial dalam

menghilang semuanya. Secara substantif

kesehariannya ternyata memakai dan mereproduksi sifat-sifat struktural dari sistem-sistem sosial yang lebih luas.

310

Ada tiga hal pokok dalam teori strukturasinya Giddens, yaitu struktur, sistem, dan strukturasi. Struktur merupakan aturan dan sumberdaya yang secara berulang dilibatkan dalam institusi-institusi, namun ia merupakan eksternal yang berada di luar ruang dan waktu tetapi disimpan sebagai jejak memori. Sistem adalah tempat di mana struktur yang terdiri dari aktifitas-aktifitas individu (egen) dalam situasi tertentu disiratkan secara berulang dan direproduksi dalam ruang dan waktu. Strukturasi adalah kondisi yang menentukan kesinambungan struktur untuk mereproduksi sistem sosial. Jadi menurut teori strukturasi Giddens, ketika terjadinya tindakan (produksi), secara bersamaan juga dilakukan reproduksi dalam konteks menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Giddens mencoba untuk memberikan penekanan yang sama dan berimbang terhadap subjek dan objek atau memberikan perhatian yang sama antara struktur dan individu. Namun bagaimanapun juga sebagai seorang parsonsianisme terori strukturasi beliau masih dapat kita dekatkan dengan fungsionalisme. Tetapi harus kita akui bahwa Giddens telah memberikan kontribusi luar biasa terhadap perkembangan teori tindakan sosial. Unsur ruang dan waktu, sifat rekursif, dan masalah reproduksi menjadi satu penyeimbang bagi Giddens agar terhindar dari penekanan yang berlebihan terhadap agen atau terhadap objek struktur. Cuma gagasan-gagasan fungsi dan struktur masih terlihat jelas mewarnai teori Giddens dan jika akan digunakan untuk meneliti kebudayaan, kita perlu hati-hati untuk tidak terjebak dengan eksplanasi-ekspalanasi kausal tentang tindakan sosial dan prilaku. Dalam rancangan teori penelitian dengan perspektif cultural epidemiology ini

kebudayaan ditempatkan sebagai mediator antara tindakan sosial dan prilaku dengan lingkungan atau juga dengan faktor biologi penyakit. Karena kebudayaan merupakan hal yang abstrak sementara tindakan dan lingkungan adalah sesuatu yang nyata, maka untuk menentukan bentuk-bentuk kebudayaan harus berangkat dari yang nyata yaitu tindakan dan lingkungan. Bentuk kebudayaan akan didapatkan dengan cara menemukan makna dalam tindakan manusia melalui interpretasi. Pendekatan interpretivisme berangkat dari realitas yang konkrit atau empirik, namun tidak untuk memprediksi prilaku-prilaku, tetapi untuk menemukan makna dari realitas konkrit (tindakan-tindakan dan prilaku) berdasarkan data empirik. Clifford Geertz adalah tokoh penggagas interpretivisme yang berupaya menemukan makna kehidupan sosial manusia melalui analogi teater, drama, dan sandiwara dari pada

311

struktur-struktur organik. Beliau berupaya menemukan makna melalui interpretasi terhadap tindakan-tindakan dan prilaku atau teks. Geertz meletakkan gagasan-gagasan kebudayaan dengan tegas dalam konteks berkelanjutan, dan menempatkan tindakan sosial interpretif sebagai bagian baik dari aktor sosial maupun para teoretisi sosial. Kebudayaan dipahami secara semiotik sebagai satu jaringan simbolik. (Geertz, C., 1973; 5). Untuk menjelaskan konsep tindakan sosial akan lebih baik jika kita

menformulasikannya dengan teori strukturasinya Giddens. Dengan teori strukturasi dimungkinkan kita tidak terjebak hanya pada tindakan individu (seperti Weber), dan juga tidak terlelu memberikan penekanan kepada struktur dan fungsi (seperti Talcots Parsons) dalam memahami tindakan sosial. Sementara dengan teori strukturasi ini perlu diwaspadai agar tidak terjebak terhadap eksplanasi-eksplanasi kausalias. Karena itu untuk menemukan makna dari tindakan-tindakan sosial dan prilaku akan lebih baik digunakan pendekatan interpretivisme yang digagas oleh Clifford Geertz.

5. Kebudayaan, Prilaku, dan Penyakit Kebudayaan memainkan peran yang sangat signifikan dalam menentukan bentukbentuk penyakit, bahkan kematian. Pertama, kebudayaan ada dalam tindakan dan prilaku yang terkait dengan kesehatan dan penyakit (masalah diet, tindakan seksual dan lainnya) dapat mempengaruhi kondisi biologi manusia dan menyebabkan penyakit-penyakit tertentu. Kedua, melalui kebudayaan para aktor (manusia) merubah lingkungan mereka yang juga dapat mempengaruhi kesehatan dan memunculkan serta berkembangnya penyakit. Banyak hasil-hasil penelitian berbagai ilmu pengetahuan seperti arkeologi dan sejarah menjelaskan bahwa perubahan lingkungan terkait dengan prilaku-prilaku manusia. Kebudayaan menjadi instrumen manusia untuk survive dan betahan hidup, sehingga kebudayaan memberikan mereka mekanisme untuk beradaptasi terhadap ancaman lingkungan. (Johnson, Thomas M., 1990; 187-189). Kajian tentang kesehatan dan penyakit dalam pendekatan ekolologi menemukan fakta bahwa lingkungan dan resiko kesehatan dan penyakit terkait dengan kebudayaan. Pada beberapa kebudayaan masyarakat, manusia memikirkan diri mereka sendiri sebagai penguasa lingkungan sehinga mereka mengeksploitasi berbagai macam sumber daya alam seperti tumbuhan, hewan, air dan mineral sebagai sumber energi dan nutrisi. Sementara

312

dalam waktu bersamaan manusia itu sendiri dieksploitasi oleh mikro-organisme, termasuk yang dapat menyebabkan penyakit sperti sumber makanan dan perumahan.

DAFTAR PUSTAKA

Albrecht, Gary L., dkk, The Handbook of Social Studies in Health and Medicine, SAGE, New Delhi, 2000 Agar, Michael, Recasting the Ethno in Epidemiology Medical Anthropology 16: 391403, 1996 Blum Hendrik L., Planing for Health; Development Application of Social Change Theory. Human Science Press, New York, 1972. Blum Hendrik L., Expanding Health Care Horizons from a General Sysyem Concept of Health to a National Health Policy, Oakland, Calif, 1983 Bohannan, Paul. and, Glazer M., High Points in Anthropology, Sec. Edt, McGraw-Hill, Inc., New York, 1988 Bustan, M.N., Pengantar Epidemiologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2006 Denzin, K. Norman, and Lincoln S. Yvonna, Handbook of Qualitative Research, SAGE, New Delhi, 2000. Doob Christopher Bates, Sociology: An Introduction, New York, CBS Collge, 1985. Duun, Frederick L., dan Craig R. Janes, Introduction: Medical Anthropology and Epidemiology, Dalam: Anthropology and Epidemiology, Craig R. Janes, Ron Stall, dan Sandra M.G. Dordrecht: D. Reidel, 1986. Fetterman, David, M., Ethnography Step by Step, SAGE Publication, London, 1989. Foster/Anderson, Antropologi Kesehatan, UI Press, Jakarta, 2005 Geertz. C., The Interpretation of Culture, Basic Book, New York, 1973. Giddens, Anthony, The Constitution of Society; Teori Strukturasi untuk Analisa Sosial, Pedati Pasuruan, 2003. Goodenough, In Pursuit of Culture, dalam Annual Review of Anthropology, 32: 1 12. (2003) Goody, Jack, Cultures and Its Boundaries: A European View, dalam Robert Borofsky, ed. Assessing Cultural Anthropology, New York: McGraw-Hill, Inc. Hal. 250-261 (1994). Hammersley, Martyn, and Atkinson, Paul, Ethnogaphy Principles in Practice, Routledge, London, 1997 Hardjosworo, S dan S. Partoatmodjo, Latar Belakang peledakan penyakit Anjing Gila di beberapa daerah diIndonesia., FKH IPB, Depkes, Deptan, Jakarta, 1987

313

Harry M. Johnson, Sociology: A Systematic Introduction, Bombay, Allied Publishers Private Limited, 1967 Hassan, Khwaja Arif dan B.G. Prassad. 1959. A Note on The Contributions of Anthropology to Medical Science. Journal of the Indian Medical Assosiation. 33: hlm 182-190. Henneken C, Burring J, Epidemiology in Medicine, Boston: Little, Brown, 1987. Johnson, Thomas M., & Carolyn F. Sargent, ed., Medical Anthropology: Contemporary Theory and Method, New York: Praeger, 1990. Katz, Jack, From How to Why on Luminous Description and Causal Inference in Ethnography, dalam Ethnography, vol. 3(1), SAGE Publication, 2002. Kleinman, Arthur, The Illness Narrative, Basic Books, New York, 1988 Kluckhohn, C, Cermin Bagi Manusia, Dalam; Parsudi Suparlan, Edior, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan, Grafindo Persada, Jakarta, 1994. Krienger, Nancy, Introduction to Social Epidemiology, Epidemiological Bulletin / PAHO, vol. 23 No. 1. , 2002 Kroeber, Alfred, Introduction, Dalam The Nature of Culture, Chicago University Press, 1952. Kroeber, Alfred, The Concept of Culture in Science, Dalam The Nature of Culture, Chicago University Press, 1952. Lapau, Buchori, Prinsip dan Metode Epidemiologi, FK Univ. Indonesia, Jakarta, 2009 McKinlay John B., Marceau, Lisa D., Public Health Matters: To Boldly go.., American Jurnal of Public Health, 2000, 90(I) 25-53. Morse, J.M., & Fiels, P.A., Nursing Research: The Application of Qualitative Approaches, London Company & Hall, 1991. Notoatmodjo, Soekidjo,. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar,Rineka Cipta, Jakarta, 1996 Parsons, Talcott, (Edt.), Max Weber: The Theory of Social and Economic Organization, A Free Press Paperback, Macmillan Publishing Co. Inc, 1964 Parsons, Talcott, (Edt.), The Structure of Social Action, (vol. II), A Free Press Paperback, Macmillan Publishing Co. Inc, 1968 Parsons, Talcott, The Social System, Glencoe, III, Free Press. Poloma, Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Rajawali, 1987 RH Morris., Vaughan, JP, Manual of Epidemiology for District Health Management, Geneva: WHO Publication, 1989 Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science, Boston: Allyn and Bacon, Inc. 1980. Rose Jerry D, Introduction to Sociology, Chicago, Rand McNally, 1980 Sahlins, Marshall, Culture and Practical Reasion, The University of Chicago Press, 1976 Spradley, James, P,. The Ethnographic Interview, Holt, Rinehart and Winston, USA, 1979. 314

Timmreck, C. Thomas, An Introduction to Epidemiology, Jones and Bartlett, Boston, 1998. Trostle, A. James., Anthropology and Epidemiology in the Twentieth Century: A Selective History of Collaborative Projects and Theoretical AffinitiesAnnual Review of Anthropology, Dalam: Anthropology and Epidemiology, Craig R. Janes, Ron Stall, dan Sandra M.G. Dordrecht: D. Reidel, 1986-a. Trostle, A. James., Early Work in Anthropology and Epidemiology: From Social Medicine to the Germ Theory, Dalam: Anthropology and Epidemiology, Craig R. Janes, Ron Stall, dan Sandra M.G. Dordrecht: D. Reidel, 1986-b. Trostle, A. James., Epidemiology and Culture, Cambridge University Press, 2005 Trostle J., J. Sommerfield, Medical Anthropology and Epidemiology: Annual Review of Anthropology, 1996, 25: 253-274 True, William R., Epidemiology and Medical Anthropology, Dalam: Johnson, Thomas M., & Carolyn F. Sargent, ed., Medical Anthropology: Contemporary Theory and Method, New York: Praeger, 1990. Winkelman, Michael, Culture and Health; Applying Medical Anthropology, Jossey-Bass, San Fransisco, 2009

315

HUBUNGAN ANTARA STRESS PSIKOLOGI DENGAN REAKSI ENL Susmiati, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Universitas Airlangga ABSTRAK Latar belakang; Indonesia merupakan Negara dengan angka kejadian kusta tertinggi ketiga di seluruh dunia setelah India dan Brazil. Sedangkan di Indonesia, Jawa Timur menempati urutan pertama dengan jumlah kasus sebanyak 4.653. Data penderita kusta di Rumah Sakit Kusta Kediri pada bulan juni 2012 menunjukan kejadian reaksi sejumlah 61,8%. Erytema nodosum leprosum atau disebut reaksi tipe ii merupakan penyebab morbiditas yang signifikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stress psikologi dengan reaksi Erytema Nodosum Leprosum (ENL). Metode penelitian; Rancangan penelitian analitik korelasional dengan metode cross sectional. Populasi adalah seluruh pasien rawat inap sejumlah 34 orang dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Pengambilan data menggunakan kuisioner dan check list. Selanjutnya data diolah dengan uji statistik Spearman Rank. Hasil; Hampir separuh yaitu 35,3% responden mengalami stress tingkat sedang dan 41,2% mengalami reaksi tipe ii ringan dan sedang. Analisa hasil penelitian dengan menggunakan uji spearman rank dengan =0,05 menunjukkan nilai p=0,004.Hal ini menunjukkan bahwa p<, sehingga terbukti ada hubungan antara stress psikologi dengan reaksi ENL. Kesimpulan; Stres merupakan salah satu faktor pemicu munculnya reaksi ENL. Sehingga diperlukan pengembangan intervensi untuk menurunkan stress melalui manajemen stress. Intervensi hendaknya dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat. Kata kunci : stress psikologi, reaksi ENL, kusta

ABSTRACT Background: Indonesia is a country with the high number of leper incident in the words after India and Brazil. Furthermore, Indonesia, especially East Java is number one with the number of cases 4.653. The data of leper in the Kusta Hospital on June 2012 shows the incident namely 61, 8%. Erytema nodosum leprosum or the reaction of the reaction type 2 is the significant causes of morbidity. This research purpose is to know the relation between the psychology stress with the reaction of Erytema etween Nodosum Leprosum (ENL). Research Methodology: It is correlational analytic research with cross sectional. The population is all in patient namely 34 people by using total sampling The data used is questionnaire with check list then compiled with l Spearman Rank statistic test. The result; Almost a half of respondent, namely 35, 3% get the high stress, , then the medium level is 41,2%, and the respondent who get low and medium reaction is 35,3%. The analyze of research using Spearman Rank with =0,05 show the result p=0,004 It is shows

316

p<, so it is proved there is the relationship between physiology stress and the reaction of ENL. Conclusion; Stress is one factor of the ENL reaction incident. So, it is needed to improve the intervention to decrease the stress by using stress management. Intervention must be applied in health sector service and society. Key words : physiology stress, ENL reaction, leper.

A. Latar Belakang Kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang mengenai kulit dan saraf perifer1. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan pada awal tahun 2010 jumlah kasus kusta di dunia adalah 211.903 kasus, dan pada tahun 2009 terdeteksi 244.796 kasus baru pada 141 negara2. Dari jumlah tersebut, 17.012 kasus kusta di Indonesia. India menempati posisi pertama dengan 126.800 kasus. Adapun di Brasil terdapat 34.894 kasus kusta. Di Indonesia kasus terbanyak di Jawa Timur 4.653 kasus, sedang diurutan kedua Jawa Barat sebanyak (1.749 kasus) dan ketiga Jawa Tengah sebanyak (1.740 kasus)3. Selain infeksi primer, pasien dengan kusta dapat mengalami episode respon inflamasi akut yang dimediasi imunologi disebut reaksi dan merupakan keadaan darurat4. Episode reaktif memperburuk kesehatan mental, sebaliknya reaksi dapat dipicu oleh gangguan psikologis5. Eritema nodosum leprosum (ENL) merupakan manifestasi paling sering dan komplikasi reaksi kekebalan khas pada pasien multibasiler yang mengakibatkan cidera saraf, mata, sendi, dan organ lainnya.

B. Materi Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang, dan testis6. Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae (M.leprae). Secara morfologik, M. leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 0,3 0,5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa ireguler besar yang disebut sebagai globi. Dengan mikroskop micron M. leprae mempunyai dinding yang terdiri dari 2 lapisan, yakni lapisan

317

peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Kerentanan terhadap mikobakterium dikontrol oleh gen nramp1. HLA (Human Leukocyte antigen) memainkan peran klinis spektrum penyakit, dengan genotipe HLA-DR3 berlebihan nampak pada kusta tuberkuloid dan genotipe HLA DQ1 atau MT1 lebih terlihat pada penyakit lepromatosa4. Tahap awal disebut kusta tak tentu (indeterminate leprosy), dan pada sebagian besar pasien, lesi dapat sembuh secara spontan. Jika tidak terjadi penyembuhan, maka penyakit berlangsung

sepanjang spektrum klinik. Karakteristik penyakit tergantung pada interaksi antara organisme dengan respon imun spesifik terhadap infeksi. Tahap spektrum, diperantarai penurunan sel respon imun M. leprae dan merupakan kusta tuberkuloid (TT). Ditandai oleh lesi kulit sedikit dan jumlah bakteri rendah, borderline tuberculoid leprosy (BT), borderline leprosy (BB), lepromatous borderline leprosy (BL) dan lepromatous leprosy (LL), ditandai oleh lesi kulit menyebar dan jumlah bakteri yang tinggi. Kusta biasanya ditunjukkan dengan lesi kulit yang terkait dengan anestesi dan penebalan saraf perifer. Tampilan pada lesi kulit bervariasi menurut spektrum penyakit. Lesi kusta tak tentu cenderung hipopigmentasi dan tidak jelas, dan sembuh sendiri pada sekitar 75% kasus sehingga sering diabaikan oleh pasien. Banyak pasien bentuk tuberkuloid biasanya hanya dengan beberapa (kurang dari 6) terdistribusi asimetris. lesi kulit terbatas, dengan peningkatan margin dan ditandai hipopigmentasi. Penampilan lesi kering bersisik, gangguan berkeringat karena terganggunya fungsi saraf otonom, kehilangan rambut dan mati rasa. Kerusakan saraf merupakan awal perjalanan penyakit tuberkuloid dan sering mengakibatkan penurunan pergelangan tangan, tangan mencakar dan kaki drop. Kusta tuberkuloid sering melibatkan semakin syaraf aurikularis, kulit radial, ulnar, peroneal umum dan tibialis posterior. Pengobatan dini adalah kunci untuk meminimalkan kerusakan saraf4. Selain infeksi primer, pasien dengan kusta dapat mengalami episode imunologi yang dimediasi respon inflamasi akut disebut "reaksi," yang merupakan mekanisme penting terjadinya kerusakan saraf. Reaksi kusta merupakan keadaan medis darurat yang membutuhkan perhatian segera. Selama reaksi, lesi kulit sering menjadi bengkak, eritematosa dan lembut, sedangkan neuritis menyebabkan rasa sakit, nyeri dan kehilangan fungsi. Ada 2 jenis umum dari reaksi kusta: tipe I atau pembalikan reaksi, ditandai dengan hipersensitivitas selular. Reaksi tipe I biasanya terjadi pada awal pengobatan kusta dan mungkin terjadi secara spontan sebelum therapi. Pada reaksi tipe I dapat terjadi kerusakan saraf tanpa gejala dan berlanjut periode

318

silence yang berkepanjangan. Faktor presipitasi reaksi tipe I antara lain: pengobatan, pubertas, kehamilan dan parturition. Tipe 2 atau eritema nodosum leprosum (ENL),

ditandai dengan respon inflamasi sistemik pengendapan kekebalan tubuh kompleks. Prevalensi ENL sebesar 24%, dimana 49,4% di antaranya adalah kasus kusta

lepromatosa (LL) dan 9% kasus borderline lepromatosa (BL). Usia 35 tahun adalah faktor risiko untuk berkembang menjadi ENL berulang. Pasien dengan ENL muncul dalam enam dosis pertama MDT7. Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk berespons atau melakukan tindakan. Respons atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan psikologis. Stress dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan masalah, berfikir secara umum, dan hubungan seseorang dan rasa memiliki. Selain itu stress dapat mengganggu pandangan umum seseorang terhadap hidup, sikap yang ditunjukan pada orang yang disayangi dan status kesehatan. Stressor merupakan stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan. Persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stress. Stressor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai internal atau eksternal. Stressor internal berasal dari dalam diri seseorang (misal demam, kehamilan, menopause, atau suatu keadaan emosi seperti rasa bersalah). Stressor eksternal berasal dari luar diri seseorang (mis. Perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga atau sosial, atau tekanan dari pasangan)8.

C. Metode penelitian Rancangan analitik korelasional dengan metode cross sectional. Populasi adalah seluruh pasien rawat inap di Rumah Sakit Khusus Kusta Kediri sejumlah 34 orang. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Variabel penelitiannya adalah stress psikologi dan reaksi ENL. Stress psikologi diukur menggunakan kuisioner berdasar instrument Depressive Anxiety Stress Scale (DASS) yang terdiri dari 42 pertanyaan. Sedangkan untuk mengukur reaksi ENL mengukur reaksi ENL menggunakan check list berdasar hasil observasi sesuai dengan tanda gejala ENL menurut WHO yang terdiri dari aspek lesi kulit, keadaan umum, saraf tepi dan organ tubuh. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Khusus Kusta Kediri pada bulan Juni 2012. Untuk membuktikan hubungan dua variabel menggunakan uji spearman rank dengan =0,05.

319

Hasil Penelitian; Berdasarkan hasil pengumpulan data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekwensi sebagai berikut. Tabel 1. Distribusi frekuensi hubungan antara stress psikologi dengan reaksi ENL. Stres Psikologi Reaksi Tipe 2 Tdk reaksi Ringan Berat Total Normal 3 8,82% 0 0 0 0 3 8,82 Stres ringan 1 2,94% 4 11,76% 3 8,82% 8 23,53% Stres sedang 1 2,94% 9 26,47% 3 8,82% 13 38,24% Stres Berat 1 2,94% 1 2,94% 8 23,53% 10 29,41% Stres sangat Berat 0 0 0 0 0 0 0 0 Total 6 17,64% 14 41,18% 14 41,18% 34 100% Tabel 1 di atas menggambarkan bahwa sebagian kecil (26,47%) responden yang mengalami stress tingkat ringan juga mengalami reaksi ENL tingkat ringan. Hasil uji Spearman Rank menunjukkan nilai p=0,004 atau p< sehingga terbukti ada hubungan antara stress psikologi dengan reaksi ENL. Kesimpulan; Stres psikologi merupakan salah satu pemicu munculnya reaksi ENL. Pada saat penderita kusta mengalami stres fisik maupun psikologi, keadaan ini dapat mempengaruhi hipotalamus untuk melepaskan hormon corticotropin releasing hormon (CRH). Selanjutnya CRH akan mempengaruhi kelenjar hipofise anterior untuk menghasilkan Adrenocorticotropin hormon (ACTH). Keluarnya ACTH akan

mempengaruhi korteks adrenal untuk menghasilkan kortisol. Sifat kortisol menghambat sintesis protein khususnya proses pembentukan enzim-enzim scavenger yang berperan menetralisir radikal superoksid, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil7. Di dalam tubuh M. leprae bersifat intraseluler obligat, oleh karena memiliki susunan dinding yang tebal maka bakteri ini bersifat lisosime resistance. Pada keadaan ini tubuh sangat sulit untuk menghancurkan bakteri. Untuk itu sel melepaskan reactive oxygen species (ROS) yang terdiri dari radikal superoksida O2- dan peroksida, oleh karena sifat bakteri M. leprae yang intra seluler obligat maka ROS dihasilkan berlebihan. Dengan kortisol yang meningkat akan menyebabkan sintesis protein Superoxyde dismustase (SOD) dan katalase (enzime scavenger) menurun, maka ROS dalam sel tidak bisa dinetralisir dan diubah menjadi H2O dan O2. Keadaan ini sel mengalami stres oksidatif selanjutnya ROS akan bereaksi dengan lipid membran sel dan akan terbentuk Malondialdehid (MDA). Adanya MDA pada membran sel akan menunjukan terjadinya kerusakan sel. Dengan rusaknya sel menyebabkan bakteri dan fragmented bacteria akan keluar dari dalam sel.

320

Dengan pemberian MDT yang efektif menyebabkan M leprae mengalami fragmented , salah satu bagian dari baktreri yang bersifat antigen dikenal sebagai Phospoglicolipid-1 (PGL-1). Dengan keberadaan antigen PGL-1 akan memicu pembentukkan antibodi IgG dan IgM anti PGL-1. Selanjutnya antibodi akan bereaksi dengan antigen PGL-1 yang baru terbentuk dan menentukan kejadian ENL baik berat maupun ringan7. Diperlukan intervensi manajemen stress untuk menurunkan angka kejadian reaksi. Intervensi hendaknya dapat dilakukan di fasiltas pelayanan kesehatan maupun di masyarakat. Manajemen stress dapat di masukkan dalam formula discharge planning di rumah sakit atau pelatihan manajemen stress pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Petering H, P.Kiehl, M.Vogelbruch et al, (2001). Erythema nodosum leprosum unter Chemotherapie. Springer-Verlag, 52:966-969 NIAID, (2012). Leprosy Today from The World Health Organization. http://www.niaid.nih.gov/topics/leprosy/Understanding/Pages/today.aspx diakses 26 April 2012 Tarigan Mitra, 2012. Indonesia urutan ketiga terbesar kasus kusta. http://www.tempo.co/read/news/2012/01/27/173380099 diakses 24 April 2012 Boggild Andrea K, Jay S.Keystone, Kevin C. Kain, (2010). Leprosy: a primer for Canadian physicians. Canadian Medical association or its licensors, CMAJ; 170(1):71-8 Groot, Brakel, Vries, et al, (2011). Social implicationsof leprosy in the netherland-stigma among ex-leprosy patients in a non endemic setting. Amsterdam, Royal Tropical Institute, Lepr Rev 82,168-177 Djuanda Adhi, (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Pamudji, (2011). Hubungan antara adrenalin, malondialdehid (MDA), antibodi IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dengan derajat keparahan ENL. Disertasi, Universitas Airlangga, Program Doktor Ilmu Kedokteran Potter Patricia A, Perry Anne Griffin, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Volume I, Jakarta : EGC

321

THE USE OF INDONESIAS TRADITIONAL MEDICINE IN COMMUNITY (STUDIES IN LEARNING PRACTICE FIELD I) MEDICAL FACULTY OF DIPONEGORO UNIVERSITY Aras Utami*, Saekhol Bakri**, Hari Peni Julianti***, Dodik Pramono**** ABSTRACT Backgound: Currently, the use of Indonesia s traditional medicine is encouraged by the government. Indonesian people also switch from medical treatment by medical personel headed to the use of traditional medicine considered to have fewer side effects. Research about the use of Indonesia s traditional medicine needs to be done to find description of the use of Indonesia s traditional medicine in the community.The objectives of this study is to determine the description of the use of Indonesia s traditional medicine in the community. Methode: This research was cross sectional design. Samples were people in Learning Practice Field I (Bandarharjos village and Bulu Lors village), 149 persons. It was done in June 2012. Data were processed and analyzed desciptively. Result: There were 53,7% people using Indonesias traditional medicine. Indonesias traditional medicine consisted of carrying traditional herbal medicine/carrying jamu (61,3%), factory jamu (27,5%), concoction jamu (11,2%). The frecuency of using traditional medicine is illness (33,8%), everyday (30%), 3-5 times a week (17,5%), once a week (10%), once a month (8,7%). The reason using traditional medicine is keep health (50,0%), illness (37,6%), and breast milk easy out (12,4%). All of the samples felt the benefit of traditional medicine. Conclusion: There are 53,7% people using Indonesias traditional medicine. Most of them consume carrying traditional herbal medicine/carrying jamu. The most reason are to keep health. All of them feel the benefit of using traditional medicine. Keywords: traditional medicine, carrying jamu, community *,**,***,**** Lecturer in Departement of Public Health and Preventive Medicine, Jl.dr.Soetomo No.18 Semarang

322

PENGGUNAAN OBAT TRADISIONAL INDONESIA PADA MASYARAKAT (STUDI DI DAERAH PRAKTIK BELAJAR LAPANGAN I /PBL I FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO) Aras Utami*, Saekhol Bakri**, Hari Peni Julianti***, Dodik Pramono**** ABSTRAK Latar Belakang: Saat ini penggunaan obat tradisional Indonesia digalakkan oleh pemerintah. Masyarakat Indonesia juga beralih dari pengobatan medis oleh tenaga medis menuju ke penggunaan obat tradisional yang dianggap memiliki lebih sedikit efek samping. Penelitian tentang penggunaan obat tradisional Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran penggunaan obat tradisional Indonesia di masyarakat. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan obat tradisional Indonesia di masyarakat. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Subyek penelitian adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah PBL I FK UNDIP (Kelurahan Bandarharjo dan Bulu Lor) berjumlah 149 orang. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2012. Data diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil: Subyek penelitian yang menggunakan obat tradisional Indonesia berjumlah 53,7%. Obat tradisional Indonesia jamu gendong sebanyak 61,3%, jamu kemasan buatan pabrik (27,5%), jamu racikan buatan sendiri (11,2%). Frekuensi minum obat tradisional pada saat sakit (33,8%), setiap hari (30%), 3-5 kali per minggu (17,5%), 1 x per minggu (10%,), 1 x per bulan (8,7%). Alasan menggunakan obat tradisional adalah menjaga kesehatan (50,0%), keluhan sakit (37,6%) dan memperlancar keluarnya air susu ibu (ASI) (12,4%). Semua subyek penelitian merasakan manfaat dari mengkonsumsi obat tradisional Indonesia. Simpulan: Masyarakat yang menggunakan obat tradisional Indonesia sebanyak 53,7%. Kebanyakan dari masyarakat yang diteliti mengkonsumsi jamu gendong. Alasan terbanyak adalah untuk menjaga kesehatan. Semua merasakan manfaat dari konsumsi obat tradisional Indonesia. Kata Kunci : obat tradisional, jamu gendong, masyarakat *,**,***,**** Staf Pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat-Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Jl.dr.Soetomo No.18 Semarang

323

PENYAKIT METABOLIK DAN TRAUMA LUTUT SEBAGAI FAKTOR RISIKO OSTEOARTRITIS LUTUT PADA LANSIA Widya Hary Cahyati Staf Pengajar Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang A. Pendahuluan Osteoartritis menyerang terutama sendi tangan atau sendi penyokong berat badan termasuk sendi lutut. Osteoartritis yang terjadi di lutut atau yang disebut dengan osteoartritis lutut ditandai oleh nyeri pada pergerakan yang hilang bila istirahat, kaku sendi terutama setelah istirahat lama atau bangun tidur, krepitasi, dan dapat disertai sinovitis dengan atau tanpa efusi cairan sendi. Keluhan awal yang sering muncul yaitu rasa nyeri pada lutut yang mengganggu aktifitas sehari-hari. Gangguan tersebut bertingkat-tingkat, mulai dari keluhan yang paling ringan yang tidak mengganggu aktifitas sehari-hari, hingga keluhan berat yang menyebabkan ketidakmampuan berjalan (Harry Isbagio dan Bambang Setiyohadi, 1995 : 8). Pada tahun 1990 kejadian OA sebesar 21 juta. Dalam studi Global Burden of Disease 2000 yang dipublikasikan dalam Laporan Kesehatan Dunia 2002, OA adalah penyebab utama ke-4 YLDs di tingkat global, 3,0% dari total YLDs global. Studi baru-baru ini memperkirakan bahwa sekitar 10% dari populasi dunia yang berumur 60 tahun atau lebih memiliki masalah gejala yang dapat dikaitkan dengan OA (Deborah Symmons, 2000:1). Menurut World Health Organization, prevalensi penderita osteoartritis di dunia pada tahun 2004 mencapai 151,4 juta jiwa dan 27,4 juta jiwa berada di Asia Tenggara. Diperkirakan 40% dari populasi usia di atas 70 tahun menderita OA, dan 80% pasien OA mempunyai keterbatasan gerak dalam berbagai derajat dari ringan sampai berat yang berakibat mengurangi kualitas hidupnya. Di Inggris, 40% orang usia di atas 65 tahun mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan OA lutut (Tri Wahyudi dan Prio Saputra Sundawa, 2012, Rachmat G. Wachjudi, 2009 : 129). Data dari World Health Organization, di Indonesia tercatat 8,1% penduduk mengalami gangguan OA dari total penduduk. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Prevalensi OA lutut secara radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,2% pada pria dan 12,7% pada wanita. Studi di

324

Jawa Tengah ditemukan prevalensi OA lutut mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun (Aru W Sudoyo, 2007:1195, Susilo Setiaji, 2009:1). Di Jawa Tengah terdapat beberapa rumah sakit khusus bidang Ortopedi. Salah satunya ialah RS Orthopedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta yang merupakan Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional bidang Ortopedi dan Rehabilitasi Medik di Indonesia. Di RS Orthopedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta, kejadian OA lutut mengalami peningkatan tiap tahun. Prevalensi kejadian OA lutut di RS Orthopedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta pada tahun 2008 sebesar 0,95%, pada tahun 2009 sebesar 1,54% dan pada tahun 2010 sebesar 1,62%.

B. Hasil dan Pembahasan Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyakit metabolik dan trauma lutut, sedangkan osteoartritis lutut pada lansia. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara penyakit metabolik dan riwayat trauma lutut dengan kejadian osteoartritis lutut pada lansia pasien RS. Orthropedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian analitik, karena bertujuan untuk memperoleh penjelasan tentang faktor-faktor risiko dan penyebab penyakit. Penelitian analitik yang digunakan adalah analitik observasional. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian case control. Penelitian case control adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian) dan penyakit dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah pasien lansia yang menderita osteoartritis lutut yang berjumlah 573 orang. Data pasien diperoleh dari rekam medis RS. Orthropedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta dari bulan Januari-Juli 2012 yang memenuhi kriteria inklusi berumur 55 tahun, pasien rawat inap atau rawat jalan, tinggal di luar Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karang Anyar, bersedia menjadi responden. Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah pasien lansia yang mengalami fraktur pada kaki tetapi tidak menderita osteoartritis lutut yang sudah dipertegas dari data rekam medis pasien yang berjumlah 234. Data pasien diperoleh dari rekam medis bagian Radiologi RS. Orthropedi

325

Prof. dr. R. Soeharso Surakarta pada tahun 2011 sampai tahun 2012 yang memenuhi kriteria inklusi berumur 55 tahun, pasien rawat inap atau rawat jalan, bertempat tinggal kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karang Anyar, bersedia menjadi responden. Pengambilan sampel dalam penel itian ini menggunakan teknik simple random sampling. Perhitungan jumlah sampel didasarkan pada odds ratio (OR), dengan nilai OR=2,97, yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan menggunakan rumus tersebut, diperoleh sampel minimal sebesar 49. Data pada penelitian ini ada 2 jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari Instalasi Rekam Medik RS Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan di RS Orthropedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta yang beralamat di Jalan Jenderal Ahmad Yani, Pabelan Surakarta. Pengambilan data dilakukan mulai 23 Juli 4 Agustus 2012. Dalam penelitian ini subyek penelitian terdiri dari kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus adalah pasien lansia yang menderita osteoartritis lutut pada tahun 2012 yang berjumlah 49 orang, sedangkan kelompok kontrol adalah pasien lansia yang mengalami fraktur pada kaki yang tidak memiliki riwayat penyakit osteoartritis lutut pada tahun 2011-2012 yang berjumlah 49 orang. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dilakukan dengan teknik wawancara.

1. Distribusi Responden menurut Umur Hasil wawancara dengan responden penelitian didapatkan gambaran umum mengenai umur responden (tabel 1). Tabel 1. Distribusi Responden menurut Umur Umur Kasus Kontrol Nilai Mean 62,12 60,24 Nilai Median 63 59 Nilai Modus 61, 64 59 Nilai Min 55 55 Nilai Maks 80 86

Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus nilai rata-rata (mean) umur 62,12, nilai tengah (median) 63, nilai yang sering muncul (modus) 61, dan 64, nilai minimal 55, dan nilai maksimal 80. Pada kelompok kontrol nilai rata-rata (mean) 326

umur 60,24, nilai tengah (median) 59, nilai yang sering muncul (modus) 59, nilai minimal 55, dan nilai maksimal 86. Adapun distribusi umur dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

2. Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan Hasil wawancara dengan responden penelitian didapatkan gambaran umum mengenai tingkat pendidikan (tabel 2). Tabel 2. Distribusi Responden menurut Tingkat Pendidikan Kasus Kontrol Total Prosentase Prosentase Jumlah Prosentase Jumlah Jumlah (%) (%) (%) Tidak Tamat SD 5 10,2 2 4,1 7 7,1 SD 8 16,3 17 34,7 25 25,5 SMP 10 20,4 19 38,8 29 29,6 SMA 17 34,7 7 14,3 24 24,5 Diploma/Sarjana 9 18,4 4 8,2 13 13,3 Total 49 100,0 49 100,0 98 100,0 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan terbanyak pada kelompok kasus berpendidikan SMA sebanyak 34,7% dan paling sedikit adalah tidak tamat SD sebanyak 10,2%. Prosentase tingkat pendidikan terbanyak pada kelompok kontrol berpendidikan SMP sebanyak 38,8% dan paling sedikit adalah tidak tamat SD sebanyak 4,1%.

3. Distribusi Responden menurut Jenis Pekerjaan Hasil wawancara dengan responden penelitian didapatkan gambaran umum mengenai jenis pekerjaan (tabel 3). Tabel 3. Distribusi Responden menurut Pekerjaan Jenis Pekerjaan IRT Swasta Guru Buruh Karyawan Swasta Petani PNS Total Kasus Kontrol Total Prosentase Prosentase Prosentase Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) 12 24,5 22 44,9 34 34,5 12 24,5 11 22,4 23 23,5 14 28,6 4 8,2 18 18,4 5 10,2 6 12,2 11 11,2 2 2 2 49 4,1 4,1 4,1 100,0 5 1 0 49 10,2 2,0 0,0 100,0 7 3 2 98 7,1 3,1 2,0 100,0

327

Jenis pekerjaan terbanyak pada kelompok kasus yaitu guru sebanyak 28,6% dan paling sedikit adalah karyawan swasta, petani, dan PNS masing-masing sebanyak 4,1%. Prosentase jenis pekerjaan terbanyak pada kelompok kontrol yaitu IRT sebanyak 44,9% dan paling sedikit adalah PNS 0,0%.

4. Penyakit Metabolik Distribusi hasil penelitian mengenai penyakit metabolik pada pasien lansia OA lutut dan pasien lansia fraktur yang tidak mengalami OA lutut pada tahun 2011-2012 di RS. Orthropedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4 Distribusi Penyakit Metabolik Penyakit Metabolik Ya Tidak Total Kasus Kontrol Total Prosentase Prosentase Prosentase Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) 28 57,1 11 22,4 39 39,8 21 42,9 38 77,6 59 60,2 49 100,0 49 100,0 98 100,0

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa prosentase pada kelompok kasus mengalami penyakit metabolik sebanyak 57,1% (28 orang) dan yang tidak mengalami penyakit metabolik sebanyak 42,9% (21 orang). Pada kelompok kontrol, yang mengalami penyakit metabolik sebanyak 22,4% (11 orang) dan yang tidak mengalami penyakit metabolik sebanyak 77,6% (38 orang). Jadi pada kelompok kasus sebagian besar mengalami penyakit metabolik sebanyak 57,1%, sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar tidak mengalami penyakit metabolik yaitu sebanyak 77,6%. Dari hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,0001 (< 0,05), sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara penyakit metabolik dengan kejadian osteoarthritis lutut pada lansia. Perhitungan risk estimate didapatkan OR=4,606 (OR>1) dengan CI=1,91511,080, hal ini berarti lansia yang memiliki penyakit metabolik memiliki risiko 4,606 kali untuk terkena osteoartritis lutut dibandingkan dengan yang tidak menderita penyakit metabolik. Dari hasil penelitian diketahui bahwa lansia yang penyakit matabolik berisiko terkena osteoarthritis lutut. Hal ini didukung dari hasil penelitian Rutono di Jepara (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara penyakit sistemik dengan osteoarthritis lutut. Selain itu, hal tersebut juga didukung oleh kajian pustaka yang menyatakan bahwa

328

beberapa penyakit metabolik seperti diabetes melitus, hipertensi, hiperurisemi, dan hipotiroidisme dapat menyebabkan timbulnya osteoartritis. Oleh sebab itu, dianjurkan bagi lansia untuk menjaga pola makan karena faktor diet merupakan salah satu pemicu penyakit metabolik, seperti diabetes melitus, hipertensi dan hiperurisemi cenderung. Diabetes mellitus disebabkan karena peningkatan kadar gula (glukosa) dalam darah, hipertensi disebabkan asupan nutrium (garam) yang berlebihan, sedangkan hiperurisemi disebabkan asupan makanan sumber protein yang mengandung purin berlebihan (Rustono, 2008: 42; Harry Isbagio dan Bambang Setiyohadi, 1995: 9; Mitzy Dharmawirya, 2000: 46; Sunita Almatsier, 2004: 64,137,197).

5. Trauma Distribusi hasil penelitian mengenai trauma lutut pada pasien lansia OA lutut dan pasien lansia fraktur yang tidak mengalami OA lutut pada tahun 2011-2012 di RS. Orthropedi Prof. dr. R. Soeharso Surakarta dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut: Tabel 5. Distribusi Trauma Lutut Trauma Lutut Ya Tidak Total Kasus Prosentase Jumlah (%) 18 36,7 31 63,3 49 100,0 Kontrol Prosentase Jumlah (%) 6 12,2 43 87,8 49 100,0 Total Prosentase Jumlah (%) 24 24,5 74 75,5 98 100,0

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa prosentase pada kelompok kasus yang pernah mengalami trauma lutut sebanyak 36,7% (18 orang) dan yang tidak pernah mengalami trauma lutut sebanyak 63,3% (31 orang). Pada kelompok kontrol, yang pernah mengalami trauma lutut sebanyak 12,2% (6 orang) dan yang tidak pernah mengalami trauma lutut sebanyak 87,8% (43 orang). Jadi sebagian besar responden pada kelompok kasus dan kelompok kontrol tidak mengalami trauma lutut yaitu sebanyak 75,5%. Dari hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,005 (< 0,05), sehingga Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan antara penyakit metabolik dengan kejadian osteoarthritis lutut pada lansia. Perhitungan risk estimate didapatkan OR=4,161 (OR>1) dengan CI=1,48111,690, hal ini berarti lansia yang pernah mengalami trauma lutut memiliki risiko 4,161 kali untuk terkena osteoartritis lutut dibandingkan dengan yang tidak pernah mengalami trauma lutut.

329

Dari hasil penelitian diketahui bahwa lansia yang penah mengalami trauma lutut berisiko terkena osteoartritis lutut. Hal ini didukung oleh penelitian E. C. Lau di Hong Kong (1998) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara cedera sendi dengan kejadian osteoartritis lutut. Selain itu juga didukung oleh kajian pustaka yang menyatakan bahwa kerusakan tulang rawan sendi dapat terjadi pada saat cedera atau saat sesudahnya (selama penggunaan sendi yang terkena), bahkan tulang rawan yang normal akan mengalami degenerasi bila sendi tidak stabil. Oleh sebab itu, bagi lansia yang pernah mengalami trauma lutut dianjurkan untuk memeriksakan kesehatan sendi untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya osteoartritis lutut (E. C. Lau, 1998; H.M. Sjaifoellah Noer, 1996: 78; Kurt J. Isselbacher, 2000: 1887).

C. Penutup Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian osteoartritis lutut pada lansia (studi di RS Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta tahun 2012) dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara penyakit metabolik dan trauma lutut dengan kejadian osteoartritis lutut pada lansia. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diharapkan seluruh masyarakat untuk menghindari atau mengurangi kegiatan yang berisiko menyebabkan trauma lutut dan penyakit metabolik, sehingga mengurangi risiko terkena osteoarthritis. Bagi masyarakat yang sudah lanjut usia dan masyarakat yang telah terpapar faktor risiko osteoartritis lutut supaya memeriksakan kesehatan sendi, sehingga dapat mencegah dan meminimalisir keparahan osteoartritis lutut.

DAFTAR PUSTAKA Annisa Indri Lestari, 2011, Atlet Sepakbola Berisiko Arthritis, http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2011/12/19/4747/ 2/Atlet-Sepakbola-Berisiko-Arthritis, diakses tanggal 29 Mei 2012 Anita Virgiyanti, 2006, Beban Biomekanik sebagai Faktor Risiko Terjadinya Osteoartritis Lutut, Skripsi : Universitas Diponegoro Semarang Aru W Sudoyo, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

330

Chairudin Rasjad, 2003, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi, Makasar : Bintang Lamumpatue Deborah Symmons, Global Burden of Osteoarthritis In The Year 2000, http://www.who.int/healthinfo/statistics/bod_osteoarthritis.pdf, diakses tanggal 20 Januari 2012 Diana Maya Sari, 2009, Faktor Risiko Osteoartritis Lutut di RSU Dr. Soetomo Surabaya, Buletin Penelitian RSU Dr. Soetomo Vol. 11 No.2, hal : 95-100 Djoko P. Irianto, 1997, Olahraga yang Aman dan Efektif untuk Kebugaran, Cakrawala Pendidikan no.1 E. C. Lau, 1998, Factors Associated with Osteoarthritis of The Hip and Knee in Hong Kong Chinese: Obesity, Joint Injury, and Occupational Activities, USA : American Journal of Epedemiology Gabriel Herrero-Beaumont, 2007, Glucosamine Sulfate in the Treatment of Knee Osteoarthritis Symptoms, Amerika : American College of Rheumatology Harry Isbagio dan Bambang Setiyohadi, 1995, Masalah dan Penanganan Osteoartritis Sendi Lutut, Cermin Dunia Kedokteran, No.104, Oktober 1995, hlm. 9-13 Harry Isbagio, 2000, Struktur Rawan Sendi dan Perubahannya pada Osteoartritis, Cermin Dunia Kedokteran, No. 129, hlm. 5-9 I. Haq, 2003, Osteoarthritis, London: Post grad Med J 2003;79:377383 Laura J. Martin, MD, Osteoarthritis Prevention, http://www.webmd.com/osteoarthritis/guide/osteoarthritis-prevention-1, diakses tanggal 29 Mei 2012 Muljadi Hartono, 2000, Profil Penderita Osteoartritis Sendi Lutut Berdasarkan Kriteria Altman yang Berobat di Puskesmas Barjarejo, Cermin Dunia Kedokteran, No. 129, hlm. 30-35 Rachmat G Wachjudi, 2009, Himpunan Makalah Reumatologi Klinik, Bandung : RSHS Rachmah Laksmi Ambardini, Peran Latihan Fisik dalam Manajemen Terpadu Osteoartritis, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132256204/Latihan%20FisikManajemen%20Osteoartritis.pdf, diakses tanggal 30 Mei 2012 Rustono, 2008, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Osteoartritits Lutut pada Lansia di RSU Jepara Tahun 2008, Karya tulis : Stikes Muhammadiyah Kudus Susilo Setiaji, 2009, Hubungan antara Derajat Nyeri dengan Kadar High Sensitive CReactive Protein pada Penderita Osteoartritis Lutut. Skripsi : Universitas Gajah Mada

331

HUBUNGAN PERILAKU MENGKONSUMSI KOPI DENGAN KEJADIAN HIPERTENSI (PADA USIA 20-40 TAHUN) DI PUSKESMAS TENA TEKE KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA, PROP. NUSA TENGGARA TIMUR Yunita Bili1, Theresia Ninuk Sri Hartini2, Nur Alvira Pasca Wati3

A. Pendahuluan Hipertensi merupakan penyakit yang telah mendunia. Hipertensi sering menjadi awal dari berbagai macam penyakit yang merenggut nyawa begitu banyak orang seperti penyakit jantung 1. Hipertensi mengakibatkan otot jantung memompa lebih keras sehingga jantung membengkak lalu melemah dan mengalami kegagalan untuk memompa secara efektif 2. Gangguan emosi, obesitas, konsumsi alkohol yang berlebihan, minum kopi yang berlebihan, tembakau, dan obat-obatan yang merangsang dapat berperan munculnya hipertensi, tetapi hipertensi juga sangat dipengaruhi oleh faktor keturunan 3. Seseorang yang mempunyai kebiasaan minum kopi lebih berisiko terkena hipertensi. Kopi yang mengandung kafein dapat menyebabkan pengerasan dinding arteri yang mengganggu kinerja jantung. Selain itu, kopi dapat menimbulkan ancaman gangguan penyakit jantung koroner 4. American Heart Association (AHA) melaporkan 69% penderita serangan jantung, 77% penderita stroke, dan 74% penderita gagal jantung merupakan pengidap hipertensi 5. Di Indonesia pada tahun 2010 hipertensi termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit dengan jumlah meninggal sebanyak 955 orang dari 19.874 pasien hipertensi 6. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, didapatkan persentase hipertensi tertinggi di Kalimantan Selatan 39,6%, di Papua Barat 20,1% dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 5,5% 7. Berdasarkan data Puskesmas Tena Teke jumlah penderita hipertensi periode Januari sampai September 2011 pada usia 20-40 tahun sebanyak 53,2%. Sebagian besar masyarakat di sekitar Wilayah Kerja Puskesmas Tena Teke mempunyai tanaman kopi sehingga masyarakat tersebut dapat dengan mudah mengakses kopi yang akan mengarah pada perilaku masyarakat untuk mengkonsumsi kopi. Padahal dapat diketahui bahwa kopi adalah salah satu faktor risiko untuk penyakit hipertensi. Berdasarkan data tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan mengkonsumsi kopi dengan kejadian hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Tena Teke.

332

B. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap subjek penelitian yaitu subjek yang menderita hipertensi dan tidak menderita hipertensi, rancangan penelitian yang digunakan adalah case control. Case control adalah rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan dan penyakit dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya 8. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat usia 20-40 tahun serta tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Tena Teke. Sampel yaitu masyarakat yang usia 20-40 tahun yang menderita hipertensi dan masyarakat usia 20-40 tahun yang tidak menderita hipertensi serta bertempat tinggal di sekitar Wilayah Kerja Puskesmas Tena Teke yang berjumlah 188 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara accidental sampling yaitu mengukur tekanan darah pada sampel yang datang berkunjung ke Puskesmas Tena Teke, karena sampel tidak mencukupi maka dilakukan pengambilan sampel secara snowball yaitu peneliti mencari sampel di sekitar Wilayah Kerja Puskesmas Tena Teke untuk menambah jumlah sampel sehingga jumlah sampel yang diamati terpenuhi. Cara memilih kasus jika hasil pengukuran tekanan darah menunjukkan di atas batas normal (140/90 mmHg) dan kontrol menunjukkan hasil tekanan darah normal (120/80 mmHg). Analisis data dengan menggunakan uji Chi-Square.

C. Hasil dan Pembahasan 1. Karakteristik Responden dengan Kejadian Hipertensi Tabel1. Distribusi frekuensi responden penelitian Hipertensi No. Karakteristik Responden 1. Umur (Tahun) 20-22 23-25 26-28 29-31 32-34 35-37 38-40 41 Total Ya n=94 4 11 14 10 14 10 31 0 % 4,3 11,7 14,9 10,6 14,9 10,6 32,9 0 Tidak n=94 3 8 21 7 11 9 25 10 % 3,2 8,5 22,3 7,5 11,7 9,6 26,6 10,6 n=188 7 19 35 17 25 19 56 10 % 3,7 10,1 18,6 9,0 13,3 20,2 29,8 5,3

333

2.

Pendidikan terakhir Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU Perguruan Tinggi Pekerjaan PNS Swasta Wiraswasta Petani Mahasiswa RiwayatHipertensi Keluarga Ya Tidak

22 14 42 16

23,4 14,9 44,7 17,0

6 8 40 40

6,4 8,5 42,5 42,5

28 22 82 56

14,9 11,7 43,6 29,8

3.

16 7 21 47 3

17,0 7,5 22,3 50 3,2

37 11 19 22 5

39,4 11,7 20,2 23,4 5,3

53 18 40 69 8

28,2 9,6 21,3 36,3 4,3

4.

11 83

11,7 88,3

10 84

10,6 89,4

21 167

11,2 88,8

Berdasarkan hasil penelitian tentang kejadian hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Tena Teke, diperoleh bahwa kejadian hipertensi 32,98% berusia 38-40 tahun. Seiring bertambahnya usia seseorang tekanan darah cenderung meningkat 9. Semakin tua usia seseorang, maka pengaturan metabolisme zat kapurnya (kalsium) terganggu. Hal ini menyebabkan banyaknya zat kapur yang beredar bersama aliran darah. Akibatnya, darah menjadi lebih padat dan tekanan darah pun meningkat 1. Dari segi pendidikan terakhir masyarakat yang menderita hipertensi 44,68% adalah tamat SMU. Secara umum, masyarakat yang berpendidikan terakhir SMU bekerja sebagai petani. Dilihat dari segi pekerjaan masyarakat yang menderita hipertensi adalah petani yaitu 50% (47 orang). Hal ini dapat dikatakan bahwa jenis pekerjaan seseorang mempunyai pengaruh tehadap penyakit hipertensi. Meningkatnya tekanan terhadap pekerjaan, adanya konflik-konflik dan tuntutan psikologis terhadap pekerjaan dapat menjadi pemicu timbulnya stress
10

. Hubungan antara stress dengan hipertensi yaitu melalui aktivasi saraf

simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Apabila saraf simpatis meningkat maka tekanan darah juga meningkat 5. Berdasarkan riwayat hipertensi keluarga, masyarakat yang menderita hipertensi 44,15% yaitu masyarakat yang tidak mempunyai riwayat hipertensi keluarga. Berdasarkan hasil wawancara pada responden, masyarakat yang menderita hipertensi tidak mengetahui apakah keluarga mereka memiliki atau tidak memiliki riwayat hipertensi, hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran keluarga responden untuk memeriksakan tekanan darah di

334

Puskesmas Tena Teke. Penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara riwayat hipertensi keluarga dengan kejadian hipertensi
11

. Semakin dekat hubungan darah seseorang dengan yang mengidap tekanan

darah tinggi, semakin besar kemungkinan untuk mengidap hipertensi 12 Tabel 2. Distribusi frekuensi responden penelitian No. Kebiasaan minum kopi 1. Frekuensi minum kopi 3 kali/hari < 3 kali/hari Tidak minum kopi Ya n=94 71 12 11 Hipertensi Tidak % n=94 94,7 48 12,5 4 13 77 Total % 5,3 52 87,5 N 75 25 88 % 100 100 100

2.

Takaran kopi 4 sendok teh < 4 sendok teh Tidak minum kopi Lama minum kopi 14 tahun < 14 tahun Tidak minum kopi

70 13 11

89,7 59,1 12,5

8 9 77

10,3 40,9 87,5

78 22 88

100 100 100

3.

50 33 11

89,3 75 12,5

6 11 77

10,7 25 87,5

56 44 88

100 100 100

Berdasarkan tabel 2 kebiasaan minum kopi, dilihat dari frekuensi minum kopi 3 kali/hari responden yang mengalami hipertensi adalah 94,7 % (71 orang) dari 75 orang responden. Overdosis kafein dapat menyebabkan seseorang cepat marah, cemas, lelah atau pusing serta gangguan tidur atau sakit kepala
13

. Dilihat dari takaran kopi 4 sendok teh

responden yang mengalami hipertensi yaitu sebanyak 89,7% dari 78 orang responden. Dosis yang dapat berakibat fatal bagi manusia adalah sekitar 10 gram kafein atau 20-50 cangkir per hari
14

. Dilihat dari lama minum kopi 14 tahun responden yang mengalami

hipertensi yaitu sebanyak 50 orang (89,3%. Hal ini karena di sekitar wilayah tersebut sebagian besar masyarakat adalah petani kopi sehingga masyarakat dapat mengakses kopi dengan mudah. Kebiasaan minum kopi dalam jangka waktu yang cukup lama bisa menimbulkan efek kecanduan, baik secara psikologis maupun fisiologis. Ciri umum ketergantungan kopi antara lain rasa lelah, lesu, dan mengantuk kalau sehari saja tidak minum kopi 14.

335

Berdasarkan hasil penelitian orang yang minum kopi dengan frekuensi minum kopi >1 kali/hari mempunyai risiko untuk terkena hipertensi sebanyak 4,52 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang minum kopi 1 kali/hari atau kadang-kadang, dan orang yang minum kopi >1 sendok teh (>5gram) mempunyai risiko untuk terkena hipertensi sebanyak 0,39 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang minum kopi <1 sendok teh, serta orang yang lama minum kopi 20 tahun mempunyai resiko untuk terkena hipertensi dibandingkan dengan orang yang lama minum kopi <20 tahun 15. Tabel 3. Stratifikasi hasil studi kasus kontrol dengan kebiasaan minum kopi tingkat berat sebagai risiko, penyakit hipertensi sebagai efek, dan merokok sebagai pengganggu. Hipertensi No. Variabel Total Adjuste CI P Ya Tidak n % d value n % n % OR 1. Merokok dan tidak merokok Minum kopi 3 75,6 6 7,2 40 31,3 13,559 tingkat berat 4 39,667 0,000 Tidak minum 24,4 7 92,8 88 68,7 116,04 kopi 1 100,0 7 100,0 12 100,0 5 Total 1 0 8 0 8 0 4 3 5 2. Merokok Minum kopi tingkat berat 1 60,0 5 12,2 17 27,9 Tidak minum 2 2,96010,800 0,000 kopi 40,0 3 87,8 44 72,1 39,405 Total 8 100,0 6 100,0 61 100,0 2 0 4 0 0 0 1 3. Tidak merokok Minum kopi 1 58,6 6 15,8 23 34,3 tingkat berat 7 2,409Tidak minum 41,4 3 84,2 44 65,7 7,556 0,000 23,695 kopi 1 100,0 2 100,0 67 100,0 Total 2 0 3 0 0 2 8 9 COR = 39,667 ORMH = 15,87; CI = 8,54-35,93; p value= 0,0000 Selisih COR dan ORMH 23,797= 96 %

336

Keterangan: OR: Odd Rasio; CI: Confidence Interval; COR: Crude Odd Rasio; ORMH: Odd Rasio Maentel-Haenzel Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3 diperoleh bahwa variabel merokok merupakan faktor confounding pada hubungan kebiasaan minum kopi tingkat berat dengan kejadian hipertensi pada masyarakat usia 20-40 tahun di wilayah kerja Puskesmas Tena Teke (selisih COR dan ORMH > 20%). Berdasarkan hasil analisis Maentel-Haenzel diperoleh bahwa responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi tingkat berat memiliki risiko 15,87 kali lebih besar untuk menderita hipertensi dibandingkan yang tidak minum kopi. Secara statistik ada hubungan yang signifikan antara responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi tingkat berat dengan kejadian hipertensi. Kemudahan dalam mengakses kopi dan kebiasaan responden minum kopi mulai dari pagi sebelum beraktivitas sampai sore hari dapat mengakibatkan responden meningkatkan frekuensi minum kopi. Dosis kafein 200 mg yang terkandung dalam tiga gelas dapat menyebabkan efek samping yang tidak menyenangkan 13. Tabel 4. Stratifikasi hasil studi kasus kontrol dengan kebiasaan minum kopi tingkat ringan sebagai risiko, penyakit hipertensi sebagai efek, dan merokok sebagai pengganggu. Variabel No. n 1. Merokok dan tidak merokok Minum kopi tingkat ringan Tidak minum kopi Total Merokok Minum kopi tingkat ringan Tidak minum kopi Total Ya Hipertensi Tidak % n % Total n % Adjus ted OR P value

CI

4 9 1 1 6 0

81,7 18,3 100,0 0

1 1 7 7 8 8

12,5 87,5 100,0 0

60 88 14 8

40,5 59,5 100,0 0

31,18 2

12,56177,408

0,000

2.

1 6 8 2 4

66,7 33,3 100,0 0

9 3 6 4 5

20,0 80,0 100,0 0

25 44 69

36,2 63,8 100,0 0

8,000

2,61124,512

0,000

337

3.

Tidak merokok Minum kopi ringan 2 64,1 1 25,0 35 Tidak 5 0 minum kopi 35,9 75,0 44 Total 1 100,0 3 100,0 79 4 0 0 0 3 4 9 0 COR = 31,182 ORMH = 11,93 ; CI = 7,15-23,91 ; p = 0,0000 Selisih COR dan ORMH 19,252 = 84 %

44,3 55,7 100,0 0

5,357

2,03114,127

0,000

Keterangan: OR: Odd Rasio; CI: Condifidence Interval; COR: Crude Odd Rasio; ORMH: Odd Rasio Maentel-Haenzel Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4 diperoleh bahwa variabel merokok

merupakan faktor confounding pada hubungan kebiasaan minum kopi tingkat ringan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat usia 20-40 tahun di wilayah kerja Puskesmas Tena Teke (selisih COR dan ORMH > 20%). Berdasarkan hasil analisis Maentel-Haenzel menunjukkan bahwa responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi tingkat ringan memiliki risiko 11,93 kali lebih besar untuk menderita hipertensi dibandingkan yang tidak minum kopi. Secara statistik ada hubungan yang bermakna antara perilaku minum kopi ringan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat usia 20-40 tahun di wilayah kerja Puskesmas Tena Teke. Penelitian ini didukung dengan hasil penelitian lain bahwa orang yang mempunyai kebiasaan minum kopi memiliki risiko 1,622 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak minum kopi
16 15

. Orang yang mengkonsumsi kopi akan meningkatkan risiko

menderita hipertensi sebesar 3,6 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi kopi meningkat 1. . Kafein dalam kopi dapat memacu kerja jantung dalam memompa

darah. Peningkatan tekanan dari jantung diteruskan pada arteri sehingga tekanan darah

338

D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Responden yang mempunyai frekuensi minum kopi 3 kali per hari sebanyak 94,7%. b. Responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi dengan takaran kopi 4 sendok teh sebanyak 89,7% c. Responden yang lama minum kopi 14 tahun sebanyak 89,3% d. Responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi tingkat berat akan memiliki risiko 15,87 kali lebih besar untuk menderita hipertensi e. Responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi ringan akan memiliki risiko 11,93 kali lebih besar untuk menderita hipertensi. f. Ada hubungan yang signifikan antara responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi tingkat berat dengan kejadian hipertensi ditunjukkan dengan p<0,05 g. Ada hubungan yang signifikan antara responden yang mempunyai kebiasaan minum kopi tingkat ringan dengan kejadian hipertensi ditunjukkan dengan p<0,05

2. Saran Bagi Puskesmas Tena Teke diperlukan adanya tambahan penyuluhan kesehatan pada masyarakat khususnya tentang kebiasaan minum kopi dengan kejadian hipertensi a. Masyarakat dapat mengurangi frekuensi minum kopi agar dapat mencegah terjadinya hipertensi b. Dalam mengkonsumsi kopi diperhatikan takaran kopi yang digunakan dalam segelas minuman kopi c. Masyarakat harus memeriksakan tekanan darah secara rutin ke Puskesmas Tena Teke agar dapat mengetahui hasil pemeriksaan sehingga dapat melakukan pengobatan apabila menderita hipertensi

339

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, S dan Familia, D. (2010). Hidup Bahagia Dengan Hipertensi, Cetakan I, Yogyakarta: A+ Plus Books Sitorus, R. (2008). Gejala Penyakit dan Pencegahannya, Cetakan I, Bandung: YRAMA WIDYA Brunner dan Suddarth., Monica dkk (Editor). (2001). Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah, Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC Saputra, E. (2008). KOPI, Cetakan I. Yogyakarta: Harmoni Wahdah, N. (2011). Menaklukkan Hipertensi dan Diabetes (Mendeteksi, Mencegah, dan Mengobati Dengan Cara Medis dan Herbal), Cetakan I, Yogyakarta: Multipress Departemen Kesehatan, RI. (2011). Profil Kesehatan http://www.depkes.go.id diakses tanggal 8 Desember 2011. Departemen Kesehatan, RI. (2008). Profil Kesehatan http://www.depkes.go.id diakses tanggal 5 November 2011. Indonesia. Indonesia. Jakarta Jakarta

Sastroasmoro, S dan Sofyan Ismael. (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta:Sagung Seto Elsanti, S. (2009). Panduan Hidup Sehat, Bebas Kolesterol, Stroke, Hipertensi dan Serangan Jantung, Cetakan I, Yogyakarta: Araska Nurrahmani, U. (2012). Stop Hipertensi, Cetakan I, Yogyakarta: Familia Ernita. (2011). Hubungan Kebiasaan Minum Kopi Terhadap Kejadian Hipertensi Pada Laki-laki Di Kota Lhokseumawe Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Tesis. UGM Smith, T. (1991). Kesehatan Populer Tekanan Darah Tinggi, Mengapa Terjadi, Bagaimana Mengatasinya, Jakarta: ARCAN Swarth, J., Irawan (Editor). (2004). Stress dan Nutrisi, Jakarta: PT Bumi Aksara Sofiana, N. (2011). 1001 Fakta Tentang Kopi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka Saifullah (2007). Pengaruh Minum Kopi Terhadap Terjadinya Hipertensi Di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Tesis. UGM Misti. (2009). Faktor-faktor Kejadian Hipertenis Pada Perempuan Usia 20-50 Tahun Di Kota Bengkulu. Tesis. UGM Fatma, Y. (2010). Pola Konsumsi, Gaya Hidup dan Indeks Massa Tubuh Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Hipertensi Pada Nelayan Di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Tesis. UGM

340

DETERMINAN SOSIAL DAN KEBIJAKAN PENCEGAHAN HIPERTENSI DETERMINANTS OF SOCIAL POLICY AND PREVENTION OF HYPERTENSION Rafael Paun Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya ABSTRACT Hypertension is a condition of increased blood pressure which gives the symptoms progress to a target organ of the body so that it can cause more severe damage such as stroke, coronary heart disease and narrowing of the left ventricle / left ventricle of the heart and can also cause kidney failure, diabetes mellitus and other. There is a reciprocal relationship between socioeconomic prevalence of hypertension was associated with education level, income and employment, while there are some residents have not been detected even though there are indications such as hypertension, family history of hypertension, age and others. There are two complementary approaches proposed policy to control hypertension, namely the approach of public health or population approach including community empowerment in social support in patients with hypertension and clinical approach or an individual approach Keywords: Social determinants, prevention policies, hypertension

ABSTRAK Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan lebih berat seperti stroke, penyakit jantung koroner serta penyempitan ventrikel kiri / bilik kiri jantung dan dapat pula menyebabkan gagal ginjal, diabetes mellitus dan lain-lain. Ada hubungan timbal balik antara sosioekonomi dengan prevalensi hipertensi ternyata berkaitan tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan, sedangkan ada sebagian penduduk belum terdeteksi meskipun ada indikasi hipertensi seperti memiliki riwayat keluarga yang menderita hipertensi, umur dan lain-lain. Ada dua pendekatan kebijakan yang saling melengkapi diusulkan untuk mengendalikan hipertensi, yaitu pendekatan kesehatan masyarakat atau pendekatan populasi termasuk pemberdayaan masyarakat dalam memberi dukungan sosial pada penderita hipertensi dan pendekatan klinik atau pendekatan perorangan. Kata Kunci: Determinan Sosial, kebijakan pencegahan, hipertensi A. Pengantar Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal atau kronis (dalam waktu yang lama). Penyakit ini menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang timbul sebagai akibat adanya interaksi dari berbagai faktor risiko yang dimiliki seseorang. Hipertensi merupakan 341

suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan lebih berat seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri / bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit tersebut dapat pula menyebabkan gagal ginjal, diabetes mellitus dan lainlain. Standar hipertensi adalah sistolik 140 mmHg dan diastolik 90 mmHg. Akhir-akhir ini banyak kasus kematian sebagai akibat hipertensi, hal ini disebabkan oleh hampir sebagian orang tidak merasakan adanya gejala, sehingga tidak terdeteksi adanya kecendrungan peningkatan tekanan darah sistole maupun diastole. Selain itu sebagian orang pengidap hipertensi tidak melakukan pemeriksaan atau kontrol tekanan darah dan bahkan sudah mengetahui sebagai penderita hipertensi tetapi tidak melakukan tindakan pengobatan serta menganggap spele bahkan tidak melakukan perubahan gaya hidup yang berpotensi semakin parahnya penyakit serta mengakibatkan komplikasi seperti stroke, jantung koroner. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi dibagi dua kelompok besar yaitu faktor yang tidak dapat diubah (jenis kelamin, umur, genetik) dan faktor yang dapat diubah seperti pola makan, kebiasaan olah raga dan lain-lain6. Di negara-negara yang berada pada tahap pasca peralihan perubahan ekonomi dan epidemiologi, selalu dapat ditunjukkan bahwa aras tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi terdapat pada golongan sosioekonomi rendah. Hubungan timbal balik itu ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan, penghasilan dan pekerjaan. Akan tetapi, dalam masyarakat yang berada dalam masa peralihan atau pra-peralihan, aras tinggi tekanan darah dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi ternyata pada golongan sosioekonomi yang lebih tinggi. Ini menggambarkan tahap awal epidemi penyakit kardivaskuler. Pengalaman pada sebagian besar masyarakat telah menunjukkan bahwa peningkatan epidemi berpengaruh pada pembalikan golongan sosial ini.7 Tulisan ini bermaksud untuk menyampaikan gambaran berbagai faktor determinan sosial terjadinya hipertensi pada masyarakat yang berisiko serta berbagai kebijakan pencegahan primer bagi masyarakat yang belum sakit dan pencegahan serta pengendalian komplikasi bagi penderita hipertensi.

342

B. Determinan Sosial Hipertensi Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional hipertensi pada Penduduk Umur > 18 Tahun adalah sebesar29,8% (berdasarkan pengukuran). Sebanyak 10 provinsi mempunyai prevalensiHipertensi Pada Penduduk Umur > 18 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Riau,Bangka Belitung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat.Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Hipertensi Pada PendudukUmur > 18 Tahun tertinggi adalah Natuna (53,3%), Mamasa (50,6%), Katingan(49,6%), Wonogiri (49,5%), Hulu Sungai Selatan (48,2%), Rokan Hilir (47,7%),Kuantan Senggigi (46,3%), Bener Meriah (46,1%), Tapin (46,1%), dan Kota Salatiga(45,2%). Sedangkan 10 kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi Hipertensi padaPenduduk Umur > 18 Tahun terendah adalah Jayawijaya (6,8%), Teluk Wondama(9,4%), Bengkulu Selatan (11,0%), Kepulauan Mentawai (11,1%), Tolikara (12,5%),Yahukimo (13,6%), Pegunungan Bintang (13,9%), Seluma (14,6%), Sarmi (14,6%),dan Tulang Bawang (15,9%).11

Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian

Determinan Sosial Status sosioekonomi: Pendidikan Prevalensi hipertensi

1. Pendekatan perorangan 2. Pendekatan populasi

Pekerjaan Penghasilan Jenis kelamin

Prevalensi Hipertensi, Determinan Sosial dan Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian

Faktot sosial mempunyai peranan penting terjadi hipertensi antara lain dipengaruhi oleh status sosial, ekonomi, pekerjaan, tingkat pendidikan, umur dan jenis kelamin. Deteminan hipertensi tersebut cukup jelas akan tetapi sebagian masyarakat tidak terdeteksi dan bahkan mereka yang sudah teridikasi hipertensi tapi tidak melakukan pengobatan dan

343

kontrol secara teratur. Hasil survei WHO MONICA Proyek di Scotland pada tahun 19861995 menunjukkan masyarakat dengan status kepemilikan yang tinggal di rumah sendiri atau sewa/kontrak 32% tidak terdeteksi adanya kasus hipertensi dan 34,8% tidak diobati serta 35,8% sudah menjalani pengobatan tetapi tidak melakukan kontrol. Berdasarkan pekerjaan orang dengan pekerjaan penuh waktu 45,3% tidak terdeteksi dan 34,3% tidak menjalani pengobatan, sedangkan berdasarkan jenis kelamin laki-laki 62,0% tidak terdeteksi dan 48,3% tidak menjalani pengobatan serta 49,7% sudah berobat tetapi tidak melakukan kontrol secara teratur dan hanya 46,6% melakukan kontrol tekanan darah. Pada orang sebagai perokok sebanyak 45,7% tidak terdeteksi dan 44,0% tidak menjalani pengobatan, sedangkan 34,5% menjalani pengobatan tetapi tidak melakukankontrol3.Sedangkan hasil penelitian di Kuwait tahun 2004 menunjukkan salah satu determinan pasien tidak melakukan kontrol tekanan darah adalah

kemiskinan.Pasienmiskindenganterapi antihipertensi dan hidup menetap merupakan penentu utama kontrol tekanan darah yang buruk1 Penelitian di Swedia pada tahun 2006 menunjukkan perbandingan prevalensi hipertensi berdasarkan determinan sosial ekononomi menurut jenis kelamin ditinjau dari tingkat pendidikan mereka yang berpendidikan menengah pada kaum perempuan lebih tinggi (66,3% )dibandingkan dengan laki-laki (62,7%) berbeda mereka yang berpendidikan tinggi laki-laki lebih tinggi (22,9%) dibandingkan perempuan (16,3%). Berdasarkan pekerjaan mereka yang bekerja sebagai petani lebih tinggi pada perempuan (79,0%) dibandingkan dengan laki-laki(57,7%) berbeda dengan mereka yang bekerja sebagai karyawan pemerintah perempuan lebih tinggi (6,7%) dibandingkan dengan laki-laki (5,7%). Berdasarkan tingkat ekonomi mereka yang termasuk pendapatan rata-rata (menengah) kaum perempuan lebih tinggi (66,2%) dibandingkan laki-laki (61,8%), sedangkan orang kayakaum laki-lakilebih tinggi (24,3%) dibandingkan dengan perempuan(21,6%).4Berbeda dengan hasil penelitian di desa Boco Kabupaten Kabumen, pada tahun 2006, prevalensi hipertensi paling banyak pada mereka yang bekerja sebagai petani (82,32%), dan sebagian besar mengalami hipertensi grade I (44,11%) diikuti hipertensi grade II (27,47%), sedangkan berdasarkan tingkat penghasilan prevalensi hipertensi mereka yang

berpenghasilan di bawah Upah Minimal Regional (UMR) lebih tinggi (96,08%), dan sebagian besar mengalami hipertensi grade II (51,95%), dibandingkan dengan mereka berpenghasilan di atas UMR (3,92%).5

344

Hasil penelitian di kota Kupang pada tahun 2010 menunjukkan perilaku yang kurang baik sebanyak 72% diantara orang dengan hipertensi, sedangkan proporsi perilaku kurang baik pada orang yang tidak hipertensi sebanyak 48%. Dibandingkan dengan hasil penelitian pada tahun 2011, menunjukkan 35,07% orang dengan hipertensi mempunyai riwayat keturunan, rata-rata tingkat pengetahuan mereka tentang pencegahan hipertensi kurang baik (51% - 56%). Perilaku kurang baik terutama dalam melakukan aktivitas olah raga rata-rata 56% kurang dari 10 menit perhari, dan 76,12% kebiasaan makanan asin, 74,63% kebiasaan makanan berlemak/berminyak/gorengan, 85,82% kebiasaan makan

daging Babi dengan frekuensi 2-3 hari sekali dan lebih dari 3 hari sekali, 48,51% kebiasaan makan daging Anjing dengan frekuensi 2-3 hari sekali dan lebih dari 3 hari sekali, 32,09% kebiasaan merokok dan pada umumnya (67,44%) jumlah 6-12 batang perhari, 59,7% kebiasaan minum kopi dengan frekuensi pada umumnya 2-3 kali perhari (86,25%) dan 26,42% kebiasaan konsumsi alkohol. Perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi makanan yang berisiko seperti sumber hewani yaitu daging Babi dan Anjing tersebut, biasanya digunakan pada acara hajatan, pesta atau adat serta tersedia di warung-warung.11,12

C. Kebijakan Pencegahan dan Pengendalian Hipertensi Strategi pengedalian hipertensi yang sedang dikembangkan adalah dengan kombinasi antara pendekatan perorangan dan pendekatan populasi, yang mencoba mengendalikan penyebab hipertensi, merupakan strategi menyeluruh untuk mencegah dan mengendalikan hipertensi. Kedua pendekatan ini mempunyai efek sinergis; pendeteksian dan penanganan perorangan dapat meningkatkan kesadaran terhadap masalah dan memudahkan dipatuhinya perubahan gaya hidup oleh pasien secara perorangan.7 Pendekatan pencegahan kenaikan tekanan darah yaitu 1) berupaya menghilangkan penyebab hipertensi (dan risiko lain) yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat secara keseluruhan, 2) membantu perorangan menerapkan gaya hidup yang lebih sehat dengan mempertahankan berat badan normal, mengurangi garam, mengurangi minuman keras, dan meningkatkan kegiatan fisik karena mereka menjalani perilaku ini bersama-sama dengan banyak orang, 3) menganjurkan industri, restoran, dan toko untuk menyediakan makanan yang lebih sehat untuk memenuhi permintaan yang meningkat. Pada saat strategi untuk pengendalian hipertensi sedang dikembangkan, sejumlah masalah berikut harus diperhatikan:

345

1. Untuk merumuskan prioritas dan merencanakan strategi kesehatan masyarakat di masing-masing negara, diperlukan perkiraan menyangkut prevalensi hipertensi, faktor risiko terjadinya kardiovaskuler yang bisa mempengaruhi komplikasi yang berkaitan dengan hipertensi 2. Perorangan pengidap hipertensi harus diidentifikasi dan ditangani dengan cara yang tepat secara dinidalam riwayat penyakitnya. 3. Puskesmas atau sarana kesehatan lainnya harus mampu menyediakan cara pengelolaan yang tepat untuk menurunkan tekanan darah pada perorangan, dan mampu mempromosikan berbagai tindakan pencegahan dalam populasi 4. Program pengendalian hipertensi harus merupakan tindakan yang terintegrasi sehingga memudahkan diterapkannya perubahan gaya hidup yang tepat dan menyediakan obat yang efektif jika diperlukan 5. Pemberdayaan masyarakat, melalui pendidikan kesehatan, agar dapat berperan secara efektif pada program pencegahan dan pengendalian hipertensi.

Pemberdayaan masyarakat melaluipemberian dukungan sosial dari teman dekat, anggota keluarga, masyarakat dan lain-lain berupa dukungan emosional kepada penderita hipertensi antara lain empati, cinta, kepercayaan, dan kepedulian, dukungan Instrumental dengan memberi bantuan nyata dan jasa yanglangsung membantu penderita hipertensi yang membutuhkan, dukungan informasi adalah pemberian nasihat, saran, dan informasi bahwa seseorang dapat dan mampu mengatasi masalah hipertensi yang dialaminya, serta dukungan penghargaan.10 Ada dua pendekatan kebijakan yang saling melengkapi diusulkan untuk mengendalikan hipertensi, yaitu pendekatan kesehatan masyarakat atau pendekatan populasi dan pendekatan klinik atau pendekatan perorangan.7,8 Pendekatan populasi bertujuan; 1) meningkatkan kesadaran populasi bahwa kenaikan tekanan darah merupakan masalah kesehatan yang penting, meskipun mungkin tidak terlalu nampak, 2) membantu mendeteksi pengidap hipertensi atau mereka yang mungkin berisiko untuk menperolehnya, 3) menganjurkan gaya hidup yang memperkecil faktor risiko yang bisa dikendalikan, jika faktor tersebut memang tidak bisa dihilangkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka komponen kunci dari kebijakan itu adalah: 1) pendidikan kesehatan masyarakat mengenai sifat, penyebab, dan komplikasi hipertensi,

346

cara pencegahan dan penanganan hipertensi dan pengaruh faktor risiko kardivaskuler lainnya, 2) pendidikan profesional kepada para dokter dan petugas kesehatan lainnya untuk mendeteksi, menangani dan mencegah tekanan darah tinggi,3) pendidikan pasien pengidap hipertensi mengenai kondisi kesehatannya dan berbagai akibatnya. Pendekatan perorangan, yang paling penting adalah perubahan gaya hidup sebagai pelengkap terapi obat7,8,9 Komponen kebijakan pengendalian hipertensi dapat dilakukan meliputi: 1) program pendidikan kesehatan yang menyeluruh untuk masyarakat, termasuk anak-anak, 2) kebijakan pertanian yang memastikan agar makanan alami kaya kalium, seperti buah dan sayur segar, mudah didapat dan murah, 3) pengaturan industri makanan untuk mendorong disediakannya makanan yang kandungan garam dan lemaknya rendah, dan mencantumkan kandungan garam dan lemak pada label makanan yang akan dijual, 4) menyediakan fasilitas olahraga santai di tempat terbuka dan untuk dilakukan pada waktu luang, 5) pengendalian kebiasaan merokok tembakau yang merupakan faktor risiko tambahan yang penting untuk penyakit kardiovaskuler, 6) pemastian ketersediaan obat untuk menurunkan tekanan tinggi yang murah tetapi efektif, 7) pengitegrasian program pendeteksian tekanan darah, dan program penanganan serta pengendalian pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan, terutama pemeliharaan kesehatan primer (Puskesmas).

D. Penutup Pendekatan pencegahan kenaikan tekanan darah yaitu berupaya menghilangkan penyebab hipertensi (dan risiko lain) yang berkaitan dengan gaya hidup masyarakat secara keseluruhan, membantu perorangan menerapkan gaya hidup yang lebih sehat dengan

mempertahankan berat badan norma, mengurangi garam, mengurangi minuman keras, dan meningkatkan kegiatan fisik karena mereka menjalani perilaku ini bersama-sama dengan banyak orang, menganjurkan industri, restoran, dan toko untuk menyediakan makanan yang lebih sehat untuk memenuhi permintaan yang meningkat.Ada dua pendekatan kebijakan yang saling melengkapi diusulkan untuk mengendalikan hipertensi, yaitu pendekatan kesehatan masyarakat atau pendekatan populasi dan pendekatan klinik atau pendekatan perorangan. Kedua pendekatan ini mempunyai efek sinergis, pendeteksian dan penanganan perorangan dapat meningkatkan kesadaran terhadap masalah dan memudahkan

implementasi strategi berdasarkan populasi, sedangkan perubahan dalam perilaku populasi akan memudahkan dipatuhinya perubahan gaya hidup oleh pasien perorangan.

347

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mehza 1, Ali A Al-Yahya2, Majeda M Al-Qattan3, Huda S Al-Duwaisan4, Bader NMB Al-Otaibi5. Determinants of Poor Blood Pressure Control in Hypertensive Patients An Area-based Study. Kuwait Medical Journal. 2004 Amirud, Ridwan. Hipertensi dan faktor risikonya dalam kajian epidemiologi. Bagian Epidemiologi FKM UNHAS, 2007 Chen R1, H Tunstall-Pedoe1, C Morrison2, J Connaghan1 and R ABrook1. Trends and social factors in blood pressure control in Scottish MONICA surveys 19861995: the rule of halves revisite. Journal of Human Hypertension. 1Cardiovascular Epidemiology Unit, University of Dundee, Ninewells Hospital and Medical School, Dundee DD1 9SY, Scotland, UK; 2Greater Glasgow Health Board, Glasgow, UK, 2003 Minh H Van1, P Byass2, NTK Chuc1 and S Wall2. Gender differences in prevalence and socioeconomic determinants of hypertension: findings from the WHO STEPs survey in a rural community of Vietnam. 1Faculty of Public Health, Hanoi Medical University, Hanoi, Vietnam and 2Umea International School of Public Health, Umea University, Umea, Sweden, 2006 Sigarlaki Herke J.O.Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kabumen, Jawa Tengah. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta 13630, Indonesia, 2006 Sugiharto Aris 1, Suharyo Hadisaputro2, Sakundarno Adi2, Shofa Chasani3. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar). PDF created with pdfFactory Pro trial version www.pdffactory.com, 2006 WHO. Pengedalian Hipertensi. Laporan Komisi Pakar WHO.Penerbit ITB, 2001 Marcel Dekker, Inc. Litestyle Modification for the Prevention and Treatment of Hypertension, New York Basel, 2003 Godfrey B.S. Iyalomhe1 and Sarah I. Iyalomhe2. Hypertension-related knowledge, attitudes and life-style practices among hypertensive patients in a sub-urban Nigerian community. Journal of Public Health and Epidemiology Vol. 2(4), pp. 7177, July 2010. Glanz Karen Barbara K, K. Rimer K. Viswanatah. Health Behavior and Health Education. Theory, Research,and Practice. Printed in the United States of America, 2008 Depkes RI. Laporan Riset Kesehatan Dasar, Balitbangkes, Jakarta, 2007 Paun, R, Radja N,. Pengaruh gaya hidup masyarakat terhadap prevalensi hipertensi di kelurahan Airnona kupang, Jurnal Info kesehatan, Kupang, 2010 Paun, R; M. Telly; K Limbong. Pengembangan Model Intervensi Keluarga Kalgary dengan Hipertensi,laporan penelitian, Poltekkes Kupang, 2011

348

HOSPITAL-BASED SURVEY ON KNOWLEDGE AND ATTITUDE TOWARD COLORECTAL CANCER SCREENING AMONG INDONESIAN POPULATION *Murdani Abdullah, *Ahmad Fauzi, *Ari Fachrial Syam, *Dadang Makmun, Abdul Aziz Rani
*Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta **Department of Medicine & Therapeutics, Faculty of Medicine The Chinese University of Hong Kong

ABSTRACT Background: Several western countries have recommended colorectal cancer (CRC) screening, however the yield of CRC screening is still low. The acceptability of CRC screening is influenced by peoples knowledge and attitude. This study was conducted to evaluate the knowledge and attitude of Indonesian people toward CRC screening. Method: Adult Indonesian population aged 3065 years was recruited. Subject were family or patients attending out patient clinic (GI Clinic were excluded). Knowledge and attitude toward CRC screening were assessed by using structured questionnaires consisting of nine chapters.. Result: There were 896 respondents recruited in this study. Most respondents incorrectly pointed out abdominal pain or pain around anus as the symptom of bowel cancer (36.2%). Regarding CRC risk factors, eating fruits or vegetables rarely was the most frequent answer (28.5%) encountered. Only one-third of respondents (28%) mentioned colonoscopy as the method for CRC screening. There were 38.1% of respondents who believed that CRC screening test might be harmful to the body. Up to 70.8% of the respondents agreed and strongly agreed that CRC screening test might cause physical discomfort. Two fifth of the respondents (41.5%) believed that CRC screening test was embarrassing. More than half of respondents (58.8%) were afraid of having the CRC screening test. The test was too expensive according to 79.5% of respondents. Conclusion: The general population in Indonesia had deficient knowledge of CRC and screening. Perception of CRC screening has a negative impact on screening. Media Exposure, Medical Professional Affection, and Relatives History significantly influence the people to go for screening. Education on the impact of CRC and beneficial effects of CRC screening should be offered before launching a CRC screening program. Keywords: colorectal cancer, screening, knowledge, attitude

A. Background CRC ranks the fourth most common malignant neoplasm and the second leading cause of death in the United States and other Western countries.1 During the last decades, there is an increasing of CRC incidence in Asia that needs serious attention.2 Moreover, approximately 70% - 80% of CRCs arises among population at average risk.3

349

The American Cancer Society (ACS) has recommended people aged 50 years or more to undergo CRC screening as most of sporadic CRCs in developed countries occur in patients above 50 years old. 4 CRC screening test enables early detection and cure of earlystage disease cost-effectively. Individuals who undergo regular fecal occult blood test (FOBT) are showed to have a significant reduction in CRC mortality.5 Further reduction can be achieved by performing sigmoidoscopy6 and colonoscopy followed by colonoscopic polypectomy.7 The obstacles for implementing CRC screening program are the inconvenient and embarrassing nature of the tests, the fatalistic cancer beliefs, the lack of physician recommendation, and the limited knowledge on CRC. Study on the knowledge and attitude toward CRC and CRC screening has not been done in Indonesia. This is the first study to evaluate the knowledge and attitude toward CRC and CRC screening on Indonesian population. The study result will provide significant information for implementing CRC screening program in Indonesia.

B. Materials and Methods Selection of subjects The population-based survey was conducted from May to June 2007 at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Respondents were recruited by consecutive sampling from outpatients. Outpatients were eligible to participate in the study if they were aged 19 65 years and had no obvious mental or cognitive impairment. Outpatients were excluded if they were gastrointestinal clinic outpatients, had received a FOBT within one year, had received a flexible sigmoidoscopy or colonoscopy within five years, had a personal or family history of colorectal cancer or polyps, and had a personal history of inflammatory bowel disease. This study was reviewed and approved by the ethics committee of Faculty of Medicine University of Indonesia, who approved the protocol.

Data collection An anonymous, self-administered, structured questionnaire was developed to evaluate respondents knowledge and attitude toward CRC and CRC screening. Trained research assistants approached eligible respondents and distributed the questionnaires as they waited for their scheduled outpatient visit. The respondents were assured of the confidentiality of the survey and were asked to provide informed consent.

350

C. Results Baseline characteristics of subjects There were 614 respondents recruited in this study. More than half of the respondents (53.1%) were men. The most populated group of age was 30 34 year old group (18.6%). About 35.8% of the respondents had accomplished tertiary level of education. Most of the respondents (91.4%) were married. There were 38.1% of the respondents who have full time job. The personal and family incomes were mostly between IDR one to five million per month (38.4% and 49.3%, respectively). (Table 1)

Knowledge on symptoms of CRC, risk factors of CRC, and CRC screening Most of the respondents (36.2%) pointed out abdominal pain or pain around anus as the symptom of CRC. Diarrhea or constipation was the second most common answer for symptoms of CRC (22%). Less than one fifth respondents could correctly point out blood in stool as the symptoms of CRC (16.8%). (Table 2) Most of the respondents (28.5%) answered seldom having fruit or vegetables as the risk factor of CRC. The risk factors of CRC such as old age, family history, lack of exercise, and overweight was correctly pointed out by less than ten percent of the respondents (7.8%, 9.9%, 9.1%, 4.6%, respectively). (Table 3) Colonoscopy was the most common CRC screening test answered by the respondents (28.0%). Almost all of the respondents (90.4%) had never heard about virtual colonoscopy. (Table 4)

Perceptions about CRC and CRC screening Approximately 90% of the respondents agreed and strongly agreed that they would be very anxious, their family would be very upset, and they would be a burden of their family financially if they had bowel cancer. Two third of the respondents (65.6%) perceived that they could still live normal if they had bowel cancer. (Table 5) More than half of the respondents (58.8%) were afraid of having CRC screening test. As much as 79.5% of the respondents perceived that CRC screening test was too expensive. Two fifth of the respondents (41.5%) believed that CRC screening test was embarrassing. Up to 70.8% of the respondents agreed and strongly agreed that CRC screening test might cause physical discomfort. When confronted with the statement I

351

dont do much to prevent bowel cancer, 64.8% of respondents disagreed and 7.3% strongly disagreed (Table 6)

Behavior/inclination to CRC screening Almost all of the respondents (98.7%) had never gone through CRC screening test. There were more respondents that agreed to have a CRC screening test if it was free than otherwise (77.6% vs 22.4%, respectively). (Table 7) Health behavior and other questions More than half (52.4%) of the respondents stated that they would consult with the same doctor when they were sick. Seventy eight percent of the respondents had never received information on CRC screening test from TV/newspaper/magazine. There were 87% of the respondents that had never been recommended to do CRC screening test. (Table 8) Most of the respondents (82.9%) did not have any relative, friend, or anyone known to have CRC. (Table 9) D. Discussion An overall evaluation of the respondents answers revealed a poor level of knowledge on symptoms of CRC, risk factors of CRC, and CRC screening. The symptoms of CRC were largely unknown by the majority of respondents. Less than one fifth respondents could correctly point out blood in stool as the symptoms of CRC (16.8%). In addition, other main symptoms of CRC including mucus in stool and anemia were correctly identified by less than ten percent of respondents (6.5% and 2.8%, respectively). Less than ten percent of respondents in our study identified old age, family history, lack of exercise, and overweight as the risk factors of CRC. In population-based study on Italian adults, 53.9% and 24% of the respondents could point out family history and low physical activity as the risk factors of CRC.8 Low level knowledge was also reported in a British study involving 1637 respondents. In that study, 58% of the respondents could not list CRC risk factors and 24% of the respondents were unable to identify warning signs for CRC.9 Even in the United States, the lack of understanding regarding CRC was found in a large proportion of respondents, especially among minority groups.10 Overall, there was less Indonesian population who acknowledged the CRC risk factors. Regarding the knowledge on CRC screening test, most of respondents did not know any of them. Colonoscopy was the most commonly found answer (28%) followed by FOBT

352

(19%). A study in Hong Kong also found that colonoscopy was the most common mentioned CRC screening test (33%), followed by sigmoidoscopy (6.3%), fecal occult blood test (5.9%), double contrast barium enema (4.4%), and digital examination (1.2%).11 In the United States, a study on 104 patients aged 50 years from medical clinics, 69.2% and 49% of respondents identified colonoscopy and FOBT as the main screening tests for the prevention of CRC.12 Another population-based study of 105 white males 5079 years of age in the United States showed that 75% of respondents had heard of colonoscopy. 13 Those findings indicated that Indonesian population had lower level of knowledge on CRC screening. Eight respondents (1.3%) in our study had undergone colonoscopy test. The low proportion of screening was also reported in a study involving the Korean Americans that showed only 12% and 10% of respondents had undergone DRE and FOBT test. In addition, less than 6% of them ever had DRE and FOBT for screening purposes. The most common reason for not having a DRE and FOBT was not having symptoms and health problems, thus they did not see the need for screening test. 14 More than 75% of our respondents indicated that they would have a CRC screening test if it was free. That result was dissimilar with the study in Hong Kong that showed only 29.5% of the respondents agreed to join CRC screening test program if it was free.11 The lack of knowledge built the perception about CRC screening test that it could be harmful to the body (40%), might cause physical discomfort (70%), was too expensive (77%), and was embarrassing (40%). These answers are more likely to be applied for endoscopic-based method of screening and might show that most people do not think of FOBT when they were asked about CRC screening. Fear of having a test was perceived by 58.5% of respondents. Seventy eight percent of the respondents had never received information on CRC screening test from TV/newspaper/magazine. Moreover, there were 87% of the respondents that had never been recommended to do CRC screening test. Those facts indicated that the role of general practitioner might still inadequate in promoting preventive practices for CRC. Our study has several strengths. This is the first study in Indonesia to evaluate the knowledge and attitude toward CRC screening on Indonesian population. We also differ in that we included younger population in our study. The limitation of our study is that we did not analyze association between the different variables and CRC. Our study result indicates that the lack of knowledge and the discouraging attitude among Indonesian population will be the major barriers to implement CRC screening in Indonesia. 353

E. Conclusion The knowledge on CRC symptoms, risk factors, and screening tests is still low among Indonesian population. Our study result indicates that the lack of knowledge and the discouraging attitude among Indonesian population will be the major barriers to implement CRC screening in Indonesia. Table 1. Characteristic of subjects Characteristic Sex Male Female Age group < 30 years 30-34 years 35-39 years 40-44 years 45-49 years 50-54 years 55-59 years 60-65 years Education None Non-formal Primary school Secondary school Tertiary school/ university Marriage status No data Married Not yet married Widowed Divorced Others Employment No data Full time job Part time job Retired Student Housewife Unemployed Others Refuse to answer Personal income per month No data <Rp 500.000 N 329 285 1 114 107 106 82 86 56 62 1 57 146 190 220 2 561 36 11 3 1 1 234 32 19 1 188 44 93 2 2 173 % 53.6 46.4 0.2 18.6 17.4 17.3 13.4 14.0 9.1 10.1 0.2 9.3 23.8 30.9 35.8 0.3 91.4 5.9 1.8 0.5 0.2 0.2 38.1 5.2 3.1 0.2 30.6 7.2 15.1 0.3 0.3 28.2

354

Rp 500.000 Rp 1.000.000 Rp 1.000.000 Rp 5.000.000 >Rp 5.000.000 Decline to answer Family income per month No data <Rp 500.000 Rp 500.000 Rp 1.000.000 Rp 1.000.000 Rp 5.000.000 >Rp 5.000.000 Decline to answer Table 2. Knowledge on symptoms of CRC Symptoms Blood in stool Yes No Mucus in stool Yes No Change in bowel habit Yes No Diarrhea or constipation Yes No Abdominal pain, pain around anus Yes No Vomits Yes No Anemia Yes No Weight loss Yes No Malaise Yes No Others Yes No

122 236 28 53 2 84 131 303 50 44

19.9 38.4 4.6 8.6 0.3 13.7 21.3 49.3 8.1 7.2

N 103 511 40 574 59 555 135 479 222 392 48 566 17 597 96 518 36 578 117 497

% 16.8 83.2 6.5 93.5 9.6 90.4 22.0 78.0 36.2 63.8 7.8 92.2 2.8 97.2 15.6 84.4 5.9 94.1 19.1 80.9

355

Table 3. Knowledge on risk factors of CRC N Old age Yes No Male Yes No Female Yes No Family history Yes No Seldom have fruit or vegetables Yes No Eat too much fatty food Yes No Eat to much meat Yes No Eat to much deep fried and barbeque food Yes No Lack of exercise Yes No Overweight Yes No Smoking Yes No Have other bowel disease Yes No Others Yes No Dont know Yes No 48 566 7 607 19 595 61 553 175 439 138 476 58 556 126 488 56 558 28 586 80 534 40 574 269 345 157 457 % 7.8 92.2 1.1 98.9 3.1 96.9 9.9 90.1 28.5 71.5 22.5 77.5 9.4 90.6 20.5 79.5 9.1 90.0 4.6 95.4 13.0 87.0 6.5 93.5 43.8 56.2 25.6 74.4

356

Table 4. Knowledge on CRC screening Heard about cancer screening test Fecal occult blood test Yes No Not sure/ dont know Fecal DNA test Yes No Not sure/ dont know Colonoscopy Yes No Not sure/ dont know Virtual colonoscopy Yes No Not sure/ dont know Flexible sigmoidoscopy Yes No Not sure/ dont know The need of screening above 50 years Great need Some need Little need No need Not sure Table 5. Perceptions about CRC Do you agree with the following statements? If I know I have had bowel cancer 1. I will be very anxious Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know 2. My family will be very upset Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know N % N 117 478 19 53 537 24 172 428 14 41 555 18 54 539 21 99 357 46 90 22 % 19.1 77.9 3.0 8.6 87.5 3.9 28.0 69.7 2.3 6.7 90.4 2.9 8.8 87.8 3.4 16.1 58.1 7.5 14.7 3.6

136 401 73 2 2 126 429 55 1 3

22.1 65.4 11.9 0.3 0.3 20.5 69.8 9.0 0.2 0.5

357

3. I will be a burden of my family financially Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know 4. I can still live a normal life Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know 5. I will become pesimistic Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know 6. My family will not be able to take care of me Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know 7. I will be a burden for my family Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Dont know Table 6. Perceptions about CRC screening Do you agree with the following statements? Bowel cancer screening test 1. might be harmful to the body Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree 2. might cause physical discomfort Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree 3. is embarrassing Strongly agree Agree

114 427 69 0 4 43 360 168 14 29 19 219 323 45 8 4 169 402 27 12 74 434 95 4 7

18.6 69.5 11.2 0 0.7 7.0 58.6 27.4 2.3 4.7 3.1 35.7 52.6 7.3 1.3 0.7 27.5 65.4 4.4 2.0 12.1 70.6 15.5 0.7 1.1

25 234 312 43 37 398 168 11 21 234

4.1 38.1 50.8 7.0 6.0 64.8 27.4 1.8 3.4 38.1

358

Disagree Strongly disagree 4. Im afraid of having a test Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree 5. is too expensive Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree 6. I have no time to go for a test Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree 7. I dont know where to go for a test Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree 8. I dont do much to prevent bowel cancer Strongly agree Agree Disagree Strongly disagree Table 7. Behavior/ inclination to CRC screening Have you gone through any test for bowel cancer before? Yes No If Yes FOBT and Colonoscopy Flexible sigmoidoscopy Will you have a bowel cancer screening test if it is free? Yes No N 8 606 6 2

330 29 38 323 227 26 104 384 123 3 13 243 346 12 18 386 201 9 9 160 400 45

53.8 4.7 6.2 52.6 37.0 4.2 16.9 62.6 20.0 0.5 2.1 39.6 56.3 2.0 2.9 62.9 32.7 1.5 1.5 26.1 65.1 7.3

% 1.3 98.7 1 0.3

476 135

77.6 22.4

359

Table 8. Health behavior N 1. Would you usually consult the same doctor when you are sick? Yes No 2. Do you have medical insurance covering cancer treatment? Yes No 3. Have you ever received information on bowel cancer screening test from TV/ newspaper/ magazines? Yes No 4. Have any medical professionals recommended you to test for bowel cancer? Yes No Dont know Table 9. Other questions N Do you have any relative, friends or anyone you know that was diagnosed to have bowel cancer? Yes No If yes, who is she/ he? First-degree relatives Other relatives Friends Others % %

322 292

52.4 47.6

352 262

57.3 42.7

135 479

22.0 78.0

64 534 16

10.4 87.0 2.6

105 509 11 18 41 35

17.1 82.9 1.8 2.9 6.7 5.7

360

REFERENCES
1.

Ferlay J, Bray F, Pisani P, Parkin DM, Globocan 2002: Cancer incidence, mortality and prevalence world wide, version 2.0. IARC cancer based number 5: IARC Press. 2004. Sung JY, Lau JY, Goh KL, Leung WK. Increasing incidence of colorectal cancer in Asia: Implication for screening. Pacific working group on colorectal cancer. Lancet Oncol 2005;6:871-6. Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, et al. Colorectal cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology 1997;112:594-642. Smith RA, von Eschenbach AC, Wender R, Levin B, Byers T, Rothenberger D, et al. American Cancer Society guidelines for the early detection of cancer: update of early detection guidelines for prostate, colorectal, and endometrial cancers. CA Cancer J Clin 2001;51:38-75. Mandel JS, Church TR, Ederer F, Bond JH. Colorectal cancer mortality. Effectiveness of biennial screening for fecal occult blood. J Natl Cancer Inst 1999;91:434-7. Sonnenberg A, Delco F, Inadomi JM. Cost-effectiveness of colonoscopy in screening for colorectal cancer. Ann Intern Med 2000;133:573-84. Winawer SJ. Prevention of colorectal cancer by colonoscopic polypectomy. The National Polyp Study Workgroup. N Engl J Med 1993;329:1977-81. Sessa A, Abbate R, Giuseppe GD, Marinelli P, Angelillo IF. Knowledge, attitudes, and preventive practices about colorectal cancer among adults in an area of Southern Italy. BMC Cancer 2008, 8:1171. Mc Caffery K, Wardle J, Waller J. Knowledge, attitude, and behavioral intentions in relation to the early detection of colorectal cancer in the United Kingdom. Prev Med 2003;36:525-35. Shokar NK, Vernon SW, Weller SC. Cancer and colorectal cancer: knowledge, beliefs, and screening preferences of a diverse patient population. Fam Med 2005;37:341-7. Wong BCY, Chan AO, Wong WM, Hui WM, Kung HF, Lam SK. Attitudes and knowledge of colorectal cancer and screening in Hong Kong: a population-based study. J Gastroenterol Hepatol 2006;21:41-6.

2.

3. 4.

5. 6. 7.
8

9.

10.

11.

12

Matthews BA, Anderson RC, Nattinger AB: Colorectal cancer screening behavior and health insurance status (United States). Cancer Causes Control 2005, 16:735-42. 13 Janz NK, Wren PA, Schottenfeld D, Guire KE: Colorectal cancer screening attitudes and behavior: a population-based study. Prev Med 2003, 37:627-34. 14. Kim K, Hu ESH, Chen EH, Kim JK, Brintmall RA. Colorectal cancer screening knowledge and practices among Korean Americans. Cancer Pract 1998;6:167-75.

361

PENGOBATAN TRADISIONAL INDONESIA PADA MASYARAKAT (STUDI DI DAERAH PRAKTEK BELAJAR LAPANGAN I /PBL I FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO) Saekhol Bakri, Aras Utami, Hari Peni Julianti, Dodik Pramono ABSTRAK Latar Belakang: Saat ini pengobatan tradisional Indonesia yang dilakukan oleh pengobat tradisional atau alternatif di masyarakat cenderung meningkat. Penelitian tentang pengobatan tradisional Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran pengobatan tradisional Indonesia di masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengobatan tradisional Indonesia di masyarakat. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Subyek penelitian adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah PBL I FK UNDIP, Kelurahan Bulu Lor berjumlah 111 orang. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2012. Data diolah dan dianalisis secara deskriptif. Hasil: Subyek penelitian yang melakukan pengobatan tradisional Indonesia berjumlah 8,1%. Pengobatan tradisional Indonesia yang dilakukan oleh masyarakat adalah pengobat tradisional yang menggunakan pendekatan agama (22,2% %), supranatural (11,2%), pengobat ramuan tradisional Indonesia (Jamu) (22,2%) dan pengobat tradisional pijat (44,4%). Alasan memilih pengobatan tradisional Indonesia karena untuk menjaga kesehatan (22,2%) dan sakit (77,8%). Subyek penelitian yang tidak merasakan manfaat dari pengobatan tradisional Indonesia sebesar 22,2% dan yang merasakan 77,8%. Simpulan: Masyarakat yang melakukan pengobatan tradisional tradisional Indonesia sebanyak 8,1%. Kebanyakan berobat ke pengobat tradisional pijat. Alasan terbanyak adalah karena sakit. Kebanyakan merasakan manfaat dari berobat ke pengobatan tradisional Indonesia.

Kata kunci : pengobatan tradisional indonesia, deskriptif,

*Dosen Ilmu kesehatan masyarakat-kedokteran pencegahan FK Universitas Diponegoro

362

INDONESIAN TRADITIONAL TREATMENT IN THE COMMUNITY (STUDY LEARNING PRACTICE IN THE FIELD I / PBL I FACULTY OF MEDICINE UNIVERSITY DIPONEGORO) Saekhol Bakri, Aras Utami, Hari Peni Julianti, Dodik Pramono* ABSTRACT Background: Currently, traditional medicine of Indonesia by traditional or alternative healers in the community have increased. Research on traditional treatments Indonesia needs to be done to find a condition of Indonesian traditional medicine in the community. The aim of this study was to identify Indonesian traditional medicine in the community. Methods: This study was cross-sectional. Subjects were people living in the FK UNDIP PBL I area, Bulu Lor village numbered of 111 people. The study was conducted in June 2012. Data were processed and analyzed descriptively. Results: Subjects who used Indonesian traditional medicine amounted to 8.1%. Indonesian traditional medicine by the community are traditional healers who used religious approach (22.2%%), supernatural (11.2%), Indonesia's traditional herb medicine (Jamu) (22.2%) and traditional healers massage (44, 4%). Reasons for choosing traditional medicine Indonesia due to health care (22.2%) and reduce of illness (77.8%). Study subjects who did not experience the benefits of traditional medicine Indonesia of 22.2% and who has benefits of indonesian traditional medicine 77.8%. Conclusion: People who used an Indonesian traditional medicine as much as 8.1%. Most of them used massage treatment and the reason was to reduce of illness . Most of the benefit of treatment to traditional medicine in Indonesia.

Key word :Indonesian traditional treatment, descriptive,

*Lecturer of public health and preventive medicine, Medical Faculty Diponegoro University

363

REVISI MANUSKRIP FAKTOR LINGKUNGAN DAN PERILAKU MASYARAKAT TENTANG MALARIA DI KECAMATAN KUPANG TIMUR KABUPATEN KUPANG PROVINSI NUSA TANGGERA TIMUR
1),

Karolus Ngambut1,2), Oktofianus Sila1,2) Bidang Kajian Kesehatan Lingkungan, Pusat Studi Kesehatan Poltekkes Kemenkes Kupang 2) Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Kupang

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan faktor lingkungan dan perilaku masyarakat tentang malaria di Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Dengan desain crosssectional study, populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga di Kecamata Kupang Timur dengan metode quota simpel random sampling diperoleh 185 rumah tangga yang dijadikan sampel. Hasil penelitian menunjukkan prevalance malaria klinis adalah 108 (14,4%) pada satu tahun terakhir. Gambaran faktor lingkungan rumah penderita malaria yaitu dinding rumah terbuat dari bebak dan papan masing-masing 43,6% dan 7,9%. Selain itu, atap rumah terbuat dari alang-alang atau daun lontar (21,1%). Sementara letak rumah dekat dengan breding places nyamuk anopheles yaitu sawah dan lagoon sebanyak (84%). Gambaran perilaku masyarakat dalam mencegah menceggah malaria menunjukkan 5,7% masyarakat tidak melakukan apapun untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Sebanyak 74,4% masyarkat kadang-kadang saja menggunakan kelambu. Dalam hal perilaku pencarian pengobatan menunjukkan 49% masyarakat menggunakan obat tradisional, membeli obat di warung terdekat dan ada yang tidak melakukan apapun. Selain itu, sebagian besar penderita mencari pertolongan kepada tenaga kesehatan setelah lebih dari empat hari mendapat gejala. Kata kunci : Malaria, Lingkungan, Perilaku, Kabupaten Kupang.

ABSTRACT The aims of this research war to identify the environment factors and the behavior factors related to the malaria in the. Using cross-sectional study design, the population was all households in the Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang. Used a simple random quota sampling method, the number of 185 households were as a respondens. The results showed the malaria prevalence was 108 (14.4%) in the past year. The environment a condition which were consists of the homes of people with malaria were made of bebak and boards 43.6% and 7.9% respectively. The Roofs house were made of palm leaves (21.1%), the location of the respondent's house was close to the breeding places which is rice fields and lagoon are 155 (84%).

364

In terms of the community behavior in control malaria showed 5.7% of the community was not did anything to protect themselves from mosquito bites and 74.4% occasional community used mosquito nets have been distributed. Whereas in the case of treatmentseeking behavior shows 49% people used a traditional medicine, bought drugs at a nearby shop and there was not do anything. In addition, most of the malaria suferer looked after the health care after more than four days have symptoms. Key Words : Malaria, Environment, Behavior, Kabupaten Kupang.

A. Pendahuluan Malaria adalah penyakit menular yang menjadi perhatian global. World Health Organization (WHO) memperkirakan tahun 2006 terdapat 247 juta kasus malaria dari 3.3 miliar penduduk yang berisiko, satu juta orang meninggal setiap tahun, lebih banyak pada usia bawah lima tahun. Kasus tersebut dilaporkan dari 109 negara di dunia dan 45 negara diantaranya terdapat di kawasan Afrika(1). Berdasarkan kategori tingkat endemisitas malaria, kawasan Afrika adalah daerah endemis tinggi, kawasan Asia kategori moderat dan kawasan Amerika kategori endemis rendah terhadap Plasmodium Falciparum(2); selain itu, penduduk yang tinggal di daerah dengan berbagai tingkat risikio terhadap plasmodium falciparum lebih banyak terdapat di kawasan Asia Tenggara (62.3%), Afrika (27.7%), Timur Tengah dan Eropa Timur (6.1%), Amerika dan Carribia (3.8%)(3). Setiap tahun terdapat sekitar 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian di Indonesia. Annual Malaria Incidence (AMI) secara nasional adalah 2,9% dan tiga provinsi dengan AMI tinggi yaitu Papua Barat (26,1%), Papua (18,4%) dan NTT (14,9%)(4). Data AMI provinsi NTT menunjukan kecenderungan menurun selama enam tahun terakhir sejak tahun 2003 sampai 2009 yaitu secara berturut-turut adalah tahun 2003 = 186, tahun 2004 =168, tahun 2005 = 167, tahun 2006 = 152, tahun 2007 =130, tahun 2008 = 92 dan tahun 2009= 74 ; namun angka tersebut masih tetap tinggi di atas target nasional (<50 ). Annual Parasite Incidence (API) pada tahun 2007 s/d 2009 sangat tinggi yaitu tahun 2007 sebesar 32,, tahun 2008 sebesar 28 , dan tahun 2009 sebesar 31 , sedangkan rata-rata API Nasional (< 5 ) (5). Berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat malaria yang meliputi kegiatan penemuan dan pengobatan penderita, pemberantasan vektor dan upaya perlindungan diri terhadap gigitan nyamuk melalui pemakian kelambu

365

berinsektisida. Upaya tersebut dilakukan oleh pemerintah di semua tingkatan adminsitrasi pelayanan kesehatan maupun oleh LSM maupun NGO seperti GTZ, AusAid, UNICEF dan Global Found.. Dengan cara tersebut, kasus malaria di beberapa daerah dapat dikendalikan secara baik, namun di daerah lainnya termasuk di di Kabupaten Kupang hasilnya masih kurang memuaskan yang diindikasikan dengan masih tingginya angka AMI dan API selama beberapa tahun terakhir. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan dan perilaku masyarakat tentang penyakit malaria. Faktor lingkungan meliputi keadaan fauna di sekitar rumah, kondisi fisik rumah tempat tinggal, dan perilaku masyarakat yang berhubungan dengan malaria yaitu kebiasaan menggunakan kelambu, mencari pertolongan untuk berobat, kebiasan mengurangi gigitan nyamuk.

B. Metode Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan desain cross-sectional study (studi potong lintang). Variabel dalam penelitian ini terdiri dari faktor lingkungan dan perilaku, data dikumpulkan melalui obseervasi terhadap faktor lingkungan dan

wawancara pada subyek penelitian tentang malaria. Populasi penelitian adalah seluruh rumah tangga yang ada Kecamatan Kupang Timur Kabupaten Kupang NTT yang merupakan merupakan daerah endemis tinggi malaria di Kecamatan Kupang Timur. Metode sampling adalah quota simpel random sampling. Data kondisi lingkungan yaitu jenis dinding, langit-langit, dan keberadaan tempat perindukan vektor nyamuk diamati dengan berpedoman pada lembar observasi. Data perilaku masyarakat yaitu kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti malaria diperoleh melalui wawancara terhadap subyek penelitian dengan menggunakan instrumen yang telah dipersiapkan. Wawancara dilakukan terhdap kepala keluarga, dan jika kepala keluarga berhalangan, maka digantikan oleh orang dewasa yang berusia 18 tahun atau lebih. Pengumpulan data dilapangan dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh enam orang mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Kupang selama satu minggu. Ke enam orang mahasiswa tersebut di latih terlebih dahulu tentang teknik melakukan wawancara dan cara menggunakan instrumen penelitian . persiapan selama dua hari, hari pertama bertujuan memahami garis besar penelitian dan isi instrument yang akan digunakan, dan hari kedua uji coba melakukan wawancara.

366

C. Hasil 1. Karaktersitik responden Jumlah responden yang diwawancara sama dengan jumlah rumah yang disurvey yaitu sebanyak 185 orang dan total jumlah jiwa dalam seluruh rumah tangga berjumlah 749 jiwa. Setiap rumah tangga terdiri dari tiga sampai lima orang dengan rata-rata 4 orang tiap rumah tangga. Responden tersebut terdiri dari 122 orang (66%) laki-laki. Pada umumnya kepala keluarga yaitu 78 orang (63,6%) dan 18.6% wawancara dilakukan terhadap wakil dari keluarga yaitu anak-anak yang berusia 18 tahun ke atas. Tingkat pendidikan responden bervariasi, terbanyak tamat SD dan SMA yaitu masing-masing 36.7% dan 28.1%. Jenis pekerjaan yang ditekuni sebagai mata pencaharian utama adalah bertani dan pedagang kecil masing-masing 57.9% dan 21.4%. Dari 749 jiwa jumlah anggota keluarga, sebanyak 108 orang (14.4%) diantaranya pernah menderita malaria dalam satu tahun terakhir (Bulan Juli 2010-Bulan Juli 2011), dengan kata lain rata-rata setiap rumah tangga dilaporkan pernah menderita malaria dalam satu tahun terakhir. Penderita malaria tersebut lebih sebagian besar adalah laki-laki (57.8%) dan 26% adalah usia balita (bawah Lima Tahun). Selain itu, sebanyak 53.0% pendidikan penderita tidak sekolah dan sampai tamat SD tertapi terdapat 6.7% berpendidikan tinggi.

2. Faktor lingkungan Kondisi rumah tempat tinggal terbanyak adalah rumah berdinding tembok kemudian bebak dan papan masing-masing 45%, 43,6% dan 7,9%. Selain itu, jenis atap rumah yang paling dominan adalah rumah yang beratap seng (78.9%) dan atap daundaunan alang-alang atau daun lontar 21.1%. Selain itu, keadaan lingkungan rumah tempat tinggal responden yang dikelompokkan berdasarkan pada ada atau tidaknya tempat perindukan nyamuk berupa genangan air dan parit atau sawah dan kolam serta semaksemak pada jarak kurang lebih 200 meter dari tempat rumah tempat tinggal sesuai dengan jarak terbang maksimal dari nyamuk (6,7) Hasil survey menunjukkan pada umumnya (84%) atau 155 rumah responden dekat dengan daerah persawahan yang sangat potensial menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk / vektor malaria, sedangkan yang lainnya barada pada jarak lebih dari 200 meter dari tempat perindukan.

367

3. Faktor perilaku a. Pengetahuan responden tentang malaria Ketika ditanya apakah pernah mendengar tentang malaria? Sebagian besar (96%) responden pernah mendengar penyakit malaria, sedangkan 4% lainnya lainnya tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka pada umumnya belum tamat SD ke bawah. Pengetahuan responden tentang akibat dari penyakit malaria menunjukkan bahwa 17.6% responden mangatakan bahwa malaria tidak dapat membunuh jika tidak diobati. Selain itu, 22% responden mengetahui bahwa malaria bisa kambuh dan 4% dari responden juga mengungkapkan malaria tidak dapat mengganggu pekerjaan mereka sehari-hari. Sebanyak 62.8% responden belum mengetahui gejala malaria secara pasti, ada yang mengatakan pedis ulu hati (8.6%), kurang energi dan muntah masing-masing 13.5% dan 5%. Selain itu, masih ada yang tidak tau tentang gejala malaria (12,1%), serta 1.4% responden tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Responden ini kebanyakan adalah petani dan tingkat pendidikan umumnya belum tamat SD. Dalam hal sumber informasi tentang malaria, paling banyak diperoleh media di fasilitas kesehatan dan penyuluhan yahg dilakukan oleh tenaga kesehatan yaitu 88 orang dari 178 orang responden (49.3%), dari leaflet atau poster 20%. Sedangkan informasi dari teman 3,6%. Dalam hal jenis informasi yang diinginkan, responden paling banyak

menginginkan informasi tentang cara pengobatan, kemudian diikuti oleh informasi tentang cara pencegahan malaraia serta informasi umum tentang malaria yaitu masing-masing 34.3% dan 22.1%. Hanya 6.4% responden menginginkan informasi mengnenai perjalanan penyakit malaria. b. Perilaku responden terhadap pencarian pengobatan Sejumlah 121 orang dari 178 orang responden yang dalam satu tahun terakhir pernah menderita malaria menunjukkan perilaku yang berbeda-beda dalam hal pencarian pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat mendapatkan gejala malaria umumnya membeli obat di kios-kios atau ke toko obat terdekat (78,6%) terlebih dahulu kemudian ke fasilitas kesehatan kalau belum sembuh, sedangkan 21,4% langsung ke fasilitas kesehatan. Namun demikian, masih ada juga yang menggunakan obat tradisional yaitu 16,4%. Pada umumnya mereka ini adalah perempuan dan berpendidikan tidak tamat SD tetapi hanya lima orang yang berpendidikan tamat SMU.

368

Dalam hal mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan, kebanykan responden mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan setelah 4-6 hari mendapatkan gejala sakit malaria seperti deman, panas dan menggigil yaitu 45,7% dan kemudian 2-3 hari kemudian yaitu 42,9%, dan bahkan ada juga setelah seminggu atau lebih mendapatkan gejala sakit (5%). Hanya 3,6% saja responden yang mendapatkan gejala sakit malaria yang langsung mendatangi fasillitas kesehatan untuk mendapatkan pertolongan oleh tenaga kesehatan. c. Perilaku mencegah gigitan nyamuk Perilaku responden untuk mencegah gigitan nyamuk terdiri dari beragam cara. Paling banyak menggunakan obat nyamuk bakar (45.5%) kemudian membakar dedaunan pada malam hari (19.3%) dan menggunakan obat penolak seperti autan sebanyak (15.2%). Namun demikian, masih ada rumah tangga yang tidak berbuat sesuatu untuk mencegah terjadinya gigitan nyamuk, (5,7%). Dalam hal penggunaan kelambu, terdapat 92,1% rumah tagga yang memiliki kelambu di rumahnya. Kelambu-kelambu tersebut ada yang di beli sendiri dan ada yang dibagi dari petugas kesehatan pada satu tahun terakhir. Dalam hal penggunaan kelambu, sebagian besar responden (74.4%) menggunakan kelambu kadang-kadang saja pada saat tidur. Ibu-ibu paling dominan tidur dalam kelambu (445%), anak-anak berusia kurang dari 5 tahun (17.5%) dan ayah mereka juga tidur dalam kelambu (17.1%), terdapat juga anakanak yang berusia lebih dari lima tahun juga yang tidur dalam kelambu (12,1%). d. Pengatahuan tentang vektor malaria Sebagian besar (86.0%) responden mengetahui bahwa nyamuk adalah vektor yang menularkan malaria. Sebanyak 47% responden menyatakan nyamuk malaria menggigit pada malam hari dan 37.1% mengatakan nyamuk menggigit pada sore hari. Selain itu, 8,6% dan 7,1% responden juga menyatakan bahwa nyamuk penular malaria menggigit manusia pada siang dan pagi hari. Selain itu, (60%) responden mengatakan nyamuk hanya menggigit di dalam rumah dan 40% lainnya mengatakan nyamuk hanya mengigit di luar rumah Pengetahuan responden tentang tempat berkembangbiaknya jentik nyamuk menunjukkan bahwa 49% mengatakan jentik nyamuk berkembang biak di parit-parit atau di genangan air, 35% menyatakan jentik nyamuk berkembang biak di semak-semak, 6,4% menjawab tidak tau tentang tempat berkembangbiaknya jentik nyamuk. Mereka ini yang menjawab tidak tau adalah 7 orang perempuan dan 2 orang laki-laki seta berpendidikan SD

369

dan SMP.

Terkait dengan cara untuk mengurangi gigitan nyamuk, sebagian besar

responden (63,6%) mengatakan untuk mengusir nyamuk dilakukan dengan cara membakar dedauan di sekitar rumah dan melakukan kegiatan pembersihan lingkungan (36,4%).

D. Pembahasan Pada umumnya (96%) responden sudah pernah mendengar tentang malaria , selain itu 14.4% masyarakat pada rumah tangga di pernah mendapatkan diagnosa malaria dalam satu tahun terakhir. Dengan kata lain rata-rata jumlah penderita malaria sebesar 0.58 (dibulatkan jadi 1) orang tiap rumah tangga. Besarnya prevalence malaria tersebut jauh lebih kecil 0.5% jika dibandingkan dengan incidence malaria di NTT tahun 2010 yaitu 14.9%
(4)

dan sangat rendah dibandingkan dengan Point Prevalesi pada Bulan Maret 2010
(8,14).

dari yaitu 28.2%

Pengetahuan masyarakat tentang malaria yaitu 86% masyarakat tau

bahwa nyamuk yang dapat menularkan malaria, dan 82.6% malaria bisa membunuh, serta 96% responden malaria dapat mengganggu pekerjaan. Pengetahuan responden tentang malaria tidak konsisten dengan perilaku mencegah gigitan nyamuk dengan cara membakar dedaunan dan penggunaan kelambu yang jarang dimanfaatkan. Alasan disampaikan responden tidak menggunakan kelambu secara teratur adalah penggunaan kelambu merepotkan saat tidur, terkadang agak panas. Penggunaan kelambu saat tidur malam merupakan salah satu factor risiko terjadimanya malaria (9, 10). Perilaku masyarakat dalam hal membakar dedauan untuk mengusir nyamuk didorong oleh alasan ekonomi dan kepraktisan. Alasan ekonomi yaitu memerlukan uang untuk membeli obat nyamuk bakar, sedangkan alasan kepraktisan karena disekitar rumah banyak daduanan yang bisa dimanfaatkan. Selain itu, perilaku pencarian pengobatan dengan membeli obat di kios atau toko obat terdekat terbentuk karena adanya factor pendukung yaitu di kios kios tertentu masih ditemukan obat cloroquin yang dari dulu digunakan oleh masyarkaat untuk mengobati malaria. Perilaku penngobatan yang tidak tepat merupakan factor risiko terjadinya resistensi obat anti malaria. Sutanto, at al (n.d)11 ,. menyimpulakan bahwa 56% sampel resisten terhadap cloroquin di Kabuoaten Alor NTT, selain itu, Tarigan (n.d)
(12)

30-100% plasmodium falciparum di Indonesia resisten dan di

tailand malaria resisten terhadap mefloquin (wongsrichanalai, et al., 2004) (13). Selain itu, terdapat 34.3% masyarakat menginginkan informasi tentang cara pengobatan malaria. Hal ini mengindikasikan bahwa konsep kuratif masih menjadi pilihan

370

utama masyarakat dibandingkan dengan konsep promitif dan preventif sesuai Visi Kemenkes 2009-2013 (15). Selain faktor perilaku, factor lingkungan seperti keberadaan tempat perindukan nyamuk pada jarak < 200 meter dari rumah penduduk. Jarak rumah dengan tempat perindukan nyamuk seperti sawah, dan lagoon merupakan faktor risiko penularan malaria karena jarak terbang nyamuk pada kondisi normal adalah maksimal 200 meter(6). Hal ini identik dengan studi yang telah dilakukan oleh Bhara, 2007 pada sejumlah daerah dengan tingkat endemisitas yang berbeda(10). Disimpulkan bahwa pada wilayah dengan tingkat endemisitas tinggi terhadap malaria lebih banyak responden tinggal dekat dengan tempat perindukan nyamuk yang berjarak kurang dari 200 meter dari rumah. Selain itu, jenis atap rumah penderita malaria yang terbuat dari dedaunan juga merupakan factor risiko adanya malaria. Atap rumah yang terbuat dari dedaunan menjadi tempat yang baik untuk bersembunyi nyamuk dalam rumah. Bhara 2007 menyimulkan rumah tempat tinggal

penderita pada daerah endemisitas tinggi pada umumnya 70,5% berdiding bebak (pelepah daun lontar) Hasil analisis terhadap faktor lingkungan rumah tempat tinggal tersebut menujukkan bahwa penyakit malaria erat kaitannya dengan kondisi social dan ekonomi masyarakat. Keadaan rumah yang berdinding bebak, dan atap alang-alang mengindikasikan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang menderita malaria yang masih rendah. Faktor sosial dan ekonomi seperti sanitasi yang buruk, perumahan, jenis pekerjaan, kemiskinan dan lain sebagainya mempunyai efek yang penting terhadap kejadian malaria terutama pada di negara-negara berkembang (6).

E. Simpulan 1. Factor lingkungan rumah penderita malaria di Kecamatan Kupang Timut Kabupaten Kupang NTT lebih banyak terkait dengan konstruksi rumah dan keberadaan tempat perindukan nyamuk di sekitar rumah. 2. Pengetahuan masyarkat tentang malaria, tidak konsisten dengan perilaku mencegah pencegahan malaria, perilaku pengobatan dan perilaku pencarian pertolongan penyakit akibat malaria

371

F. Saran 1. Upaya promotif dan preventif tentang malaria perlu terus ditingkatkan dalam rangka memutuskan mata rantai penularan malaria (environment). 2. Penguatan sumber daya pada sektor kesehatan masyarakat terdepan (pustu, polindes, poskesdes maupun puskesmas) perlu di tingkatkan terutama dalam mengkampayekan upaya pencegahan atau pemberantasan malaria dengan baik dan banar di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization (WHO) 2008. World Malaria Report. Genewa: World Health Organization, 2008. Diakses tanggal 20 Oktober 2009 dari http://www.who.int. Simon I. Hay, Carlos A. Guerra, Peter W. Gething, Anand P. Patil, Andrew J. Tatem, Abdisalan M. Noor, Caroline W. Kabaria, Bui H. Manh, Iqbal R. F. Elyazar, Simon Brooker, David L. Smith, Rana A. Moyeed. A World Malaria Map: Plasmodium falciparum Endemicity. in 2007. Public Library of Science Medicine 2009. Diakses tgl 29/10/2009 dari http://users.ox.ac.uk/~hay/107.pdf. Robert W. Snow, Carlos A. Guerra, Juliette J. Mutheu1, Simon I. Hay. International Funding for Malaria Control in Relation to Populations at Risk of Stable Plasmodium falciparum Transmission Public Library of Science Medicine 2008. Diakses tgl 29/10/2009 dari http://users.ox.ac.uk/~hay/107.pdf. Departemen Kesehatan RI, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 2007. dapat diakses dari www.litbangkes.go.id Depkes RI, Dinas Kesehatan Provinsi NTT. Laporan kasus malaria di provinsi NTT,. Depkes RI, Kupang 2009 Chwatt, Bruce (1985). Essential malariology, New York: A Willey medical Publication., Second Edition. World Health Organization. Petunjuk Praktikum Entomologi (Manual on practical entomology in malaria). Part II. Geneva: WHO, 1995. WHO Offset Publication No. 13, 1995. Bau, S.H., (2009) Perilaku istirahat nyamuk anopheles sp di Kota Kupang Laporan Karya Tulis Ilmiah Poltekkes Depkes Kupang (unpublished repport).

372

Bhara A.R (2007) Studi perilaku nyamuk anopheles di Kelurahan Airmata Kecamatan Oebobo Kota Kupang. Laporan Karya Tulis Ilmiah Poltekkes Depkes Kupang (unpublished repport). Angel D., Manuel W. H., Dominic G., Flora K., Christian L., Iddy M., Christopher M., Hassan M., Alexander S., Ahmed M., Constanze P., Mitchell G. W.dan Brigit O., (2009). Socio-cultural factors explaining timely and appropriate use of health facilities for degedege in south-eastern Tanzania. Malaria Journal 2009, 8:144. URL: http://www.malariajournal.com/content. Sutanto I, Suprijanto S, Nurhayati, Manoempil P, Baird JK (n.d.) Resistance to chloroquine by Plasmodium vivax at Alor in the Lesser Sundas Archipelago in eastern Indonesia. Am J Trop Med Hyg.URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ Di akses Di akses tgl. 29 Oktober 2009 Tarigan Jerahim (n.d.) Kombinasi kina tetrasiklin pada pengobatan alaria falciparum tanpa komplikasi di daerah resisten multidrug malaria, Journal kesehatan kagian ilmu penyakit dalam FK USU. URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalamjerahim. Diakses tgl. 29/10/09. Wongsrichanalai, Chansuda, Prajakwong Somsak, Meshnick Steven R., Shanks G Dennis dan Thimasarn Krongthong, (2004). Mefloquine Its 20 Years In The Thai Malaria Control Program. Journal of Malaria. URL: http://www.tm.mahidol.ac.th/seameo/2004/35_2/12-3209.pdf. . Diakses tgl. 29/10/09. Departemen Kesehatan RI, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta, 2007. dapat diakses dari www.litbangkes.go.id Kementarian Kesehatan RI, Rencana Strategis Kemenkes RI, Jakarta, 2009.

373

Tabel 1 Karakteristik Responden Penelitian di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011

Karakteristik Responden A. Sex 1. Laki-laki 2. Perempuan B. Kedudukan dalam rumah tangga 1. Kepala Keluarga 2. Istri/ibu rumah tangga 3. Anak C. Umur (tahun) 1. 25-30 2. 31-40 3. 41-45 4. >45 D. Pendidikan Tertinggi 1. Tidak tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SMP 4. Tamat SMA 5. Tamat PT 6. Kursus informal E. Pekerjaan 1. Tidak Bekerja 2. Bertani 3. Buruh Tani 4. Pedagang Kecil 5. PNS 6. Ibu Rumah Tangga 7. Pensiunan 8. Pekerja Profesional 9. Ojek Sumber: Data primer terolah

n (n=185) 122 63 78 34 44 46 90 33 16 15 68 46 52 3 1 3 107 3 40 4 17 1 1 9

65.7 34.3 42 18 24 25.0 48.5 17.8 8.5 8.0 36.7 24.8 28.1 1.6 0.5 1.4 57.9 1.4 21.4 2.1 9.3 0.7 0.7 5,0

374

Tabel 2 Pengetahuan responden tentang malaria di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011

A.

B.

C.

D.

E.

F.

F.

Pengetahuan Pernah mendengar malaria (n=185) 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak ada jawaban Anggota keluarga menderita malaria dalam satu tahun belakangan (n=749) 1. Ya 2. Tidak Apa yang menularkan malaria (n=185) 1. Nyamuk 2. Tidak tau Malaria bisa membunuh jika tidak diobati (n=185) 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tau Malaria bisa kambuh (n=185) 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak tau Malaria bisa mengganggu pekerjaan (n=185) 1 Ya 2. Tidak Gejala malaria 1. Sakit kepala 2. Panas tinggi/demam 3. Badan sakit 4. Pedis ulu hati 5. Muntah 6. Lemah/kurang energy 7. Tidak tau 8. Tidak ada jawaban

f 178 0 7

% 96 0 4

108 641 159 26 153 23 9 59 85 41 178 7 25 27 31 12 7 19 17 2

14.4 85.6 86.0 14.0 82.6 12.5 5.1 32 46 22 96 4 17.9 19.3 22.1 8.6 5 13.6 12.1 1.4

Sumber: Data primer terolah

375

Tabel 3 Sumber Informasi Tentang Malaria di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011

Informasi Malaria (n=178) A. Sumber informasi (n=178) 1. Teman 2. Anggota keluarga 3. Leaflet/poster 4. Radio 5. Fasilitas kesehatan 6. Tidka ada jawaban A. Informasi yang diinginkan (n=178) 1. Tentang pengobatannya 2. Pencegahan penyakit 3. Perjalanan penyakit 4. Informasi apa saja tentang malaria 5. Tanda dan gejala 6. Tidak tahu Sumber: Data primer terolah

f 6 20 36 27 88 1 61 47 11 39 17 4

% 3.6 11.4 20.0 15.0 49.3 0.7 34.3 26.4 6.4 22.1 9.3 2.1

Tabel 4 Perilaku Pencarian Pengobatan Malaria di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011 Tempat mencari pengobatan ( n=178) 1. Fasilitas kesehatan 2. obat tradisional/dukun 3. Toko obat/apotik 4. Tidak kemana-mana 5. Tidak tahu Lama waktu mencari pertolongan ke faskes (n = 178) Dalam hari itu juga Dua tiga hari kemudian Empat- enam hari kemudian Tujuh hari / lebih Tidak ada jawaban Sumber : Data primer terolah f 51 29 140 25 4 6 76 81 9 5 % 28,6 16,4 78,6 14,3 2,1 3,6 42,9 45,7 5 2,9

376

Tabel 5 Upaya responden terhadap gigitan nyamuk di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011 Upaya mencegah gigitan nyamuk (n=178) f % A. Perlindungan Individu 1. Menggunakan obat penolak seperti autan 27 15.2 2. Menggunakan obat nyamuk bakar 81 45.5 3. Membakar daun 34 19.3 4. Menutup pintu dan jendela 25 14.3 5. Tidak berbuat apa-apa 10 5.7 B. Malaria bisa di cegah 1. Ya 118 66.4 2. Tidak 60 33.6 Penggunaan kelambu (n=178) A. Kepemilikan kelambu dalam rumah 1. Ada kelambu 164 92.1 2. Tidak ada kelambu 14 7.9 B. Frekuensi penggunaan kelambu saat tidur 1. Selalu digunakan 46 25.6 2. Kadang-kadang 132 74.4 C. Angggota keluarga yang biasa tidur dalam kelambu 1. Ayah 24 17.1 2. Ibu 63 45.0 3. Anak-anak < lima tahun 25 17.9 4. Anak-anak >lima tahun 17 12.1 5. Tidak ada jawaban 11 7.9 Tabel 6 Pengetahuan Responden Tentang Vector Malaria di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011 Pengetahuan tentang vector (n=178) f % A. Waktu menggigit nyamuk 1. Pagi 13 7.1 2. Siang 15 8.6 3. Sore 66 37.1 4. Malam 84 47.1 B. Tempat nyamuk menggigit 1. dalam rumah 107 60.0 2. luar rumah 71 40.0 C. Tempat berkembang biak jentik nyamuk 1. di parit/genangan air 109 61.4 2. di semak-semak 62 35.0 3. tidak tau 11 6.4 D. Cara mengurangi gigitan nyamuk 1. membersihkan lingkungan 65 36.4 2. membakar dedauan 113 63.6 Sumber : data primer terolah

377

Tabel 7 Keadaan lingkungan dan bangunan Rumah Responden di Kecamatan Kupang Timur Tahun 2011

Lingkungan & struktur bangunan rumah (n=185) A. Jenis dinding rumah 1. Tembok/beton 2. Papan/seng 3. Bebak 4. Dedaunan B. Jenis Atap 1. Seng 2. Daun-daunan C. Jarak rumah dengan tempat perindukan 1. < 200 meter 2. > 200 meter Sumber : data primer terolah 155 30 146 39 83 15 81 7

45.0 7.9 43.6 3.6

78.9 21.1

84.0 16.0

378

HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KEJADIAN PENYAKIT TB PARU BTA (+) DI WILAYAH PUSKESMAS KOTA JAMBI, PROPINSI JAMBI TAHUN 2011 Sahridayanti* Ririn Arminsih ** Ummi Kalsum*** ABSTRAK Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis, di negara-negara berkembang 25% kematian disebabkan oleh penyakit TB Paru. Angka penemuan penderita TB Paru di Kota Jambi terus meningkat selama 3 tahun terakhir dan melebihi dari target yang ditetapkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara lingkungan fisik rumah dan karakteristik individu dengan kejadian penyakit TB Paru BTA (+) di Wilayah Puskesmas Kota Jambi Tahun 2011. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain case control dengan populasi seluruh suspect TB Paru yang berusia 15-59 tahun serta tinggal di wilayah kerja Puskesmas Kota Jambi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor lingkungan fisik rumah (pencahayaan OR: 8,14; CI: 4,21-38,07, suhu OR: 5,91; CI: 1,9218,31, kelembaban OR: 4,67; CI:1,65-13,24) dan faktor karakteristik individu (riwayat penyakit lain OR: 4,53; CI: 1,2-16,73, perilaku responden OR: 5,80; CI: 2,93-11,47) dengan kejadian TB Paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Kota Jambi,Propinsi Jambi. Variabel yang diprediksi paling dominan menyebabkan TB Paru BTA positif dalam penelitian ini adalah kondisi pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dengan OR: 6,94 dan CI: 1,92-25,16. Kata kunci : TB Paru, BTA (+), lingkungan fisik, karakteristik individu.

Nama Pengirim : Ummi Kalsum, SKM., MKM. Mahasiswa S3 Epidemiologi Komunitas Universitas Indonesia Institusi : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

379

SKRINING PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS PADA PEKERJA TOBONG GAMPING SEDYO RUKUN DESA GARI DAN DESA GELUNG KECAMATAN WONOSARI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Djati Anggun Paramita1, Rahayujati Baning2, Raharto Sri3
1

Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, Depkes RI; email : ang_joen@yahoo.com Field Epidemiology and Training Program (FETP), Fakultas Kedokteran,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Dinas Kesehatan Kaupaten Kulon Progo, Yogyakarta Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta

ABSTRAK Latar Belakang : Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu faktor risiko PPOK adalah paparan debu, termasuk diantaranya adalah debu yang berasal dari pertambangan batu kapur (gamping). Prevalensi PPOK belum dapat diketahui secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi. Tujuan : Tujuan skrining ini adalah untuk mengetahui gejala klinis yang mendukung diagnosis pasti dalam penemuan penyakit PPOK sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan sedini mungkin. Metode : Sasaran kegiatan skrining PPOK adalah pekerja Tobong Gamping Sedyo Rukun Desa Gari dan Desa Gelung Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul yang bersedia mengikuti keseluruhan proses skrining dari awal hingga selesai. Waktu pelaksanaan bulan Juni 2010. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian observasional dengan melihat gejala klinis dan hasil pemeriksaan standar dengan spirometri. Hasil : Prevalensi PPOK pada pekerja Tobong Gamping Sedyo Rukun Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Tahun 2010 adalah 7,2%. Gejala klinis utama PPOK adalah sesak nafas, akan tetapi sesak nafas dapat menjadi gejala untuk penyakit pernafasan lain, sehingga kurang sensitif untuk mendeteksi PPOK yang sesungguhnya. Pemeriksaan gejala klinis PPOK memiliki sensitifitas rendah (33,3%), spesifisitas baik (80,7%), nilai duga positif rendah (12,0%) dan nilai duga negatif tinggi (93,9%). Kesimpulan dan Saran : Pemeriksaan gejala klinis belum dapat digunakan sebagai alat pemeriksaan utama atau satu-satunya untuk mendeteksi dini PPOK. Pemeriksaan dan penentuan diagnosis PPOK secara klinis sangat perlu didukung pemeriksaan penunjang berupa spirometri, foto toraks, atau yang lainnya, diketahui riwayat paparan dan faktor risiko. Kata Kunci : skrining, PPOK, pekerja tobong gamping

380

KONTAMINASI BAKTERI KOLIFORM PADA JUS BUAH DI KAMPUS UNDIP TEMBALANG 2011 Ratna Muliawati, S.KM Program Studi Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kendal ABSTRAK Latar Belakang : Jus buah memiliki kandungan gizi tinggi seperti vitamin, mineral dan kandungan lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Namun, konsumsi jus buah yang terkontaminasi bakteri karena tidak memperhatikan higiene sanitasi dalam pengolahan dapat menularkan penyakit seperti diare dan keracunan makanan. Tingkat kontaminasi minunan jajanan relatif tinggi (mengandung 103 koliform APM/mL dan 103 koliform fekal APM/mL), prevalensi penyakit diare sebanyak 32.338 penderita dengan angka kesakitan sebesar 22,23 per 1.000 penduduk pada tahun 2008, dan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan juga masih tinggi yaitu 4.235 kasus pada tahun 2006 dengan angka kematian (CFR) 0,24%. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor kontaminasi jus buah. Subjek dan Metode : Penelitian dilakukan dengan pendekatan cross sectional pada 36 pedagang jus buah di sekitar kampus UNDIP Tembalang yang merupakan sampel jenuh. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara untuk mendapatkan variabel higiene dan sanitasi serta pemeriksaan laboratorium untuk menghitung bakteri koliform sebagai indikator kontaminasi pada jus buah dan air bahan baku. Data dianalisis dengan uji chi square diikuti korelasi phi untuk melihat keeratan hubungan. Hasil : Kontaminasi jus buah oleh bakteri koliform 47,2%. Kontaminasi jus buah berhubungan dengan sanitasi alat yang kurang baik dan kontaminasi (jumlah bakteri koliform) air bahan baku yang digunakan. Kesimpulan : Pedagang jus buah diharapkan untuk meningkatkan praktik higiene dan sanitasi dalam pengolahan jus buah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) diharapkan melakukan pengendalian mutu terhadap air minum isi ulang yang beredar di pasaran. Kata Kunci : Kontaminasi, Koliform, Sanitasi, Jus Buah

381

PEMANFAATAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR OLEH PENDUDUK MIGRAN MISKIN DI PERKOTAAN: PELUANG DAN KENDALA (KASUS KOTA BANDUNG DAN MAKASSAR) Sri Sunarti Purwaningsih1, Ade Latifa, Fitranita Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI)

ABSTRAK Hak setiap penduduk Indonesia termasuk penduduk migrant miskin di perkotaan (the unreached) untuk memperoleh layanan kesehatan dijamin oleh Undang-Undang, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat 3. Selain itu, Pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan juga menekankan perlunya pemenuhan hak memperoleh derajat kesehatan secara optimal. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, namun belum semua penduduk miskin dapat memperoleh manfaat program Jamkesmas termasuk the unreached. Tulisan ini memaparkan kendala dan peluang yang dihadapi oleh the unreached tersebut dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di perkotaan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Bandung dan Kota Makassar. Hasil penelitian menemukan rendahnya akses the unreached terhadap layanan kesehatan dasar yang disediakan oleh pemerintah disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keuangan yang terbatas, opportunicost antara pergi ketempat layanan kesehatan dengan kehilangan pendapatan (opportunity cost), jarak tempat tinggal dengan tempat layanan yang jauh, kualitas layanan yang dianggap rendah, kurangnya informasi mengenai jenis pelayanan kesehatan yang tersedia serta faktor budaya. Tulisan ini juga mengemukakan peluang dan solusi kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akses the unreached terhadap layanan kesehatan dasar.

Kata kunci : penduduk migran miskin perkotaan, pemanfaatan layanan kesehatan dasar, Kota Bandung, Kota Makassar

Para penulis adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Alamat: Widya Graha Lt 10, Jl. Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan, 12710. Telp dan Fax: 021 522 1687. Email: nartipurwa@yahoo.com

382

PERAN PUSKESMAS DALAM PENANGGULANGAN BENCANA: KASUS GEMPA BANTUL 2006 Widayatun, Zainal Fatoni wida1960@yahoo.com; zainalfatoni_skm@yahoo.com Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI) ABSTRAK Sebagian besar wilayah di Indonesia rentan terhadap bencana alam, termasuk gempa bumi. Bencana gempa yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, namun demikian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menghadapi kendala antara lain akibat rusak atau tidak memadainya fasilitas kesehatan. Tulisan ini ditujukan untuk mendiskusikan peran Puskesmas dalam penanggulangan bencana, dengan mengambil studi kasus bencana gempa bumi di Bantul pada 2006. Sebagian besar informasi dalam tulisan ini disusun berdasarkan hasil studi Kajian Pemenuhan Kebutuhan Dasar Korban Gempa Bantul 2006 pada tahun 2010 serta kajian literatur terkait (desk review). Hasil studi menunjukkan bahwa di sektor kesehatan, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah menyebutkan peran penting Puskesmas dalam penanggulangan bencana. Gempa Bantul pada 27 Mei 2006 tidak hanya menimbulkan korban meninggal dan luka serta rusaknya berbagai fasilitas kesehatan, tetapi juga berdampak pada permasalahan kesehatan masyarakat, seperti munculnya berbagai penyakit setelah gempa, fasilitas air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, trauma kejiwaan serta akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan pasangan. Puskesmas Piyungan di Kabupaten Bantul berperan dalam penanggulangan bencana gempa, mulai dari sesaat setelah gempa (hari ke-1 hingga hari ke-3), masa tanggap darurat ( hari ke-3 hingga sebulan) serta masa rehabilitasi dan rekonstruksi (sejak sebulan pascagempa). Beberapa faktor turut mendukung kelancaran petugas Puskesmas dalam melakukan tindakan gawat darurat pada saat gempa, antara lain koordinasi dan kerjasama yang cukup baik antara pimpinan dan personil Puskesmas serta partisipasi aktif masyarakat dan relawan dalam membantu penanganan korban. Kata kunci: Penanggulangan bencana, Puskesmas, Gempa, Bantul

A. Latar Belakang Indonesia merupakan kawasan bencana. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi geografis, geologis, hidrologis dan demografis sebagian besar wilayah negeri ini yang rentan terhadap bencana alam dan berdampak pada timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dapat menghambat pembangunan nasional (Pemerintah Republik Indonesia, 2007). Salah satu potensi bencana alam dengan frekuensi yang cukup tinggi adalah gempa bumi. Berdasarkan survei yang dilakukan Badan

383

Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) dalam kurun waktu 2010 hingga 2012 dengan melihat Peta Bahaya Bencana, wilayah Indonesia menjadi kawasan yang paling rawan terkena bencana gempa bumi (http://www.merdeka.com/peristiwa/bnpb-90-persen-wilayahindonesia-rawan-gempa.html). Bencana yang diikuti dengan pengungsian berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang sebenarnya diawali oleh masalah bidang/sektor lain. Bencana gempa bumi, misalnya, dalam jangka pendek dapat berdampak pada korban meninggal, korban cedera berat yang memerlukan perawatan intensif, peningkatan risiko penyakit menular, kerusakan fasilitas kesehatan dan sistem penyediaan air (Pan American Health Organization, 2000). Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga merupakan awal dari proses terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi korban bencana. Pemberian pelayanan kesehatan pada kondisi bencana sering menemui banyak kendala akibat rusaknya fasilitas kesehatan, tidak memadainya jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan dan dana operasional. Kondisi ini tentunya dapat menimbulkan dampak lebih buruk bila tidak segera ditangani (Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001). Di sektor kesehatan, berbagai piranti legal (peraturan, standar) menyebutkan peran penting Puskesmas dalam penanggulangan bencana (Departemen Kesehatan RI, 2007; Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001). Namun demikian, literatur atau studi yang mengupas peran nyata Puskesmas dalam penanggulangan bencana relatif masih terbatas. Oleh karena itu, tulisan ini ditujukan untuk mendiskusikan peran Puskesmas dalam penanggulangan bencana berdasarkan studi kasus bencana gempa bumi di Kabupaten Bantul pada tahun 2006. B. Metodologi Sebagian besar informasi yang disajikan dalam tulisan ini disusun berdasarkan hasil studi Kajian Pemenuhan Kebutuhan Dasar Korban Gempa Bantul 2006 pada tahun 2010 yang dilakukan oleh tim peneliti LIPI bekerja sama dengan Nagoya University dan Nara University, Jepang. Studi yang menggabungkan pendekatan kuantitatif (survei rumah tangga) dan kualitatif (wawancara terbuka dan FGD) ini memang tidak secara spesifik melihat peran Puskesmas pascagempa di Kabupaten Bantul, akan tetapi cukup banyak 384

informasi yang relevan untuk diangkat sesuai dengan tujuan penulisan artikel ini. Selain berdasarkan studi tersebut, sebagian informasi dalam tulisan ini juga dikumpulkan berdasarkan kajian literatur terkait (desk review). C. Hasil dan Pembahasan 3.1 Peran Puskesmas dalam Penanggulangan Bencana Dalam upaya memaksimalkan peran jajaran kesehatan pada penanggulangan bencana, termasuk didalamnya Puskesmas, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No. 145/MENKES/SK/1/2007 tentang Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan. Kebijakan tersebut mengatur kebijakan, pengorganisasian dan kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh masing-masing jajaran kesehatan. Selain berdasarkan SK tersebut, peran dan tugas Puskesmas dalam penanggulangan bencana juga mengacu pada Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi (2001) dan Pedoman Puskesmas dalam Penanggulangan Bencana (2006) yang disusun oleh Kementerian Kesehatan. Dalam penanggulangan bencana, peran Puskesmas mengacu pada tugas dan fungsi pokoknya, yaitu sebagai pusat (1) penggerak pembangunan kesehatan masyarakat, (2) pemberdayaan masyarakat dan (3) pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sebagai pusat penggerak pembangunan kesehatan masyarakat, Puskesmas melakukan fungsi

penanggulangan bencana melalui kegiatan surveilans, penyuluhan dan kerjasama lintas sektor. Sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, Puskesmas dituntut mampu melibatkan peran aktif masyarakat, baik peroangan maupun kelompok, dalam upaya penanggulangan bencana. Sedangkan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama, Puskesmas melakukan berbagai kegiatan seperti: pelayanan gawat darurat 24 jam, pendirian pos kesehatan 24 jam di sekitar lokasi bencana, upaya gizi, KIA dan sanitasi pengungsian, upaya kesehatan jiwa serta upaya kesehatan rujukan. Berdasarkan siklus bencana, penanggulangan dibagi menjadi: (1) prabencana, (2) saat bencana dan (3) pascabencana. Kegiatan yang dilakukan Puskesmas pada saat prabencana difokuskan pada upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Kegiatan tersebut meliputi: Pemetaan (peta rawan bencana, peta sumber daya kesehatan dan peta risiko bencana, peta kerawanan dan peta potensi masyarakat dan lingkungan);

385

Penggalangan kerja sama lintas sektor dalam membentuk tim penanggulangan bencana di tingkat kecamatan; Pelayanan gawat darurat sehari-hari sebagai bentuk awal kesiapsiagaan pelayanan gawat darurat bencana, mencakup penerapan Prosedur Tetap (Protap) penanganan korban dan rujukannya, kesiapsiagaan sarana dan prasarana gawat darurat serta peningkatan kapasitas tenaga kesehatan Puskesmas.

Pemberdayaan

masyarakat

melalui

pelatihan,

seperti

kesehatan

lingkungan,

pemberantasan penyakit menular dan penanganan masalah gizi. Simulasi/latihan penanganan bencana Pemantauan lokasi-lokasi rawan bencana. Pada saat bencana, peran Puskesmas lebih difokuskan pada penanganan tanggap darurat dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kegiatan Puskesmas pada fase ini meliputi: 1. Upaya pertolongan pertama pada korban bencana bersama dengan anggota masyarakat yang sudah terlatih (kader kesehatan). Pelaksanaan pertolongan pertama apabila memungkinkan dapat dilakukan di lokasi kejadian dan para korban bencana dikelompokkan sesuai kondisi mereka. Korban bencana yang memerlukan pertolongan segera (syok, gangguan pernafasan dan perdarahan) diberikan label merah; korban yang memerlukan pengawasan, tetapi tidak perlu ditangani segera (luka bakar luas dan gangguan kesadaran) termasuk label kuning; korban dengan luka bakar minor dan trauma psikis dikelompokkan ke dalam label hijau; sedangkan korban bencana yang meninggal dikelompokkan ke dalam label hitam. 2. Penilaian awal secara cepat (Initial Rapid Health Assessment) mencakup pemetaan jenis bencana, siapa yang terkena dampak, jumlah korban (meninggal, hilang dan luka), pemetaan kemampuan petugas kesehatan dan jenis bantuan yang diperlukan. 3. Bergabung dengan Satuan Petugas (Satgas) Pelayanan Kesehatan di Pos Lapangan. Pada kondisi terjadi peningkatan ekskalasi bencana, penanganan gawat darurat diambil alih oleh Satgas penanggulangan bencana yang berada dibawah koordinasi Satuan Pelaksana (Satlak) atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). 4. Pemberdayaan masyarakat dengan mendorong partisipasi kader-kader terlatih dalam melakukan penanganan gawat darurat. Selain dampak langsung, bencana juga menimbulkan dampak tidak langsung terhadap masalah kesehatan penduduk serta mengakibatkan kerusakan lingkungan. Peran

386

Puskesmas pascabencana diarahkan untuk mengatasi masalah kesehatan yang timbul, antara lain: 1. Melakukan surveilans penyakit yang berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB), seperti KLB diare dan kolera akibat tercemarnya sumber air bersih. 2. Pemantauan sanitasi lingkungan untuk menjamin kecukupan dan kualitas air bersih, fasilitas mandi cuci kakus (MCK) serta sarana pembuangan limbah (sampah). 3. Pelayanan kesehatan pascabencana yang diselenggarakan oleh Puskesmas bersama Satgas kesehatan dan dilakukan secara komprehensif (upaya promotif, pencegahan, pemulihan, pelayanan pengobatan dan rujukan). 4. Pemberdayaan masyarakat dalam hal perilaku hidup bersih, sanitasi lingkungan, dan pengendalian vektor penyakit.

3.2 Pelayanan Puskesmas Saat Bencana dan Pascabencana di Kabupaten Bantul 2006 3.2.1 Gambaran Permasalahan Kesehatan Pascabencana Gempa Bantul 2006 Gambaran permasalahan kesehatan akibat adanya gempa 5,9 Skala Richter yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah dapat dilihat dari jumlah korban meninggal dan luka serta rusaknya berbagai fasilitas kesehatan yang ada. Jumlah korban jiwa yang meninggal sekitar 6.595 korban jiwa. Sementara itu, korban luka yang dirawat sebanyak 117.430 orang, jumlah tersebut terdiri dari 91.150 korban rawat jalan dan 26.280 korban rawat inap. Selain itu, terdapat pula korban dengan penyakit/keadaan khusus, yakni 25 orang korban dengan penyakit tetanus dan 55 orang mengalami gangguan kejiwaan. Fasilitas kesehatan di Provinsi DIY yang rusak akibat bencana gempa tersebut, antara lain 14 rumah sakit, satu balai pengobatan, 83 Puskesmas, 150 Puskesmas Pembantu, enam Pondok bersalin Desa (Polindes), 125 rumah dinas, dua kantor dinas, dan enam unit pelaksana teknis (UPT) (The Province of Yogyakarta Planning Board, The District of Bantual Planning Board & UNDP, 2007). Hasil Rapid Health Assessment pada tanggal 15 Juni 2006 mencatat 55,6 persen Puskesmas Induk dan Perawatan mengalami kerusakan berat, begitu juga dengan kondisi Puskesmas Pembantu (53,6 persen) dan rumah dinas dokter dan paramedis (64,8 persen) (http://bondankomunitas.blogspot.com/2006/10/rapid-health-assessment-rha-pasca.html). Permasalahan lain yang terkait dengan kondisi kesehatan masyarakat adalah munculnya berbagai penyakit setelah bencana gempa. Hingga satu bulan lebih setelah

387

kejadian bencana, para korban gempa masih tinggal di tenda-tenda pengungsian dengan fasilitas air bersih yang terbatas dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Kondisi tersebut ditambah dengan banyaknya debu dan nyamuk yang mengakibatkan para korban, terutama balita dan lansia, rentan terkena penyakit gatal-gatal, diare, flu, batuk dan demam. Selain rentan terhadap berbagai penyakit, sebagian korban juga mengalami trauma kejiwaan. Kondisi traumatik tersebut sangat beragam bentuknya, namun gejala umum yang diderita para korban menunjukkan reaksi ketakutan. Berbagai isu dan informasi yang berkembang di masyarakat tentang kemungkinan terjadinya gempa susulan yang lebih besar menimbulkan kepanikan luar biasa di kalangan masyarakat setempat. Beberapa dari mereka tidak mengetahui informasi yang benar mengenai kemungkinan-kemungkinan terjadinya gempa susulan. Aspek kesehatan reproduksi, termasuk perempuan dan pasangan korban gempa, juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Pada saat kejadian bencana, para perempuan yang sedang menstruasi mengalami kesulitan untuk mendapatkan pembalut. Studi Hapsari dkk (2009) yang dilakukan setahun pascagempa Bantul 2006 juga mengidentifikasi meningkatnya prevalensi kehamilan yang tidak direncanakan pada kelompok penduduk yang mengalami kesulitan untuk mengakses pelayanan Keluarga Berencana (KB).

3.2.2 Peran Puskesmas Piyungan dalam Penanganan Bencana Sesaat setelah gempa (hari pertama hingga hari ketiga) Pada hari pertama peristiwa gempa (27 Mei 2006), pelayanan kesehatan di Puskesmas Piyungan dilakukan dalam kondisi kekurangan tenaga medis serta fasilitas dan peralatan yang minim. Bangunan Puskesmas mengalami kerusakan cukup parah di bagian depan dan ruang pemeriksaan. Namun demikian, ruangan tempat menyimpan obat-obatan tidak mengalami kerusakan yang parah, sehingga sebagian besar obat-obatan dan peralatan kesehatan masih bisa diselamatkan. Kegiatan pelayanan kesehatan pada saat bencana dilakukan di tenda darurat yang dibangun di halaman Puskesmas. Karena letaknya yang strategis (Puskesmas Piyungan terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Wonosari), banyak pasien korban gempa dari desa-desa sekitar yang datang ke Puskesmas ini untuk mendapatkan pertolongan. Pelayanan Puskesmas Piyungan pada hari pertama terjadinya gempa diprioritaskan untuk penanganan kegawatdarutatan (emergency) dikarenakan jumlah tenaga kesehatan

388

yang terbatas. Penanganan kegawatdarutatan dilakukan untuk mengurangi bertambahnya korban jiwa. Tenaga kesehatan Puskesmas sudah mulai memilah pasien sesuai dengan kondisi kesehatan mereka yang dilihat dari tingkat keparahan luka/pendarahan. Pasien yang mendapatkan prioritas penanganan adalah pasien label merah, artinya pasien tersebut mengalami luka parah serta keselamatan jiwanya terancam apabila tidak segera diambil tindakan medis yang tepat. Informasi yang diperoleh dari lapangan menyatakan bahwa pada pagi hari tanggal 27 Mei sekitar pukul 7.45 WIB seorang bidan yang tinggal tidak jauh dari Puskesmas terpaksa melakukan tindakan jahit kepala yang luka parah hanya dengan benang jahit biasa. Hal ini dilakukan karena benang jahit untuk luka sulit ditemukan akibat rusaknya ruang obat-obatan karena gempa. Dalam melakukan penanganan korban gempa, para tenaga kesehatan juga dibantu oleh relawan yang umumnya para remaja puteri dan ibu-ibu. Mereka membantu membersihkan luka, menyiapkan obatan-obatan, perban serta alat kesehatan lainnya. Petugas kesehatan dari Puskesmas dan warga bergotong-royong melakukan pelayanan untuk menyelamatkan korban. Setelah korban gempa dengan label merah mendapatkan penanganan darurat, selanjutnya mereka segera dirujuk ke rumah sakit (RS) atau mendapatkan perawatan lanjutan di Puskesmas. Pada hari kedua dan ketiga, berbagai bantuan dari pihak luar sudah mulai berdatangan. RS lapangan atau pos kesehatan (bantuan dari berbagai daerah, ABRI, LSM, perusahaan dsb) juga sudah mulai didirikan. Selain memberikan pelayanan kesehatan pada korban gempa, pihak Puskesmas juga bertugas untuk melakukan koordinasi dengan pihakpihak yang akan mendirikan pos kesehatan. Dalam hal ini, pihak Puskesmas memberikan informasi desa-desa di wilayah kerjanya yang membutuhkan RS lapangan atau pos kesehatan untuk pelayanan korban gempa. Selain itu, pihak Puskesmas juga melakukan koordinasi dengan para relawan (PMI, LSM dan berbagai lembaga keagamaan) yang memberikan bantuan obat-obatan, alat kesehatan serta alat pendukung lainnya. Hingga hari ketiga setelah gempa, stok obat-obatan Puskesmas masih mencukupi untuk melakukan pelayanan. Selain itu, pasokan bantuan obat-obatan dari berbagai pihak untuk Puskesmas juga sudah mulai masuk. Masa tanggap darurat (hari ketiga hingga satu bulan setelah gempa) Kondisi para korban bencana yang meninggal, luka berat dan ringan telah tertangani oleh petugas Puskesmas pada hari pertama sampai pada hari ketiga setelah gempa. 389

Sebagian diantara mereka ada yang dirujuk dan dirawat di berbagai rumah sakit di Yogjakarta dan yang lainnya berobat jalan ke Puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya. Pelayanan Puskesmas tetap dilakukan, umumnya menangani pasien yang tidak memerlukan tindakan emergency, tetapi lebih pada melayani pasien yang memerlukan perawatan lanjutan. Pasien yang datang umumnya dengan keluhan penyakit yang tidak diakibatkan langsung oleh karena kejadian gempa (luka karena benturan, tertimpa benda/bangunan), seperti demam, batuk, pilek, diare dan syok. Masyarakat korban bencana yang selamat dan tidak mengalami luka/perdarahan, syok) tinggal di tenda-tenda darurat yang didirikan di sepanjang jalan desa, kebun/pekarangan dan lapangan. Tenda-tenda darurat jumlahnya terbatas dengan kondisi yang memprihatinkan. Tenda-tenda umumnya dari plastik, terpal dan alas tidur tikar/plastik seadanya. Karena keterbatasan jumlah tenda darurat, warga masyarakat korban gempa mengutamakan para perempuan, terutama balita dan ibunya serta lansia yang tinggal di tenda darurat. Sementara warga lainnya tidur di tempat seadanya, diantara puing-puing rumah yang masih tersisa. Sumber air untuk masak, mandi dan cuci juga terbatas, karena setelah gempa banyak sumur warga yang menjadi keruh airnya dan tidak layak dipergunakan untuk keperluan sehari-hari (memasak, minum dan MCK). Terbatasnya sumber air dan padatnya jumlah korban yang tinggal di tenda darurat menyebabkan sanitasi lingkungan di sekitar tenda memburuk. Hal ini mempengaruhi kondisi kesehatan para korban bencana, ditambah lagi hujan deras terus-menerus beberapa hari setelah gempa. Para korban bencana banyak menderita penyakit demam, flu, batuk, pilek, diare, kejang. Pelayanan kesehatan pada para korban gempa yang tinggal di tenda-tenda darurat dilakukan melalui Pos Kesehatan yang didirikan di sekitar tenda-tenda darurat. Pelayanan kesehatan di Pos Kesehatan umumnya dilakukan oleh para relawan medis dari berbagai lembaga yang datang memberikan bantuan untuk melakukan pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan dari Puskesmas memberikan bantuan pelayanan di Pos Kesehatan yang personilnya masih kurang. Selain itu, petugas kesehatan dari Puskesmas juga berperan memberikan data dan informasi terkait dengan desa dan dusun yang memerlukan bantuan pelayanan kesehatan, kondisi kesehatan masyarakatnya dan sanitasi lingkungan yang ada. Selain pelayanan penyakit fisik, para korban gempa juga perlu mendapatkan

pelayanan untuk mengatasi masalah psikologis seperti trauma dan depresi, terutama pada

390

anak-anak dan orang yang lanjut usia. Kejadian gempa telah membuat sebagian masyarakat trauma karena kehilangan keluarga, harta benda, pekerjaan dan tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari seperti sekolah dan bekerja. Oleh karena itu, perlu adanya pelayanan untuk memulihkan kondisi kesehatan jiwa para korban bencana tersebut. Untuk memberikan pelayanan kesehatan berkaitan dengan pemulihan kondisi kejiwaaan (trauma healing) Puskesmas bekerja sama dengan relawan yang umumnya berasal dari berbagai LSM. Peran Puskesmas termasuk memberikan informasi desa-desa di wilayah kerjanya yang memerlukan bantuan pelayanan trauma healing dari LSM atau lembaga lainnya. Pada masa tanggap darurat, Puskesmas juga berperan melakukan pemantauan dan survelians terhadap beberapa penyakit tertentu yang potensial menjadi KLB. Kegiatan ini dilakukan oleh Puskesmas bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Provinsi. Masa rehabilitasi dan rekonstruksi (Sejak satu bulan sesudah gempa) Setelah masa tanggap darurat berakhir, pelayanan Puskesmas terfokus pada pelayanan kesehatan promotif, seperti pemantauan gizi bayi, balita dan lansia, memonitor kondisi kesehatan reproduksi para perempuan korban gempa, upaya hidup bersih dan pemulihan sanitasi lingkungan. Pemantauan gizi dilakukan berkoordinasi dengan para relawan yang bertugas di tenda-tenda darurat. Kegiatan yang dilakukan oleh petugas

Puskesmas dalam pemantauan gizi antara lain memastikan bahwa bantuan makanan yang diberikan kepada bayi dan balita (seperti susu dan makanan tambahan) cukup memadai bagi para korban bencana. Demikian pula dengan masalah kesehatan reproduksi perempuan, petugas Puskesmas bekerja sama dengan relawan dan pemerintah desa setempat memantau bantuan yang diberikan kepada para korban gempa telah mengakomodasi kepentingan para perempuan untuk menjaga kesehatan reproduksinya (tersedianya pembalut dan pakaian dalam). Untuk pemulihan sanitasi lingkungan petugas Puskesmas juga berkoordiansi dengan relawan dan petugas pemerintah terkait untuk memonitor ketersediaan air bersih dan MCK pada masing-masing lokasi pengungsian. D. Kesimpulan Sebagai lini terdepan dalam pelayanan kesehatan, Puskesmas mempunyai peran penting dalam penanggulangan bencana. Sesuai dengan tugas dan fungsinya peran Puskesmas mencakup dalam tiga tahap penanggulangan bencana, yaitu prabencana, saat

391

bencana (tanggap darurat) dan pascabencana. Pengalaman kejadian gempa di Kabupaten Bantul tahun 2006 menunjukan bahwa dalam masa tanggap darurat Puskesmas mampu berperan melaksanakan fungsinya melakukan penanganan gawat darurat dan pelayanan kesehatan lanjutan serta memfasilitasi kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh para relawan. Pelayanan tersebut dilakukan dengan segala keterbatasan sumber daya manusia, alat kesehatan dan obat-obatan dan sarana penunjang lainya yang sangat tidak memadai karena rusak akibat gempa. Pelayanan gawat darurat yang diberikan oleh salah satu Puskesmas di Kabupaten Bantul ini telah berkontribusi dalam mengurangi jumlah korban jiwa yang meninggal. Dengan segala keterbatasan para petugas Puskesmas melakukan penanganan pertama pada para korban, sebelum dilakukan perawatan lanjutan. Petugas Puskesmas bekerja sama dengan masyarakat melakukan pertolongan pertama (penanganan gawat darurat) pada korban. Ada beberapa faktor yang mendukung kelancaran para petugas Puskesmas melakukan tindakan gawat darurat pada saat terjadi gempa. Faktor yang pertama adalah koordinasi dan kerjasama yang cukup baik antara pimpinan dan personil Puskesmas. Dalam kondisi serba darurat, seluruh personil Puskesmas baik tenaga medis dan non-medis bekerja sama memberikan pertolongan pertama pada setiap pasien korban gempa. Faktor yang kedua adalah adanya partisipasi aktif masyarakat dan relawan dalam membantu penanganan korban. Partisipasi aktif masyarakat dan relawan tersebut antara lain dalam bentuk penyiapan tenda yang dipakai untuk melakukan perawatan sementara karena sebagian bangunan Puskesmas rusak. Selain itu, masyarakat dan relawan juga membantu para petugas kesehatan menangani pasien, seperti menyiapkan alat kesehatan (kapas, obat luka,dan perlengkapan lainnya), membantu membersihkan luka dan menjaga pasien. Masyarakat dan relawan juga terlibat aktif membantu petugas Puskesmas dalam

mengidentifikasi dan mengelompokkan pasien sesuai dengan kondisi lukanya (yang memerlukan penanganan segera dan yang tidak). Bantuan yang diberikan masyarakat juga tidak sebatas dalam penanganan pasien, tetapi termasuk juga memberikan informasi tentang wilayah-wilayah desa dan dusun yang memerlukan bantuan tenaga kesehatan. Hal ini penting agar pihak Puskesmas dapat segera melakukan penanganan kepada wilayah yang memerlukan.

392

Persediaan obat-obatan untuk penanganan gawat darurat sampai tiga hari pelayanan tidak mengalami masalah. Pada hari pertama sampai hari ketiga, persediaan obat-obatan rutin Puskesmas bisa digunakan untuk mendukung penanganan pengobatan di Puskesmas. Pada hari ke empat, sebelum obat-obatan habis, Puskesmas telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Gempa Bantul tidak mengakibatkan kerusakan parah pada sarana dan prasarana tarnsportasi, sehingga pengiriman bantuan makanan dan obat-obatan tidak mengalami kendala.

DAFTAR PUSTAKA

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. 2007. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 145/Menkes/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. DIREKTORAT JENDERAL BINA KESEHATAN MASYARAKAT DEPARTEMEN KESEHATAN. 2006. Pedoman Puskesmas dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta: Departemen Kesehatan. HAPSARI, E. D., WIDYAWATI, NISMAN, W. A., LUSMILASARI, L., SISWISHANTO, R. & MATSUO, H. 2009. Change in Contraceptive Methods Following the Yogyakarta Earthquake and Its Association with the Prevalence of Unplanned Pregnancy. Contraception, 79, 316-322. HIDAYATI, D., WIDAYATUN, TRIYONO, PERMANA, H., TAKAHASHI, M., SHIGEYOSHI, T., & MASATOMO, U. 2011. The Provision of Food for Disaster Victims: Lessons learned from the 2006 Bantul Earthquake. The Investigation Report of 2004 Northern Sumatra Earthquake (Additional Volume), March 2011, Graduate School of Environmental Studies, Nagoya University. NATIONAL PLANNING BOARD (BAPPENAS). 2008. Report on Two Years of Monitoring and Evaluation of the Post Earthquake, May 27, 2006, in the Province of DI Yogyakarta and Central Java. Jakarta: Bappenas. NATIONAL PLANNING BOARD (BAPPENAS), THE PROVINCE OF DI YOGYAKARTA, THE PROVINCE OF CENTRAL JAVA, THE WORLD BANK & ASIAN DEVELOPMENT BANK. 2006. An Assessment of Preliminary Damage and Loss in Yogyakarta & Central Java Natural Disaster. Jakarta: Bappenas, The Province of DI Yogyakarta, The Province of Central Java, The World Bank & Asian Development Bank. PAN AMERICAN HEALTH HEALTH ORGANIZATION. 2000. Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC. PUSAT PENANGGULANGAN MASALAH KESEHATAN SEKRETARIAT JENDERAL DEPARTEMEN KESEHATAN. 2001. Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi, Jakarta, Departemen Kesehatan.

393

PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia. THE PROVINCE OF DI YOGYAKARTA PLANNING BOARD, THE DISTRICT OF BANTUL PLANNING BOARD & UNDP. 2007. Report on Monitoring and 20062007 Evaluation on Rehabilitation and Reconstruction Activities in Bantul. Bantul: The Province of DI Yogyakarta Planning Board, The District of Bantul Planning Board & UNDP. (http://www.merdeka.com/peristiwa/bnpb-90-persen-wilayah-indonesia-rawangempa.html). (http://bondankomunitas.blogspot.com/2006/10/rapid-health-assessment-rha-pasca.html)

394

INVESTIGATION OF AFTER OUTBREAK OF MALARIA IN PANUSUPAN VILLAGE, REMBANG SUB DISTRICT, PURBALINGGA 2009 Devi Octaviana (devoct_1980@yahoo.com)*, Sri Nurlaela (el2_27@yahoo.com)*, Siti Harwanti (harwanti-dewi@yahoo.com)* *: Staff pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK Unsoed ABSTRACT Malaria outbreak in Panusupan Village happened on November 2010 , and 101 people were infected. The aim of this research were to know description of knowledge, attitude and behavior of Panusupan community after Malaria outbreak, and also investigation of mosquito density. Kind of this research was observational with cross sectional design. Data was obtained by questionnaire. Univariate analysis was conducted to know the description of each variable. Result of this research showed that subjek penelitiants knowledge about Malaria that included in good category was 36,4%, whereas the remainder was bad category (63,6%). Subjek penelitiants attitude to Malaria was good category 45,5%, and 54,5% was bad category. 41,8% of subjek penelitiants behavior were good category in order to protect Malaria, and 58,2 % were bad. Density population of Anopheles balabacencis was 0,11 ekor/hour/people and density population of Anopheles barbirostris was 0,08 each/hour/people. Estimated age of Anopheles balabacencis was 12 days and Anopheles barbirostris was 4 days. Community of Village should improve their knowledge, attitude and behavior to protect vector borne disease such as Malaria. Public Health Center should be aware to conduct fast and prompt treatment if there were a vector borne disease, because Panusupan village is potential area for transmission of vector borne disaese. Key word : Malaria, knowledge, attitude, behavior, Mosquito Density

INTISARI Kejadian Luar Biasa (KLB) malaria terjadi pada Bulan November 2010 di Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga. Pasca KLB yang terjadi seharusnya masyarakat sudah lebih mengetahui tentang penyakit ini seperti penyebab, penularan dan cara pencegahannya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana gambaran sikap, pengetahuan , perilaku dan kepadatan populasi nyamuk Anopheles Pasca KLB. Jenis Penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan crossectional. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan penangkapan nyamuk. Jumlah sampel adalah 55 orang dipilih melalui metode proporsional random sampling. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari variabel pengetahuan, sikap dan perilaku. Hasil analisis univariat diketahui sebagian besar responden memiliki pengetahuan buruk (63,6%), sikap buruk (54,5%) dan perilaku buruk (58,2%).. Angka kepadatan populasi nyamuk Anopheles balabacencis 0,11 ekor/jam/orang dan Anopheles barbirostris 0,08 ekor/jam/orang. Perkiraan umur nyamuk Anopheles balabacencis 12 hari dan Anopheles barbirostris 4 hari. Saran bagi masyarakat perlu meningkatkan

395

pencegahan terhadap gigitan nyamuk dan bagi Puskesmas waspada apabila terjadi penyakit tular vektor nyamuk dengan penanggulangan yang cepat dan tepat karena Desa Panusupan mempunyai potensi untuk penyebaran penyakit tular vektor nyamuk yang cepat. Kata Kunci : KLB Malaria, Pengetahuan, Sikap, Perilaku,

A. Latar Belakang Meningkatnya kasus penyakit Malaria, bahkan menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di berbagai daerah di Indonesia harus mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak. Dampak yang ditimbulkan penyakit ini memang tidak menyebabkan kematian, karena termasuk self limiting disease (dapat sembuh sendiri), tetapi Malaria tetap menyebabkan masalah kesehatan dan menganggu produktivitas kerja. Penyakit tropis ini disebabkan oleh Malaria virus (CHIKV) yang ditularkan oleh vektor utamanya yakni nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus (Pialoux et al., 2007; Powers dan Logue, 2007). Terjadinya KLB di Kabupaten Purbalingga menyita perhatian banyak pihak baik Dinas Kesehatan maupun Pemerintah Kabupaten (Pemkab) karena belum pernah ada KLB Malaria sebelumnya di kabupaten ini. Munculnya penyakit yang masih belum banyak dikenal warga masyarakat ini pertama kali terdeteksi pada Bulan Desember 2008 di Desa Argosari Kecamatan Ayah. KLB Malaria tersebut menyebabkan 42 kasus Malaria dengan Case Fatality Rate (CFR) 0%. Kasus Malaria yang terjadi di daerah pegunungan tersebut kemudian menyebar ke berbagai daerah di sekitarnya, bahkan ke berbagai kecamatan di Kabupaten Purbalingga. Data Dinas Kesehatan Purbalingga sampai Juli 2009 mencatat terjadinya 1962 kasus di 10 kecamatan di kabupaten tersebut (Dinkes Purbalingga, 2009). Salah satu desa yang banyak ditemukan kasus Malaria adalah desa Panusupan. Kasus KLB Malaria di Desa Panusupan terjadi pada Bulan Februari Tahun 2009 dengan mengakibatkan 117 kasus. Desa Panusupan termasuk ke dalam wilayah kerja Puskesmas Rembang II yang pada Bulan Februari 2009 terdapat 6 desa di wilayah kerja tersebut yang terjangkiti penyakit Malaria. Kasus terakhir Malaria tercatat pada Bulan Juli Tahun 2009 di

Kecamatan Kutowinangun dan sampai sekarang belum ada catatan kasus baru. Berbagai upaya sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Purbalingga serta pihak yang terkait guna menanggulangi KLB Malaria, antara lain penyelidikan epidemiologi, penyuluhan, pengobatan masal, abatisasi selektif dan pengasapan sesuai kriteria (Dinkes Purbalingga, 2009). 396 Pasca KLB yang terjadi seharusnya masyarakat sudah lebih

mengetahui tentang penyakit ini seperti penyebab, penularan dan cara pencegahannya. Pengetahuan yang ada diharapkan dapat diaplikasikan dalam bentuk perilaku masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan melakukan 3M plus. Perilaku pencegahan terhadap penyakit tular vektor nyamuk ini diharapkan dapat menurunkan keberadaan jentik nyamuk sebagai vektor dari penyakit ini. Berdasarkan hal tersebut peneliti. Hal tersebut menarik untuk diteliti mengingat penyakit ini tergolong penyakit baru di daerah tersebut dan dengan terjadinya KLB seharusnya masyarakat lebih banyak informasi yang telah didapat. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengungkap gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di Desa Panusupan Kecamatan Rembang, Purbalingga pasca terjadinya KLB.

B. Subjek dan Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah observasional deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengandalkan pengamatan murni dari lingkungan tanpa melakukan perlakuan atau kontrol terhadap lingkungan maupun subyek penelitian. Desain penelitiannya adalah rancangan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga pada selama Bulan Maret 2012. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi pertanyaan yang akan berpokok pada tiga hal yakni pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang penyakit Malaria. Kuesioner yang akan digunakan sebelumnya

dilakukan uji validitas dan realibilitasnya. Uji tersebut dilaksanakan di Desa Sumampir Kecamatan Rembang pada 30 subjek penelitian. Pengambilan lokasi Desa Kenteng sebagai tempat ujicoba kuesioner karena Desa Kenteng juga terjangkiti penyakit Malaria pada bulan yang sama dan masih berada pada wilayah kerja Puskesmas II Rembang dan mempunyai karakteristik masayarakat yang hampir sama dengan Desa Panusupan (Kecamatan Rembang, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Kepala Keluarga (KK) di Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga yakni sebanyak 663 KK. Penentuan jumlah sampel ditentukan dengan tehnik pengambilan sampel secara berkelompok (cluster random sampling). Besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini dihitung dengan rumus minimal sample size karena pertimbangan waktu, tenaga dan

397

biaya. Jumlah sampel minimal sejumlah 64 orang. didistribusikan ke dua RW yakni RW II dan RW III.

Jumlah tersebut kemudian

C. Hasil Penelitian Hasil penelitian di Desa Panusupan diperoleh dengan pengambilan data kepada subjek penelitian mengenai pengetahuan dan sikap terhadap penyakit Malaria serta perilakunya dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit tersebut. Data kuesioner tersebut dianalisis univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing variabelnya. 1. Pengetahuan Subjek penelitian Tentang Malaria Pengetahuan subjek penelitian tentang penyakit Malaria diukur berdasarkan kemampuan subjek penelitian dalam menjawab pertanyaan kuesioner yang diajukan tentang penyakit Malaria. Hal tersebut antara lain mencakup penyebab penyakit, penularan

penyakit, vektor penyakit, gejala-gejala penyakit, perbedaan Malaria MALARIA, cara pencegahan dan penanggulangannya. Sebanyak 17 pertanyaan tersebut diharapkan dapat menggambarkan pengetahuan subjek penelitian terhadap Malaria. Penyebab penyakit

Malaria masih sangat banyak yang menjawabnya adalah nyamuk padahal penyakit ini disebabkan oleh virus Malaria. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena istilah virus masih asing di masyarakat desa. Penularan penyakit dan bagaimana cara penularan masih merupakan poin yang patut mendapat perhatian karena beberapa subjek penelitian yang menjawab penyakit Malaria merupakan penyakit yang tidak menular. Ketidaktahuan

tentang cara penularan penyakit Malaria dapat memungkinkan masyarakat tidak waspada dengan banyaknya vektor nyamuk di rumah mereka ataupun di hutan pinus di sekitar desa tersebut. Hasil analisis univariat pengetahuan subjek penelitian terlihat pada Gambar 1.

398

Gambar 1. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Subjek penelitian di Desa Panusupan Tentang Penyakit Malaria

Pengetahuan masyarakat Desa Panusupan mengenai penyakit Malaria pasca KLB yang sudah baik baru sebesar 57.8% (37 subjek penelitian), sedangkan yang masih buruk sebesar 42.2% (27 subjek penelitian). Masih banyaknya subjek penelitian yang mempunyai pengetahuan kurang/buruk tentang penyakit Malaria perlu dicermati mengingat Desa Panusupan sudah mengalami KLB Malaria pada Bulan Februari 2009.

2. Sikap Subjek penelitian Terhadap Malaria Respon atau tanggapan yang masih dalam bentuk perilaku tertutup ini diwujudkan dalam sikap seseorang terhadap sesuatu. Sikap subjek penelitian terhadap penyakit Malaria dinilai dengan tingkatan kategori sikap yang baik dan buruk. Sikap subjek penelitian yang dinilai antara lain sikap subjek penelitian mengenai keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan Malaria, sikapnya menanggapi bila penyakit ini tidak usah terlalu diperhatikan karena tidak menimbulkan kematian, sikapnya terhadap berbagai upaya pencegahan dan beberapa poin pertanyaan seperti yang tercantum dalam kuesioner. Hasil analisis sikap subjek penelitian terhadap penyakit Malaria terlihat pada Gambar 2.

48,4

51,6

baik

buruk

Gambar 2. Distribusi Frekuensi Sikap Subjek penelitian terhadap Penyakit Malaria di Desa Panusupan

399

Sikap subjek penelitian dengan kategori baik yakni dalam mempunyai persepsi, anggapan dan pilihan sikap yang baik dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulan Malaria sebesar 51,6% (33 subjek penelitian), sedangkan sikap yang buruk/tidak mendukung sebesar 48, 4% (31 subjek penelitian). Perbandingan yang tidak terlalu besar ini mencerminkan belum munculnya kesadaran dalam mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan Malaria.

3.

Perilaku Subjek penelitian dalam Upaya Pencegahan dan Penganggulangan Malaria Upaya subjek penelitian dalam mencegah agar tidak tertular penyakit Malaria serta

upaya penanggulangan bila terjangkit Malaria terwujud dalam tindakan nyata yang dinilai sebagai perilaku. Perilaku subjek penelitian tersebut meliputi cara pencegahan yang

dilakukan seperti upaya mencegah gigitan nyamuk, upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) serta upaya pencarian pelayanan kesehatan apabila terjangkit Malaria. analisisnya terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perilaku Subjek penelitian di Desa Panusupan dalam Upaya pencegahan dan penanggulangan Malaria No Perilaku Frekuensi (orang) Persentase (%) 1 Baik 40 62.5 2 Buruk 24 37.5 Total 64 100% Perilaku subjek penelitian yang baik yakni melakukan tindakan nyata untuk mencegah gigitan nyamuk seperti memakai obat nyamuk, kasa dan upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN) seperti mengubur barang-barang bekas, menguras bak mandi dan lain-lain. Berdasarkan Tabel 1, subjek penelitian dengan kategori mempunyai perilaku yang baik sebesar 62.5%, sedangkan yang masih mempunyai perilaku yang buruk sebesar 37.5%. Hasil

D. Pembahasan 1. Pengetahun Subjek penelitian Tentang Malaria Berdasarkan analisis hasil univariat mengenai pengetahun subjek penelitian tentang Malaria pasca KLB, hanya 57, 8% yang mempunyai pengetahuan yang baik, sementara sisanya (42,2%) masih berpengetahuan buruk. Pengetahuan tentang Malaria yang baik tercermin dalam kemampuan menjawab kuesioner tentang penyakit Malaria seperti 400

penyebab, gejala, vektor, dan cara pencegahannya. Hasil analisis ini harus dicermati mengingat tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di desa yang sebelumnya dinyatakan sebagai desa KLB Malaria. Desa Panusupan pada Bulan Februari 2009 mengalami KLB Malaria dengan 117 kasus, walaupun CFRnya 0%. Kasus Malaria ini memang merebak di hampir seluruh wilayah Kabupaten Purbalingga dengan menjangkiti 10 Kecamatan. Di wilayah Kecamatan Rembang sendiri 7 Desa dari 16 Desa di kecamatan tersebut terjangkit Malaria. Banyaknya kasus dan daerah yang terkena Malaria seharusnya membuat

masyarakat menjadi lebih waspada dan lebih tahu mengenai penyakit ini. KLB Malaria di Desa Panusupan merupakan kasus lanjutan dari beberapa desa di sekitar desa tersebut yang telah terlebih dahulu terjangkit Malaria yakni Desa Somagede, Kenteng, Kedungwringin, dan Bonosari (Dinkes Purbalingga, 2009). Kecepatan

penyebaran kasus Malaria dimungkinkan akibat mobilitas penduduk yang tinggi seiring dengan baiknya transportasi. Tindakan cepat tanggap sudah dilakukan berbagai pihak terkait termasuk Dinkes Purbalingga untuk menanggulangi KLB Malaria di antaranya pengobatan masal, abatisasi, 3M plus, dan penyuluhan. Menurut keterangan Kepala Desa Panusupan dan Dinkes Purbalingga sudah pernah dilakukan penyuluhan tentang penyakit Malaria di Desa Panusupan, salah satu caranya dengan pemutaran video. Upaya tersebut seharusnya mampu meningkatkan pengetahuan warga tentang Malaria dengan tujuan agar lebih waspada dan dapat meningkatkan perilakunya dalam mencegah dan menanggulangi Malaria. Sebesar subjek penelitian 42,2 % masih mempunyai pengetahuan yang buruk dan angka ini masih tergolong tinggi. Masih banyak warga yang belum tahu penyebab Malaria, bagaimana penularannya, vektor penyakit dan pencegahannya. Hal ini terlihat cukup

memprihatinkan mengingat banyak subjek penelitian yang diwawancarai merupakan penderita Malaria yang sudah sembuh, atau mempunyai anggota keluarga yang pernah terjangkit Malaria ataupun merupakan tetangga dekat dari penderita Malaria. Seperti disebutkan oleh Sarwono (1993), pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman sendiri ataupun orang lain, dalam hal ini anggota keluarga atau tetangga dekat. Penyuluhan yang telah dilakukan oleh pihak terkait juga merupakan sumber informasi yang dapat meningkatkan pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Sumber-sumber informasi tersebut

nampaknya belum berkorelasi positif terhadap pengetahuan masyarakat mengenai penyakit Malaria.

401

Fakta mengenai pengetahuan ini mungkin juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan subjek penelitian yang sebagian besar hanya tamatan SD (73, 4%). Pendidikan

mempengaruhi pengetahuan seseorang dan juga daya serap akan informasi yang diberikan. Sebagai contoh fakta di lapangan pada saat proses wawancara, banyak sekali subjek penelitian yang menjawab pencegahan Malaria yaitu dengan makan telor asin dan minum susu. Hal tersebut menunjukkan daya serap akan informasi serta pemahaman subjek Peneliti memperkirakan informasi dari penyuluhan tersebut

penelitian masih kurang.

adalah upaya mempercepat penyembuhan dengan banyak makan makanan yang bergizi, minum susu, vitamin dan banyak istirahat sebagai upaya mempercepat penyembuhan. Perbedaan pencegahan penyakit dan pengobatan atau penanggulangan masih belum dimengerti warga. Hal lain misalnya mengenai ciri-ciri nyamuk penularnya rata-rata

mereka mengatakan nyamuknya besar dan berwarna hitam sesuai dengan video animasi yang ditonton pada saat penyuluhan. Gambaran animasi yang berbeda dengan visualisasi nyata di lapangan masih belum dipahami penuh oleh warga. Terjadinya KLB Malaria di suatu daerah memang tidak serta merta dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilakunya terhadap penyakit tersebut. Hal inipun dapat terlihat bahkan pada daerah endemis penyakit tertentu yang belum tentu meningkatkan pengetahuannya. Seperti penelitian Sucitrawati (2008), menyebutkan tidak ada perbedaan pengetahuan PSN kelurahan endemis dan non endemis MALARIA. Penelitian tersebut membuktikan bahwa endemisitas terhadap penyakit tertentu tidak langsung berkorelasi dengan tingkat pengetahuannya. Hal tersebut kemungkinan bisa juga terjadi seperti pada penelitian ini, bahwa daerah yang sudah terkena KLB Malaria tidak mempengaruhi secara signifikan tingkat pengetahuan masyarakatnya tentang penyakit Malaria. Perbedaan secara pasti pra dan pasca KLB tidak bisa ditentukan karena tidak dilakukan pengukuran sebelum terjadinya KLB sehingga perbandingannya tidak bisa diukur.

2. Sikap Subjek penelitian terhadap Penyakit Malaria Sikap subjek penelitian pasca KLB Malaria yang termasuk dalam kategori baik berdasarkan hasil analisis sebesar 51,6%, tidak berbeda jauh dengan jumlah subjek penelitian yang mempunyai sikap yang buruk terhadap penyakit Malaria (48, 4%). Fakta ini mencerminkan bahwa masih banyak warga desa yang secara persepsi dan responnya

402

terhadap penyakit ini masih kurang baik. Ada sebagian subjek penelitian yang menilai bahwa karena penyakit Malaria tidak terlalu berbahaya dengan bukti tidak adanya kematian membuat warga desa tidak begitu menaruh perhatian yang serius terhadap penyakit ini. Sikap mereka terhadap upaya-upaya pencegahan juga masih belum baik. Sikap seseorang terhadap suatu penyakit terkadang mempengaruhi perilakunya dalam melakukan pencegahan atau penanggulangan suatu penyakit. Seperti hasil penelitian Fathi et al. (2005) yang mengungkapkan bahwa semakin masyarakat bersikap tidak serius dan tidak berhati-hati terhadap penyakit MALARIA maka akan semakin bertambah risiko terjadinya penularan penyakit. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung atau memihak (unfavourable) pada obyek tersebut. Secara sederhana, sikap dapat dikatakan adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit MALARIA maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya KLB penyakit. Hal ini juga ditegaskan oleh penelitian Santoso dan Budiyanto (2008), bahwa ternyata ada hubungan yang signifikan antara tingkat sikap subjek penelitian dengan perilaku subjek penelitian

3. Perilaku Subjek penelitian dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Malaria Hasil penelitian pada perilaku subjek penelitian terlihat bahwa perilaku subjek penelitian dalam upaya pencegahan dan penanggulangan Malaria pasca KLB yang sudah tergolong baik sebesar 62.5%, sedangkan yang masih buruk sebesar 37.5%. Pengamatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat Desa Panusupan dimaksudkan untuk melihat gambaran hal-hal tersebut setelah desa tersebut mengalami KLB Malaria. Daerah yang sudah pernah terjangkiti Malaria secara logika akan mempunyai pengetahuan, sikap dan perilaku yang lebih baik. Masih 37.5% warga Desa Panusupan yang masih mempunyai perilaku dalam upaya pencegahan dan penanggulangan Malaria yang masih buruk. Perilaku dalam upaya pencegahan yakni dengan melaksanakan PSN masih rendah. Kaleng-kaleng bekas yang tidak dikubur, drum-drum yang dibiarkan di luar rumah tergenangi air masih banyak ditemukan di sekitar rumah warga yang diamati. Hal tersebut berisiko karena dapat sebagai tempat perindukan nyamuk. Tempat potensial untuk perindukan nyamuk Aedes sp adalah Tempat Penampungan Air (TPA) yang digunakan sehari-hari, yaitu drum, bak mandi, bak WC, gentong, ember dan lain-lain. Tempat perindukan lainnya yang non TPA 403

adalah vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung, tempat sampah dan lainlain, serta TPA alamiah, yaitu lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang batu, dan lain-lain (Sugiyanto, 2004). Perilaku subjek penelitian Desa Panusupan yang 37, 5 % masih buruk dapat berpengaruh terhadap kepadatan populasi nyamuk. Penelitian ini memang tidak mengukur hubungan antara perilaku dengan kepadatan populasi nyamuk, namun adanya kemungkinan tersebut didasarkan pada beberapa hasil penelitian. Seperti menurut Widagdo et al (2008) yang menyatakan bahwa praktik pemberantasan jentik akan berpengaruh terhadap kepadatan jentik, juga terdapat hubungan antara kecenderungan House Index (HI) dan Container Index (CI) sebelum dan sesudah uji coba peran serta masyarakat dalam upaya PSN. Analisis penelitian dari Kasdi (2003) menyatakan bahwa pada masyarakat dengan PSN 3M plus yang buruk, akan beresiko 8,13 x lebih besar untuk terkena penyakit tular vektor. Perilaku seseorang biasanya didasari oleh pengetahuannya. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih berkelanjutan daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Oleh karena itu, misalnya perilaku menguras bak mandi dengan menyikat dindingnya akan berkelanjutan apabila si pelaku tahu bahwa kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan telur-telur nyamuk yang mungkin menempel pada dinding bak mandi (Rochim, 2001). Perilaku terhadap pencegahan dalam melakukan PSN tercermin dalam ABJ Desa Panusupan yang mencapai 68, 75%.

E. Simpulan dan Saran 1. Simpulan a. Pengetahuan subjek penelitian tentang Malaria pasca KLB yang baik sebesar 57,8 %, sedangkan yang termasuk kategori buruk sebesar 42,2%. b. Sikap subjek penelitian terhadap Malaria pasca KLB yang termasuk kategori baik sebesar 51,6 %, sedangkan sikap yang buruk sebesar 48, 5%. c. Perilaku subjek penelitian dalam upaya pencegahan dan penanggulangan Malaria yang tergolong baik pasca KLB Malaria sebesar 62,5 % sedangkan sisanya (37,5 %) masih berperilaku yang buruk.

404

2. Saran a. Kepada Masyarakat Desa Panusupan 1) Menggiatkan kegiatan PSN khususnya mengubur ataupun mendayagunakan kaleng-kaleng bekas, ban bekas, drum dan benda-benda lain di sekitar rumah agar tidak menjadi tempat potensial untuk perindukan nyamuk. PSN terus dilakukan untuk meningkatkan ABJ sehingga mengurangi risiko terjadinya penyakit tular vektor seperti Malaria, Demam Berdarah dan Malaria. 2) Mewaspadai kebun salak sebagai sumber perindukan nyamuk sehingga pekerja kebun hendaknya terus melakukan perlindungan diri seperti memakai baju panjang dan obat nyamuk oles. b. Kepada Puskesmas Rembang II 1) Memberikan sosialisasi misalnya dalam bentuk penyuluhan secara kontinu kepada masyarakat tentang penyakit Malaria dan juga penyakit lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilakunya sehingga dapat mencegah terjadinya kasus penyakit tular vektor nyamuk. 2) Mewaspadai apabila terjadi penyakit tular vektor nyamuk dengan penanggulangan yang cepat dan tepat karena Desa Panusupan mempunyai potensi untuk penyebaran penyakit tular vektor nyamuk yang cepat. 3. Kepada Dinas Kesehatan Purbalingga Terus meningkatkan kerjasama lintas sektor serta penanganan yang cepat tanggap untuk mencegah dan menanggulangi penyakit tular vektor nyamuk seperti Malaria, Demam Berdarah, dan Malaria untuk menghindari terjadinya kasus ataupun Kejadian Luar Biasa.

DAFTAR PUSTAKA

Desa Panusupan. 2009. Potensi Desa Panusupan. Panusupan, Rembang Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. Data Kejadian Luar Biasa Malaria Tahun 20082009. Dinkes Purbalingga, Purbalingga. Fathi., Keman, S dan Wahyuni, C. U. 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue di Kota Mataram. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 2 No 1 : 20-26.

405

Kasdi, M. 2003. Analisis Faktor Risiko Terhadap Kejadian MALARIA di Kota Bontang Tahuh 2003, (online). http://www.Litbang.depkes.go.id?maskes/ 0s2004?demamberdarah.htm. Diakses 30 November 2009 Kecamatan Rembang. 2008. Rembang, Purbalingga. Kecamatan Rembang Dalam Angka Tahun 2008/2009.

Notoatmodjo, S. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta. Pialoux, G, Gauzere, B.A, Jaureguiberry, S and Strobel, M. 2007. Malaria : An Epidemic Arbovirosis. The lancet Vol 7 p 319-325. Powers A.M, Brault A.C, Tesh RB dan Weaver SC .2000. Re-emergence of Malaria and Onyong-nyong Viruses: Evidence for Distinct Geographical Lineages and Distant Evolutionary Relationships. J Gen Virol 81: 471479. Powers, A. M and Logue, C. H. 2007. Changing Patterns of Malaria Virus : ReEmergence of Zoonotic Arbovirus. Journal of General Virology, 88, 2363-2377. Rochim, M. A. 2001. Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap kepala Keluarga Mengenai Penyakit Demam Berdarah Dengue (MALARIA) dengan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di Kompleks Perumahan Purwokerto Indah Kabupaten Kendal. Skripsi. Jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Jenderal Soedirman. Santoso dan Budiyanto. 2008. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku (PSP) Masyarakat Terhadap Vektor MALARIA di Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2, Agustus 2008 : 732 739 Sarwono, S. 1993. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Gadjah Mada University Press, Jogyakarta. Sucitrawati, I.G.A.M. 2008. Perbedaan Perilaku Masyarakat tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Aedes aegypti dan Keberadaan Jentik pada Desa Endemis dan Non Endemis MALARIA (Studi di Di Wilayah Kerja Puskesmas Gianyar I Kabupaten Gianyar Tahun 2008). Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Widagdo, L., Husodo, B.T dan Bhinuri. 2008. Kepadatan Jentik Aedes aegypty Sebagai Indikator Keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (3M Plus) di Keluarahan Srondol Wetan Semarang. Makara Kesehatan Vol 12 No 1 :13-19

406

TANTANGAN ASPEK SOSIAL EKONOMI DALAM ERADIKASI PENYAKIT KUSTA DI INDONESIA : STUDI EKSPLORASI ASPEK SOSIAL EKONOMI PELAYANAN PENGOBATAN PENYAKIT KUSTA DI CIREBON 2011 Dadun1, Irwanto2, Rita Damayanti3
1. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, Pusat Kajian Disablilitas FISIP Universitas Indonesia dan PhD student VU University Amsterdam. 2. Pusat Kajian Disablilitas FISIP Universitas Indonesia 3. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.

ABSTRAK Pendahuluan. Sepuluh tahun terakhir dalam setahun rata-rata sekitar 17.000 kasus baru kusta terdeteksi di Indonesia. Kusta dikenal sebagai penyakit menular dengan dampak merugikan, yaitu menimbulkan kecacatan dan stigma. Kedua hal ini menyebabkan isolasi diri dan pengucilan pada sebagian besar orang yang pernah seddang mengalami kusta. Kondisi ini kebanyakan akan berujung pada penurunan status sosial ekonomi atau menjadi lebih miskin, lebih buruk lagi karena sebagian besar pada awalnya sudah tergolong miskin. Keadaan ini membuat setiap usaha untuk mendukung dan mengobati penderita kusta menghadapi tantangan lebih kompleks daripada penyakit menular lainnya. Studi ini merupakan bagian dari asesment dalam SARI Project Cirebon, sebuah kegiatan intervensi yang bertujuan mengurangi stigma terhadap orang yeng pernah sedang mengalami kusta. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif terhadap 90 informan orang pernah atau sedang mengalami kusta dan petugas kesehatan di kabupaten Cirebon. Diskusi kelompok terpadu dan wawancara mendalam dilakukan pada kedua kelompok informan. Studi ini mencoba mengeksplorasi sisi provider (supply), dan klien (demand) dan mengurai aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi pelayanan penyakit kusta di Indonesia. Hasil studi menunjukkan pelayanan pengobatan dari sisi pasien masih terkendala oleh adanya stigma khususnya internal stigma, perlakuan dari lingkungan yang didasari kurangnya pengetahuan dan faktor kemiskinan. Keadaan menjadi lebih terkendala dengan sejumlah kecil perilaku petugas kesehatan yang tidak mendukung proses pengobatan serta kurangnya hubungan interpersonal yang baik antara petugas dan pasien. Semua hal tersebut membuat orang yang pernah sedang mengalami kusta enggan memulai atau meneruskan pengobatan. Situasi ini tentunya tidak akan mendukung upaya eradikasi penyakit kusta di Indonesia. Kesimpulan aspek sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap pengobatan penyakit kusta sehingga perlu ada upaya untuk menyentuh aspek sosial ekonomi pasien agar upaya pengentasan penyakit kusta dapat terealisasi. Pengurangan stigma , peningkatan pengetahuan masyarakat dan perbaikan kondisi status ekonomi diharapkan dapat mengatasi persoalan aspek sosial ekonomi ini. Keywords : kusta, stigma, sosial ekonomi.

407

FAKTOR RISIKO PENULARAN TUBERKULOSIS PADA KONTAK SERUMAH PENDERITA TB PARU BTA + DI KOTA MATARAM PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2010 (*Heri Sutowo,**Chatarina U.W) *Badan Narkotika Nasional Kota Mataram ** Dosen FKM Universitas Airlangga Surabaya ABSTRACT Latar belakang: Penyakit TB Paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 2009 jumlah penderita TB Paru BTA + di Kota Mataram sebanyak 280 orang dengan prevalensi kasus sebesar 0,079%, sedangkan cakupan penemuan penderita (CDR) adalah sebesar 58,72%, dengan tingkat kesembuhan sebesar 87%. Tujuan : penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko penularan Tuberkulosis pada kontak serumah penderita TB Paru di Kota Mataram Propinsi Nusa Tengara Barat Tahun 2010. Metode : penelitian ini merupakan penelitian Observasional yang bersifat analitik dengan study Cross Sectional. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 135 responden. Data diambil dengan melakukan pengukuran, pemeriksaan dan wawancara menggunakan Kuisioner, dianalisis dengan uji regresi logistik. Hasil : Hasil analisis multivariat dengan uji regresi ganda didapatkan 4 variabel yang masuk dalam model yaitu kelembaban rumah OR (CI 95%)= 4,89; p = 0,033, kebiasaan merokok OR (CI 95%)= 3,88 ; p = 0,040, tingkat keparahan penderita TB Paru OR (CI 95%)= 9,96; p = 0,001, dan status gizi OR (CI95%)=10,94 ; p = 0,000. Pengaruh variabel independen terhadap risiko penularan TB Paru terhadap anggota kontak serumah penderita TB Paru BTA+ diprediksi adalah sebesar 81,6%. Saran : Konsep untuk penanggulangan TB Paru sebaiknya bukan hanya melakukan pengobatan dengan strategi DOTS saja, namun harus melakukan intervensi pada faktorfaktor risiko penyebab Tuberkulosis sebagai upaya pencegahan, peningkatan penyuluhan dan promosi serta peningkatan pelayanan pengobatan. Keyword : TB Paru, Perilaku, Lingkungan rumah, pelayanan kesehatan, status gizi

SUMMARY Menurut Depkes RI (2007) penyakit Tuberkolusis merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. WHO memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi oleh bakteri Mycobacterium Tuberkolusis. Secara nasional Prevalensi TB.Paru adalah 210/100.000 penduduk dan target yang harus dicapai tahun 2008 adalah 70% dari kasus yang diperkirakan dari prevalensi tersebut. Pada tahun 2009 jumlah

408

penderita TB Paru BTA + di Kota Mataram sebanyak 280 orang dengan prevalensi kasus sebesar 0,079%, sedangkan cakupan penemuan penderita (CDR) adalah sebesar 58,72%, dengan tingkat kesembuhan sebesar 87%. Bila dilihat angka kesembuhan pengobatan TB Paru dikota Mataram sebesar 87% sudah diatas target cakupan secara nasional yaitu sebesar 85%, namun penemuan penderita masih belum mencacapi target nasional sebesar 70 %, selain itu angka penemuan penderita belum terdapat penurunan yang bermakna penurunan hanya sebesar 1 % persen dibandingkan tahun lalu (58 %). Salah satu sebab belum tercapainya target tersebut salah satu penyebabnya adalah belum teridentifikasi secara jelas kelompok-kelompok resiko dan bagaimana pola penularannya sehingga kemungkinan masih banyak terdapat penderita laten TB Paru. Menurut Thomas C. Timreck (2005) bahwa dalam konsep epidemiologi dikenal adanya segitiga epidemiologi dimana dalam konsep ini memperlihatkan interaksi dan ketergantungan satu sama lainnya yaitu antara lingkungan , pejamu, agens dan waktu. Model segitiga epidemiologi ini digunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan setiap faktor dalam epidemiologi penyakit menular, yaitu pengaruh, reaktivitas dan efek yang dimiliki setiap faktor terhadap faktor yang lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui apa saja faktor risiko penularan Tuberkulosis pada kontak serumah penderita TB Paru di Kota Mataram Propinsi Nusa Tengara Barat Tahun 2010, sehingga nantinya dapat digunakan sebagai acuan tidak saja dalam menemukan dan mengobati penderita TB Paru, akan tetapi juga dapat digunakan sebagai mengambil suatu kebijakan guna mencegah penularan penyakit Tuberkulosis. Penelitian ini sesuai dengan tujuan dan permasalahan penelitian merupakan penelitian Observasional yang bersifat analitik dengan study Cross Sectional. Penelitian dilakukan di wilayah Kota Mataram Propinsi Nusa Tenggara Barat pada bulan Januari sampai Juni 2010. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 135 responden yang berasal dari anggota keluarga kontak serumah penderita TB Paru BTA+. Pengambilan sampel dilakukan dengan metoda Stratified Random Sampling Hasil penelitian terhadap faktor risiko penularan TB Paru pada kontak serumah penderita TB Paru BTA+ yang didapatkan hasil : faktor karakteristik individu yang meliputi jenis kelamin OR (CI 95%)= 2,667 p = 0,024, pendidikan OR(CI 95%)=2,99 ; p = 0,041, Status Gizi OR(CI 95%)=11,41 ;p = 0,000), hubungan kekerabatan OR(CI 95%)= 3,750 ; p = 0,012, faktor karakteristik penderita yang meliputi tingkat keparahan penderita

409

OR(CI 95%)=12,55; p= 0,000), keteraturan minum obat OR(CI 95%)= 7,27; p = 0,001 faktor perilaku yang meliputi kebiasaan merokok OR(CI 95%)= 5,50; p = 0,001, kebiasaan meludah sembarang OR(CI 95%)= 3,24; p = 0,008, faktor kondisi lingkungan yang meliputi kelembaban OR(CI 95%)= 12,98; p = 0,000), pencahayaan OR(CI 95%)= 10,56; p = 0,000), ventilasi OR(CI 95%)= 2,62; p = 0,024, kepadatan penghuni OR(CI 95%)= 5,41; p = 0,000) serta pendapatan keluarga OR(CI 95%)=3,00 ; p = 0,010) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penularan TB Paru pada kontak serumah. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik berganda yaitu pengujian terhadap variabel-variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap penularan TB Paru yang dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan suatu model yang fit maka didapatkan 4 variabel yang masuk dalam model yaitu kelembaban rumah OR (CI 95%)= 4,89; p = 0,033, kebiasaan merokok OR (CI 95%)= 3,88 ; p = 0,040, tingkat keparahan penderita TB Paru OR (CI 95%)= 9,96; p = 0,001, dan status gizi OR (CI95%)=10,94 ; p = 0,000. Pengaruh variabel independen terhadap risiko penularan TB Paru terhadap anggota kontak serumah penderita TB Paru BTA+ diprediksi adalah sebesar 81,6%. Penularan TB paru pada kontak serumah penderita TB Paru BTA + berhubungan dengan tingkat keparahan dari penderita TB Paru atau dengan kata lain semakin banyak konsentrasi kuman yang dikeluarkan penderita TB Paru lewat percikan batuk atau dahak pada lingkungan perumahan responden. Kebiasaan merokok dalam rumah penderita TB Paru turut menurunkan kwalitas udara dimana akan menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi. Ditunjang dengan kondisi lingkungan fisik rumah yaitu kelembaban rumah yang pada akhirnya akan memudahkan berkembangbiaknya kuman Mycobacterium tuberculosis) sehingga akan meningkatkan risiko infeksi pada penghuninya. Status gizi yang kurang atau bahkan buruk, seseorang akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap

penularan penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk ,maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi rendah, sehingga kuman patogen termasuk kuman Mycobacterium tuberculosis akan mampu menginfeksi tubuh. Oleh karena itu dalam upaya pembrantasan penyakit Tuberkolusis harus dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan semua sektor baik, oleh pemerintah, swasta,

410

maupun masyarakat umum, serta peningkatan kerjasama lintas sektor, maupun program harus berjalan seiring seirama saling menunjang dan saling melengkapi. Penanggulangan penyakit TB Paru tidak hanya hanya menemukan dan mengobati penderita dengan strategi DOTS akan tetapi harus pula mengendalikan faktor-faktor risiko sebagai upaya pencegahan.

411

HUBUNGAN PERILAKU KESEHATAN LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN MALARIA PADA MASYARAKAT PERBATASAN DI PUSKESMAS AJI KUNING KECAMATAN SEBATIK BARAT KABUPATEN NUNUKAN TAHUN 2010 Siswanto, Risva, Nurlinda ABSTRAK Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Kecamatan Sebatik Barat merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai angka penderita malaria tertinggi dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten Nunukan. Jumlah penemuan penderita malaria di Puskesmas Aji Kuning mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir yakni tahun 2007 sebanyak 317 kasus, tahun 2008 sebanyak 831 kasus, dan tahun 2009 sebanyak 1.955 kasus. Sedangkan tahun 2010 total penemuan penderita hingga bulan Oktober sebanyak 771 kasus Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku kesehatan lingkungan dengan kejadian malaria pada masyarakat di Puskesmas Aji Kuning. Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus kontrol, Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 106 responden, dengan perbandingan untuk kelompok kasus dan kontrol adalah 1:1 yang disetarakan dengan karakteristik tempat tinggal. Analisis data dilakukan secara univariat, analisis bivariat dengan uji Chi-Square dengan = 0,05, dan odds ratio untuk mengetahui besarnya risiko. Hasil penelitian menunjukkan faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria adalah pengetahuan (p=0,015; OR=5,417), penggunaan kelambu (p=0,019; OR=2,740), pemakaian obat anti nyamuk (p=0,029; OR=2,631), pemasangan kawat kasa (p=0,027), genangan air di sekitar rumah (p=0,047; OR=2,732), dan kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah (p=0,003; OR=3,718). Sedangkan faktor yang tidak berhubungan adalah sikap (p=0,196; OR=2,293) dan kebiasaan keluar malam (p=0,05) Bagi petugas kesehatan setempat agar lebih meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang malaria, bagi pemerintah daerah agar melakukan pengadaan kelambu, dan bagi masyarakat agar ikut serta dalam pemberantasan tempat perindukan dan peristirahatan nyamuk Anopheles. Kata kunci: malaria, perilaku kesehatan lingkungan, anopheles. Kepustakaan: 34 (2000-2010)

412

THE CORRELATION BEHAVIOUR HEALTH OF ENVIRONMENT WITH MALARIA INCIDENCE AT THE SOCIETY IN AJI KUNING HEALTH CENTER SUB-DISTRICT OF WEST SEBATIK, NUNUKAN YEAR 2010 Siswanto, Risva, Nurlinda ABSTRACT Malaria is infectious disease caused by plasmodium and transmitted out by Anopheles mosquito. West Sebatik has the highest number of malaria patients out of 9 subdistrict in Nunukan district. Amount invention of malaria patients in Aji Kuning Health Center increase the three last year that is year 2007 was 317 case, year 2008 was 831 case, and year 2009 was 1.955 case. While year 2010 total invention of patient until October was 771 case. This research purpose to know the correlations behaviour health of environment with malaria incidence at the society in Aji Kuning Health Center. This research used case control study design. The number of sample in this research was 106 respondents, with comparison for the group of control and case is 1:1 which matching with residence characteristic. Data analysis was done using univariate, bivariate analysis with Chi-Square test with alpha = 0,05 and odds ratio test to know the level of risk. The result of research showed that have factors correlation with malaria incidence is knowledge (p=0,015; OR=5,417), the use of mosquito net (p=0,019; OR=2,740), the use of mosquito repellent (p=0,029; OR=2,631), the use of wire netting (p=0,027), the water puddle around the house ((p=0,047; OR=2,732), and custom to take hang clothes insides home (p=0,003; OR=3,718). While factor which do not correlation is attitude (p=0,196; OR=2,293) and the outdoor activity at night (p=0,057) For the local health volunteers are more to improve activity counselling of malaria, for the local government can do division of mosquito net, and for the public to fight breeding places and resting places Anopheles mosquito. Key words : malaria, behaviour health of environment, anopheles. Bibliography: 34 (2000-2010)

Latar Belakang Malaria hingga kini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia yang utama. Penyakit malaria hampir di temukan di seluruh dunia terutama di negara-negara yang beriklim tropis dan sub tropis. Malaria menyebar diberbagai Negara, terutama dikawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Di dunia menurut data The World Malaria Report 2005, lebih dari sejuta orang meninggal setiap tahunnya karna malaria, dimana 80% kematian ada di Afrika dan 15% di Asia termasuk Eropa Timur. Setiap tahun jumlah kasus

413

malaria berjumlah 300 500 juta dan mengakibatkan 1,5 sampai 2,7 juta kematian. (Depkes, 2006) Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki endemisitas tinggi. Indonesia termasuk negara berisiko tinggi terjangkit malaria, karena hingga saat ini 80% Kabupaten/Kota endemis penyakit tersebut dan sekitar 45% penduduk bertempat tinggal di daerah yang berisiko tertular malaria. Di Indonesia, malaria mempengaruhi Indeks Perkembangan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks. Malaria merupakan penyebab meningkatnya angka kesakitan dan kematian (morbilitas dan mortalitas), gangguan kesehatan ibu dan anak, intelegensia, produktivitas angkatan kerja, serta merugikan kegiatan pariwisata. Morbiditas dan mortalitas malaria terutama terjadi pada anak-anak dan ibu hamil. Anak-anak, terutama yang berusia di bawah lima tahun mempunyai risiko mendapat malaria berat, sebab imunitas yang relatif rendah serta penurunan imunitas yang diperoleh secara pasif. (Achmadi, 2005) Data kementerian Kesehatan Indonesia memperkirakan jumlah kasus malaria yang dilaporkan di Indonesia pada tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan antara 2,5 dan 3 juta kasus malaria tercatat pada tahun 2007. Pada tahun 2008 terdapat 1,62 juta kasus malaria klinis dan tahun 2009 yaitu 1,14 juta kasus. Selain itu, jumlah penderita positif malaria yang ditemukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis yaitu pada tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, tahun 2007 sekitar 311 kasus, tahun 2008 sebanyak 266 ribu kasus dan 199 ribu kasus tahun 2009. (Depkes, 2009) Sesuai dengan hasil laporan pemeriksaan sediaan darah (PCD) Malaria Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim untuk periode 2009 ditemukan 946 orang penderita di Kabupaten Nunukan. Kabupaten Nunukan adalah salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang termasuk daerah endemis malaria dengan angka Annual Malariae Incidence (AMI) pada tahun 2007 sebesar 22,93 per 1000 penduduk, tahun 2008 sebesar 28,79 per 1000 penduduk, dan tahun 2009 sebesar 34,84 per 1000 penduduk. Sedangkan Angka Annual Parasite Incidence (API) dalam periode tahun 2007 hingga 2008 mengalami penurunan dari 12,66 per 1000 penduduk menjadi 11,53 per 1000 penduduk, akan tetapi tahun 2009 mengalami peningkatan dengan API sebesar 15,77 per 1000 penduduk. Jumlah kematian akibat malaria di Kabupaten Nunukan yaitu tahun 2007

414

ditemukan sebanyak 5 orang meninggal dunia, tahun 2008 sebanyak 3 orang, dan tahun 2009 sebanyak 6 orang. (DinkesProv, 2009) Dari data yang diperoleh Dinas Kesehatan Kabupaten Nunukan, angka penderita penyakit malaria mayoritas berasal dari Pulau Sebatik. Dari 9 kecamatan yang ada di Kabupaten Nunukan, Kecamatan Sebatik menduduki urutan pertama kasus malaria. Pada tahun 2007, di Pulau Sebatik temukan 1.930 kasus dari 2.637 kasus yang ada di Kabupaten Nunukan. Tahun 2008, total kasus ditemukan sebanyak 3.579 kasus, Pulau Sebatik tetap mendominasi dibanding dengan daerah-daerah lainnya di Kabupaten Nunukan, dengan jumlah 2.975 kasus. Demikian pula pada tahun 2009, dari 4.495 kasus di Kabupaten Nunukan, 3829 kasus berasal dari Pulau Sebatik. Puskesmas Aji Kuning merupakan salah satu puskemas yang ada di Kecamatan Sebatik Barat. Angka kejadian malaria di Puskesmas ini menduduki urutan pertama. Jumlah penemuan penderita malaria di Puskesmas Aji Kuning mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir yakni tahun 2007 sebanyak 317 kasus malaria klinis dengan 274 positif malaria, tahun 2008 sebanyak 831 kasus malaria klinis dengan 654 positif malaria, dan tahun 2009 sebanyak 1.955 kasus malaria klinis dengan 1.421 positif malaria. Sedangkan tahun 2010 total penemuan penderita hingga bulan Oktober sebanyak 771 kasus malaria klinis dan 460 positif malaria. (DinkesKab Nunukan, 2010) Ada tiga faktor utama yang saling berhubungan dengan penyebaran malaria yaitu host (manusia/nyamuk), agent (parasit Plasmodium), dan environment (lingkungan). Sebagai host intermediate, manusia bisa terinfeksi oleh agent dan merupakan tempat perkembangbiakan agent. Nyamuk sebagai host definitive sangat menentukan penularan malaria, sedangkan faktor lingkungan yang cukup memberi pengaruh antara lain lingkungan fisik, lingkungan kimia, lingkungan biologi, lingkungan sosial ekonomi dan budaya. (Gunawan, 2000) Dalam kerangka Blum tentang status kesehatan, menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat terdiri dari perilaku, lingkungan, keturunan, dan pelayanan kesehatan. Dimana faktor perilaku dan lingkungan mempunyai peran yang cukup besar dibandingkan dengan keturunan dan pelayanan kesehatan. (Notoadmodjo, 2003) Tingginya penularan malaria di wilayah kerja Puskesmas Aji kuning tidak terlepas dari perilaku masyarakat terkait dengan perilaku kesehatan lingkungan. Perilaku

415

dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap seseorang terhadap suatu objek. Pengetahuan tentang malaria seseorang dapat berpengaruh terhadap perilakunya dalam mencegah penularan malaria. Begitu pula dengan sikap, meskipun tidak selalu menunjukkan adanya hubungan. Tindakan masyarakat yang berkaitan dengan penularan dan pencegahan malaria meliputi penggunaan kelambu pada saat tidur malam hari dan pemakaian obat nyamuk untuk menghindari gigitan nyamuk, kebiasaan keluar rumah pada malam hari, penggunaan kawat kasa pada ventilasi rumah, membersihkan lingkungan sekitar dari genangangenangan air, dan tidak menggantung kain/pakaian di dalam rumah.

416

EPIDEMIOLOGY FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ANTRAKS DI KAB. BOYOLALI, PROP. JAWA TENGAH TAHUN 2008-2011 Nasir Ahmad1 Nur Alvira2 A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah sumber utama ternak sapi potong dan sapi perah.1 Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang pekerjaannya beternak cukup besar di daerah tersebut sehingga penularan antraks dapat terjadi karena praktek-praktek sosial dalam peternakan, termasuk pertukaran sapi, disposal karkas (sterilisasi peralatan) yang tidak memadai, makan daging yang terkontaminasi, penggembalaan yang berlebihan, dan status pemberian vaksinasi antraks memegang peranan penting dalam penularan antraks.2 Oleh karena itu, Propinsi yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencahariaan sebagai peternak, salah satunya di Jawa Tengah dapat menjadi sumber penularan penyakit antraks dan memiliki risiko penularan yang cukup tinggi serta beberapa wilayah lain juga berisiko karena adanya pertukaran atau jual-beli ternak dan daging yang berasal dari wilayah terinfeksi antraks. Pada tahun 2007-2011 di Jawa Tengah tiap tahunnya terdapat kasus antraks namun pada tahun 2009 dari 2 kasus yang ditemukan meningkat menjadi 28 kasus pada tahun 2010 dan menimbulkan 1 kematian dengan case fatality rate 3,57%. Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Jawa Tengah masih terdapat permasalahan dalam deteksi dini kasus, upaya penanggulangan dan pengendalian penyakit antraks.3 Di Kab. Pati, Boyolali dan Sragen 2007-2011 terdapat kasus antraks tertinggi yaitu 28 orang dengan menimbulkan satu kematian pada tahun 2010 di Sragen. Pada tahun 2011 kasus yang tertinggi di Kabupaten Boyolali dengan 14 penderita. Data kasus antraks yang berada di Kabupaten Boyolali. KLB penyakit antraks di Boyolali karena ditemukan 16 penderita namun tahun sebelumnya tidak terdapat kasus antraks dan satu dari tujuh sampel tanah yang dikirim ke laboratorium dinyatakan positif mengandung bakteri antraks.4 Pemeriksaan serologi pasien suspect antraks oleh Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dengan cara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) didapatkan hasil ternyata jumlah kasus yang positif antraks lebih banyak dibandingkan laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali. Dari sampel serum suspect antraks didapat dari Kabupaten Boyolali dari 92 sampel yang diuji 32 positif, 12 borderline dan 48 negatif.5 Hal ini dimungkinkan karena pemeriksaan serologi dengan cara ELISA yang akurat dalam mendeteksi dini penyakit antraks.

417

Penyakit antraks merupakan penyakit pada herbivora seperti kambing, domba, sapi, kuda, tikus dan lain-lain relatif resisten terhadap infeksi. Manusia menjadi terinfeksi secara tidak disengaja melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau produk-produknya.6 Disamping hewan-hewan tersebut di atas, keadaan lingkungan seperti tanah, tanamantanaman dan air juga dapat menjadi sumber penularan bagi manusia.7 Spora antraks akan terbentuk dengan sendirinya di luar tubuh hewan apabila terdedah O2 udara dan berada pada lingkungan yang cocok. Misalnya, kelembaban udara berada dalam tataran lebih besar 95%.8 Kandang harus terpisah dari rumah tinggal dengan jarak minimal 10 meter.9 Kabupaten Boyolali merupakan daerah yang sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani dan peternak.10 Para petani memproduksi pupuk organik menggunakan limbah kotoran ternak sapi karena keuntungan menggunakan pupuk organik yang lebih murah dan ramah lingkungan .11 Peternak di Boyolali sebanyak 54.225 (6,8%) orang dan petani 268.678 (33,9%) orang,12 sehingga dimungkinkan masyarakat yang kontak dengan hewan ternak atau produk yang terinfeksi akan berisiko tertular antraks. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kejadian antraks, sebaran kasusnya dan faktor dominan di Kabupaten Boyolali tahun 2008-2011. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif analitik dengan rancangan kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah orang yang terdiagnosis antraks berdasarkan pemeriksaan mikroskopik B. anthracis dari specimen darah berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Boyolali dari tahun 2008-2011. Teknik sampel yang digunakan adalah total sampling sebanyak 20 kasus dan 40 kontrol (1:2). Kasus adalah orang yang terdiagnosis sakit antraks berdasarkan pemeriksaan mikroskopik B. anthracis dari specimen darah berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan Boyolali dari tahun 2008-2011. Kontrol adalah 0rang yang tidak pernah mengalami sakit dengan gejala klinis seperti penyakit antraks yang dikonfirmasi pada saat wawancara. Format kuesioner untuk mendapatkan data berupa identitas responden, penggunaan APD, penggunaan pupuk kandang dan kebiasaan konsumsi daging yang dimasak secara higienis serta informasi subyek penelitian dengan pertanyaan-pertanyaan menggunakan kuesioner, Sebelum wawancara responden mengisi informed consent. Pengukuran jarak rumah ke kandang ternak menggunakan meteran. Data berupa titik koordinat (lintang selatan dan lintang timur) atau dari tempat tinggal subyek penelitian menggunakan GPS Garmin Etrex 418

Vista HCx. Pengukuran kelembaban di lingkungan tempat tinggal menggunakan Yenaco electronic thermo-hygro. Data penelitian ini menggunakan analisis univariat dengan analisis distribusi frekuensi, bivariat dengan uji Chisquare (: 0,05 dan CI: 95%), serta analisis multivariat dengan uji regresi logistik (Exp(B)) . Seluruh analisis dianalisis menggunakan software analisis data. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Karakteristik responden Tabel 1. Distribusi karakteristik responden di Kab. Boyolali tahun 2008-2011 Kejadian Antraks Karakteristik n Umur (Tahun): a. 6-10 b. 11-15 c. 45-49 d. 50-54 e. 55-59 f. 60-64 g. >64 Jenis kelamin: a. Laki-laki b. Perempuan Pekerjaan: a. Petani dan peternak b. Pelajar Lama menekuni pekerjaan: a. 2 tahun b. 3 tahun c. 4 tahun d. >5 tahun Kontak dengan hewan: a. Setiap hari b. 1-3 hari seminggu c. 4-6 hari seminggu Cara memasak daging: a. Digoreng b. Direbus 2 2 3 2 3 4 4 14 6 16 4 2 1 0 17 Kasus % 10,0 10,0 15,0 10,0 15,0 20,0 20,0 70,0 30,0 80,0 20,0 10,0 5,0 0 85,0 n 4 4 7 6 6 6 7 28 12 32 8 3 3 0 34 Kontrol % 10,0 10,0 17,5 15,0 15,0 15,0 17,5 70,0 30,0 80,0 20,0 7,5 7,5 0 85,0

16 1 3 1 19

80,0 5,0 15,0 5,0 95,0

29 6 5 1 39

75,0 11,7 13,3 2,5 97,5

Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar (20%) kasus berada pada kelompok umur 55-59 dan >64 tahun, sedangkan persentase terkecil (10%) pada kelompok umur 610, 11-15 dan 50-54 tahun. Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar (70%) kasus berjenis

419

kelamin laki-laki. Berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar (80%) kasus adalah petani dan peternak. Berdasarkan lama menekuni pekerjaan sebagian besar (85%) kasus menekuni pekerjaan selama > 5 tahun dibandingkan dengan menekuni pekerjaan selama 2 tahun (10%) dan 3 tahun (5%). Berdasarkan kontak dengan hewan ternak sebagian besar (80%) kasus melakukannya setiap hari dibandingkan dengan melakukannya 1-3 hari seminggu (5%) dan 4-6 hari seminggu (15%). Berdasarkan cara memasak daging sebagian besar (95%) kasus memasak daging dengan cara direbus.

Gambar 1. Sebaran kasus antraks

Gambar 1 menunjukkan bahwa kasus antraks disetiap desa mempunyai karakteristik penggunaan lahan berbeda-beda, namun sebagian besar penyebaran kasus antraks di 5 desa berada di pemukiman penduduk.

420

Analisis hubungan Tabel 2. Hubungan antara faktor risiko dengan kejadian tahun 2008-2011 Kejadian Antraks Faktor Risiko Kasus % Kontrol % Penggunaan APD: a. Tidak memakai 19 95 27 67,5 b. Memakai 1 5 13 32,5 Memasak daging: a. Tidak higienis 2 10 1 2,5 b. Higienis 18 90 39 97,5 Jarak kandang (m): a. <10 m 17 85 21 52,5 b. 10 m 3 15 19 47,5 Penggunaan pupuk kandang: a. Menggunakan 15 75 23 57,5 b. Tidak 5 25 17 42,5 menggunakan Kelembaban udara: a. > 95% 2 10 1 2,5 b. 95% 18 90 39 97,5 antraks di Kabupaten Boyolali OR CI95%

9,15

1,101-75,981

0,023

4,33

0,369-50,953

0,255

5,13

1,296-20,285

0,022

2,23

0,674-7,293

0,185

4,33

0,369-50,953

0,255

Hasil analisis (tabel 2) menyimpulkan bahwa proporsi kasus lebih besar pada responden yang tidak memakai APD yaitu 95% dibandingkan dengan kontrol yaitu 67,5%. Penggunaan APD ini terdiri dari sarung tangan, masker dan alas kaki (sepatu bot) sebelum kontak dengan hewan ternak. Nilai OR= 9,15 artinya orang yang tidak menggunakan APD saat kontak dengan ternak mempunyai risiko 9,15 kali lebih besar menderita penyakit antraks dibandingkan dengan orang yang menggunakan APD. Nilai value= 0,023 dengan =0,05 ( < ) dan CI 95% = 1,101-75,981 (tidak melewati angka 1) berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa penggunaan APD saat kontak dengan ternak berhubungan dengan kejadian antraks. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan dalam pencegahan penyakit antraks. Kegiatan intervensi yang dilakukan adalah memberikan informasi dan motivasi kepada peternak bahwa pentingnya penggunaan APD saat kontak dengan hewan ternak. Pemberian informasi ini diharapkan dilakukan sebelum maupun sesudah terjadi suatu kasus antraks sebagai salah satu cara pencegahan. Pada variabel memasak daging dapat disimpulkan bahwa proporsi kasus lebih besar 10% pada responden yang mengkonsumsi daging yang tidak dimasak secara higienis

421

dibandingkan dengan kontrol 2,5%. Memasak daging yang higienis ini yaitu direbus hingga mendidih. Nilai OR= 4,33 artinya orang yang mengkonsumsi daging yang tidak dimasak secara higienis mempunyai risiko 4,33 kali lebih besar menderita penyakit antraks dibandingkan dengan orang yang mengkonsumsi daging yang dimasak secara higienis. Nilai value= 0,255 dengan =0,05 ( > ) dan CI 95%= 0,369-50,953 (melewati angka 1) berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa konsumsi daging yang tidak dimasak secara higienis tidak berhubungan dengan kejadian antraks. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dalam pencegahan penyakit antraks. Pencegahan dilakukan dengan cara memberikan informasi kepada masyarakat dapat agar tetap mewaspadai bahwa orang yang mengkonsumsi daging yang tidak dimasak secara higienis tetap mempunyai risiko menderita penyakit antraks, sehingga masyarakat aman saat mengkonsumsi daging. Variabel jarak rumah ke kandang ternak dapat disimpulkan bahwa proporsi kasus lebih besar pada responden yang jarak rumah ke kandang ternak <10 meter yaitu 85% dibandingkan dengan kontrol yaitu 52,5%. Nilai OR= 5,13 artinya jarak rumah ke kandang ternak <10 meter mempunyai risiko 5,13 kali lebih besar menderita penyakit antraks dibandingkan dengan jarak rumah ke kandang ternak 10 meter. Nilai value= 0,022 dengan =0,05 ( < ) dan CI 95%= 1,296-20,285 (tidak melewati angka 1) berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa jarak rumah ke kandang ternak <10 meter berhubungan dengan kejadian antraks.Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan dalam pencegahan penyakit antraks. Kegiatan intervensi kepada masyarakat adalah pemberian informasi tentang bahaya memiliki jarak rumah ke kandang ternak < 10 meter. Lebih baik lagi masyarakat difasilitasi kandang yang ideal secara berkelompok agar dikelola oleh masyarakat serta didampingi oleh pemerintah. Variabel penggunaan pupuk kandang dapat disimpulkan bahwa proporsi kasus lebih besar pada responden yang menggunakan pupuk kandang yaitu 75% dibandingkan dengan kontrol yaitu 57,5%. Nilai OR= 2,23 artinya menggunaan pupuk kandang mempunyai risiko 2,23 kali lebih besar menderita penyakit antraks dibandingkan dengan yang tidak menggunakan pupuk kandang. Nilai value= 0,185 dengan =0,05 ( >) dan CI 95%= 0,674-7,293 (melewati angka 1) berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa menggunaan pupuk kandang tidak berhubungan dengan kejadian antraks. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan

422

dalam pencegahan penyakit antraks. Kegiatan intervensi kepada masyarakat yaitu pemberian informasi mengenai bahaya menggunakan pupuk kandang yang berasal dari binatang terinfeksi antraks. Jadi masyarakat harus berhati-hati dalam menggunakan pupuk kandang. Pemilihan pupuk kandang harus jelas asal usulnya yaitu dari binatang yang sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan alas kaki atau sepatu bot saat pergi ke ladang. Variabel kelembaban lingkungan tempat tinggal dapat disimpulkan bahwa proporsi kasus lebih besar pada kelembaban udara lingkungan tempat tinggal >95% yaitu 10% dibandingkan dengan kontrol 2,5%. Nilai OR= 4,33 artinya kelembaban udara di lingkungan tempat tinggal >95% mempunyai risiko 4,33 kali lebih besar menderita penyakit antraks dibandingkan dengan kelembaban udara di lingkungan tempat tinggal 95%. Nilai value= 0,255 dengan =0,05 ( < ) dan CI 95%= 0,369-50,953 (melewati angka 1) berarti secara statistik dapat disimpulkan bahwa kelembaban udara di lingkungan tempat tinggal >95% tidak berhubungan dengan kejadian antraks. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan dalam pencegahan penyakit antraks. Kegiatan intervensi kepada masyarakat yaitu pemberian informasi agar waspada saat musim hujan tiba karena saat musim hujan kelembaban udara akan meningkat. Pencegahan dapat dilakukan dengan pembuatan kandang yang ideal seperti alas kandang disemen dan dibuatkan septiktank untuk pembuangan kotoran.

Analisis multivariat Analisis multivariat adalah anlisis yang digunakan untuk mengetahui faktor paling dominan yang menyebabkan kejadian antraks di Kabupaten Boyolali tahun 2008-2011. Uji hipotesis yang digunakan adalah Regresi Logistik dengan tingkat kemaknaan statistik p < 0,25 yang memenuhi syarat untuk analisis multivariate. Berdasarkan hasil analisis bivariate didapatkan variabel yang <0,25 adalah penggunaan APD, jarak kandang ternak dan penggunaan pupuk kandang.

423

Tabel 3. Uji Regresi Logistik untuk menentukan faktor dominan penyebab kejadian antraks di Kab. Boyolali, 2008-2011. Variabel Model 1: a. Penggunaan APD b. Jarak kandang ternak c. Penggunaan pupuk kandang Model 2: a. Penggunaan APD b. Jarak kandang ternak Koefisien 20,29 14,89 4,56 21,20 15,56 Exp(B) 7,609 4,431 1,577 8,335 4,738 CI95%

0,871-66,476 0,067 1,060-18,521 0,041 0,425-5,854 0,496 0,965-71,995 0,054 1,147-19,569 0,032

Ketiga variabel ini yang akan diikutkan dalam analisis multivariate. Model 1, ketiga variabel di uji secara bersama-sama menggunakan uji regresi logistik dengan metode enter. Kemudian variabel yang mempunyai nilai 0,05 akan dikeluarkan secara berurutan mulai dari nilai value yang paling besar, sehingga mendapatkan hasil pada tabel 3. Hasil tersebut menunjukkan variabel yang memiliki value yang paling besar yaitu variabel penggunaan pupuk kandang (0,496), maka variabel ini akan dikeluarkan dari pemodelan. Model 2, setelah variabel penggunaan pupuk kandang dikeluarkan dari pemodelan langkah selanjutnya adalah menguji variabel penggunaan APD dan jarak kandang ternak seperti pada model 1. Hasil yang didapatkan pada tabel model 2, kedua variabel memiliki Exp(B) tidak ada yang mengalami kenaikan 10% dari Exp(B) model 1. Jadi, dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling dominan adalah penggunaan APD saat kontak dengan ternak karena memiliki nilai Exp(B)= 8,335 paling besar daripada variabel jarak kandang ternak yaitu Exp(B)= 4,738. Oleh karena itu, penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan dalam pencegahan penyakit antraks agar memprioritaskan pemberian informasi dan motivasi kepada peternak bahwa pentingnya penggunaan APD saat kontak dengan hewan ternak.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi Sebaran kasus antraks di Kabupaten Boyolali tahun 2008-2011 disetiap desa mempunyai karakteristik penggunaan lahan berbeda-beda. Sebagian besar sebaran kasus antraks di 5 desa berada di lokasi pemukiman penduduk. Variabelyang signifikan yaitu penggunaan APD saat kontak dengan hewan ternak dan jarak rumah ke kandang ternak <10 meter. Variabel yang tidak signifikan yaitu mengkonsumsi daging yang dimasak secara

424

tidak higienis, menggunakan pupuk kandang tidak dan kelembaban lingkungan tempat tinggal >95%. Variabel yang paling dominan penyebab kejadian antraks adalah penggunaan APD saat kontak dengan hewan ternak. Sebagai bahan masukkan untuk Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan dalam pencegahan penyakit antraks agar memprioritaskan pemberian informasi dan motivasi kepada peternak bahwa pentingnya penggunaan APD saat kontak dengan hewan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2005). Profil Pangan dan Pertanian Indonesia Tahun 2003-2005. Jakarta: Direktorat Pangan dan Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia. (2008). Waspada Athrax. Direktorat Jendral Peternakan dan Direktorat Kesehatan Hewan RI Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2006). Laporan Kajian Kebijakan Penanggulangan (Wabah) Penyakit Menular. Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat RI Nusantara. (2011) metrotvnews. Boyolali KLB Antraks. Edisi 26 Februari 2011. www.metrotvnews.com [Diakses 18 September 2011]. Seminar Sehari Anthrax RSUD dr Moewardi, 2011. Dirgahayu (2011). Pemeriksaan Laboratorium Deteksi Anthrax Berbasis Immunoassay. Laboratorium Instalasi Parasitologi dan Mikologi, Rumah Sakit Umum Dr Moewardi Surakarta-Indonesia. Jawetz, Melnick, Adelberg. (2007). Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Kebijakan Penanggulangan Penyakit Antraks pada Manusia di Indonesia. Kepala Sub Direktorat Zoonosis, Ditjen PPM & PLP. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Akoso, Budi Tri. 2009. Anthrax. Yogyakarta: Kanisius Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. (2000). Budidaya Ternak Sapi Perah.Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Deputi Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2005). Limbah organic dalam rangka peningkatan pendapatan peternak sapi perah di desa tambak kecamatan mojosongo kabupaten boyolali. http://elib.pdii.lipi.go.id [Diakses 10 Februari 2012]. Pemerintah Kabupaten Boyolali. (2011). Petani Mulai Gunakan Pupuk Organik. www.boyolalikab.go.id [Diakses 10 Februari 2012]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali, 2011. Kabupaten Boyolali dalam Angka tahun 2010. Boyolali: Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali.

425

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PENULARAN DIFTERI DI KOTA BLITAR PROPINSI JAWA TIMUR *Aris Wiji Utami, ** Chatarina UW *Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya *Dosen FKM Universitas Airlangga Surabaya ABSTRACT Latar belakang: Di Jawa Timur kecenderungan kasus difteri dari tahun ke tahun selalu naik. Tahun 2003 5 kasus, tahun 2004 15 kasus, tahun 2005 51 kasus, tahun 2006 44 kasus, tahun 2007 86 kasus, tahun 2008 78 kasus, tahun 2009 140 kasus. Secara geografis penyebaran juga cenderung meluas dari tahun ke tahun. Setiap kasus selalu dilakukan pemeriksaan kontak. Dari hasil pemeriksaan kontak positif rate tertinggi pada tahun 2009 terjadi di Kota Blitar yaitu sebesar 23,7%. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor risiko kejadian penularan difteri di Kota Blitar Subjek dan Metode : Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol. Populasi sumber adalah semua individu yang menjalani pemeriksaan laboratorium difteri kontak positif dan kontak negatif di wilayah Dinas Kesehatan Kota Blitar dari Januari 2009 sampai dengan Desember 2009. Sampel terdiri atas 46 kasus dan 46 kontrol masing masing dipilih dengan teknik simple random sampling. Variabel independen yang diteliti adalah status imunisasi, umur, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, status gizi, keeratan kontak, kepadatan hunian, kelembaban rumah, pencahayaan alami, ventilasi rumah, ruangan be Ac, cakupan imunisasi Desa (DPT3), dan kualitas cold chain. Variabel dependen yang diteliti kejadian penularan difteri. Data diperoleh dengan cara wawancara dan pengamatan. Data sekunder diambil dari data Dinas Kesehatan Kota Blitar dan Puskesmas. Data dianalisis dengan model regresi logistik ganda. Hasil: Analis regresi logistik ganda menunjukkan, variabel yang memiliki pengaruh yang secara statistik signifikan dengan kejadian penularan difteri tingkat pengetahuan (OR=16,43;p<0,001), keeratan kontak (OR=7,23; p=0,002), dan pencahayaan alami (OR=5,47; p=0,031) Kesimpulan: Variabel yang memiliki pengaruh secara statistik signifikan adalah tingkat pengetahuan, keeratan kontak, dan pencahayaan alami. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Blitar agar lebih meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang imunisasi dan penyakit difteri dan peningkatan kualitas lingkungan rumah. Kata Kunci : difteri, kejadian penularan, lingkungan rumah.

A. Latar Belakang Menurut Chin (2006), difteri adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh

426

sitotoksin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Pada kasus-kasus yang sedang dan berat ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trakea secara ekstensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Menurut Depkes RI (2007), difteri di Indonesia masih menjadi masalah yang sangat serius terutama dihubungkan dengan masalah imunisasi. Kejadian Luar Biasa (KLB) Pada tahun 1997-2002 terjadi di Jambi, Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan,

Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Sealatan, Sulawesi Utara, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Di Indonesia pada tahun 2008 kasus difteri dilaporkan sebanyak 218 dengan kematian sebesar 6,4% menyebar diberbagai Propinsi yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara. Menurut Dinkes Jatim (2008), di Jawa Timur kecenderungan kasus difteri selalu naik dari tahun ke tahun. Tahun 2003 (5 kasus), tahun 2004 (15 kasus), tahun 2005 (51 kasus), tahun 2006 (44 kasus), dan tahun 2007 (86 kasus), tahun 2008 (76 kasus ). Secara geografis penyebaran kasus Difteri cenderung meluas dari tahun ke tahun di Jawa Timur. Tahun 2003 terdapat di 3 Kabupaten atau Kota, tahun 2004 terdapat di 9 Kabupaten atau Kota, tahun 2005 terdapat di 15 Kabupaten atau Kota, tahun 2006 terdapat di 17 Kabupaten atau Kota, dan tahun 2007 terdapat di 20 Kabupaten atau Kota dan tahun 2008 21 Kabupaten atau Kota. Case Fatality Rate (CFR) karena difteri masih tinggi (7%), bahkan di tempat tertentu bisa mencapai 50%. Sebanyak 74% kasus difteri di Jawa Timur terjadi pada kelompok umur Balita & Anak TK-SD (<9 th). Di Jawa Timur pemeriksaan difteri pada kontak kasus dilakukan pada saat ada kejadian difteri. Spesimen yang diambil untuk kontak difteri adalah usap hidung dan usap tenggorok. Pengambilan spesimen kontak mempunyai tujuan mengetahui sampai dimana penularan telah terjadi dan untuk mengetahui adanya kontak atau karier yang positip, agar pencegahan penularan dengan profilaksis dan imunisasi yang dilakukan dapat termonitor dengan baik. Kontak yang positif perlu mendapatkan perhatian yang serius dalam masa profilaksis karena penularan difteri melalui kontak sangat besar dan akan berjalan terus menerus tanpa intervensi karena kontak atau karier tidak menunjukkan gejala klinis tapi dia

427

bisa menularkan ke orang lain. Masa penularan penyakit difteri beragam, biasanya berlangsung 2 minggu atau kurang, bahkan kadangkala dapat lebih dari 4 minggu. Karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan, terapi antibiotik yang efektif dapat mengurangi penularan. Permasalahan penularan difteri ini dipengaruhi banyak faktor di antaranya adalah faktor imunisasi, faktor lingkungan, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan orang tua mengenai imunisasi maupun difteri, dan karakteristik dari seseorang. Apabila faktor penularan difteri ini tidak mendapatkan perhatian serius maka penularan ini akan terjadi terus menerus sehingga Jawa Timur akan menjadi daerah yang endemis difteri. Hal ini menimbulkan berbagai masalah baik itu kesehatan, ekonomi maupun pendidikan. Rumusan Masalah dalam Penelitian ini adalah : Apa saja faktor yang mempengaruhi kejadian penularan difteri di Kota Blitar? Tujuan Penelitian ini adalah Menganalisis faktor yang mempengaruhi kejadian penularan difteri di kota Blitar. Manfaat Penelitian ini adalah Memberikan gambaran dan informasi tentang faktor yang mempengaruhi kejadian penularan difteri sehingga dapat digunakan sebagai pedoman Dinas Kesehatan dalam pencegahan dan penanganan kejadian difteri di Kota Blitar dan Untuk evaluasi status imunisasi difteri khususnya di Kota Blitar.

B. Subjek dan Metode Jenis penelitian ini adalah kasus kontrol, yaitu penelitian epidemiologi analitik yang bersifat observasi dimana dilakukan perbandingan antara sekelompok orang yang menderita penyakit (kasus) dengan sekelompok lainya yang tidak menderita penyakit tersebut (kontrol) kemudian dicari faktor-faktor penyebab timbulnya penyakit tersebut, berdasarkan kausalitasnya dimana faktor yang diteliti meliputi, status imunisasi, umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, status gizi, jenis kontak, kepadatan hunian rumah, pencahayaan alami, ventilasi, ruangan ber AC, cakupan imunisasi DPT3 desa, kualitas cold chain vaksin dan kejadian penularan difteri sebagai akibat. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Blitar Propinsi Jawa Timur pada bulan April sampai Juni 2010. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data Primer didapatkan dari wawancara terstruktur dan observasi , sedangkan data sekunder didapatkan dari data yang ada di Puskesmas dan Dinas Kesehatan

428

Kota Blitar. Analisis deskriptif berupa gambaran hasil penelitian dalam bentuk tabel dan persentase digunakan analisis crosstab menggunakan software, sedangkan analisis hubungan antar variabel dengan tujuan untuk menganalisis hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas menggunakan analisis regresi Logistik.

C. Hasil Penelitian 1. Data Penelitian dan Analisis Bivariat Hasil analisis status imunisasi dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh bahwa sebanyak 41 (89,1%) responden tidak imunisasi, sedangkan yang imunisasi sebanyak 5 (10,9%), Hasil uji statistik diperoleh (OR=3,9; p=0,015) Hasil analisis pengaruh antara kelompok umur dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh bahwa sebanyak 42 (91,31%) responden dengan umur lebih dari 9 tahun, sedangkan kelompok umur antara 0-9 tahun sebesar 4 (8,7%). Hasil uji statistik diperoleh (OR=5,0; p=0,008) Hasil analisis antara tingkat pengetahuan dengan kejadian penularan difteri

didapatkan pada kasus sebanyak 42 (91,31%) responden mempunyai pengetahuan rendah tentang difteri, sedangkan dengan pengetahuan yang tinggi tentang difteri 4 (8,7%). Hasil uji statistik diperoleh (OR=11,4; p=0,000) Hasil analisis antara tingkat pendidikan dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh bahwa sebanyak 17 (37,0%) responden berpendidikan rendah dan pada kontrol sebanyak 14 (30,4%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,509, Hasil analisis antara status gizi dengan kejadian penularan difteri diperoleh bahwa sebanyak 8 (17,0%) responden malnutrisi dan pada kontrol sebanyak 4 (8%) dan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,224. Hasil analisis keeratan kontak dengan kejadian penularan difteri pada kasus

diperoleh sebanyak 39 (84,8%) responden merupakan kontak erat, sedangkan responden dengan riwayat kontak tidak erat sebesar 7 (15,2%). Hasil uji statistik diperoleh (OR=6,6; p=0,000). Hasil analisis kepadatan hunian dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh sebanyak 24 (52,2%) responden tinggal di rumah yang padat penghuninya , sedangkan dengan hunian yang tidak padat 22 (47,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,834,

429

Hasil analisis kelembaban ruangan

dengan kejadian penularan difteri pada

kelompok kasus diperoleh sebanyak 11 (21,7%) responden tinggal ruangan yang kelembaban buruk , sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 3(6,5%). Hasil uji statistik diperoleh (OR= 4,50; p=0,029). Hasil analisis antara pencahayaan alami ruangan dengan kejadian penularan difteri pada kelompok kasus diperoleh sebanyak 21 (45,7%) responden tinggal dalam ruangan dengan pencahayaan alami yang buruk, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 3 (6,5%). Hasil uji statistik diperoleh (OR= 12,040; p=0,000) Hasil analisis antara ventilasi alami ruangan dengan kejadian penularan difteri pada kelompok kasus diperoleh sebanyak 35 (76,1%) responden tinggal dalam ruangan dengan ventilasi alami yang buruk, sedangkan dalam ruangan dengan ventilasi alami yang baik sebesar 11 (23,3%).Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,254, Distribusi responden pada kelompok kasus dan kontrol berdasarkan ruangan ber AC didapatkan bahwa responden kasus 46 (100%) maupun kontrol 46 (100%) tidak

menggunakan AC dalam ruangannya. Data yang diambil dari Dinas Kesehatan Kota Blitar menunjukkan bahwa pada tahun 2007 sampai dengan 2008 semua Kelurahan sejumlah 21 (100%) didapatkan cakupan imunisasi DPT3 telah mencapai target yang ditentukan (>80%). Pada tahun 2009 sebanyak 2 Kelurahan yang bukan lokasi Kelurahan yang diteliti (9,5%) didapatkan cakupan imunisasi DPT3 <80%. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa, suhu refrigerator vaksin baik di Dinas Kesehatan Kota Blitar maupun di Puskesmas Karangsari suhu refrigerator pada tahun 2008, 2009 dan 2010 menunjukkan suhu rata rata 3-4C, sedangkan Vaccine Vial Monitor (VVM) menunjukkan bahwa vaksin belum pernah terkena paparan panas dilihat dari indikator yang terdapat pada botol vaksin yang warnanya tetap putih dan Freeze watch menunjukkan warna latar belakang tetap putih yang berarti vaksin tidak pernah terpapar suhu beku.

430

2. Analisis Multivariat Analisis bivariat dilakukan pada 10 variabel dan hasilnya dapat dlihat pada B S.E Wald Sig. (p value) 0,000 Exp B (OR) 95%C.I, for EXP(B) Lower Upper 4,099 65,857

Variabel Tingkat Pengetahuan rendah Keeratan Kontak Pencahayaan alami buruk

2,709

0,708

15,613

16,429

1,978

0,629

9,901

0,002

7,229

2,108

24,784

1,698

0,786

4,671

0,031

5,465

1,171

25,497

-0,776 Konstanta

0,751

13,660

0,000

0,062

D. Pembahasan dan Kesimpulan Hasil analisis status imunisasi dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh bahwa sebanyak 41 (89,1%) responden tidak imunisasi, sedangkan yang imunisasi sebanyak 5 (10,9%). Hasil uji statistik diperoleh(OR=3,9; p=0,015) maka dapat disimpulkan ada perbedaan kejadian penularan difteri antara responden yang imunisasi tidak lengkap dengan responden yang imunisasi lengkap. Seseorang yang imunisasi tidak lengkap mempunyai besar risiko 3,9 kali untuk terjadi penularan difteri dibanding seseorang dengan imunisasi lengkap. Hasil analisis pengaruh antara kelompok umur dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh bahwa sebanyak 42 (91,31%) responden dengan umur lebih dari 9 tahun, sedangkan kelompok umur antara 0-9 tahun sebesar 4 (8,7%). Hasil uji statistik diperoleh(OR=5,0; p=0,008) maka dapat disimpulkan ada perbedaan kejadian penularan difteri antara responden kelompok umur 0-9 tahun dengan kelompok umur lebih dari 9 tahun. Seseorang penularan difteri. Hasil analisis antara tingkat pengetahuan dengan kejadian penularan difteri dengan umur > 9 tahun mempunyai peluang 5 kali untuk terjadi

didapatkan pada kasus sebanyak 42 (91,31%) responden mempunyai pengetahuan rendah tentang difteri, sedangkan dengan pengetahuan yang tinggi tentang difteri 4 (8,7%). Hasil uji statistik diperoleh (OR=11,4; p=0,000) maka dapat disimpulkan ada perbedaan kejadian 431

penularan difteri antara responden dengan pengetahuan tentang difteri rendah dengan responden dengan pengetahuan difteri tinggi. Seseorang dengan pengetahuan tentang

difteri rendah mempunyai peluang 11,4 kali untuk terjadi penularan difteri dibanding seseorang seseorang dengan pengetahuan tinggi tentang difteri. Hasil analisis antara tingkat pendidikan dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh bahwa sebanyak 17 (37,0%) responden berpendidikan rendah dan pada kontrol sebanyak 14 (30,4%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,509, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan kejadian penularan difteri antara tingkat pendidikan tinggi dan tingkat pendidikan rendah. Hasil analisis antara status gizi dengan kejadian penularan difteri diperoleh bahwa tidak ada hubungan antara malnutrisi dengan non malnutrisi terhadap kejadian penularan Hasil analisis keeratan kontak dengan kejadian penularan difteri pada kasus

diperoleh sebanyak 39 (84,8%) responden merupakan kontak erat, sedangkan responden dengan riwayat kontak tidak erat sebesar 7 (15,2%). Hasil uji statistik diperoleh

(OR=11,4; p=0,000) maka dapat disimpulkan ada perbedaan kejadian penularan difteri antara responden yang mempunyai riwayat kontak erat dengan riwayat kontak tidak erat. Seseorang dengan riwayat kontak erat mempunyai peluang 6,6 kali untuk tertular difteri. Hasil analisis kepadatan hunian dengan kejadian penularan difteri pada kasus diperoleh sebanyak 24 (52,2%) responden tinggal di rumah yang padat penghuninya , sedangkan dengan hunian yang tidak padat 22 (47,8%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,834, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan kejadian penularan difteri antara responden yang tinggal di rumah yang padat penghuni dengan responden yang tinggal di rumah tidak padat penghuni. Hasil analisis kelembaban ruangan dengan kejadian penularan difteri pada

kelompok kasus diperoleh sebanyak 11 (21,7%) responden tinggal ruangan yang kelembaban buruk , sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 3(6,5%). Hasil uji statistik diperoleh (OR= 4,505; p=0,029) maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang tinggal dalam ruangan dengan kelembaban yang buruk mempunyai risiko 4,5 kali dibanding

seseorang yang tinggal dalam ruangan yang kelembabannya baik. Hasil analisis antara pencahayaan alami ruangan dengan kejadian penularan difteri pada kelompok kasus diperoleh sebanyak 21 (45,7%) responden tinggal dalam ruangan dengan pencahayaan alami yang buruk, sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 3

432

(6,5%). Hasil uji statistik diperoleh (OR= 12,04; p=0,000) maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang tinggal dalam ruangan dengan pencahayaan alami yang buruk mempunyai risiko 12 kali dibanding seseorang yang tinggal dalam ruangan yang pencahayaan alaminya baik. Hasil analisis antara ventilasi alami ruangan dengan kejadian penularan difteri pada kelompok kasus diperoleh sebanyak 35 (76,1%) responden tinggal dalam ruangan dengan ventilasi alami yang buruk, sedangkan dalam ruangan dengan ventilasi alami yang baik sebesar 11 (23,3%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,254, maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh ventilasi alami terhadap kejadian penularan difteri. Distribusi responden pada kelompok kasus dan kontrol berdasarkan ruangan ber AC didapatkan bahwa responden kasus 46 (100%) maupun kontrol 46 (100%) tidak

menggunakan AC dalam ruangannya. Data yang diambil dari Dinas Kesehatan Kota Blitar menunjukkan bahwa pada tahun 2007 sampai dengan 2008 semua Kelurahan sejumlah 21 (100%) didapatkan cakupan imunisasi DPT3 telah mencapai target yang ditentukan (>80%). Pada tahun 2009 sebanyak 2 Kelurahan yang bukan lokasi Kelurahan yang diteliti (9,5%) didapatkan cakupan imunisasi DPT3 <80%. Berdasarkan hasil uji bivariat terdapat 7 variabel yang masuk kandidat dan selanjutnya dilakukan uji Multivariat Regresi Logistik, maka didapatkan hasil variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian penularan difteri adalah tingkat pengetahuan rendah, keeratan kontak, dan pencahayaan alami yang buruk. Dari analisis multivariat ini diperoleh hasil 3 variabel berhubungan bermakna dengan kejadian penularan difteri yaitu tingkat pengetahuan dengan (OR= 16,4; p= 0,000), keeratan kontak dengan (OR= 7,2; p=0,002) pencahayaan alami dengan (OR= 5,4; p=0,03). Dari hasil uji multivariat variabel yang paling berpengaruh adalah tingkat pengetahuan yang rendah. Hal ini dapat dijelaskan bahwa tingkat pengetahuan yang rendah mempunyai peluang 16,4 kali tertular difteri dibanding dengan pengetahuan yang tinggi. Seseorang dengan riwayat kontak erat dengan penderita difteri mempunyai peluang sebesar 7,2 kali tertular difteri. Seseorang tinggal dalam ruangan pencahayaan alami yag buruk mempunyai peluang tertular difteri sebesar 5,4 kali tertular difteri. Variabel yang paling dominan adalah tingkat pengetahuan yang rendah responden terhadap difteri. Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut diatas faktor yang mempengaruhi Kejadian Penularan Difteri di Kota Blitar adalah status imunisasi tidak

433

lengkap, kelompok umur >9 tahun, tingkat pengetahuan yang rendah , kontak erat dengan penderita difteri, tinggal dalam ruangan dengan kelembaban yang buruk, pencahayaan alami ruangan yang buruk. Dari hasil penelitian ini disarankan perlunya pemberian imunisasi tambahan kepada anak-anak >9 tahun dan kepada petugas kesehatan yang terpajan dengan penderita yaitu dengan pemberian imunisasi diphteria toxoid (Td). Untuk Tingkat pengetahuan yang rendah perlu intesifikasi dari petugas promosi kesehatan agar lebih meningkatkan upaya pembelajaran tentang pencegahan dan pengetahuan tentang difteri baik bagi petugas kesehatan sendiri maupun kepada masyarakat umum. Untuk kontak erat penderita difteri hendaknya pemberian profilaksis dilakukan untuk memutus rantai penularan dan dilakukan pengawasan minum obat. Pada kondisi lingkungan perlu diperbaiki lagi sanitasi dan lingkungan yang lebih sehat dengan mengikuti standar rumah dan lingkungan yang sehat

DAFTAR PUSTAKA

Agus Syahrurachman, at all., (1994) Mikrobiologi Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta. hal 128-136 Anonim., (2007) Profil Kesehatan Propinsi Jawa Timur, Surabaya. Anonim., (1997) Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat, Jakarta, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum R.I. hal 5-8 Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya, (2009) Laporan Tahunan, 2009, Depkes RI, Surabaya Balai Besar Laboratorium Kesehatan Surabaya, (2008) Standard operasional prosedur, Depkes RI , Surabaya Chin, James, (2006) Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17, Editor I Nyoman Kandun, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, hal 193-199 Departemen Kesehatan R.I, (2009) Sarana Kesehatan di Kota Blitar tahun 2009, Bank Data Pusdatin, Jakarta Departemen Kesehatan RI., (2008) Buletin Surveilans Epidemiologi, Jakarta Departemen Kesehatan RI., (2009) Buletin Surveilans Epidemiologi, Jakarta Departemen Kesehatan R.I., (2004) Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi, Jakarta Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur., (2003) Panduan Surveilans Epidemiologi Penyakit-pennyakit Menular, Keracunan Makanan, Bencana dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa, Surabaya Dinkes Jawa Timur, (2008) Prosedur Tetap Penanggulangan KLB Difteri, Surabaya

434

Dinkes Kota Blitar, (2009) Profil Kesehatan Kota Blitar Tahun 2009, Blitar Ditjen PPM & PL Depkes RI. (2007), Revisi Buku Pedoman Penyelidikan Dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit), Jakarta hal 49-55 Jeweth, Melnick & Adlberg. (2008) Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23 Copy Editor Rina Saidah., EGC, Jakarta, hal 214-218 Kartono, Basuki (2007) Hubungan Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Tasikmalaya (2005-2006) dan Garut MAKARA, Kesehatan, VOL 12, No.1, Juni 2008: 8-12. http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/02 (Sitasi 8 Oktober, 2009) Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 Perumahan, Jakarta, Dep-Kes RI. tentang Persyaratan Kesehatan

Lemeshow, Stanley at.all (1997) Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Gadjah Mada University Prees, Yogyakarta, hal 21-26 Notoatmojo, Soekidjo. (2007) Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta, hal 12-13 Thomas C. Timmreck, (2004) Epidemiologi Edisi 2 Editor Palupi Widyastuti, EGC, Jakarta, hal 6-21. Umi Kunarti, (2004) Titer Imunoglobulin (IgG) Difteri pada anak sekolah (studi kasus di Kota Semarang) Tesis, EPID-UNDIP.

435

PROTOTIP APLIKASI MEMBANGUN BASIS DATA TUBERKULOSIS Noor Alis Setiyadi*, Arif Widodo*, Yuli Kusumawati*, Sabarinah B. Prasetyo**
*

Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, ** Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ABSTRAK

Latar Belakang. Penanggulangan tuberkulosis terus dilakukan di Indonesia. Cara yang digunakan adalah menemukan kasus baru dan mengobatinya. Untuk membantu mempermudah penemuan kasus baru, maka sistem pencatatan dan pelaporan harus diperbaiki. Usaha tersebut harus ditujukan untuk membangun basis data. Penelitian ini bertujuan menemukan model yang efektif dan efisien dalam mencatat dan melaporkan kasus tuberkulosis. Subjek dan Metode. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain pengembangan sistem gabungan metode (apa kepanjangannya)........................ (SDLC) dan prototipe. (tambahan sebuah kalimat yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan SDLC) Hasil.Penelitian ini telah mendesain prototip aplikasi dalam membantu membangun basis data tuberkulosis di Dinas Kesehatan. (..jelaskan dalam satu atau dua kalimat karakteristik dari prototipe aplikasi yang telah dikembangkan ini) Kesimpulan. Model ini (sebutkan apa nama model baru yang dikembangkan ini) dapat menghilangkan redundansi data, data yang dimasukkan dapat dilakukan pembaharuan, mampu menyajikan analisis deskriptif berupa tabel dan grafik yang menunjukkan salah satu indikator keberhasilan angka deteksi kasus (CDR) penanggulangan tuberkulosis. Kata kunci: tuberkulosis,CDR, basis data, SDLC, prototip

436

ANALISA KETERATURAN BEROBAT DAN PERUBAHAN TINGKAT KECACATAN PADA PENDERITA KUSTA DI KOTA SAMARINDA TAHUN 2009 2011 Rahmat Bakhtiar*, Romi Hendra** *Bagian IKM/KK Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda ** Bagian P2M Dinas Kesehatan Kota Samarinda ABSTRAK Pendahuluan: Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang bisa menyebabkan kecacatan permanen pada penderitanya. Laporan tahun 201, menggambarkan Samarinda sebagai daerah low prevalence penyakit kusta dengan prevalensi 0,4 per 10.000 penduduk dan penemuan kasus baru adalah 2,3 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka cacat tingkat 2 sebesar 9,4%. Potensi terjadinya cacat selama dan sesudah pengobatan cukup tinggi. Tindakan yang paling efektif dalam mencegah kecacatan pada penyakit kusta adalah memutuskan mata rantai penularan, diagnosa dini dan pengobatan setiap kasus dengan MDT. Tujuan penelitian untuk menganalisa keteraturan pengobatan dan perubahan tingkat kecacatan pada penderita kusta selama masa pengobatan. Metode: Analisa retrospektif dari Samarinda tahun 2009 -2011. regiter penderita kusta Dinas Kesehatan kota

Hasil Penelitian: Sebanyak 93 penderita kusta baru dianalisa. Rasio laki-laki : perempuan adalah 1,33:1. Sebagian besar penderita kusta yang ditemukan mempunyai tipe MB yaitu 90,3% sedangkan tipe PB sebesar 9,7%. 92,5% penderita kusta release from treatment (RFT), keteraturan pengobatan penderita yaitu 77,3%. keteraturan penderita kusta perempuan sebesar 72 % lebih rendah dibandingkan dengan penderita kusta laki-laki sebesar 79 %. Proporsi penderita cacat tingkat 2 pada awal dan akhir pengobatan tahun 2009 adalah (11,7% dan 20,6%), tahun 2010 adalah (14,2% dan 17,1) dan tahun 2011 (9,45 dan 12,5%). Proporsi penderita yang berubah tingkat cacatnya tahun 2009: 8,8%, tahun 2010: 2,8 sedangkan tahun 2011: 0%. Proporsi penderita yang meningkat skor kumulatif cacatnya adalah 6,4%. Analisa bivariate menggambarkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan tingkat cacat selama pengobatan dengan jenis kelamin (p=0,598) dan terdapat hubungan yang signifikan antara keteraturan pengobatan dengan perubahan tingkat kecacatan baik pada penderita kusta perempuan maupun pada penderita kusta laki-laki (p=0,030). Kesimpulan: Menjamin keteraturan berobat penderita kusta dapat mencegah meningkatnya resiko kecacatan selama pengobatan. Keteraturan berobat penderita dapat dioptimalkan melalui komunikasi efektif dengan penderita kusta Kata kunci: keteraturan pengobatan, perubahan tingkat kecacatan - Kusta

437

A. Latar Belakang Penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di kota Samarinda propinsi Kalimantan Timur. Tahun 2011, kota Samarinda dilaporkan sebagai daerah low prevalence penyakit kusta dengan angka prevalensi 0,4 per 10.000 penduduk. Angka ini dibawah target eliminasi kusta yaitu 1/10.000 penduduk. Penemuan kasus baru (CDR) adalah 2,3 per 100.000 penduduk dan cendrung stabil dari tahun tahun sebelumnya. Penemuan kasus kusta baru tetap ada terutama di coastal area dan didominasi imported cases. (Dinkes Samarinda, 2011, Dinkes Kaltim, 2011) Angka cacat tingkat 2 pada penderita kusta baru sebesar 9,4%, lebih tinggi

dibandingkan dengan target nasional yaitu < 5% (Dinkes Samarinda, 2011). Angka cacat yang tinggi mengindikasikan penemuan penderita kusta yang terlambat disebabkan oleh ketidaktahuan pasien tentang gejala dan tanda penyakit kusta atau kurang sensitifnya

petugas kesehatan dalam mendiagnosa. Kualitas penemuan penderita dapat dinilai dengan melihat proporsi tingkat cacat 2 di antara penderita baru (Depkes (a), 2002) Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang bisa menyebabkan kecacatan permanen pada penderitanya (Yawalkar, 2002, Depkes (a), 2002). Penderita yang mengalami cacat permanen sering terisolasi karena masyarakat takut penyakitnya

menular. Stigma terhadap penderita timbul ketika kecacatan terlihat secara nyata (Varkevisser, 2009). Tindakan yang paling efektif dalam mencegah kecacatan pada penyakit kusta adalah memutuskan mata rantai penularan, diagnosa dini dan pengobatan setiap kasus dengan MDT. Petugas kesehatan memainkan peranan yang sangat penting dalam pengobatan penyakit kusta. Rendahnya tingkat pengetahuan penderita dan kurangnya pengawasan atau evaluasi keadaan pasien saat berkunjung ke Puskesmas dapat meningkatkan resiko

terjadinya kecacatan selama proses pengobatan. Timbulnya cacat selama masa pengobatan dapat memberikan efek psikologis bagi penderita sehingga penderita merasa frustasi dan tidak mau meneruskan pengobatannya. (Kaufmann, 1993) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran gender dalam keteraturan pengobatan dan perubahan tingkat kecacatan pada penderita kusta selama masa pengobatan. Secara khusus penelitian ini menganalisa rasio gender, proporsi tipe MB dan PB, mengevaluasi perubahan tingkat cacat pada awal dan sesudah pengobatan, mengevaluasi keteraturan berobat pasien kusta. Hubungan antara jenis kelamin penderita

438

dengan perubahan tingkat cacat dan keteraturan berobat serta hubungan antara keteraturan berobat dengan perubahan tingkat cacat yang terjadi pada masing masing kelompok jenis kelamin.

B. Subjek dan Metode Semua pasien yang tercatat dalam register kohort penderita kusta kota Samarinda antara 1 Januari 2009 31 Desember 2011 dimasukkan kedalaam penelitian ini. Data dianalisa secara retrospektif dengan variabel : (1). Identitas (umur dan jenis kelamin), (2). Kecacatan (tingkat cacat pada awal dan akhir pengobatan, perubahan tingkat cacat (skor atau kumulatif) dan lama perubahan tersebut), (3). Tipe Kusta (MB/PB), (4). Status penderita, (5). Hasil pengobatan (Release from Treatment = RFT) dan keteraturan berobat. Data dari semua variabel telah divalidasi dan diverifikasi oleh wasor kusta kota Samarinda. Data tingkat kecacatan mengacu pada kriteria WHO yaitu tingkat 0, 1 dan 2. Cacat akibat kusta terdiri dari tingkat 0 penderitanya masih normal hanya timbul bercak putih/memerah, Cacat tingkat 1 berupa mati rasa pada telapak tangan atau telapak kaki dan cacat tingkat 2 adalah ada cacat yang terlihat seperti kelopak mata tidak menutup, jari tangan maupun kaki memendek, bengkok dan luka (Depkes (b), 2002) Perubahan tingkat cacat didefenisikan sebagai perubahan tingkat cacat pada penderita kusta selama pengobatan (jika tidak terdapat perubahan tingkat cacat, dilihat dari skor cacat secara kumulatif). Lama perubahan tingkat cacat dihitung berdasarkan bulan pengobatan sampai terjadinya perubahan tingkat cacat. Tipe kusta diklasifikasikan menurut kriteria WHO yaitu tipe multibasiler (MB) dan tipe pausibasiler (PB) (Depkes (b), 2002, Yawalkar, 2006). Keteraturan pengobatan penderita kusta adalah penderita kusta yang secara rutin mengambil obat. Keteraturan berobat dapat dilihat dari kolom pengobatan pada register kohort penderita dan kartu penderita. Data dianalisa dengan menggunakan SPSS versi 16.0. Data jenis kelamin dan tipe penderita kusta dianalisa dengan rasio. Data perubahan tingkat cacat, tipe kusta dan keteraturan berobat pasien antara laki-laki dan wanita dianalisa per tahun secara univariat. Sedangkan analisa hubungan antara jenis kelamin, keteraturan berobat dan perubahan tingkat cacat menggunakan analisa Chi-square (2) dengan tingkat signifikansi ( = 0,05).

439

C. Hasil Penelitian Sebanyak 93 penderita kusta baru dianalisa, penderita kusta laki-laki (66,7%)

sedangkan perempuan (33,3%), rasio laki-laki : perempuan adalah 1,33:1. Sebagian besar penderita kusta yang ditemukan mempunyai tipe MB yaitu 90,3% sedangkan tipe PB sebesar 9,7%. Meskipun 92,5% penderita kusta akhirnya menyelesaikan pengobatan atau release from treatment (RFT), tetapi keteraturan pengobatan penderita kusta Samarinda cukup tinggi yaitu 77,3%. Jika dari aspek keteraturan berdasarkan gender penderita kusta

perempuan sebesar 72 % lebih rendah dibandingkan dengan penderita kusta laki-laki sebesar 79 %. Proporsi penderita cacat tingkat 2 pada awal dan akhir pengobatan tahun 2009 adalah (11,7% dan 20,6%), tahun 2010 adalah (14,2% dan 17,1) dan tahun 2011 (9,45 dan 12,5%). Proporsi penderita yang berubah tingkat cacatnya dari cacat tingkat 0 ke cacat tingkat 1 atau dari cacat tingkat 1 ke cacat tingkat 2 tahun 2009: 8,8%, tahun 2010: 2,8 sedangkan tahun 2011: 0%. Proporsi penderita yang meningkat skor kumulatif cacatnya adalah 6,45%. Register kohor belum dapat menggambarkan kapan waktu terjadinya perubahan tingkat cacat tersebut. Analisa bivariate menggambarkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara perubahan tingkat cacat selama pengobatan dengan jenis kelamin (p=0,598) dan terdapat hubungan yang signifikan antara keteraturan pengobatan dengan perubahan tingkat kecacatan baik pada penderita kusta perempuan maupun pada penderita kusta laki-laki (p=0,030).

D. Pembahasan dan Kesimpulan Dari hasil penelitian ditemukan proporsi cacat tingkat 2 pada penderita kusta baru sejak tahun 2009 lebih dari 5 % hal ini menggambarkan kualitas penemuan yang masih kurang baik. Proses penemuan penderita kusta dilakukan secara aktif dengan mengadakan Rapid Village Survey (RVS) (Depkes (a), 2002) Cara lain adalah melakukan pemeriksaan kontak serumah dengan penderita kusta. Pemeriksaan kontak secara rutin akan dapat menemukan penderita secara dini (Nicholls, 2006). CDR yang rendah cendrung stabil dan angka cacat tingkat 2 yang tinggi mengindikasikan, petugas puskesmas masih kesulitan dalam menemukan kasus kusta baru. Beberapa penyebabnya karena pengetahuan

440

masyarakat yang kurang dan menganggap kusta sebagai penyakit biasa karena tidak ada gejala yang khas, orang tidak mau berobat karena malu sehingga pengobatan menjadi terlambat serta pengobatan yang tidak tepat (Depkes (a), Varkevisser, 2009) Proporsi penderita yang meningkat tingkat cacatnya pada akhir pengobatan cendrung menurun. Hal ini disebabkan semakin membaiknya ketrampilan petugas dalam menangani tatalaksana kasus kusta di Puskesmas. Daerah low endemik dengan kasus kusta yang sedikit dapat mengakibatkan menurunnya ketrampilan petugasdalam menangani kasus kusta. Pelatihan pelatihan yang berkesinambungan oleh Dinas kesehatan propinsi dan Netherland Leprosy Relief (NLR) dapat meningkatkan kemampuan petugas kusta di Puskesmas (Dinkes Prop Kaltim, 2011) Penyebab utama timbulnya kecacatan selama periode pengobatan adalah pengobatan yang tidak teratur dan terjadinya reaksi kusta (ILEP,2002, Depkes (a), 2002). Pengobatan yang tidak teratur mengakibatkan kuman kusta merusak jaringan saraf. Ketidakmampuan pasien dalam mengenali reaksi kusta mengakibatkan tidak diobatinya reaksi kusta sehingga menyebabkan terjadinya neuritis yang sangat mengancam kerusakan saraf (Yawalkar, 2006, Kahawita, 2008). Rendahnya kompetensi petugas dalam mengenali dan menatalaksanai reaksi kusta berakibat tidak tertanganinya reaksi sehingga berdampak kepada timbulnya cacat. Pasien yang datang mengambil obat seharusnya dilakukan 2002, Yawalkar, 2006,

pemeriksaan saraf secara berkala (Prevention od Disability =POD) sehingga riwayat pasien selama dirumah difollow up oleh petugas termasuk perkembangan keadaan saraf.(Depkes (b), 2002) Sebagian besar (92,5%) penderita kusta akhirnya dapat menyelesaikan pengobatan atau release from treatment (RFT), tetapi secara umum keteraturan pengobatan penderita kusta di Kota Samarinda cukup baik yaitu 77,3%. Keteraturan berobat penderita kusta perempuan sebesar 72% lebih rendah dibandingkan dengan penderita kusta laki - laki sebesar 78 %. Keteraturan berobat dipengaruhi oleh banyak keadaan seperti: lokasi rumah, transportasi, ekonomi, pekerjaan dan pandangan (Yawalkar, 2006, Varkevisser, 2009). penderita terhadap penyakitnya

Status sebagai istri, tokoh masyarakat dan

kedudukan sosial dimasyarakat akan menurun atau berkurang jika seorang perempuan terlihat cacat akibat kusta (Leonie, 2006)

441

WHO membuat skala tingkat cacat sebagai sistem untuk mengukur cacat akibat kerusakan saraf sebagai resiko penyakit kusta (Yawalkar, 2006). Selama pengobatan akan dilakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya kecacatan. Pemantauan terhadap saraf tepi penderita memerlukan keterampilan yang harus dilatihkan secara kontinu (Depkes(b), 2002). Tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan akibat kusta adalah (Depkes (a), 2002): (1). Penemuan dini penyakit kusta, (2). Melakukan pengobatan yang tepat dan teratur, (3). Mendeteksi dini terhadap adanya komplikasi, (4). Penanganan, (5). Perawatan dan (6). Rehabilitasi. . Keteraturan berobat berdampak pada terevaluasinya pasien secara menyeluruh melalui POD.(Depkes (a), 2002). POD akan memberi informasi kepada petugas dan penderita tentang keadaan sistem saraf tepi. Menjamin di periksanya setiap penderita kusta dengan POD pada saat berkunjung ke puskesmas untuk mengambil obat memerlukan merupakan mutu pelayanan penyakit kusta dimasyarakat. Rendahnya pemahaman tentang pentingnya berobat teratur berdampak kepada tingginya angka drop out (DO). Penghentian pengobatan dapat dicegah dengan melakukan komunikasi efektif terhadap pasien (Kaufman, 1993). Penjelasan yang baik dan terarah yang diberikan pada saat yang tepat akan meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menjalani pengobatan (Depkes (b), 2002 Sangat penting untuk diketahui kondisi apa saja yang dapat menghasilkan kerusakan permanen dari fungsi saraf (Nicholls, 2008). Kerusakan saraf didefenisikan pengurangan dari fungsi sensoris dan fungsi motorik. Neuritis akut meningkatkan resiko kerusakan fungsi saraf dan jika tidak segera ditanggulangi dengan segera dan adequat akan memicu kerusakan saraf yang bersifat permanen (irreversible).. Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) tentang leprosy pada daerah high risk dan sangat perlu bagi pasien dan keluarganya. Peningkatan pemahaman keluarga tentang penyakit kusta ternyata mampu mengajak penderita untuk kembali menjalani pengobatan (Varkevisser, 2006). Melaksanakan promosi kesehatan pada masyarakat ketika melaksanakan survey desa (RVS) atau penyuluhan pada sekelompok masyarakat yang kemungkinan tertular oleh penderita kusta akan dapat menjaring penderita kusta secara lebih dini. . Kesimpulan: Menjamin keteraturan berobat penderita kusta dapat mencegah meningkatnya resiko kecacatan selama pengobatan. Keteraturan berobat penderita dapat dioptimalkan melalui komunikasi efektif pada penderita setiap mengambil obat ke puskesmas.

442

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI (a). Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Direktorat Jendral PPM dan PL, Jakarta, 2002 Depkes RI (b). Buku Panduan pelaksanaan program P2 bagi petugas unit pelayanan kesehatan. Direktorat Jentdral PPM dan PL, Jakarta. 2002 Dinkes Prop. Kaltim. Laporan P2 Kusta tahun 2011. Bagian P2M Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur, 2011 Dinkes Kota Samarinda, Laporan P2 Kusta tahun 2011. Bagian P2M Dinkes Kota Samarinda, 2011 ILEP. How to Recognise and Manage Leprosy Reaction. The Ilep Action Group London, Kahawita IP, Walker SL, Lockwood DNJ. Leprosy type 1 reactions and erythema nodosum leprosum An Bras Dermatol. 2008;83(1):75-82. Kaufmann A, Mariam SSG, Neville J. The Social Dimension of Leprosy. TALMILEP, reprinted, London, 1993 Leonie Try. Gendered Experiences: Marriage and the stigma of leprosy. Asia Facific Disability Rehabilitation Journal. Vol 17. no 2. 2006, 55-71 Nicholls, PG, Ross L and Smith WCS. Promoting early detection in leprosy a literature review to identify proven and potential interventions addressing patient-related delay. Lepr Rev (2006) 77, 298 310 Yawalkar SJ. Leprosy for medical practitioners and paramedical workers. Seventh edition. Novartis Foundation for sustainable development, Basle Switzerland. 2002 Varkevisser CM, Lever P, Alubo O, Burathoki K, Idawani C, Moreira TMA, Patrobas P and Yulizar M. Gender and leprosy: case studies in Indonesia, Nigeria, Nepal and Brazil. Lepr Rev (2009) 80, 6576

443

DETERMINAN SOSIAL TUBERKULOSIS ( Sebuah Tinjauan dalam Penanganan Tuberkulosis) The Social Determinants of Tuberculosis Bahrul Ilmi (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Kesehatan Universitas Airlangga (UA) ABSTRAK Penilaian Keberhasilan Tuberkulosis Paru saat ini menggunakan indikator: angka insiden, Prevalensi, tingkat kematian akibat tuberculosis, proporsi kasus tuberculosis yang ditemukan dan diobati dalam program DOTS dan tingkat diagnosis Pasien. Berdasarkan hal tersebut penanganan tuberculosis paru hanya berdasarkan indicator sakit saja, artinya bahwa indikator tersebut dapat dicapai setelah penemuan kasus TB Paru itu sendiri, atau sakit TB Paru dulu baru dilakukan penanganan. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi penularan penyakit TB Paru apabila masih ada penderita yang tidak berobat ke pelayanan kesehatan atau terdeteksi bahwa mereka menderita TB Paru. Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit tuberculosis itu sendiri tidak ditangani dengan baik. Salah satunya adalah Faktor soial. Faktor social merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi penyakit tuberculosis paru, meliputi faktor Pendidikan (Education), Pekerjaan (Employment), Penghasilan (Income), Jaringan Sosial (Social Network), Kemampuan Kelompok (Collective efficacy), Dukungan Sosial (Social support), Kondisi Hidup ( Living Condition), Perumahan (Housing) dalam beberapa penelitian, bahwa faktor sosial merupakan salah satu faktor penentu terjadinya TB Paru. Kata Kunci: Sosial, Determinan, Tuberkulosis,

ABSTRACT Successful Assessment Pulmonary Tuberculosis currently using indicators: incidence, prevalence, mortality due to tuberculosis, the proportion of tuberculosis cases were identified and treated in DOTS programs and the level of patient diagnosis. Based on the handling of pulmonary tuberculosis based indicator only sick, it means that the indicator can be achieved after the discovery of cases of pulmonary TB itself, or pulmonary TB hospital first and the handling. This of course will affect the transmission of pulmonary TB disease if there are still people who do not go to health care or that they had detected pulmonary TB. Factors affecting the occurrence of tuberculosis disease itself is not handled properly. One is factor soial. Social factor is a factor that can affect pulmonary tuberculosis, including factors of Education, Employment, income, Social Networks, Collective efficacy, social support, Living Conditions, Housing in some studies, that social factors are among the factors determining the occurrence of pulmonary TB. Keywords: Social, Determinants, Tuberculosis,

444

A. Pengantar Penyakit Tuberkulosis Paru di dunia semakin memburuk dengan jumlah kasus yang terus meningkat serta banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah besar Tuberkulosis Paru (high burden countries), sehingga pada tahun 1993 Organisasi Kesehatan Dunia mencanangkan Tuberkulosis Paru sebagai salah satu kedaruratan dunia (global emergency). Tuberkulosis Paru juga merupakan salah satu emerging diseases. Indonesia termasuk ke dalam kelompok high burden countries, menempati urutan ketiga setelah India dan China berdasarkan laporan WHO tahun 2009. Data WHO Global Report yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat Penyakit TB dari Direktorat Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus/100.000 penduduk/tahun dan pada tahun 2010 turun menjadi 244 kasus/100.000 penduduk/tahun. Dan pada tahun 2010 Indonesia menduduki urutan kelima berdasarkan laporan WHO 2010. Kemudian tahun 2011 Indonesia naik lagi menduduki urutan ke Empat berdasarkan laporan WHO 2011. Sejak tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai melaksanakan strategi DOTS dan menerapkannya pada Puskesmas secara bertahap. Sampai tahun 2000, hampir seluruh Puskesmas telah komitmen dan melaksanakan strategi DOTS yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar. Pelaksanaan penanggulangan Tuberkulosis masih berkisar pada upaya yang bersifat kuratif, tidak bersifat preventif. Kalau penanggulangan Tuberkulosis berorientasi pada upaya preventif maka kita harus mengkaji faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit Tuberkulosis. Seperti yang kita ketahui faktor yang mempengaruhi kesehatan secara umum adalah faktor Perilaku (Lifestyle, Sikap), faktor lingkungan (fisik, Biologis dan sosial) dan faktor Pelayanan kesehatan serta faktor Heriditer atau keturunan. Faktor linfkungan Sosial merupakan salah satu faktor diluar kesehatan sebagai penentu kesehatan dan terjadinya penyakit Tuberkulosis Paru. Kesehatan manusia tidak hanya ditentukan oleh kontak dengan mikroba dan racun yang secara langsung menyebabkan kegagalan system organ oleh suatu penyakit, tetapi juga oleh faktor biologis dan sosial lainnya.4 Hal ini sesuai dengan hasil Riskesda 2010 bahwa penderita TB Paru dominasi tempat tinggal berada di wilayah perdesaan. Berdasarkan status sosial tidak

445

berpendidikan, pekerjaan sebagai petani/nelayan/buruh dengan status ekonomi kelompok rendah hingga menengah keatas.1 Jelaslah bahwa faktor sosial berpengaruh terhadap terjadinya kasus TB Paru, atau dengan kata lain bahwa faktor sosial adalah penentu terjadinya TB Paru. Sehingga untuk mengatasi TB paru kita tidak hanya berorientasi pada upaya kuratif dan rehabilitative, tetapi juga pada upaya Promotif dan preventif agar penyakit Tuberkulosis dapat diturunkan. Berdasarkan identifikasi masalah diatas kerangka konsep yang digunakan adalah:
Socioeconomic & political context Social network Collective efficacy Social support Living Condition
Material circumstances Social cohesion Psychosocial factors Behaviours Biological factors

Governance

Policy (Macroeconomic, Social, Health)

Housing
Education Occupation

Prevalensi Tuberculosis

Cultural and societal norms and values

Income Gender Ethnicity / Race Health-Care System

Gambar: Social determinants of Prevalensi Tuberculosis Sumber: modifikaci Amended from Solar & Irwin, 2007

Tulisan ini akan mendiskusikan beberapa issu penting dalam mengatasi penyakit TB Paru diluar Aspek kesehatan, terutama dari Aspek Sosial. Meliputi Determinan Sosial kesehatan, Determinan Sosial Penyakit TB Paru, Penanganan TB Paru dari Aspek Sosial.

Determinan Sosial Kesehatan Determinan social kesehatan adalah suatu faktor yang menentukan dan mempengaruhi kesehatan seseorang sehingga dia menjadi sakit. Banyak faktor yang menentukan seseorang untuk menjadi sakit. Konsep diterminan kesehatan mencakup faktor resiko dan kausa. Faktor resiko adalah faktor yang berasal dari dalam (atribut) atau dari luar (paparan) yang berhubungan dengan meningkatnya probabillitas terjadinya suatu penyakit. Atribut

446

adalah karakteristik intrinsic dari individu (misalnya, umur, jenis kelamin, kerentanan, jenis kelamin, kerentanan genetic, status imunitas, berat badan). Sedangkan paparan (exposure) adalah faktor resiko lingkungan diluar individu (misalnya; agen, infeksi, agen toxik, nutrisi perumahan, pekerjaan). Kausa adalah kombinasi dari faktor resiko tersebut, yang secara sendiri atau bersamaan (multifactor) pada suatu saat dalam siklus kehidupan individu menyebabkan suatu penyakit pada individu tersebut.9 Last (2001) mendifinisikan Determinan sebagai istilah inklusif yang merujuk kepada semua faktor, baik fisik, biologi, perilaku, sosial, maupun kultural yang mempengaruhi kesehatan dan terjadinya penyakit.5 sedangkan meneurut Wikpedia, (2012) Diterminan social adalah kondisi social yang melatarbelakangi kehidupan seseorang yang mempengaruhi kesehatannya.2 Sehingga determinan social kesehatan adalah factor social yang mempengaruhi kesehatan dan terjadinya penyakit. Diterminana social kesehatan meliputi; Usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kelas social, dukungan social, social capital, keadaan perumahan, akses ke pelayanan kesehatan, determinan social menurut Raphael & Mikkonen: Kanada mempertimbangkan ada 14 faktor determinan sosial kesehatan yaitu:7 1. Income and Income Distribution 2. Education 3. Unemployment and Job Security 4. Employment and Working Conditions 5. Early Childhood Development 6. Food Insecurity 7. Housing 8. Social Exclusion 9. Social Safety Network 10. Health Services 11. Aboriginal Status 12. Gender 13. Race 14. Disability

447

Diterminan social kesehatan dalam peningkatan derajat kesehatan Riskesdas 2010 meliputi:1 1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Status ekonomi 4. Pengetahuan 5. Perilaku 6. Konsumsi individu 7. Akses pelayanan kesehatan Sedangkan factor social lainnya seperti pemerataan dan keadilan pembiayaan kesehatan, ketanggapan system kesehatan tidak dilaporkan. Faktor diterminan sosial dari kesehatan adalah kondisi di mana orang dilahirkan, tumbuh, hidup, kerja dan usia, termasuk sistem kesehatan.Keadaan ini dibentuk

oleh pembagian uang, kekuasaan dan sumber daya di tingkat global, nasional dan lokal, yang dipengaruhi oleh kebijakan itu sendiri. Faktor diterminan sosial dari kesehatan sebagian besar bertanggung jawab untuk ketidak adilan kesehatan -perbedaan tidak adil dan dihindari dalam status kesehatan dilihat dalam dan antar negara.7 Seperti yang tercantum dalam Determinan Sosial Kesehatan (WHO, 2003): "Kebijakan Kesehatan dilakukan tidak lebih dari penyediaan dan pendanaan perawatan hanya dibahas di kalangan

medis: Saat ini faktor diterminan sosial dari kesehatan

akademisi, Sementara perawatan medis dapat memperpanjang kelangsungan hidup dan memperbaiki prognosis setelah beberapa penyakit serius, lebih penting bagi kesehatan masyarakat secara keseluruhan adalah kondisi sosial dan ekonomi yang membuat orang sakit dan membutuhkan perawatan medis di tempat pertama. Namun demikian , akses universal ke perawatan medis jelas salah satu faktor diterminan sosial dari kesehatan. Raphael (2008) memperkuat konsep ini: "Diterminan Sosial kesehatan adalah kondisi ekonomi dan sosial yang membentuk kesehatan individu, masyarakat, dan yurisdiksi secara keseluruhan faktor penentu sosial dari kesehatan merupakan penentu utama apakah orang tetap sehat atau menjadi sakit. (definisi sempit kesehatan) determinan sosial kesehatan juga. menentukan sejauh mana seseorang memiliki, sumber daya fisik, sosial, dan pribadi untuk mengidentifikasi dan mencapai aspirasi pribadi, memenuhi kebutuhan, dan mengatasi lingkungan (definisi yang lebih luas dari kesehatan ). penentu

448

sosial dari kesehatan adalah tentang kuantitas dan kualitas berbagai sumber daya masyarakat yang membuat tersedia kepada para anggotanya. 7

Determinan Sosial Tuberkulosis Paru Diterminan social tuberkulosis adalah suatu faktor yang menentukan dan mempengaruhi kesehatan seseorang sehingga dia menderita penyakit tuberculosis, yang meliputi

Jenis kelamin(Gender) Jenis kelamin pada penderita TB Paru secara epidemiologic kebanyakan adalah perempuan.

Pendidikan (Education) Tingkat pendidikan seseorang sangat menentukan terhadap kesehatannya, orang yang berpendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi baru sehingga di dapat menghindari suatu penyakit.

Pekerjaan (Employment) Pekerjaan ialah kegiatan fisik dan mental manusia untuk menghasilkan barang atau jasa bagi orang lain maupun dirinya yang dilakukan atas kemauan sendiri dan atau dibawah perintah orang lain dengan menerima upah atau tidak. Jenis pekerjaan seseorang berpengaruh terhadap kesehatan, suatu pekerjaan yang berat dengan upah yang rendah tentu saja dapat menyebab kan orang akan saki. Dan kebayakan penderita TB Paru dengan pekerjaan sebagai buru, petani, bahkan mereka yang tidak mempunyai pekerjaan, yang membuat mereka miskin.

Penghasilan (Income) Penghasilan atau pendapatan adalah hasil yang dicapai seseorang dari kerja atau usaha yang telah dilakukan. Penghasilan akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku atau melakukan gaya hidunya. Mereka yang berpenghasilan tinggi yang mempunyai status ekonomi tinggi akan berperilaku yang konsumtif, sedangkan yang tidak mapu atau kelas ekonominya ke bawah maka mereka tidak punya daya beli untuk mencukupi semua

449

kebutuhannya, terutama untuk pemenuhan gizi keluarga, perumahan sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatannya.

Jaringan Sosial (Social Network) Jaringan sosial mengacu pada jaringan hubungan sosial yang mengelilingi individu. Struktur jaringan sosial dapat dijelaskan dalam hal focus karakteristik

hubungan spesifik antar individu dan orang lain dalam jaringan dan dalam hal karakteristik jaringan sebagai keseluruhan (Israel, 1982; House, Umberson, dan Landis, 1988). 10 Orang yang mempunyai jaringan social yang luas akan mempengaruhi dirinya akan informasi, advice, penghargaan, bantuan, empati, perhatian dan kasih saying kepadanya dapat memberikan penguatan pada dirinya sehingga dia mampu menghadapi dan mengatasi penyakit yang ia derita.

Kemampuan Kelompok (Collective efficacy) Adalah keyakinan yang dimiliki kelompok untuk melakukan tindakan bersama yang membawa hasil yang diinginkan. Kemampuan kelompok penting dimiliki oleh penderita TB paru, sehingga dengan keyakinan kelompoknya tersebut dia bisa melakukan tindakan dalam pencegahan penyakit tuberculosis kepada keluarganya, dan orang lain, sehingga angka kejadian TB paru dapat dikurangi.

Dukungan Sosial (Social support) Dukungan sosial (social support) didefinisikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subyek di dalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan halhal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku. Pendapat senada juga mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang di sekitar. Pandangan yang sama juga mendefinisikan dukungan sosial sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan atau menolong orang dengan sikap menerima kondisinya, dukungan sosial tersebut diperoleh dari individu maupun kelompok. Faktor lain yang berpengaruh terhadap tuberculosis menurut Huerta, S.L, et.all. (2010) adalah faktor:11

450

Kondisi Hidup ( Living Condition) Adalah sebagai suatu materi atau bahan yang diperlukan untuk hidup dan bertekat untuk produktif.

Perumahan (Housing) Rumah adalah ruang fisik dimana keluarga dipertahankan dan menghasilkan sesuatu, sehingga perumahan adalah indikator utama tingkat konsumsi dasar.

Hasil Riset Determinan Social Tuberculosis: Hasil riskesda 2010 memaparkan diterminan social tuberculosis yang meliputi: 1. Pengetahuan: pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan dahak dan foto torax, dengan pengetahuan baik didominasi oleh mereka yang berpenghasilan tinggi atau kaya. 2. Pekerjaan: Berdasarkan pekerjaan, maka kelompok buruh/petani/nelayan merupakan kelompok yang paling tinggi melakukan upaya minum obat tradisional/herbal serta tidak berobat. 3. Usia; kebanyakan adalah usia produktif 4. Gender: penderita TB lebih banyak terjadi pada perempuan dari pada laki-laki. 5. Penghasilan: kebanyakan kasus TB paru masih berada pada social ekonomi rendah atau miskin. 6. Tempat tinggal; kebanyakan penderita bertempat tinggal di pedesaan, yang tentunya identik dengan akses pelayanan kesehatan yang terbatas, tidak ada jaminan kesehatan.

Karakteristik faktor ekonomi berkorelasi nyata dengan alasan Suspek TB (G) yang menyatakan tidak ada biaya sebagai alasan tidak memanfaatkan nakes. Sementara untuk alasan dapat diobati/ sembuh sendiri terdistribusi merata di setiap kelompok pendapatan, meskipun paling banyak terdapat pada dua kelompok ekonomi tertinggi, maka kelompok ekonomi paling rendah juga menunjukkan kecenderungan untuk mengkonsumsi obat tradisional/herbal.1 Sedangkan determinan faktor resiko TB Paru ada 6 indikator (WHO, 2011) meliputi: Crowding, education, income, poverty, public assistance, and unemployment.8 tidak berobat atau

451

Penangan TB Paru dari Aspek Sosial Penanganan TB Paru dari Aspek social adalah bagaimana kita melakukan

pengendalian penyakit TB Paru dalam rangka untuk memperbaiki keadaan social ekonomi dan Budaya masyarakat.: 1. Menjalin kemitraaan kepada pihak terkait baik pemerintah maupun swasta dalam hal penanggulangan Tb Paru 2. Pemberdayaan masyarakat melalui jaringan social penderita dengan masyarakat setempat untuk mendapatkan dukungan sosial dari masyarakat; berupa dukungan informasi, penghargaan 3. Jaminan pemeliharaan kesehatan untuk semua masyarakat miskin dan Pemerataan pelayanan kesehatan. 4. Pemerintah membuka lapangan pekerjaan agar masyarakat dapat memperbaiki social ekonominya untuk meningkatkan kesehatannya. 5. Membuat kebijakan public yang mendukung kearah pengembangan ekonomi kerakyatan. 6. Melakukan Promosi kesehatan instrumentalia; sarana prasaran. Dukungan emosional, dukungan

B. Kesimpulan Dalam menanggulangi penyakit TB Paru tidak hanya pada aspek Perawatan medis saja tetapi juga faktor social yang meliputi, penghasilan yang rendah, kemiskinan, keadaan perumahan yang kurang menunjang, jenis pekerjaan seperti buruh/petani/nelayan dan juga jaringan social, dukukungan social serta keyakinan kelompok dalam menanggulangi masalah penyakit tuberculosis.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Riset Kesehatan Dasar 2010 ,Badan Penelitian dan pengembangan kesehatan Kemenkes RI, Jakarta, 2010. Social Determinants of Health Centers for Disease Control and Prevention 1600 Clifton Rd. Atlanta, GA 30333, USA 800 CDC-INFO (800-232-4636) TTY: (888) 2326348, New Hours of Operation 8am-8pm ET/Monday-Friday Closed Holidays. 2009. - cdcinfo@cdc.gov

452

Lobato S. H. at all. Social Determinants of Pulmonary Tuberculosis in Families of Migrants participating in Mexico-Canada Seasonal Agricultural Workers Program: A Study in Guadalupe Zaragoza. Social Medicine (www.socialmedicine.info) - 25 Volume 5 Number 1, March 2010. Marmot, SM. Social Determinants of Health, Health in Asia Facific, 2009. Last, JM, A Dictionary of epidemiology, New York: Oxford University Press.Inc. 2001. WHO, The Social determinant http://www.who.int/social_determinants/en of Health, 2012.

Raphael, D & Mikkonen, J. Social Determinants of Health The Canadian Facts. Toronto: York University School of Health Policy and Management. The publication is available at, 2010. http://www.thecanadianfacts.org/ Lonnroth K, (2011) Risk Factors and Social Determinants of TB, Stop TB Department, WHO. Murti, B, Determinan sosioekonomi, Modal Sosial, dan Implikasinya Bagi Kesehatan Masyarakat, UNS,2010 Catherine A, et. All, Network ang Social Support, Glland, Karen Barbara K. K. Krimer. Viswantah, Health Behavior and Health Education, Theory, Research, and Practice. Printed in the United States of America, 2008. Huerta, S.L. et., all. Social Determinants of Pulmonary Tuberculosis in Families of Migran participating in Mexico Canada Seasonal Agricultural Workers Program; study in Guandalupe Zaragoza, Sosial Medicine Volume 5 number 1 Maret 2010. (www.socislmedicine.info)

453

Lobato S. H. at all. Social Determinants of Pulmonary Tuberculosis in Families of Migrants participating in Mexico-Canada Seasonal Agricultural Workers Program: A Study in Guadalupe Zaragoza. Social Medicine (www.socialmedicine.info) - 25 Volume 5 Number 1, March 2010. Marmot, SM. Social Determinants of Health, Health in Asia Facific, 2009. Last, JM, A Dictionary of epidemiology, New York: Oxford University Press.Inc. 2001. WHO, The Social determinant http://www.who.int/social_determinants/en of Health, 2012.

Raphael, D & Mikkonen, J. Social Determinants of Health The Canadian Facts. Toronto: York University School of Health Policy and Management. The publication is available at, 2010. http://www.thecanadianfacts.org/ Lonnroth K, (2011) Risk Factors and Social Determinants of TB, Stop TB Department, WHO. Murti, B, Determinan sosioekonomi, Modal Sosial, dan Implikasinya Bagi Kesehatan Masyarakat, UNS,2010 Catherine A, et. All, Network ang Social Support, Glland, Karen Barbara K. K. Krimer. Viswantah, Health Behavior and Health Education, Theory, Research, and Practice. Printed in the United States of America, 2008. Huerta, S.L. et., all. Social Determinants of Pulmonary Tuberculosis in Families of Migran participating in Mexico Canada Seasonal Agricultural Workers Program; study in Guandalupe Zaragoza, Sosial Medicine Volume 5 number 1 Maret 2010. (www.socislmedicine.info)

453

% 8
) ,,
5 ' 5

(
(
( 3 4/ 5) ( ' ' / ( (

9
:% 8 ' ' ( * '

/
( ( ( ( ' ) ( ' ' ' ' ' ' )

 !  "

) 6

'

' '

) , ) )' '

,) '

( (/

% )

& 

'

# $

# *

 " $

! " " %& 

' ) ( ' ' ) '


1

' )

'

) )' , ' '

-/ ' (

( (' ' )' '

' ( ) 0
2

') ' ( ') ( ' ' ') (

'( , (

+,

* (

'
/

,
"

) ' ' , ( ' ( ' ' ' ) '/ ) ( ( ' 7' , )( ' ' ( / ) ), ( / ( ) )' ' ) ' ( , / 5 ) ' )' ) ( , ( ) ' (* ' ) 7 ) ( ' ' / )' )' , ' ' , , ) )' , ' / ' ) ) )' ) (' ) ' / 5 ( , ' ' ) )(/ ) ' ) ' ' ' 0 4/ 8 ) 8 ) / 8 ) ( ) ) , )' ' , / ' ' ) ) , ) )/ , ' ) )) ' / )' ' ' ' / ( ( ' 7 ' ' , ' , )( , / ' ) , ) * ( , , )( (' ( / + ' , ' ) ( , ') )' ) ' , ) / , ) (/ ) ' #! #
" % " ! " %

) )'

)'

'

'

'

454

'

' )' ' / # /5 , ' ) ( ' , ' / 5 ' ) ' ' ) / , ( ) ' '' ' )/ ' ' ) )' , ' ( / 5 ' (* , ' ( ) ( ( ' ) ' ) ( ) )' ) ) ' / )') ' ' ) 8 ( ( ) ' , , ' ( ( ) * 7 / ) ) ) ' ) ' / ' ) ' ) ' ') ' )/ 5 ' )' * ' * '/ ;$ '8 ) ' ) ) ) )/ 2 ' ) ' ) ( * ' ' ) , ) ' ' ) , /# * ' ) ' ' ' * ' , / ' ( (' ( ) ), ) ) ' ) / , ( ) ' () ' ' ' / ' ; )') '' () ' , ' ) ' ' / )') ' ) ' ( / (' ( ) 7) / , , ') ( ) 7 ) / 5 ' ( ' ) )' ' )') ) , 7) , )') / )') ' , ) ' ' / )') ' / 5 ' ' ( )') )/ ) )' ( ( )') ) , ) ( ) )( () ( )/ )') ( ' , ' / ' (7 ( ) ' , / )( ' ' ) / ' ' ) , , ) )' ' / ' (' ' ' ) )' , ' ' ' ) , ' / ' ) )' ( ' ' ' )') ' )' ' / '

) )'' )') ' )

)') '

) )'' / ') ' ) ' '

) , '

' , /

7 0 ' ) , ) /& )')

( ) )'' 4 )

) , 0

' 4/

'

) 7 ) , )7 ) ) ,' ( ( ) )<

, '/ ' '

'

' ,

'

' , ' (/

( '

' ( ,

( ' ' ) ' ) * '

) / ( ' '

' '

' ,

' ) ;

)') )* ) '

'

) '

) ( ,

'/

, )' ,
"

( )') )' * * /5 ' ( (/ '


"

') ( ' ) ) ) ' '( , ) )'

( ') (' ,

' ' /

, ) ' ' / )* / ) ( )* ( '7 ( ' , )' 7 ) ) /


5 "

%"

& ! %" %5

"2

#!

"

') ( (, ') 2 ) ) ( 0 14/ ) ' / ( * ) )' ' ) )) ' 7 / ' ' , ( * ' ) ) , ) ) ) ) , ' )/ ) ( ' )( ' ) / ' ' ) ( )(/ ) ( ) ( )/ ' ' ) ( ) , ' ) ' ) : ' ) ) ' ) )

) '

455

' 7' , 2 ) ( ) ), ) ) / 2' ' ' (( '

) , , ' ' )/ ( ) , ; ' ) )(' , ' , ' ' , ' ) ) )' ' ' ) ' ' ' /

) ' ' /7 ' ' 7' ) )' ( ) )'' (

) ' ' '

' / ) , , ' (

(/

' 2' )

)' , ( ' )

( ( ) )/ ) ) ) ) ' ( ' ' )') (* ' ' ' ) ' ' ' ) )' ) ) , ' ' / 5 ' ( )) ' ' ) ( ' ' 8 )/ ( ( ) ' ') ' ' ' )/ , ' ' , ; (' ' , / 2' ' ' ( ) ) ) ( , ' ) )' )/ ' ' ' , ') ' ' ) / ' ) ) ' ' ) ' ( ;( ) ' ( ' / &)' ' ( ' < &)' ' ( ' ' ' )7 ) , ' ' ' ) ) ' ( ' ( )) ( ) ( < &)' ' ( ' ' ' ) (7 ( ( ' < ) ' ( ) ' ' ( (, ( ) ' ' ) ) , ' ' ) )' ( / ) ' ) ( ' > ' ' ) ' ) ' , ( ) )< )' ( ' , ( ' ' < ' ' ) ' / ) ) ' ( ' ' ; ) )'- , ')' ) ( ' ) / , ) ( ) ' / 2' , ' )' ' ' ' )' ' / 5 ' ( ( ?) , ' (7 ( ( ' ') , ' / ( ' ( ) ( ( ' /5 / , ' , ' '/ 2 (7 ( )( ) ' ) ) ' ' ) '' ' ', / ) ' ( ' ') ( 2' ) ' /5 '

' )' ,

/ ' ' /

'

' ,

(* ') ' , ' 0* 4/

')' ( ) : ) ) ' ) ( ) ) ' ' '( , 7 ) ( :

) ( '

( )/ 7 )

' ,

'

,' - !.

"

 ( ' ( ' ) ') / ) , (* 7 ) )( , ' ( ') / 2' ' ' , ' ) )' ' , , / , )( ' ) )'' ' ( ' ' ' ' / ' ' ,) ; -/ ( ) ') ' , ) )( / ' ) ' / @ ' ( ' ( ' ) ' ) ') ) ( ' ' ' / / )') ( ( , ' (* ' ' )' ) )( ) ( ' / ) , , ' )' ( ' / ' ' ) ' ' ( (7 ( ' ; - ' ) ' / 5 ' ( ' ' (7 ( ) ' ( ', ( ' ) )( / ' ) ' ) ) ) / % ' ) ' ( ( ' ' ) ( ' ' / % ) )' ' ( , (/ 5 ) )' ' ( ) ' ( ' ) ' , ' ( / ) ' , ! & )' ' ') ) ' ' )' ' ' )

456

' )' ' ' ' ' ' ' /2' ' ' (/ ' ' / ' ' )/ 5 7' )/ ' ' ) ) ' ' ' ' ) ' ( ' ) ) )' ' , ( ( ) )( (/

' ' ) ,

'

' ' )' (* ( ' ' ) ' ' ' ' ' (

) ( ) )(' ' ) ' ')' 5 ) ) ')'' ' ' / ) ) C ) 8 ' ' ') '

( / '

<

' / ,

( , < )

) ) 4/

/ 5 ) '/ 5 7 0 , * ( ' ( ' ( ( , ' (

8 * 4/ '

) )' ,

)' '

' ) ' ' ' ' ' ' >

' ' ' ' ' , , , ) (

( ' ' ,

, ) ,

)< , ( ) , ' / ' ) )

' )') ' / ' ' ' '

) )

8 '

' ' ' ) / ( "

( / '

'

) ) ') ;

, ' ' , '

) ( ) ' )

( ' ) ' ' '< ( (/ '

' '

' ) ) ) )' ' ( / '7 ' ' ) ) ( ' / ) ) )'' (* ) ')' ( ' ) (( / @ ')' ( ) ' ' ' / ' , / ' ) ( ) / ) , ' ' , , ; ' ' ) - ) )' , ' (' ' )/ 2 ' ' ' ( ' ( ) ( ' ') , ' ) ( ' / ) ' , ) ' ' ( ) ( ) / ( ' ' ' ' ) ' ' )' ' ' ( ) ( / ) ) ) ) )8 ) )' , ' ' ) ' ' ' )/ 2 ' () ) ' ' )) ' ' '< ' ) ' ' , ' ) ') ' ( ' ) ' / ( B ( ( ) ' ( ) ' / ' ) ' 7' ) ( ( ) )( (* ) , , ' ( ) (/ ) ( ' , , / ' ' B ' ' ') () ) ' / ( ' ' ' ' , ' ' ' ' ' ) ' ) ) ' ' , ' ' ' / 2 ' ' ) ' ) ) ( ' '

' ;

$ '  )

' ) )

' ' ) ' ( ( )) , ' /

) )(' ' ) ' / ( ) ) ' ' , ' / ' ) ( ') / ' ) ') ' ( ') ' 8 / ( , ' )' ) ' ' ) ) )' D E ')/ ) ) ( , ) ) 5

' ') ' /

) ) ( #/

, ' / ; ( (

' ) ' ) )'/ 2 '

"

'

' (

, (

(* )* )' ') ) )7 ) ) ) (
# ! % 5

)'

( (/

( ( , ' , )

#/ 0=FFG4/  ' ( ) ( ( ?) ,> ) ) ( ( (/ $% HF7HI/ & ) #/ 0=FFJ4/ (  ( (> 8 ( ( ( * ,7 ) ,</ & ' $( KIG7KLL/ & * / 01HH=4/ ) , C * > , * , ' * / ) "'  * =LG7=J1/ ) / 0=FFK4/ ( ,( ( 8 , ( ( / " +% 1JLK7GK/ / M 5 ' ) ( / 01HHL4/ $ (,  /, ' - . G71A/ ' &/ M ( 2/ 01HHI4/

& ) *

457

) ) JF7HK/ ' &/ M ( ) ?) " 8 G/ ! '

/ )'

* ( ( > ( (

( / ( &

2/ 0=FF=4/ 5 * ) ) ' +/ GAF7GA=/ / 0=FFI4/ /! 0 123 1FHH711FK/ B/ 0=FFA4/ , * ( ) / " / M $ ) 8 / 01HJL4/ $(, ( + ( 8 ,( ( +/

) ) ) ' (' 7 ' ) ( ' ) ( ) , '

' ( ) < 0!) ) )' ' =FFK4/ ( ) ' ( ' ( / , '

, /

+1 LK7 8 > ,( ( /1 IIH7

) 0 5

' , ' =FFI4/ ) ' * '

9 ' ' '

5 ( ) ' ( (

'

+ ILL/ !) 2/ / 0=FFK4/ ( ( ( (/ 0 12% 1FH=7G/ % 2/ M 5 * ( 2/ 01HJL4/ 8 , ( ( > 8 * ( ) / // 1FF171F1A/ $ / 0=FFF4/ & 8 8 / 4 ' 5 6( =LG7=GA/
! ">

( +

' ' ) , ! ) ' ' )' , / ( ) ' )

' 0" 8 ' ' 7 , ) '

' , ' , )' ' ( =FFA4/ ' , )' )' /5 / '

'

( ) 8 )' (

)7

"

@ "

& !5

"

5 * ) ( ' ' ' ) ' ( / @' ' ( ) , ' ( ' ) 0 'M ( 1HHIN 'M ( =FF=4/ ( 0$ , =FFF4/ 5 : , ( ) (

& ' /

'

'

( )

" , )

' /@' ' ( ' (* ( ) ' ' ( )' ' ' ( / )' ( ' ( )7 ) )) ( /& ' ( ) ' )') ' ' ( < 0& ) =FFG =FFJ4/ * * 8 ' ( ( ) ) * ( , ' , ' < ) * / 8 ) , ) * ' ( ') )/ ' ' ) ' (; ' '-/ ' ( D 'E ( ) ' ( / 2' ) * ' ( ) ) ' ) , / ( ) ) ' ) ) )' , ' , / ' , , ) ' ' ) ) ) * , / ' (/ 5 ') ' ' ' ' / ' ' ) ( ' , ' ( / ' ( , ' ) ) * ( , ; ( ) ' ' -< 2 ' ) *

) ( ' ) (' ' '

) , ' ' ' 0& * & ) 8 / ( , ' ( ' ' ( 0 . 4 ) 7 ' ( ) ' )') / ' ' ) ) , ' )' ( ) )7 ) (' 0& ) =FFG4 & * * * ' &  ( 8 , ( ( ) ' )) / ( 8 ) ) , ) ( ( ) ' ( , ') ' ( ' / ' ' ( ) ) ' , , ( ' , ( ' ' 8 / ) ( 8 ( )( ' ) )( )' (/ , ' )') ) )' )' /2' )' )( , ( ( ' ) / ( ( ) ' ' ' ( )/ ' ' ' ' / 2' )') ' ' ) )' ' ' )/ 2 ' 8 , ( ( ( / ' ' ) ' ' ' ) '/ ) ( ( ) 0) =FFKN ! ' M $ 1HJLN % M5 * ( 1HJL4/ ' $ 8 ' 7 ) ( ' ' ' ' ( , ( ) ( ( )( ' , ' 0 M 5 ' ) ( 1HHL4/ ' ( ) ( ) , ' ( , ' ' ' ' ' ' ( / & ' /::6 ' ') $ 0$  =FFG4/ ' 1HH=4/

458

'

)) ') ' '( ( , )' ' ' )

( ) / 2' , ) , ' , ' ) )/

) ' ( ( ,

' ' , / ') ' ( ) ' , LK/ 2 ' )' , )'

'

'

)' (

' , / (/

' ) ' 7'

, ) ' ' ) ' ) )' ' ;) ) - / , ) ' ) ( ( , ( , ' ' 0 ( 14/ ' ( ' / & , ' 7' ') ( )/ ) <& ' ) ' ) )' , ' , )(/ ' ) ) ' ) ) , ') , ) (/ ' ') ' ( ) ) (/

459

SURVEILANS ASPEK SOSIAL GIZI BURUK DI PULAU-PULAU KECIL DAN TERLUAR WILAYAH NUSA TENGARA TIMUR (Studi Kasus : Pulau Semau dan Pulau Kera, Kab. Kupang) Pius Weraman ABSTRAK Hasil Survey Cepat Dinas Kesehatan NTT Tahun 2005 kondisi status gizi anak di Kabupaten Kupang, khususnya P Semau menunjukan bahwa Anak Balita Anemia (Berdasar Pengukuran Hb) 82,8 % Anak baru masuk Sekolah mengalami gangguan pertumbuhan badan (Berdasar pengukuran tinggi badan anak masuk SD) 67,2%, Status Gizi Anak Balita : . Gizi Buruk 7,2% , Gizi Kurang 39 % Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional yang bersifat analitik karena bertujuan mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi kejadian gizi buruk dan busung lapar dengan rancang bangun studi potong lintang (Cross sectional study) Seluruh wilayah P. Sermau dilayani oleh 1 (satu Puskesmas) yaitu di Desa Uitao (Ibukota Kecamatan P Semau lama). Jumlah dokter 1 orang, bidan 8 orang (tersebar di setiap Puskesmas Pembantu), tenaga paramedis 8 orang dan tenaga administrasi 3 orang. Luas daratan P. Semau sekitar 250 km2, jumlah penduduk sekitar 10.000 jiwa, terbagi dalam 2 kecamatan maka fasilitas kesehatan tersebut dirasakan masih kurang memadai sedangkan P. Kera belum ada fasilitas kesehatan. Berdasarkan pengamatan lebih dari 50 % proses kelahiran bayi ditolong oleh dukun bayi. Para kader posyandu pada umumnya merupakan tokoh masyarakat yang secara sukarela (tanpa dibayar) ikut memonitor kondisi gizi bayi dan anak balita di wilayahnya masing-masing. Berdasarkan pengamatan, penderita Kurang Gizi dan Gizi buruk adalah anak balita berusia di atas 12 bulan (1 tahun). Prevalensi balita penderita Kurang Gizi dan Gizi buruk tertinggi pada anak usia 12 s/d 36 bulan. Penderita Kurang Gizi dan Gizi buruk di desa-desa yang berada di pesisir lebih sedikit dari pada desa-desa yang terletak di tengah pulau. Dapat direkomendasikan 1) Pengembangan sumber pendapatan pada masa paceklik, 2)Penanggulangan masalah gizi buruk lebih difokuskan pada anak usia 12 s/d 60 bulan dengan pembuatan BMC (Bahan Makanan Campuran, dengan bahan baku lokal).

A. Pendahuluan Latarbelakang Faktor utama kejadian gizi buruk dan busung lapar adalah kondisi ekonomi , pola pikir dan kesehatan keluarga yang berpengaruh lanngsung pada asupan makanan. Hasil Survey Cepat Dinas Kesehatan NTT Tahun 2005 kondisi status gizi anak di Kabupaten Kupang, khususnya P Semau menunjukan bahwa Anak Balita Anemia (Berdasar Pengukuran Hb) 82,8 % Anak baru masuk Sekolah mengalami gangguan pertumbuhan

460

badan (Berdasar pengukuran tinggi badan anak masuk SD) 67,2%, Status Gizi Anak Balita : . Gizi Buruk 7,2% , Gizi Kurang 39 % Berdasarkan hasil survey cepat di atas, nampak kondisi gizi anak dan bayi di Kabupaten Kupang perlu ditingkatkan mutunya. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi gizi anak dan bayi di pulau kecil misalnya Pulau Semau lebih buruk daripada rata-rata di Kabupaten Kupang. P Semau merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Kupang (Pulau semau merupakan bagian wilayah Kabupaten Kupang terdiri dari 2 kecamatan). Oleh karena itu masalah gizi buruk dan busung lapar di pulau-pulau kecil perlu mendapat perhatian yang lebih serius dan memerlukan terobosan kebijakan yang lebih baik. Berdasarkan permasalahan kejadian Gizi Buruk dan Busung Lapar di Pulau Semau maka telah ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengamatan dan pengkajian epidemiologi (cross sectional study) mengenai kondisi status gizi anak balita ditinau dari aspek sosial, kejadian busung lapar, dan mendapatkan gambaran faktor resiko yang mempengaruhinya di pulaupulau kecil (P. Semau dan P. Kera) dan merumuskan pola makan yang direkomendasikan untuk pencegahan gizi buruk anak balita dan busung lapar yang sesuai dengan sumber pangan yang relative tersedia di pulau kecil.

Manfaat dari penelitian ini merupakan kajian epidemiologi, menjelaskan permasalahan aspek sosial gizi buruk dan busung lapar di pulau-pulau kecil, khususnya P. Semau dan P. Kera di NTT. Dengan kajian epidemiologi ini diharapkan pengetahuan mengenai kesehatan masyarakat di pulau-pulau kecil yang pada umumnya merupakan daerah terpencil terdeskripsi dengan baik. Deskripsi tersebut bermanfaat untuk penanganan KLB gizi buruk dan busung lapar di NTT dan juga untuk memperkaya materi muatan lokal untuk Fakultas Kesehatan Masyarakat.

B. Metode Penelitian Disain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi observasional yang bersifat analitik karena bertujuan mengetahui factor resiko yang mempengaruhi kejadian gizi buruk dan busung lapar. Rancang bangun penelitian ini adalah studi potong lintang (Cross sectional study), yaitu studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi maupun hubungan

461

penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status, paparan, penyakit, atau karakteristik terkait kesehatan lainnya, secara serentak pada individu-individu dari suatu populasi pada satu saat. Penyakit yang dimaksud yaitu kejadian gizi buruk balita dan busung lapar.

Populasi Penelitian Populasi penelitian ini adalah semua balita yang berada di wilayah Pulau Semau dan Pulau Kera.

Sampel Pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan teknik pencuplikan random kluster (Cluster random sampling) yaitu metode pencuplikan dimana unit pencuplikan merupakan kelompok subyek (misalnya dukuh atau keluarga) bukanya individu. Dalam penelitian ini kelompok subyek (kluster) yang digunakan adalah Wilayah Posyandu di Kelurahan/desa. Setiap kluster (posyandu) diwakili oleh 10 subyek (orang). Kesepuluh orang dari masing-masing posyandu ini akan diambil secara acak.

Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di Wilayah Pulau Semau dan Pulau Kera.

Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 5 bulan dari mei sampai oktober 2007

C. Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Kondisi Alam dan Sosial Wilayah Pulau Semau Letak Geografis Pulau Semau dan Pulau Kera

462

Gambar 1. Peta Pulau Semau Pulau Semau merupakan bagian dari Wilayah kabupaten Kupang. Kabupaten

Kupang terletak pada wilayah antara 9019 antara 100 57 Lintang Selatan (South Latitude) dan 1210 30 - 124 11 Bujur Timur (East Longitude). Luas Pulau Semau kira-kira 261 km2 (Data Pemerintah Kabupaten Kupang). Batas-batas Pulau Semau yaitu Sebelah utara berbatasan dengan Laut Sabu, Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Pukualu, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Tenau dan Selat Semau, dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Kupang dan Laut Sabu. Pulau Kera, hingga kini pelum tercantum dalam peta geografis NTT. Berdasar pengamatan, P Kera terletak di sebelah Barat Laut Kota Kupang, berjarak kurang lebih 4 km dari Kota Kupang (lama perjalanan sekitar 45 menit dengan speed boat dari Kupang). Luas P Kera sekitar 20 km2. Wilayah sebagian besar berupa pasir pantai putih, sangat jarang ditumbuhi vegetasi tanaman/rumput.

Gambar 2. Kondisi Alam-lingkungan P Kera

463

Kondisi Sosial Kesehatan di P. Semau Seluruh wilayah P. Sermau dilayani oleh 1 (satu Puskesmas) yaitu di Desa Uitao (Ibukota Kecamatan P Semau lama). Jumlah dokter 1 orang, bidan 8 orang (tersebar di

setiap Puskesmas Pembantu), tenaga paramedis 8 orang dan tenaga administrasi 3 orang. Luas daratan P. Semau sekitar 250 km2, jumlah penduduk sekitar 10.000 jiwa, terbagi dalam 2 kecamatan maka fasilitas kesehatan tersebut dirasakan masih kurang memadai. Berdasarkan data statistic BPS (2006) jumlah fasilitas kesehatan di Wilayah Pulau Semau (Kecamatan Semau dan Kecamatan Semau Selatan) sebagai berikut

Tabel Sarana Kesehatan Masyarakat di Pulau Semau


Kecamatan, Desa Puskesmas Puskesmas Pembantu BKIA Posyandu Kader Aktif Posyandu Dukun Bayi Dukun Tulang Patah

Kec Semau 1.Bokonusan 1 2. Otan 1 3. Uitao 1 4. Huileot 1 5. Uiasa 1 6. Hansisi 1 7. Batuinan 8. Letbaun Jumlah 1 5 Kec Semau Selatan 1. Akle 1 2.Uitiuhtuan 1 3. Uitiuhana 1 4. Onansila 5. Naikean 6. Uiboa Jumlah 0 3 Total Jumlah 1 8 P. Semau Sumber : Puskesmas Uitao (2006)

` 1

3 2 4 3 4 3 19 3 2 3 1 9 28

5 8 17 4 8 6 48 8 8 9 2 27 75

2 2 3 2 3 2 14 2 3 4 1 10 24

6 5 5 4 6 8 34 7 8 5 3 23 57

1 2

Karena tenaga medis yang minim, maka Kader posyandu dan dukun bayi memegang peranan penting dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan pengamatan lebih dari 50 % proses kelahiran bayi ditolong oleh dukun bayi. Para kader posyandu pada umumnya merupakan tokoh masyarakat yang secara sukarela

464

(tanpa dibayar) ikut memonitor kondisi gizi bayi dan anak balita di wilayahnya masingmasing.

Gambar Anak-anak di Pulau Semau. Untuk sekolah anak-anak ini jalan kaki setiap hari menempuh jarak lebih dari 5 km, (perhatikan bagian telapak kaki dan ukuran tubuh anak kelas 4 SD ini) Kondisi Alam, Penduduk dan Mata pencaharian Sebagian besar tanah P. Kera merupakan pasir laut putih, sangat jarang ditumbuhi rumput dan vegetasi tanaman lainnya. Jenis tanaman yang hidup hanya Pohon Kelapa (Cocos nucifera) tetapi tidak dapat berbuah dan tanaman Kedondong hutan. sumber (sumur) air tawar di P. Kera. Sumber penghasilan utama pendududuk P. Kera adalah mencari rumput laut alami (bukan hasil budidaya) bahan agar dan karagenan, menangkap ikan dan berdagang. Hampir seluruh kebutuhan hajat hidup seperti air minum, beras, makanan dan pakaian didatangkan dari Kupang. Jumlah Penduduk sekitar 180 jiwa terdiri dari 30 Kepala Keluarga (KK). Tiga belas (13) KK diantaranya merupakan janda yang ditinggal suami. Berdasarkan pengamatan, penduduk di Pulau Semau meskipun tidak ada yang kaya, namun secara umum semuanya dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum terutama untuk konsumsi pangan. Di kala laut sedang terjadi badai (nelayan tidak menangkap ikan), mereka mendapat penghasilan dari penjualan rumput laut kering yang mereka dapat dari alam/laut sekitarnya. P. Kera tidak menjadi bagian dari Kelurahan atau Desa di Wilayah Kota Kupang maupun Kabupaten Kupang. Kebijakan Bupati Kupang, pada tahun 2000 pernah berencana Tidak ada

465

memindahkan seluruh penduduk di P Kera ke P Semau. Pemerintah Kabupaten Kupang telah membangun unit-unit rumah di P Semau untuk penduduk P. Kera tersebut. Namun penduduk pulau Kera tersebut tidak mau pindah dengan alasan karena mata pencaharian mereka yaitu menangkap ikan (sebagai nelayan) dan memungut hasil rumput alami

mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Penduduk Pulau Kera seluruhnya merupakan keturunan dari Sulawesi, sebagian besar merupakan suku Wajo. Mereka datang menetap di Pulau Kera sudah berpuluh-puluh tahun.

Anak-anak di P. Kera. Anak-anak jarang yang bersekolah karena tidak ada sekolah di P Kera. Untuk sekolah harus menyeberang laut ke Sulamo D. Pembahasan Potensi dasar yang dimiliki oleh Wilayah Pulau Semau dan P Kera, Kabupaten Kupang, adalah : Relatif tingginya jumlah penduduk umur produktif, dan Tingginya lapangan usaha primer (Lapangan usaha yang mengolah langsung potensi alam daratan dan lautan). Pulau Kera merupakan pulau kecil, tanahnya berupa pasir putih, tandus tidak ditumbuhi banyak tanaman. Saat ini P Kera didiami oleh 30 KK terdiri dari 180 jiwa, 20 orang diantaranya anak balita. Mereka semua berasal dari rumpun suku Wajo di Sulawesi Selatan, tidak punya KTP, tidak ikut Pemilu . Belum ada fasilitas kesehatan dan

pendidikan seperti Posyandu, Puskesmas pembantu, SD dll. Sumber penghasilan mereka yaitu dari memanen rumput laut alam dan menjadi nelayan. Berdasarkan pengamatan, tidak ada anak balita yang menderita Kurang Gizi atau Gizi buruk. Hal ini disebabkan karena pada musim paceklik mereka masih mendapat hasil dari memanen rumput laut alam yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makan minimal.

466

Berdasarkan wawancara menurut penduduk, malaria dan sering menelan korban jiwa. Puskesmas.

di P Semau sering terjadi wabah

Di Kecamatan Semau Selatan belum ada

Berdasar pengamatan pada perilaku penduduk yakni sering berjalan kaki

menempuh jarak yang jauh sehingga telapak kakinya tebal dan pecah-pecah ada kemungkinan penyakit yang mereka sebut malaria itu sebenarnya penyakit akibat infestasi cacing terutama cacing tambang karena itu keberadaan wabah malaria di P Semau perlu

dipastikan dengan menangkap dan mengidentifikasi jenis nyamuk di sana. Berdasarkan pengamatan, penderita Kurang Gizi dan Gizi buruk adalah anak balita berusia di atas 12 bulan (1 tahun). Prevalensi balita penderita Kurang Gizi dan Gizi buruk tertinggi pada anak usia 12 s/d 36 bulan. Hal ini disebabkan karena anak usia 12 s/d 36 bulan belum dapat memakan sepenuhnya makanan orang dewasa dan asupan protein tidak lagi didominasi oleh ASI. Makanan untuk anak-anak sering mereka samakan dengan anggota keluarga sehingga cenderung mereka samakan dengan orang dewasa. Penderita Kurang Gizi dan Gizi buruk di desa-desa yang berada di pesisir lebih sedikit dari pada desa-desa yang terletak di tengah pulau. Hal ini disebabkan karena perhubungan orang-orang di pesisir lebih mudah dari pada di desa-desa yang terletak di tengah pulau. Sebenarnya bahan pangan sayuran, jagung, kacang, padi ladang banyak terdapat di desa-desa di tengah pulau, namun di dalam pengolahannya sering tidak disesuaikan dengan makanan yang cocok untuk anak balita. Berdasarkan penelitian ini ternyata hanya satu factor yang signifikan berkaitan dengan Kurang Gizi anak balita yaitu Pola konsumsi makanan anak balita. Sedangkan factor yang signifikan berkaitan dengan Gizi Buruk Balita ada 2 yaitu : Pola konsumsi makanan anak balita dan Penyakit Penyerta. Pada musim paceklik Pola konsumsi makanan anak balita sering tidak memenuhi kecukupan Zat gizi sumber energi dan protein, sehingga dapat mengakibatkan balita menderita kurang gizi dan gizi buruk. Pada petani musim paceklik terjadi pada puncak musim kemarau yaitu Agustus s/d Nopember. Rata-rata petani dalam 1 tahun hanya panen tanaman pangan (jagung, padi ladang, kacang tanah) satu kali, akibatnya jika terjadi gagal panen dapat dipastikan terjadi kelaparan yang dapat menyebabkan tingginya penderita kurang gizi dan gizi buruk. Pada nelayan musim paceklik terjadi pada saat musim badai yaitu bulan Desember-Januari dan Mei-Juni. Jenis penyakit penyerta yang banyak diderita oleh balita penderirta gizi buruk yaitu Malaria, ISPA, Asma (batuk) dan diare.

467

E. Rekomendasi Di P Kera sebaiknya dibentuk Posyandu untuk sarana pemantauan kesehatan anak balita. Pengembangan P Kera hendaknya diarahkan pada pengembangan potensi produk di Pulau kera yaitu rumput laut dan hasil nelayan. Dalam penanganan masalah gizi buruk di pulau-pulau kecil khususnya pulau Semau, kebijakan diarahkan pada : 1) Pencegahan gagal panen. Untuk mencegah gagal panen dapat diupayakan agar petani dapat melakukan 2 kali musim tanam yaitu dengan memanfaatkan tanaman pangan berusia pendek dan meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih giat untuk para petani 2) Pengembangan sumber pendapatan pada masa paceklik. Pada petani perlu dikembangkan tanaman tahunan (tanaman keras) yang dapat memberi hasil pada musim paceklik misalnya pengembangan tanaman kelapa, jati, jarak pagar, tanaman shorgum dan sebagainya. 3) Penanggulangan masalah gizi buruk lebih difokuskan pada anak usia 12 s/d 60 bulan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah memotivasi dan mengajar agar para ibu di pedesaan dapat menyediakan makanan khusus untuk anak balitanya dengan bahanbahan yang tersedia di wilayahnya masing-masing. Tidak seperti sekarang makanan untuk anak balita sering disamaratakan dengan anak dewasa. 4) Desa-desa yang terletak di tengah pulau diharapkan dapat perhatian yang lebih dari pada desa-desa di pesisir, karena prevalensi kurang gizi dan gizi buruk lebih tinggi. Tidak seperti kenyataan sekarang, justru pada desa-desa di pesisir lebih sering dapat dropping pangan. 5) Memanfaatkan bahan makanan lokal untuk pembuatan BMC (Bahan Makanan Campuran).

468

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2005. Semau Dalam Angka. BPS Kabupaten Kupang Anonimous. 2005. Semau Selatan Dalam Angka. BPS Kabupaten Kupang Anonimous. 2006. Semau Dalam Angka. BPS Kabupaten Kupang Anonimous. 2006. Semau Dalam Angka. BPS Kabupaten Kupang FG. Winarno. 1985. Kimia Pangan dan Gizi, Jakarta. Sunita Almatsier. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia, Jakarta. WHO. 1990. Diet Nutrition and Prevention of Chronic Diseases. WHO Technical Report Series 797, Genewa. FAO. 1985. Energi and Protein Requarements. Report of joint FAO-WHO/UN expert consultation, Genewa.

469

ACTIVE CASE TREATMENT UPAYA MENEKAN KEGAGALAN PENGOBATAN TB PARU DI KABUPATEN JEMBER Dyah Kusworini Dinas Kesehatan Jember, Jawa Timur ABSTRAK Latar Belakang Penyakit TB Paru adalah penyebab kematian tertinggi pada jenis penyakit infeksi. Untuk pemberantasan penyakit TB, upayautama yang harus dilakukan adalah menemukan semua kasus TB dan mengobatinya sampai sembuh. Upaya ini telah dilakukan oleh semua Puskesmas di Kabupaten Jember dengan memberikan Obat Anti TB (OAT) selama 6 bulansecara gratis, dengancaraPassive Case Treatment (PCT). Cara PCT ternyata sering menyebabkan pasien tidak patuh berobat dan droup out, sehingga menyebabkanpemberantasanpenyakit TB menjadi gagal. Berdasarkan hal tersebut, digagaslahcaraActive Case Treatment (ACT), yang tidak mengharuskan pasien TB mengambil OAT di puskesmas, melainkan diantar kerumah masing-masing oleh Kader Posyandu Terpilih (KPT) seminggu sekali. Selain itu, tugas KPT adalah memastikan pasien meminum OAT secara teratur, mengamati dan melaporkan perkembangan pasien kepada petugas kesehatan serta memberikan penyuluhan tentang penyakit TB kepada pasien danlingkungan keluarganya. Tujuan penelitian adalah mencari cara pengobatan mana yang paling efektif dan efisien. Metode Penelitianquasi experimentalmembandingkan efektivitas duacarapengobatan (PCT dan ACT).. Efektivitasdiukurmelaluiperubahankualitashiduppasien yang dihasilkanolehmasingmasingcarasebelumdansesudahpengobatan. Penelitiandilakukanpada 42 pasienkasusbaru TB (sampel) yang datangberobat di 16 puskesmasterpilih di KabupatenJemberpadabulan September-Oktober 2010.Sampeltersebutdibagimenjadi 2 kelompok, yaitukelompok PCT 21 pasiendan ACT 21 pasien. Hasil Perubahan kualita shidup yang terjadi pada setiap pasien TB setelah pengobatan cara PCT dan ACT ternyata terdapat perbedaan yang cukup bermakna. Pada pengobatan cara ACT perubahan kualitas hidup yang terjadi lebih tinggi 140% dibanding cara PCT. Hal ini menunjukkan bahwa cara ACT lebih efektif dibanding cara PCT. Selain perubahan kualitas hidup, efektivitas cara pengobatan dapat dilihat dari angka kegagalannya. Pada cara PCT terjadi kegagalan pengobatan sebesar 24% ; sedangkan pada cara ACT tidakterjadi kegagalan pengobatan (conversion rate 100% pada 21 pasien). Kesimpulan Pengobatancara ACT lebihefektifdibandingcara PCT. Lebihlanjuthasilanalisis data sebelum dan setelahpelaksanaan ACT di Kabupaten Jember padatahun 2009 (cara PCT) dan tahun 2011 (cara ACT) bahwa CDR meningkat dari 71,5% padatahun 2009 menjadi 84% padatahun 2011 dan defaultdapatditekan dari 7,8% pada 2009 menjadi 0,9 pada 2011.

470

A. Latar Belakang TBCadalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kumanMycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman menyerang paru, tetapi dapat juga mengenaiorgan tubuh lainnya (Depkes, 2008).Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis (TB) tidak hanya merupakan masalah utama kesehatan di Indonesia (Karyadi et al., 2000), tetapi juga di dunia. Indonesia termasuksalahsatunegaradalamkelompok 22 High-Burden Countries (HBCs) dankelompok 27 negara Multidrug-Resistant TB (MDR-TB) (Floyd &Lienhardt, 2010).Selainitu TB merupakan penyebab kematian urutan ketiga di Indonesia setelah

penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran napas, serta nomor satu dari golongan penyakit infeksi (Depkes RI, 2007). Prediksi para ahli sekitar 95% kasus TB dan 98% kematianakibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Situasi penyakit TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan. Kunci pokok keberhasilan penanggulangan TB terletak pada penemuan dan penanganan penderita secara intensif sampai dinyatakan sembuh, dengan standar pemeriksaan yang telah diakui dan terbukti akurat. Keberhasilan pengobatan sangat tergantung dari kepatuhan dan keteraturan penderita dalam berobat. Penderita yang keluar dari pengobatan selama periode waktu pengobatan yang telah ditentukan akan menyebabkan tingkat kesembuhan rendah, yang dikemudian hari akan meningkatkan prevalensi TB sebesar 50% dan kasus pengobatan ulang sebesar 10-20% dengan risiko munculnya multidrug resistance (MDR). Dengan demikian sangat sulit untuk untuk memutus rantai penularan sehingga penyakit ini akan selalu manifest di masyarakat dan merupakan masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2008). Kegagalan program pemberantasanpenyakit TB selamaini, terjadidinegara-

negaraberkembangtermasuk Indonesia.Beberapa faktor yang secara teoritis kemungkinan berpengaruh terhadap kegagalan pengobatan TB (penderita tidak sembuh dan drop out/ default)adalah sebagai berikut: 1. Faktor sarana pelayanan kesehatan (puskesmas): Kinerja puskesmas dalam rangka pengobatan penderita TB ditentukan oleh beberapa faktor sebagai berikut: a. Obat/Logistik

471

b. Petugas kesehatan c. Keterjangkauan 1). Letak puskesmas 2). Geografi 3). Transportasi. d. Waktu pelayanan. 2. Faktor Penderita Respon biologis penderita terhadap pengobatan serta kepatuhannya untuk berobat secara teratur dan kontinyu, adalah kata kunci keberhasilan pengobatan.Respon biologis penderitadipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: a. Kondisi biologis. 1). Umur. 2). Gizi. 3). HIVAIDS dan Diabetus Melitus 4). Hipersensitivitas Obat 5). Resistensi Obat b. Keberdayaan: 1). Kesadaran. 2). Ekonomi. 3. FaktorCara Pengobatan. Yang dimaksud dengan cara pengobatan penyakit TB adalah standard operating procedure(SOP) dalam memberikan/menyampaikan OAT dan konseling kepada penderita yang telah didiagnosa penyakit TB paru, ada dua cara, yaitu: a. Pasive Case Treatment (PCT) b. Active Cace Treatment (ACT)

B. Kebijakan Dan Strategi Dalam rangka pemberantasan penyakit TB di Indonesia telah ditempuh beberapa kebijakan sebagai berikut; 1. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS(Directly Observed Treatment Short-Course)

472

2. Penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh puskesmas, Rumah Sakit Umum Pemerintah dan Swasta, Rumah SakitParu (RSP), Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM), Balai KesehatanParu Masyarakat (BKPM), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), dan KlinikPengobatan lain serta Dokter Praktik Swasta 3. Peningkatan kemampuan laboratorium TB diberbagai tingkat pelayanan ditujukanuntuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring. 4. Menjamin ketersediaan Obat Anti TB (OAT) untuk penanggulangan TB dan diberikankepada penderita secara cuma-cuma. 5. Menjamin ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah

yangmemadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. 6. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompokrentan terhadap TB. Strategi yang digunakan oleh pemerintah hingga saat ini adalah cara PCT sebagai SOP penanggulangan penyakit TB di Indonesia. Cara ini mengharuskan penderita datang kepuskesmas, sehingga akses/kemudahan penderita untuk mendapatkan pengobatan/obat secara teratur dapat terhalang oleh: (a) letak puskesmas yang jauh, (b) keadaan geografi wilayah yang sulit, (c)sistem transportasi yang jelek dan mahal, (d) kesadaran penderita yang rendah sehingga tidak termotivasi untuk berobat, dan (e) keadaan ekonomi penderita yang lemah. Cara ACT mengharuskan tenagakesehatan (nakes)/kader posyandu terpilih (KPT) yang datang/berkunjung kerumah penderita secara teratur untuk memberikan obat dan konseling pada penderita. Dengan demikian halangan/hambatan yang terjadi pada cara PCT dapat dianulir. Akses/kemudahan penderita untuk mendapatkan pengobatan/obat secara teratur terbuka luas.Untukmelaksanakanpengobatancara ACT dibutuhkan

pengorganisasiansecarakhusus yang berbeda dengan organisasi pengobatan cara PCT yang telah ada di setiap puskesmas, yakni sebagai berikut :

473

KepalaPuskesmas Koordinator TB Puskesmas TenagaKesehatan di Desa PetugasLaboratori umPukesmas

Kader PosyanduTerpilih (KPT)

PenderitaTB

Untuk memilih KPT harus dipenuhi kriteria : (1) diambil dari kader posyandu setempat sesuai dengan tempat tinggal penderitaTB, (2) kader yang memiliki pendidikan paling tinggi diantara teman-temannya dan aktif di posyandu tersebut, dan (3) bersedia mengikuti pelatihan serta harus memahami dan trampil melaksanakan Buku Panduan Bagi Kader Dalam Penanggulangan TB. Sedangkan tugas dan fungsi KPT adalah: (a) Mengunjungi rumah penderitaTB setiap minggu untuk mengantar OAT, melihat keadaan penderita dan sisa obat yang belum diminum, memberikan konseling dan memotivasi penderita, segera melapor pada nakes di desa bila ada keluhan atau perkembangan penderita yang tidak diinginkan, (b) mengambil OAT pada nakes di desa setiap minggu, (c) kunjungan rumah setiap saat, bila diperlukan atau atas permintaan penderita, (d) membantu nakes dalam pengambilan dahak penderita, (e) membantu nakes dalam pencatatan dan pelaporan, (f) mengikuti pelatihan tata kelola ACT sebelum menjadi KPT, (g) mengamati efek samping obat pada penderita, (h) melaporkan ke nakes bila terjadi efek samping obat, dan (i) penyuluhan tentang penyakitTB pada lingkungan/keluarga penderita.

C. Hasil Kegiatan Penatalaksanaan TB meliputi penemuan penderita dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS. Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita.Dalam kegiatan menemukan kasus baru TB ditentukan Strategi penemuan sebagai berikut: 1. Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka penderita dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukungdenganpenyuluhan secara aktif, baikolehpetugaskesehatanmaupun KPT.

474

2. Pemeriksaanterhadapkontakpenderita TB, terutamamereka yang BTA positif dan pada lingkungan/keluarganya yang menunjukkangejala sama yaitu batukberdahak selama 2-3 minggu atau lebih, KPT harus mengambil dahaknya untuk diperiksa. Hasil penelitian Cost Effectiveness Analysis PengobatanPenderita Tuberculosis ParuDenganPerspektifQuality of Life di Kabupaten Jember yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jember menemukan, ternyata cara pengobatan ACT lebihcost effective dibanding cara pengobatan PCT (Ardani, 2011). Biaya total

pengobatandengancara PCT lebih tinggi disbanding cara ACT. Biaya total pengobatan cara PCT lebih besar Rp.12.837.036 dibanding dengan biaya total cara ACT. Hal ini disebabkan terutama oleh komponen biaya tidak langsung cara PCT yang besarnya Rp.24.359.150 jauh lebih tinggi disbanding cara ACT yang hanya Rp. 9.806.500. Hal ini menunjukkan bahwa cara pengobatan ACT lebih efisien disbanding dengan cara PCT. Dari hasil analisis QoL responden sebelum dan setelah pengobatan, maka dapat dipastikan bahwa ada perbedaan perubahan skor QoL total antara cara pengobatan PCT dengan ACT yaitu sebesar 340,03. Perubahan skor QoL total untuk cara pengobatan PCT sebesar 847,36; sedangkan untuk cara ACT perubahan skor QoL total sebesar 1.187,39. Hal ini menunjukkan bahwa cara pengobatan ACT lebih efektif disbanding cara pengobatan PCT. Dari hasil perhitungan CER yang telah dilakukan pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa untuk menaikkan satu skala QoL dengan cara pengobatan PCT dibutuhkan biaya sebesar Rp.35.295; sementara dengan cara ACT untuk menaikkan satu skala QoL dibutuhkan biaya Rp.14.377. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka pada tahun 2011 cara ACT mulai dilaksanakan di Kabupaten Jember, untuk menekan kegagalan pengobatan TB Paru. Adapun perkembangan hasil kegiatan program adalah sebagai berikut : 1. Penemuan penderita TB suspek Tahun Perkiraan penemuan Hasil penemuan % 2009 25.398 17.653 69,5 2010 25.630 19.998 78,0 2011 25.985 22.035 84,8

475

Apabila dibandingkan hasil penemuan penderita TB suspek sebelum dan setelah dilaksanakan cara ACT, ada peningkatan yang cukup tinggi dari 69,5% pada 2009 menjadi 84,8% pada 2011. Hal ini dapat terjadi karena salah satu tugas KPT adalah memberikan penyuluhan kepada keluarga dan lingkungannya, termasuk cara penularan dan gejala-gejala TB. 2. Penemuan penderita TB BTA+ Tahun Perkiraan penemuan Hasil penemuan Proporsi BTA+ dari suspek CDR 2009 2.540 1.815 10,3 71,5 2010 2.563 1.946 9,7 75,9 2011 2.598 2.182 9,9 84,5

Angka penemuan kasus baru / Case Detection Rate (CDR) juga terjadi peningkatan dari 71,5% pada 2009 menjadi 84,5% pada 2011. Hal ini dipengaruhi oleh peran KPT dalam membantu nakes untuk pengambilan dahak penderita dan pencatatan serta pelaporan. Namun pada proporsi penderita BTA+ diantara suspek mengalami sedikit penurunan dari 10,3% pada 2009 menjadi 9,9% pada 2011, kemungkinan hal ini disebabkan oleh penjaringan suspek yang dilakukan oleh KPT terlalu longgar, akan tetapi masih pada kisaran 10%. 3. Penderita TB BTA+ yang konversi Tahun Angka minimal (%) Jumlah penderita BTA+ yang konversi Conversion rate 2009 80 1.684 92,8 2010 80 1.803 92,7 2011 80 2.044 93,7

Conversion Rate (angka konversi) adalah proporsi penderita TB BTA+yang berubah menjadi BTAsetelah pengobatan (pemberian OAT)tahap awal selama 2

bulandibanding dengan jumlah seluruh penderita TB yang diobati. Target untuk conversion rate minimal 80%. Apabila dibandingkan sebelum dan setelah dilaksanakan cara ACT, terdapat peningkatan dari 92,8% pada 2009 menjadi 93,7% pada 2011.

476

4. Default penderita TB BTA+ Tahun Angka maksimal (%) Jumlah penderita default (trw I III) Default 2009 5 141 7,8 2010 5 73 3,8 2011 5 20 0,9

Default didefinisikan berhenti berobat minimal selama 2 bulan secara terus menerus. Seperti diketahui bahwa pengobatan yang tidak tuntas akan menimbulkan masalah kasus pengobatan ulang sehingga rantai penularan sulit diputus. Hal ini akan menimbulkan bertambahnya permasalahan dalam penanggulangan TB.Default sebelum dilaksanakan cara ACT melampaui angka minimal 5%, yakni mencapai 7,8% pada 2009 dan dapat ditekan menjadi 0,9% pada 2011. Kasus berhenti berobat tertinggi terjadi pada pengobatan tahap awal, yang akan berpengaruh terhadap cakupan conversion rate.

D. Pembahasan dan Kesimpulan

Salah satu key success factor pelaksanan pengobatan secara ACT adalah kepatuhan penderita untuk minum OAT secara teratur dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin dan memastikan kepatuhan tersebut diperlukan seorang KPT untuk setiap penderita TB yang dikelola dengan cara ACT.Informasi penting yang perlu dipahami KPT untuk disampaikan kepada penderita dan keluarganya adalah: 1. TB disebabkan oleh kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan 2. TB dapat disembuhkan dengan berobat/minum obat teratur 3. Cara penularan TB kepada lingkungannya, gejala-gejala penyakit TB dan cara pencegahan penyakit TB. 4. Cara pemberian dan jadual pengobatan penderita (tahap awal dan lanjutan) 5. Pentingnya pengertian penyakit TB supaya penderita berobat secara teratur 6. Kemungkinan terjadinya reaksi dan efek samping obat serta perlunya segera meminta pertolongan ke puskesmas. Pengobatan dengan cara ACT, selain memberikan keuntungan dari sisi biaya (lebih efisien), dari sisi program juga memberikan keuntungan sebagai berikut :

477

1. Penemuan penderita TB suspek meningkat dari 69,5% pada 2009 menjadi 84,8% pada 2011 2. Penemuan penderita TB BTA+/ Case Detection Rate (CDR) juga mengalami peningkatan dari 71,5% pada 2009 menjadi 84,5% pada 2011. 3. Penderita TB BTA+ yang konversi /Conversion Rateterdapat peningkatan dari 92,8% pada 2009 menjadi 93,7% pada 2011. 4. Default penderita TB BTA+ yang sebelum dilaksanakan cara ACT mencapai 7,8% pada 2009 dapat ditekan menjadi 0,9% pada 2011. Sementara untukCure Rateyang menggambarkan angka kesembuhan setelah pengobatan TB lengkap selama 6-8 bulan, belum dapat di evaluasi, mengingat cukup banyak faktor yang berpengaruh terhadap angka kesembuhan, antara lain penderita pindah, meninggaldan gagal pengobatan termasuk karena respons biologis.

478

POLA PENGGALIAN RIWAYAT DAN EDUKASI GAYA HIDUP PADA PASIEN BEROBAT DI PUSKESMAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA: SUDAH SIAPKAH DOKTER PUSKESMAS MENGHADAPI PENINGKATAN PREVALENSI PENYAKIT TERKAIT GAYA HIDUP? Prabandari YS, dan Dewi A. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada ABSTRAK Latar belakang. Seperti negara-negara lainnya, Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit. SKRT 1995 dan 2005, Riskesdas 2007-2010 menunjukkan, insidensi dan prevalensi penyakit kronis meningkat cepat dalam dua dekade terakhir. Survei nasional Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) menunjukkan, perilaku merokok, kurang aktivitas fisik, dan diet rendah serat masih banyak dijumpai di semua provinsi di Indonesia. Keterlibatan dokter Puskesmas sangat penting untuk menyelesaikan masalah peningkatan penyakit kronis. Penelitian inibertujuan mendeskripsikan pola penggalian riwayat penyakit dan edukasi gaya hidup sehat yang diberikan langsung oleh dokter puskesmas di Provinsi Yogyakarta. Metode. Penelitian dengan rancangan potong lintang dilakukan di puskesmas DIY pada November dan Desember 2011. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner terstruktur dari 57 dokter puskesmas. Focus Group Discussion dan wawancara mendalam dilakukan untuk memperkaya data. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil. Dokter telah menanyakan gaya hidup dan melakukan edukasi kepada pasien tentang kebiasaan merokok, aktivitas fisik, dan diet tinggi serat. FGD dan wawancara mendalam menunjukkan, dokter Puskesmas membutuhkan pemahaman terkini tentang penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup sehat dan pencegahannya. Kesimpulan. Dokter Puskesmas telah melakukan penelusuran riwayat dan edukasi tentang gaya hidup sehat. Pendidikan berkelanjutan dibutuhkan untuk memperbarui pengetahuan dan keterampilan tentang gaya hidup, penyakit yang terkait, dan pencegahannya. Kata kunci: gaya hidup sehat, edukasi pasien, dokterpuskesmas

ABTRACT Background.As other countries, Indonesia has been facing a shift of disease pattern. The 1995 and 2005 National Health Surveys (SKRT) and the 2007 and 2010 Basic Health Research (Riskesdas) showed, the incidence and prevalence of chronic diseases have increased rapidly in the last two decades.The national survey of healthy behavior (PHBS) indicated that smoking, low physical activity, and low fiber diet,remained prevalent in all provinces in Indonesia. Involvement of primary health care doctor is essential to overcome the problem of chronic disease elevation. This study aimed to describe history taking and

479

education on healthy life delivered by Yogyakarta Province.

primary health center (puskesmas) doctors in

Methods.A cross sectional survey was carried out at primary health centers in Yogyakarta province in November and December 201. Structured questionnaire was administered to collect data from 57 primary health center doctors.Focus Group Discussion and a series of in-depth interview were carried out to enrich data. The data was analyzed descriptively. Results. Doctors have asked and educated patients about healthy behavior, including smoking behavior, physical activity, and high fiber diet. FGD and interview showed that primary health center doctors need updated information on healthy life style, its related diseases, and prevention. Conclusion.This study concludes that primary health center doctors have delivered healthy life style education. Continuing medical education on healthy lifestyle and its related diseases is needed. Keywords: healthy life style, patient education, primary health center doctor

A. Latar belakang WHO pada tahun 2002 melaporkan bahwa kebiasaan merokok, bersamaan dengan naiknya tekanan darah, kolesterol, rendahnya konsumsi buah dan sayur merupakan faktor risiko global untuk 80% kematian karena penyakit jantung dan stroke. Kematian akibat merokok sebanyak 5,4 juta pertahun pada tahun 2008 dan diperkirakan akan melonjak menjadi 8 juga kematian pada tahun 2030, 80% di antaranya terjadi di negara berkembang. Selanjutnya, dalam laporan WHO pada tahun 2002 tersebut yang berjudul Reducing risks, promoting healthy life,melaporkan bahwa kuantifikasi factor risiko major, seperti penyalahgunaan obat-obatan, factor yang berhubungan dengan gaya hidup, malnutrisi, ancaman lingkungan dan okupasi memberikan kontribusi pada beban sakit di dunia. Tujuh di antara 10 faktor risiko adalah factor risiko untuk penyakit kronik dan penyakit tidak menular serta kebiasaan merokok merupakan factor risiko utama di negara maju dan factor risiko nomer tiga setelah alcohol dan kenaikan tekanan darah di negara berkembang dengan kematian rendah, termasuk Indonesia. Pergeseran pola penyakit yang terjadi di dunia juga telah terlihat di Indonesia, dengan terlihatnya insidensi dan prevalensi penyakit kronis yang bergerak ke ranking teratas pada SKRT 2005, bila dibandingkan dengan SKRT 1995. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995 dan 2005 menunjukkan peningkatan penyakit cerebrovaskuler,

480

kardiovaskuler dan neoplasma, yang semuanya mempunyai faktor risiko berkaitan dengan gaya hidup. Selanjutnya, Riset Kesehatan Daerah 2007 semakin menguatkan pola penyakit tersebut. Terlebih lagi, hasil survei Perilaku Hidup Bersih Sehat di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa 3 perilaku sehat yang dikampanyekan WHO sebagai faktor proteksi penyakit kronis, yaitu tidak merokok, melakukan aktivitas fisik dan mengkonsumsi buah dan sayur merupakan perilaku yang belum mencapai target yang diharapkan di hampir semua provinsi di Indonesia. Prevalensi perilaku kurang makan buah dan sayur (kurang dari 5 porsi/hari selama 7 hari dalam seminggu) pada penduduk 10 tahun ke atas adalah sebesar 93,6%. Sedangkan prevalensi kurang aktivitas fisik (kegiatan kumulatif aktivitas fisik kurang dari 150 menit/minggu) secara nasional adalah sebesar 48,2%. Proporsi rumah tangga dengan perokok minimal 1 orang adalah 55%.Di Provinsi Yogyakarta, 53% rumah tangga masih mempunyai sedikitnya 1 orang perokok, meskipun dalam Riskesdas 2007 prevalensi perokok DIY (pria dan wanita digabungkan) adalah 23,8. Selain itu masih terdapat 86,1% penduduk DIY yang kurang konsumsi sayur dan buah (kurang dari 5 porsi sehari) dan 45,3% yang kurang melakukan aktivitas fisik minimal, yaitu kurang dari 150 menit seminggu (Riskesdas, 2007). Pergeseran ke arah penyakit terkait gaya hidup di Indonesia seharusnya juga membawa pergeseran penelusuran riwayat penyakit dan edukasi yang dilakukan oleh dokter. Namun demikian, dari penelitian yang dilakukan di DIY pada tahun 2003sebesar 32% dokter laki-laki justru masih merokok (dalam 30 hari terakhir pada saat survei dilakukan). Sebanyak 72% dokter tidak secara rutin menanyakan kebiasaan merokok pasien dan memberikan nasehat yang berkaitan dengan kebiasaannya tersebut (Ng., et al., 2007).Bahkan sewaktu ditanyakan pada pasien, hanya 10% pasien saja yang melaporkan ditanya oleh dokter tentang kebiasaan merokoknya. Pertanyaan dokter pada kebiasaan merokok inipun hanya dilakukan pada pasien-pasien dengan kecurigaan pada penyakit tertentu, yaitu gangguan pernapasan dan sakit jantung. Sementara itu, penelusuran gaya hidup lainnya, seperti aktivitas fisik, pola makan, pola istirahat dan tekanan hidup belum banyak dilaporkan, terutama pada penelitian terdahulu yang dilakukan di Indonesia. Dokter pada pelayanan primer merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di Indonesia. Sudah seharusnyalah mereka memberikan edukasi mengenai gaya hidup sehat. Pada beberapa penelitian terdahulu dilaporkan bahwa nasehat dokter terbukti memberikan efek yang bermakna untuk menghentikan kebiasaan merokok(Fiore et al., 1996).Sementara

481

itu Heaton dan Frede (2006) di Amerika melaporkan berdasarkan kunjungan pasien ke dokter pada 184.668.007 pasien yang didiagnosis diabetes tipe 2, hipertensi atau obesitas dan lebih dari 140 juta pasien dengan insulin, serta lebih dari 82 juta pasien yang merokok, didapatkan hasil lebih dari tiga perempat pasien yang datang ke dokter tersebut tidak mendapatkan konseling atau edukasi mengenai gaya hidup. Disimpulkan pada penelitian ini bahwa pasien sangat kurang mendapatkan edukasi untuk perubahan gaya hidup yang dapat membantu memperbaiki status kesehatannya meskipun telah menderita penyakit kronis. Profesi kesehatan, termasuk dokter mempunyai peran kunci dalam mempromosikan berhenti merokok (Ocken 1987; Owen dan Davies, 1990;).Selanjutnya, dilaporkan bahwa nasehatsederhana yang diberikan oleh dokter meningkatkan tingkat tidak merokok secara signifikan (Russel et al., 1999). Bila doktermembantu untuk berhenti 10% pasien saja, maka3,5 juta perokok di seluruh di dunia akan berhenti setiap tahun (Pine et al. 1999). Agar dapat memberikan edukasi dengan tepat, penelusuran riwayat gaya hidup perlu dilakukan secara mendalam dan lengkap. Bagaimana gambaran dokter pada pelayanan primer di Indonesia, khususnya Yogyakarta dalam penelusuran riwayat gaya hidup serta edukasi yang diberikan belum banyak adiketahui.Selanjutnya, dengan diketahuinya seberapa dalam dokter di pelayanan primer dalam menanyai gaya hidup pasien sekaligus edukasinya, akan dapat dikembangkan intervensi bagi para dokter agar dapat ditingkatkan kapasitasnya dalam pengendalian penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola penelusuran riwayat dan edukasi gaya hidup pasien yang dilakukan oleh dokter di Puskesmas DIY..

B. Metode dan Subjek Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah dokter yang bertugas di Puskesmas di wilayah Provinsi DIY. Sampel diambil menggunakan metode cluster random sampling pada pada 1 kota dan 4 kabupaten yang ada di wilayah provinsi DIY. Data dikumpulkan melalui kuesioner terstruktur, dan dokter mengisi sendiri kuesionernya. Data dari survei ini dianalisis secara deskriptif.

C. Hasil Penelitian ini melibatkan 57 orang dokter yang berasal dari Puskesmas di Provinsi DIY.Karakteristik responden penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 1.

482

Tabel 1. Karakteristik sampeldokter


Jenis Laki-laki Kelamin Perempuan Status Menikah Perkawinan Tidak menikah Usia (tahun) Lama praktek (tahun) n 11 46 49 9 % 19.3 80.7 84.2 15.8 Ratarata SD Min Maks

32.3 6.7

7.14 5.64

24 0.3

55 26

Seperti ditunjukkan pada Tabel 1, sebagian besar dokter adalah wanita. Mayoritas dokter menikah. Rata-rata lama praktek dokter adalah 6.7 tahun dengan range antara 3 bulan hingga 26 tahun. Gaya hidup sehat dokter menunjukkan sebagian besar dokter tidak merokok. Sementara itu, masih terdapat 21% dokter yang sama sekali tidak berolah raga dan 12,3% dokter yang tidak pernah mengkonsumsi sayur dan buah. Seperempat dokter mempunyai keluarga inti yang merokok Prioritas kesehatan di DIY menurut para dokter adalah DBD (38,6%), kebiasaan merokok (26,3%), aktivitas fisik yang kurang (12,3%) serta rendahnya makanan tinggi serat dan perilaku seksual berisiko, masing-masing 7%. Tabel 2. Gaya Hidup Sehat Dokter
Gaya hidup Merokok Dalam 30 hari terakhir Anggota keluarga inti merokok Olah raga Ya Tidak Ya Tidak Saya belum menikah n 1 56 14 38 5 12 10 22 8 5 1 15 18 15 2 % 1.8 98.2 24.6 66.7 8.8 21.1 17.5 38.6 14.0 8.8 12.3 26.3 31.6 26.3 3.5

Konsumsi sayur dan buah

Tidak 1 x sebulan 1 x seminggu 3 x seminggu Lebih dari 3 x seminggu Tidak 1 x sebulan 1 x seminggu 3 x seminggu Lebih dari 3 x seminggu

483

Tabel 3. Penggalian Riwayat dan Edukasi tentang Gaya Hidup oleh Dokter
Perilaku merokok n % 1 1,8 23 40,4 24 42,1 9 15,8 0 0 26 46,4 21 37,5 9 16,1 0 13 23 20 0 23,2 41,1 35,7 Kebiasaan olah raga n % 2 3,6 38 67,9 12 21,4 4 7,0 1 1,8 37 67,3 13 23,6 5 7,3 0 25 23 7 0 45,5 41,8 12,7 Konsumsi sayur dan buah n % 3 5,3 36 63,2 14 24,6 4 7,0 4 7,0 38 70,4 9 16,7 3 5,6 0 29 20 5 0 50,9 35,1 8,8

Anamnesis

Menanyakan tentang kebiasaan atau gaya hidup pasien Menanyakan tentang jumlah (rokok) / frekuensi (olah raga & konsumsi sayur buah Memberikan edukasi tentang gaya hidup

Tidak pernah Kadang-kadang Hampir selalu Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Hampir selalu Selalu Tidak pernah Kadang-kadang Hampir selalu Selalu

Edukasi

Tabel 3 menunjukkan, sebagian besar dokter melaporkan telah melakukan penggalian riwayat dan edukasi tentang gaya hidup pada pasien. Hasil yang menarik juga ditunjukkan dalam gambaran bahwa proporsi dokter melakukan penggalian riwayat dan edukasi gaya hidup terbanyak secara urutan adalah kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan konsumsi sayur dan buah.

Tabel 4. Jenis Pasien yang Digali Riwayat dan Diberi Edukasi tentang Gaya Hidup oleh Dokter
Kebiasaan merokok Anamnesis Edukasi F % f % 6 10.7 14 24.6 35 62.5 29 50.9 Olah raga Anamnesis f % 9 15.8 Edukasi f % 13 22.8 Konsumsi sayur dan buah Anamnesis Edukasi f % F % 9 16.7 13 22.8

Semua pasien Pasien yg dianggap merokok Pasien yg memiliki masalah berat badan Pasien dng gangguan pernapasan Pasien dng gangguan kardiovaskuler Pasien dng kanker Pasien dng diabetes Pasien dng penyakit di ronggal mulut Pasien yg istrinya hamil/punya anak masih balita Pasien dng gangguan musculoskeletal Pasien dng gangguan pencernaan

39 48 45 25 34 27 27 85.7 80.4 44.6 59.6 48.2 48.2 38 35 20 27 18 26 66.7 61.4 35. 1 47.4 31.6 45.6 24 39

70.9 43.6 70.9

39 22 24

68.4 38.6 42.1

41 6 25

75.9 11.1 46.3

36 8 27

63.2 14 47.4

41

74.5

40

70.2

36

66.7

36

63.2

29

50.9

20

38.6 43 75.4 38 66.7

484

Tabel 4menunjukkan, dokter melakukan anamnesis atau penggalian riwayat gaya hidup tentang kebiasaan merokok terbanyak pada pasien dengan gangguan pernapasan, disusul pasien dengan gangguan kardiovaskuler dan pasien yang dianggap merokok. Untuk penggalian tentang kebiasaan olah raga, pasien dengan gangguan diabetes adalah yang terbanyak proporsinya, disusul dengan pasien dengan gangguan kardiovaskuler dan masalah berat badan.Penggalian kebiasaan konsumsi sayur dan buah terbanyak pada pasien dengan masalah berat badan, diabetes, dan gangguan kardiovaskuler. Gambaran yang serupa ditemukan dalam dokter melakukan edukasi pada pasien.

D. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan, dokter yang diharapkan menjadi tokoh panutan dalam perilaku kesehatan ternyata memiliki perilaku yang terkait penyakit degeneratif, seperti rutin melakukan olah raga dan mengkonsumsi sayur dan buah, di bawah standar. Menurut WHO, olah raga minimal 5 kali per minggu dengan durasi minimal 30 menit dapat melindungi dari berbagai penyakit degeneratif. Dokter yang melakukan olah raga rutin lebih dari 3 kali per minggu hanya sebesar 8,8%. Kementerian Kesehatan mengkategorikan konsumsi buah dan sayur kurang jika konsumsi kurang dari 5 kali per hari.Berdasar kriteria tersebut, lebih dari 90% dokter dikategorikan rendah dalam konsumsi buah dan sayur. Hasil penelitian ini menunjukkan hanya 15,8% dokter yang selalu bertanya mengenai perilaku merokok pasien, selebihnya sekitar 42,1% hampir selalu bertanya mengenai perilaku merokok pasien. Jika dikategorikan sebagai rutin bertanya, maka hampir 58% dokter rutin bertanya mengenai perilaku merokok pasien.Dokter yang secara rutin (selalu dan hampir selalu) menanyakan jumlah rokok sebesar 53%.Dokter yang melakukan edukasi secara rutin (selalu dan hampir selalu) untuk menasehati pasien supaya berhenti merokok sebesar 77%.Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa beberapa dokter tidak melakukan anamnesa namun langsung memberikan edukasi. Persentase ini meningkat dibandingkan penelitian Ng et al (2007) yang mendapati bahwa77% dokter tidak rutin menanyakan kebiasaan merokok pasien dan memberikan nasehat yang berkaitan dengan kebiasaannya tersebut (Ng et al., 2007). Jenis pasien yang dilakukan anamnesis masih berkisar pada pasien yang penyakitnya dianggap erat berkaitan dengan rokok misalnya gangguan pernapasan dan penyakit kardiovaskular.

485

Berbagai penelitian dan kajian ilmiah menunjukkan bahwa konsumsi rokok tidak hanya berhubungan gangguan pernapasan dan penyakit kardiovaskular. Penelitianpenelitian tersebut menunjukkan hubungan kausal antara konsumsi rokok dengan terjadinya berbagai penyakit (WHO, 2002; US CDC, 2004). Peningkatan persentase dokter yang melakukan anamnesa dan edukasi terkait perilaku merokok mungkin disebabkan karena beberapa tahun belakangan ini, Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman gencar melakukan program-program pengendalian tembakau.Hal ini terkait dengan adanya Dana Hasil Bagi Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang harus digunakan untuk berbagai program kesehatan pengendalian tembakau, termasuk pelatihan konseling berhenti merokok untuk dokter dan tenaga kesehatan. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Sleman/Yogyakarta bekerja sama dengan Quit Tobacco Indonesia, suatu proyek pengendalian tembakau kerja sama antara FK UGM dengan Negara India dan Amerika Serikat (Quit Tobacco Indonesia, 2011). Namun demikian, data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% dokter yang merasa memiliki pengalaman/pelatihan untuk membantu pasien berhenti merokok dan memiliki keterampilan konseling berhenti merokok.Hal ini bisa terjadi karena dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Dinkes dan QTI, tiap puskesmas biasanya hanya diwakili oleh 1 orang dokter dan 1 orang perawat.Dengan demikian jika di Puskesmas ada 3 dokter, hanya 1 yang dilatih.Dalam suatu kesempatan pelatihan penyegaran konseling berhenti merokok tahun 2011, saat dilakukan evaluasi para dokter menyampaikan beberapa alasan mengapa konseling berhenti merokok tidak dilakukan semua dokter. Alasan pertama adalah bahwa dokter yang dilatih tidak melatih teman sejawat lain di Puskesmas. Alasan kedua, dokter-dokter yang dilatih ada yang dipindah-tugaskan ke Puskesmas lain atau menempuh tugas belajar sehingga tidak ada yang melayani konseling berhenti merokok. Dalam penelitian ini juga nampak bahwa anamnesa yang dilakukan dokter masih selektif pada kondisi pasien tertentu. Untuk itu perlu pengembangan kapasitas bagi dokter karena berbagai riset terbaru menyebutkan bahwa rokok tidak hanya berhubungan dengan penyakit pernapasan dan kardiovaskular, namun dengan berbagai penyakit degeneratif lain seperti diabetes mellitus, kanker, dan sebagainya. Pengembangan kapasitas bagi dokter terkait isu rokok selain untuk mengikuti perkembangan keilmuan terbaru, juga membantu

486

dokter meningkatkan keyakinan diri mengenai pengetahuan dan keterampilan dalam membantu pasien berhenti merokok. Untuk anamnesis terkait kebiasaan olah raga, dokter yang rutin (selalu dan hampir selalu) menanyakan kebiasaan olah raga sebesar 28%, sedangkan untuk kebiasaan makan buah dan sayur sebesar 32%. Persentase ini masih di bawah anamnesa untuk kebiasaan merokok.Untuk edukasi tentang kebiasaan olah raga dan konsumsi sayur buah juga masih rendah dibandingkan dengan edukasi mengenai rokok, masing-masing 30% dan 31%.Pasien yang dianamnesa juga masih pasien dengan kondisi yang erat kaitannya dengan suatu perilaku.Misal kebiasaan makan sayur dan serat sebagian besar ditanyakan pada pasien dengan gangguan pencernaan. Mengingat bahwa kurang olah raga dan kurang makan buah sayur merupakan faktor risiko berbagai penyakit terkait gaya hidup, maka anamnesa dokter merupakan entry point strategis untuk pencegahan penyakit terkait gaya hidup. Skrining dini diperlukan untuk pencegahan penyakit terkait gaya hidup termasuk kardiovaskular (Labarthe, 2011).

E. Kesimpulan dan Saran Dokter lebih banyak yang tidak merokok, telah melakukan olah raga, hanya saja frekuensi melakukan olah raganya paling banyak seminggu sekali, sementara frekuensi makan buah dan sayurnya juga belum seperti ditetapkan oleh WHO. Oleh karena itu agaredukasi tentang gaya hidup dapat lebih mengena sasaran pada pasien atau masyarakat secara umum, dokter disarankan untuk mengaplikasikan gaya hidup sehat. Sebagian besar dokter melaporkan telah melakukan penggalian riwayat dan edukasi tentang gaya hidup. Berdasarkan hal ini disarankan pada dokter agar tetap meluangkan waktunya untuk melakukan penggalian riwayat dan edukasi gaya hidup sehat seerta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan menggali ataupun edukasi yang berkaitan dengan gaya hidup, untuk menyiapkan meningkatnya penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup. Ucapan terima kasih Penelitian ini dibiayai dengan Dana Masyarakat FK UGM 2011.

487

DAFTAR PUSTAKA Browning CJ, dan Thomas SA (2005)Behavioral Change: An Evidence-based Handbook for Social and Public Health. Edinburgh: Elsevier Departemen Kesehatan RI (2008).Riskesdas Indonesia tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI Fertman C, dan Allensworth DD (2010).Health Promotion Programs. San Fransisco, USA: Jossey-Bass, A Wiley Imprint Fiore MC, Jan CR, Baker TB, Bailey WC, Benowitz NL, Curry SJ, et al. (2008). Treating Tobacco Use and Dependence: 2008 Update. Clinical Practice Guideline. Rockville, MD: U.S. Department of Health and Human Services. Public Health Service. Glanz K., Rimer BK, dan Viswanath K (2008).Health Behavior and Health Education. San Fransisco, USA: Jossey-Bass, A Wiley Imprint Heaton PC, dan Frede SM (2006). Patients need for more counseling on diet, exercise, and smoking cessation: results from the National Abulatory Medical Care Survey. J J Am Pharm Assoc. 46 (3): 364369. Lasbhinger HKC. dan Tresolini CP (1999). An exploratory study of nursing and medical students health promotion counseling self-efficacy. Nurse Education Today 9:408418 Ockene JK (1987). Smoking intervention: the expanding role of the physician. Am J Public Health. 77(7):782-783. Owen N,dan Davies MJ (1990).Smokers preference for assistance with cessation.Prev Med.;19(4):424-431. Russell MA, Wilson C, Taylor C, et al. (1979).Effect of general practitioners advice against smoking.BMJ;2(6184):231-235. Pine D, Sullivan S, Conn SA, David C (1999). Promoting tobacco cessation in primary care practice.Prim Care.;26(3):591-610 Ng N, Prabandari YS, Padmawati RS, Okah F, Haddock CK, Nichter M, et al. (2007). Physician assessment of patient smoking in Indonesia: a public health priority. Tob Control;16(3):190-6 World Health Organization (2002).The World Health Report 2002 - reducing risks, promoting healthy life. Geneva: World Health Organization. ______________________(2008). WHO Report on the Global Tobacco Epidemic. Geneva: World Health Organization.

488

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DENGAN TINGKAT INTELLIGENCE PADA ANAK USIA PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK (TK) KELAS B WILAYAH PIMPINAN CABANG AISYIYAH (PCA) BLIMBING SUKOHARJO JAWA TENGAH Sunarti Sawitri, melly Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

ABSTRACT Background: Preschoolers including those most vulnerable to nutritional diseases, rapid growth, and require nutrients in large numbers. Malnutrition will bring adverse effects on the lives of children, especially in disorder of development, low resistance to disease, and the lower level of intelligence. Children who have less or poor nutritional status are at risk of losing the level of intelligence or IQ by 10-15 points. The purpose of this study was to determine the relationship between nutritional status to the level of intelligence in preschoolers. Methods: This was analitic research using cross sectional approach. The sample in this research was 77 children. Sampling using probability proportionate to size. The variables studied include nutritional status and level of intelligence. Nutritional status was identified from the value of Z score IMT / U. Intelligence level were measured by using the coloured progressive matrices test (CPM). The relationship of the variables seen using Chi Square test. Results: The results showed that of the 77 children obtained from 13 children (16.9%) were included in the criteria of abnormal nutritional status, there are 7 children (9%) had good intelligence levels and 6 children (7.8%) had levels of less intelligence. Bivariate analysis showed the relationship of nutritional status to the level of intelligence p> 0.05 (p = 1.000). Conclusion: There was no relationship between the nutritional status of preschool children with a level of intelligence. Keywords: Preschool children, Nutritional status, the level of intelligence.

A. PENDAHULUAN Peningkatan sumber daya manusia merupakan rangkaian upaya membangun manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Berkaitan dengan ini peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak terbatas pada kelompok umur tertentu tetapi mencakup seluruh penduduk Indonesia. Salah satu upaya yang mempunyai dampak cukup penting terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah upaya peningkatan status gizi masyarakat. Status gizi anak mempengaruhi perkembangan kognitif dan malnutrisi pada waktu bayi dan balita dapat menurunkan tingkat kecerdasan. Anak usia prasekolah 489

termasuk kelompok yang rentan terhadap penyakit gizi (Kurang Energi Protein (KEP), Anemia Defisiensi Besi (ADB), Gangguan Akibat kekurangan iodium (GAKY), dan Kurang Vitamin A) dan penyakit infeksi. Pada masa prasekolah mengalami pertumbuhan yang pesat, dan memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Konsumsi makan yang beragam, bergizi seimbang dan aman dapat memenuhi kecukupan gizi individu untuk tumbuh dan berkembang. Peran zat gizi tidak hanya pada pertumbuhan fisik tubuh tetapi juga dalam pertumbuhan otak, perkembangan perilaku, motorik, dan kecerdasan4. Penelitian Iskandar (2009) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi anak usia prasekolah dengan kecerdasan (tingkat intelligence). Gizi buruk akan membawa dampak buruk pada kehidupan anak, terutama gangguan tumbuh kembang, rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, dan tingkat kecerdasan yang kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence pada anak usia prasekolah di Taman kanak-kanak (TK) kelas B wilayah Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah.

B. METODE PENELITIAN 1. Jenis, Tempat, dan Waktu. Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan pada 2 Taman Kanak-kanak di Wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah, yaitu TK ABA Imam Syuhodo dan TK Aisyiyah Cabang Blimbing. Waktu penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 30 Mei - 13 Juni 2012. 2. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah semua anak TK kelas B di TK ABA Imam Syuhodo dan TK Aisyiyah Cabang Blimbing yang berjumlah 130 anak, yang terdiri dari 60 anak pada TK ABA Imam Syuhodo dan 70 anak pada TK Aisyiyah Cabang Blimbing. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan probability proportionate to size, diperoleh sampel 35 anak pada TK ABA Imam Syuhodo dan 40 anak pada TK Aisyiyah Cabang Blimbing. Memilih anggota sampel masing-masing TK secara random, yaitu simple random sampling. Sampel dipilih menggunakan criteria sampel sebagai berikut : anak yang berumur di atas 5 7 tahun, Tidak menderita penyakit ganguan saraf, seperti cerebral palsi, autis. 3. Teknik dan pengumpulan data

490

1) Data primer Data status gizi diperoleh melalui pengukuran antropometri yaitu berat badan diukur dengan timbangan injak berketelitian 0.1 cm dan tinggi badan diukur menggunakan microtoise berketelitian 0.1 cm, kemudian dihitung nilai z score IMT/U dengan menggunakan software WHO antro plus. Kemudian dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu Normal : -2 SD sampai dengan 1 SD dan Tidak normal : < -2 dan >1 SD. Skala yang digunakan nominal dikotomi. Intelligence diukur menggunakan tes Coloured progressive matrices (CPM), hasilnya Jumlah jawaban yang benar dibandingkan dengan nilai persentil menurut umur anak. Berdasarkan nilai persentil dikategorikan, yaitu kurang : x 50 dan Baik : x > 50. Skala yang digunakan nominal dikotomi. 2) Data sekunder Meliputi gambaran umum atau profil, dan peraturan pada msing-masing TK, yaitu TK Aisyiyah Cabang Blimbing dan TK ABA Imam Syuhodo yang diperoleh dari arsip sekolah dan wawancara pihak sekolah. 4. Pengolahan dan analisis data Data yang telah terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan komputer. Analisis data univariat disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase dari setiap variabel, untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Analisis data bivariat dijelaskan dengan menggunakan uji Chi-Square pada = 0,05 dan interval kepercayaan 95%, yang disajikan dalam bentuk narasi dan tabel distribusi proporsi. C. HASIL PENELITIAN 1. Gambaran Umum Tempat Penelitian Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah Cabang Blimbing terletak di Blimbing RT 4 RW IV, Desa Wonorejo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. Taman Kanak-kanak ABA Imam Syuhodo terletak di Dusun Jengglong RT 03 RW V, Kelurahan Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah. 2. Karakteristik Sampel Penelitian. Sampel pada penelitian ini adalah TK kelas B di wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah. Sampel pada penelitian ini berjumlah 77 anak. Sampel Terdiri dari TK Aisyiyah Cabang Blimbing berjumlah 40 anak, tetapi ada 1 sampel yang drop

491

out ketika penelitian berlangsung, sehingga sampel menjadi 39 anak. Sampel pada TK ABA Imam Syuhodo berjumlah 38 anak. Tabel 1. Karakteristik responden n (%) Anak Umur (tahun) 5 6 7 Jenis kelamin Perempuan Laki-laki 20 52 5 36 41 (26) (67.5) (6.5) (46.8) (53.2)

Orangtua Pekerjaan ayah

Buruh Pedagang Wiraswasta Swasta PNS Tidak bekerja Buruh Pedagang Wiraswasta Swasta PNS Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Diploma Tamat Sarjana Rendah Tinggi

10 3 20 31 13 31 2 2 17 12 13 13 14 27 5 18 9 16 30 5 17

(13) (3.9) (26) (40.3) (16.9) (40.3) (2.6) (2.6) (22.1) (15.6) (16.9) (16.9) (18.2) (35.1) (6.5) (23.4) (11.7) (20.8) (39) (6.5) (22.1)

Pekerjaan Ibu

Pendidikan Ayah

Pendidikan Ibu

Penghasilan orangtua 22 (28.6) 55 (71.4) 77 (100.0)

Total Sumber ; data primer, 2012

492

3.

Analisis univariat Status gizi anak prasekolah di wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah didominasi oleh responden dengan status gizi normal yaitu sebanyak 64 responden (83.1%), dan status gizi tidak normal sebanyak 13 responden (13%). Tingkat intelligence anak prasekolah di Wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah sebagian besar adalah normal sebesar 44 anak (57.1%).

Tabel 2. Analisis Univariat Status Gizi dan Tingkat Intelligence Pada Anak Prasekolah di TK kelas B Wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo. n (%) Status gizi Tidak normal Normal Kurang Baik 13 64 33 44 77 (16.9) (83.1) (42.9) (57.1) (100.0)

Tingkat intelligence

Total Sumber : Data primer, 2012

4. Analisis Bivariat Hasil analisis hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence pada anak prasekolah di TK wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah dengan menggunakan uji statistik chi square. Hasil uji Chi Square didapatkan dari nilai signifikansi (p value) = 1.000 pada = 0.05 dan nilai p >, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence anak prasekolah. Dilihat dari nilai ratio prevalen (RP) yaitu 1.074 (95% CI = 0.623 1852), artinya anak yang mempunyai status gizi tidak normal, mempunyai peluang memiliki tingkat intelligence kurang sebesar 1.074 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi normal, dan secara statistik tidak bermakna.

493

Tabel 3. Hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa tengah. No Status Gizi Tingkat Intelligence Baik kurang % % Total % Sig RP (95% CI) 1.074 (0.623 1.852)

1 2

Normal Tidak normal

37 48.1 27 35.1 64 7 9 6 7.8 13

83.1 1.000 16.9 100

Total 44 57.1 33 42.9 77 Sumber : Data primer, 2012.

D. PEMBAHASAN Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa status gizi tidak berhubungan dengan tingkat intelligence (p=1.000). Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian. Petrus (2003)5 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status gizi masa lampau (BB/U) dan status gizi saat ini (BB/TB) dengan tingkat intelligence. Selain itu, penelitian Andarwati dkk (2006)6 menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan intelligence. Hal ini berarti bahwa intelligence tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi, tetapi terdapat faktor lain yang lebih dominan yang dapat mempengaruhi tingkat intelligence. Keadaan gizi yang cukup pada masa pertumbuhan khususnya pada umur 0-2 tahun dapat berpengaruh terhadap perkembangan otak manusia (termasuk didalamnya intelligence) optimal berlangsung sejak janin sampai umur 2 tahun7. Periode ini ditandai dengan multiplikasi dan pertumbuhan sel cepat, sesudah periode ini sel hanya bertambah ukurannya. Studi membandingkan pertumbuhan otak antara bayi normal dengan bayi marasmus (kekurangan protein) hasilnya menunjukkan bahwa total kandungan protein dan DNA lebih tinggi pada bayi normal. Gangguan perkembangan otak pada awal kehidupan akan berdampak negatif pada usia selanjutnya, sebab anak yang pernah menderita kurang gizi mempunyai ukuran otak lebih kecil dibanding ukuran otak rata-rata anak dengan gizi baik8. Status gizi anak umur 2 tahun kebawah merupakan periode emas dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Menurut penelitian Anwar (2010)9 status gizi kurang yang terjadi pada umur 2 tahun kebawah dan tidak mendapatkan penanganan yang

494

benar maka dampaknya akan berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak selanjutnya. Apabila seorang anak mengalami gangguan gizi setelah umur 2 tahun, ada kemungkinan tingkat intelligencenya baik tetapi perkembangan fisik terganggu, hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan otak berlangsung maksimal selama 2 tahun10 Azwar (2010)11 menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intelligence yaitu faktor internal (genetika) dan eksternal (lingkungan). Faktor genetik memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak. Faktor genetik memiliki peran besar 48% dalam membentuk intelligence anak, sedangkan 52% intelligence dibentuk oleh lingkungan. Penelitian dilapangan ditemukan bahwa adanya anak dengan kembar identik yang dibesarkan dalam lingkungan yang sama, memperoleh asupan makanan dengan kualitas yang sama dan mempunyai status gizi yang sama, memperlihatkan hasil tes intelligence yang sama. Faktor lingkungan meliputi rangsangan intelelektual dan gizi yang cukup. Rangsangan intelektual berupa pendidikan, status sosial ekonomi, penyediaan sarana dan fasilitas, keterampilan dan sebagainya12. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara pendidikan orangtua dengan tingkat intelligence anak, tetapi anak dengan pendidikan orangtua yang tinggi banyak dijumpai memiliki tingkat intelligence baik. Tingkat pendidikan orangtua yang tinggi akan lebih mampu memberikan stimulasi bahasa dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan pola pikirnya13. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara status ekonomi dengan tingkat intelligence, tetapi ditemukan bahwa anak yang mempunyai tingkat intelligence baik, banyak ditemukan pada keluarga dengan tingkat status ekonomi yang tinggi. Hal ini kemungkinan dikarenakan status ekonomi yang tinggi mampu menyediakan fasilitas permainan educative yang dapat mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan intelligence. Keadaan dilapangan memperlihatkan bahwa anak di TK ABA Imam Syuhodo dengan tingkat intelligence baik, lebih banyak dibandingkan dengan TK Aisyiyah cabang Blimbing. Hal ini dikarenakan bahwa di TK ABA Imam Syuhodo waktu belajar di sekolah lebih lama, sehingga interaksi anak dengan guru juga lebih optimal. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial dilingkungan diusahakan disesuaikan dengan kebutuhannya, anak membutuhkan pendidikan yang diharapkan dapat menstimulasi perkembangan kemampuan anak, sehingga anak memperoleh tambahan kata-kata yang

495

dipergunakan

untuk

mengekspresikan

dirinya

dan

pengalamannya.

Keterbatasan

pembendaraan kata-kata akan mempersempit pemikiran dan mengakibatkan intelligence menurun14.Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kepandaian berkomunikasi dan kemampuan menangani materi yang bersifat abstrak dan simbolik15.

E. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian dan pembahasan adalah : 1. Status gizi anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah mayoritas responden dengan status gizi normal yaitu sebanyak 64 responden (83.1%), dan status gizi tidak normal (obesitas dan gizi kurang) sebanyak 13 responden (13%). 2. Tingkat intelligence anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing Sukoharjo Jawa Tengah sebagian besar adalah normal sebesar 44 anak (57.1%), dan anak yang memiliki tingkat intelligence yang kurang yaitu sebanyak 33 anak (42.9%). 3. Tidak ada hubungan antara status gizi dengan tingkat intelligence pada anak prasekolah di TK kelas B wilayah PCA Blimbing, Sukoharjo, Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA 1. Iskandar, S., 2009, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kecerdasan Anak Umur 5-6 Tahun Di Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jurnal Nutrisia, 11(1):Pp. 26-31 2. Sari, Y., Hanam, H., Tri, S., 2007, Hubungan Status Gizi Dengan Nilai Evaluasi Murni SD Kecamtan Salamantan Kabupaten Bangkayang Kalimantan Barat, Jurnal Nutrisia, 8(1):Pp. 18-53 3. Santosa, S., Ranti, A.L., 2009, Kesehatan dan Gizi, Rineka Cipta, Jakarta. 4. Bappenas, 2011-2015, Rencana Aksi Nasional Pangan Dan Gizi : www.Bappenas.go.id/get-file-server/node/GTS, diakses pada tanggal 2 April 2012, Yogyakarta 5. Petrus., 2003, Status Gizi Intelligence Dan Prestasi Belajar Murid Sekolah Dasar Suku Bajau Di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Kendari, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 6. Andarwati, R., Prawirohartono, E., Gamayanti, I., 2006, Hubungan Berat Badan Lahir Pemberian ASI Eksklusif Status Gizi Dan Stimulasi Kognitif Dengan Kecerdasan Anak Usia 5-6 Tahun, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 2(3):Pp 95-100

496

7. Almatsier, S., 2009, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 8. Khomsan, A., 2004, Pangan dan Gizi untuk kesehatan, Rajagrafindo, Jakarta. 9. Anwar, LM., 2010, Pengaruh Status Gizi Pada Umur 2 Tahun Kebawah Terhadap Tingkat Kecerdasan Anak Umur 5-6 Tahun Di Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 10. Dhini,. 2003, Perbedaan Intelligence Dan Prestasi Belajar Anak Stunted Dan Non Stunted Di Kecamatan Bukit Batu Kota Palangkaraya, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 11. Azwar, S., 2010, Pengantar Psikologi Inteligensi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 12. Purwondari, H., Prawirohartono, E.P., Hartati. S., 2008, Usia Penyapihan Dan Hubungannya Dengan Intelligence Pada Siswa TK, Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 5(1):Pp. 21-27 13. Pratisti, W.D., Ekowarni, E., 2002, Pola Berpikir Anak Prasekolah Ditinjau Dari Kemampuan Berbahasa, Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi, 6(1):Pp. 21-31 14. Davidoff, L.L., 1991, Psikologi Suatu Pengantar, Terjemahan, Erlangga, Jakarta. 15. Andriani, M.,Wirjatmadi, B., 2012, Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan, Kencana Pranada Media Group, Jakarta

497

PENGARUH FAKTOR RISIKO TERHADAP GANGGUAN MUSKULOSKLELETAL PADA PEKERJA WANITA BATIK TULIS DI KABUPATEN SRAGEN Sumardiyono, Ari Probandari, Diffah Hanim, Selfi Handayani Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta

A. PERMASALAHAN DAN TUJUAN PENELITIAN Risiko bahaya kesehatan kerja pada pekerja batik tulis adalah sikap kerja duduk monoton dengan ukuran tinggi dingklik 14,2 cm, yang mana ukurannya terlalu rendah bila dibandingkan tinggi lekuk lutut duduk 36,1 cm. Hal ini menyebabkan pekerja membungkuk saat bekerja yang berakibat timbulnya gangguan muskuloskeletal. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko gangguan muskuloskeletal, mendesain kursi ergonomis, dan mengevaluasi efektifitas disain kursi ergonomis dalam rangka mengurangi risiko gangguan muskuloskeletal pada pekerja wanita batik tulis.

B. INOVASI IPTEKS 1. Kontribusi terhadap pembaharuan dan pengembangan ipteks Perhatian terhadap kesehatan kerja pada tenaga kerja sektor informal saat ini belum memadai, oleh karena itu diperlukan interaksi dengan perguruan tinggi untuk memecahkan masalah. 2. Perluasan cakupan penelitian Dalam penelitian ini hanya berfokus pada kesehatan kerja sektor informal khususnya tenaga kerja batik tulis yang bermasalah dalam penyediaan sarana kerja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan kerja. Namun demikian hasil penelitian ini dapat diimplementasikan pada perusahaan sejenis di luar kabupaten Sragen.

C. KONTRIBUSI TERHADAP PEMBANGUNAN 1. Dalam mengatasi masalah pembangunan Salah satu masalah kesehatan kerja bagi pekerja batik tulis adalah belum tersedianya sarana kerja yang sesuai dengan standar kesehatan kerja, sehingga perlu masukan-masukan mengenai sarana kerja yang ergonomis.

498

2. Penerapan teknologi ke arah komersial Ukuran kursi ergonomis yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi referensi untuk standar tempat duduk bagi pekerja wanita batik tulis untuk orang yang karakteristiknya identik dengan masyarakat Jawa khususnya di Sragen. 3. Alih teknologi Alih teknologi yang digunakan dalam penelitian ini sebenarnya sederhana, hanya saja permasalahannya kuran diperhatikan di tingkat Dinas pemerintah terkait. Dengan menerapkan teknologi Ergonomi yaitu dengan memberikan ukuran sarana kerja sesuai dengan dimensi ukuran tubuh pekerja, maka akan dapat mengurangi gangguan musculoskeletal. 4. Kelayakan memperoleh hak paten/cipta Dengan beragamnya produk kursi di masyarakat, maka hasil penelitian yang berkaitan dengan hak paten barangkali adalah ukuran kursi hasil penelitian yang sudah disesuaikan dengan ukuran antropometri dari dimensi tubuh khususnya pekerja wanita batik tulis.

D. MANFAAT BAGI INSTITUSI 1. Keterlibatan unit-unit lain di perguruan tinggi dalam pelaksanaan penelitian. Unit-unit di perguruan tinggi yang terlibat dalam penelitian ini adalah Program Studi D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja, khususnya laboratorium ergonomic yang menyediakan peralatan antropometer guna pengukuran dimensi tubuh pekerja. 2. Keterlibatan mahasiswa D3, lampirkan Nama/NIM/judul tugas akhir (Laporan Tugas Akhir) yang ditulis mahasiswa Mahasiswa yang terlibat dalam penelitian ini semuanya adalah Mahasiswa Program D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran UNS Semester V. Untuk Laporan Tugas Akhir ditentukan setelah mahasiswa memasuki Semester VI. Namanama mahasiswa yang terlibat dalam penelitian sebagai berikut : No 1. 2. 3. 4. 5. 6. Nama ARIEK KURNIA P.D DEVI ROSELIA HASTUTI IWAN JAYA AZIS RIESKA SETYOWATI RINGGO DWI S NIM R0010019 R0010030 R0010047 R0010051 R0010085 R0010087

499

3. Kerjasama dengan pihak luar (kontrak baru, royalty, dsb) Kerjasama dengan pihak luar dalam penelitian ini belum dilakukan.

E. PUBLIKASI ILMIAH 1. Nama Pertemuan Ilmiah : Pembicara pada Seminar Nasional dan Workshop 6TH Annual Indonesia Occupational Medicine Conference 2012 dengan tema Occupational Medicine Clinical Aplication: Reduce Absenteism- Improve Productivity Penyelenggara Lokasi Tanggal/bulan pelaksanaan : PERDOKI dan IDI : Hotel Horison, Bandung : 13 14 Oktober 2012

2. Terlampir Naskah Artikel publikasi pada Seminar Nasional dengan judul FaktorFaktor Risiko Gangguan Muskuloskleletal Pada Pekerja Wanita Batik Tulis 3. Rencana jurnal : Jurnal Makara Seri Kesehatan, ISSN: 1693-6728, terbitan Universitas Indonesia. Terlampir naskah jurnalnya.

500

PROMOSI KESEHATAN BAGI PEDAGANG HIDANGAN ISTIMEWA KAMPUNG DENGAN KEMITRAAN ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN UNTUK MENCIPTAKAN KULINER KHAS SOLO YANG SEHAT DAN AMAN DIKONSUMSI1 Anik Lestari2
1. 2. Bagian dari proposal penelitian S3, Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Minat Utama Promosi Kesehatan, Program Pascasarjana, UNS tahun 2012 Staf Pengajar pada Bagian IKM FK UNS Solo, email: leslietarinick@yahoo.com

ABSTRAK Makanan Hidangan Istimewa Kampung (HIK) merupakan hidangan tradisional khas Solo yang digemari berbagai lapisan masyarakat. Pengamatan sementara menunjukkan, jajanan makanan yang dikenal sebagai HIK sangat disukai oleh kalangan ekonomi kecil maupun menengah. Omset penjualan komoditas di sektor perdagangan shelter (pedagang kaki lima/ PKL), tenda PKL, dan gerobak PKL di Solo mencapai Rp 3 milyar per tahun (Pemerintah Kota Surakarta, 2007). Perdagangan HIK sebenarnya sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga karena perdagangan HIK merupakan pekerjaan di sektor informal yang mampu memberikan pendapatan bagi masyarakat ekonomi lemah, namun menurut penelitian yang dilakukan oleh Murti, dkk pada tahun 2007 menemukan bahwa penjualan HIK tidak memenuhi standar kebersihan makanan dan sanitasi. Kebiasaan atau perilaku yang tidak memenuhi standar kesehatan dilakukan baik oleh pedagang / penjual maupun pembeli. Tingkat kontaminasi makanan oleh Escherichia. coli masih cukup tinggi 65,5%. Studi yang pernah dilakukan di Jakarta Selatan pada tiga jenis Tempat Pengelolaan Makanan (TPM), yang meliputi bentuk PKL, restoran dan katering menyimpulkan bahwa kontaminasi makanan oleh bakteri Escherichia. coli dalam memasak makanan dipengaruhi oleh suhu saat memasak dan jenis TPM. Jenis TPM PKL memiliki risiko 3,5 kali untuk terjadinya kontaminasi dibandingkan dengan restoran dan katering (Djaja, 2008). Perdagangan HIK di kota Solo kebanyakan dilakukan oleh PKL sehingga memungkinkan makanan yang dijual dapat menjadi media bagi penyakit yang ditularkan melalui makanan atau minuman, oleh karena itu perlu dilakukan upaya promosi kesehatan agar para pedagang HIK dapat menyediakan makanan dan minuman yang bersih dan sehat bagi para pelanggan dengan memberdayakan pedagang dan pembeli melalui pendidikan kesehatan dan pengembangan masyarakat. Tujuan penelitian ini ialah untuk merumuskan model promosi kesehatan bagi pedagang HIK melalui kemitraan antar berbagai pemangku kepentingan. Desain penelitian ini adalah mix method dengan strategi Action Research. Subjek penelitian yaitu pedagang HIK, keluarga pedagang dan pelanggan. Selain itu ini juga akan menggunakan informan sebagai sumber data yaitu tokoh masyarakat formal maupun informal. Lokasi penelitian di lima kecamatan yang ada di Kota Solo. Kemitraan yang akan dibentuk ialah antara komunitas pedagang HIK, Universitas, Pemerintah Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sehingga diharapkan HIK dapat menjadi salah satu kuliner andalan khas Solo yang murah, bersih, sehat, bergizi dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Kata Kunci: promosi kesehatan, kemitraan, makanan sehat

501

A. Latar Belakang Hidangan Istimewa Kampung (HIK) merupakan suatu usaha perdagangan berbagai macam makanan dan minuman yang dilakukan penduduk di sektor informal yang kebanyakan berskala kecil dan banyak ditemukan di kampung-kampung di kota Solo. Harga makanan dan minuman yang dihidangkan murah. Karena dijajakan di kampungkampung, maka hidangan ekonomi kecil itu populer dengan sebutan HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Pengamatan sementara menunjukkan, jajanan makanan yang dikenal sebagai Hidangan Istimewa Kampung (HIK) sangat disukai oleh kalangan ekonomi kecil maupun menengah. Omset penjualan komoditas di sektor perdagangan shelter (pedagang kaki lima, PKL), tenda PKL, dan gerobak PKL mencapai Rp 3.000.000.000,00 per tahun (Pemerintah Kota Surakarta, 2007). Hasil pengamatan beberapa pihak baik instansi pemerintah, lembaga pendidikan dan pihak swasta seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) menunjukkan bahwa perdagangan HIK sebenarnya sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Perdagangan HIK merupakan pekerjaan di sektor informal yang mampu memberikan pendapatan bagi masyarakat ekonomi lemah. Keberadaan jenis pekerjaan ini sudah diterima dan dibutuhkan oleh masyarakat. Pembeli HIK pada umumnya masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah (Murti dkk, 2009). Penelitian Murti dkk menemukan, penjualan dagangan HIK kurang memenuhi standar higiene dan sanitasi makanan. Kebiasaan atau perilaku yang kurang memenuhi standar kesehatan tersebut dilakukan oleh pedagang maupun pembeli/pelanggan. Didapatkan adanya pedagang HIK yang menderita penyakit TBC paru sebanyak dua orang dan ada satu orang pedagang yang berstatus tersangka (suspect) TBC paru. Hal tersebut memungkinkan terjadinya penularan kepada keluarganya maupun kepada pembeli, mengingat cara penularan TBC paru melalui udara. Makanan dengan kandungan zat gizinya sangat dibutuhkan oleh manusia, namun melalui makanan dapat dipindahkan beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan(food borne diseases) dan minuman(water borne diseases). Penyakit tersebut dapat menjangkiti pembeli, pedagang dan juga keluarga pedagang. Penyakit tersebut menimbulkan gejala diare dan keracunan makanan. Tingkat kontaminasi makanan oleh Escherichia. coli masih cukup tinggi sebesar 65,5%. Sementara prevalensi penyakit diare sebanyak 116.075 kasus pada tahun 1995 dan Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan

502

makanan masih tinggi yaitu 31.919 kasus tahun 1997, dengan case fatality rate 0,15%. Penelitian yang pernah dilakukan di Jakarta Selatan pada tiga jenis Tempat Pengelolaan Makanan (TPM), yaitu berupa pedagang kaki lima (PKL), rumah makan/restoran dan Jasaboga telah mendapatkan kesimpulan bahwa Kontaminasi makanan oleh kuman Escherichia. coli pada makanan yang disajikan dipengaruhi oleh suhu pemasakan dan jenis TPM. Makanan dari jenis TPM PKL berisiko 3,5 kali untuk terkontaminasi dibandingkan dengan restoran dan jasaboga (Djaja, 2008). Perdagangan HIK di Kota Solo kebanyakan dilakukan oleh pedagang kaki lima, oleh karena itu kudapan yang dijual memungkinkan dapat menjadi media untuk penyakitpenyakit yang ditularkan melalui makanan dan atau minuman. Pelanggan dan penjual HIK pada umumnya kurang mempedulikan masalah kesehatan dan keamanan makanan. Padahal menurut berita Solopos tanggal 21 Juni 2011 telah ditemukan adanya turis mancanegara (dari Australia) yang suka menikmati hidangan HIK di kawasan tengah kota (Pasar Pon Solo). Hal ini berarti semakin luas kalangan pembeli HIK, oleh sebab itu perlu ditingkatkan higiene dan sanitasi hidangan HIK sehingga tidak merugikan bagi pelanggan. Makanan dan minuman HIK murah dan mudah dijangkau setiap saat. Perdagangan jajanan HIK sampai saat ini kebanyakan masih berada di sembarang tempat, terkesan kumuh dan tidak sehat. Perdagangan HIK berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan lapisan masyarakat ekonomi lemah. Namun kandungan gizi, cara pembuatan, pengolahan, dan penyediaan/penghidangan makanan dan minuman HIK belum tentu

memenuhi syarat kesehatan. Sehingga tempat penjualan HIK memungkinkan sebagai tempat penularan penyakit yang diakibatkan oleh makanan dan minuman. Oleh karena itu perlu peningkatan higiene dan sanitasi makanan dan minuman HIK serta lingkungan tempat berjualan sehingga tidak merugikan pelanggan dengan memberikan edukasi kesehatan dan pengembangan masyarakat/komunitas pedagang HIK. HIK merupakan makanan dan minuman tradisi Solo sejak lebih dari satu abad. Pada saat ini Pemerintah Kota Solo sedang gencar-gencarnya mempromosikan agar supaya Solo dapat menjadi salah satu kota tujuan wisata di tingkat dunia dan ingin menonjolkan kebudayaan Solo dengan berbagai ciri khasnya serta didukung oleh lingkungan yang sehat, bersih, asri (Solo Goes Green). Keberadaan HIK dapat diangkat, agar hidangan khas Solo ini dapat menjadi salah satu kuliner khas Solo yang mampu medukung program Pemerintah Kota Solo tersebut. Sehingga para pedagang HIK perlu diberdayakan baik dari segi

503

ekonomi, kesehatan makanan dan minuman serta lingkungan disekitar rumah pedagang dan di tempat penjualan HIK menjadi lingkungan yang sehat dan nyaman. Diperlukan kajian yang mendalam dan teliti di tingkat mikro (yakni, pedagang HIK) tentang pola perilaku kesehatan pedagang HIK dalam hal cara menyiapkan, mengolah dan menyajikan makanan dan minuman yang memenuhi standar kesehatan sehingga dapat mencegah penularan penyakit. Hal ini disebabkan karena masih terdapatnya PKL HIK di kampung-kampung wilayah Solo yang mempunyai lingkungan sekitar yang kumuh serta penyajian hidangan yang belum memenuhi standar hygiene dan sanitasi. Untuk memberdayakan komunitas pedagang HIK agar usahanya lebih maju dan dapat menyediakan hidangan yang sehat dan bersih maka diperlukan adanya pembinaan dan kerjasama/kemitraan dengan berbagai pihak. Kemitraan yang akan dibentuk ialah antara komunitas pedagang HIK, Universitas, Pemerintah Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sehingga diharapkan HIK dapat menjadi salah satu kuliner andalan khas Solo yang murah, bersih, sehat, bergizi dan aman dikonsumsi oleh masyarakat.

B. Tujuan Penelitian Merumuskan model promosi kesehatan untuk memberdayakan pedagang HIK

dengan menjalin kemitraan antar berbagai pemangku kepentingan yaitu Perguruan Tinggi sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah, Perusahaan Swasta melalui program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dan Lembaga Swadaya Masyarakat.

Tujuan Khusus: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mendorong dan menghambat bila model promosi kesehatan tersebut diterapkan untuk pemberdayaan pedagang HIK. 2. Menilai efektivitas model dalam pemberdayaan komunitas pedagang HIK.

504

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Diharapkan pelitian ini dapat menyelaraskan antara teori dengan pelaksanaan praktek di lapangan, dengan adanya temuan-temuan di lapangan yang kurang sesuai dengan teori yang ada, maka dapat untuk memberikan sumbangan bagi munculnya teori-teori baru di bidang Ilmu Kesehatan masyarakat, khususnya Promosi Kesehatan serta teori-teori dalam Ilmu Pemberdayaan Masyarakat.

2. Manfaat bagi pembangunan: Dengan adanya model pemberdayaan kelompok pedagang HIK melalui kemitraan dengan Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) maka diharapkan kelompok pedagang HIK dapat meningkatkan eksistensi dan kontribusinya dalam menyediakan makanan dan minuman yang sehat, bersih, bergizi sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat.

3. Manfaat bagi kebutuhan serta potensi masyarakat Penelitian ini sangat dibutuhkan bagi komunitas pedagang ekonomi mikro (pedagang HIK) di kota Solo untuk mengembangkan potensi mereka. Karena meskipun skala perdagangannya saat ini belum begitu besar namun mereka bisa bertahan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia (1997-1998), dengan adanya maka skala bisnis mereka akan berkembang dan dapat menghasilkan produk makanan dan minuman yang sehat, bergizi dan aman dikonsumsi oleh pelanggan.

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Desain penelitian ini adalah mix method yaitu metode penelitian yang memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan strategi Action Research.

2. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di lima kecamatan yang ada di Kota Solo. Karena Solo merupakan salah satu barometer kuliner di Indonesia. Kelima kecamatan tersebut adalah

505

Jebres, Pasar Kliwon, Serengan, Banjaesari dan Laweyan. Lokasi yang akan diperiksa ialah: a. Pada tempat-tempat di mana pedagang HIK menjual makanannya, baik yang berjualan dengan gerobak, dengan meja panjang dan penjualan di bangunan permanen. b. Rumah pedagangHIK dan lingkungan sekitarnya. 3. Sumber Data dan Teknik Sampling Data dikumpulkan dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu: 1. 2. 3. Para pedagang HIK dan keluarga mereka Para konsumen / pelanggan HIK Tokoh masyarakat (sebagai informan): ketua RT, ketua RW, kader PKK, Kepala Kelurahan, Karang Taruna Teknik sampling yang akan digunakan ialah incidental sampling.

4. Teknik Pengumpulan Data dan Uji Validitas Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah: 1. wawancara mendalam (indepth interview) 2. observasi langsung (direct observation) 3. Focus group discussion (FGD) Untuk meningkatkan validitas data maka akan digunakan Teknik Triangulasi (triangulasi sumber dan metode pengumpulan data).

506

Kerangka Berpikir
Kondisi Penjualan HIK: a. Pengetahuan dan praktek higiene dan sanitasimakanan b. Kebersihan dan kesehatan perorangan c. Kebersihan dan kesehatan rumah (indoor) d. Kebersihan dan kesehatan lingkungan rumah dan tempat berjualan (outdoor)

Kekuatan dan Kelemahan pedagang HIK: a. b. c. Sumber Daya Manusia Teknologi Pembiayaan , dll

Pengukuran Hasil Kemitraan

Kebutuhan Kemitraan

Perumusan Masalah

Pengaturan Arah

Implementasi

Pelembagaan Kerja Kolaboratif

Model Kemitraan

Dampak Kebijakan Pangan Sehat terhadap perdagangan HIK

Kebijakan tentang makanan/pangan sehat: a. b. Kebijakan nasional Kebijakan lokal

Gambar 1. Kerangka Berpikir

507

DAFTAR PUSTAKA

Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hermiati, M.I. 2010. Higiene dan Sanitasi Makanan pada Kantin Sekolah Dasar Sebelum dan setelah Dilakukan Pembinaan di Kecamatan Tanjungkarang Pusat Kota Bandar Lampung. http://www.fkm.undip.ac.id. Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Murti, Bhisma; Hanim, Diffah; Lestari, Anik; Pamungkasari, E.P. 2010. Model Optimalisasi Daya Ungkit Kampung Hidangan Ekonomi Kecil (HEK) Bebas Tuberkulosis di Kota Surakarta. Jurnal Balitbang Jateng. Mardikanto Totok. 2010. Konsep-konsep Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta. UNS Press. Mardikanto Totok. 2010. Model-model Pemberdayaan Masyarakat. Surakarta. UNS Press. Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta. Putra. 2008. Higiene dan Sanitasi Makanan. Putraprabu.wordpress.com/../hygiene-dansanitasi-makanan/ Santosa. 2011. Promosi Kesehatan. Slide Kuliah (Power Point). Program Studi S3 Penyuluhan Pembangunan/ Pemberdayaan Masyarakat, Pasca Sarjana, Universitas Sebelas Maret. Setiadi, Rochmiati. 2010. Mengenal Food http://www.kharisma.de/?q=node/175. [ Juli. 2009]. Borne Disease.

Suyono dan Budiman. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam Konteks Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta USAID (2009). USAID Health: Infectious Diseases, Tuberculosis, Countries, Indonesia. www.usaid.gov/our.../tuberculosis/.../indonesia_profile.html Foodborne disease WHO. 2009. www.who.int/entity/foodsafety/foodborne_disease/en/. [Juli. 2009]. Wikipedia. 2009. en.wikipedia.org/wiki/Foodborne_illness. [ Juli. 2009].

508

SIMBOLISASI AGAMA, KEYAKINAN TENTANG KAUSA AIDS, DAN SIKAP TERHADAP UPAYA PENGENDALIAN HIV/AIDS PADA SISWA SLTA
Yeti Nurhayati 1), Bhisma Murti 2), Hari Wujoso 3) 1) RS Ortopedi Prof. Dr. Soeharso Surakarta, 2) Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNS, 3) Bagian Ilmu Kedokteran Forensik FK UNS A. Latar Belakang Infeksi Human-Immunodeficiency Virus(HIV) dan Acquired Immuno-Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan ancaman bagi populasi dunia dan di Indonesia. Tingginya angka kesakitan dan kematian karena AIDS menyebabkan perubahan struktur umur populasi, proporsi populasi usia muda tinggi, populasi usia produktif rendah. Keadaan itu dapat menyebabkan kelumpuhan perkembangan ekonomi negara, kelambatan transisi demografi, kegoyahan sendi-sendi sosial, selanjutnya dapat menyebabkan instabilitas politik dan konflik sipil (Depkes RI, 2002; Population Action International, 2004). Agama bisa menjadi sumber yang mendukung maupun tidak mendukung timbulnya sikap terhadap upaya pengendalian HIV/ AIDS. Agama bisa menjadi sumber pertolongan dan tuntunan bagi mereka yang terinfeksi dan terkena dampak HIV/ AIDS. Agama bisa mendorong anggota masyarakat untuk memberikan simpati dan dukungan moral kepada orang yang mengalami musibah terinfeksi HIV dan mengalami AIDS, agar bisa melanjutkan kehidupan. Di samping itu agama bisa menjadi sumber protektif terhadap risiko penularan HIV (CDC, 2011). Tetapi keyakinan tentang agama dapat menciptakan sikap negatif tentang HIV/ AIDS dan stigmatisasi terhadap orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) yang menyulitkan upaya pengendalian penyakit tersebut. Stigmatisasi menyebabkan kelompok berisiko tinggi takut dan segan untuk memeriksakan diri untuk skrining HIV, bahkan orang dengan HIV/ AIDS segan untuk menggunakan pelayanan kesehatan dan tidak mendapat dukungan moral dari anggota masyarakat (Depkes RI, 2002). Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara simbolisasi agama, keyakinan tentang kausa AIDS, dan sikap upaya pengendalian HIV/ AIDS pada siswa SLTA.

509

B. Subjek dan Metode Penelitian analitik-observasional ini menggunakan pendekatan cross-sectional. Sampel sebanyak 222 siswa di SMA Negeri 4 dan SMA Muhammadiyah 1 Surakarta dipilih dengan teknik stratified cluster random sampling. Variabel dependen yang diteliti meliputi: (1) Lokasi kontrol (locus of control), yakni keyakinan apakah kausa AIDS terletak di dalam (internal) atau di luar (eksternal) kendali manusia untuk mengatasinya, dan (2) Sikap terhadap upaya pengendalian HIV/ AIDS. Variabel independen meliputi: (1) Simbolisasi agama, dan (2) Keyakinan tentang kausa AIDS. Kuesioner untuk mengukur variabel diuji validitas dan reliabilitasnya dengan item-total correlation r>0.20 dan alpha Cronbach >0.60. Hubungan variabel dianalisis dengan model regresi linier ganda.

C. Kerangka Konsep
Latar belakang keagamaan, sosial, dan kultural (keyakinan agama orangtua, penyuluhan kesehatan, dsb.) Keyakinan agama (religious belief) Simbolisasi agama Substansialisasi agama

Sikap (attitudes) tentang HIV/ AIDS

Keyakinan tentang kausa AIDS

Stigma (cap buruk) terhadap ODHA

Diskriminasi terhadap ODHA

Sikap terhadap upaya pengendalian HIV/AIDS Variabel diteliti Variabel tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka konsep tentang hubungan antara simbolisasi agama, keyakinan tentang kausa AIDS, dan sikap terhadap upaya penanggulangan HIV/ AIDS

D. Hasil Gambar 1 menunjukkan terdapat hubungan antara simbolisasi agama dan keyakinan tentang kausa AIDS. Siswa yang lebih memandang penting simbol-simbol daripada

510

substansi agama cenderung memiliki lokasi kendali eksternal (external locus of control), yakni percaya bahwa kausa AIDS terletak di luar kendali manusia untuk mengatasinya.

Gambar 1 Korelasi antara simbolisasi agama dan keyakinan tentang kausa AIDS

Tabel 1 menunjukkan terdapat hubungan antara simbolisasi agama dan keyakinan tentang kausa AIDS, setelah mengontrol pengaruh pengalaman mendapatkan penyukuhan HIV/ AIDS dan pendidikan orangtua. Siswa yang lebih mementingkan simbol-simbol daripada substansi agama cenderung memiliki lokasi kendali eksternal (external locus of control), yakni percaya bahwa kausa AIDS terletak di luar kendali manusia untuk mengatasinya (b= -0.28; CI95% -0.36 hingga -0.20; p=0.001).

Tabel 1 Hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan antara simbolisasi agama dan keyakinan tentang kausa AIDS, dengan mengontrol pengaruh penyuluhan HIV/ AIDS dan pendidikan orangtua Prediktor Koefisien p CI 95 % regresi (b) Batas bawah Batas atas Konstanta 15.71 0.001 13.26 18.16 Simbolisasi agama -0.28 0.001 -0.36 -0.20 Pernah penyuluhan HIV/ AIDS 0.54 0.133 -0.17 1.24 Pendidikan orang tua -0.01 0.979 -0.63 0.61 perguruan tinggi N observasi = 222 Adjusted R2 = 21.7% p < 0.001 Data primer, November 2011

511

Tabel 2 menunjukkan terdapat hubungan antara keyakinan tentang kausa AIDS dan sikap terhadap upaya pengendalian HIV/AIDS, setelah mengontrol pengaruh pengalaman mendapatkan penyuluhan HIV/AIDS dan pendidikan orangtua. Siswa yang memiliki lokasi kendali internal (internal locus of control), yakni percaya bahwa kausa AIDS di bawah kendali manusia untuk mengatasinya, cenderung untuk memiliki sikap yang mendukung upaya pengendalian HIV/ AIDS (b= 0.23; CI95% 0.13 hingga 0.33; p=0.001).

Tabel 2 Hasil analisis regresi linier ganda tentang hubungan antara keyakinan tentang kausa AIDS dan sikap upaya pengendalian HIV/ AIDS, dengan mengontrol pengaruh penyuluhan HIV/ AIDS dan pendidikan orangtua Prediktor Koefisien p CI 95 % regresi (b) Batas bawah Batas atas Konstanta 15.92 0.001 14.45 17.39 Keyakinan kausa AIDS 0.23 0.001 0.13 0.33 Pernah penyuluhan HIV/ 0.61 0.040 0.03 1.19 AIDS Pendidikan orang tua -0.39 0.137 -0.91 0.13 perguruan tinggi N observasi = 222 Adjusted R2 = 11.3% p <0.001 Data primer, November 2011 E. Pembahasan Keyakinan agama dapat memberi pengaruh positif maupun negatif terhadap upaya pengendalian HIV/ AIDS. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa studi lainnya. Studi Lagarde et al. (2000) di daerah pedalaman Senegal (Afrika) menemukan, komunitas Muslim dan Katolik yang memandang agama sangat penting untuk kurang memiliki sikap preventif terhadap HIV dibandingkan dengan komunitas yang memandang agama kurang penting. Komunitas yang memandang agama sangat penting kurang bersedia untuk mengubah perilaku dan melindungi diri dari penularan HIV. Hasil penelitian ini mendukung teori bahwa seorang dengan lokasi kontrol internal yang kuat berkeyakinan bahwa faktor-faktor internal di dalam dirinya bertanggungjawab bagi kesehatannya, bukan faktor-faktor eksternal yang berada di luar kendalinya (White et al., 2012). Individu-individu dengan lokasi kontrol internal umumnya menunjukkan sikap

512

dan perilaku lebih positif daripada individu dengan lokasi kontrol eksternal (Wasti et al, 2011).

F. Kesimpulan Hasil analisis regresi liner ganda menyimpulkan: 1. Terdapat hubungan antara simbolisasi agama dan keyakinan tentang kausa AIDS 2. Terdapat hubungan antara keyakinan tentang kausa AIDS dan sikap terhadap upaya pengendalian HIV/ AIDS

REFERENSI CDC (2011). Religiosity as a protective factor against HIV risk among young transgender women. http://www.thebody.com/ content/ 64070/ religiosity-as-a-protective-factoragainst-hiv-ris.html. Diakses 14 Oktober 2011. DepKes RI (2002). Ancaman HIV/ AIDS di Indonesia semakin nyata, perlu penanggulangan lebih nyata. www.ternyata.org/hiv/reports_on_hiv/HIV
Indonesia2002_id.PDF. Diakses 9 April 2011.

Lagarde E, Enel C, Seck K, Gueye-Ndiaye A, Piau JP, Pison G, Delaunay V, Ndoye I, Mboup S (2000). Religion and protective behaviours towards AIDS in rural Senegal. AIDS, 14:2027-2033. Population Action International (2004). How the HIV/ AIDS pandemic threatens global security. http://www.populationaction.org/Publications/Fact_Sheets/FS26/Summary.html. Diakses
10 April 2011.

Wasti SP, Randall J, Simkhada P, van Teijlingen E (2011). In what way do Nepalese cultural factors affect adherence to antiretroviral treatment in Nepal? Health Science Journal, 5(1): 37-47 White J, Dutta A, Kundu MM, Puckett F, Hayes S, Johnson E (2011). The relationship of multidimensional health locus of control and attitude toward HIV/AIDS: college students' perspectives. Journal of Rehabilitation. http://findarticles.com/p/articles/ mi_m0825/is_2_77/ ai_n57541545/?tag=content;col1. Diakses 15 Januari 2012.

513

Identifikasi Kawasan Kumuh dan miskin Perkotaan


Prof.dr.CharlesSurjadi,MPH,Ph.D

Urbanisasi

Pembangunan Kota

Daerahkumuh perkotaan

Penanda :
penduduk miskin kota,sebagian merupakan migran yangbelum mempunyai KTP, padatpenduduk, persediaanair yangkurang dan tercemar, kesehatanyangburuk,dan adanya pelbagai masalah psikososial,kriminal, kekerasan dan transaksinarkoba dan seksual

514

DaerahKumuh
=permukimankumuh /permukimaninformal UNHABITAT:daerahyangpadatpopulasinya denganperumahandi bawahstandarkelayakandan standarkehidupan
penyediaankebutuhanairtermasukairminum, sanitasidasar(pembuangansampahdanWC), ruangkehidupanyangterbatas, bahankonstruksiyangamandankuat, padattempattinggal/overcrowding (3 4orang/ruangan), jaminankepemilikanpermukiman

KriteriaKumuhdiIndonesia
Kriteria kekumuhan diIndonesia: Kemen PU RWKumuh BPSJakarta

KawasanPermukimanKumuhbdk Kemen PU Kriteria penentuan kawasan permukiman kumuh:


Vitalitasnonekonomi, VitalitasEkonomiKawasan, StatuskepemilikanTanah, Keadaanprasaranadansarana Komitmentpemerintahkabupatenkota,dan Prioritaspenanganan

515

KriteriaRWKumuh(BPSJakarta)
INDIKATOR:
Kepadatan Penduduk, Tataletak Bangunan, Keadaan kontruksi bangunan tempat tinggal, 4. Ventilasi perumahan, 5. Kepadatan Bangunan, 6. Keadaan Jalan, 7. Drainase saluran air, 8. Pemakaian airbersih oleh penduduk 9. Pembuangan Limbah Manusia,dan 10. Pengolahan Sampah 1. 2. 3.

RWKUMUHadalahRukun Wargayangmempunyaikondisi fisiklingkunganyangmasihdi bawahstandardenganjumlah skordibawah36.

1. 2. 3. 4.

RWKumuhBerat dengan skorkurangdari20. RWKumuhSedang dengan skor21 28. RWKumuhRingan dengan skor29 30. RWKumuhSangatRingan denganskor31 35.

Perkembangan Permukiman Kumuh diIndonesia


ProporsirumahtanggakumuhperkotaanIndonesia:
1993:20.75% 2009:12.12%

Jumlah absolut rumah tangga kumuh perkotaan:


1993:2.7juta 2009:3.4juta disebabkan oleh laju urbanisasi (0.96%)

Terdapat disparitasyangmasih cukup besar pada proporsirumahtanggakumuhperkotaan antarprovinsi.

516

ProporsiRumahTanggaKumuhPerkotaanperProvinsi Tahun2009
Sumber:BPS,Susenas2009

DefinisiMasyarakatMiskinPerkotaan
Surveyor:BPS
Konsep:kemampuan memenuhi kebutuhan dasar

Kemiskinan:ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yangdiukur dari sisi pengeluaran Metode:Garis Kemiskinan (GK)
Garis Kemiskinan Makanan ~GKM Garis Kemiskinan NonMakanan ~GKNM

Penduduk miskin:penduduk yangmemiliki rata ratapengeluran perkapita perbulan dibawah GK

517

Sumberdata:kemiskinan
Datakemiskinan agregat: SUSENASSeptember2011 Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar Datakemiskinan mikro: Rumah Tangga Sasaran (RTS)oleh BPS
Oktober 2005 September2008
Digunakan sebagai sasaran programpenanggulangan kemiskinan Siapa dan dimana penduduk miskin itu berada

Ciriciri Rumah Tangga Sasaran

RUMAHTANGGAMISKIN: Minimal9variabelterpenuhi

518

PerkembangankemiskinandiIndonesia
Millenium DevelopmentGoal#1
1A:menurunkanhinggasetengahnyaproporsi pendudukdengantingkatpendapatankurangdari USD1,00PurchasingPowerParity(PPP)perhari dalamkurunwaktu19902015, 1B:menciptakankesempatankerjapenuhdan produktifdanpekerjaanyanglayakuntuksemua, termasukperempuandankaummuda, 1C:menurunkanhinggasetengahnyaproporsi pendudukyangmenderitakelaparandalamkurun waktu19902015.

PencapaianMDGIndonesia

KemajuanIndonesiadalamMengurangiKemiskinanEkstrem(USD1,00/kapita/hari) dibandingkandengantargetMDG Sumber:BPS,Susenas(berbagaitahun)danBankDunia2008

519

TrenjangkapanjangdalampenanggulangankemiskinandiIndonesia, diukurdenganmenggunakanindikatorgariskemiskinannasional

TingkatkemiskinanIndonesia,menggunakanGK1.50USD

Sumber:BPS,Susenas(beberapatahun)

Kesenjangantingkatkemiskinanantarprovinsi

PersentasePendudukdiBawahGarisKemiskinanNasional,MenurutProvinsi Sumber:BPS,Susenas2010

520

Tingkatkemiskinandipedesaan&perkotaan
Daerah/Tahun Perkotaan Maret2011 September2011 Kota+Desa Maret2011 September2011 30,02 29,89 12,49 12,36 11,05 10,95 9,23 9,09 JumlahPendudukMiskin (Juta) PersentasePenduduk Miskin

JumlahdanPersentasePendudukMiskinMenurutDaerahtahun2011

Sebaran kemiskinan menurut pulau


PULAU Sumatera Jawa BalidanNusa Tenggara Kalimantan Sulawesi MalukudanPapua INDONESIA JUMLAHPENDUDUKMISKIN (000) Kota 2.045,34 7.527,73 645,32 266,03 354,15 116,01 Desa 4.273,53 9.216,68 1.420,50 705,86 1.798,00 1.520,99 Kota+Desa 6.318,87 16.744,41 2.065,82 971,88 2.152,15 1.637,00 29.890,14 PERSENTASEPENDUDUKMISKIN (%) Kota 10,10 9,28 12,29 4,45 5,96 6,09 9,09 Desa 13,55 16,08 17,51 8,65 15,32 33,21 15,59 Kota+Desa 12,20 12,09 15,46 6,88 12,17 25,25 12,36

10.954,58 18.935,56

521

Karaktermasyarakatmiskin
Agartetap dapat melangsungkan hidup dalam keadaan serba kekurangan,masyarakat miskin mengadopsi polapola kelakuan dan sikap tertentu landasan KEBUDAYAANKEMISKINAN
Sikap menerima nasib Memintaminta Mengharapkan bantuan /sedekah

Tk.Masyarakat Tk.Komunitas lokal Tk.Keluarga Tk.Individu

Karaktermasyarakatmiskin
KELUARGA: INDIVIDU:
*Kuatnya perasaan *Masa kanaksingkat &
kurang pengasuhan orangtua *Cepat dewasa *Hidup bersama / kawin bersyarat *Tinggi jumlah perpisahan ibu &anak *Kecenderungan keluarga matrilineal *Kecenderungan otoritarianisme *Kurangya hakhak pribadi *Persaingan antar saudara

tidak berharga & tidak berdaya *Ketergantungan *Rendah diri *Diskriminasi rasial *dll.

KOMUNITAS LOKAL:
*Rumahrumah bobrok,sesak, bergerombol *Tingkatorganisasi di luar keluarga inti & keluarga luas *Terbelakang dlm kehidupan masyarakat yang kompleks

MASYARAKAT:
*Kelangkaan sumber daya ekonomi *Segregasi &diskriminasi *Ketakutan,kecurigaan, apati *Pemecahan masalah scr setempat Kurang efektifnya partisipasi & integrasi kaum miskin ke lembaga-lembaga utama masyarakat

522

Diskusi II:

DiskusiI: Identifikasi Kawasan Kumuhdi Wilayah KerjaAnda

523

MASALAH KESEHATANMASYARAKAT
PERMUKIMANKUMUHMISKIN
Prof.dr.CharlesSurjadi,MPH,Ph.D

MasalahKesehatanPermukimanKumuh& MasyarakatMiskinPerkotaan DiTingkatNasional


Kebutuhan akan datakesehatan kelompok miskin &kumuh kota
Pertumbuhan yangpesat menyebabkan perencana kota tidak mempunyai informasi dasar penduduk Informasi kesehatan yangtersedia hanya menggambarkan kondisi perkotaan ratarata;bukan datayangdibedakan bdk pendapatan,lingkungan, atau karakteristik populasi lainnya Datapenduduk &tantangan kesehatan kelompok miskin kota menjadi tidak terlihat

524

MasalahKesehatanPermukimanKumuh& MasyarakatMiskinPerkotaan DiTingkatNasional


Datayangtersedia tentang masalah kesehatan kelompok miskin kota ialah:
Laporan Puskesmas dan DinKes tentang kelompok miskin dan permukiman kumuh Laporan sektor terkait seperti kantor statistik,perumahan,airdan sanitasi, lingkungan hidup serta pemberdayaan masyarakat yangmenyangkut kelompok miskin dan kampongkumuh Laporan fakultas dan universitas berkaitan dengan penelitian,pengabdian masyarakat,kerja lapangan mahasiswa yangmenyangkut kelompok miskin dan kampongkumuh Laporanorganisasiprofesisepertiprofesidokter,arsitek,lingkungan hidup,perencanaankotayangmenyangkutkelompokmiskindan permukimankumuhdanpengembangankota

MasalahKesehatanPermukimanKumuh& MasyarakatMiskinPerkotaan DiTingkatKabupaten/Kota


Masalahkesehatanperkotaandapatdigambarkandalam sebuahmodeldeterminanankompleksitasmasalahkesehatan

525

IndikatorModelDeterminananKompleksitas MasalahKesehatan
INDIKATOR
Kependudukan

KETERANGAN
Komposisipendudukberdasarkanumur Tingkatkesuburan Pekerjaan Penghasilan Jenispekerjaanberdasarkanumur Strukturkeluarga Pendidikan Persentasependudukdengankebiasaanmakanjajan Kriminalitasdankekerasan Kepadatan penduduk Migrasi

Ekonomi

Sosiokultural

Penggunaantanahunan,ruangterbuka,tempatbermainanakdll. Keadaanrumah/tempattinggal Airdansanitasi LingkunganFisik Persampahan Bahanbuanganyangberbahaya Sumberpencemaranudara Alokasianggaranpemerintah Politikdan kelembagaan Adatidaknyaorganisasimasyarakatyangaktif Pelayanan Jangkauanimunisasilengkapuntukanakbalita kesehatan Jangkauanpenggunaanpelayanankesehatanuntukorangsakit

Faktor Determinan Kesehatan Kota


KEBIJAKANGLOBAL,NASIONALYANGBERKAITAN DENGANSITUASI/STRUKTURSOSIALEKONOMI, BUDAYA,LINGKUNGANDANPERDAGANGAN KEBIJAKANSEKTORAL&PROGRAMPADA SEKTORTERKAIT Pelayanan Kesehatan Pertanian &produksi pangan Airdan Sanitasi SITUASISOSIAL,BUDAYA,LINGKUNGANPADA Pendidikan TINGKATKOMUNITAS Lingkungan tempat kerja Kondisi Tempat Tinggal dan Pekerjaan Pengangguran FAKTORPERSONAL: Faktor umur, Jenis kelamin, Keturunan ModelKipas DAHLGREENu/determinan sosial kesehatan Perumahan FAKTORPERILAKU Gayahidup individu

Hukum

526

Modelberbagai masalah kesehatn permukiman kumuh


Masalahkesehatanpada permukimankumuh memilikideterminanyang berbedadarimasalah kesehatanpadaumumnya. Menggunakan modelkipas Dahlgreen diharapkan petugas puskesmas dapat mengidentifikasi faktor yangmenjadi determinan masalah kesehatan di permukiman kumuh.

Kegiatan Puskesmas bdk masalah kesehatan permukiman kumuh


Setelahmelihatskemamasalahkesehatan permukimankumuh danfaktoryangberkaitan denganitu,perludirancangkegiatanPKM. SecarasistematikminimaladatigasubkegiatanPKM:
pelayanankesehatan, promosi,dan partisipasi masyarakatdanpasien.

527

Kegiatan Puskesmas bdk masalah kesehatan permukiman kumuh


Masalah Kesehatanreproduksi Peningkatanpelayanan khususnyakonseling mengenaiKB Sosialisasimengenaiperencanaan keluargayangberkualitasdengan memperhatikanjumlahanak Pelayanankesehatan KegiatanPuskesmas Promosi Partisipasi

Fertilitastinggi

Posyandu,PKKdan ProgramPIK KRS

Pernikahandini, kehamilanusia muda

PeningkatanaksesKB denganberbagaiupaya

Sosialisasi, penyuluhantentang kesehatanreproduksidengan pendekatanlifecycleapproach; pemberianinformasimengenai kesprodapatdisampaikandarimulai golonganumuryangmemangrentan, misalremaja

Posyandu, konselorsebaya, pemberdayaan TOMA

KESEHATANREPRODUKSI Fertilitas tinggi

Pernikahan dini, kehamilan usiamuda

Kesehatan reproduksiyang burukpada perempuan miskin perkotaan

Pendapatan rendahdan pendidikan kurang

Hambatanbudaya, keputusan kontrasepsidiambil olehlakilaki, keinginanmemiliki anak

Kurangnya aksespada layananKB

528

MASALAH KESEHATANIBU

KEGIATANPUSKESMAS
PELAYANANKESEHATAN PROMOSI PARTISIPASI

bekerjasamalintassektoruntuk mengurangibutahuruf,mal PENDAPATAN,ANGKABUTA nutrisidanperumahanyang HURUF,NUTRISIDAN buruk,danmenanggulangi PERUMAHANYANGBURUK. dampaklangsungyangberkaitan dengankesehatan KURANGNYAAIRDAN SANITASI

PemberianInformasimengenai rumahsehatdanmengadakan lombarumahsehatsebagaiupaya rekayasasosial

bersamasama menggunakanpotensi lokalsebagaimodal pemberdayaan masyarakat pemberdayaan masyarakatdengan membuatkelompok ataukomunitasair bersih RevitalisasiPosyandu dalampeningkatan layananantenatal

KUALITASLAYANAN ANTENATALYANGTIDAK ADEKUAT

Pemberianinformasimengenai penggunaanairbersihdan OptimalisasiKliniksanitasi mengadvokasipemerintahan daerahterkaitpengadaansumber airyangmemungkinkan upayasosialisasidanpenyuluhan Peningkatankapasitasnakesdan mengenaimanfaatpelayanan fasilitaskesehataankhususnya antenatalbagikesehatanibudan mengenaiantenatal anak,sebagaiupayapeningkatan cakupanpelayananantenatal

KUALITASLAYANAN PERINATALYANGTIDAK ADEKUAT

HAMBATANBUDAYADAN PERSONAL

RevitalisasiPosyandu Peningkatanpengetahuanibu optimalisasiPONED,peningkatan dalampeningkatan mengenaipelayananperinataldan fasilitas,pelayanangizidan layananperinatal manfaatnyabagikesehatanibudan imunisasi (Pemberianmakanan anak tambahan) peningkatanperan peningkatankomunikasinakes Sosialisasiprogramkesehatan TOMAdalam denganpasiensehinggapelkes denganmenggunakankomunikasi pelaksanaanprogram bisalebihditerima transkultural k h t

KESEHATANIBU

Pendapatan, angkabutahuruf, nutrisidan perumahanyang buruk. Kurangnyaair dansanitasi

Hambatan budayadan personal

Buruknya kesehatanibu pada masyarakat miskin perkotaan

Kualitas layanan antenatal yangtidak adekuat

Kualitas layanan perinatal yangtidak adekuat

529

KESEHATANANAK

Buruknyakondisi kehidupan,padat penduduk, kesadaran orangtuayang rendah,hambatan budaya

Buruknyakesehatan reproduksidariibu, fertilitastinggi, intervalkelahiran rendah,buruknya layananantenatal, perinatal,postnatal

Buruknya kesehatan anakpada kampung kumuh

Prematuritas, beratbadan lahirrendah, malnutrisi

Kualitaslayanan yangburukdan tidakadekuat, sistemkesehatan yangburuk

GIZI
Peningkatan hargapangan danpeningkatan bahanbakar

Pendapatan rendah. Ketergantungan pada pendapatan harian

Foodinsecurity padamasyarakat miskinpedesaan, manyebabkan statusgiziyang buruk

Kurangnya informasindan pengetahuan mengenaipilihan kesehatanyang murah Pemasaran jajaanan tidak sehat seperti siap saji ,burger,dll

Tingginyahargabiji bijiandansayur sayuran,tingginya hargamakanan olahandan mengandunggula, tidaktersedianya makananbergiziyang murah

Kualitas,kuantitas, variasimakanan yangrendah dan kecenderungan membeli makanan jadi

530

WATERBORNEDISEASES

Kemiskinan, Kurangnya dukungan pemerintah lokal akan hak atas kesehatan dan kebutuhan dasar

Penyakit yang ditularkan melalui airdan kurang gizi

Airsumur ,mahalnya airminum dari pipa persediaanairbersih, kurangnyapengetahuan dan perilaku higenis

Penggunaanair tercemarsebagaiair minumdanberbagai keperluanrumah tangga

Tidakmampu membayar persediaanair pribadi

VECTORBORNEDISEASES

Pengaturan lingkungantidak adekuat,seperti adanyatempat berkembangvektor padatitik pembangunan

Kurangnya kesadaranakan kegiatan pencegahan, seperti penggunaan kelambu

Peningkatan mortalitasdan morbiditas darivector bornedisease

Kemiskinan, giziburuk, layanan perawatan kesehatan tidakadekuat

531

KRIMINALITAS,KEKUMUHAN,&PENYALAHGUNAANNARKOBA
Kemiskinan,Pengangguran Kumuh /sempit Dukungansosiallemah Kriminalitas

Mortalitasdan morbiditastinggi

Penyalahgunaan narkoba Penggunaanrokok

PENYAKITTIDAKMENULAR

Kondisi tempat tinggalyang penuh tekanan

Gayahidup menetap, transisi nutrisi


Peningkatan morbiditasdan mortalitasakibat penyakittidak menulardan cedera
Penggunaan tembakau, penyalahgunaan alkohol,perilaku berisiko

Lingkungan fisiktidak aman,polusi udaradalam danluar gedung

Biaya kesehatan tidak terjangkau

Kurangnya kesadaran

532

DISABILITAS

Pendekatan Asuhan Kesehatan Transkultural untuk Mengidentifikasi Masalah Kesehatan Permukiman Kumuh DanMasyarakat Miskin Perkotaan Budaya :konsep,komunikasi,aksi,tradisi,kepercayaan, nilaidaninstitusidarikelompokras,etnis,religiusatau sosial. Budaya Konteks Tingkatpendidikan, sosiokultural Statussosioekonomi individu Berbagaikarakteristiklain
Bagaimana individu memahami kesehatannya

533

PendekatanAsuhanKesehatanTranskulturaluntuk MengidentifikasiMasalahKesehatanPermukiman KumuhDanMasyarakatMiskinPerkotaan


Daerahdapat mempengaruhi kepercayaan &nilai seseorang dalam konteks kesehatan, meliputi:
Persepsi kesehatan,penyakit dan kematian Persepsi terhadap kesakitan serta persepsi terhadap rumah sakit,dokter,dan tenaga kesehatan lain Ritualdan tradisi yangberkaitan dengan kesakitan Batasbatas sehubungan dengan privasi,usia,jenis kelamin dan hubungan Efektivitas dan nilai dari berbagai tipe terapi Kepercayaan yangberhubungan dengan waktu (misal:harus memulai tes penyakit setelah matahari terbenam) Hubungan keluarga dan sosial (misal:peran keluarga dalam pembuatan keputusan) Pembuatan keputusan terhadap terapi (misal:peran keluarga begitu besar menentukan tindakan terhadap pasien) Kemandirian atau ketergantungan pada pihak lain Normakomunikasi (misal:kontak mata,pertanyaan menjurus)

DengandemikianPuskesmasharusmenciptakansebuahlingkunganyangmendukung populasidenganlatarbelakangyangberagam.Halinimencakupmembantutenaga kerjanyauntukmengertifaktorsosialbudayayangmempengaruhikepercayaan kesehatandankemampuanuntukberinteraksidengansistempelayanankesehatan.

534

LIMA MASALAH UTAMA KESEHATAN KOTA


Karena kemiskinan & ketidaktahuan Lingkungan yang buruk penyakit menular Perilaku & rendahnya ikatan kekerabatan Trauma, kecelakaan & bencana Masalah kesehatan yg merupakan ancaman global
Kurang gizi Kegemukan TBC Diare, cacingan, dll. Kelainan mental, kekerasan, addiksi Hipertensi, DM, kelainan jantung, dll. Kecelakaan dlm rumah tangga Lakalintas Keracunan makanan SARS Flu burung, dll.

535

MODEL KETERKAITAN ANTARA MASALAH KESEHATAN DI PERKOTAAN

UPAYA PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH & MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN
Upaya kesehatan = kegiatan pokok puskesmas; Kepmenkes No. 128/MENKES/SK/2004, yang dikelompokkan menjadi:

Upaya Kesehatan Wajib


Upaya promosi kesehatan Upaya kesehatan lingkungan Upaya kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana Upaya perbaikan gizi masyarakat Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular Upaya pengobatan Upaya perawatan Kesehatan Masyarakat

Upaya Kesehatan Pengembangan


Upaya kesehatan sekolah Upaya kesehatan olah raga Upaya kesehatan kerja Upaya kesehatan gigi dan mulut Upaya kesehatan jiwa Upaya kesehatan mata Upaya kesehatan usia lanjut Upaya pembinaan kesehatan tradisional

536

JENIS PELAYANAN KESEHATAN WAJIB DI TK. KAB/KOTA


Bdk. Permenkes RI Nomor 741/Menkes/Per/VII/ 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota a) Pelayanan Kesehatan Dasar, b) Pelayanan Kesehatan Rujukan, c) Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa, dan d) Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

STANDAR PELAYANAN MINIMAL PELAYANAN KESEHATAN PUSKESMAS


Target(%) A.PELAYANANKESEHATANDASAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil K4 Cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan Cakupan pelayanan nifas Cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani Cakupan kunjungan bayi Cakupan Desa/Kelurahan UCI Cakupan pelayanan anak balita Cakupan pemberian makanan pendamping ASI pada anak usia 6 24 bulan gakin 95 80 90 90 80 90 100 90 100 100 100 70 100 100 2015 2015 2015 2015 2010 2010 2010 2010 2010 2010 2010 2010 2010 2015 Tahun

10. Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 11. Cakupan penjaringan kesehatan siswa Sekolah Dasar (SD) & setingkat 12. Cakupan peserta Keluarga Berencana (KB) aktif 13. Cakupan penemuan dan penanganan penderita penyakit 14. Cakupan pelayanan kesehatan dasar masyarakat miskin

537

STANDAR PELAYANAN MINIMAL PELAYANAN KESEHATAN PUSKESMAS


Target(%) B.PELAYANANKESEHATANRUJUKAN 15. Cakupanpelayanankesehatanrujukanpasienmiskin 16. Cakupanpelayanangawatdaruratlevel1yangharusdiberikan saranakesehatan(RumahSakit)diKabupaten/Kota. 100 100 2015 2015 Tahun

C.PENYELIDIKANEPIDEMIOLOGIDANPENANGGULANGANKEJADIANLUARBIASA 17. CakupanDesa/KelurahanmengalamiKejadianLuarBiasa(KLB) yangdilakukanpenyelidikanepidemiologi<24jam 100 2015

D.PROMOSIKESEHATANDANPEMBERDAYAANMASYARAKAT 18. CakupanDesaSiagaAktif 80 2015

CARA MENGIDENTIFIKASI PELAYANAN KESEHATAN DASAR YANG DAPAT DILAKSANAKAN DI PERMUKIMAN KUMIS PERKOTAAN
1. Pelayanan kesehatan dasar merupakan pelayanan kesehatan yang harus dilakukan puskesmas, mencakup :
a) pelayanan kesehatan dasar, b) pelayanan kesehatan rujukan, c) penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan kejadian luar biasa, d) promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat

2. Pelayanan kesehatan kota untuk menanggulangi masalah kesehatan yang ada pada daerah tanggung jawab puskesmas, seperti: kekerasan pada wanita dan kekerasan dalam rumah tangga enanggulangan penyakit tidak menular serta faktor resikonya masalah kesehatan yang berkaitan dengan lingkungan seperti banjir, bencana, keracunan makanan dan lain-lain

3. Pelayanan kesehatan kota yang merupakan bagian dari kegiatan kesehatan unggulan pembangunan kota yang dirumuskan pemerintah kota, seperti misalnya kesehatan olahraga, kesehatan herbal dan tradisional, kesehatan kelautan dan lain-lain

538

CARA MEGIDENTIFIKASI PELAYANAN KESEHATAN DASAR YANG DAPAT DILAKSANAKAN DI PERMUKIMAN KUMIS PERKOTAAN
4. Analisa ada tidaknya kelompok organisasi akar rumput yang merupakan kelompok soial ekonomi menengah yang sudah aktif melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi salah satu dari upaya pelayanan kesehatan yang tercakup dalam ketiga jenis pelayanan kesehatan. 5. Ada tidaknya tenaga kesehatan di Puskesmas yang sudah berpengalaman dan ikut serta dalam pelatihan maupun jejaring kerjasama LSM dan kemitraan kesehatan dalam mengatasi masalah itu dari segi program dan lintas sektor. 6. Ada tidaknya anggaran untuk melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan, promosi kesehatan dan penggalian partisipasi masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan pada daerah permukiman kumuh yang menjadi tanggung jawab puskesmas. 7. Ada tidaknya organisasi non pemerintah yang dapat dijadikan mitra untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan tersebut.

UPAYA KESEHATAN UNGGULAN DI PERKOTAAN


Dibutuhkan rencana untuk memilih upaya kesehatan mana yang akan dijadikan unggulan sebagai contoh yang menunjukkan PKM tersebut berhasil dan dapat dijadikan acuan PKM/ fasilitas kesehatan lain dalam melakukan pelayanan kesehatan serupa. Umumnya kegiatan bagi kelompok miskin di perkotaan dilaksanakan bila:

Kelompok masyarakat yang mandiri mengelola kegiatan NaKes atau anggota lembaga/kelompok yang terlatih & mengalokasikan waktu u/ mengelola kegiatan OrMas / LSM yang menjadi mitra dalam pengelolaan layanan kesehatan Rencana monitoring & proses evaluasi secara berkala Skoring dari ke-3 penilaian u/ menetapkan jenis upaya kesehatan yang akan dilaksanakan

539

CARA MENGIDENTIFIKASI RANCANGAN PENERAPAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR


No Kegiatan Indikator (disesuaikan dgn target dinas kesehatan) Jangkauan pd keluarga miskin & wilayah kumuh Jangkauan pada wilayah tanggung jawab puskesnas

KESEHATANIBUDANANAK 1 Pemeliharaankesehatanibuhamil danmenyusui,sertabayi,anakbalita Indikatorakses(K1) dananakprasekolah Indikatorcakupanibuhamil(K4) Deteksidinifaktorresikoibuhamil Indikatorcakupanpersalinanoleh tenagakesehatan Indikator cakupan penimbagan & Pemantauantumbuhkembangbalita %kurang gizi sedang &berat ImunisasiTetanusToxoid2kalipada ibuhamil,danBCG,DPT3kali,Polio Cakupanimunisasi 3kalidanCampak1kalipadabayi Penyuluhankesehatanmeliputi berbagaiaspekdalammencapai Cakupankelompoksasaran tujuanprogramKIA Diagnosa dini iibu,bayi,anakbalita danankprasekolahuntukmacam macampenyakitringan Persentasekelompoksasaran yangdiscreeningdandidiagnosa menderitamasalahkesehatan

2 3 4

CARA MENGIDENTIFIKASI RANCANGAN PENERAPAN PELAYANAN KESEHATAN DASAR


No Kegiatan Indikator Jangkauanpd keluargamiskindan wilayahkumuh Jangkauan pada wilayah tanggung jawab PKM

KELUARGABERENCANA
Promosi kesehatan didalam gedung Sesuai dengan dan diwilayah kerja perorang, targetdinas kelompok dan massal kesehatan

PelayanananKeluargaBerencana

PartisipasiMasyarakatdalam kegiatanKBdanpelambaganKB

540

Pendekatan yang harus diperhatikan dalam merancang program 1/Masalah kesehatan 2. Perilaku masyarakat miskin kota 3. Konsep pemitraan yang dijalankan dan stekeholder dari masyarakt dan CBO dan NGO dan kelompok menengah kota 4. Manajemen dan evaluasi

TERIMA KASIH

541

542

PENELITIANKESEHATANPERKOTAAN
Pengantar

Charles Surjadi 2012

JenisStudiKesehatanPerkotaan
1. Perspektifantropologi Menerapkanmetodekualitatif(wawancaramendalam,observasi,diskusi kelompok,sosial budaya dan perilaku serta kultur kemiskinan dan urban wayoflife)contoh:nomoneynohoney,urbanwayoflife 2. Epidemilogi,deskriptip dan analitik,determinan masalah kesehatan,urban vs rural 3. Studi kelompok tertentu terutama slumareadan marginalserta migran sirkuler 4. Studi pelayan kesehatan dan programkesehatan diperkotaan , mempelajari intervensi perkotaan 5. Studi sosiologk kesehatan kota,aspek sodial dan pernan sosial kapital terhadap pelbagai masalah kesehatan kota 6. Studi perencanaan kota dan kesehatan (healthyurbanblanning,healthy cities,childrenfriendlycities,agingfriendlycities 7. Studykesehatan lingkungan kota dan perubahan iklim

543

STUDIKESEHATANPERKOTAANDINEGARA BERKEMBANG
1. Studi dalamkonteksyangluas, HiddenCities,Children inUrbanWorld,WorldUrbanpopulation,Worldcities (lembaga internasional)dan penelitian kebijakan kesehatan perkotaan (urbanbasicsocialservices unicef,cityalliance,city withoutslums,ecocities 2. Studipelayanankesehatanperkotaan,termasuk urbanslums,privatehealthservicesincities 3. Studi kebijakan kesehatan lingkungan kota 4. Studi disparitas dan healtn inequityincities 5. Studi kasus pengembangan kebijakan kesehatan kota ( scailling upt urbanbasichealthservices)

Modelstudi(Harpham,2007)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Determinan :proximal>>>>distal infeksi dan akut >>>kronik dan multimorbidity Kelompok penduduk :miskin>>>>urbanrural/migran Providerkota :pemerintah >>>>privatedan publik , multisektor Epidemilogy dan kesmas>>>>AHE>>>>sosial epid dan mutlilevel Pendekatan :kelompok miskin >>>>semua kelompok yangplural Manajemen:kes kota>>>>multisektor ,publicdan privatedan partisipatip Modelinterventsi :vertikal depkes >>>>>vertikal dan horisontal dan desentralisasi multikota

544

Sosial determinan kesehatan kota merupakan salah satu prioritas dari delapan prioritas topik SDH
1. Bagaimanamenempatkanpemerataankesehatan perkotaanpadatitikpusatutamadariperencanaan perkotaan 2. Bagaimanamenjaminkondisisosialperkotaandapat meningkatkanpemerataankesehatanperkotaan 3. Memberikanpenekananpadaperubahaniklimdalam bahasanpemerataankesehatandiperkotaan 4. Bagaimanamenempatkan issu pemerataankesehatan padapusattatakelolaperkotaan

545

546

TOPIKPENELITIAN HEALTHINEQUITYANDSDHDI PERKOTAAN


1. KESENJANGAN PADA MASALAH TERTENTU , MASALAH DAN KELOMPOK MARGINAL NYA ??? 2. PENELITIAN YANG MAU DILAKUKAN 3. MENJELASKAN MASALAH ATAU MENGATASI MASALAH

547

ProfDrdrCharlesSurjadiMPH FKunikaAtmajaya

548

549

WorldHealthReportPHCNow.MorethanEver

550

Socialdeterminantofhealth

(Reducinghealthinequitiesthroughactiononthesocial determinantsofhealth),resolution WHA62.14 Healthinequitiesarisefromthesocietalconditions inwhichpeopleareborn,grow,live,workandage, referredtoassocialdeterminantsofhealth.CSDH 2008 Actionneeded 1.toimprovedailylivingconditions; 2.totackletheinequitabledistributionofpower,money andresources;and 3.tomeasureandunderstandtheproblemandassessthe impactofaction.

551

Segregasi ekonomi Privatisasi makanan sbg komoditas

552

segmentation ofhealthcare Publichealth forthepoor Privatehealth carefortherich (CSDHcivil societyreport 2007)

Baum.2007,
Crackingthenutof healthequity,top downandbottom uppressurefor action Promotionand educationvpl14.2

553

1.

Berkembangnyadanbertumbuhnyaprogram kesehatanyangselektip 2. Kemitraanpublicprivateglobal 3. Komersialisasikesehatan 4. Universalaccesstoessentialmedicinesvs intelectualproperty

554

Untuk menghasilkan evidence maka Penelitian pada SDH tidak hanya berorientasi pada menjelaskan masalah health in equity akan tetapi mengatasi masalah kesehatan dan health in equity ( SOLUTION OF THE PUBLIC HEALTH PROBLEMS )

555

Charles SURJADI

TIGA LEVEL : PROPINSI- KABUPATEN/KOTA - INDIVIDU

556

557

DISABILITAS MENURUT KOTA

usia 75 th OR 2.6 (95% CI 2.2- 3,2), Wanita OR 1.3( 95% CI 1.1-1.5), penyakit kronik OR 1.4 (95%CI 1.1-1.8), hipertensi OR 1.2(95% 1.1-1.5), nyeri sendi OR 1.5 (95%1.1-2), mental health OR 3.2 (95%CI 2.8-3.6), memiliki riwayat penyakit yang mengarah pada kelumpuhan OR 2 (95% CI 1.5-2.7), underweight OR 1.3 (95% CI 1.1-1.5), berpendidikan rendah OR 1.9 (95% CI 1.5-2.3), tidak bekerja OR 1.5 (95% CI 1.3-1.8), status ekonomi rendah OR 1.2 (95% CI 1-1.5).

558

Program lansia Aging friendly city Disability friendly city Lintas sektoral pd lansia

Kebijakan terhadap aktip lansia ( jejaring sosial, lingkungan dan kesehatan )

559

Kegiatan kelompok lansia per kelurahan/RW Ngo lansia Supervisi petugas kesehatan dan sosial ke komunitas

Dinas Kesehatan Kota Madya/Kabupaten

A. Unit yang menangani lansia B. Apakah terdapat peraturan daerah yang menjamin perlindungan bagi lansia ? C. Anggaran untuk lansia per satu tahun D. Program kesehatan lansia c.i. Jenis kegiatan (jika ada) Rp..(...% total anggaran) Ada/Tidak ada c.ii.Target c.iii.Pencapaian target E. Jaminan kesehatan khusus untuk lansia F. Adakah Program Kota Ramah Lansia (jika ada apa jenis kegiatannya)

G. Wadah untuk menyalurkan partisipasi lansia di daerah anda

H. Pertemuan regular Pokja lansia

Frekuensi pertahun./tahun Frekuensi triwulan../triwulan

I.

Jumlah posyandu lansia

/kelurahan /kecamatan

560

A. Jumlah petugas untuk lansia

Orang/kecamatan Orang/kelurahan

B. Jumlah petugas yang mendapat pelatihan lansia C. Sektor yang terlibat dalam kegiatan lansia (boleh lebih dari 1) L. Kegiatan lintas sektor untuk lansia dalam satu tahun terakhir

Orang

Contoh lain Analisa status gisi pada lanjut usia ( umur diatas 65 tahun) Jakarta lebih banyak overweight dan obese 30 % sedangkan Jabar dan banten sekitar 25% undernutrition Analysis selanjutnya sebabnya jakarta lebih ke perilaku dan ses tinggi sedangkan JABAR lebih ke sosial ekonomi rendah dan berkaitan dengan penyakit mental/ stress dan low ses

561

Internationalscientificjournal publication
Assoc.Prof.Dr Nugroho Abikusno InResAge Jakarta CenterforCommunityHealth& PopulationStudies Trisakti University

Currentsituation
Inordertobecompetitiveauniversitymust changeitspresentparadigmfromateaching toaresearchbaseduniversity Atthegloballevel,eventhoughIndonesiais thethirdlargestpopulationinAsia,its internationalpublicationisconsideredoneof thelowestcomparedtoothercountriesinthe AsiaPacificregion

562

Objective
Developresearchbasedjournalarticlesthat areappropriateforinternationalpublication throughworkshoppresentation,journal reportcourseworkandpeerreviewfor internationalpublication

TheResearchCycleapproach
Developpositionorreviewpaperoncurrent availableknowledgeorstateoftheartona certainphenomenon Doresearchonareaofinterestofphenomenon beingstudied Writeresearchreportandjournalarticleon topicsderivedfromphenomenonstudiedtobe communicatedtoscientificcommunityby seminarpresentation RepeatResearchCyclestartingagainfromabove

563

Reviewpaper
Prerequisitetoresearchstudy SourceofInformationavailableonvirtuallibrary websitesincaseofhealth PUBMEDoftheUSLibraryofCongress CochraneReviewcontainsmetaanalysisof evidencebaseinterventions,itseffectsand significance Bothinformationsourcesaregoodfor observationalandexperimentalstudydesigns Freemedicaljournalsandtextbooks(WHO)

Principlesinscientificjournalwriting
FormatorAbstraction Scientificlanguagewriting

564

FormatorAbstraction
Title Introduction ConceptualFramework Method Results&Discussion Conclusion Botharelimitedbyrequiredspaceand numberofwords

FormatorAbstraction
Title What,who,where&when Dependent&independentvariables Relationshipbetweenvariables

565

Format
Introduction Introductorysentencesand/paragraph(s) Problemstatement Objective(s)

Format
ConceptualFramework(inmanyinstancesas followupofTheoreticalFramework) Descriptionofrelevanttheoryleadingto ConceptualFramework(ConceptualTheory) Diagramillustratingvariablesinvolvedandthe interrelationsamongvariables

566

Format
Method Studydesign Location Population Sample&sampling Instrument Analysis

Format
Method Studydesign: Describetypeofstudyandlevelofanalysistobe done Location: Describelevelofstudybeingconducted Population: Describenumberandtypeofpopulationtobe studied

567

Format
Sample&sampling: Numberofsampleandsamplingequation used Describehownumberofsampledis distributedtorepresenttotalpopulation studied

FormatorAbstraction
Instrument Questionnairewhetherstandardorpretested Instrumentusedtomeasurephenomenon andlevelofinstrumentaccuracy Analysis Natureofdatatobeanalysisanduseof appropriateanalysis

568

FormatorAbstraction
Results&Discussion Results Tabular&diagrammaticpresentationwithshort andimportantnarratives Discussion Comparingresearchfindingwithprevioussimilar studiesinsimilarorotherlocations Statelimitationsorimportanceofstudy Statefurtherareasofresearchtobedeveloped

FormatorAbstraction
Conclusion Statetheresultsofthestudybasedon objectivetobeachievedinthestudy Alwaysrememberthat BothFormatorAbstractionarelimitedby requiredspaceandnumberofwords

569

Abstraction
Title Introduction ConceptualFramework Method Results&Discussion Conclusion

Scientificlanguagewriting
Clearmeaningnotsubjecttointerpretation Standardterminologyofrespectivediscipline Conciseborderedbylimitedspaceinavailable journals Comprehensivethroughprovisionofrelevant references UseofScientificlanguagewritingstyle

570

Quotation(style)
Vancouver Medicalsciences Quotationnumberedandreferences numberedbysequentialoccurance APA(AmericanPsychologicalAssociation) Socialsciences QuotationinbracketsofAuthorSurname, Yearofpublicationandreferencesin alphabeticalorder

Paraphrasing
Paraphrasingavoidsplagiarism Paraphrasingexcerptingandsynthesizing ideasinscientificreferenceinownwordsto emphasizeyouroriginality Makingdifficultthingseasytounderstandthe scientificwayusingstandarddiscipline terminology Ifconceptiscomplexcanbewrittenas quotationinhyphensuchasEinsteinonce said:Quotewholesentence.

571

Conclusion
Scientificwritingisfunonceyoumasterorget usedtothescientificwritingstyle Howeverwemustpracticealotinwritingand neveristhereadaywithoutwritingeven thoughitsonlyaboutyour(private)thoughts Whoknowsonceuponatimethesewillturn outtobepearlsofthought Happywritingtoarticulateyourthought, practicealotanddontbeshytoaskothers ontheiropinionofyourwritingstyle

PublishinginInternationalJournals
FastTrack: Speakininternationalconferencesasinvited speakerorposterpresentation BesidesyourPowerpointpleasehaveadraft ofyourpaperavailableincaseaneditorofan internationaljournalisinterestedin publishingyourwork

572

Slowtrack(Novice)
Whendoingresearchdontbesatisfiedby onlywritingastudyreportforfinancial responsibility Preparearesearcharticleforfuture publication Browsetheinternetforonlinescientific journalsinyourfieldofexpertise

Makesureyourjournalarticleformatis accordingtothespecificjournalformatting requirement(failuretocomplywillresultin paperrejection) Ifyouarequotingseveralauthorsfromyour fieldthenitslogicalifyousubmityourworkin thejournalsthatpublishthesewriters PublicationinInternationaljournalsoften takestimeandwefrequentlyhavetopaya sumofmoneyforyourarticlepublication

(2)

573

6XUYHL SDGD .HORPSRN %HULVLNR 7LQJJL

6DEDULQDK 3UDVHW\R 3UD.RQDV -(1  1RYHPEHU 




.HORPSRN %HULVLNR 7LQJJL


y %HULVLNR WLQJJL DWDX EHUSHOXDQJ WLQJJL XQWXN WHUMDGLQ\D HIHN

DWDX DNLEDW \DQJ DNDQ GLSHODMDUL


y %HULVLNR WLQJJL GL PDV\DUDNDW VXOLW GLMDQJNDX DWDX

VHFDUD VRVLDO GLPDUJLQDONDQ DWDX GLNXFLNDQ


y &RQWRK SHQMDMD VHNV SHFDQGX QDUNREDQDS]D SHQGHULWD

VDWX SHQ\DNLW \DQJ PHQJDODPL VWLJPD LEX \DQJ PHODNXNDQ DERUVL DWDX SHNHUMD GHQJDQ PRELOLWDV WLQJJL DWDX EHUSLQGDK SLQGDK NDUHQD SHNHUMDDQQ\D


574

3HQJDUXK IDNWRU VRVLDO


y 3HQJDUXK IDNWRU VRVLDO VDQJDW NXDW GDODP PHPEHQWXN

NHORPSRN SRSXODVL EHULVLNR WLQJJL


y 3HUOXNDK 3 O N K GLSHODMDUL" GL O M L"

&DUL VROXVL PDVDODK GL SRSXODVL EHULVLNR WLQJJL


y 0HWRGH NRQYHQVLRQDO y ,QRYDVL PHWRGH

6XUYHL
y 6XUYHL

UDQFDQJDQ PHQJXPSXONDQ GDWD NHORPSRN SRSXODVL WHUWHQWX DWDX VDPSHO y 7LGDN DGD PDQLSXODVL DWDX NHQGDOL y 7XMXDQ VXUYHL
y PHQJJDPEDUNDQ DWDX PHQGHVNULSVLNDQ NHDGDDQ SRSXODVL

EHUGDVDUNDQ DWULEXW WHUWHQWX y PHQJJDOL GDQ PHQMHODVNDQ IHQRPHQD XQWXN PHQJXML VXDWX KLSRWHVLV

SRWUHW VQDS VKRW SDGD VDWX VDDW y 3HQGHNDWDQ NXDQWLWDWLI VWDWLVWLN DWDX SDUDPHWHU y 3HQHWDSDQ SRSXODVL GDQ VDPSHO
y 6XUYHL

575

6XUYHL SDGD .HORPSRN %HULVLNR 7LQJJL


y 'LODNXNDQ GDODP ZDNWX UHODWLI SHQGHN y 3RSXODVL  PHQXUXW ZDNWX UDWDUDWD EHUGLQDPLND

WLQJJL
y 3HPDKDPDQ NRQWHNV VRVLDO GDUL SRSXODVL

SHQWLQJ y 6WUDWHJL PHQJDPELO VDPSHO y $VSHN HWLND




$VSHN (WLND
y 3HQJHPEDQJDQ LQVWUXPHQ QDUDVL a KDOXVNDQ KDO VHQVLWLI DOXU

y y y y y y y


SHUWDQ\DDQ Q\DPDQ VHFDUD SVLNRORJLV EHUVLIDW HPSDWLN MXPODK SHUWDQ\DDQ WLGDN EDQ\DN DJDU GXUDVL LQWHUDNVL WLGDN ODPD 3HQXOLVDQ LGHQWLWDV KDUXV XQLN XQJNDS LGHQWLWDV" 6WLJPD VRVLDO" ,QWHUDNVL GJ VXE\HN DGDW NHELDVDDQ ORNDO IDNWRU VRVLDO VRVLDO ,QIRUPHG FRQVHQW WHUWXOLV DWDX YHUEDO %HUNDV GDWD 6RIW FRS\ KDUG FRS\ 3HUODNXDQ NKXVXV DPDQ GDQ UDKDVLD ,QIRUPDVL KDVLO DJUHJDW 6WXGL NDVXV LQGLYLGX a KDUXVODK VHVXDL LMLQ VXE\HN 7LQGDN ODQMXW ELOD VXE\HN EHUPDVDODK PHUXMXN

576

'HILQLVL 3RSXODVL
y 0HQMDGL DFXDQ X PHUXMXN KDVLO VWDWLVWLN X JHQHUDOLVDVL

KDVLO VDPSHO NH SRSXODVLQ\D y 'HILQLVLDQ SRSXODVL PHOLSXWL VLDSD DSD GL PDQD NDSDQ
y &RQWRK & K y 3RSXODVL VWXGL SHPDNDL QDUNRED VXQWLN SHQDVXQ 

3HPDNDL QDUNRED WDQGD PHQFDQGXNHWHUJDQWXQJDQ VHVXDL GHILQLVL ,&' PHPDVXNNDQ QDUNRED GJ PHQ\XQWLN GL ZLOD\DK -DNDUWD GLWHPXL VDDW VWXGL GL WDKXQ 

y &RQWRK y 3RSXODVL VWXGL SHQMDMD VHNV

SHQMDMD VHNV ODQJVXQJ SHQMDMD VHNV PHQMDMDNDQ GLUL GHQJDQ NRQWDN ODQJVXQJ NHSDGD NOLHQ PLVDOQ\D PHQDZDUNDQ GLUL GL WHSL MDODQ DWDX GL UXPDK ERUGLO  SHQMDMD VHNV WLGDN ODQJVXQJ ELDVDQ\D EHUDGD DWDX EHNHUMD GL VXDWX W W WHPSDW W \DQJ PHPXQJNLQNDQ NL N XQWXN W NN NHPXGLDQQ\D GL VHFDUD WHUVHOXEXQJ PHQMDMDNDQ GLUL VHSHUWL GL EDU NDUDRNH 'XD NHORPSRN SRSXODVL \J WHUSLVDKEHUEHGD


577

%HVDU VDPSHO
(VWLPDVL VDWX SDUDPHWHU y 3URSRUVL

y 0HDQ 0




.RUHNVL NDUHQD SURVHGXU VDPSOLQJ \J NRPSOHNV

3URVHGXU VDPSOLQJ
' ^ <  d t ^ WW^ < Z ^



578

.ODVWHU
'HILQLVLNDQ .ODVWHU -XPODK .ODVWHU

%HVDU .ODVWHU



3URVHGXU 6DPSOLQJ
' :  < t ^ < < ^
: <   <

 



579

d :
 < W W   D  : <  D



3HUHNUXWDQ SHWXJDV ODSDQJDQ 3HQJXUXVDQ LMLQ VXUYHL 3HUWHPXDQ VRVLDOLVDVL NRRUGLQDVL 3HUWHPXDQ SHODWLKDQEULH ILQJ 0HQ\LDSNDQ ORJLVWLN 3HPHWDDQ NODVWHU 0HPLOLK NODVWHU 0HQ\XVXQ MDGZDO SHODNVDQDDQ

3HODNVDQDDQ VXUYHL

'DIWDU VXE\HN GDODP NODVWHU WHUSLOLK 0HPLOLK VXE\HN VDPSHO :DZDQFDUD 3HQJXPSXODQ GDWD ELRORJLV 3HUWHPXDQ KDULDQ 0HPHULNVD QRPRU LGHQWLWDV 0HQ\HUDKNDQ NXHVLRQHU OHQJNDS 6XSHUYLVL SHQJXPSXODQ GDWD

0HODNXNDQ SHPDVXNDQ GDWD VHWLDS KDUL 0HPHULNVD GDWD \DQJ WHODK O K GLHQWU\ GL 0HQJRODK GDQ PHQJDQDOLVLV GDWD
3HQJRODKDQ GDWD

3HODSRUDQ

'DWD HOHNWURQLN O NW LN /DSRUDQ WHUWXOLV



3HUVLDSDQ

580

&RQWRK 6XUYHL SDGD 3(1$681


y .3$1  WXMXDQ VXUYHL SHULODNX SHQDVXQ
y PHQJHWDKXL NDUDNWHULVNWLN GHPRJUDIL SHQDVXQ y PHQJHWDKXL SHULODNX PHQJJXQDNDQ MDUXP VXQWLN GDQ NHWHUOLEDWDQ SHQDVXQ

GDODP SHPEXDQJDQ OLPEDK MDUXP VXQWLN VHFDUD DPDQ


y PHQJHWDKXL SHULODNX VHNV SHQDVXQ

y 3RSXODVL O VXUYHL SHQDVXQ

VHPXD SHQDVXQ SHPDNDL QDS]DQDUNRED VXQWLN GDODP VXDWX ZLOD\DK DGPLQLVWUDVL \DQJ DNDQ GLWHOLWL PLVDOQ\D GL VDWX NRWD DWDX GL VDWX NDEXSDWHQ 3HQDVXQ LQL VHWLGDNQ\D SHUQDK VDWX NDOL PHQ\XQWLN GDODP VDWX WDKXQ WHUDNKLU PHQFDNXS LQGLYLGX \DQJ VXGDK ODPD PHQ\XQWLN GDQ PDVLK PHQ\XQWLN LQGLYLGX \DQJ EDUX EHEHUDSD EXODQ DWDX EHEHUDSD KDUL WHUDNKLU PHQ\XQWLN GDQ LQGLYLGX \DQJ VXGDK WLGDN UXWLQ PHQ\XQWLN WHWDSL SHUQDK PHQ\XQWLN GDODP SHULRGH ZDNWX  EXODQ WHUDNKLU
.RPLVL 3HQDQJJXODQJDQ $,'6 1DVLRQDO 'UDIW 3HGRPDQ 6XUYHL &HSDW 3HULODNX :36 GDQ 3HQDVXQ -DNDUWD .3$1 



&RQWRK 6XUYHL SDGD 3(1$681


%HVDU VDPSHO IHQRPHQD EHOXP GLNHWDKXL EHVDUDQQ\D SURSRUVL  DVXPVL VWDWLVWLN J NHSHUFD\DDQ S \   WLQJNDW WLQJNDW UHOLDELOLWDV  HIHN GLVDLQ  PLQLPXP EHVDU VDPSHO  'LEDJL MXPODK  NODVWHU EHVDU NODVWHU  SHQDVXQ


581

6DPSOLQJ SDGD 6XUYHL 3(1$681


3URVHGXU 6DPSOLQJ 3HQDVXQ WLGDN VXND WHPSDW WRQJNURQJDQ \J NDVDW PDWDPXGDK GLNHQDOL 3HQDVXQ FHQGHUXQJ EHUSHQFDU PHPDNDL QDS]DQDUNRED VXQWLN VHQGLULVHQGLUL 0DVLK PHPLOLNL LNDWDQ GDODP MDULQJDQ VHVDPD SHQDVXQ DWDX MDULQJDQ GHQJDQ SHQJHGDU QDS]DQDUNRED



6DPSOLQJ SDGD 6XUYHL 3(1$681


'HILQLVL NODVWHU VHNHORPSRN SHUWHPDQDQ SHQDVXQ \DQJ LGHQWLILNDVLQ\D GLPXODL GDUL VHRUDQJ SHQDVXQ GL ZLOD\DK JHRJUDILV WHUWHQWX +HFNDWKRUQ  3HQGHNDWDQ NXDOLWDWLI FDUD VQRZEDOO S GLNXDQWLILNDVL GDSDW X SRSXODVL WHUVHPEXQ\L KLGGHQ SRSXODWLRQ PHWRGH UHVSRQGHQW GULYHQ VDPSOLQJ 5'6 .HQDOL SHQDVXQ SHUWDPD NDOL VXE\HN DZDO VHHG EHQLK  6XE\HN DZDOVHHG PHPEHUL LQIRUPDVL VLDSD VDMD SHQDVXQ \DQJ GLD NHWDKXL WHPDQQ\D VHFDUD EHUDQWDL PHPEHUL LQIRUPDVL NHEHUDGDDQ SHQDVXQ


6HPXD VXE\HN SHQDVXQ \DQJ DZDOQ\D GLVHEXWNDQ ROHK VDWX VXE\HN DZDOVHHG WHUJDEXQJ GDODP VDWX NODVWHU

582

9HUVL  3HQDVXQ PDVLK VHULQJ EHUNXPSXO EHUVDPD



6DPSOLQJ SHQDVXQ
y 7HPSDW EHUNXPSXOQ\D SHQDVXQ PDVLK GDSDW GLNHQDOL \DLWX

EHUXSD GDHUDK WRQJNURQJDQ DWDX KRW VSRW GL PDQD SHQDVXQ ELDVD EHUWHPX GHQJDQ VHVDPD SHQDVXQ y 7HPSDW PHUHND ELDVD PHQJJXQDNDQ QDS]D DWDX WHPSDW SHQDVXQ PHQJDNVHV N QDS]D y 0DND GDHUDK WRQJNURQJDQ DWDX KRWVSRW WHUVHEXW GDSDW GLVHEXW VHEDJDL NODVWHU



583

6DPSOLQJ SHQDVXQ
y 3HPHWDDQ NODVWHU \DLWX VHQWLQHOKRWVSRWWHPSDW WRQJNURQJDQ

SHQDVXQ y &DUL LQIRUPDVL EHUDSD SHQDVXQ \DQJ ELDVDQ\D EHUNXPSXO GL WHPSDW PDVLQJPDVLQJ WRQJNURQJDQ WHUVHEXW GDQ LQL GLVHEXW VHEDJDL EHVDU NODVWHU FOXVWHU VL]H y ,QIRUPDVL OHWDN KRWVSRWWRQJNURQJDQ GHQJDQ EHVDU NODVWHU GLGDIWDU GDQ GLEHQWXNNDQ PHQMDGL NHUDQJND NODVWHU y *XQDNDQ GDIWDU WHPSDW NODVWHU GDQ EHVDU SHQDVXQ GL PDVLQJ PDVLQJ NODVWHU WDGL SHPLOLKDQ NODVWHU GHQJDQ FDUD 3UREDELOLW\ 3URSRUWLRQDWH WR 6L]H 336 


d   ,^ W < d E <      & ' , / , ^ d : W W < : W E E E

zzz



584

336
y .RORP  QDPD NHOXUDKDQ  NRORP  QDPD KRWVSRW  GDQ

NRORP  MXPODK SHUNLUDDQ SHQDVXQ GLSHUROHK GDUL LQIRUPDQ SDGD VDDW SHPHWDDQ NODVWHU y ,VL NRORP  NXPXODWLI MXPODK SHQDVXQ y %D\DQJNDQ VHWLDS VXE\HN DGD QRPRU XUXW NRORP  y 3HPLOLKDQ QRPRU DFDN VHFDUD VHFDUD VHGHUKDQD VLPSOH UDQGRP VDPSOLQJ GJ WDEHO QRPRU UDQGRP



336
y 0HQJDFX NH QRPRU VXE\HN WHUSLOLK KRWVSRW SDGD EDULV

\DQJ VDPD VHQWLQHONODVWHU WHUSLOLK y 'VW VDPSDL  QRPRU y +RWVSRW WHUSLOLK EHUMXPODK  DWDX NXUDQJ y N VDWX KRWVSRW ELVD GLSLOLK ! NDOL N SUREDELOLWDV SURSRUVLRQDO WKG MXPODK SHQDVXQKRWVSRW



585

d  < ^ ,^ , ^ d
E /     & ' , : < > D E K Z t E W E d E Z



> d
                                                                                                                        



586

9HUVL  3HQDVXQ MDUDQJ EHUNXPSXO EHUVDPD WHUVHEDU WDSL PDVLK EHUKXEXQJDQ



3URVHGXU VDPSOLQJ
' W



587

3URVHGXU VDPSOLQJ
Z ^ Z Z Z Z Z
'

Z Z

Z Z Z Z
' '

' 


6HHG
SRLQW RI HQWU\ y 0HPEHUL LQIRUPDVLQRPLQDVL VLDSD SHQDVXQ \J GDSDW GLNRQWDN y 6HHG WLGDN LNXW GLDVHV NHFXDOL ELOD GLQRPLQDVLNDQ ROHK SHQDVXQ \J WHODK GLDVHV \J EXNDQ GL NODVWHU \J GLEXND ROHKQ\D y 6HWLDS DUHD GLDPELO VHHG \J EHUEHGD PLVDO
y 6HHG
y y y y y y


SHQDVXQ PDQWDQ SHQDVXQ SDVDQJDQ SHQDVXQ SHWXJDV ODSDQJDQ /60 WRNRK SHPXGD VHWHPSDW NHWXD 575: GVE

588

$QDOLVLV GDWD
y 6WDWLVWLN GHVNULSWLI y 6WDWLVWLN LQIHUHQVLD
y 6( OHELK EHVDU &RQILGHQFH LQWHUYDO OHELK OHEDU





589

&RQWRK XPXU FRED QDUNRED


 WKQ                    6/73
 6XPEHU 6WXGL 3*1 GL .DODQJDQ 3HODMDU 0DKDVLVZD  33.8,%11

0LQLPXP 0HGLDQ 0DNVLPXP

6/7$

$NDGHPL 37

727$/

d  d ^W W
d < Z ^ W W < d < : h > W Z Z d ^ ^>dW ^>d Wd d > ^ W Z Z ' W h D D d d >   d d 

/ /

W d



590

        

^ W & z / /

W W < h /

 W< E :  E ^ E

591

 
 W ^ : D <


/ d d ^ ^ < W  ^  W 

Z  Z t Z  ,

K h<

592

/ / W W W


 W  / : W   <

 
 ^

593

  h <

QR
<  W

= D  S   S G

 D S

QR
< 

= D  V  G

 D P

W D W <  tW^ ^ W

594

' ^ <  d t ^ WW^ < Z ^ <  h 


<  

      h  D D   W ^ :   W  ^ t,K  t,K

< > ^ ^ E z : t ^ / ,

595

' :  < t ^ < ^


: <   <

 

&
<     W

'HII = D  S   S % G 

 D S

d W z   d :
 < W

: < 

 D

 ^ t d > tD ^ > t , ^ Y < Z / / : 

596

  
  W W : W W  W W  z     '  > ^

Z h W W ^ W D D

W
 D t W W D D ^ D D D

W  >

^ ^ ^ ^

597

< D h


D ^ <W h W  / h ,  D  ^ W W E W

< W /^ E  W ^  W tW^ W : <W E ,  Z  ^ : ,  Z ^ E ^ W s E D

598

W W >

 D
 /   W W ^ WW^  d   ,^ W < d E <      & ' , / , ^ d : W W < : W E E E

zzz

 WW^ W < : ^ :  ^

599

d >   E ^ : W :   ,  ,  , , ^  ^

600

d  < ^ ,^ , ^ d
E /     & ' , : < > D E K Z t E W E d E Z

 W
W d < ,  Z  W E h h ^ ^  t , Z^

601

W Z^   W W >^D ZdZt  ^ E

602

' W

^ W ^ Z ^ Z Z Z Z Z
'

Z Z

Z Z Z
' '

'  ^ W  ^   h

603


 <  W < <W E d  d ^W W
d < Z ^ W W < d < : h > W Z Z d ^ ^>dW ^>d Wd d > ^ W Z Z ' W h D D d d >   d d 

/ /

W d

604


^ W

  
 < W /^ E :  E W W < h /

605

> d
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       

606

Wh^ d WE>/d/ E <^, d E hE/sZ^/d ^ /EKE^/

       
^W tW^ sZ^/ ^W WE ^hE sZ^/

Wh^ d WE>/d/ E <^, d E hE/sZ^/d ^ /EKE^/

607

W
> ^W tW^ ^W WE ^hE / > D 

W W < W >
> ^W tW^ ^W WE ^hE W /s Z D < , ' W D  >

W W 
> ^W / ^ W D^ t yW  ^  W W  W Z > K W Z > K Z K W / W / < K<
' Z > K

< ^W tW^WE ^hE


^W tW^ ^W WE ^hE h

608

' >

^W E 

609

' > ^W

W 
W ^W tW^ ^W WE ^hE  W : '

' W ^W

 
 > :

610

' > ^W

W 
^ ^W h 
.HMDGLDQ ,06 &7 7 3 3 RU 1* .RQVLVWHQ PHQJJXQDNDQ NRQGRP .RQVLVWHQ PHQDZDUNDQ NRQGRP 3HQJJXQDDQ NRQGRP SDGD VHNV WHUDNKLU 3HQDZDUDQ NRQGRP SDGD VHNV WHUDNKLU .HWHUVHGLDDQ NRQGRP SDGD VHNV WHUDNKLU GRP GDUL ,QIR FDUD PHQJJXQDNDQ NRQG ,QIR NRQGRP GDUL 3/3( ,QIR NRQGRP GDUL PDQDMHUSHPLOL LN ZLVPD -P POK :36
 

         
  

'  ^W

611

W
> ^W >  ^W^^  ^W^^ K

W >

612

d ^W^^

   ^W^^

613

614

615

616

617

618

619

620

621

622

623

624

625

626

627

628

629

630

631

632

633

634

635

636

Promosi Kesehatan bagi Pedagang Hidangan Istimewa Kampung / HIK dengan Kemitraan antar Pemangku Kepentingan untuk Menciptakan Kuliner Khas Solo yang Sehat dan Aman Dikonsumsi1
Oleh: ANIK LESTARI 2
Disampaikan dalam:Kongres Nasional Jaringan Epidemiologi Nasional ke-14 Kusuma Sahid Prince Hotel, Solo-Indonesia ( 6-8 Nopember 2012)

1. Bagian dari proposal penelitian S3, Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Minat Utama Promosi Kesehatan, Program Pascasarjana, UNS tahun 2012 2. Staf Pengajar pada Bagian IKM FK UNS Solo, email: leslietarinick@yahoo.com

LATAR BELAKANG
Hidangan Istimewa Kampung / HIK (makanan ikon kota Solo) yang digemari oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah sehingga cukup banyak pelanggan.

Perdagangan HIK sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga karena perdagangan HIK merupakan pekerjaan sektor informal yang mampu memberikan pendapatan bagi masyarakat ekonomi lemah Penelitian yang telah dilakukan oleh Murti, dkk
(2009): Dagangan HIK kurang memenuhi standar higiene dan sanitasi makanan/minuman Perilaku pedagang maupun pembeli kurang memenuhi standar kesehatan Adanya pedagang yang menderita sakit TBC Paru

637

MASALAH KESEHATAN YANG BERHUBUNGAN


DENGAN MAKANAN

Tingkat kontaminasi makanan oleh Escherichia.coli di Indonesia cukup tinggi 65,5%. | Kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan masih tinggi 31.919 kasus (1997) dengan CFR 0,15% | Penelitian oleh Djaja, 2008 di Jakarta Selatan dengan responden pengelola makanan (PKL, Restoran, Jasa boga) menunjukkan hasil: 1. Kontaminasi makanan ole kuman E. coli dipengaruhi oleh suhu pemasakan dan jenis tempat pengelolaan makanan (TPM). 2. Jenis TPM PKL berisiko 3,5 kali untuk terkontaminasi dibandingkan dengan restoran dan jasa boga
|

TUJUAN PENELITIAN
Merumuskan model promosi kesehatan untuk memberdayakan pedagang HIK dengan menjalin kemitraan antar berbagai pemangku kepentingan yaitu Perguruan Tinggi sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah, Perusahaan Swasta melalui program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) dan Lembaga Swadaya Masyarakat. | Tujuan Khusus: 1. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang dapat mendorong dan menghambat bila model promosi kesehatan tersebut diterapkan untuk pemberdayaan pedagang HIK. 2. Menilai efektivitas model dalam pemberdayaan komunitas pedagang HIK.
|

638

MANFAAT PENELITIAN
| |

| |

1. Manfaat bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Diharapkan pelitian ini dapat menyelaraskan antara teori dengan pelaksanaan praktek di lapangan, dengan adanya temuan-temuan di lapangan yang kurang sesuai dengan teori yang ada, maka dapat untuk memberikan sumbangan bagi munculnya teori-teori baru di bidang Ilmu Kesehatan masyarakat, khususnya Promosi Kesehatan. 2. Manfaat bagi pembangunan: Dengan adanya model pemberdayaan kelompok pedagang HIK melalui kemitraan dengan Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Perusahaan Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) maka diharapkan kelompok pedagang HIK dapat meningkatkan eksistensi dan kontribusinya dalam menyediakan makanan dan minuman yang sehat, bersih, bergizi sehingga aman dikonsumsi oleh masyarakat.

MANFAAT (LANJUTAN...)
3. Manfaat bagi kebutuhan serta potensi masyarakat | Penelitian ini sangat dibutuhkan bagi komunitas pedagang ekonomi mikro (pedagang HIK) di kota Solo untuk mengembangkan potensi mereka. Karena meskipun skala perdagangannya saat ini belum begitu besar namun mereka bisa bertahan pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia (1997-1998), dengan adanya maka skala bisnis mereka akan berkembang dan dapat menghasilkan produk makanan dan minuman yang sehat, bergizi dan aman dikonsumsi oleh pelanggan.
|

639

METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian Desain penelitian ini adalah mix method yaitu metode penelitian yang memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan strategi Action Research. 2. Lokasi Penelitian | Penelitian akan dilakukan di lima kecamatan yang ada di Kota Solo. Karena Solo merupakan salah satu barometer kuliner di Indonesia. Kelima kecamatan tersebut adalah Jebres, Pasar Kliwon, Serengan, Banjarsari dan Laweyan. Lokasi yang akan diperiksa ialah: | a. Pada tempat-tempat di mana pedagang HIK menjual makanannya, baik yang berjualan dengan gerobak, dengan meja panjang dan penjualan di bangunan permanen. | b. Rumah pedagangHIK dan lingkungan sekitarnya.
|

METODE PENELITIAN (LANJUTAN.....)

3. Sumber Data dan Teknik Sampling | Data dikumpulkan dari sumber-sumber yang berbeda, yaitu: 1. Para pedagang HIK dan keluarga mereka 2. Para konsumen / pelanggan HIK 3. Tokoh masyarakat (sebagai informan): ketua RT, ketua RW, kader PKK, Kepala Kelurahan, Karang Taruna | Teknik sampling yang akan digunakan ialah incidental sampling.
|

640

METODE PENELITIAN (LANJUTAN.....)

4. Teknik Pengumpulan Data dan Uji Validitas | Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah: 1. wawancara mendalam (indepth interview) 2. observasi langsung (direct observation) 3. Focus group discussion (FGD) | Untuk meningkatkan validitas data maka akan digunakan Teknik Triangulasi (triangulasi sumber dan metode pengumpulan data).
|

KERANGKA BERPIKIR
Kondisi Penjualan HIK: a. Pengetahuan dan praktek higiene dan sanitasi makanan b. Kebersihan dan kesehatan perorangan c. Kebersihan dan kesehatan rumah (indoor) d. Kebersihan dan kesehatan lingkungan rumah dan tempat berjualan (outdoor)

Kekuatan dan kelemahan pedagang HIK: Sumber Daya Manusia Teknologi Pembiayaan dll

Pengukuran Hasil Kemitraan

Kebutuhan Kemitraan

Perumusan Masalah

Pengaturan Arah

Implementasi

Pelembagaan Kerja Kolaboratif Model Kemitraan


Dampak Kebijakan Pangan Sehat terhadap perdagangan HIK

Kebijakan tentang makanan/pangan sehat: Kebijakan nasional Kebijakan lokal

641

Klinik Konseling & Testing Sukarela Sekolah (School VCT Clinics)


Rossi Sanusi PMPK FK UGM 7-8 November 2012

Remaja Memerlukan Konseling & Test HIV/IMS


Survei STPB 2011 menunjukkan bahwa dari 7022 remaja di 7 ibukota provinsi yang disurvei: 607 (8.64%) sudah melakukan hubungan sex (dengan pacar, pelacur, waria, dll), dan 287 (47.28%) dari antaranya tidak menggunakan kondom. 230 (3.30%) mempunyai lebih dari 1 pasangan sex. 26 (0.37%) pernah menggunakan Napza suntik dan 13 (0.19%) pernah menggunakan alat Napza suntik secara bergantian.

642

159 (2.26%) merasa bahwa mereka beresiko tertular HIV karena menggunakan Napza dan 416 (5.92%) karena berhubungan sexual. Hanya 173 (2.46%) yang pernah test HIV. Pernah membicarakan cara pencegahan HIV paling banyak dengan Teman (84.16%) dan Guru (75.38%); dan, paling sedikit dengan LSM (24.61%), Tokoh Agama (25.69%) dan Ayah (27.49%).

Analisis Situasi
Survei Terpadu Biologis & Perilaku (STBP) oleh KemenKes RI pada Tahun 2011. Kuesioner STBP 2011 Remaja: Blok 1 (8 item) Karakteristik responden Blok 2 (18 item) Pengetahuan ttg HIV/AIDS, resiko & pencegahannya Blok 3 (17 item) Perilaku sexual Blok 4 (15 item) Minuman beralkohol & penggunaan narakoba

643

Distribusi & Karakteristik Responden


Prov 12 21 31 33 35 51 94 74 78 71 71 Total Kota* 75 71 N L(%) 1002 1000 1004 1000 1000 1015 1001 7022 471 (47.01) 489 (48.90) 498 (49.60) 467 (46.79) 476 (47.60) 447 (44.04) 469 (46.90) 3,317 (47.26) Jenis Kelamin P(%) 531 (52,99) 511 (51.10) 506 (50.40) 531 (53.21) 524 (52.40) 568 (55.96) 531 (53.10) 3,702 (52.74) Umur Rata2 17.07 17.26 17.09 17.29 17.20 17.21 17.29 17.20 Tahu VCT (%) 401 (40.02) 463 (46.30) 324 (32.27) 352 (35.20) 364 (36.40) 397 (39.11) 567 (56.64) 2,868 (40.84)

* Ibu Kota Provinsi

Merasa Beresiko & Pernah Test


Prov N Merasa Beresiko Tertular HIV, krn pernah Menggunakan Napza 12 21 31 33 35 51 94 Total 1002 1000 1004 1000 1000 1015 1001 7022 30 (2.99) 20 (2.00) 12 (1.20) 18 (1.80) 12 (1.20) 26 (2.56) 41 (4.10) 159 (2.26) Berhubungan Sexual 57 (5.69) 44 (4.40) 33 (3.29) 42 (4.20) 53 (5.30) 97 (9.56) 90 (8.99) 416 (5.92) Mendapat Transf Darah 47 (4.69) 41 (4.10) 42 (4.18) 46 (4.60) 54 (5.40) 55 (5.42) 59 (5.89) 344 (4.90) Pernah Ditest HIV 7 (0.70) 30 (3.00) 28 (2.79) 16 (1.60) 12 (1.20) 18 (1.77) 62 (6.19) 173 (2.46)

644

Perilaku Sexual
Prov N Dalam setahun terakhir berhubungan sex dengan Pelacur 12 21 31 33 35 51 94 Total 1002 1000 1004 1000 1000 1015 1001 7022 7 (0.70) 4 (0.40) 6 (0.60) 10 (1.00) 1 (0.10) 18 (1.77) 15 (1.50) 61 (0.87) Waria 0(0.00) 0 (0.00) 2 (0.20) 2 (0.20) 1 (0.10) 2 (0.20) 12 (1.20) 19 (0.27) Pernah Sex Anal dng Berhubungan sex pertama kali dengan Pacar/ Teman 61 (6.09) 58 (5.80) 86 (8.57) 71 (7.10) 74 (7.40) 137 (13.50) 147 (14.69) 634 (9.03) Pelacur, Waria, Lainnya 61 (6.09) 2 (0.20) 4 (0.40) 7 (0.70) 3 (0.30) 10 (0.99) 18 (1.80) 50 (0.71)

Pelacur 2 (0.20) 0 (0.00) 1 (0.10) 4 (0.40) 2 (0.20) 6 (0.59) 9 (0.90) 24 (0.34)

Waria 2 (0.20) 0 (0.00) 0 (0.00) 2 (0.20) 2 (0.20) 1 (0.10) 9 (0.90) 16 (0.23)

Menggunakan Napza
Prov N Pernah Menggunakan Napza Suntik 7 (0.70) 0 (0.00) 3 (0.30) 3 (0.30) 3 (0.30) 1 (0.10) 12 (1.20) 26 (0.37) Pernah Menggunakan alat NaSun bergantian 4 (0.40) 1 (0.10) 1 (0.10) 0 (0.00) 1 (0.10) 0 (0.00) 6 (0.60) 13 (0.19) 19 Pertama kali Mencoba Napza SD 1 (0.10) 0 (0.00) 4 (0.40) 1 (0.10) 6 (0.60) 3 (0.30) 4 (0.40) 0.27 148 SLTP/ Sederajat 20 (2.00) 19 (1.90) 4 (0.40) 19 (1.90) 23 (2.30) 1 (0.10) 29 (2.90) 2.11 SLTA/ Sederajat 18 (1.80) 13 (1.30) 34 (3.39) 19 (1.90) 14 (1.40) 12 (1.18) 26 (2.60) 138 (1.97)

12 21 31 33 35 51 94 Total

1002 1000 1004 1000 1000 1015 1001 7022

645

Ada Penyuluhan Di Sekolah tentang


Prov 12 21 31 33 35 51 94 Total N 1002 1000 1004 1000 1000 1015 1001 7022 Kesehatan Reproduksi 426 (42.51) 734 (73.40) 598 (59.56) 598 (59.80) 613 (61.30) 696 (68.57) 667 (66.63) 4,332 (61.69) IMS 340 (33.93) 606 (60.60) 485 (48.31) 500 (50.00) 497 (49.70) 657 (64.73) 728 (72.73) 3,813 (54.30) HIV/AIDS 746 (74.45) 880 (88.00) 793 (78.98) 776 (77.60) 813 (81.30) 895 (88.18) 813 (81.30) 5,775 (82.24) Napza 789 (78.74) 894 (89.40) 822 (81.87) 769 (76.90) 852 (85.20) 916 (90.25) 744 (74.33) 5,786 (82.40)

Intervensi
Untuk mengendalikan penyebaran HIV dan IMS di kalangan remaja diperlukan Konseling & Testing HIV yang lebih dekat dengan remaja. Menyelenggarakan Klinik Konseling & Testing Sukarela (KTS) di sekolah perlu diuji-coba, mengingat: Guru dan Teman menjadi orang yang paling banyak diajak bicara tentang cara pencegahan; baru sedikit yang test HIV (2.46%); dan banyak yang sudah mengenal VCT (<40% di Jawa-Bali dan >40% di Sumatera & Papua).

646

Populasi Penghubung HIV/AIDS (HIV/AIDS Bridging Populations)


Rossi Sanusi PMPK FK-UGM 7-8 November 2012

Populasi Penghubung?
t.d. orang-orang yang beresiko tertular HIV karena: Berhubungan erat dengan pekerja sex wanita & pria, sering sebagai pelanggan atau pasangan. Mobilitas tinggi, kondisi tempat tinggal kurang baik, usia aktif sexual, terpisah lama dari pasangan tetap, akses ke pelayanan kesehatan kurang.

647

Survei Populasi Penghubung


Survei Terpadu Biologis & Perilaku (STBP) oleh KemenKes RI pada Tahun 2011 di 10 Provinsi. Kuesioner STBP 2011 Pria: Blok 1 (10 item) Pengenalan tempat Blok 2 (9 item) Keterangan wawancara Blok 3 (7 item) Karakteristik responden Blok 4 (40 item) Perilaku sex Blok 5 (13 item) Cakupan intervensi Blok 6 (16 item) Test HIV & IMS Blok 7 (24 item) Pengetahuan ttg HIV/AIDS, resiko & pencegahannya Blok 8 (6 item) Minuman beralkohol & penggunaan napza

Distribusi HIV+ & Sifilis+ menurut Kelompok Sasaran


Kelompok Sasaran Supir Truk Tukang Ojek Supir A. Umum ABK TKBM Total Total 1,492 604 12 2,390 397 4,896 HIV+ (%) 15 (1.01) 3 (0.50) 0 (0.00) 13 (0.54 ) 1 (0.25) 32 (0,65) Sifilis+ (%) 86 (5.76) 29 (4.80) 0 (0.00) 78 (3.26 ) 20 (5.04) 213 (4.35)

648

Distribusi HIV+ & Sifilis+ menurut Provinsi


Provinsi Total 12 18 21 31 33 35 51 53 81 94 Total 1,000 399 400 400 799 399 400 399 400 300 4,896 HIV+ (%) 7 (0.70) 1 (0.25) 3 (0.75) 1 (0.25) 6 (0.75) 1 (0.25) 9 (2.25) 2 (0.50) 0 (0.00) 2 (0.67) 32 (0,65) Sifilis+ (%) 17 (1.70 ) 31 (7.77) 21 (5.25) 20 (5.00) 53 (6.63) 20 (5.01) 13 (3.25) 12 (3.01) 7 (1.75) 19 (6.33) 213 (4.35)

4 Kasus
Tukang Ojek Provinsi 94; ABK Provinsi 21; Supir Truk Provinsi 51; TKBM Provinsi 31. Diskripsi Konstruk2 berikut:
Mobilitas Usia aktif sexual Kondisi tempat tinggal Akses Pelayanan Keseh Lama berpisah Hubungan dgn Pekerja Sex

HIV IMS

649

Ciri Demografik & Test Lab


Skala Ojek Provinsi 94 (N=299) 141 (47.16 ) 158 (52.84 ) 43 (14.38) 73 (24.41) 183 (61.20 ) 110 (36.79) 189 (63.21) 2 (0.67) 19 (6.35) ABK Provinsi 21 (N=400) 139 (34.84) 260 (65.16) 64 (16.04) 92 (23.06) 243 (60.90) 139 (34.75) 261 (65.25) 3 (0.75) 21 (5.25) Supir Truk Provinsi 51 (N=400) 117 (29.25) 283 (70.75) 114 (28.50) 145 (36.25) 141 (35.25) 93 (23.25) 307 (76.75) 9 (2.26) 13 (3.26) TKBM Provinsi 31 (N=397 57 (14.43) 338 (85.57) 230 (58.38) 99 (25.13) 65 (16.50) 39 (9.85) 357 (90.15) 1 (0.25) 20 (5.04) Umur Tingkat Pendidikan 30 > 30 SD/< SMP SMA/> Belum/cerai Kawin Positif Positif

Status Perkawinan HIV Sifilis

Hubungan sex setahun terakhir


Skala Tukang Ojek Provinsi 94 (N=299) 175 (58.53) 124 (41.47) 58 (19.40) 241 (80.60) 51 (17.06) 248 (82.94) 2 (0.67) 297 (99.33) 2 (0.67) 297 (99.33) ABK Provinsi 21 (N=400) 261 (65.25) 139 (34.75) 100 (25.00) 300 (75.00) 54 (13.50) 346 (86.50) 400 (100.00) 400 (100.00) Supir Truk Provinsi 51 (N=400) 236 (59.00) 164 (41.00) 105 (26.25) 295 (73.75) 43 (10.75) 357 (89.25) TKBM Provinsi 31 (N=397) 272 (68.51) 125 (31.49) 45 (11.34) 352 (88.66) 26 (6.55) 371 (93.45) 1. Dgn Isteri/ Jarang Pasgn Tetap Sering 2. Dgn WPS 3. Dgn wnt selain 1 & 2 4. Dgn waria 5. Dgn Pria Prnh-sering Tdk pernah Prnh-sering Tdk pernah Ya Tidak Ya Tidak

3 (0.75) 397 (99.25) 397 (100.00) 400 (100.00 1 (0.25) 396 (99.75)

650

Mobilitas, Tempat Tinggal & Lama Berpisah


Skala Ojek Provinsi 94 (N=299) 56 (18.73) 243 (81.27) 281(93.98) 18 (6.02) 56 7 1-48 ABK Provinsi 21 (N=400) 174 (43.50) 226 (56.50) 384 (96.00) 16 (4.00) 215 3 1-36 Supir Truk Provinsi 51 (N=400) 69 (17.25) 331 82.75) 400 (100.00) TKBM Provinsi 31 (N=397 158 (39.80) 239 (60.20) 255 (64.23) 142 35.77) 45 2 1-12 Dgn siapa tinggal sekarang Berapa kali pergi 6 bln terakhir Brp bulan pergi pd perjalanan terakhir Non-Kel Keluarga 1/> Tidak pergi N Mean Range

14 2 1-7

Pelayanan Kesehatan
Skala Ojek Provinsi 94 (N=299) 221 (73.91) 78 (26.09) 199 (66.56) 100 (33.44) 99 (33.11) 200 (66.89) 119 (39.80) 180 (60.20) ABK Provinsi 21 (N=400) 395 (98.75) 5 (1.25) 363 (90.75) 37 (9.25) 127 (31.75) 273 (68.25) 315 (78.75) 85 (21.25) Supir Truk Provinsi 51 (N=400) 361 (90.25) 39 (9.75) 371 (92.75) 29 (7.25) 52 (13.00) 348 (87.00) 335 (83.75) 65 (16.25) TKBM Provinsi 31 (N=397) 362 (91.18) 35 (8.82) 369 (92.95) 28 (7.05) 369 (92.95) 28 (7.05) 302 (76.07) 95 (23.93) Kondom mudah diperoleh/ disediakan Pernah ditawari tes HIV Pernah dpt info HIV Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya

Dpt memperTidak oleh pengobatan Ya

651

Prioritas Peningkatan Cakupan Intervensi


Penyediaan Kondom: ABK (< 2%) Penawaran Tes HIV: ABK, Supir Truk & TKBM (< 10%) Pemberian informasi HIV: TKBM (< 10%) Pengobatan IMS: ABK, Supir Truk & TKBM (< 30%)

652

653

1. Sebaiknya perlu peningkatan penyuluhan serta kesadaran warga agar segera melaporkan kejadian penyakit di wilayah sekitarnya, terutama yang bersifat mendadak, jumlah kasus meningkat dari biasanya. 2. Perlu segera mengambil sampel biologis dari penderita atau sumber penularan secepatnya untuk keperluan penegakan diagnosa. 3. Peningkatan penyuluhan mengenai hygiene perorangan, hygiene dalam pengelolaan makanan, serta sanitasi lingkungan.

KEJADIAN LUAR BIASA KERACUNAN PANGAN DI DESA WATUSIGAR KECAMATAN NGAWEN KABUPATEN GUNUNGKIDUL
INSERT LOGO HERE 2 Field

Anggun Paramita Djati1, Baning Rahayujati2, Sri Raharto3


Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara, Depkes RI; email : ang_joen@yahoo.com Epidemiology and Training Program (FETP), Fakultas Kedokteran,Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; Dinas Kesehatan Kaupaten Kulon Progo, Yogyakarta 3 Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
1 Staf

INSERT LOGO HERE

PENDAHULUAN
Keracunan pangan atau istilah lainnya yaitu intoksikasi makanan termasuk dalam penyakit akibat makanan, adalah penyakit yang didapat karena mengkonsumsi makanan yang tercemar.(WHO,2000) Penyakit ini amat beragam gejala klinisnya dan masa inkubasinya, tergantung jenis makanan penyebabnya. Salah satu gejala klinis yang sering timbul berupa diare. Kabupaten Gunungkidul salah satu kabupaten yang pernah mendapat laporan adanya KLB keracunan pangan di wilayahnya, dengan berbagai variasi jumlah penderita, gejala klinis, jenis pangan penyebab, jenis kuman atau senyawa penyebab. Pada tahun 2009, salah satunya adalah keracunan pangan dengan gejala dominan diare di Desa Watusigar, wilayah kerja Puskesmas Ngawen 1. Pada hari Senin tanggal 13 Juli jam 11.30 WIB, Puskesmas Ngawen 1 mendapat laporan dari masyarakat adanya kasus diare yang dialami 25 orang warga Desa Watusigar. Kemudian investigasi awal dilakukan tim surveilans Puskesmas Ngawen 1, dilanjutkan tim surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawen 1. Peningkatan kasus diare secara bersamaan dalam satu wilayah yang sama yaitu RT 02 RW 10 Dusun Sabrang Desa Watusigar ini diduga berkaitan dengan konsumsi makan selamatan secara bersama-sama. Tujuan penyelidikan ini adalah untuk memastikan diagnosis keracunan pangan di Desa Watusigar wilayah Puskesmas Ngawen 1, mengidentifikasi penyebab, sumber dan cara penularan, dan menghitung angka serangan dalam rangka merencanakan strategi untuk penanggulangan dan pengendalian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

KESIMPULAN
1. Telah terjadi KLB keracunan pangan di Dusun Sabrang Desa Watusigar dengan gejala seperti penyakit keracunan pangan: diare, mual, muntah, yang terjadi pada bulan Juli 2009 2. Penyebab keracunan diduga kuat adalah bakteri jenis E. coli dengan kemungkinan lain yaitu Salmonella, dengan sumber penularan adalah makanan selamatan yang dibagikan pada tanggal 10 Juli 2009 sore hari di wilayah Rt 2 RW 10 Dusun Sabrang Desa Watusigar, terutama adalah jenis makanan yaitu gudangan. 3. 34 kasus (100%) beralamat di wilayah RW yang sama yaitu RW 10, penderita perempuan (52,9%) lebih banyak daripada laki-laki, rata-rata umur kasus yaitu 40,18 tahun, sebagian besar kasus bekerja sebagai petani (55,9%). 4. Hampir seluruh kasus terjadi pada hari Sabtu, tanggal 11 Juli 2009, dengan kurva epidemik menunjukkan bahwa perkiraan terjadi waktu pertama paparan dengan penyebab keracunan antara pukul 14 hingga pukul 16 tanggal 10 Juli 2009, dan tipe kurva adalah common source, artinya ada satu sumber penularan. 5. Angka serangan (AR) tertinggi pada jenis makanan gudangan (100%) dan telur (100%). Sedangkan OR gudangan dan telur masing-masing 280. Status sanitasi perorangan tidak berhubungan dengan kejadian keracunan. 6. Langkah langkah yang dilakukan Puskesmas Ngawen 1 dalam penanggulangan KLB keracunan pangan ini sudah baik antara lain dengan pelaporan ke Dinas Kesehatan kabupaten Gunungkidul, pemberian penyuluhan, dan pemberian kaporit.

47% 53% Laki-laki Perempuan

18% 32% 9%

5 12 tahun 13 18 tahun 19 25 tahun 3% 31 45 tahun 46 50 tahun > 50 tahun

32% 6%

Gambar 1. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin dan Umur pada KLB Keracunan Pangan di Dusun Sabrang Desa Watusigar Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul Tahun 2009 Tabel 1. Distribusi Gejala Klinis KLB Keracunan Pangan di Dusun Sabrang Desa Watusigar Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Gejala Klinis Demam Nyeri/mulas Mual Diare Diare berbau khas Menggigil Muntah Diare berair Pusing Sakit kepala Berkeringat Jumlah kasus 34 31 30 26 23 21 20 15 12 2 1 Frekwensi 100% 91,18% 88,24% 76,47% 67,65% 61,76% 58,82% 44,12% 35,29% 5,88% 2,94%

METODE
Penyidikan dilakukan di Dusun Sabrang, Desa Watusigar, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul. Penetapan diagnosis kasus dilakukan dengan menyusun distribusi frekuensi gejala klinisnya, mencocokkan gejala / tanda penyakit yang terjadi pada individu dengan gejala yang ada di teori atau buku (Communicable disieses manual dan buku Mekanisme dan Prosedur Tetap Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Indonesia). Data sekunder laporan investigasi KLB data monografi wilayah kerja puskesmas cakupan imunisasi cakupan pelayanan kesehatan cakupan sanitasi data dinas kesehatan (laporan investigasi KLB, data hasil pemeriksaan sampel, data monografi, geografi dan demografi) Data primer pelacakan penderita dan pencarian kasus tambahan, menggunakan kuesioner terstruktur Analisis data deskriptif menghitung Attack Rate (Angka serangan) jenis makanan yang terkontaminasi .

Setelah dicocokkan dengan gejala, masa inkubasi dan jenis makanan sumber penularan yang ada di teori atau buku (Communicable disieses manual dan buku Mekanisme dan Prosedur Tetap Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan di Indonesia) , maka diambil kesimpulan sementara bakteri yang diduga sebagai penyebab keracunan pangan di Dusun Sabrang Desa Watusigar Kecamatan Ngawen yaitu Escherichia Coli, dengan differential diagnose yaitu Salmonella, Staphylococcus, Clostridium perfringens, Bacillus cereus.

SARAN
1. Sebaiknya perlu peningkatan penyuluhan serta kesadaran warga agar segera melaporkan kejadian penyakit di wilayah sekitarnya, terutama yang bersifat mendadak, jumlah kasus meningkat dari biasanya. 2. Perlu segera mengambil sampel biologis dari penderita atau sumber penularan secepatnya untuk keperluan penegakan diagnosa. 3. Peningkatan penyuluhan mengenai hygiene perorangan, hygiene dalam pengelolaan makanan, serta sanitasi lingkungan.

UCAPAN TERIMAKASIH
1. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul beserta seluruh stafnya 2. Kepala Puskesmas dan Petugas P2 DBD Puskesmas Ngawen I 3. Seluruh pejabat daerah dusun Sabrang Desa Watusigar 4. Ketua Minat Field Epidemiology Training Programme beserta jajarannya atas bantuan, informasi, pelayanan administrasi dan kemudahan fasilitas selama penelitian.

Gambar 2. Kurva Epidemi pada KLB Keracunan Pangan di Dusun Sabrang Desa Watusigar Kecamatan Ngawen Tahun 2009

Tabel 2. Attack Rate Jenis Makanan yang Dikonsumsi pada KLB Keracunan Pangan di Dusun Sabrang Desa Watusigar Kecamatan Ngawen Tahun 2009 No Jumlah yg Mengkonsu msi Nasi 36 Gudangan 34 Bumbu gudangan 36 Telur 34 Faktor risiko AR (%) 94,44 100 94,44 100

DAFTAR PUSTAKA
-----, 2008. Profil Kesehatan Puskesmas Ngawen 1 Kabupaten Gunungkidul Tahun 2008, Gunungkidul : Puskesmas Ngawen 1 Badan Pengawas Obat dan Makanan DepKes RI, 2005. Mekanisme dan Prosedur Tetap (Protap) Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan di Indonesia, Jakarta : Depkes RI Chin, James, 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular . Terjemahan : Dr. I Nyoman Kandun, MPH, Edisi 17, WHO.

1 2 3 4

Hasil investigasi sumber penularan : makanan selamatan yang dibagikan kepada masyarakat di wilayah Dusun Sabrang Desa Watusigar pada tanggal 21 Juni 2009. Hasil wawancara mendalam pengelolaan makanan atau bahan makanan tersebut memang berisiko terhadap terjadinya keracunan

Poster template by ResearchPosters.co.za

654

655

656

657

658

659

660

661

662

663

664

665

Baseline Survey of Maternal Health on Teluknaga Village


Veli Sungono, David Fairholm, Dwi Savitri
Faculty of Medicine, University of Pelita Harapan, Tangerang, Indonesia
Introduction

Data from the 2000 Household Health Survey (HHS) show a maternal mortality ratio (MMR) of 390 deaths per 100,000 live births. Indonesia have strong commitment to reduce 2/3 toddlers death and maternal mortality ratio on 2015. This research has aim to identify the baseline data of maternal health on Teluknaga village. .
Methods & Results

Table I. Social and Demographic Characteristic of Respondents Variable Mean SD Min/Max

Age of mothers Age of first pregnancy Currently pregnant Breast feeding (day) Outcome of pregnancy Live giving birth Misscarriage Death birth Highest Education of mother Never School Elementary Junior high school Senior high school Academy/University

28.86 6.01 16/50 20.38 3.74 (12/35) 26 (2.43%) 30.5 63.37 (0/900) 2.34 1.49 (1/11) (1066 /86.7%) (148/13.79%) (15/1.3%) 21 (1.96%) 623 (58.06%) 191 (17.8%) 188 (17.52%) 50 (4.66%)

Data was then collected by house to house survey of 1,073 families in Teluk Naga village who have kids below than five years old. About 60% of mothers have education at elementary levels and below. Age of first pregnancy was very young (20 years old) with frequency pregnancy 2.34 times; range from 1 to 11. The number of miscarriage was quite high (11.9%). About 71% of giving birth were helped by midwife and 10% by traditional birth attendants. Most of the pregnancies were delivered at midwives house (65%) and very few on Puskesmas (2.62%). The exclusive breast feeding have mean only for 30 days.
Conclusion

Table II. Characteristic of Pregnancy and Contraceptive Variable Giving birth Normal Ceasar Using contraceptive Spiral Injection/hormonal contraceptiv Oral contraceptive Condom Tubectomy Calender method Transportation for giving birth Responden house Motor cycle On foot Car Defecate area for Mothers Toilet River Yard others Defecate area for Kids Toilet River Yard others n 957 115 973 10 780 176 9 25 8 138 529 125 3 653 314 17 1 553 322 36 50 Percent 89,27 10,73 90,76 0,96 74,93 16,89 0,87 2,4 0,87 17,36 66,54 15,72 0,38 66,29 31,88 1,73 0,1 57,55 33,51 3,75 5,2

The number of miscarriage is still higher and 10% the labor attendance is help by traditional birth attendance. The education level, knowledge, and access of antenatal care of mother need to be increased.
Keyword: Maternal Health, Kids below than five, Health care, MDG
Community health center 3% TBA/Dukun Others 10% 0% Doctor 19% Midwives 71%

Hospital 19%

Respondent house 13%

Midwives house 65%

Labor room
Figure I. Labour Room of Pregnant Mothers

Helper of giving birth


Figure II. Helper of Giving Birth

Correspondency : Veli Sungono Faculty of Medicine, University of Pelita Harapan, Jl.Boulevard Jendral Sudirman, Lippo Village, Tangerang 15811 Telp:+6221 54210130 Ext 3411 Email: veli.sungono@uph.edu

References: Hanley, J.A., Hagen,C.A. and Shiferaw, T. Confidence intervals and sample size calculations for the sisterhood method of estimating maternal mortality. Studies in Family Planning 27(4) July/August 1996. Rutenberg, N. and Sullivan, J.M. Direct and indirect estimates of maternal mortality from the sisterhood method. IRD/Macro International Inc., Washington DC, 1991. Stanton, C., Abderrahim, N. and Hill, K. DHS maternal mortality indicators: An assessment of data quality and implications for data use. Demographic and Health Surveys Analytical Report No 4, Macro International Inc. Calverton, Maryland, USA, September 1997. WHO/UNICEF. The Sisterhood method to estimate maternal mortality. Report of a technical meeting, 5-6 December 1996.

666

667

668

669

670

671

672

673

Anda mungkin juga menyukai