KESEHATAN
Nama Kelompok :
1. Ade Ima Novikasari (012121016)
2. Lely Nuryaningsih (012121031)
3. Ni Putu Diah Tantriyani (012121012)
4. Nurhayati (012121033)
5. Oka Warpriana (012121021)
6. Umi Munawaroh (012121028)
7. Wiji Handayani (012121030)
KELOMPOK 1
PERATURAN SISTEM
KESEHATAN NASIONAL DI
INDONESIA
TUJUAN DAN
DEFINISI KEGUNAAN
Bedasarkan Peraturan Presiden no. 72 tahun 2012, Sistem Menurut Kholifah & Widangdo, 2016 dalam buku
Kesehatan Nasional yang selanjutnya disebut SKN adalah Keperawatan Keluarga dan Komunitas, berikut tujuan dan
pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua kegunaan SKN :
komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling
mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan Tujuan SKN
masyarakat yang setinggi-tingginya Adapun yang dimaksud SKN bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan
SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan kesehatan oleh semua komponen bangsa, baik Pemerintah,
oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat termasuk badan
saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat hukum, badan usaha, maupun lembaga swasta secara
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pengelolaan sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud
kesehatan adalah proses atau cara mencapai tujuan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi -tingginya.
pembangunan kesehatan melalui pengelolaan upaya
kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, Kegunaan SKN
pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, SKN merupakan dokumen kebijakan pengelolaan kesehatan
sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan, manajemen, sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan
informasi dan regulasi kesehatan, serta pemberdayaan kesehatan, dengan demikian SKN dapat digunakan sebagai
masyarakat (Kholifah & Widangdo, 2016). pedoman dalam pengelolaan kesehatan, baik oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat
termasuk badan hukum, badan usaha, maupun lembaga
swasta.
Cara Penyelenggaraan SKN HARUS
MEMPERHATIKAN : Kebijakan kesehatan masyarakat
03 untuk meningkatkan dan melindungi
kesehatan masyarakat
Cakupan pelayanan kesehatan
01 berkualitas, adil, dan merata
Kepemimpinan dan profesionalisme
04 dalam pembangunan kesehatan
Subsistem pemberdayaan
masyarakat
KEWAJIBAN SKN
Bentuk upaya Negara dalam memberikan pelayanan
kesehatan yaitu dengan meluncurkan Program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Program ini diselenggarakan
oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) yang
merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang
diamanatkan dalam Undang Undang No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Salah satu negara dengan harapan hidup tertinggi yakni Jepang (WHO, 2011).
Selain itu, jepang juga merupakan negara kedua yang mempunyai tingkat harapan
hidup tinggi perkelahiran dengan rata-rata umur adalah 82,8 tahun berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 2013. (Broida, Joel H &
Maeda, et all, 2014) Berdasarkan data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa Jepang
merupakan negara yang pastinya negara yang memiliki teknologi kesehatan yang
canggih dan lengkap sesuai dengan kebutuhan masyarakat. akan tetapi, Jepang
mengalami kendala akibat dari teknologi yang canggih itu, karena memicu
pengeluaran pembiayaan yang meningkat. (Widodo Teguh, 2014) Dari segi
pembiayaan kesehatan, pemerintah Jepang sudah memulai jaminan kesehatan sejak
tahun 1927, dan mencakup seluruh penduduk (whole coverage) di tahun 1961.
Untuk penduduk 12 lansia bahkan digratiskan atau tidak perlu membayar iuran
sejak tahun 1973. (Ikegami, Naoki, et all, 2004) Negara Jepang menyediakan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat mencangkup seluruh populasi melalui
sistem asuransi kesehatan.
UPAYA KESEHATAN DI LUAR NEGERI
B. Amerika Serikat
Di Indonesia, mayoritas rumah sakit (±65%) belum memberikan pengodean diagnosis yang
tepat, jelas, dan lengkap berdasarkan ICD-10. Hasil temuan penelitian terdahulu menyatakan
bahwa dari 44 berkas rekam medis, diperoleh nilai OR sebesar 9 yang artinya pengodean
diagnosis obstetric yang tepat memiliki peluang untuk klaim BPJS yang lancar sebesar 9 kali
apabila dibandingkan dengan pengodean diagnosis obstetric yang tidak tepat. Pengembalian
berkas klaim pembayaran rawat inap yang berdasarkan kesesuaian dengan ketentuan
administrasi pelayanan yaitu pengodean diagnosis penyakit bukan pengodean unbundling
merupakan satu-satunya ketentuan administrasi pelayanan yang tidak sesuai. Jumlah tidak
sesuai pada koding penyakit adalah 8 berkas (8%), sejalan dengan penelitian Sebelumnya
dimana hasil penelitian masih menemukan adanya ketidaktepatan hasil pengodean diagnosis
penyakit dan tindakan medis yang dihasilkan petugas penginput kode rawat inap. Presentase
ketepatan koding hanya sebesar 74,67% dan hasil penelitian lain menunjukkan penentuan kode
diagnosis penyakit yang tepat yaitu sebanyak 17 berkas rekam medis dengan penyakit
gastroenteritis acute dan 63 berkas rekam medis dengan penentuan kode diagnosis penyakit
gastroenteritis acute yang tidak tepat.
Kelengkapan berkas pada pasien rawat inap meliputi kelengkapan informasi rekam medis yang
harus dilengkapi serta ditandatangani oleh dokter penanggung jawab pelayanan kesehatan yang
tidak sesuai seringkali disebabkan karena ketidaksesuaian antar lembar klaim dan resume
medis seperti kode diagnosis dan tindakan tidak sesuai dengan ICD-10 dan 9CM. Rumah Sakit
X merupakan Rumah Sakit pemerintah tipe C yang sudah beroperasi sejak 29 Maret 2012.
Sebagai Rumah Sakit Umum tingkat Kota, RS X memiliki cakupan pasien yang banyak
khususnya pasien BPJS. Dengan cakupan yang banyak dan dikeluarkannya kebijakan
pengalihan jaminan eKTP Kota X ke BPJS Kesehatan, maka potensi kesalahan atau penolakan
klaim semakin besar.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RS X menunjukkan bahwa terdapat klaim BPJS pada
pasien rawat inap dengan total biaya Rp 278.197.200, yang tidak disetujui atau dipending dari
total pengajuan pada bulan November 2018 – Desember 2018 dikarenakan pelayanan
kesehatan yang tidak sesuai, berkas tidak lengkap, dan berkas harus diperbaiki. Hal ini
berdampak pada cashflow biaya operasional RS X yang terhambat. Oleh karena itu, RS X
sebagai FKTL dipilih penulis sebagai tempat penelitian untuk menganalisa persetujuan klaim
BPJS kesehatan pada pasien rawat inap berdasarkan alur pelaksanaan klaim di rumah sakit. Hal
ini menunjukan bahwa ada hambatan dalam proses klaim oleh pihak BPJS sehingga dapat
menghambat pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan belum adanya publikasi yang dilakukan
oleh BPJS Kesehatan mengenai persentase persetujuan klaim BPJS secara nasional.
FAKTOR KESENJANGAN
Terhambatnya proses klaim dengan BPJS Kesehatan disebabkan oleh faktor
human eror seperti kecerobohan mengenai hasil tindakan, tanda tangan, dan
sebagainya. Ketidaklengkapan hal tersebut ditandai dengan :
Pengajuan klaim yang dilakukan di RS X selalu tetap waktu diajukan pada tanggal 10 bulan
selanjutnya setelah dilakukan pelayanan. Berdasarkan Permenkes No. 28 Tahun 2014,
pengajuan klaim oleh fasilitas kesehatan dilakukan setiap bulan dengan berkala dan
pengajuan paling lambat adalah tanggal 10 pada bulan berikutnya. Berdasarkan hal itu,
berkas klaim yang diajukan RS X tepat pada waktunya. Dalam Permenkes No. 28 Tahun
2014 juga disebutkan bahwa waktu pengajuan klaim oleh fasilitas kesehatan paling lambat
adalah dua tahun setelah pelayanan diberikan kepada pasien. Hal ini menunjukkan bahwa
proses pengajuan klaim tidak harus dilakukan tepat setelah penanganan kepada pasien
rawat inap selesai dilakukan. Rumah sakit dapat mengajukan klaim BPJS beberapa saat
hingga paling lama adalah dua tahun setelah penanganan pasien dilakukan.
KESIMPULAN
Subsistem upaya kesehatan adalah pengelolaan upaya kesehatan yang terpadu,
berkesinambungan, paripurna, dan berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan,
pengobatan, dan pemulihan, yang diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Subsistem upaya kesehatan mempunyai
beberapa unsur seperti upaya kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, sumber daya upaya
kesehatan dan pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan. Sebagai contoh pelaksanaan
upaya kesehatan di Indonesia, Pemerintah meluncurkan sebuah program yaitu BPJS
Kesehatan.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial menjelaskan fungsi dan tugas BPJS Kesehatan sebagai berikut: 1) Melakukan
dan/atau menerima pendaftaran peserta. 2) Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta
dan pemberi kerja. 3) Menerima bantuan iuran dari Pemerintah. 4) Mengelola Dana Jaminan
Sosial untuk kepentingan peserta. 5) Mengumpulkan dan mengelola data peserta program
jaminan sosial. 6) Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai
dengan ketentuan program jaminan sosial. 7) Memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan program jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat.
KESIMPULAN
Melihat banyaknya tugas BPJS kesehatan, kelompok mendapatkan permasalahan
yang sering terjadi dalam pelayanan BPJS kesehatan di rumah sakit salah
satunya adalah Analis Persetujuan Klaim BPJS Kesehatan pada Pasien Rawat
Inap yang terjadi pada sebuah rumah sakit X. Setelah dilakukan penelitian,
didapatkan beberapa faktor penyebab dari faktor klaim tersebut seperti
ketidaklengkapan resume rawat jalan karena kurangnya tanda tangan DPJP, hasil
berkas pemeriksaan penunjang yang tidak lengkap, serta ketidaksesuaian kode
penyakit saat diinput dengan berkas aslinya (salah pengkodean diagnosa utama).
Bagian II
Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 18.306 pulau besar dan kecil
(LAPAN,2002). Pemerintah berusaha membangun negara tanpa memandang kewilayahan
maupun pulau-pulau, besar maupun kecil.
Berdasarkan UUD 1945(Amandemen), pasal 28H ayat (1), ditegaskan “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34
ayat(3) “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas umum yang baik”. Berdasarkan halite lahirlah peraturan perundang-undangan
seperti UU No. 29/2004 tentang Praktek kedokteran, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan,
UU No. 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38/2014 tentang Keperawatan dan
berbagai peraturan dan keputusan baik Presiden maupun Menkes.
Kabinet yang dipimpin Presiden dan Wakil Presiden telah membuat terobosan bari dengan
kebijakan “Nawa Cita”. Cita ke-5 dinyatakan “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program “Indonesia Pintar”.
Program ini menempatkan tenaga kesehatan minimal vokasional untuk memberi pelayanan
kesehatan didaerah-daerah dengan status 5T(terluar, terdalam, terpencil, terdepan dan
tertinggal). Tujuannya agar tidak ada lafi masyarakat yang tidak memperoleh pelayanan
kesehatan minimal.
Namun, sampai saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang menggembirakan.
Hal ini disebabkan ketidakadaannya sarana/tenaga kesehatan yang dapat memberikan
pertolongan yang memadai, ketrjangkauan sarana pelayanan, kemiskinan dan kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan. Tidak sedikit tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan keseahatan di daerah khususnya 5T harus menerima hukum pidana.
Pada bulan Oktober 2019 di Lampung Utara, Lampung, dikejutkan dengan demo perawat
besar-besaran untuk mendukung perawat Jumraini yang sedang ditahan di Rumah Tahanan
Kejaksaan Negri, Kota Bumi, Lampung Utara. Dia diduga melakukan mal praktik karena
dituduh menjadi penyebab hilangnya nyawa Alex Sandra 25 th.
Kronologi Jumraini diduga malpraktik
Menurut DPW-PPNI Provinsi Lampung, menjelaskan kejadian dimulai 18 Desember 2018,
ketika itu Alex Sandra pergi ke ruma Jumraini, A.Md, Kep, seorang perawat di RSUD
Ryacudu Kota Bumi( masa kerja 11 th), untuk mencari pengobatan. Namun dia pulang
kembali sebelum menerima pelayanan. Sedianya Alex meminta Jumraini untuk mengibati
kakinya yang membengkan dan merah karena tertuxuk paku di kandang ayam beberapa
waktu lalu. Alex dan Jumraini sebenarnya bertetangga di Desa Peraduan Waras RT005 RW
001, kecamatan Bumi Agung, kabupaten Lampung Utara.
Rabu tgl 19 Desember 2018 Alex dan Arena mendatangi rumah Jumraini. Arena memohon
kepadanya agar dapat mengobati luka pada kaki kakaknya yang tidak segera sembuh meski
sudah berobat ke Puskesmas. Arena sempat meunjukan kepada Jumraini obat-obatan yang
di terima dari Puskesmas, terdiri dari Amoxicillin, Paracetamol, Vitamin C dan CTM. Jumraini
begitu iba saat melihat kondisi Alex yang terlihat pucat dan tidak berhenti merintih. Jumraini
akhirnya memeriksa luka Alex. Ternyata sudah terinfeksi parah, lukanya membengkak,
berwarna biru serta mengeluarkan darah dan nanah. Jumraini juga mengecek suhu tubuh
Alex mencapai 39,5o C.
Jumraini sempat bertanya mengapa luka itu sampai parah. Arena mengatakan kakaknya
sering menusuk-nusuk lukanya dengan jarum karena setelah ditusuk kondisinya jauh lebih
enak. Jumraini lantas menyarankan Alex berobat ke Rumah Sakit atau dokter. Arena
memohon untk dilakukan pengobatan dan Alex rebahan di teras rumah Jumraini. Akhirnya
Jumraini melakukan perawatan luka dengan membersihkan dengan air hangat dan menekan
luka untuk mengeluarjan nanah dan darah dengan menggunakan pinset anatomis yang
sudah dilindungi kasa steril. Perawatan luka dilakukan sekitar 30 menit. Alex meminta obat
karena susah tidur dan badannya panas. Jumraini memberikan Paracetamol, Antasida, Asam
Mefenamat, dan Allergen (CTM). Jumraini menutup luka Alex dengan kain kasa karena
sedang musim hujan. Jumraini juga tetap menyarankan Alex ke RS dan ronsent. Sambil
menyerahkan uang Rp50 ribu ke Jumraini, lagi-lagi Arena mengaku tak punya uang untuk
berobat ke RS atau dokter.
Tanggal 21 Desember 2019, Arena dating ke rumah Jumraini sekitar pukul 10.00 WIB
memberitahukan bahwa Alex masuk RSUD Riyacudu Kotabumi, karena lukanya makin
parah. Namun Jumraini tidak ada di rumah. Jumraini sedang bertugas di RSUD Kotabumi.
Sekitar pukul 16.00 WIB Alex akhirnya meninggal dunia di RSUD Riyacudu Kotabumi.
Sepeninggal Alex, keluarga dengan bantuan Samsi Eka Putra (kuasa hukum kurban),
melaporkan Jumraini ke Polres Lampung Utara.
Setelah kepolisian melakukan pemeriksaan, bahwa kasus tersebut cukup bukti untuk
ditindaklanjuti, di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan
Negeri Lampung Utara. Kemudian disidangkan di PN Lampung Utara. Sebelum disidangkan
di PN, kuasa hukum Jumraini melakukan perlawanan dengan mengajukan pra peradilan.
Pengadilan Negeri Lampung Utara menggelar siding pra peradilan dengan tersangka
Jumraini, dilaksanakan Senin (15/7/2019), dipimpin hakim tunggal Faisal Zuhry, dengan
agenda mendengarkan keterangan saksi dari kedua belah pihak, pemohon dan termohon.
Setelah dianggap cukup bukti, akhirnya hakim memutuskan menolak permohonan pemohon,
dengan demikian proses hukum berlanjut di PN Lampung Utara, untuk persidangan
selanjutnya.
Sidang perdana, Selasa 8 Oktober 2019 sekitar pukul 13.20 WIB, dipimpin oleh hakim ketua
Eva M.T Pasaribu, dengan anggota Rika Semula dan Suhadi Putra Wijaya. Sebagai Jaksa
penuntut umum Dian Fatmawati dan Budiawan. Jumraini didakwa karena lalai melakukan
pemeriksaan kesehatan terhadap Alex yang menyebabkan meninggal dunia.
Jaksa penuntut mendakwa bahwa Jumraini melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
kematia. “Perbuatan terdakwa JUMRAINI A.Md.Kep Binti FUAD AGUS SOFRAN
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 84 ayat (2) dan pasal 86 ayat 1 UU RI
No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang ancaman hukumannya paling lama lima
tahun penjara. Selain itu juga didakwa melanggar Pasal 46 ayat (1).
Kasus tersebut menarik untuk dibahas: Siapakah Jumraini dalam kontek subyek hukum
kesehatan? Apakah Jumraini memiliki kewenangan dalam melakukan praktik mandiri?
Apakah tindakan Jumraini memberikan pertolongan pada pasien dapat dibenarkan oleh
hukum? Jika Jumraini dianggap malpraktik, hukum mana yang berlaku baginya?
.
Model Mediasi
Jika mengacu UU tersebut diatas, sebelum diproses dikepolisian, maka seharusnya
diselesaikan dahulu dengan musyawarah. Dalam hal ini tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya. Kelalaian tersebut harus diselesaikan
melalui mediasi(pasal 29 UU No. 36/2009) yang didukung oleh pasal 78 UUNo. 38/201.
Sebagai tindak lanjut pasien yang merasa dirugika dapat meminta ganti rugi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.