Anda di halaman 1dari 12

TUGAS POLITIK KESEHATAN

KEBIJAKAN PEMERATAAN BPJS PBI


BAGI MASYARAKAT KURANG MAMPU

DOSEN PENGAMPU
DR. HARTANTO, M.Med.Sc

ANGGOTA KELOMPOK :

NAMA MAHASISWA NIM

ADRIAN HARTANTO 21.C2.0028


BUDI PRASETO NUGROHO 21.C2.0027
M DAVIS RADITYA P,SH 21.C2.0050
MELISA DJAYANTY 21.C2.0033
JEMY OKTAVIAN WOLOLY 21.C2.0034
EDGAR IRVIN RARANTA 21.C2.0019
FENNY SUSANTI 21.C2.0011
NENENG FITRIA 21.C2.0005

ANGKATAN 35
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kesehatan merupakan kebutuhan yang penting bagi masyarakat. Meningkatnya status
sosial masyarakat pada saat ini, mempengaruhi tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan
penyedia jasa kesehatan semakin meningkat pula. Hal ini menuntut para penyedia jasa
pelayanan Kesehatan selalu meningkatkan kualitas pelayanannya untuk lebih baik lagi.
(Anonim,2004:26)
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang
penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana telah diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung jawab
atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Salah satu permasalahan kependudukan terbesar yang dihadapi pemerintah hingga saat
ini adalah kesehatan. Masalah kesehatan masyarakat terutama di negara-negara berkembang
seperti Indonesia didasarkan pada dua aspek utama yaitu aspek fisik seperti sarana kesehatan
dan pengobatan penyakit, sedangkan yang kedua adalah aspek non fisik yang menyangkut
masalah kesehatan. Pelayanan kesehatan yang dimaksud adalah pelayanan yang mudah,
murah, cepat dan dengan prosedur yang tidak berbelit-belit. Masyarakat mengharapkan agar
kiranya pelayanan kesehatan yang diberikan lebih baik dan tidak memandang dari sudut
pandang baik status sosial ataupun kelas-kelas tertentu. Amanat Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 45) Amandemen ke IV(empat) merupakan tanggung jawab negara dalam memenuhi
hak dasar bagi warga negara serta menerima program jaminan kesehatan terhadap warga
miskin dan tidak mampu dari pemerintah sesuai dengan bunyi Pasal 34 ayat (2) menyatakan
bahwa :
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa penyelenggara jaminan nasional dalam memenuhi
bentuk perlindungan sosial terhadap masyarakat. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dibentuk dengan harapan dapat menjadi
landasan penyelenggaraan jaminan sosial sesuai prinsip-prinsip penyelenggaraan jaminan
sosial yang universal, dengan tetap mempertimbangkan kekhususan keadaan di Indonesia.
Artinya, SJSN dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kelayakan program dan tingkat
sosial/ekonomi masyarakat (Naskah Akademik UU SJSN, 2003). UU SJSN adalah alasan
mendasar negara secara institusional wajib menjaga dan melindungi warga negaranya yang
lemah dan kurang mampu. Negara harus mampu menjamin terwujudnya keadilan distributif
dalam keberlangsungan pelaksanaan sistem jaminan sosial atau Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN).
Salah satu program JKN di Indonesia untuk menghadirkan prinsip kesejahteraan social
dan perwujudan jaminan social adalah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal
(BPJS). Menurut UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), selanjutnya disebut UU BPJS, BPJS merupakan badan hukum dengan tujuan yaitu
mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan untuk terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/ atau anggota keluarganya.
Salah satu jenis BPJS adalah BPJS Kesehatan yang dibentuk sebagai perlindungan
social untuk menjamin Kesehatan masyarakat terjamin dan terpenuhinya kebutruhan dasar
hidup yang lebih baik dan layak (Vyandri, 2016). Dasar asas yang digunakan oleh BPJS
dalam menyelenggarakan system jaminan Kesehatan nasional merupakan system yang
berpedoman pada asas kemanusian, dengan manfaat keadaan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (BPJS Kesehatan, 2018).
Permasalahan saat ini, seperti dikutip dalam Cahyandari, et al (2016) mengungkapkan
bahwa dalam pengimplementasian terlihat BPJS Kesehatan belum siap menjalankan tugas
dan wewenangnya sehingga menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan bagi semua
pihak terkait dan terdapat pemaksaan oleh negara untuk seluruh rakyat sebagai peserta BPJS
dalam implementasi BPJS Kesehatan.
Pemerintah idealnya berupaya memberikan keadilan politik (political justice) yang
dapat memenuhi kebutuhan Kesehatan sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat.
Menurut Salim dan Dartanto (2013) mengungkapkan program PBI bagi masyarakat kurang
mampu perlu keterlibatan pengawasan ketan oleh aktor kebijakan karena dinilai kurang
sejalan dengan prinsip gotong royong (iuran). Hal ini karena masih ada celah bagi yang
mampu turut serta dalam kepesertaan program PBI.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana Persoalan yang ditemukan dalam penyelenggaraan kepesertaan Jaminan
Kesehatan Nasional saat ini?
b. Bagaimana Kriteria Kepesertaan BPJS PBI Jaminan Kesehatan?
c. Bagaimana Pemaknaan PBI APBN dan PBI APBD?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Menjelaskan persoalan yang ditemukan dalam penyelenggaraan kepesertaan
Jaminan Kesehatan Nasional saat ini
b. Menjelaskan Kriteria Kepesertaan BPJS PBI Jaminan Kesehatan
c. Menjelaskan Pemaknaan PBI APBN dan PBI APBD
2.1.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Penyelenggaraan Kepesertaan Program JKN


Sepanjang implementasi program JKN, DJSN telah mencatat bahwa program ini telah
berhasil bekerja sama dengan lebih dari 25.000 fasilitas kesehatan dengan jumlah kunjungan
peserta lebih dari 88 juta kunjungan di FKTP dengan rasio rujukan ke FKTP lebih dari 7%
(DJSN, 2020). ersoalan dalam aspek pelayanan era JKN dinilai masih berfokus pada kendali
biaya (PKMK FK-KMK UGM, 2020). Hal ini dapat dibenarkan, karena diskusi akademis
mengungkapkan bahwa pembayaran dan tarif layanan belum mampu memberikan
perlindungan yang adil dan memadai kepada para peserta sesuai manfaat program yang
menjadi hak peserta, serta menurunnya kualitas layanan (FKTP, FKRTL, dan obat, serta
output Layanan) dalam penyelenggaraan JKN. Menurut Perpres No.82/2018 manfaat JKN
bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup yaitu pelayanan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif, dan bahan medis termasuk pelayanan obat, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai. Manfaat medis tidak dibedakan berdasarkan besaran iuran. Sedangkan,
manfaat non medis diberikan berdasarkan besaran iuran peserta. Pelayanan kesehatan bagi
peserta dilaksanakan secara berjenjang sesuai kebutuhan medis dan kompetensi fasilitas
kesehatan, kecuali dalam keadaan kegawatdaruratan.
Persoalan dalam aspek pelayanan yakni, akses paket manfaat JKN belum merata dinikmati
penduduk di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan belum dijalankannya kebijakan
kompensasi dalam Pasal 23 ayat 3 UU SJSN, dan pelaksanaan rujukan rumah sakit yang belum
optimal. Kebijakan kompensasi adalah inisiasi pembentuk UU SJSN untuk mewujudkan pemerataan
(equity) pelayanan kesehatan dalam program JKN. Kebijakan ini tentu dilatarbelakangi masih
besarnya gap wilayah yang memiliki fasilitas memenuhi standar, dengan wilayah yang sedang
mengembangkan jumlah dan kompetensi fasilitas kesehatan. Selain itu, kendala terbesar untuk
pelaksanaan sistem rujukan dalam program JKN di Indonesia adalah penyebaran fasilitas kesehatan
yang sangat tidak merata. (PKMK FK-KMK UGM, 2019)
Pelayanan tingkat pertama bagi peserta dilaksanakan di FKTP tempat peserta terdaftar
(kecuali keadaan kegawatdaruratan, dan peserta berada di wilayah FKTP tempat terdaftar).
Dalam hal peserta memerlukan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan, FKTP wajib merujuk
ke FKRTL sesuai dengan kasus dan kompetensi fasilitas kesehatan serta sistem rujukan.
FKRTL wajib melakukan rujuk balik ke FKTP dimana peserta terdaftar (kecuali kasus
tertentu). Ketentuan ini akan diatur dalam Permenkes.
Paket manfaat layanan kesehatan yang dijamin oleh program JKN dapat dikatakan
sudah sangat memenuhi kebutuhan dasar pelayanan kesehatan. Dimana jumlah fasilitas
kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan cukup banyak. Namun, penelitian ini
menemukan bahwa belum ada pemenuhan kebijakan kompensasi yang diamanatkan dalam
Pasal 23 ayat (3) UU SJSN. Kebijakan kompensasi menjadi elemen penting dalam meninjau
bahwa pelayanan program JKN telah dilaksanakan dengan asas keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat Indonesia.

2.1.1. Situasi Kepesertaan Wajib dalam Program JKN


Secara Das Sollen, pengaturan mengenai kepesertaan dan iuran sangat jelas diatur
dalam UU SJSN, lengkap dengan pengaturan pelaksanaannya. Pengaturan dalam kebijakan
tentang kepesertaan masyarakat miskin atau tidak mampu (PBI; Penerima Bantuan Iuran),
tidak ada yang bertentangan dalam mengatur kewenangan pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan masyarakat PBI. Permasalahan justru banyak terjadi dalam aspek implementasi
kebijakan. Salah satu diantaranya yaitu kesulitan Dinas Sosial Kabupaten/Kota dalam
melakukan verifikasi dan validasi karena tidak diketahui mekanisme pembagian secara pasti
peserta PBI mana yang ditanggung melalui APBN dan APBD.
Selain itu, UU SJSN mengatur sistem jaminan sosial secara nasional, dan sistem ini
menganut dua prinsip yang sangat reformis bagi sistem jaminan dan pelayanan sosial yang
pernah ada di Indonesia. Prinsip tersebut yakni prinsip kepersertaan bersifat wajib dan
asuransi sosial. Kepesertaan wajib merupakan solusi dari ketidakmampuan penduduk melihat
risiko masa depan dan ketidak-disiplinan penduduk menabung untuk masa depan. Pola
asuransi sosial ini merupakan tulang punggung sistem jaminan sosial. Pendekatan ini
merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal penduduk dengan
mengikutsertakannya secara aktif dengan membayar iuran. Pada prinsipnya setiap penduduk
wajib menjadi peserta, akan tetapi upaya penegakan hukum dan kebijakan atas kepesertaan
tsb belum diselenggarakan secara optimal, atau cenderung setengah hati. Hingga akhir 2019,
capaian kepesertaan JKN di level nasional baru mencapai 83,6%, jauh lebih rendah dari
target yang ditetapkan di dalam dokumen Peta Jalan JKN 2012-2019 (DJSN, 2012).
Sedangkan, 39% atau 31 juta peserta mandiri (PBPU; Peserta Bukan Penerima Upah)
menunggak bayar. Tunggakan tersebut disinyalir disebabkan oleh law enforcement yang
lemah baik pusat maupun daerah, pendataan yang masih buruk, dan moral hazard dari
masyarakat. PBPU didefinisikan sebagai peserta mampu, namun pada realitasnya masih
banyak penduduk miskin yang mendaftar sebagai PBPU karena tidak masuk dalam skema
yang dibantu pemerintah PBI. Begitu sebaliknya, penduduk mampu banyak terdaftar menjadi
peserta PBI.
2.1.2. Kondisi Pelayanan Kesehatan era JKN
Manfaat jaminan kesehatan yang berhak diperoleh oleh peserta JKN bersifat pelayanan
kesehatan perorangan mencakup promotive, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk
pelayanan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis.
Pelayanan kesehatan tersebut dapat diakses oleh peserta di fasilitas kesehatan tingkat pertama
(Klinik/Puskesmas/Dokter Praktek Mandiri), dan tingkat lanjutan (rumah sakit). Bahkan,
pelayanan ambulans darat atau air. Program JKN memang harus dipahami secara
komprehensif sebagai upaya perbaikan sistem kesehatan dan peningkatan kualitas layanan
kesehatan secara menyeluruh. Namun, persoalan yang kronis yang juga belum mampu
terselesaikan adalah ketimpangan akses layanan kesehatan antara daerah fiskal tinggi dengan
daerah fiskal rendah dan letak geografis sulit. Sebagai catatan, program JKN diawali dengan
kondisi fasilitas layanan kesehatan yang masih belum merata antara wilayah Barat dan Timur
Indonesia.. Tanpa kebijakan khusus, penduduk miskin atau tidak mampu yang berada di
wilayah dengan letak geografis dan fiskal rendah akan sulit mengoptimalkan kartu JKN-KIS
untuk akses layanan, karena masih akan mengalami banyak hambatan transportasi dan
ketersediaan sarana kesehatan memadai (PKMK FK-KMK UGM, 2020).

2.2. Kriteria kepesertaan BPJS PBI Jaminan Kesehatan


Berdasarkan Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah Perpres perubahan
ke-3 dari Perpres No.12/2013, menjelaskan bahwa dalam kepesertaan program JKN terdiri
dari dua kelompok, yakni peserta PBI (fakir miskin dan orang tidak mampu dengan
ditetapkan Kementerian Sosial), dan peserta Non-PBI (PPU, PBPU, dan BP).
Salah satu program yang didapatkan atau diterima oleh keluaga miskin yaitu program
Kartu Indonesia Sehat (KIS) Penerima Bantuan Iuran (PBI), dengan bertujuan memberikan
jaminan kesehatan kepada masyarakat atau keluarga miskin di kota maupun di desa untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Penggunanya KIS PBI sendiri dapat
berfungsi di setiap fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjut. KIS PBI merupakan
program yang bertujuan untuk melakukan perluasan dari program kesehatan yang
sebelumnya yaitu Kartu BPJS kesehatan. Sebagai program fasilitas kesehatan dari Negara,
ternyata KIS PBI dan Kartu BPJS Kesehatan memiliki perbedaan diantaranya adalah jika
Kartu BPJS merupakan sebuah program yang anggotanya harus mendaftar dan membayar
iuran, sedangkan KIS PBI anggotanya diambil dari keluarga miskin atau masyarakat kurang
mampu dan pemberian kartunya tersebut ditetapkan oleh pemerintah serta pembayaranya
ditanggung oleh pemerintah.
Program KIS adalah nama untuk Program JKN gratis bagi Penduduk Indonesia,
khususnya fakir miskin dan tidak mampu serta iurannya dibayarkan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah. Jadi, KIS adalah suatu program, sedang BPJS Kesehatan adalah badan
yang ditugaskan untuk menyelenggarakan program tersebut. Kebijakan pemerintah
menanggung biaya kesehatan bagi warga miskin dan tidak mampu sebagai representasi atas
kesehatan gratis. Artinya bagi fakir miskin dan keluarga tidak mampu yang tercatat dalam
data Penerima Bantuan Iuran (PBI) mendapatkan pelayanan kesehatan gratis, baik di
lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) maupun di Puskesmas setempat. Hal ini di
atur dalam Paraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran
(PBI) Pasal 1 Angka (4), menyatakan bahwa :
“Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan atau selanjutnya disebut PBI Jaminan
Kesehatan adalah Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu sebagai Peserta Program Jaminan
Kesehatan”.
Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah
Tanggungjawab pemerintah yang termuat dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (1a) Peraturan
Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, menyatakan bahwa :
Ayat (1) “Iuran Jaminan Kesehatan bagi PBI Jaminan Kesehatan di bayar oleh Pemerintah”.
Ayat (1a)“Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk yang didaftar oleh pemerintah daerah
dibayar oleh Pemerintah Daerah”.

2.3. Pemaknaan PBI APBN dan PBI APBD


Menurut Pasal 14 UU SJSN menjelaskan bahwa Pemerintah secara bertahap
mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BPJS. Penerima bantuan iuran
adalah fakir miskin dan orang tidak mampu. Fakir miskin dan orang tidak mampu yang
dimaksud dalam UU SJSN merujuk pada Pasal 34 UUD 1945, yakni: fakir miskin dan anak-
anak terlantar dipelihara oleh negara dan negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan.
Secara teknis, PP No.76/2015 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan fakir miskin
adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau
mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan atau keluarganya. Sedangkan orang
tidak mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang
hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak, namun tidak mampu membayar iuran
bagi dirinya dan keluarganya.
Menurut Taufiqul , dkk(2017) Jenis kepesertaan BPJS Kesehatan sebenarnya di bagi
menjadi beberapa kategori kepesertaan yaitu Peserta BPJS PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan
Non PBI (Penerima Bantuan Iuran), Peserta BPJS PBI disebut sebagai Peserta Penerima
Bantuan Iuran dari pemerintah yang iuran bulanannya dibayarkan oleh pemerintah,
sedangkan non-PBI adalah iuran di bayar masing-masing perbulannya. Peserta BPJS PBI di
bagi lagi menjadi 2 golongan yaitu Peserta BPJS PBI APBD (dulu pemegang kartu
Jamkesda) yang iuran bulanannya menjadi tanggungan pemerintah daerah dan Peserta BPJS
PBI APBN (dulu pemegang kartu Jamkesmas) yang iuran bulanannya menjadi tanggungan
pemerintah pusat.
Namun berdasarkan laporan reviu kebijakan program JKN (PKMK FK-KMK UGM,
2019-2020), makna PBI yang diamanatkan bagi fakir miskin dan tidak mampu, memiliki
makna berbeda di tingkat daerah. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa ada pemaknaan
berbeda PBI yang diatur dalam UU SJSN, dengan Peraturan yang dibentuk oleh pemerintah
daerah dalam mengoptimalkan program JKN. Namun hal ini sangat mudah diselesaikan,
karena menurut kedudukan UU dalam hierarki peraturan perundang-undang lebih tinggi dari
Perda, maka jika ada perbedaan norma atau pengaturan, UU yang harus dipilih menjadi
rujukan.
Selain itu, situasi perbedaan makna kepesertaan PBI yang cenderung diacuhkan,
menggambarkan bahwa dalam asuransi kesehatan sukarela (JKN), BPJS Kesehatan dan
DJSN belum melakukan proses underwriting, yakni melakukan berbagai kajian terhadap
permohonan pendaftar baru sebagai peserta yang diajukan calon peserta sebelum keputusan
akhir terhadap kasus permohonan tersebut ditetapkan (Trisnantoro, 2019). Kesuksesan skema
asuransi kesehatan memang tidak terlepas dari strategi politik kepala daerah dalam
menguasai persepsi publik, memanfaatkan jejaring, dan mengekploitasi isu yang didukung
masyarakat dan parlemen daerah. Isu kesehatan yang merupakan sebuah inovasi yang baik,
pada realitanya sering tidak dirancang secara matang, dan tidak seutuhnya bertujuan untuk
memberikan perlidungan finansial dan akses kesehatan kepada masyarakat seluas-luasnya
(Fuady, 2019).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan meru-pakan jaminan kesehatan bagi
seluruh masyarakat Indonesia termasuk warga miskin. Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) oleh BPJS ter-hadap warga miskin dimasukkan ke dalam kategori kepesertaan
Penerima Bantuan Iuaran (PBI). Maksudnya adalah peserta PBI di dalam ketentuan BPJS dan
peraturan yang berlaku diberikan bantuan pembiayaan oleh pem-rintah dan pemanfaatan JKN
yang diberikan adalah pemanfaatan fasilitas kesehatan kelas III.
Permasalahan kependudukan terbesar yang dihadapi pemerintah hingga saat ini adalah
kesehatan. Masalah kesehatan masyarakat Indonesia didasarkan pada dua aspek utama yaitu
aspek fisik seperti sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, sedangkan yang kedua adalah
aspek non fisik yang menyangkut masalah kesehatan. PBI yang diamanatkan bagi fakir
miskin dan tidak mampu, memiliki makna berbeda di tingkat daerah. Berdasarkan hal
tersebut diketahui bahwa ada pemaknaan berbeda PBI yang diatur dalam UU SJSN, dengan
Peraturan yang dibentuk oleh pemerintah daerah dalam mengoptimalkan program JKN. Pada
aspek kepesertaan mengalami banyak persoalan dikarenakan Indonesia belum memiliki basis
data yang tertata. Selain itu, terjadi inkonsistensi makna segmen peserta PBI antara UU dan
Perda. Hal ini mengakibatkan subsidi tidak tepat sasaran, pengumpulan dana tidak optimal,
dan berpotensi menjadi celah moral hazard peserta dan aktor politik tak bertanggung jawab.
Program JKN terbukti mampu meningkatkan akses penduduk terhadap pelayanan
kesehatan. Sebuah prestasi baik yang patut diapresiasi. Namun, pelayanan program JKN ini
dinilai belum mewujudkan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Political
Justice seharusnya menjadi alat perlindungan negara untuk memberikan keadilan dan
kemakmuran bagi rakyatnya. Faktanya, Implementasi BPJS PBI belum memadai sebagai
bentuk Political Justice. Hal ini karena ketidakadilan masih tersebar tidak merata di ruang
nasional.

3.2. Saran
Untuk memperbaiki permasalahan pada data kepesertaan program JKN, yang penting
untuk ditindaklanjuti oleh pemerintah adalah :
a) Menertiban perda-perda yang memuat inkonsistensi makna PBI menurut UU SJSN;
b) Memperbaiki sistem pendataan yang seragam, komprehensif dan terintegrasi antara
Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Pemerintah Daerah
(Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan Bappeda);
c) Memastikan BPJS Kesehatan untuk transparan mengenai data-data penyelenggaraan
JKN kepada pemerintah daerah dan akademisi. Hal ini guna meningkatkan partisipasi
aktif berbagai pihak dalam memonitoring dan mengevaluasi program JKN;
d) Efektivitas penerapan JKN melalui BPJS kesehatan harus dilakukan perbaikan terus
menerus terutama sosialisasi yang terus menerus kepada masyarakat terutama warga
miskin agar mereka merasakan kepedulian pemerintah kepada mereka, kemudian
penyelenggara di tempat fasilitas kesehatan harus menyadari peran dan tanggungjawab
dengan baik sehingga pelayanan kesehatan yang dilakukan berjalan dengan baik dan
lancar dan selanjutnya kenyamanan pelayanan juga akan dirasakan oleh warga miskin
terutama di Puskesmas-puskesmas dan RS pemerintah.
e)
DAFTAR PUSTAKA

Dewan Jaminan Sosial Nasional. 2012. Peta Jalan Menuju Jaminan Kesehatan Nasional
2012-2019.http://djsn.go.id/storage/app/media/Peta%20Jalan%20Jaminan
%20Kesehatan/ROADMAP_JKN_EdisiRingkas_CDVersion.pdf
Fuady, Ahmad. 2019. Arsitektur Jaminan Kesehatan Indoneisa; Capaian, Kritik dan
Tantangan Masa Depan. Jakarta. Sagung Seto
Taufiqul , Ricky, Siti , Putri, Humairah, Lestari, Irma, Novi, Regina, Elman Boy (2017),
“Gambaran Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Pada Peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) Dan Non-Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI) Di
Puskesmas Medan Denai”. Jurnal Ibnu Sina Biomedika, Vol 1, No 2 (2017). Hlm. 155
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
PKMK FK-KMK UGM. (2019). Working Paper Evaluasi 8 Sasaran Peta Jalan JKN dengan
Pendekatan Realist Evaluation,
https://drive.google.com/file/d/1RlCGK8MQFMIsZb9PALd9jL7HxiXENGmN/view
PKMK FK-KMK UGM. (2020). Laporan Hasil Penelitian Evaluasi JKN di 13 Provinsi.
Yogyakarta.
Trisnantoro, L. 2019. Kebijakan Pembiayaan dan Fragmentasi Sistem Kesehatan.
Yogyakarta. UGM Press
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Anda mungkin juga menyukai