Anda di halaman 1dari 21

JUDUL

PENOLAKAN PASIEN DIRUMAH SAKIT

DI SUSUN OLEH :
NAMA : EMANUEL JIMMY PATANDIANAN
NIM : 16110951
EKSEKUTIF PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
TAHUN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah suatu badan usaha yang menyediakan dan
memberikan jasa pelayanan medis jangka pendek dan jangka panjang yang
terdiri atas tindakan observasi, diagnostik, terapeutik dan rehabilitative untuk
orang-orang yang menderita sakit, terluka dan untuk yang melahirkan (World
Health Organization).
UU No.44 tahun 2009 tentang rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat
darurat. Pelayanan rumah sakit juga diatur dalam kode etik rumah sakit,
dimana kewajiban rumah sakit terhadap karyawan, pasien dan masyarakat
diatur. Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf f dalamUU No. 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit. Rumah Sakit sebenarnya memiliki fungsi sosial yaitu
antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak
mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis,
pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi
kemanusiaan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut bisa berakibat
dijatuhkannya sanksi kepada Rumah Sakit tersebut, termasuk sanksi
pencabutan izin.
Selain itu, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU 44/2009, pemerintah
dan pemerintah daerah juga bertanggung jawab untuk menjamin pembiayaan
pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak
mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, secara umum
penyanderaan pasien oleh Rumah Sakit tidak bisa dikategorikan sebagai
penahanan (perampasan kemerdekaan) ataupun pelanggaran HAM. Meski
demikian, Anda dapat saja melaporkan kepada polisi jika ada indikasi
penyanderaan tersebut telah merampas kemerdekaan si pasien.1

Meskipun sudah banyak aturan dan anjuran agar fasilitas kesehatan


mendahulukan pertolongan kepada pasien, namun penolakan layanan kepada
pasien dengan alasan ekonomi masih kerap terjadi. Telah dijelaskan pula dalam
undang-undang bahwa rumah sakit memiliki fungsi sosial yang tidak dapat
dilepaskan dengan fungsi rumah sakit lainnya.
Alasan klasik yang sering di utarakan rumah sakit adalah masalah biaya
operasional rumah sakit. Inilah salah satu dilema yang dihadapi rumah sakit
dalam melakukan layanan kesehatan bagi warga tidak mampu. Jika melayani
warga yang tak mampu membayar, tentu rumah sakit akan kehilangan
penghasilan. Dan, ini akan berdampak buruk terhadap keberlangsungan
operasional RS itu sendiri. Ini merupakan dilema yang berat bagi rumah sakit.
Contoh kasus yang terjadi di Kota Makassar sebagaimana yang di muat
dalam Tempo.co pada tanggal 23 juni 2013 sebagai berikut:
Revan merupakan anak pasangan Andi Amir dan Nirmawanti.
Pada Ahad, 23 Juni 2013, Revan didera muntah dan air besar terus-menerus
hingga Andi membawa Revan ke Rumah Sakit Umum Daerah Daya. "Sempat
dirawat di sana beberapa jam, tapi kondisinya terus memburuk dan kritis," kata
Andi. Karena kondisinya terus menurun, bayi Revan pun dirujuk ke Rumah
Sakit Umum Pusat dr Wahidin Sudirohusodo dengan mobil ambulans dari
RSUD Daya. Di sana bayi Revan ditolak. Alasannya, kamar perawatan penuh.
"Saya berikan kartu Jamkesda, kartu keluarga, dan KTP agar Revan dirawat
sebagai pasien keluarga miskin," kata Nirmawanti. "Tapi, satu jam kemudian,
petugas rumah sakit bilang ruangan sudah penuh. Revan diminta cari rumah
sakit lain." Revan dibawa ke RS Ibnu Sina dan RS Awal Bros. Bahkan, di RS
Ibnu Sina, Revan tak sempat masuk ke ruang periksa. Petugas rumah sakit
hanya memeriksa bayi itu dalam ambulans, dan menolak dengan alasan

1
Azrul ,A (2010), Pengantar Administrasi Kesehatan ed 3, Binarupa Aksara Publisher, Tangerang.
ruangan penuh. "Di RS Awal Bros juga, anak saya cuma disenter lalu
petugasnya bilang ruangan penuh." Bayi Revan baru diterima di RS Akademis
setelah Andi Amir tak lagi menunjukkan kartu Jamkesda. Di sana, Revan
didaftarkan sebagai pasien umum. Revan akhirnya sempat dirawat di unit
gawat darurat, sebelum meninggal sehari setelahnya. "Sampai sekarang saya
belum bisa melunasi administrasi perawatan, dan KTP masih ditahan rumah
sakit," ujar Andi. Revan merupakan anak bungsu dari empat bersaudara.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Andi bekerja sebagai penarik becak
motor. Kadang ia juga menjadi sopir cadangan untuk angkutan umum. "Saya
belum tahu jumlah keseluruhan biaya rumah sakit, tapi untuk obat saja sekitar
Rp 3 juta.".
Dari pemaparan di atas, kami mencoba menganalisa bagaimana system
pembiayaan Rumah sakit di Indonesia. Meliputi pembiayaan pelayanan
kesehatan secara umum, standart mekanisme pembiayaan rumah sakit, undang-
undang atau aturan hukum yang mengatur dan peranan asuransi dalam
pembiayaan rumah sakit.

B. Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1. Apa saja Hak dan Kewajiban Pasien ?
2. Apa Saja Hak dan Kewajiban Rumah Sakit ?
3. Bagaimana Sistem Pembiayaan Pelayanan Kesehatan dan Sistem
Pembiayaan di Rumah Sakit ?
4. Contoh Kasus Yang pernah Terjadi tentang Penolakan Pasien di Rumah
Sakit ?
5. Apa Saja Regulasi Yang berkaitan Dengan Kasus Penolakan Pasien di
Rumah Sakit ?
6. Bagaimana Posisi Kasus Tentang Penolakan Pasien di Rumah Sakit ?
7. Serta Bagaimana Analisa Kasus Tentang Penolakan Pasien di Rumah Sakit
?
8. Bagaimana Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Pada Kasus Penolakan
Pasien di Rumah Sakit Dalam Beberapa Peraturan di Indonesia (UU dan
KUHP) ?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Hak dan Kewajiban Pasien.
2. Untuk Mengetahui Hak dan Kewajiban Rumah Sakit.
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Sistem Pembiayaan Pelayanan
Kesehatan dan Sistem Pembiayaan Di Rumah sakit.
4. Untuk Mengetahui Kasus Yang pernah Terjadi tentang Penolakan
Pasien di Rumah Sakit.
5. Untuk Mengetahui Regulasi Yang berkaitan Dengan Kasus
Penolakan Pasien di Rumah Sakit.
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Posisi Kasus Tentang Penolakan
Pasien di Rumah Sakit.
7. Untuk Mengetahui Bagaimana Analisa Kasus Tentang Penolakan
Pasien di Rumah Sakit .
8. Untuk Mengetahui Bagaimana Penerapan Pertanggungjawaban
Pidana Pada Kasus Penolakan Pasien di Rumah Sakit Dalam Beberapa
Peraturan di Indonesia (UU dan KUHP) .
9. Untuk Menambah Wawasan Mahasiswa Kesehatan Masyarakat UHO
Tentang Hak dan kewajiban pasien,Hak dan Kewajiban Rumah Sakit,
Sistem Pembiayaan Rumah sakit, Serta Aturan-aturan Tentang
Penolakan Pasien
10. Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Etika dan Hukum
Kesehatan
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pembiayaan Pelayanan Kesehatan


Kementerian Kesehatan dalam RAPBN tahun 2014 mendapat alokasi
anggaran sebesar Rp44.859 miliar. Jumlah ini lebih tinggi Rp8.266,9 miliar
atau 22,6 persen bila dibandingkan dengan pagu APBNP tahun 2013 sebesar
Rp36.592,2 miliar. Alokasi tersebut akan dimanfaatkan untuk melaksanakan
berbagai program, antara lain: Program pembinaan upaya kesehatan,
Program pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia kesehatan
(PPSDMK), Program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak, Program
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan; dan Program kefarmasian
dan alat kesehatan. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran bidang
kesehatan dalam rangka pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
kesehatan sebesar Rp19.932,5 miliar diperuntukkan bagi kelompok penerima
bantuan iuran (PBI) untuk pembayaran premi sebesar Rp19.225 per orang per
bulan untuk 86,4 juta jiwa selama 12 bulan. Alokasi anggaran tersebut
merupakan bagian dari anggaran Kementerian Kesehatan dalam RAPBN
tahun 2014.
Konsepsi Visi Indonesia Sehat 2015, pada prinsipnya sudah
melakukan pendekatan desentralisasi dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, sebuah paradigma yang yang sejalan dengan kewenangan daerah
otonom untuk menentukan arah dan model pembangunan di wilayahnya.
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan
memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan
kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan
kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang
berkualitas (assured quality). Oleh karena itu reformasi kebijakan kesehatan
di suatu negara seyogyanya memberikan fokus penting kepada kebijakan
pembiayaan kesehatan untuk menjamin terselenggaranya kecukupan
(adequacy), pemerataan (equity), efisiensi (efficiency) dan efektifitas
(effectiveness) dari pembiayaan kesehatan itu sendiri.2
Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara
diarahkan kepada beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan
program kesehatan prioritas, reduksi pembiayaan kesehatan secara tunai
perorangan (out of pocket funding), menghilangkan hambatan biaya untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses pelayanan,
peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta
kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Tujuan pembiayaan kesehatan adalah tersedianya pembiayaan
kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan
termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdaya-guna, untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Dalam pembiayaan kesehatan terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Dana
Dana digali dari sumber pemerintah baik dari sektor kesehatan dan
sektor lain terkait, dari masyarakat, maupun swasta serta sumber lainnya
yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Dana yang tersedia harus mencukupi dan dapat dipertanggung-jawabkan.
.2. Sumber daya
Sumber daya pembiayaan kesehatan terdiri dari: SDM pengelola,
standar, regulasi dan kelembagaan yang digunakan secara berhasil guna
dan berdaya guna dalam upaya penggalian, pengalokasian dan
pembelanjaan dana kesehatan untuk mendukung terselenggaranya
pembangunan kesehatan.
3. Pengelolaan Dana Kesehatan
Prosedur/Mekanisme Pengelolaan Dana Kesehatan adalah
seperangkat aturan yang disepakati dan secara konsisten dijalankan oleh

2
Badan Layanan Umum daerah di akses dari d.wikipedia.org pada tanggal 30 Oktober 2013
para pelaku subsistem pembiayaan kesehatan, baik oleh Pemerintah secara
lintas sektor, swasta, maupun masyarakat yang mencakup mekanisme
penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan.
B. Sistem Pembiayaan Rumah Sakit
Sebagai organisasi publik, rumah sakit diharapkan mampu
memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat. Rumah
Sakit milik pemerintah dihadapkan pada masalah pembiayaan dalam arti
alokasi anggaran yang tidak memadai sedang penerimaan masih rendah dan
tidak boleh digunakan secara langsung. Kondisi ini akan memberikan dampak
yang serius bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit karena sebagai organisasi
yang beroperasi setiap hari, likuiditas keuangan merupakan hal utama dan
dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan operasional sehari-hari. Berbagai
permasalahan-permasalahan tersebut di atas merupakan tantangan bagi
pengelola rumah sakit pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan dalam
menggali sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
biaya operasional dan pengembangan rumah sakit.
Untuk mengetahui jenis-jenis pembiayaan pelayanan di rumah
sakit, kita harus mengetahui terlebih dahulu sistem pembayarannya sebagai
berikut:
1. Sistem Pembayaran Restropektif
Pembayaran restropektif berarti bahwa besaran biaya dan jumlah biaya
yang yang harus dibayar oleh pasien atau pihak pembayar ditetapkan
setelah pelayanan diberikan. Cara pembiayaan ini merupakan yang paling
sering kita jumpai di kebanyakan rumah sakit. Pasien akan membayar
biaya pelayanan kesehatan berdasarkan pelayanan yang diberikan rumah
sakit. Jika seorang pasien di rawat selama 3 hari di rumah sakit, maka
rincian biaya yang harus dibayar pasien adalah misalnya: biaya kamar
selama 3 hari, berapa kali visit atau kunjungan dokter, biaya apotik dan
resep yang diberikan, biaya asuhan keperawatan selama 3 hari, biaya
administrasi, biaya layanan penunjang yang diberikan, dan lain
sebagainya. Jadi bisa disimpulkan besarnya biaya yang dibayar pasien
tergantung pada banyaknya tindakan atau pelayanan yang diberikan rumah
sakit. Kelemahan dari fee for services ini adalah rawan terjadi kecurangan
dari pihak rumah sakit, misalnya dengan memberikan pelayanan yang
tidak perlu kepada pasien, agar biaya yang harus dibayar lebih tinggi dan
rumah sakit memperoleh untung lebih banyak. Selain itu, biaya
administrasi untuk pelaksanaanya sangat tinggi. Terlebih jika pembayaran
pasien ditanggung oleh asuransi, seluruh bukti tindakan dan pelayanan
medis yang dilakukan terhadap pasein beserta biayanya harus di arsipkan
untuk membuat klaim pada pihak asuransi.
2. Sistem Pembayaran Prospektif
Pembayaran Prospektif secara umum adalah pembayaran pelayanan
kesehatan yang harus dibayar, besaran biayanya sudah ditetapkan dari
awal sebelum pelayanan kesehatan diberikan. Berikut adalah macam-
macam jenis pembayaran pelayanan kesehatan dengan sistem Prospektif,
yaitu:
a. Diagnostic Related Group (DRG)
Pengertian DRG dapat disederhanakan dengan cara pembayaran
dengan biaya satuan per diagnosis, bukan biaya satuan per pelayanan
medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang pasien dalam
rangka penyembuhan suatu penyakit. Dalam pembayaran DRG, rumah
sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci pelayanan apa saja
yang telah diberikan kepada seorang pasien. Rumah Sakit hanya
menyampaikan diagnois pasien waktu pulang dan memasukan kode
DRG untuk diagnosis tersebut. Besarnya tagihan untuk diagnosis
tersebut telah disepakati oleh seluruh rumah sakit di suatu wilayah dan
pihak pembayar, misalnya badan asuransi/jaminan sosial atau tarif
DRG tersebut telah ditetapkan oleh pemerintah sebelum tagihan rumah
sakit dikeluarkan.3

3
INA-CBG’s, Pola Tarif Pasien Jamkesmas di Rumah Sakit di akses dari http://rsud.rejanglebongkab.go.id/
pada tanggal 3 November 2013.
b. Case mix INA CBG”s
Sistem Casemix Ina-CBG's adalah suatu pengklasifikasian dari episode
perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang
relatif homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan berisikan
pasien2 dengan karakteristik klinik yang sejenis.(George Palmer, Beth
Reid). Case Base Groups (CBG's), yaitu cara pembayaran perawatan
pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif
sama. Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan
dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan
yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus
campuran, merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan
kesehatan rumah sakit. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran
berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu
kelompok diagnosis. Pengklasifikasian setiap tahapan pelayanan
kesehatan sejenis kedalam kelompok yang mempunyai arti relatif
sama. Setiap pasien yang dirawat di sebuah RS diklasifikasikan ke
dalam kelompok yang sejenis dengan gejala klinis yang sama serta
biaya perawatan yang relatif sama.
Dalam pembayaran menggunakan CBG's, baik Rumah Sakit
maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian
pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan
diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Besarnya penggantian biaya
untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara
provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.
Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani
oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuikan dengan
jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya.
c. Pembayaran Kapitasi (Capiated Payment System)
Pembayaran kapitasi merupakan suatu cara pengedalian biaya dengan
menempatkan fasilitas kesehatan pada posisi menanggung risiko,
seluruhnya atau sebagian, dengan cara menerima pembayaran atas
dasar jumlah jiwa yang ditanggung.
d. Pembayaran Per Kasus
Sistem pembayaran per kasus (case rates) banyak digunakan untuk
membayar rumah sakit dalam kasus-kasus tertentu. Pembayaran per
kasus ini mirip dengan DRG, yaitu dengan mengelompokan berbagai
jenis pelayanan menjadi satu-kesatuan. Pengelompokan ini harus
ditetapkan dulu di muka dan disetujui kedua belah pihak, yaitu pihak
rumah sakit dan pihak pembayar.
e. Pembayaran Per Diem
Pembayaran per diem merupakan pembayaran yang dinegosiasi dan
disepakati di muka yang didasari pada pembayaran per hari perawatan,
tanpa mempertimbangkan biaya yang dihabiskan oleh rumah sakit.
Satuan biaya per hari sudah mencakup kasus apapun dan biaya
keseluruhan, misalnya biaya ruangan, jasa konsultasi/visite dokter,
obat-obatan, tindakan medis dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Sebuah rumah sakit yang efisien dapat mengendalikan biaya perawatan
dengan memberikan obat yang paling cost-effective, pemeriksaan
laboratorium hanya untuk jenis pemeriksaan yang benar-benar
diperlukan, memiliki dokter yang dibayar gaji bulanan dan bonus, serta
berbagai penghematan lainya, akan mendapatkan keuntungan.
f. Pembayaran Global Budget
Merupakan cara pendanaan rumah sakit oleh pemerintah atau suatu
badan asuransi kesehatan nasional dimana rumah sakit mendapat dana
untuk mmembiayai seluruh kegiatannya untuk masa satu tahun.
Alokasi dan ke rumah sakit tersebut diperhitungkan dengan
mempertimbangkan jumlah pelayanan tahun sebelumnya, kegiatan lain
yang diperkirakan akan dilaksanakan dan kinerja rumah sakit tersebut.
Manajemen rumah sakit mempunyai keleluasaan mengatur dana
anggaran global tersebut untuk gaji dokter, belanja operasional,
pemeliharaan rumah sakit dan lain-lain.
Menurut Sistem Kesehatan Nasional tahun 2004, penyelenggaraan
subsistem pembiayaan kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi masyarakat rentan
dan keluarga miskin.
2. Dana masyarakat diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan
perorangan yang terorganisir, adil, berhasil-guna dan berdaya-guna
melalui jaminan pemeliharaan kesehatan baik berdasarkan prinsip
solidaritas sosial yang wajib maupun sukarela, yang dilaksanakan
secara bertahap.
3. Pada dasarnya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan
pembiayaan kesehatan di daerah merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah. Namun untuk pemerataan pelayanan kesehatan,
pemerintah menyediakan dana perimbangan (maching grant) bagi
daerah yang kurang mampu.

Ditetapkannya PP No 23 tahun 2005 tentang Pola Pengelolaan


Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) dilatarbelakangi oleh tingkat
kebutuhan dana yang makin tinggi, sementara sumber dana yang tersedia tetap
terbatas, beban pembiayaan pemerintahan yang bergantung pada pinjaman
semakin dituntut pengurangannya demi keadilan antargenerasi.
Paket reformasi di bidang keuangan negara sedang dalam pergeseran
dari penganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja, sehingga
penggunaan dana pemerintah pindah dari membiayai masukan (input) atau
proses ke pembayaran terhadap hasil (outputs). Maksud dari orientasi pada
output adalah mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government),
paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik.
Instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi
pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan
yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Ini
disebut Badan Layanan Umum (BLU). Upaya pengagenan (agencification)
aktivitas yang tidak harus dilakukan oleh lembaga birokrasi murni, tetapi
diselenggarakan oleh instansi yang dikelola ala bisnis (business like) sehingga
pemberian layanan kepada masyarakat menjadi lebih efisien dan efektif.
Fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran termasuk
pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/
jasa.
Dalam Badan Layanan Umum diberikan kesempatan untuk
mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian
imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Keuangan
dikendalikan secara ketat dalam perencanaan dan penganggarannya, serta
dalam pertanggungjawabannya. Rumah sakit wajib menghitung harga pokok
dari layanannya dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh menteri
teknis pembina. Dalam pertanggung jawabannya, RS harus mampu
menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya
dengan layanan yang telah direalisasikan.
Tarif adalah harga jual yang memperhitungkan Unit Cost, Jasa
Pelayanan (Medis, Paramedis dan Non Medis), Rencana Pengembangan dan
Margin. Untuk menentukan pola tarif masing-masing produk di Rumah Sakit,
sangat tergantung dengan jenis usaha masing-masing instalasi. Ada 3 macam
jenis usaha, yaitu :
1. Usaha jasa
Produk layanan yang ada di Instalasi Rawat Inap, Instalasi Rawat Jalan
(Poliklinik), IRD, ICU, OK, Penunjang Medis dan lain-lain
2. Usaha perdagangan
Produk penjualan yang ada di Apotek
3. Usaha pengolahan/industri
Produk olahan yang ada Instalasi Gizi, jika instalasi tersebut sudah
menjadi Revenue / Profit Centre.
Unsur tarif Rumah Sakit Pemerintah / non profit, terdapat dua bagian
yaitu tarif yang dibebankan pemerintah dan yang dibebankan masyarakat.
Biaya pemerintah seperti misalnya biaya gaji karyawan dan biaya investasi.
Biaya yang dibebankan masyarakat untuk biaya operasionalnya. Sehingga
RSUD yang berstatus Badan Layanan Umum Daerah(BLUD). Tarif Pasien
yang dirawat dibedakan menjadi 2 jenis:
1. Mandiri (umum)
Pasien mandiri/umum membayar fee for service secara out of pocket.
2. Ada penjamin (asuransi). Pasien berdasar penjaminnya:
a. Asuransi Pegawai Negeri (PT ASKES).
Peserta ditanggung oleh PT ASKES dan membayar kepada RSUD
sesuai dengan tarif kesepakatan antara PT ASKES dengan Rumah
sakit
b. Asuransi swasta. Tarifnya merupakan fee for service.
1. Asuransi penanggung bekerja sama dengan RS
2. Penanggung menentukan kelas dimana peserta berhak dirawat
3. Tarif sesuai dengan kesepakatan antara penanggung dengan RS,
sesuai dengan tarif yang berlaku
4. Apabila peserta menghendaki naik kelas, selisih biaya ditanggung
oleh peserta
c. Jamkesmas dan Jamkesda, diperuntukkan bagi warga miskin. Tarifnya
berdasarkan sistem paket (INA-CBG).
1. Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat)
Peserta ditanggung oleh Departemen Kesehatandan membayar ke
dengan sistem paket
2. Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah)
Jamkesda adalah program bantuan social untuk pelayanan
kesehatan bagi masyarakat miskin yang tidak masuk dalam
program JAMKESMAS. Dana diambil dari APBD II 60% dan
Propinsi 40%, Peserta adalah masyarakat miskin yang dinyatakan
oleh Kepala Desa/Lurah dan ditandatangani camat.
C. Analisis Biaya Rumah Sakit
Analisis biaya rumah sakit adalah suatu kegiatan menghitung biaya
rumah sakit untuk berbagai jenis pelayanan yang ditawarkan baik secara total
maupun per unit atau perpasien dengan cara menghitung seluruh biaya pada
seluruh unit pusat biaya serta mendistribusikannya ke unit-unit produksi yang
kemudian dibayar oleh pasien (Depkes, 1977).Menurut Gani (1996), analisis
biaya dilakukan dalam perencanaan kesehatan untuk menjawab pertanyaan
berapa rupiah satuan program atau proyek atau unit pelayanan kesehatan agar
dapat dihitung total anggaran yang diperlukan untuk program atau pelayanan
kesehatan.Dalam perhitungan tarif dirumah sakit seluruh biaya dirumah sakit
dihitung mulai dari :
1. Fixed Cost
Fixed cost atau biaya tetap ini terdiri dari : Biaya Investasi gedung rumah
sakit, Biaya peralatan Medis, Biaya peralatan Medis, Biaya Kendaraan
(Ambulance, Mobil Dinas, Motor, dan lain-lain.4
2. Semi Variabel cost
Gaji Pegawai, Biaya Pemeliharaa, Insentif, SPPD, Biaya Pakaian Dinas dan
lain-lain.
3. Variabel Cost
Biaya BHP Medis / Obat, Biaya BHP Non Medis, Biaya Air, Biaya Listrik,
Biaya Makan Minum Pegawai dan pasien, Biaya Telepon.

D. Manfaat Analisis Biaya


Manfaat utama dari analisis biaya ada empat yaitu (Gani,A.2000):
a. Pricing
Informasi biaya satuan sangat penting dalam penentuan kebijaksanaan tarif
rumah sakit. Dengan diketahuinya biaya satuan (Unit cost), dapat
diketahui apakah tarif sekarang merugi, break even, atau menguntungkan.

4
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) hasil revisi dan disahkan pada Kongres PERSI ke-VIII tahun
2000 di Jakarta.
Dan juga dapat diketahui berapa besar subsidi yang dapat diberikan pada
unit pelayanan tersebut misalnya subsidi pada pelayanan kelas III rumah
sakit.
b. Budgeting /Planning
Informasi jumlah biaya (total cost) dari suatu unit produksi dan biaya
satuan (Unit cost) dari tiap-tiap output rumah sakit, sangat penting untuk
alokasi anggaran dan untuk perencanaan anggaran.
c. Budgetary control
Hasil analisis biaya dapat dimanfaatkan untuk memonitor dan
mengendalikan kegiatan operasional rumah sakit. Misalnya
mengidentifikasi pusat-pusat biaya (cost center) yang strategis dalam
upaya efisiensi rumah sakit
d. Evaluasi dan Pertanggung Jawaban
Analisis biaya bermanfaat untuk menilai performance keuangan RS secara
keseluruhan, sekaligus sebagai pertanggungan jawaban kepada pihak-
pihak berkepentingan.
BAB III
PEMBAHASAN

Biaya kesehatan di Indonesia cenderung meningkat yang disebabkan oleh


berbagai faktor, di antaranya adalah pola penyakit degeneratif, orientasi pada
pembiayaan kuratif, pembayaran out of pocket (fee for service) secara indivi-
dual, service yang ditentukan oleh provider, teknologi canggih, perkembangan
(sub) spesialisasi ilmu kedok-teran, dan tidak lepas juga dari tingkat inflasi.
Dengan kondisi dan situasi yang ada seperti ini maka akses dan mutu pelayanan
kesehatan terancam, terutama bagi masyarakat yang tidak mampu. Hal ini
menyebabkan derajat kesehatan masyarakat semakin rendah. Kondisi tersebut
diperparah dengan tarif rumah sakit yang tidak standar, sehingga masing-masing
rumah sakit cenderung menetapkan tarif sendiri.
Dalam pelaksanaannya, prosedur pelayanan kesehatan diatur dalam
prosedur tertentu, pada beberapa instansi pelayanan kesehatan, dimana pelayanan
kesehatan dapat diberikan bila telah melakukan pembayaran. Mekanisme ini
diberlakukan untuk membiayai pelayanan yang akan diberikan. Namun tentu saja
hal ini bukanlah hal mutlak yang harus dilaksanakan sesuai urutannya. Hal ini
berlaku pada saat emergency, dimana yang perlu diperhatikan adalah
penyelamatan jiwa pasien, tidak mendahulukan pembayaran. Hal ini sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dimana dinyatakan bahwa dalam keadaan
yang mengancam jiwa maka hal yang diutamakan adalah mencegah terjadinya
kecacatan dan hal-hal yang mengancam jiwa. Dan juga diatur bahwa fungsi rumah
sakit adalah medahulukan pelaksanaan fungsi sosial, antara lain dengan
memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat
darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi kemanusiaan.
Dalam kasus pada pendahuluan makalah ini terjadi penolakan pada
pasien dikarenakan pasien memakai kartu Jamkesda dan ketika pasien tersebut di
daftarkan sebagai pasien umum baru diterima dan mendapat pelayanan
semestinya. Hal ini bertentangan dengan tujuan dan fungsi pelayanan kesehatan.
Dimana tujuan pelayanan kesehatan adalah memberikan pelayanan kesehatan atas
dasar kemanusiaan, meskipun dalam prakteknya pembiayaan diperlukan.
Penolakan pasien dengan alasan ruangan penuh setelah mengetahui pasien
menggunakan kartu jamkesda bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal
29 ayat (1) point b menyatakan bahwa memberi pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien
sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit dan juga bertentangan dengan
point f dimana Rumah Sakit sebenarnya memiliki fungsi sosial yaitu antara lain
dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan
gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan
kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan dimana dalam
keadaan darurat maka yang harus didahulukan adalah menyelamatkan nyawa
pasien dan atau mencegah kecacatan lebih lanjut dari pasien. Sebenarnya pihak
yang berwenang dapat memberikan sanksi pada RS tersebut mulai dari teguran
lisan, teguran secara tertulis sampai dengan denda dan pencabutan izin.
Sebenarnya kejadian tersebut tidak akan terjadi bila sistem pembayaran
di rumah sakit menggunakan sistem prosfektif dimana besaran biayanya sudah
ditetapkan dari awal sebelum pelayanan kesehatan diberikan disamping itu
pembiayaan RS tidak hanya dari masyarakat penerima layanan tetapi juga dari
subsidi pemerintah daerah. Di Kalimantan Timur umumnya dan kabupaten
Bulungan khususnya pasien yang menggunakan Jamkesda atau Surat Keterangan
Tidak Mampu (SKTM) di bayar oleh Pemerintah Kabupaten 60% dan Provinsi
40% dengan sistem pembayaran prosfektif Casemix Ina-CBG's yaitu
pengklasifikasian dari episode perawatan pasien yang dirancang untuk
menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dengan tidak membedakan
klasifikasi rumah sakit. Sistem Casemix Ina-CBG's inilah yang akan di pakai oleh
BPJS Kesehatan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang di mulai pada tanggal 1 Januari 2014 yang akan
datang.
Dari segi etika perlakuan pihak rumah sakit dengan melakukan
penolakan atas dasar alasan tertentu juga melanggar Kode Etik Rumah Sakit
(KODERSI) tahun 2000 Bab I pasal 3 yang berbunyi : “Rumah sakit harus
mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta
tidak mendahulukan urusan biaya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan seharusnya
menerima semua pasien yang datang, memberi layanan yang dibutuhkan, dan
baru kemudian mengurus administrasi pembiayaannya, apakah menggunakan
Jaminan kesehatan atau pembayaran dengan cara tunai. bukan melakukan
penolakan pasien dengan berbagai alasan karena pasien tersebut tidak
mampu.

B. Saran
Pembiayaan rumah sakit dengan sistem casemix INA CBG’s yang
lebih homogen merupakan pilihan yang cukup tepat dilakukan dengan catatan
masyarakat yang tidak mampu sudah tercover oleh sistem Asuransi
sebagaimana di amanatkan oleh UU Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
(SJSN).
DAFTAR PUSTAKA

Azrul ,A (2010), Pengantar Administrasi Kesehatan ed 3, Binarupa Aksara


Publisher, Tangerang.
Badan Layanan Umum daerah di akses dari d.wikipedia.org pada tanggal 30
Oktober 2013
Bayi meninggal setelah di tolak 4 Rumah sakit di akses dari
http://www.tempo.co/read/news/2013 pada tanggal 4 November 2013.
INA-CBG’s, Pola Tarif Pasien Jamkesmas di Rumah Sakit di akses dari
http://rsud.rejanglebongkab.go.id/ pada tanggal 3 November 2013.
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) hasil revisi dan disahkan pada
Kongres PERSI ke-VIII tahun 2000 di Jakarta.
Makalah Pembiayaan Rumah Sakit di akses dari http://www.scribd.com/doc pada
tanggal 28 Oktober 2013.
Manjemen Rumah Sakit Modern di akses dari http://books.google.co.id pada
tanggal 4 November 2013

Anda mungkin juga menyukai