Anda di halaman 1dari 2

Defisit BPJS Kesehatan dan Celah Kebijakan Cukai Rokok Kompas.

com - 14/10/2019, 16:00


WIB BAGIKAN: Komentar Lihat Foto Ilustrasi rokok(Shutterstock) Editor Bambang Priyo Jatmiko
SETELAH melalui perdebatan panjang, pemerintah akhirnya memutuskan kenaikan iuran
peserta Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan ( BPJS Kesehatan) mulai awal 2020.
Tak tanggung-tanggung, Kementerian Keuangan akan menaikkan iuran BPJS hingga 100
persen atau menjadi dua kali lipat dibandingkan iuran yang harus dibayarkan warga saat ini.
Nantinya, kenaikan iuran tersebut akan diatur melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres nantinya juga akan diatur
pembatasan bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan untuk mengakses layanan publik dari
pemerintah. Saat ini, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih menunggu persetujuan
Presiden Joko Widodo. Pemerintah terpaksa menaikkan iuran BPJS Kesehatan karena defisit
keuangan yang menimpa lembaga ini semakin melebar. Kementerian Keuangan memprediksi
tanpa ada kenaikan iuran, defisit keuangan BPJS Kesehatan akan terus meningkat berturut-turut
menjadi sebesar Rp 32 triliun di 2019, mencapai Rp 44 triliun tahun 2020, hingga Rp 56 triliun
pada 2021. Selain defisit keuangan, BPJS Kesehatan juga dihantui dengan persoalan
penyimpangan (fraud) atau korupsi dalam pengelolaan keuangan. Indonesia Corruption Watch
(ICW) pada tahun 2018 memperkirakan dana BPJS Kesehatan sekitar Rp 1 triliun menguap
akibat dipotong secara ilegal oleh sejumlah kepala daerah. Sebenarnya, sudah banyak upaya
yang dilakukan pemerintah agar defisit keuangan BPJS Kesehatan tak semakin terus
bertambah. Selain penyertaan modal negara (PMN), pemerintah juga mengalokasikan bantuan
belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan, pemerintah juga
mengalokasikan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau atau dikenal juga dengan cukai
rokok untuk menambal defisit keuangan BPJS tersebut. Pada tahun 2018, pemanfaatan cukai
rokok mampu menambal defisit BPJS hingga Rp 5 tiliun. Sejatinya ada banyak hal menarik yang
dapat dimanfaatkan pemerintah jika pendapatan dari sektor cukai rokok ini akan tetap
diandalkan guna mengurangi defisit keuangan BJPS Kesehatan. Harapannya, kalaupun tidak
bisa dihindarkan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dilakukan secara drastis.
Filosofinya sangat sederhana, yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari
pendapatan cukai rokok yang selama ini masih belum sesuai dengan seharusnya. Tentu saja,
pemerintah perlu keberanian untuk melakukan berbagai perubahan dalam aturan cukai dan tata
niaga sektor industri hasil tembakau (IHT) agar pendapatannya bisa maksimal. Bukan hanya
mengambil jalan pintas menaikkan tarif cukai setinggi-tingginya yang dalam jangka panjang akan
memantik persoalan baru yang tak kalah pelik. Mulai dari kebangkrutan perusahaan-perusahaan
rokok, gelombang pemecatan tenaga kerja, hingga menjamurnya pengangguran dan kemiskinan
di wilayah-wilayah sentra industri rokok. Struktur Tarif Cukai Berdasarkan catatan yang ada, hal
utama yang membuat penerimaan negara dari industri rokok menjadi kurang optimal adalah
terkait struktur tarif cukai. Saat ini, struktur yang ada masih memunculkan celah penghindaran
pembayaran cukai oleh sejumlah perusahaan besar. Riset oleh Insitute for Development of
Economics and Finance (INDEF) pada 2019 cukup menggelitik untuk dikaji. Dalam kajiannya,
INDEF menyatakan, struktur yang rumit menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara
sekitar Rp 1 triliun. Data lainnya, berdasarkan perhitungan ekonom UI Abdillah Ahsan, nilai
potensi kerugiannya mencapai sekitar Rp 7 triliun, sementara versi Indonesia Budget Center
sekitar Rp 6,25 triliun. Lantas apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk menambal defisit
keuangan BPJS Kesehatan? Optimalisasi penerimaan negara dari berbagai sumber adalah
salah satunya. Di antara solusi optimalisasi penerimaan negara yang bisa dipakai untuk
menambal defisit keuangan BPJS adalah memperbaiki berbagai kebijakan terkait cukai dan
industri rokok nasional. Pemerintah harus terus berupaya menutup berbagai celah penghindaran
pembayaran cukai rokok. Banyak pihak sudah mengusulkan bahwa salah satu cara menutup
celah ini adalah dengan menggabungkan batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan
sigaret putih mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun. Penggabungan ini diharapkan
mampu membuat perusahaan-perusahaan besar membayar cukai golongan tertinggi, sehingga
pendapatan negara yang bisa dipakai “membantu” BPJS Kesehatan bisa lebih besar. Andai
kebijakan ini dapat dilakukan, industri rokok semestinya tak perlu lagi berada di pusaran defisit
keuangan BPJS Kesehatan. Bukan cuma soal pendapatan negara yang akan lebih optimal,
tetapi juga konsumsi yang bakal semakin terkendali.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Defisit BPJS Kesehatan dan Celah
Kebijakan Cukai Rokok", Klik untuk
baca: https://money.kompas.com/read/2019/10/14/160000226/defisit-bpjs-kesehatan-dan-celah-
kebijakan-cukai-rokok?page=all.

Editor : Bambang Priyo Jatmiko

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:


Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Anda mungkin juga menyukai