Anda di halaman 1dari 3

Mengupas dampak krisis

keuangan Turki ke Indonesia


Selasa, 14 Agustus 2018 07:30Reporter : Siti Nur Azzura

 

 

erdogan. ©Daily Sabah

Merdeka.com - Mata uang Turki Lira mengalami kemerosotan paling besar dalam
satu dasawarsa setelah presiden Donald Trump mengumumkan Amerika Serikat
akan menaikkan tarif atas impor baja dan aluminium dari negara itu.
Trump mengumumkan hal itu dalam sebuah cuitan pada Jumat 10 Agustus 2018.
"Hubungan kami dengan Turki tidak baik saat ini!," kata Trump, demikian dikutip dari
laman VOA Indonesia, Minggu 12 Agustus 2018.

Masalah pendeta Andrew Brunson itu mengakibatkan ambruknya nilai mata uang
Turki karena para investor takut Amerika Serikat akan menjalankan sanksi-sanksi
ekonomi.
Selama seminggu terakhir, mata uang lira mengalami tekanan kuat, dan ini
dipergawat oleh gagalnya pembicaraan diplomatik di Washington minggu ini.
Kesabaran Amerika Serikat menghadapi Turki agaknya telah berakhir, kata para
pengamat.

Berbagai pihak pun memberikan tanggapan mengenai dampak krisis keuangan


Turki ke Indonesia. Pelemahan Rupiah hingga ke level 14.600 per USD pun
dikaitkan dengan krisis ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, ada banyak faktor yang bisa
memengaruhi kondisi Rupiah. Namun untuk kali ini yang mengambil andil cukup
besar dalam pelemahan mata uang Garuda tersebut adalah krisis yang sedang
terjadi di Turki.
"Kita setiap hari ini selalu ada berbagai faktor bisa saling mempengaruhi. Jadi pada
minggu terakhir ini faktor yang berasal dari Turki," kata Menkeu Sri Mulyani saat
ditemui di JS Luwansa, Jakarta, Senin (13/8).
Dia mengungkapkan bahwa dampak dari krisis Turki terjadi secara global. Hal itu
disebabkan masalah krisis tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi melainkan
pada sektor lainnya.

"Menjadi muncul secara global, karena tidak dari sisi magnitude-nya yang terjadi
dinamika di Turki, tapi juga karena nature atau karakter persoalannya yang
sebetulnya ada persoalan serius, mulai masalah currency-nya juga pengaruh
terhadap ekonomi domestik, dan terutama juga dimensi politik dan security di sana,"
ujarnya.

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),


Bhima Yudhistira, mengatakan anjloknya Rupiah akan berdampak pada kenaikan
inflasi. Baik karena bahan pangan maupun bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi
karena pengaruh biaya impor yang membengkak.
"Ini bisa gerus daya beli masyarakat," ujar dia di Jakarta, Senin (13/8).
Pelemahan Rupiah ini juga menimbulkan potensi gagal bayar utang luar negeri
swasta. Terlebih masih ada pihak swasta yang belum melakukan lindung nilai
(hedging) terhadap utang luar negerinya.

Dampak lain dari depresiasi ini yaitu terhadap industri manufaktur, di mana akan
membuat industri menahan ekspansinya karena naiknya biaya bahan baku dan
barang modal yang masih diimpor. "Ongkos logistik juga semakin mahal karena 90
persen kapal untuk ekspor impor pakai kapal asing yang hanya terima valas," tandas
dia.

Meski demikian, Indonesia pun diimbau tak perlu khawatir dengan adanya krisis ini

Anda mungkin juga menyukai