Indonesia pernah menghadapi resesi sebanyak tiga kali yakni pada 1963,
1998, dan 2020/2021. Ketiga krisis tersebut dipicu penyebab yang berbeda
dan dengan dampak yang berbeda pula.
Resesi pada 1963 dipicu oleh hiperinflasi. Kondisi ekonomi dan politik
Indonesia pada saat itu dikucilkan dari dunia internasional karena sikapnya
yang konfrontatif, seperti keluar dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Krisis moneter bahkan sampai menjalar ke ranah politik dan sosial hingga
menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32
tahun.
Sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah penduduk miskin melonjak menjadi
49,5 juta orang, atau sekitar 24,2% dari total penduduk.
Akibat resesi, industri besar dan sedang berkurang drastis dari 22.997
perusahaan pada 1996 menjadi 20.422 pada 1998. Jumlah tenaga kerja pada
periode tersebut anjlok hingga 18,5% atau 3,53 juta orang.
Kerusuhan yang terjadi di seluruh Indonesia saat berakhirnya era Orde Baru
memicu inflasi sebesar 77,63% pada 1998. Terjadinya lonjakan harga barang-barang yang
diikuti melemahnya nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp 16.000/dolar Amerika Serikat
membuat ekonomi Indonesia mengalami kontraksi lebih dari 13% pada 1998.
Kemudian, pada 1999 laju inflasi langsung turun dan hanya sebesar 2% . Ini juga merupakan
angka inflasi terendah setelah berlangsungnya reformasi. Dalam 20 tahun terakhir, inflasi
tertinggi tercatat pada 2005, yakni mencpaai 17,1% dampak dari kenaikan harga bahan bakar
minyak di era kepemimipinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kondisi ini terjadi ketika suku bunga The Fed saat ini tidak cukup untuk
meredam inflasi AS. Inilah cikal bakal dari munculnya ekspektasi 'higher for
longer' atau suku bunga tinggi untuk waktu lebih lama.
"Apa yang sebelumnya cukup untuk menstabilkan Rupiah - suku bunga riil
(real policy rate) sekitar 2,5 - 3,5% - tampak tidak lagi cukup menjaga daya
tarik Rupiah," kata Barra Kukuh Mamia, Senior Ekonom PT Bank Central Asia
Tbk, dikutip Senin (23/10/2023).
Baca:
Dana Asing Masih Terus Keluar, Dolar Kian Dekati Rp15.900
Sebagai catatan, suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal di bank sentral
dikurangi dengan inflasi yang terjadi pada periode yang sama.
Akan tetapi, skenario ini tampak sulit direalisasikan pada sekarang, mengingat
kondisi likuiditas global yang semakin banyak terserap oleh pasar obligasi AS
seiring kenaikan imbal hasil UST securities dan ketegangan geopolitik yang
meningkatkan permintaan aset safe haven.
Baca:
JK Ungkap RI Tahan Banting Dihantam Krisis, Nih Faktanya!
Trauma krisis moneter 1998 belum pudar di masyarakat Indonesia. Saat itu,
krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per
dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77%
sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih. Krisis ini diwarnai dengan rush
atau pengambilan uang besar-besaran dari bank.
Luka krisis ini semakin mendalam karena dibarengi dengan krisis politik akibat
perubahan tampuk kepemimpinan. Ekonom senior dari Universitas Indonesia
(UI) Chatib Basri menilai krisis inilah yang membuat orang menjadi trauma,
terlebih jika melihat kurs Rupiah terus mengalami pelemahan seperti
sekarang ini.
"Jadi yang kaya trauma 98 itu selalu tetap muncul," tegasnya kepada CNBC
Indonesia, dikutip Senin (23/10/2023). Namun, Chatib menemukan trauma itu
tidak hanya terjadi pada orng indo tapi investor yang investasi di Indonesia,
termasuk investor asing.
"Saya heran. Enggak lah, ini negara oke kok...ya kalau kita bandingin dengan
negara lain, kita relatively oke," ungkap Chatib. Jika ditanya 'apakah ada
potensi krisis?', Chatib memastikan seharusnya tidak ada.
Baca:
Chatib Basri Ramal Arah Suku Bunga BI ke Depan, Simak!
Chatib menceritakan pada tahun 2013 - ketika taper tantrum terjadi - dirinya
pernah ditanya oleh Gubernur Bank Central Meksiko: 'mengapa Indonesia
tetap melakukan intervensi terhadap nilai tukar Rupiah?'.
"Saya bilang enggak bisa, kalau di Indonesia itu dilakukan mesti dibimbing,
kalau dilakukan orang akan panik dan dikiranya akan kembali ke 1998," kata
dia.
Padahal, kata dia, banyak orang tidak sadar ketika taper tantrum terjadi kurs
rupiah sudah merosot hingga 15%. Dia mengatakan kendati nilai rupiah sudah
terdepresiasi dalam saat taper tantrum, Indonesia tidak mengalami krisis.
"Masalahnya selalu persepsi, persepsi yang repot itu adalah kalau orang
menganggap krisis," tegasnya.
Penyebab krisis moneter 1998 di Indonesia salah satunya adalah nilai mata uang yang
menurun drastis. Ketahui penyebab lainnya dan dampaknya di sini!
Penyebab krisis moneter 1998 yang paling utama adalah menurunnya nilai mata uang rupiah
sehingga kondisi perekonomian tidak terkendalikan oleh pemerintah.