Anda di halaman 1dari 6

[KRISIS EKONOMI

MAKALA PADA MASA


AKHIR PEMERINTAHAN ORDE
H
BARU]
SEJARA
XII. ILMU ALAM 1 , SMA NEGERI 1
H
KARIMUN

DISUSUN OLEH :
1. BENNY
KURNIAWAN
2. STEVEN
KRISIS EKONOMI PADA MASA AKHIR
PEMERINTAHAN ORDE BARU

Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde


Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per
kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui
kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan
sekitar 5%-10%,rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah
menerapkan sistem anggaran
berimbang.

Pada pemerintahan orde baru


banyak menemui keberhasilan
dalam pembangunan ekonomi,
antara lain tingkat GNP pada
tahun 1997 mencapai USD 1200
dengan pertumbuhan ekonomi
sebesar 7 % dan inflasi di bawah
3 %. Akan tetapi pada
pertengahan 1997, KKN merajalela sehingga sangat rugi. Pada
tahun itu tercatat utang luar negeri Indonesia mecapai 137 milliar
dollar AS. Utang swasta sebesar 63% dan BUMN / pemerintah
sebesar 37%.

Selain itu, krisis moneter melanda Asia tenggara sejak Juli 1996
mempunyai pengaruh paling besar dalam perekonomian
Indonesia. Fakta menunjukkan bahwa pada saat orde baru belum
mampu menghadapi krisis global tersebut. Krisis ekonomi di
Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap USD. Ketika nilai rupiah semakin melemah,
pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada
iklim bisnis yang semakin lesu.

Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya proses melemahnya daya


saing perekonomian nasional, yang diakibatkan oleh lemahnya
kinerja dunia usaha swasta dan lembaga perbankan, termasuk
kelemahan dalam hal pengawasan sistem keuangan;
peningkatan upah/gaji yang tidak diikuti dengan peningkatan
produktivitas kerja; dan bermunculannya praktek monopoli dan
oligopoli.
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun
1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610
dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia
disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat
miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.

Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa


Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15
September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997.
Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun
menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Di pasar uang, dinaikkannya suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
menjadi 70,8 persen dan Surat
Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi
60 persen pada Juli 1998 (dari
masing-masing 10,87 persen dan
14,75 persen pada awal krisis),
menyebabkan kesulitan bank semakin
memuncak. Perbankan
mengalami negative spread dan tak
mampu menjalankan fungsinya
sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar
34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor
non-migas hanya tumbuh 5,36 persen.
Pada akhir tahun 1997, pemerintah menglikuidasikan beberapa
bank serta membantu bank-bank yang bermasalah ( misalnya
mengeluarkan kredit likuiditas bank Indonesia / KLBI ). Akan
tetapi , hal ini menyebabkan pemerintah harus menanggung
beban yang sangat besar yang dapat menurunkan kepercayaan
dunia Internasional kepada Indonesia.

Pada awal tahun 1998, pemerintah Indonesia membuat kebijakan


uang ketat dan suku bunga bank tinggi. Akibatnya krisis moneter
tidak teratasi dan pada April, pemerintah membekukan 7 bank
yang bermasalah. Memasuki tahun anggaran 1998-1999 , krisis
moneter telah mempengaruhi aktivitas ekonomi yang lain. Hal ini
bisa dilihat pada kegiatan perusahaan yang terhambat akibat
utang luar negeri sehingga pemutusan hubungan kerja terus
meningkat. Selain itu, persedian sembako dipasaran juga
semakin menipis sehingga harga-harga barang naik yang
menyebabkan biaya hidup semakin tinggi ( inflasi ). Hal ini
mempengaruhi kondisi sosial masyarakat dimana kelaparan dan
kekurangan makanan melanda masyarakat seperti yang terjadi di
Papua, NTB, dan dibeberapa daerah di Pulau Jawa.

Secara garis besar, faktor yang menyebabkan krisis ekonomi,


antara lain :

1. Utang luar negeri Indonesia

Utang luar negeri Indonesia bukan berarti sepenuhnya utang


Negara tetapi sebagian merupakan utang swasta .Karena
banyaknya utang luar negeri ini, maka kepercayaan luar
negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Hampir semua
Negara tidak mau menerima letter of credit ( L/C ) dari
Indonesia. Pedagang luar negeri juga tidak percaya terhadap
importer Indonesia yang dianggap tidak mampu membayar.

Dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai
138 milyar dollar AS, sekitar 72,5 milyar dollar AS adalah
utang swasta yang dua pertiganya jangka pendek, di mana
sekitar 20 milyar dollar AS akan jatuh tempo dalam tahun
1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal
sekitar 14,44 milyar dollar AS.

Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang


ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997,
meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS
pada 22 Januari 1998.

2. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945

Pemerintah Orde Baru bertujuan menjadikan Negara


Republik Indonesia sebagai Negara Industri tetapi tidak
mempertimbangkan kondisi riil masyarakat. Dalam pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah
pimpinan anggota masyarakat. Oleh karena itu,
perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama
atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang
penting bagi Negara yang menguasai hajat hidup orang
banyak harus dikuasai oleh Negara.

Jika tidak , tampuk produksi akan jatuh ketangan orang-


orang yang berkuasa sehingga rakyat ditindas. Sebaliknya,
system ekonomi yang berkembang pada masa
pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi kapitalis
yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai
bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi
dan kolusi.

3. Pola Pemerintahan Sentralistis

Pola pemerintahan sentralistis pada masa Orde Baru bersifat


sentral dimana semua bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintahan
(Jakarta ). Oleh karena itu, peranan pemerintah pusat
sangat menentukan dalam berbagai kehidupan masyarakat.
Akan tetapi hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah
dan rakyat didaerah terhadap pemerintah pusat.

Akibat dari krisis ekonomi antara lain :

1. Kesulitan keuangan Negara


2. Menghancurkan keuangan Nasional
3. Penggangguran meningkat
4. Daya beli dan kualitas hidup masyarakat semakin menurun
5. Kelaparan dan kekurangan pangan
6. Bunga perusahaan yang bangkrut ( perusahaan skala kecil
hingga konglomerat )
7. Jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan yang meningkat
Untuk mengatasi kesulitan moneter, Pemerintah meminta
bantuan IMF dan ditanda tanganinya 50 butir kesepakatan
( Letter of Intert / LoI ) dengan IMF 25 Januari 1999

Anda mungkin juga menyukai