Oleh kelompok 4
Anggota :
1. TARI ZALMA YANTHI (143180052)
2. GILANG WIRADANA (143180060)
3. ABDURRAHMAT HASYIM (143180068)
4. EVI ERVIANA FADHILAWATI (143180076)
Mengulik Kembali Permasalahan Kebijakan Moneter 1997-1998
BAB I
Latar Belakang
Permasalahan
Pada Agustus 1997, mata uang rupiah mulai bergerak di luar pakem
normal. Rupiah tidak saja bergeliat negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah
bergerak sempoyongan. Kemudian September 1997, Bursa Efek Jakarta
(saat ini Bursa Efek Indonesia) bersujud di titik terendahnya. Perusahaan
yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk
membayar utang.
Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah
terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak
pada Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp 11.000. Kemudian
pada Juli 1998, rupiah terus merosot , US$1 setara dengan Rp 14.150. Pada
31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu meningkat
hingga Rp 8.000 untuk US$1.
Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya
kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden
Soeharto saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga
melahirnya ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak
kalah penting adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan dengan besarnya utang luar negeri
yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan
terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138
miliar dolar AS, sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta yang dua
pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 miliar dolar AS akan jatuh
tempo pada 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar
14,44 miliar dolar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah
yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS pada 1997, meluncur dengan
cepat ke level sekitar Rp 17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998, atau
terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14
Agustus 1997.
Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil
hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang
tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor
konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah sektor yang terpukul cukup
parah. Sehingga risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar
pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang
belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20
persen lebih dari angkatan kerja.
Kini, tak terasa sudah 20 tahun masa itu berlalu. Telah berlangsung
beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional. Secara umum, semuanya
berjalan baik. Pelan-pelan kondisi ekonomi juga mulai tenang. Setiap
pemerintahan baru yang terbentuk juga mendapati tantangan dan
peluangnya masing-masing. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dari
kepemimpinan baru Jokowi-JK pun sama, yakni terobosan yang berani yang
tidak hanya berhenti di zona gembar-gembor infrastruktur.
Rata-rata pertubuhan PDB Indonesia dari 1997 sampai 2013 hanyalah 3,8
persen. Jika kita tidak memasukkan krisis keuangan Asia alias memulai
analisis dari tahun 2000, rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia hanyalah 4,5
sampai 2006. Nah, peningkatan harga komoditas (commodity boom)
menambah 1,5 terhadap pertumbuhan PDB Nasional. Setelah peningkatan
harga komoditas menggandakan nilai ekspor Indonesia alias peningkatan
sekira USD 100 miliar, barulah rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia
menjadi 6%.
Kesimpulan
https://news.detik.com/kolom/d-4032343/memori-krisis-moneter-19971998
https://www.bi.go.id/id/tentang-
bi/museum/sejarahbi/bi/Documents/f0c4cdd061e4493fafe0cadf16ec4235Seja
rahMoneterPeriode19971999