Anda di halaman 1dari 9

EKONOMI MIKRO

Mengulik Kembali Permasalahan


Kebijakan Moneter 1997-1998

Oleh kelompok 4
Anggota :
1. TARI ZALMA YANTHI (143180052)
2. GILANG WIRADANA (143180060)
3. ABDURRAHMAT HASYIM (143180068)
4. EVI ERVIANA FADHILAWATI (143180076)
Mengulik Kembali Permasalahan Kebijakan Moneter 1997-1998

BAB I
Latar Belakang

Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang


bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan
eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan
ekonomi makro yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan
kesempatan kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional
yang seimbang. Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu,
maka kebijakan moneter dapat dipakai untuk memulihkan. Pengaruh
kebijakan moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang
kemudian akan ditransfer pada sector riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan
kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral berusaha
mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan persediaan barang
agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh dan
kelancaran dalam distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan antara lain
dengan instrument sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum,
intervensi dipasar valuta asing, dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank
untuk meminjam uang apabila mengalami kesulitan likuiditas.

Permasalahan

1. Apa yang terjadi pada Indonesia pada tahun 1997-1998 ?


2. Bagaimana kebijakan moneter pemerintah Indonesia, 20 setelah
adanya krisis moneter?
BAB II
Landasan Teori

Secara umum kebijakan moneter adalah proses yang


dilakukan oleh o t o r i t a s moneter (bank sentral) suatu
n e g a r a d a l a m m e n g o n t r o l a t a u mengendalikan jumlah uang
beredar, melalui pendekatan kuantitas atau pendekatan tingkat suku bunga
yang bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, sudah
termasuk didalamnya stabilitas harga dan tingkat pengangguran yang
rendah.

Pada Agustus 1997, mata uang rupiah mulai bergerak di luar pakem
normal. Rupiah tidak saja bergeliat negatif, tapi lebih dari itu. Rupiah
bergerak sempoyongan. Kemudian September 1997, Bursa Efek Jakarta
(saat ini Bursa Efek Indonesia) bersujud di titik terendahnya. Perusahaan
yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih tinggi untuk
membayar utang.

Padahal beberapa bulan sebelumnya, tepatnya Juni 1997, nilai tukar rupiah
terhadap dolar masih sangat adem, hanya Rp 2.380 per dolar. Mendadak
pada Januari 1998, dolar menguat menyentuh level Rp 11.000. Kemudian
pada Juli 1998, rupiah terus merosot , US$1 setara dengan Rp 14.150. Pada
31 Desember 1998, rupiah menguat perlahan, tapi hanya mampu meningkat
hingga Rp 8.000 untuk US$1.

Faktor yang mempercepat efek bola salju krisis moneter adalah rontoknya
kepercayaan pasar dan masyarakat, ditambah kondisi kesehatan Presiden
Soeharto saat memasuki tahun 1998 yang kian memburuk sehingga
melahirnya ketidakpastian terkait suksesi kepemimpinan nasional. Yang tak
kalah penting adalah sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan
kebijakan. Kondisi tersebut berkelindan dengan besarnya utang luar negeri
yang segera jatuh tempo, situasi perdagangan internasional yang kurang
menguntungkan, dan bencana alam La Nina yang membawa kekeringan
terburuk dalam 50 tahun terakhir.

Tercatat, dari total utang luar negeri per Maret 1998 yang mencapai 138
miliar dolar AS, sekitar 72,5 miliar dolar AS adalah utang swasta yang dua
pertiganya jangka pendek, di mana sekitar 20 miliar dolar AS akan jatuh
tempo pada 1998. Sementara pada saat itu cadangan devisa tinggal sekitar
14,44 miliar dolar AS. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah
yang ditutup pada level Rp 4.850/dolar AS pada 1997, meluncur dengan
cepat ke level sekitar Rp 17.000/dolar AS pada 22 Januari 1998, atau
terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14
Agustus 1997.

Risikonya, rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan


dolar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka
RAPBN 1998/1999 yang diumumkan 6 Januari 1998. RAPBN dinilai tak
realistis. Krisis yang menandakan kerapuhan fundamental ekonomi tersebut
dengan cepat merambah ke semua sektor. Anjloknya rupiah secara dramatis,
menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional
mendadak terlilit kesulitan besar. Peringkat internasional bank-bank besar
tersebut memburuk, tak terkecuali surat utang pemerintah, peringkatnya ikut
lengser ke level di bawah "junk" atau menjadi sampah.

Tak sampai di situ, kemudian ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil
hingga konglomerat bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang
tercatat di pasar modal mendadak berstatus insolvent alias bangkrut. Sektor
konstruksi, manufaktur, dan perbankan adalah sektor yang terpukul cukup
parah. Sehingga risiko lanjutannya adalah lahirnya gelombang besar
pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran melonjak ke level yang
belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20
persen lebih dari angkatan kerja.

Akibat PHK dan melesatnya harga-harga barang, jumlah penduduk di bawah


garis kemiskinan juga meningkat. Ketika itu, angkanya tercatat mencapai
sekitar 50 persen dari total penduduk. Pendapatan per kapita yang mencapai
1.155 dolar/kapita pada 1996 dan 1.088 dolar/kapita pada 1997 menciut
menjadi 610 dollar/kapita pada 1998. Dua dari tiga penduduk Indonesia,
sebagaimana dicatat oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO), berada
dalam kondisi yang sangat miskin pada 1999 jika ekonomi tak segera
diperbaiki.

Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih


mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 berubah
menjadi nol persen kuartal terakhir 1997. Angkanya terus menciut tajam
menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I/1998, kontraksi 16,5
persen kuartal II/1998, dan terus terkontraksi 17,9 persen kuartal III/1998.
Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah mencapai 54,54
persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.

Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di


tengah krisis, ternyata sama terpuruknya alias tak mampu memanfaatkan
momentum depresiasi rupiah. Karena dunia bisnis sudah tercekik akibat
beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade
financing, dan persaingan ketat di pasar global. Selama periode Januari-Juni
1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama
1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.

Kini, tak terasa sudah 20 tahun masa itu berlalu. Telah berlangsung
beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional. Secara umum, semuanya
berjalan baik. Pelan-pelan kondisi ekonomi juga mulai tenang. Setiap
pemerintahan baru yang terbentuk juga mendapati tantangan dan
peluangnya masing-masing. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dari
kepemimpinan baru Jokowi-JK pun sama, yakni terobosan yang berani yang
tidak hanya berhenti di zona gembar-gembor infrastruktur.

Faktanya, presiden tidak lagi kebagian booming commodity sebagaimana era


SBY-JK dan SBY-Boediono. Karena booming commodity yang diprogresifkan
oleh lonjakan harga komoditas dunia tersebut menggenapkan rata-rata
pertumbuhan ekonomi di era SBY menjadi tercatat lebih baik. Jika tidak,
maka rerata pertumbuhan ekonomi sejak 1997 akan tergerus sekira 1,5
persen per tahun.

Rata-rata pertubuhan PDB Indonesia dari 1997 sampai 2013 hanyalah 3,8
persen. Jika kita tidak memasukkan krisis keuangan Asia alias memulai
analisis dari tahun 2000, rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia hanyalah 4,5
sampai 2006. Nah, peningkatan harga komoditas (commodity boom)
menambah 1,5 terhadap pertumbuhan PDB Nasional. Setelah peningkatan
harga komoditas menggandakan nilai ekspor Indonesia alias peningkatan
sekira USD 100 miliar, barulah rata-rata pertumbuhan PDB Indonesia
menjadi 6%.

Jadi, sebagaimana dicatat dengan apik oleh Gustav Papanek (2014),


sebagian peningkatan tersebut terjadi karena peningkatan harga-harga
barang yang secara tak terduga mewakili sekitar 5 persen pertumbuhan PDB.
Meskipun sebagian dari harga yang tak terduga tersebut terdiri dari
keuntungan yang dikirimkan ke luar negeri, sebagian lagi masih berada di
dalam negeri dan dianggap telah berhasil memberikan efek pengganda.

Pendeknya, ledakan harga komoditas menambah 1,5 persen per tahun


kepada pertumbuhan PDB Nasional dari 2006 hingga 2011. Tanpa itu,
pertumbuhan ekonomi hanya akan mampu tercatatkan angka sekira di
bawah 5 persen. Dan celakanya, kemungkinan terjadinya lonjakan harga
komoditas seperti itu lagi sangatlah kecil, bahkan sangat mustahil dalam
rentang beberapa tahun mendatang

Di tangan presiden pertumbuhan ekonomi terbilang cukup stabil. Jika


dibanding target yang ditetapkan dalam RPJMN atau APBN, hasilnya
memang agak kurang mentereng. Pada 2015, ekonomi Indonesia hanya
bertumbuh 4,88 persen, meleset sekira 0, 82 persen dibanding target APBN
dan tergelincir 0,92 dibanding RPJMN. Lalu tumbuh 5,02 persen pada 2016,
meleset tipis 0,12 dibanding APBN dan 1,8 persen dibanding RPJMN.

Dan, pemerintah berhasil menorehkan pertumbuhan ekonomi nasional pada


2017 sebesar 5, 06 persen, yang berarti meleset sekira 0,16 dibanding APBN
dan 2,06 dibanding RPJMN. Sekalipun demikian, secara komparatif torehan
pemerintah masih sangat gemilang. Untuk melengkapi itu, pemerintah masih
memerlukan terobosan lain, terutama terkait angka pertumbuhan yang lebih
progresif dan kualitas pertumbuhan itu sendiri.

Sekalipun secara komparatif angka yang diraih cukup menggembirakan,


sejatinya secara domestik Indonesia masih memerlukan angka yang jauh
lebih tinggi agar kue ekonomi yang tersajikan bisa mengimbangi lonjakan
angkatan kerja yang kian besar (bonus demografi), mengurangi
pengangguran, dan memperkecil angka kemiskinan.
BAB III

Alternatif Solusi atau Kebijakan yang diambil

Untuk mengurangi tekanan depresiasi Rupiah, kebijakan-kebijakan


moneter yang ditempuh melingkupi berbagai hal, antara lain pelebaran band
intervensi, pembatasan transaksi valuta asing oleh perbankan, perubahan
system nilai tukar dan pengetatan likuiditas perbankan. Berbagai langkah
tidak sepenuhnya berhasil menahan laju depresiasi rupiah karena krisis
dimaksud dalam waktu singkat telah berkembang dari semula krisis moneter
menjadi krisis ekonomi, krisis sosial budaya, dan krisis politik sehingga
menjadi krisis multidimensi.

Kesimpulan

Pada tahun 1997-1998 kebijakan moneter yang digunakan oleh


pemerintah belumlah sempurna, sehingga menyebabkan terjadinya krisis
moneter. Dimana, masalah awal dimulai dari melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, akibatnya utang luar negri juga meningkat sedangkan
untuk mengatasi hal tersebut diperlukan jumlah rupiah yang tidak sedikit.
Disisi lain, para perusahaan juga banyak yang gulung tikar, para pegawai di
PHK yang berujung pengangguran, dan dampak paling buruk dari hal ini
adalah kemiskinan.
20 tahun setelah masa krisis moneter, kebijakan moneter yang
diterapkan pemerintah sekarang sedikit memperbaiki kondisi perekonomian.
Faktanya hal tersebut dilihat dari meningkatnya harga komoditas yang juga
menyumbang untuk pertumbuhan PDB Nasionl.
Daftar pustaka

https://news.detik.com/kolom/d-4032343/memori-krisis-moneter-19971998

https://www.bi.go.id/id/tentang-
bi/museum/sejarahbi/bi/Documents/f0c4cdd061e4493fafe0cadf16ec4235Seja
rahMoneterPeriode19971999

Anda mungkin juga menyukai