Anda di halaman 1dari 4

PERIODISASI PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Periodisasi dapat diartikan sebagai pembabakan suatu masa yang akan selalu dihubungkan dengan
waktu. Melalui periodisasi, suatu sejarah peristiwa dapat dijelaskan dengan baik dengan rentang
waktu yang panjang. Kata periodisasi ini juga mengacu pada pembagian sejarah yaitu mengenai era,
zaman, dan periode waktu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa periodisasi perekonomian indonesia
merupakan pembabakan suatu era atau zaman terhadap pertumbuhan perekonomian negara
Indonesia.

Periodisasi perekonomian Indonesia dapat kita amati setelah masa kemerdekaan. Setelah
kemerdekaan, sistem perekonomian yang sebelumnya diatur oleh pemerintah Belanda perlahan
diubah oleh pemerintah Indonesia melalui adanya perubahan era pemerintahan. Setiap era
pemerintahan memiliki periodisasi perekonomian yang berbeda-beda dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan yang berlaku di dunia. Masa kepemimpinan juga ikut memberikan pengaruh terhadap
periodisasi perekonomian di Indonesia setelah kemerdekaan.

Era sebelum reformasi

1. Soekarno (1945-1967)
Masa orde lama
Pada masa ini, kondisi perekonomian Indonesia masih belum stabil karena kondisi
keuangannya yang sangat buruk. Hal ini disebabkan oleh beredarnya lebih dari satu mata
uang dengan tidak terkendali sehingga inflasi sangat tinggi pada masa ini. Oleh karena
banyaknya jumlah mata uang yang beredar, pemerintah Indonesia mengeluarkan uang
kertas yang baru, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai pengganti mata uang Jepang
pada bulan Oktober 1946. Selain itu, belanda juga melakukan blokade ekonomi pada bulan
November 1945 yang bertujuan untuk menutup pintu perdagangan luar negeri. Namun,
Indonesia tidak menyerah. Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kesulitan
yang terjadi dalam bidang ekonomi masa itu seperti program pinjaman nasional yang
dilakukan oleh menteri keuangan, menembus blokade ekonomi dengan melakukan
diplomasi beras ke negara India, melakukan kontak dengan perusahaan swasta di Amerika,
sampai menembus blokade Belanda di wilayah Sumatera.

Masa Demokrasi Liberal


Pada masa ini, periodisasi perekonomian di Indonesia disebut masa liberal karena dalam
praktik politik dan ekonominya menggunakan paham pemikiran liberal. Bukannya
memberikan solusi ke arah perbaikan perekonomian di Indonesia setelah kemerdekaan,
tetapi malah semakin memburuk. Oleh karena itu, pemerintah segera melakukan tindak
antisipasi untuk mengatasi kondisi tersebut dengan diberlakukannya pemotongan nilai mata
uang yang terjadi pada tanggal 20 Maret 1950 oleh Gunting Syarifudin untuk mengurangi
jumlah mata uang yang beredar, kemudian mengubah Nasionalisasi De Javasche
Bank menjadi Bank Indonesia melalui Undang-Undang No.24 Tahun 1951 yang berfungsi
sebagai bank sentral dan sirkulasi, dan juga membuat program Benteng dalam kabinet Natsir
untuk menumbuhkan wiraswastawan dari kalangan pribumi serta mendorong importir
nasional untuk bisa bersaing dengan perusahaan impor dari asing. Namun, di tengah
perjalanannya, program ini gagal diimplementasikan karena sifat pengusaha pribumi yang
cenderung konsumtif.

Masa Demokrasi Terpimpin


Memasuki masa demokrasi terpimpin, sektor perekonomian di Indonesia diatur oleh
pemerintah. Hal ini disebabkan oleh dikeluarkannya dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959. Pada
masa ini, dengan sistem demokrasi terpimpin diharapkan mampu membawa Indonesia pada
kemakmuran bersama dalam persamaan sosial, politik, dan ekonomi. Namun, kebijakan
ekonomi yang diambil oleh pemerintahan Indonesia masih belum bisa mengubah kondisi
perekonomian Indonesia. Tetapi, pemerintah Indonesia tetap berupaya untuk memperbaiki
keadaan dengan melakukan devaluasi pada tanggal 25 Agustus 1959, yaitu terjadi
penurunan nilai mata uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, Rp 1000 menjadi Rp 10.
Kemudian membentuk deklarasi ekonomi yang bertujuan untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis melalui cara demokrasi terpimpin. Namun, yang terjadi adalah stagnansi bagi sistem
perekonomian di Indonesia karena Pemerintah tidak melakukan penghematan terhadap
pengeluaran-pengeluarannya dan ditambah dengan terjadinya devaluasi nilai mata uang lagi
pada tanggal 13 Desember 1965, di mana uang Rp1000 menjadi Rp1.

Masa Orde Baru


Periodisasi selanjutnya setelah masa demokrasi terpimpin adalah masa Orde Baru. Pada
masa ini, stabilisasi ekonomi dan politik menjadi fokus utama pemerintah. Program
pemerintah yang diterapkan berorientasi pada pengendalian inflasi mengingat pada awal
tahun 1966 tingkat inflasinya mencapai 650% per tahun, menyelamatkan keuangan negara,
serta melakukan pengamanan terhadap kebutuhan pokok. Kebijakan ekonomi yang
diterapkan oleh pemerintah Indonesia ini diarahkan pada pembangunan di segala bidang
kehidupan bangsa. Namun, kondisi perekonomian Indonesia pada masa ini tidaklah berjalan
seperti yang harapkan. Masa Orde Baru diwarnai kondisi di mana kerusakan dan
pencemaran sumber-sumber kekayaan alam, perbedaan yang terjadi antardaerah, golongan
pekerjaan dan kelompok, dan menumpuknya utang luar negeri. Selain itu, juga marak
terjadinya praktik KKN, sehingga tidak ada keseimbangan antara ekonomi dan sosial politik.

2. Soeharto (1967-1998)

MASA kepemimpinan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan presiden lain


Indonesia hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia juga paling dirasakan pada
eranya.
Ia menjadi presiden di saat perekonomian Indonesia tak dalam kondisi baik. Masih dalam
orde baru,Pada tahun 1967, ia mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1967,
tentang Penanaman Modal Asing. UU ini membuka lebar pintu bagi investor asing untuk
menanam modal di Indonesia. Tahun berikutnya, Soeharto membuat Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang mendorong swasembada. Program ini
mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tembus 10,92 persen pada 1970.
Iklim ekonomi Indonesia pada saat itu lebih terarah, dengan sasaran memajukan pertanian
dan industri. Hal ini membuat ekonomi Indonesia tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-
tahun berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung
tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen. Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan
ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden. Sehingga sangat
bergantung pada pemerintahan. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis moneter. Hal
tersebut disebabkan nilai mata uang yang terus menurun hingga 600% dari tahun 1997 dan
kemudian mencapai nilai terendahnya di tahun 1998. Hal ini juga dipicu oleh utang luar
negeri yang sangat besar sehingga menyebabkan perekonomian Indonesia mendapatkan
tekanan berat. Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tidak independen. BI hanya
alat penutup defisit pemerintah. Sehingga tidak dapat membantu perekonomian Indonesia
dalam menghadapi krisis moneter. Negara bilateral pun menarik diri untuk membantu
ekonomi Indonesia yang pada saat itu krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi
pun merosot menjadi minus 13,13 persen. Pada saat itu, indonesia menandatangani
kesepakatan dengan IMF karena dinilai dapat memberikan solusi untuk Indonesia. Sebagai
organisasi dana moneter internasional, IMF memberikan solusi dengan menawarkan paket
reformasi keuangan untuk menanggulangi krisis. Namun, bukannya membawa dampak
yang bagus, paket reformasi keuangan ini malah membuat nasabah memutuskan untuk
menarik dana besar-besaran. Kondisi ini makin memperparah krisis moneter 1998, karena
membuat bank-bank memberikan pinjaman secara terbatas.

Era reformasi

1. B.J. Habibie (1998-1999)

Masa kepemimpinan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie lebih dikenal sebagai rezim transisi.
Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi ekonomi, dari posisi
pertumbuhan minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79 persen pada 1999. Habibie
menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter dan membawa perekonomian
Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per
dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp 7.000 per dollar AS pada November 1998. Pada masa
Habibie, Bank Indonesia mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.

2. Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie mendongkrak


pertumbuhan ekonomi pasca krisis moneter 1998. Secara perlahan, ekonomi Indonesia
tumbuh 4,92 persen pada 2000. Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur menerapkan
kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi dana secara
berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak dan
retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh melambat menjadi
3,64 persen. 

3. Megawati Soekarnoputri (2001-2004)

Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara bertahap


terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5
persen dari 3,64 persen pada tahun sebelumnya. Kemudian, Di akhir pemerintahan
Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh hingga 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen hingga 16,7 persen pada 2004.
Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor perbankan lebih ketat
hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara langsung.
Saat itu, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali. Meski tak ada lagi repelita seperti
di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku-
pelaku ekonomi.

4. Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono


(SBY) relatif stabil. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun, angka ekspor juga
tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang. Pada 2009, di akhir periode
pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh
melambat di angka 4,63 persen. Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial
global yang tak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank
Sentral Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas
global naik. Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi
walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk tiga terbaik di
dunia. Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh dengan capaian 6,22 persen.
Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan pembangunan ekonomi Indonesia
jangka panjang. Pada 2011, ekonomi Indonesia tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan
pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012 yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan
kembali terjadi setelah itu, dengan capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada
2014. 

5. Joko Widodo (2014-sekarang)

Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo mengubah struktur APBN dengan lebih


mendorong investasi, pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia
lebih memiliki daya saing. Terdapat juga Beberapa peristiwa global penting antara lain
penurunan harga beberapa komoditas yang berakibat pada adanya tekanan terhadap ekspor
Indonesia, pelambatan ekonomi Tiongkok sebagai entitas ekonomi terbesar dunia yang
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara global, perang dagang antara Amerika
Serikat dan Tiongkok yang menciptakan kembali high cost economy dan mengganggu
sisi supply, serta tentunya pandemi Covid-19 yang memberikan tekanan hebat terutama
kepada sektor industri baik dari sisi supply dan maupun sisi demand. Dengan latar belakang
kondisi global yang penuh dengan gejolak dan ketidakpastian tersebut, perjuangan bangsa
Indonesia dalam membangun sektor industri manufaktur yang berdaulat, mandiri, berdaya
saing, dan inklusif menghadapi tantangan yang tidak mudah.   

https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-periodisasi/

http://desiares.blogspot.com/2017/09/periodisasi-perekonomian-indonesia.html

https://jeo.kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa

https://kemenperin.go.id/artikel/22893/Refleksi-Tujuh-Tahun-Pemerintahan-Presiden-Joko-Widodo-Dalam-
Pembangunan-Industri-Manufaktur

Anda mungkin juga menyukai