2016
1. Latar Belakang
Soeharto mulai menjalankan tugasnya sebagai presiden Indonesia
kedua pada 12 Maret 1967 yang dinamakan dengan era Orde Baru. Orde
Baru mengawali rezimnya dengan menekankan pada prioritas stabilitas
ekonomi dan politik. Program pemerintah berorientasi pada pengendalian
inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok
rakyat. Pembangunan era Orde Baru berfokus pada upaya perbaikan
ekonomi nasional melalui pengembangan struktur administrasi
pembangunan yang didominasi oleh personel militer bersinergis dengan
para ahli ekonomi didikan Barat. Presiden Soeharto merestrukturisasi
politik dan ekonomi demi tujuan ganda, yaitu untuk mencapai stabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi. Pentingnya aspek pemerataan,
tampaknya disadari betul dalam masa ini, sehingga muncul istilah 8
(delapan) jalur pemerataan sebagai basis kebijakan ekonominya.
Kedelapan jalur tersebut adalah; 1). Kebutuhan pokok, 2). Pendidikan dan
kesehatan, 3). Pembagian pendapatan, 4). Kesempatan kerja, 5).
Kesempatan berusaha, 6). Partisipasi wanita dan generasi muda, 7).
Penyebaran pembangunan, 8). Peradilan. Agar implementasi kebijakan
tersebut berjalan dengan baik dan terencana, maka kebijakan tersebut
dilaksanakan melalui apa yang dinamakan dengan sebutan pola umum
pembangunan jangka panjang (25-30 tahun). Pola ini berlangsung dalam
periodisasi lima tahunan, sehingga terkenal dengan sebutan Repelita
(Rencana Pembangunan Lima Tahun).
2. PEMBAHASAN
2.1 Kebijakan Era Orde Baru
Sejak awal, pemerintah Orde Baru menyadari bahwa kebijakan
anti Barat yang merupakan suatu ciri mencolok dari pemerintah Soekarno
juga telah menimbulkan kesulitan bagi Indonesia. Oleh karena itu,
pemerintah Orde Baru memutuskan untuk meninggalkan kebijakan
“memandang ke dalam” (inward-looking policies) yang hanya membawa
kebangkrutan bagi Indonesia dan menggantikannya dengan kebijakan
“memandang ke luar” (out-ward policies). Kebijakan ini dicirikan oleh
kebijakan perdagangan luar negeri dan kebijakan investasi asing yang
bersifat lebih liberal itu artinya, pemerintah Indonesia mulai menerapkan
kebijakan yang dapat menghapus atau mengurangi berbagai rintangan
atas perdagangan luar negeri dan investasi asing (Abdul Syukur, dkk,
2010 : 153).
Salah satu tindakan pertama Soeharto setelah mengambil alih
pimpinan negara adalah menugaskan tim penasihat ekonominya, yang
terdiri atas kelima dosen FEUI, yaitu Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana,
Mohammad Sadli, Soebroto, dan Emil Salim untuk menyusun suatu
program stabilisasi dan rehabilitasi. Tujuan utama dari program ini
adalah memulihkan stabilitas makro ekonomi dengan menghentikan
hiperinflasi setinggi 600% yang telah berkecamuk pada akhir masa
pemerintahan Soekarno. Alat kebijakan utama untuk menurunkan laju
inflasi adalah anggaran berimbang (balance budget), artinya pengeluaran
pemerintah dibatasi oleh penerimaan pemerintah (Abdul Syukur, dkk,
2010 : 154- 155).
Abdul syukur, Diana Nomida Musnir, dkk. 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah:
Orde Baru dan Reformasi. PT Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta.
Pemerintah Orde Lama tak bisa mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di
penghujung 1950-an. Imbasnya sempat terjadi meroketnya inflasi (hiperinflasi) yang
mencapai 635% pada 1966. Dengan berbegai kebijakan ekonomi, pemerintah Orde
Baru mampu meredam hiper inflasi itu. Franciscus Xaverius Seda (Menteri Keuangan
1966-1968) menjadi aktor utama dari upaya menekan inflasi menjadi 112%. Frans
mengatasi permasalahan ekonomi saat itu dengan cara menerapkan model anggaran
penerimaan dan belanja yang berimbang. Hal itu untuk meredam imbas dari kebijakan
pemerintahan sebelumnya yang rajin mencetak uang. Upaya yang dilakukan
pemerintah Orde Baru terbilang berhasil saat itu. Ekonomi RI mulai stabil.
Salah satu vitamin dari sembuhnya perekonomian ketika RI dibawah pimpinan
Soeharto kembali bergabung dengan lembaga pemberi utang dunia alias International
Monetary Fund (IMF) pada 1967. Sebelumnya Presiden Soekarno sudah mencabut
keanggotaan Indonesia di IMF pada 1965 karena permasalahan politik. Era
pemerintahan Orde Baru indonesia jadi angota IMF sejakgalami titik penting lainnya
saat terjadi booming minyak pada periode 1974-1982. Tingginya harga minyak di
pasar internasional membuat pemerintah orde baru mendapatkan pemasukan yang
cukup besar.
Pada 1977 Indonesia memproduksi begitu banyak minyak hingga mencapai
1,68 juta barel perhari, sementara konsumsi BBM rakyat Indonesia hanya sekitar
300.000 barel per hari. Ini yang menyebabkan Indonesia masuk dalam organiasasi
OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries).Besarnya pemasukan
negara dari sektor minyak, membuat pemerintah orde baru memiliki amunisi untuk
melakukan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan saat mengarah pada tujuan
sosial.
Menurut data sejarah yang dicatat Bank Indonesia (BI), kondisi itu
memungkinkan pemerintah memacu kegiatan pembangunan ekonomi dan
melaksanakan program pemerataan pembangunan lewat penyediaan kredit likuiditas,
termasuk pemberian kredit untuk mendorong kegiatan ekonomi lemah. Namun,
pengucuran deras kredit perbankan tersebut mengakibatkan uang beredar meningkat
dalam jumlah yang cukup besar. Akibatnya, tingkat inflasi 1973/1974 melonjak tajam
menembus angka 47%.
Pemerintah Orde Baru kembali berbenah diri dengan melakukan program
stabilisasi. Pada 1974/1975 inflasi pun turun menjadi 21%. Hal ini memberi peluang
Pemerintah untuk menurunkan suku bunga deposito dan kredit jangka pendek
terutama ekspor dan perdagangan dalam negeri pada Desember 1974 guna mendorong
pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pelonggaran itu justru menimbulkan tekanan
inflatoir sehingga mengakibatkan lemahnya daya saing produk Indonesia di luar
negeri karena nilai rupiah menjadi over valued.
Hingga pada akhirnya, pada tahun 1997 mulai ada tanda-tanda krisis ekonomi
sehingga pemerintah Orde Baru tidak bisa mengendalikan kekacauan yang terjadi.
Sampai akhirnya dolar AS menyentuh titik tertinggi sepanjang masa di Rp 16.650
pada Juni 1998. Kondisi itu menimbulkan kekacauan di Indonesia. Hingga akhirnya
Orde Baru tumbang digantikan Reformasi pada Mei 1998.