Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PEREKONOMIAN INDONESIA

SEJARAH PARADIGMA PEREKONOMIAN


INDONESIA
Dosen Pengampu : Dr. Agus Salim, SE.,MM

Oleh:

1. NURHAIDAH : (21501081245)

MANAJEMEN F
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2017

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia umumnya dibagi kedalam tiga kurun waktu yaitu Orde
Lama (1945-1966), Orde Baru (1966-1998), dan Orde Reformasi (1998-sekarang).
Salah satu pertimbangan mengapa gambaran perekonomian Indonesia dimulai sejak
Indonesia merdeka, yaitu tanggal 17 Agustus 1945, karena sejak tanggal tersebut
Indonesia telah bebas menentukan nasibnya sendiri, di mana sebelumnya nasib
Indonesia berada di tangan penjajah.

B. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Perekonomian Pada Masa Orde Lama
2. Perekonomian Pada Masa Orde Baru
3. Perekonomian Indoonesia Pada Masa Reformasi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perekonomian Pada Masa Orde Lama


Perekonomian Indonesia pada masa Orde Lama dimulai sejak Indonesia merdeka
17 Agustus 1945 sampai 10 Maret 1966. Selama masa orde lama, perekonomian
Indonesia berkembang kurang mengembirakan. Keadaan ini tidak lepas dari stabilitas
politik yang tidak menguntungkan kehidupan ekonomi, demokrasi yang dianut pada
masa Orde Lama adalah demokrasi terpimpin dengan kabinet parlementer. Pada masa itu
pemerintah mengalami jatuh bangun dan kabinet silih berganti. Selama Desember 1949-
Agustus 1959 telah terjadi 8 pergantian kabinet, mulai dari kabinet Hatta dan kabinet
Djuanda.
Situasi perekonomian yang penting pada masa Orde Lama adalah sebagai berikut:
a) Pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan dengan laju 6,9 persen
dalam periode 1952-1958, lalu turun drastis menjadi 1,9 persen dalam periode
1960-1965. Pada periode 1951-1966, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai
2,7 persen per tahun. Sementara itu, defisit anggaran belanja pemerintah terus
membengkak dari tahun ke tahun. Bahkan pada masa kabinet Hatta, Desember
1949-1950, telah terjadi reformasi moneter melalui devaluasi mata uang secara
serempak dan pemotongan jumlah uang yang beredar pada bulan Maret 1950.
b) Pada tahun 1951 terjadi nasionalisasi perusahaan asing (terutama milik Belanda)
yang dilaksanakan secara besar-besaran pada tahun 1958 sebagai realisasi dari
pemberlakuan UU No. 78/1958 tentang investasi Asing, yang pada intinya
berisikan kebijakan anti-investasi asing. Karena pada saat itu investasi asing
dianggap dapat menghambat pembangunan ekonomi Indonesia, kejadian
tersebut memperburuk keadaan perekonomian Indonesia dan pemerintah pada
saat itu kurang mempertimbangkan dampaknya.
c) Pada tahun 1965 didirikan Bank Berjuang yang merupakan penggabungan
semua bank milik pemerintah. Pada masa Orde Lama, sistem perbankan
Indonesia hanya sekedar Sebagai pemasok dana proyek pemerintah melalui
pencetakan uang, terutama proyek-proyek khusus presiden.
d) Ditinjau dari Angkatan Kerja, pekerjaan, dan upah, pada masa Orde Lama
hampir sebagian besar (72%) bekerja di sektor pertanian, sedangkan sisanya
sebesar 9,5% di sektor industri. Jumlah pengangguran pada masa Orde Lama
hanya sebanyak 1,8 juta dari 34,5 juta angkatan kerja. Jika dilihat dari jenis
kelamin, ternyata jumlah pengangguran wanita lebih banyak daripada laki-laki.
Upah yang diterima pekerja pada masa Orde Lama relatif sangat rendah, bahkan
pada kurun waktu 1950-1960 terjadi perkembangan upah riil yang negatif.
e) Ditinjau dari neraca ekonomi nasional pada masa Orde Lama sangatlah
memprihatinkan. Anggaran pemerintah selama tahun 1955-1965 senantiasa
mengalami defisit yang semakin membesar. Ini berarti bahwa pengeluaran
pemerintah lebih besar dibandingkan pendapatan. Untuk mengatasi defisit
tersebut, usaha yang dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pencetakan uang
baru. Selain anggaran pemerintah yang defisit, defisit neraca ekonomi nasional
pada masa Orde Lama juga tercermin dalam neraca perdagangan dan
pembayaran.

2.2 Perekonomian Pada Masa Orde Baru


Perekonomian Pada Masa Orde Baru berlangsung mulai dari 11 Maret 1966, yaitu
bertepatan dengan dikeluarkannya surat perintah sebelas maret (SUPERSEMAR),
sampai lengsernya Soeharto dari kusi kepresidenan Republik Indonesia pada tanggal 21
Mei 1998. Untuk memudahkan dalam mendiskripsikan perekonomian Indonesia pada
masa Orde Baru tersebut, kita membedakannya menjadi dua bagian yaitu jangka pendek
dan jangka panjang yang pada dasarnya saling berkaitan.
Pelaksanaan perekonomian Indonesia dalam jangka pendek biasanya dibedakan
menjadi empat tahapan berikut:
a) Tahap Penyelamatan (Juli – Desember 1996)
b) Tahap Rehabilitasi (Januari – Juni 1967)
c) Tahap Konsolidasi (Juli – Desember 1967)
d) Tahap Stabilisasi (Januari – Juli 1968)
Pada program ekonomi jangka pendek Indonesia juga membuka peluang bagi
masuknya investasi asing dan menaruh kepercayaan besar pada kekuatan pasar. Dalam
jangka pendek akan dilakukan berbagai kebijakan antara lain:
a) Di sektor moneter dilakukan reformasi besar-besaran atas sistem perbankan yaitu
dengan dikeluarkannya tiga Undang-Undang baru tentang perbankan: UU tentang
perbankan tahun 1967, UU tentang Bank Sentral tahun 1968, dan UU tentang Bank
Asing tahun 1968.
b) Dalam mendukung kebijakan pembangunan jangka pendek pemerintah
memperkenalkan kebijakan Anggaran Berimbang (Balanced Budget Policy).
Berkenaan dengan utang luar negeri dibentuk konsorsium negara-negara donator
bernama Inter Government Group On Indonesia (IGGI) dan pada bulan Agustus 1965
Indonesia kembali menjadi anggota internasional Monetary Fund (IMF).
Program jangka panjang dilakukan setelah berhasil memulihkan stabilitas
perekonomian yang dimulai sejak 1 April 1969. Program pembangunan jangka panjang
ini dibagi ke dalam tahapan pembagunan lima tahunan atau yang lebih dikenal dengan
Pelita. Pelaksanaan pembangunan lima tahunan menerapkan strategi pembangunan yang
dilanjutkan dengan kebijakan pembangunan yang berlandaskan pada trilogi
pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pemerataan hasil-hasil
pembangunan, dan stabilitas nasional yang sehat serta dinamis.
Pada Pelita I (1969- 1974) prioritas pertama diarahkan pada sasaran pemeliharaan
stabilitas perekonomian, diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
pemerataan hasil-hasil pembangunan. Pelita II (1974- 1979) yang mengurutkan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebagai prioritas utama, diikuti oleh
pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan stabilitas perekonomian.
Pembangunan Indonesia pada awal Orde Baru melalui Pelita I dan II telah mampu
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Tingginya pertumbuhan
perekonomian tersebut tidak terlepas dari penggaruh internasional, khususnya yang
berkaitan dengan bonanza atau rezeki nomplok dari minyak bumi. Indonesia sebagai
negara anggota OPEC diuntungkan dengan tingginya harga minyak di pasaran
internasional. Karena itu, pada dekade tersebut perekonomian Indonesia sering dikenal
dengan masa oil boom yang merupakan sumber partumbuhan ekonomi Indonesia.
Pelita III sampai Pelita V yang menitikberatkan pada pemerataan hasil-hasil
pembangunan sebagai prioritas pertama, yang kemudian diikuti oleh pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi kembali
mengalami penurunan. Kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh internasional yang pada
saat itu krisis energi dunia sudah dapat teratasi sehingga harga minyak internasional
kembali mengalami penurunan. Indonesia yang hanya mengandalkan migas sebagai
komoditi ekspornya melupakan komoditi nonmigas. Pertengahan tahun Pelita III sampai
Pelita VI senantiasa diambil berbagai kebijakan yang diarahkan untuk menggalakan serta
menumbuhkan komoditi nonmigas sebagai komoditi ekspor.
Di samping keberhasilan perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru tersebut,
ada beberapa hal penting yang perlu diuraikan berdasarkan potret umum per aspek
selama Orde Baru. Aspek - aspek tersebut yaitu:
a) Relative terpeliharanya stabilitas nasional sekaligus menjadi kesuksesan mengatasi
masalah paling mendasar dalam perekonomian, yaitu menekan laju inflasi.
b) Struktur perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru sudah lebih kokoh dan
seimbang jika dilihat baik dari sisi penerimaan Negara, penerimaan devisa, dan
penerimaan ekspor, maupun dari sisi investasi.
c) Dalam bidang fiskal, prinsip anggaran yang berimbang dinamis senantiasa dianut.
Berimbang disini berarti bahwa penerimaan senantiasa harus sama dengan
pengeluaran.
d) Dalam bidang moneter terjadi perubahan struktur secara mendasar setelah
diluncurkan paket deregulasi kebijakan 27 Oktober 1988, yaitu jumlah bank
sebanyak 111 dengan 1.728 kantor dalam tahun 1988 melonjak menjadi 239 bank
dengan 6.022 kantor pada tahun 1994.
e) Dalam hal utang luar negeri, pembayaran kembali angsuran pokok dan bunga utang
kian membesar baik jumlah mutlak maupun peranan relatifnya terhadap seluruh
pengeluaran rutin.

2.3 Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi


Perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan Reformasi diawali dengan krisis
moneter/depersiasi rupiah sejak semester II tahun 1997, yaitu kinerja perekonomian
Indonesia menurun tajam dan berubah menjadi krisis yang berkepanjangan diberbagai
bidang. Proses penyebaran krisis berkembang cepat mengingat tingginya keterbukaan
perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negeri yang sangat besar.
Krisis berkembang semakin parah karena adanya berbagai kelemahan mendasar dalam
perekonomian nasional, terutama ditingkat mikro. Bersamaan dengan itu, penggelolahan
perekonomian dan sektor usaha (corporate governance) yang kurang efisien serta sistem
perbankan yang rapuh menyebabkan gejolak nilai tukar berubah menjadi krisis utang
swasta dan krisis perbankan.
Upaya pemerintah untuk mengatasi krisis belum menujukkan hasilnya karena krisis
kepercayaan terhadap kemampuan pengelolaan dan prospek perekonomian semakin
meluas. Sementara itu, berbagai isu politik yang muncul bersamaan dengan semakin
memburuknya kinerja perekonomian, semakin mempersulit upaya pemulihan
perekonomian. Dengan kondisi yang sedemikian buruknya, serta menyadari adanya
beberapa kelemahan mendasar baik disektor rill maupun sector lainnya, pemerintah
berinisiatif menempuh program stabilisasi dan reformasi untuk menyehatkan serta
memulihkan perekonomian.
Program tersebut mendapat bantuan teknis dan keuangan dari beberapa negara-
negara sahabat yang dikoordinasikan oleh IMF. Pada tanggal 15 November 1997, IMF
telah menyetujui pemberian pinjaman siaga (stand-by credit) kepada Indonesia. Di luar
paket tersebut, pemerintah Indonesia juga mendapatkan bantuan keuangan sebagai
second line of defence dari negara-negara sahabat. Melihat perkembangan ekonomi
sampai bulan januari 1998 yang semakin kurang menguntungkan, antara lain tercermin
pada merosotnya nilai rupiah dan melonjaknya laju inflasi, pemerintah memandang perlu
untuk mempercepat proses penyehatan ekonomi sekaligus merevisi target-target
makroekonomi. Pada tanggal 15 Januari 1998 inilah yang mendasari kesepakatan
lanjutan antara Indonesia dan IMF. Selajutnya, bulan Maret 1998, IMF melakukan
pengkajian terhadap pelaksanaan program stabilisasi dan reformasi.
Langkah langkah yang telah ditempuh pemerintah dalam menjalankan program
penyehatan ekonomi hingga 31 Maret 1998, berkaitan dengan kebijakan makroekonomi
yang meliputi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal, juga ada kebijakan lainnya yang
berkaitan dengan restrukturisasi sektor keuangan, reformasi di sektor riil, perdagangan
luar negeri, investasi, privatisasi dan deregulasi, serta jaringan pengamanan sosial.
Langkah – langkah dalam menjalankan program penyehatan ekonomi:
a) Kebijakan Fiskal
Langkah-langkah di bidang fiskal pada dasarnya ditunjukan untuk meningkatkan
penerimaan negara dan melakukan berbagai penghematan yang diikuti dengan
peningkatan disiplin anggaran. Langkah – langkah tersebut yaitu:
1. Memperbaiki administrasi dan struktur pajak.
2. Meningkatkan penerimaan pajak melalui peningkatan pajak barang mewah,
cukai minuman beralkohol, dan cukai tembakau.
3. Menghapus pengecualian PPN.
4. Meningkatkan proporsi tanah dan bangunan kena pajak bagi usaha perkebunan
dan kehutanan menjadi 40%.
5. Mengurangi subsidi secara bertahap untuk BBM dan Listrik.
6. Melaksanakan transparansi fiskal dengan memasukkan dana reboisasi dan dana
investasi dalam anggaran pemerintah.
7. Membatalkan/menunda proyek-proyek infrastruktur.
8. Menghapus pengecualian pajak, bea masuk, dan credit priviledges yang semula
diberikan pada proyek IPTN.
9. Menanggung biaya subsidi kredit yang diberikan kepada pengusaha kecil.
b) Kebijakan Moneter
Langkah – langkah di bidang moneter ditujukan untuk menyesuaikan kebutuhan
likuiditas perekonomian dan suku bunga demi menstabilkan nilai tukar rupiah.
Langkah – langkah tersebut:
1. Meningkatkan suku bunga SBI untuk semua jangka waktu.
2. Melakukan intervensi di pasar valas apabila dirasakan efektif, baik yang
dilakukan oleh BI maupun secara bersama-sama dengan bank sentral negara lain
(concerted intervention).
3. Melakukan pembatasan transaksi forward bank-bank nasional dengan
nonresident sampai dengan $5 juta.
4. Menurunkan giro wajib minimum valas dari 5% menjadi 3% atas dana pihak
ketiga dalam valas.
5. Memberikan kewenangan penuh pada bank pemerintah untuk menyesuaikan
suku bunga kredit dan simpanan.
6. Memberikan fasilitas swap khusus untuk eksportir tertentu (PET) dan fasilitas
forward kepada importir produk ekspor.
7. Memperluas cakupan fasilitas rediskonto wesel ekspor kepada PET dari hanya
rediskonto pascapengapalan (post-shipment),menjadi termasuk prapengapalan
(pre-shipment).
8. Meningkatkan independensi Bank Indonesia dalam menetapkan suku bunga dan
melaksanakan kebijakan moneter.
9. Membentuk tim penyelesaian utang luar negeri swasta untuk membantu
penyelesaian utang luar negeri swasta.
c) Restrukturisasi Sektor Keuangan
Restrukturisasi sektor keuangan ditujukan untuk menyehatkan dan memperkuat
sistem keuangan nasional melalui restrukturisasi perbankan serta memperkuat
kerangka hukum dan pengawasan perbankan. Langkah – langkah tersebut:
1. Mencabut izin usaha 16 bank insolven.
2. Menempatkan bank pembangunan daerah yang tidak sehat di bawah pengawasan
ketat BI.
3. Mengumumkan rencana merger bank-bank pemerintah dan diikuti dengan
rencana merger bank-bank swasta.
4. Memberikan jaminan penuh kepada semua deposan dan kreditor semua bank
umum yang berbadan hokum Indonesia.
5. Memberikan dukungan terhadap skim pinjaman luar negeri yang dijamin oleh
negara pemberi pinjaman dan menyalurkan pinjaman tersebut melalui bank-bank
di Indonesia deangan memberikan jaminan atas L/C impor serta
mengecualikannya dari ketentuan PKLN bank.
6. Memberikan bantuan likuiditas bagi bank-bank dengan perasyaratan kondisi
yang diperketat.
7. Membentuk BPPN yang fungsi utamanya adalah melaksanakan sistem
penjaminan dan prose restrukturisasi perbankan seefektif mungkin. BPPN
bertanggung jawab langsung kepada menteri keuangan.
8. Meningkatkan ketentuan modal minimum bank-bank umum secara bertahap.
9. Menetapkan klriteria bank-bank lemah yang akan dialihkan ke BPPN.
Selanjutnya 54 bank yang tidak sehat dialihkan pengawasannya kepada BPPN.
10. Merevisi kerangka kerja hokum untuk operasi perbankan termasuk UU
Kepailitan, UU Keterbukaan Perbankan, dan masalah jaminan.
11. Meningkatkan transparansi dan keterbukaan dalam perbankan.
12. Menghapus pembatasan pembukaan cabang bank asing.
13. Menghapus batasan pembelian saham bagi investor asing maksimal sebesar
49%, yang diperdagangkan pada perdagangan perdana, kecuali saham
perbankan.
d) Reformasi Strukural di Sektor Riil
Untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing nasional serta mengurangi berbagai
hambatan perdagangan luar negeri, pemerintah melakukan restrukturasi sector riil.
Restrukturasi tersebut dilaksanakan melalui reformasi di bidang perdangangan,
investasi, deregulasi, dan privatisasi.
e) Perdagangan Luar Negeri
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada masa Reformasi ini berkaitan dengan
hal-hal berikut:
1. Mengurangi tarif produk makanan hingga maksimum 5%.
2. Menghapus ketentua kandungan lokal pada produk susu.
3. Mengurangi tarif produk kimia sebesar 5%.
4. Mengurangi tarif produk pertanian non makanan sebesar 5%.
5. Mengurangi tarif besi/baja sebesar 5%.
6. Menghapus pembatasan impor kapal baru dan kapal bekas.
7. Menghapus pajak ekspor produk kulit, cork, ores, dan produk aluminium.
8. Menghapus PPN untuk pembelian bahan baku dan jasa dari pemasok dalam
negeri kepada perusahaan berstatus PET.
9. Menambah jenis komoditi dalam cakupan PET dari 10 menjadi 29.
10. Mengurangi secara bertahap pajak ekspor produk-produk tertentu, kecuali yang
bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
f) Investasi
Kebijakan yang diambil pemerintah pada masa reformasi yang berkaitan dengan
investasi antara lain:
1. Menhapus batasan 49% pemilikan saham perusahaan yang tercatat di bursa oleh
investor asing (kecuali perbankan).
2. Menghapus larangan investasi asing dalam perkebunan kelapa sawit.
3. Mencabut larangan investasi asing dalam perdagangan eceran.
4. Deregulasi dan privatisasi.
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada masa reformasi yang berkaitan
dengan deregulasi dan privatisasi antara lain:
1. Menghapus pembatasan pemasaran semen, kertas, dan kayu lapis.
2. Menghapus kendali harga semen (HPS).
3. Memperbolehkan produsen semen yang hanya memiliki izin eksportir umum
untuk mengekspor.
4. Menghapus tata niaga cengkeh (BPPC).
5. Melarang pemrintah daerah membatasi perdagangan di dalam dan antar provinsi,
termasuk perdagangan cengkeh dan vanilla.
6. Menghapus secara bertahap monopoli BULOG, kecuali dalm hal distribusi dan
penetapan harga dasar beras serta kedelai.
7. Membebaskan pihak swasta untuk melakukan impor dan penjualan gandum,
tepung terigu, kedelai, bawang putih, serta gula; penjualan dan distribusi tepung
terigu; impor dan pemasaran gula.
8. Membebaskan petani dari kewajiban menanam tebu.
9. Mempercepat proses privatisasi BUMN.
g) Jaringan Pengaman Nasional (Social Safety Net)
1. Mempertahankan anggaran pemerintah untuk pengeluaran kesehatan dan
pendidikan.
2. Menigkatkan pemberian bantuan kepada rakyat kecil dengan memperkuat
kemampuan lembaga perkreditan untuk usaha kecil dan menengah, khususnya
dalam penilaian kredit dan pengawasannya.
3. Menyediakan kredit likuiditas terutama untuk program pengembangan usaha
kecil (KKPA, KKUD, dll).
4. Memberikan fasilitas pembiayaan modal kerja bagi usaha kecil dan
mempermudah akses untuk memperoleh pembiayaan tersebut.
5. Memperluas proyek-proyek yang berbasis partisipasi rakyat setempat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai