Anda di halaman 1dari 12

PERBANDINGAN PEMBANGUNAN EKONOMI-INDUSTRI ANTARA

INDONESIA DAN THAILAND

DOSEN PENGASUH,
Prof. Dr. H. Yuddy Chrisnandi, S.E., M.E

OLEH:
SAFRUDIN TAHER
NPM: 211186918030

UNIVERSITAS NASIONAL PASCA SARJANA


2021-2022
A. SEJARAH PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DAN
INDUSTRI DI INDONESIA
1. PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN INDONESIA
• 1950-1959 : Sistem ekonomi liberal (masa demokrasi)
• 1959-1966 : Sistem ekonomu etatisme (masa demokrasi terpimpin)
• 1966-1998 : Sistem ekonomi pancasila (demokrasi ekonomi)
• 1998-sekarang : sistem ekoonomi pancasila (demokrasi ekonomi) yang dalam prakteknya
cenderung liberal
Dalam suatu negara, proses dinamika pembangunan ekonomi dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu internal (domestik) dan eksternal (global). Yang termasuk ke dalam faktor
internal yaitu kondisi fisik (iklim), lokasi geografi, jumlah dan kualitas SDA, SDM yang
dimiliki, dan kondisi awal perekonomian. Sedangkan faktor eksternal meliputi perkembangan
teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.
Buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan orde lama disebabkan oleh
hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik maupun non fisik, selama pendudukan
jepang, perang dunia II dan Perang Revolusi serta gejolak politik di dalam negeri
ditambah lagidengan manajemen ekonomi makro yang sangat buruk selama rezim tersebut.
Dapat dimengerti bahwa dalam kondisi poitik dan social dalam negeri ini sangat sulit
sekali bagi pemerintah untuk mengatur roda perekonomian dengan baik. Keadaan ekonomi
Indonesia terutama setelah dilakaukan nasionalisasi terhadap
semua perusahaan asing Belanda menjadi lebih buruk dibandingkan keadaan ekonomi semasa
penjajahan Belanda ditambah lagi dengan peningkatan inflase yang sangat tinggi pada dekade
1950’an. Selain kondisi politik dalam negeri yang tidak mendukung buruknya
perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan orde lama juga disebabkan oleh
keterbatasan akan tenaga kerja, teknologi, dan kemampuan pemerintah untuk menyusun
rencana dan strategi pembangunan yang baik.
Pemerintahan Orde Baru Pada orde baru ini pehatian pemerintah lebih ditunjukkan
pada pemeninkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi dan social di
Indonesia.Pemerintah orde baru ini menjalin hubungan baik kembali dengan pihak barat dan
menjauhi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota PBB dan lembaga-lembaga
dunialainnya. Pemmerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi social dan politik
sertarehabilitas ekonomi didalam negeri untuk menekan kembali tingkat inflase
mengurangideficit keuangan pemerintah. Usaha pemerintah tersebut ditambah lagi dengan
penyusunanrepelita secaara bertahap dengan target target yang jelas. Keberhasilan
pembangunan eonomidi Indonesia pada zaman Soeharto tidak saja disebabkan oleh
kemampuan cabinet yang dipimpinnya jauh lebih baik disbanding pada masa orde lama dalam
menyusun strategi pembangunan ekonomi. Kebijakan kebijaka ekonomi selama masa orde
baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju
pertumbuhan yangtinggi tetapi dengan beaya ekonomi tinggi dan fundamental ekonomi yang
rapuh hal ini dapatdilihat dari buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin
besarnyaketergantungan Indonesia terhadap Negara asing, termausk pinjaman an Impor. Ini
semuaakhirnya membuat Indonesia mengalami krisis ekoomi yang besar yang diawali oleh
krisisnailai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tahun 1997.
Pemerintahan Transisi Pada September 1997 nilai tukar rupiah yang terus melemah
menggoncangkan perekonomian nasional pemerintah secara resume meminta bantuann
keuangan dari IMF. Adapun syaratIMF diluncurkan adalah yang diharapkan oleh pemerintah
Indonsia nilai rupiah akanmenguat dan stabil kembali. Tatpi pada kenytaannya malah terus
melemah sampai pada Rp15,00 perdolar AS. Usaha usaha terakhir yang digunakan
pemerintah adalah menikkan cukaiterhadap barang tertentu, mencabut semua fasilitas
pemungut pajak, menghilangkan subsidiBBM. Setelah gagal dalam kesepakata bersama
dilakukan lagi perundingan baru antaaraIndonesia dengan IMF pada bulan maret 1998 tentang
kebijakan ekonomi dan keuangan,resis rupiah yang menjelma menjadi krisis ekonomi
akhirnya memunculkan krisis polititerbesar dalam sejarah Indoesia semenjak merdeka.
Puncak dari keberhasilan gerakkanmahsiswa pada tanggal 21 mei 1998 membuat presiden
Soeharto mengundurkan diridigantikan oleh Habibie yang merupakan wakilnya. Presiden
Habibie membentuk kabint baru awal dari terbentuknya Pemerintahan transisi.
2. PEMERINTAHAN REFORMASI HINGGA KABINET JOKOWI
Pada masa Reformasi, Indonesia tengah menghadapi krisis ekonomi. Berbagai upaya
dilakukan untuk memulihkan kembali ekonomi. Perkembangan ekonomi Indonesia pada masa
Reformasi yaitu, Pertama Pemerintahan Presiden B.J.Habibie, Pada masa kepemimpinan
B.J Habibie, ditetapkan kebijakan pokok di bidang ekonomi, misal penanggulangan krisis
ekonomi dengan mengendalikan nilai rupiah. Kebijakan lainnya, yakni ketersediaan
kebutuhan bahan pokok serta obat-obatan dengan harga terjangkau. Untuk melaksanakan
kebijakan tersebut dilakukan langkah-langkah berikut: Menjalin kerja sama dengan
International Moneter Fund (IMF) untuk membantu proses pemulihan ekonomi Menerapkan
independensi Bank Indonesia agar fokus mengurus perekonomian Melikuidasi beberapa bank
yang bermasalah Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp10
juta Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri. Berbagai
upaya penyelesaian krisis keuangan dan perbaikan ekonomi, berhasil menaikkan nilai tukar
Rupiah terhadap Dolar Amerika, yaitu Rp 6.700 per dolar Amerika pada Juni 1999. Namun,
Rupiah kembali melemah mencapai Rp 8.000 per dolar Amerika pada akhir masa
kepemimpinan Habibie.
Kedua, Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Pada masa ini, kondisi
ekonomi Indonesia mulai menunjukkan perbaikan dan kondisi keuangan sudah mulai stabil.
Namun, keadaan kembali merosot. Pada April 2001, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar
Amerika melemah hingga mencapai Rp12 ribu. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut
berdampak negatif terhadap perekonomian nasional, dan menghambat usaha pemulihan
ekonomi. Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri Dalam masa ini, nilai tukar Rupiah
terhadap Dolar Amerika berhasil distabilkan dan berdampak pada terkendalinya harga barang.
Selain itu, tingkat inflasi rendah dan cadangan devisa negara stabil. Namun, pertumbuhan
ekonomi masih tergolong rendah. Karena kurang menariknya perekonomian Indonesia bagi
investor, dan tingginya suku bunga deposito.
Ketiga Megawati Soekarnoputri, berupaya meningkatkan perkembangan ekonomi
Indonesia kala itu: Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 miliar
Mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun Kebijakan privatisasi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kempat, Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Perekonomian Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik pada masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terlihat dari rata-rata pertumbuhan
ekonomi sekitar 5 sampai 6 persen per tahun, serta kemampuan ekonomi Indonesia yang
bertahan dari pengaruh krisis ekonomi dan finansial yang terjadi di zona Eropa sepanjang
2008 hingga 2009. Dalam penyelenggaraan perekonomian negara, pemerintah menerapkan
kebijakan, antara lain: Mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Pemberian Bantuan
Langsung Tunai (BLT) Pengurangan utang luar negeri
Kelima, Pemerintahan Jokowi, Ekonomi Indonesia di era kepemimpinan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) bisa dibilang melaju kencang. Di tengah ancaman resesi dunia,
pertumbuhan ekonomi domestik masih di atas 5 persen. Pada kuartal I 2022, ekonomi mampu
tumbuh 5,01 persen. Kemudian kuartal II naik lagi menjadi 5,44 persen, dan pada kuartal III
tumbuh impresif 5,72 persen. Laju ekonomi kuartal IV juga diperkirakan masih bisa tumbuh
di atas 5 persen, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun lalu bisa
tetap di atas 5 persen. Menurut Srimulyani, bahwa di kuartal IV kita prediksi tetap kuat di atas
5 persen atau sekitar 5 persen karena kita melihat kondisi masyarakat, konsumsi masih
tumbuh sangat kuat.

3. PERKEMBANGAN SEKTOR INDUSTRI DI INDONESIA


Sektor industri merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam perekonomian
Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia, yaitu sekitar 50%. Berikut ini adalah beberapa perkembangan sektor
industri di Indonesia:
1. Pertumbuhan sektor industri Indonesia cukup stabil. Pada tahun 2021, pertumbuhan sektor
industri Indonesia sebesar 4,3%. Pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan
subsektor industri pengolahan, yaitu sekitar 4,8%.
2.Sektor industri manufaktur merupakan subsektor industri yang paling dominan di Indonesia.
Pada tahun 2021, sektor industri manufaktur menyumbang sekitar 73% dari total produksi
industri Indonesia.
3. Sektor industri manufaktur terdiri dari beberapa subsektor, di antaranya adalah industri
tekstil, pakaian jadi, kulit dan barang dari kulit, kayu dan produk kayu, barang dari logam,
mesin dan peralatan, dan lain-lain.
4. Sektor industri di Indonesia masih cenderung terfokus pada industri pengolahan. Hanya
sekitar 20% dari total produksi industri Indonesia yang merupakan produk jadi, sisanya
merupakan bahan baku atau produk setengah jadi.
5. Sektor industri di Indonesia masih terkendala oleh beberapa faktor, seperti infrastruktur
yang kurang baik, keterbatasan sumber daya manusia, dan masih rendahnya tingkat inovasi di
sektor industri.
Itulah beberapa perkembangan sektor industri di Indonesia. Sektor industri
merupakan penyumbang terbesar terhadap PDB Indonesia, terutama dari sektor manufaktur
yang menyumbang sekitar 73% dari total produksi industri Indonesia. Namun, sektor industri
di Indonesia masih terkendala oleh beberapa faktor, seperti infrastruktur yang kurang baik dan
keterbatasan sumber daya manusia.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DAN


INDUSTRI DI THAILAND
1. PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI THAILAND
Ekonomi Thailand
Thailand yang dikenal sebagai lumbung padi Asia Tenggara memiliki tanah-tanah
yang subur dan iklim tropis sangat cocok untuk mengembangkan pertanian. Kondisi iklim
yang lembab juga membuat pepohonan banyak tumbuh di Thailand. Adapun hasil utama dari
Thailand diantaranya beras dan jagung, kayu gelondongan, tapioka, buah-buahan dan karet,
hasil sumber daya alam ini yang menjadi bahan untuk diekspor ke luar negeri dan menjadi
pemasukan bagi Thailand. Hasil dari sumber daya alam tersebut membuat Thailand menjadi
negara yang memiliki potensi untuk meningkatkan perekonomiannya. Akan tetapi, sama
seperti halnya dengan negara-negara tetangganya, perekonomian Thailand pada saat itu masih
mengalami kemerosotan dan kemacetan akibat pengaruh dari resesi ekonomi dunia. Pada
tahun 1979, Thailand masih berusaha untuk keluar dari permasalahan ekonomi tersebut.
Defisit neraca perdagangannya meningkat dari 28.540 juta baht pada tahun 1978 menjadi
47.053 juta baht pada tahun 1979. Angka defisit itu meningkat hingga 57.985 juta baht pada
tahun 1980 (Mangandaralam, 1995, hlm. 44). Krisis minyak yang kemudian diikuti resesi
ekonomi dunia, mengakibatkan ekonomi Thailand semakin menurun. Langkahlangkah untuk
memperbaiki kondisi ekonomi yang dilakukan tahun 1981 tidak terlalu efektif untuk
meningkatkan ekonomi Thailand.
Perekonomian Thailand bergantung pada ekspor, yang pada 2019 menyumbang
sekitar enam puluh persen dari ekspor negara itu produk domestik bruto (PDB). Thailand itu
sendiri adalah negara industri baru, dengan PDB sebesar 16,316 triliun baht (US$505 miliar)
pada tahun 2018, ekonomi terbesar ke-8 di Asia, menurutBank Dunia. Pada 2018, Thailand
memiliki rata-ratainflasisebesar 1,06% dan surplus akun sebesar 7,5% dari PDB negara.
Perekonomian Thailand diperkirakan akan mencatat pertumbuhan 3,8% pada 2019. Mata
uangnya, theBaht Thailand, peringkat sebagai mata uang pembayaran dunia kesepuluh yang
paling sering digunakan pada tahun 2017.
Industri dansektor jasaadalah sektor utama dalam produk domestik bruto Thailand,
dengan yang sebelumnya menyumbang 39,2 persen dari PDB. Thailand sektor
agrikulturmenghasilkan 8,4 persen dari PDB—lebih rendah dari sektor perdagangan dan
logistik dan komunikasi, yang masing-masing menyumbang 13,4 persen dan 9,8 persen dari
PDB. Sektor konstruksi dan pertambangan menambah 4,3 persen produk domestik bruto
negara itu. Sektor jasa lainnya (termasuk sektor keuangan, pendidikan, serta hotel dan
restoran) mencapai 24,9 persen dari PDB negara. Telekomunikasi danperdagangan
jasamuncul sebagai pusat ekspansi industri dan daya saing ekonomi.
Thailand adalah ekonomi terbesar kedua diAsia Tenggara, setelah Indonesia. PDB
per kapitanya (US$7.273,56) pada tahun 2018, namun, menempati urutan keempat dalam
PDB per kapita Asia Tenggara, setelahnyaSingapura,Brunei, DanMalaysia. Pada Juli 2018,
Thailand memiliki cadangan devisa sebesar US$237,5 miliar, terbesar kedua di Asia
Tenggara (setelah Singapura). Kelebihannya disaldo rekening saat inimenempati urutan
kesepuluh dunia, menghasilkan US$37,898 miliar untuk negara tersebut pada tahun 2018.
Thailand menempati urutan kedua di Asia Tenggara dalam volume perdagangan eksternal,
setelah Singapura.
Bangsa ini diakui oleh Bank Dunia sebagai "salah satu kisah sukses pembangunan
yang hebat" dalam indikator sosial dan pembangunan.Meskipun pendapatan nasional bruto
(GNI) per kapita rendah sebesar US$6.610 dan peringkat ke-83 dalam Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), persentase penduduk di bawah garis kemiskinan nasional menurun dari 65,26
persen pada tahun 1988 menjadi 8,61 persen pada tahun 2016, menurutKantor Dewan
Pembangunan Ekonomi dan Sosial Nasional's (NESDC) dasar kemiskinan baru.
Thailand adalah salah satunyanegara dengan tingkat pengangguran terendah d i dunia,
dilaporkan sebagai satu persen untuk kuartal pertama tahun 2014. Hal ini disebabkan sebagian
besar penduduk bekerja di pertanian subsisten atau pekerjaan rentan lainnya (pekerjaan
mandiri dan pekerjaan keluarga tidak berbayar).
Tren ekonomi makro
Tabel berikut menunjukkan indikator ekonomi utama pada tahun 1980–2021 (dengan
perkiraan staf IMF pada tahun 2022–2027). Inflasi di bawah 5% berwarna hijau.
PDB PDB per
PDB PDB per Tingkat Utang
(dalam kapita pertumbuhan Pengangguran
(dalam kapita inflasi pemerintah
Tahun nominal (dalam GDP (dalam
Bil. (dalam (dalam (dalam %
Bil. nominal (nyata) Persen)
US$PPP) US$ PPP) Persen) dari PDB)
US$) US$)
19,7
1980 74.7 1.576,1 33.4 705.5 4,6% t/a t/a
%
12,7
1981 86.6 1.791,2 36.0 744.9 5,9% t/a t/a
%
1982 96.8 1.965,9 37.8 767.4 5,4% 5,3% t/a t/a
1983 106.2 2.117,4 41.4 824.4 5,6% 3,7% t/a t/a
1984 116.4 2.278,4 43.2 845.1 5,8% 0,8% t/a t/a
1985 125.7 2.415,5 40.2 772.4 4,6% 2,4% t/a t/a
1986 135.3 2.553,7 44.5 840.3 5,5% 1,8% t/a t/a
1987 151.8 2.814,7 52.2 967.7 9,5% 2,5% t/a t/a
1988 178.1 3.244,3 63.7 1.160,5 13,3% 3,9% t/a t/a
1989 207.6 3.722,9 74.6 1.338,3 12,2% 5,4% t/a t/a
1990 240.4 4.251,2 88.5 1.564,2 11,6% 5,8% t/a t/a
1991 269.5 4.708,1 101.2 1.769,0 8,4% 5,7% t/a t/a
1992 301.0 5.207,2 115.6 1.999,2 9,2% 4,1% t/a t/a
1993 334.9 5.740,8 128.9 2.209,4 8,7% 3,3% t/a t/a
1994 369.4 6.274,5 146.7 2.491,4 8,0% 5,1% t/a t/a
1995 407.8 6.857,3 169.3 2.846,6 8,1% 5,8% t/a t/a
1996 438.7 7.296,2 183.0 3.044,0 5,7% 5,8% t/a 15,2%
1997 434.0 7.132,7 150.2 2.468,2 -2,8% 5,6% t/a 40,5%
1998 405.4 6.582,4 113.7 1.845,8 -7,6% 8,0% t/a 49,9%
1999 429.9 6.900,4 126.5 2.031,2 4,6% 0,2% t/a 56,6%
2000 459.2 7.294,6 126.1 2.003,6 4,5% 1,7% t/a 57,8%
2001 485.7 7.644,6 120.1 1.890,3 3,4% 1,6% 3,3% 57,5%
2002 523.6 8.173,0 134.2 2.094,3 6,1% 0,7% 2,4% 54,9%
2003 572.4 8.866,9 152.1 2.357,0 7,2% 1,8% 2,2% 47,5%
2004 624.7 9.611,3 172.8 2.657,9 6,3% 2,8% 2,1% 46,3%
2005 671.3 10.261,3 189.1 2.890,5 4,2% 4,5% 1,9% 45,5%
2006 726.3 11.036,6 221.6 3.366,8 5,0% 4,7% 1,5% 39,2%
2007 786.5 11.884,2 263.0 3.974,0 5,4% 2,2% 1,4% 36,0%
2008 815.4 12.256,5 291.0 4.373,5 1,7% 5,5% 1,4% 34,9%
2009 815.0 12.188,3 281.4 4.208,4 -0,7% -0,9% 1,5% 42,4%
2010 886.8 13.196,8 340.9 5.073,7 7,5% 3,3% 1,1% 39,8%
2011 912.8 13.519,1 370.9 5.493,7 0,8% 3,8% 0,7% 39,1%
2012 1.008,8 14.871,0 397.7 5.863,0 7,2% 3,0% 0,7% 41,9%
2013 1.049,9 15.407,7 420.4 6.168,7 2,7% 2,2% 0,7% 42,2%
2014 1.059,4 15.480,2 407.4 5.952,4 1,0% 1,9% 0,8% 43,3%
2015 1.087,2 15.822,4 401.1 5.837,8 3,1% -0,9% 0,9% 42,6%
2016 1.146,0 16.616,2 413.5 5.995,2 3,4% 0,2% 1,0% 41,7%
2017 1.205,8 17.423,0 456.5 6.596,2 4,2% 0,7% 1,2% 41,8%
2018 1.286,8 18.533,9 506.5 7.296,0 4,2% 1,1% 1,1% 41,9%
2019 1.338,0 19.216,9 544.0 7.813,6 2,2% 0,7% 1,0% 41,1%
2020 1.270,2 18.197,9 499.8 7.159,7 -6,2% -0,8% 2,0% 49,5%
2021 1.343,3 19.203,3 505.9 7.232,3 1,5% 1,2% 1,5% 58,4%
2022 1.479,6 21.114,2 534.8 7.630,9 2,8% 6,3% 1,0% 61,5%
2023 1.589,3 22.644,8 580.7 8.273,9 3,7% 2,8% 1,0% 61,4%
2024 1.680,3 23.912,8 597.6 8.504,4 3,6% 1,5% 1,0% 61,3%
2025 1.768,3 25.142,7 640.2 9.103,0 3,3% 2,3% 1,0% 60,9%
2026 1.859,5 26.424,0 673.0 9.562,9 3,2% 2,0% 1,0% 59,3%
10.401,
2027 1.953,0 27.743,5 732.2 3,0% 2,0% 1,0% 59,5%
9

Selama 32 tahun terakhir, perekonomian Thailand telah berkembang. PDB dengan


harga berlaku menunjukkan bahwa dari tahun 1980 hingga 2012 ekonomi Thailand telah
berkembang hampir enam belas kali lipat jika diukur dalam baht, atau hampir sebelas kali
lipat jika diukur dalam dolar. Hal ini menjadikan Thailand sebagai ekonomi terbesar di dunia,
menurut IMF. Berkenaan dengan PDB, Thailand telah mengalami lima periode pertumbuhan
ekonomi. Dari tahun 1980 hingga 1984, ekonomi tumbuh rata-rata 5,4 persen per tahun.
Bisnis regional menyumbang 70 persen dari PDB, dengan Bangkok menyumbang 30 persen.

Setelah devaluasi baht 1984 dan Plaza Accord 1985, sejumlah besar investasi asing
langsung (terutama dari Jepang) meningkatkan tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun
menjadi 8,8 persen dari 1985 hingga 1996 sebelum merosot menjadi −5,9 persen per tahun
dari 1997 hingga 1998. Dari tahun 1999 hingga 2006, Thailand rata-rata memiliki tingkat
pertumbuhan 5,0 persen per tahun. Sejak 2007, negara ini menghadapi sejumlah tantangan:
kudeta militer pada akhir 2006, gejolak politik dari 2008 hingga 2011, krisis keuangan AS
mencapai puncaknya dari 2008 hingga 2009, banjir pada 2010 dan 2011, dan krisis zona euro
2012. Akibatnya, dari tahun 2007 hingga 2012 rata-rata tingkat pertumbuhan PDB adalah
3,25 persen per tahun.
Thailand menderita dibandingkan dengan negara tetangga dalam hal PDB per kapita.
Pada tahun 2011, PDB nominal per kapita Tiongkok melampaui Thailand, memberikan yang
terakhir PDB nominal per kapita terendah dari rekan-rekannya. Menurut IMF, pada tahun
2012 Thailand mendapat peringkatke-92di dunia dalam PDB nominal per kapita.
C. PERBANDINGAN ANTARA PEMBANGUNAN EKONOMI INDUSTRI
INDONESIA DAN THAILAND
Saat ini Indonesia sudah terlihat telah melakukan pembangunan ekonomi. Hal ini
dapat terlihat dari beberapa tahun belakangan ini Indonesia sudah mulai meningkat dari segi
produksinya dan juga pendapatan per kapita nya menurut statistik. Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat perekonomian Indonesia pada tahun 2022 berhasil tumbuh 5,31 persen
dibanding tahun sebelumnya. Perekonomian domestik tahun 2022 berhasil tumbuh berkat
tingginya pertumbuhan pada triwulan IV-2022 yang naik 5,01 persen Pertumbuhan sektor
industri Indonesia cukup stabil.
Sektor industri merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam perekonomian
Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang terbesar terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia, yaitu sekitar 50%. Beberapa perkembangan sektor industri di Indonesia
yaitu Pada tahun 2021, sektor industri manufaktur menyumbang sekitar 73% dari total
produksi industri Indonesia. Hanya sekitar 20% dari total produksi industri Indonesia yang
merupakan produk jadi, sisanya merupakan bahan baku atau produk setengah jadi. Itulah
beberapa perkembangan sektor industri di Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang
terbesar terhadap PDB Indonesia, terutama dari sektor manufaktur yang menyumbang sekitar
73% dari total produksi industri Indonesia. Namun, sektor industri di Indonesia masih
terkendala oleh beberapa faktor, seperti infrastruktur yang kurang baik dan keterbatasan
sumber daya manusia
Selama empat dekade terakhir, Thailand telah membuat kemajuan luar biasa juga
dalam pembangunan sosial dan ekonomi, berpindah dari negara berpenghasilan rendah ke
negara berpenghasilan menengah ke atas dalam waktu kurang dari satu generasi. Dengan
demikian, Thailand telah menjadi kisah sukses pembangunan yang dikutip secara luas,
dengan pertumbuhan kuat yang berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan yang
mengesankan. Perekonomian Thailand tumbuh pada tingkat tahunan rata-rata 7,5% pada
tahun-tahun boom 1960-1996dan 5% selama 1999-2005 setelah Krisis Keuangan Asia.
Pertumbuhan ini menciptakan jutaan pekerjaan yang membantu menarik jutaan orang keluar
dari kemiskinan. Keuntungan di berbagai dimensi kesejahteraan sangat mengesankan: lebih
banyak anak yang mendapatkan pendidikan lebih lama, dan hampir semua orang sekarang
ditanggung oleh asuransi kesehatan sementara bentuk jaminan sosial lainnya telah
berkembang.
Namun, prospek pertumbuhan dari model ekspor yang belum lama ini mendorong
begitu banyak pertumbuhan ekonomi Thailand tampaknya telah berkurang secara signifikan,
karena stagnasi dalam produktivitas. Pertumbuhan rata-rata dalam produktivitas faktor total
(TFP) mengalami stagnasi dari yang tertinggi 3,6% per tahun selama awal tahun 2000-an
menjadi hanya 1,3% selama tahun 2009–2017. Investasi swasta menurun dari lebih dari 40%
pada tahun 1997 menjadi 16,9% dari PDB pada tahun 2019, sementara arus investasi asing
langsung dan partisipasi dalam rantai nilai global menunjukkan tanda-tanda stagnasi.
Selain itu, pandemi COVID-19 telah memberikan pukulan bagi perekonomian,
memperparah tantangan struktural. Pada tahun 2020, perekonomian diperkirakan mengalami
kontraksi sebesar 6,1%. Ini jauh lebih curam daripada penurunan yang terjadi selama Krisis
Keuangan Global 2008 (0,3% pada 2008) dan yang kedua setelah kontraksi 7,2% pada 1998,
kontraksi ekonomi paling tajam setahun penuh dalam 25 tahun terakhir. Asurvei telepon cepat
oleh Bank Dunia dilaksanakan dari April hingga Juni 2021 diperkirakan lebih dari 70%
rumah tangga mengalami penurunan pendapatan sejak Maret 2020, dengan kelompok rentan
yang paling terpukul.
Thailand telah membuat kemajuan luar biasa dalam mengurangi kemiskinan dari 58%
pada tahun 1990 menjadi 6,8% pada tahun 2020 didorong oleh tingkat pertumbuhan yang
tinggi dan transformasi struktural. Tetapi 79% penduduk miskin tetap tinggal di pedesaan dan
terutama di rumah tangga pertanian. Pengurangan kemiskinan Thailand melambat dari 2015
dan seterusnya dengan kemiskinan meningkat pada 2016, 2018 dan 2020, mencerminkan
ekonomi yang melambat, pendapatan pertanian dan bisnis yang stagnan, dan krisis COVID-
19. Ditemukan bahwa pada tahun 2020, tingkat kemiskinan lebih dari 3 poin persentase lebih
tinggi di daerah pedesaan daripada di zona perkotaan dan jumlah penduduk miskin pedesaan
melebihi jumlah penduduk miskin perkotaan hampir 2,3 juta. Distribusi kemiskinan juga tidak
merata di seluruh wilayah geografis dengan tingkat kemiskinan di Selatan dan Timur Laut
hampir dua kali lipat tingkat kemiskinan di tingkat nasional.
Menurut Pemantau Ekonomi Thailand, Perekonomian Thailand diproyeksikan akan
pulih ke tingkat sebelum pandemi pada tahun 2022, tetapi laju pertumbuhan akan lebih
lambat dari perkiraan pada tahun 2023 karena hambatan global. Perekonomian diproyeksikan
tumbuh sebesar 3,4% pada tahun 2022 dan 3,6% pada tahun 2023. Pertumbuhan pada tahun
2023 telah direvisi turun sebesar 0,7 poin persentase dibandingkan dengan proyeksi
sebelumnya yang mencerminkan penurunan permintaan global yang lebih cepat dari
perkiraan. Pemulihan sektor pariwisata dan konsumsi swasta akan tetap menjadi pendorong
utama pertumbuhan.
Indonesia vs Thailand: Ekonomi, Siapa Menang? Mengapa Thailand bisa
mempertahankan takhta sebagai raja manufaktur ASEAN? Pertama, pemerintah Thailand
(siapapun yang memimpin) punya perhatian terhadap pengembangan infrastruktur. Melalui
pembangunan infrastruktur, ekonomi Thailand menjadi efisien, tidak ada ekonomi biaya
tinggi karena masalah distribusi. Thailand juga mengembangkan kawasan industri yang dekat
dengan fasilitas transportasi. Pabrik, gudang, sampai pelabuhan dibangun dalam lokasi yang
berdekatan. Akibatnya, industri manufaktur berkembang pesat. Kontribusi sektor industri
terhadap pembentukan PDB di Thailand mencapai 25,24% pada 2020. Pada periode yang
sama, sektor manufaktur menyumbang 19,88% dalam pembentukan PDB Indonesia.
Kedua, upah pekerja di Thaland tergolong murah di antara negara-negara ASEAN.
Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, menyebut upah buruh Thailand lebih
murah ketimbang Indonesia. Dengan upah Rp 4,4 juta atau sekitar US$ 308 per bulan, upah di
Jakarta dan Karawang adalah yang tertinggi di ASEAN, lebih tinggi dibandingkan Vietnam
(US$ 181) dan Thailand (US$ 214) meski produkitivitas lebih rendah. Ketiga, lokasi
geografis Thailand juga sangat menguntungkan. Selain menjadi pintu gerbang ke pasar Asia
Tenggara, Thailand juga mengoptimalkan infrastruktur menuju China dan India, negara
dengan populasi terbesar di dunia. Oleh karena itu, tidak heran Thailand menjadi pilihan
investor sebagai lokasi penanaman modal.
Ke depan, masa depan industri manufaktur Thailand sepertinya masih cerah. Industri
otomotif tetap akan tumbuh, didorong oleh tambahan permintaan kendaraan bertenaga listrik
(Electric Vehicle/EV). Pada 2015, terdapat 76 perusahaan yang terkait EV di Thailand dan
pada 2019 jumlahnya naik menjadi 420. Pada 2030, pemerintah Thailand menargetkan
produksi EV mencapai 30% dari total produksi kendaraan bermotor. Pemerintah Thailand jor-
joran memberi insentif untuk pengembangan produksi EV. Misalnya, pada 2020 pemerintah
memberikan diskon bea masuk 90% untuk bahan baku yang tidak bisa didapatkan di dalam
negeri.

DAFTAR ISI
Cipto, B. (2007). Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Terpong Terhadap Dinamika,
Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mangandaralam, S. (1995). Thailand Negara Gajah Putih. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Putra, W. 2018. Perekonomian Indonesia Penerapan Beberapa Teori
Ekonomi Pembangunan Di Indonesia. Depok : Rajawali Pers
Sukirno. S. 2007. Ekonomi pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan.
Jakarta.:Kencana Prenada Media Group
Suryana, 2000. Ekonomi Pembangunan Poblematika Dan Pendekata. Jakarta: Salemba Empat
https://www.worldbank.org/en/country/thailand/overview
https://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Thailand
https://www.kompas.com/skola/read/2022/11/03/130000269/perkembangan-ekonomi-
indonesia-pada-masa-reformasi?page=all
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20230110061416-532-898195/benarkah-ekonomi-
era-jokowi-tumbuh-berkualitas
https://www.cnbcindonesia.com/news/20211229000918-4-302813/indonesia-vs-thailand-
main-bola-dan-ekonomi-siapa-menang/3

Anda mungkin juga menyukai