Anda di halaman 1dari 17

TUGAS EKONOMI POLITIK

“Perkembangan Ekonomi Indonesia Dari Dulu Sampai Sekarang”

Dikerjakan Oleh:

Nama : Isnandi Abdul Rozak Riaji


NIM : 401190014

FAKULTAS ILMU PEMERINTAHAN


PROGRAM STUDI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BALE BANDUNG
2020P
PEMBAHASAN
PEMBANGUNAN EKONOMI SEJAK ERA REFORMASI HINGGA SAAT INI
Latar Belakang
Sebagai akibat krisis moneter pertengahan tahun 1997, pertumbuhan ekonomi
Indonesia turun drastis pada tahun 1998 tetapi tumbuh kembali secara perlahan mulai
tahun 1999. Namun sejak saat itu hingga kini (2006) ekonomi kita bergerak lambat
dengan pertumbuhan yang rendah. Timbul keingintahuan mengapa ekonomi kita
bergerak lambat dan apakah ini tanda-tanda bahwa perekonomian kita telah
terperangkap pada pertumbuhan rendah. Apabila benar perekonomian kita telah
terperangkap pada pertumbuhan rendah, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa
keluar dari perangkap tersebut dan apa langkah-langkah yang dapat ditempuh agar
secara bertahap dapat keluar dari perangkap tersebut.
Pembangunan Nasional merupakan rangkaian kegiatan yang merupakan
rangkaian kegiatan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat bangsa dan negara
untuk melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan dalam undang undang
dasar 1945, yaitu “ melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi,dan keadilan sosial negara”. Berbagai macam prospek pembangunan telah di
lakukan dari orde lama, orde baru hingga ord reformasi untuk terus mendorong
kesejahteraan dan kemajuan bangsa kearah yang lebih baik. Pembangunan nasional
juga harus dimulai dari, oleh, dan untuk rakyat, dilakasanakan di berbagai aspek
kehidupan bangsa yang meliputi politik, ekonomi dan sosial budaya dan aspek
pertahanan.

B. Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia
yang berhubungan dengan produksi, distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan
jasa. Istilah "ekonomi" sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu οἶκος (oikos) yang
berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos) yang berarti "peraturan, aturan,
hukum". Secara garis besar, ekonomi diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau
"manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau
ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi, dan data dalam bekerja.
Ekonomi banyak dibahas dalam sebuah ilmu khusus yang dikenal dengan nama ilmu
ekonomi, yang di dalamnya mencakup sosiologi. sejarah, antropologi, dan geografi.
Beberapa bagian ekonomi yang berupa ilmu terapan seperti produksi, distribusi,
perdagangan, dan konsumsi juga dibahas dalam ilmu lain seperti ilmu teknik,
manajemen, administrasi bisnis, sains terapan, dan keuangan. Ada banyak sektor
dalam ekonomi, yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga sektor utama yaitu
sektor primer, sektor sekunder, dan, dan sektor tersier.
C. Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan di mana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan
kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan
dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan
merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif
dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif,
dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dll.

D. Kesenjangan sosial
Kesenjangan sosial adalah suatu keadaan ketidak seimbangan yang ada di
masyarakat yang menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok. Dalam hal
kesenjangan sosial sangatlah mencolok dari berbagai aspek misalnya perbedaan
pendapatan antara si kaya dan si miskin.

E. Koefisien Gini
Koefisien Gini adalah ukuran yang dikembangkan oleh statistikus Italia,
Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilità e
mutabilità. Koefisien ini biasanya digunakan untuk mengukur kesenjangan
pendapatan dan kekayaan. Indeks ini menggunakan ukuran skala 0 sampai dengan 1
dengan angka 0 menunjukan tidak adanya kesenjangan sosial di masyarakat,
sedangkan 1 menunjukan bahwa terjadi kesenjangan sosial yang “ekstrem” di
masyarakat.

F. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu
negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode
tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi
keberhasilan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat
diukur dengan cara membandingkan, misalnya untuk ukuran nasional, Gross
National Product (GNP), tahun yang sedang berjalan dengan tahun sebelumnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perekonmian Indonesia tidak terlepas dari
permasalahan kesenjangan dalam pengelolaan perekonomian, dimana para pemilik
modal besar selalu mendapatkan kesempatan yang lebih luas dibandingkan dengan
para pengusaha kecil dan menengah yang kekurangan modal.

G. Reformasi
Reformasi adalah proses pembentukan kembali suatu tatanan kehidupan (lama)
diganti dengan tatanan yang baru. Tujuannya ke arah yang lebih baik dengan melihat
keperluan masa depan. Selain itu juga menekankan kembali pada bentuk asal dengan
menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik-praktik yang salah dengan
melakukan perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan, baik dalam aspek
politik, ekonomi, hukum, sosial, maupun bidang pendidikan. Orang yang mendukung
reformasi (menginginkan perubahan) disebut dengan reformis. Reformasi ekonomi
adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan ekonomi dl suatu masyarakat atau
negara. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada gerakan mahasiswa
pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden Soeharto atau era setelah
Orde Baru, yaitu era reformasi

Pertumbuhan ekonomi bisa dibilang sebagai indikator berhasil atau tidaknya


suatu pemerintahan dalam menjalankan, mengelola, dan membangun negara.
Meskipun, ada banyak faktor baik di dalam negeri maupun di tataran global yang
menjadi faktor penentu. Menurut ekonom Amerika Serikat, Simon Kuznets,
pertumbuhan ekonomi adalah suatu kenaikan kemampuan jangka panjang dari negara
untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan
tersebut akan tumbuh seiring dengan adanya perkembangan atau kemajuan teknologi
dan juga penyesuaian kelembagaan serta ideologi.

Menurut salah seorang peraih Nobel Ekonomi ini, pertumbuhan ekonomi


dicapai oleh tiga faktor, yakni peningkatan persedian barang yang stabil, kemajuan
teknologi, serta penggunaan teknologi secara efisien dan efektif. Pertumbuhan ekonomi
dicapai oleh tiga faktor, yakni peningkatan persedian barang yang stabil, kemajuan
teknologi, serta penggunaan teknologi secara efisien dan efektif. Dalam perjalanannya,
Indonesia mencatatkan pasang-surut pertumbuhan ekonomi. JEO ini merangkum jejak
pertumbuhan itu dari masa ke masa pemerintahan tujuh presiden yang pernah
memimpin Indonesia, dari Soekarno sampai Joko Widodo (Jokowi).

Sebagai data awal, per kuartal III-2018, pertumbuhan ekonomi Indonesia


tercatat 5,17 persen, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 5,06
persen. Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi 2017 mencapai 5,07 persen, angka
tertinggi sejak 2014. Memang, angka itu masih di bawah pertumbuhan ekonomi masa
pemerintahan Soeharto yang sempat menembus 10 persen, sehingga ketika itu
Indonesia dipuja-puji sebagai salah Macan Asia. Bahkan, kinerja ekonomi saat ini
masih di bawah capaian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa di atas 6
persen.

Namun, kondisi perekonomian Indonesia sekarang tetap dinilai sudah mulai stabil,
setelah mengalami kejatuhan pada krisis 1998. Saat itu inflasi meroket drastis 80 persen
dengan pertumbuhan ekonominya minus.
ERA SEBELUM REFORMASI
1. Soekarno (1945-1967)
INDONESIA mengalami tiga fase perekonomian di era Presiden
Soekarno. Fase pertama yakni penataan ekonomi pasca-kemerdekaan,
kemudian fase memperkuat pilar ekonomi, serta fase krisis yang mengakibatkan
inflasi. Pada awal pemerintahan Soekarno, PDB per kapita Indonesia sebesar
Rp 5.523.863.

Pada 1961, Badan Pusat Statistik mengukur pertumbuhan ekonomi


sebesar 5,74 persen. Setahun berikutnya masih sama, ekonomi Indonesia
tumbuh 5,74 persen. Lalu, pada 1963, pertumbuhannya minus 2,24 persen.
Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang tinggi.

Angka minus pertumbuhan ekonomi tersebut dipicu biaya politik yang


tinggi. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) defisit
minus Rp 1.565,6 miliar. Inflasi melambung atau hiperinflasi sampai 600
persen hingga 1965.

Meski begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dapat kembali ke


angka positif pada 1964, yaitu sebesar 3,53 persen. Setahun kemudian, 1965,
angka itu masih positif meski turun menjadi 1,08 persen. Terakhir di era
Presiden Soekarno, 1966, ekonomi Indonesia tumbuh 2,79 persen.
2. Soeharto (1967-1998)

Masa kekuasaan Soeharto adalah yang terpanjang dibandingkan


presiden lain Indonesia hingga saat ini. Pasang surut perekonomian Indonesia
juga paling dirasakan pada eranya. Ia menjadi presiden di saat perekonomian
Indonesia tak dalam kondisi baik. Pada 1967, ia mengeluarkan Undang-undang
(UU) Nomor 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. UU ini membuka
lebar pintu bagi investor asing untuk menanam modal di Indonesia.Tahun
berikutnya, Soeharto membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
yang mendorong swasembada. Program ini mendongkrak pertumbuhan
ekonomi Indonesia hingga tembus 10,92 persen pada 1970.

Ekonom Lana Soelistianingsih menyebut, iklim ekonomi Indonesia


pada saat itu lebih terarah, dengan sasaran memajukan pertanian dan industri.
Hal ini membuat ekonomi Indonesia tumbuh drastis. Setelah itu, di tahun-tahun
berikutnya, hingga sekitar tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia
cenderung tinggi dan terjaga di kisaran 6-7 persen.
Namun, selama Soeharto memerintah, kegiatan ekonomi terpusat pada
pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden. Kondisinya keropos. Kegiatan
ekonomi terpusat pada pemerintahan dan dikuasai kroni-kroni presiden.
Kondisinya keropos. Pelaku ekonomi tak menyebar seperti saat ini, dengan 70
persen perekonomian dikuasai pemerintah. Begitu dunia mengalami gejolak
pada 1998, struktur ekonomi Indonesia yang keropos itu tak bisa menopang
perekonomian nasional.

"Ketika krisis, pemerintah kehilangan pijakan, ya bubarlah


perekonomian Indonesia karena sangat bergantung pada pemerintah," kata
Lana. Posisi Bank Indonesia (BI) pada era Soeharto juga tak independen. BI
hanya alat penutup defisit pemerintah. Begitu BI tak bisa membendung gejolak
moneter, maka terjadi krisis dan inflasi tinggi hingga 80 persen. Pada 1998,
negara bilateral pun menarik diri untuk membantu ekonomi Indonesia, yaitu
saat krisis sudah tak terhindarkan. Pertumbuhan ekonomi pun merosot menjadi
minus 13,13 persen.
Pada tahun itu, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan Badan
Moneter Internasional (IMF). Gelontoran utang dari lembaga ini mensyaratkan
sejumlah perubahan kebijakan ekonomi di segala lini.

ERA REFORMASI

1. BJ Habibie (1998-1999)

Pemerintahan Presiden Baharuddin Jusuf Habibie dikenal sebagai rezim


transisi. Salah satu tantangan sekaligus capaiannya adalah pemulihan kondisi
ekonomi, dari posisi pertumbuhan minus 13,13 persen pada 1998 menjadi 0,79
persen pada 1999. Habibie menerbitkan berbagai kebijakan keuangan dan moneter
dan membawa perekonomian Indonesia ke masa kebangkitan. Kurs rupiah juga
menguat dari sebelumnya Rp 16.650 per dollar AS pada Juni 1998 menjadi Rp
7.000 per dollar AS pada November 1998. Pada masa Habibie, Bank Indonesia
mendapat status independen dan keluar dari jajaran eksekutif.

2. Abdurrahman Wahid (1999-2001)

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur meneruskan perjuangan Habibie


mendongkrak pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1998. Secara perlahan, ekonomi
Indonesia tumbuh 4,92 persen pada 2000. Gus Dur menerapkan kebijakan
desentralisasi fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah membagi dana secara
berimbang antara pusat dan daerah. Kemudian, pemerintah juga menerapkan pajak
dan retribusi daerah. Meski demikian, ekonomi Indonesia pada 2001 tumbuh
melambat menjadi 3,64 persen.
3. Megawati Soekarnoputri(2001-2004)

Pada masa pemerintahan Megawati, pertumbuhan ekonomi Indonesia


secara bertahap terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2002, pertumbuhan
Indonesia mencapai 4,5 persen dari 3,64 persen pada tahun sebelumnya.
Kemudian, pada 2003, ekonomi tumbuh menjadi 4,78 persen. Di akhir
pemerintahan Megawati pada 2004, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03 persen.
Tingkat kemiskinan pun terus turun dari 18,4 persen pada 2001, 18,2 persen pada
2002, 17,4 persen pada 2003, dan 16,7 persen pada 2004. "Saat itu mulai ada tanda
perbaikan yang lebih konsisten. Kita tak bisa lepaskan bahwa proses itu juga
dipengaruhi politik. Reformasi politik juga mereformasi ekonomi kita," kata Lana.

Perbaikan yang dilakukan pemerintah saat itu yakni menjaga sektor


perbankan lebih ketat hingga menerbitkan surat utang atau obligasi secara
langsung. Saat itu, kata Lana, perekonomian Indonesia mulai terarah kembali.
Meski tak ada lagi repelita seperti di era Soeharto, namun ekonomi Indonesia bisa
lebih mandiri dengan tumbuhnya pelaku- pelaku ekonomi.

4. Soesilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)

Meski naik-turun, pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah


kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) relatif stabil. Pertumbuhan
Indonesia cukup menggembirakan di awal pemerintahannya, yakni 5,69 persen
pada 2005. Pada 2006, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat jadi 5,5
persen. Di tahun berikutnya, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 6 persen, tepatnya
6,35 persen. Lalu, pada 2008, pertumbuhan ekonomi masih di atas 6 persen meski
turun tipis ke angka 6,01 persen. Saat itu, impor Indonesia terbilang tinggi. Namun,
angka ekspor juga tinggi sehingga neraca perdagangan lumayan berimbang.

Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua


kepemimpinan SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.
Pada 2009, di akhir periode pertama sekaligus awal periode kedua kepemimpinan
SBY, ekonomi Indonesia tumbuh melambat di angka 4,63 persen.

Perlambatan tersebut merupakan dampak krisis finansial global yang tak


hanya dirasakan Indonesia tetapi juga ke negara lain. Pada tahun itu, Bank Sentral
Amerika Serikat (The Fed) menaikkan suku bunga yang membuat harga komoditas
global naik. "Saat Bank Sentral AS menarik dana dari publik, tidak injeksi lagi,
harga komoditas melambat lagi. Kita mulai keteteran," kata Lana. "Ekspor kita
memang tinggi, tapi impornya lebih tinggi," tambah dia.

Meski begitu, Indonesia masih bisa mempertahankan pertumbuhan


ekonomi walaupun melambat. Pada tahun itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia
masuk tiga terbaik di dunia. Lalu, pada 2010, ekonomi Indonesia kembali tumbuh
dengan capaian 6,22 persen. Pemerintah juga mulai merancang rencana percepatan
pembangunan ekonomi Indonesia jangka panjang. Pada 2011, ekonomi Indonesia
tumbuh 6,49 persen, berlanjut dengan pertumbuhan di atas 6 persen pada 2012
yaitu di level 6,23 persen. Namun, perlambatan kembali terjadi setelah itu, dengan
capaian 5,56 persen pada 2013 dan 5,01 persen pada 2014.

5. Joko Widodo (2014-Sekarang)

Pada masa pemerintahannya, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa
Jokowi merombak struktur APBN dengan lebih mendorong investasi,
pembangunan infrastruktur, dan melakukan efisiensi agar Indonesia lebih berdaya
saing. Namun, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama empat tahun masa
pemerintahan Jokowi terus berada di bawah pertumbuhan pada era SBY. Pada
2015, perekonomian Indonesia kembali terlihat rapuh. Rupiah terus menerus
melemah terhadap dollar AS. Saat itu, ekonomi Indonesia tumbuh 4,88 persen.
"Defisit semakin melebar karena impor kita cenderung naik atau ekspor kita yang
cenderung turun," kata Lana.
Di era Jokowi kata Lana, arah perekonomian Indonesia tak terlihat jelas.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) seolah hanya
sebagai dokumen tanpa pengawasan dalam implementasinya. Dalam kondisi itu,
tak diketahui sejauh mana RPJMN terealisasi. Ini tidak seperti repelita yang lebih
fokus dan pengawasannya dilakukan dengan baik sehingga bisa dijaga. Pada 2016,
ekonomi Indonesia mulai terdongkrak tumbuh 5,03 persen. Dilanjutkan dengan
pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sebesar 5,17. Berdasarkan asumsi makro dalam
APBN 2018, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomis 2018 secara
keseluruhan mencapai 5,4 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2018
ternyata tak cukup menggembirakan, hanya 5,06 persen.

Sementara pada kuartal II-2018, ekonomi tumbuh 5,27 persen dibandingkan


periode yang sama tahun lalu. Hanya ada sedikit perbaikan dibandingkan kuartal
sebelumnya. Pada Senin (5/11/2018), BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada kuartal III-2018 sebesar 5,17 persen, malah melambat lagi
dibandingkan kuartal sebelumnya. Untuk kuartal IV-2018, pertumbuhan ekonomi
diprediksi meleset dari asumsi APBN. Bank Indonesia, misalnya, memprediksi
pertumbuhan Indonesia secara keseluruhan pada 2018 akan berada di batas bawah
5 persen.
A. Kesenjangan Sosial Era Reformasi
Pada era reformasi, Indonesia mengalami tingkat kesenjangan sosial yang
meningkat setiap tahunnya. Kesenjangan sosial mengakibatkan jumlah orang
miskin meningkat sehingga koefisien gini juga naik karena setiap orang terkena
dampak pada era reformasi. Namun, orang kaya yang paling terpukul keras
oleh dampak tersebut. Berikut ini rasio koefisien gini pada era reformasi:

0,45
0,41 0,41 0,413 0,41 0,41

0,4 0,38
0,363 0,363 0,37
0,35 0,35
0,34
0,35 0,329 0,33
0,308 0,31
0,3
0,3

0,25
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Grafik 1. Rasio Gini Indonesia pada 1999-2015 (sumber: BPS) 2015

Menurut Institute for Development of Economic and Finance (Indef), rasio gini di
Indonesia semenjak era reformasi terus mengalami peningkatan dan pada tahun 2015
sudah mencapai angka 0.41-0.45. Angka ini sangat memperihatinkan dan dianggap
sudah memasuki fase “Lampu Kuning”, karena apabila rasio gini sudah mencapai
angka 0.5 maka dapat dikatakan sudah memasuki kesenjangan sosial yang berbahaya
bagi kestabilan sebuah negara. Bahkan, beberapa pengamat ekonomi mengatakan
bahwa apabila angka rasio gini sudah mencapai 0.45 maka tragedi 1998 akan sangat
memungkinkan untuk terulang kembali. Selain itu pada era reformasi terdapat
peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan. Berikut ini data yang telah di
olah pada era reformasi terkait peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan di
Indonesia.

Grafik 2. Jumlah pengangguran pada era reformasi


Era reformasi yang menyebabkan berbagai masalah telah meningkatkan jumlah
pengangguran di Indonesia. Tidak hanya itu tingkat kemiskinan akibat bertambahnya
jumlah pengagguran juga mengalami peningkatan yang signifikan.

Grafik 3. Jumlah kemiskinan pada era reformasi

B. Hutang Pemerintah Era Reformasi


Enam kali pergantian presiden nampaknya belum mampu mengantarkan
Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia keluar dari utang,
masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk
presiden selanjutnya. Indonesia pun semakin terperangkap dalam kebiasaan utang.
Jangan heran jika Indonesia seakan sulit melepaskan diri dari jerat utang. Sebab,
kebiasaan berutang sudah dimulai sejak republik ini masih seumur jagung. Pun
demikian dengan budaya mewarisi utang yang sudah dimulai sejak Indonesia baru
berusia 4 tahun. Presiden Soekarno sempat tak setuju dan membatalkan warisan
utang yang menjadi beban bagi Indonesia. Utang dari pemerintah Hindia Belanda
pun tak seluruhnya dibayar. Tapi bukan berarti Soekarno anti terhadap utang.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno juga pernah berutang ke
negara lain.Soekarno pun melanjutkan tradisi pengalihan utang ke pemerintahan
Soeharto . Bung Karno mewarisi utang sekitar USD 2,3 miliar (di luar utang Hindia
Belanda USD 4 miliar).
Saat dilantik sebagai presiden, Soeharto sudah menanggung beban utang dari
Soekarno . Tapi, bukannya melunasi utang sebelumnya, Soeharto yang berkuasa
selama lebih dari 32 tahun justru semakin rajin melakukan pinjaman baru. Bedanya,
Soeharto tidak memilih utang dari negara blok timur, tapi cenderung ke blok barat
dan lembaga asing semisal Bank Dunia dan IMF. Warisan utang dari Hindia Belanda
yang sempat dibatalkan oleh Soekarno , justru di re-schedule ulang oleh Soeharto
pada 1964. Selain mereschedule ulang, Soeharto juga mendapat komitmen pinjaman
baru. Utang di era Soeharto , kata dia, diarahkan untuk pertumbuhan ekonomi. Mulai
dari bangun infrastruktur, bangun pabrik, industri, dan lain-lain. Tapi yang tidak
dilupakan adalah utang di era Soeharto banyak disebut utang haram karena tidak bisa
dipertanggungjawabkan (korupsi). Data yang ada menyebutkan, rezim orde baru
berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun
pemerintahan Soeharto , utang negara bertambah sekitar Rp 46,88 triliun tiap tahun.
Saat dilengserkan pada 1998, Soeharto pun melanjutkan tradisi mewarisi utang ke
Presiden Habibie. Utang luar negeri mencapai USD 53 miliar ditambah utang BLBI
yang dimasukkan sebagai utang dalam negeri. Totalnya, Soeharto mewarisi utang
sekitar USD 171 miliar.

Grafik 4. Utang pemerintah pada era reformasi

Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie. Bahkan, Habibie
tercatat sebagai presiden yang membuat utang Indonesia makin besar hanya dalam
waktu singkat. Pada masa kepemimpinannya yang hanya seusia jagung, kata Dani,
Habibie mengakumulasi tambahan utang luar negeri hingga USD 20 miliar. Warisan
utang dari Habibie sekitar USD 178 miliar.Zaman reformasi tidak berarti Indonesia
lepas dari jerat utang. Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur
, sempat menurunkan utang luar negeri pemerintah sekitar USD 21,1 miliar. Dari
USD 178 miliar menjadi USD 157 miliar. Namun, utang pemerintah secara
keseluruhan meningkat. Sebelum lengser, Gus Dur mewarisi utang sebesar Rp
1.273,18 triliun ke pemerintahan Megawati. Pun demikian di era kepemimpinan
Presiden Megawati Soekarno putri yang duduk menjadi orang nomor satu di republik
ini setelah Gus Dur lengser. Di masa Megawati berkuasa, terjadi penurunan jumlah
utang melalui penjualan aset-aset negara. Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp
1.273,18 triliun turun menjadi Rp 1.225,15 triliun pada 2002. Sayangnya, di tahun-
tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat. Pada 2004, total utang Indonesia
menjadi Rp 1.299,5 triliun.Budaya warisan utang berlanjut ke era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299
triliun, utang Indonesia justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 triliun di
2009 atau lima tahun pertama masa kepemimpinan SBY. Catatan positif pada masa
kepemimpinan SBY, Indonesia melunasi utang-utangnya pada dana moneter
internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang telah menjerat sejak
1997. Pada Oktober 2006, sisa utang pada IMF sebesar USD 3,7 miliar yang
harusnya jatuh tempo pada 2010 telah diselesaikan oleh BI. Sebelumnya, pada Juni
2006, BI juga membayar utang ke IMF sebesar Rp 3,7 miliar. Jadi, dalam waktu satu
tahun anggaran, sisa utang ke IMF sebesar Rp 7,4 miliar telah dilunasi. Data terbaru,
menjelang berakhirnya masa kepemimpinan SBY di 2014, utang Indonesia semakin
menggunung. Per April 2013, utang pemerintah sudah menembus Rp 2.023 triliun.
C. Cadangan Devisa Era Reformasi
Cadangan devisa merupakan aspek terpenting dalam menyangga
perekonomian suatu negara. Aspek penting disini karena cadangan devisa dapat
digunakan oleh pemerintah untuk menyeimbangkan pembayaran internasional,
menstabilkan nilai tukar suatu negara, serta melakukan pembayaran ke luar negeri.

Grafik 5. Cadangan devisa pada era reformasi


Pada era refomasi cadangan devisa Indonesia mengalami fluktasi dan peningkatan
yang lambat. Namun pada masa kepemimpinan presiden SBY, cadangan devisa
Indonesia mengalami perbaikan yang signifikan dimana cadangan devisa yang
semula 33.8 miliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 miliar dolar AS.

D. Pertumbuhan Ekonomi Era Reformasi


Setelah krisis ekonomi pada tahun 1997, maka laju pertumbuhan ekonomi
Indonesia turun (-13,16%) pada 1998, bertumbuh sedikit (0,62%) pada tahun 1999
dan setelah itu makin membaik. Laju pertumbuhan tahunan 1999 – 2005 berturut-
turut sbb.: 0,62%, 4,6%, 3,83%, 4,38%, 4,88%, 5,13% dan 5,69%. Ekonomi kita
bertumbuh dari hanya 0,62% berangsur membaik pada kisaran 4% antara tahun 2000
s.d. 2003 dan mulai tahun 2004 sudah masuk pada kisaran 5%. Pemerintah pada
mulanya menargetkan pertumbuhan ekonomi 2006 adalah 6,2% tetapi kemudian
dalam APBN-P 2006 merubah targetnya menjadi 5,8%; namun BI memperkirakan
laju pertumbuhan 2006 adalah 5,5% lebih rendah dari laju pertumbuhan 2005. Patut
diduga bahwa laju pertumbuhan tahun 2007 akan lebih rendah lagi karena investasi
riil tahun 2006 lebih rendah dari tahun 2005.
Laju pertumbuhan ekonomi kita dari tahun 1999 s.d. 2008 mencapai rata-rata
4,75%. Dari data di atas kelihatannya ekonomi kita memiliki prospek membaik yaitu
terus meningkatnya laju pertumbuhan di masa depan. Namun apabila diteliti lebih
mendalam akan terlihat adanya permasalahan dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.
Sektor ekonomi dapat dikelompokkan atas dua kategori yaitu sektor riil dan sektor
non-riil. Sektor riil adalah sektor penghasil barang seperti: pertanian, pertambangan,
dan industri ditambah kegiatan yang terkait dengan pelayanan wisatawan
internasional. Sektor non-riil adalah sektor lainnya seperti: listrik, bangunan,
perdagangan, pengangkutan, keuangan, dan jasa-jasa (pemerintahan, sosial,
perorangan). Kegiatan yang melayani wisatawan internasional masuk pada beberapa
sektor non-riil sehingga tidak dapat dipisahkan. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor
riil bertumbuh 3,33% sedangkan sektor non-riil bertumbuh 5,1%. Pertumbuhan ini
adalah pincang karena semestinya sektor non-riil bertumbuh untuk melayani sektor
riil yang bertumbuh. Antara tahun 1999 s.d. 2005 sektor pertanian bertumbuh 3,11%,
pertambangan -0,8%, dan sektor industri bertumbuh 5,12%. Hal yang lebih
mengkhawatirkan adalah dari tahun 2002 s.d. 2005 laju pertumbuhan sektor riil
cenderung melambat. Hal ini berarti pertumbuhan ekonomi keseluruhan sejak 2002
adalah karena pertumbuhan sektor non-riil yang melaju 2 kali lipat dari sektor riil.
Pada 2 tahun terakhir sektor yang tinggi pertumbuhannya adalah: pengangkutan,
keuangan, bangunan, dan perdagangan. Pada saat yang sama tingkat pengangguran
terbuka pada mulanya turun tetapi sejak tahun 2002 cenderung naik. Menurut
perhitungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tingkat pengangguran pada
tahun 2004 sebesar 10,3 juta meningkat menjadi 11,2 juta pada tahun 2005 dan
diperkirakan sebesar 12,2 juta pada tahun 2006 (Harian Kompas, tgl. 7 Agustus 2006,
hal. 15). Hal ini sangat ironis karena pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu yang
sama berada di atas 5%. Persentase orang miskin pada mulanya juga terus menurun,
tetapi sejak tahun 2005 sudah mulai bertambah. Hal ini disebabkan oleh sektor yang
bertumbuh itu adalah sektor non-riil

Grafik 6. Pertumbuhan ekonomi pada era reformasi

Pertumbuhan ekonomi memiliki dua sisi: kuantitas dan kualitas. Kuantitas


diukur dalam bentuk % pertumbuhan per tahun, misalnya 5%, 7%, dan
sebagainya. Namun pertumbuhan ekonomi juga memiliki unsur kualitas yaitu
sektor atau komoditas dominan yang menciptakan pertumbuhan itu. Tingkat
pertumbuhan ekonomi dapat di bagi atas beberapa kategori. Menurut
Robinson kategori pertumbuhan ekonomi suatu negara yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi pertumbuhan ekonomi Robinson
Berdasarkan kategori tersebut, maka laju pertumbuhan ekonomi yang terus menerus
rendah sejak era reformasi, pertumbuhan yang tidak berkualitas, kondisi prasarana
yang tidak memadai, rendahnya minat investor untuk menanamkan modal di sektor
riil, serta faktor kondisi global, maka dapat disimpulkan bahwa ekonomi Indonesia
telah terperangkap pada pertumbuhan rendah (low growht trap). Artinya setelah ada
peningkatan laju pertumbuhan 4-5% maka peningkatan menjadi tersendat. Hal ini
berarti kedepan, laju pertumbuhan ekonomi akan tetap rendah, tingkat pengangguran
terbuka tetap tinggi, jumlah orang miskin akan tetap besar dan cenderung makin
besar, mayoritas lulusan perguruan tinggi akan menjadi pengangguran atau terpaksa
bekerja pada pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian sarjana, serta akan sulit
untuk dapat keluar dari perangkap tersebut.

TANTANGAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Terkait naik-turun pertumbuhan ekonomi, Pemerintahan Joko Widodo-


Jusuf Kalla yang saat ini notabene adalah rezim yang sedang berkuasa juga
melakukan berbagai upaya untuk mendongkrak laju perekonomian Indonesia.
Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali
menyampaikan bahwa kunci pertumbuhan ekonomi adalah pemerataan
kesejahteraan. Oleh karena itu, ia ingin memperluas jangkauan untuk
pertumbuhan di kawasan timur Indonesia, kawasan perbatasan, dan daerah-
daerah lain yang masih tertinggal.

Selain itu, target pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa dicapai dengan


memperkuat usaha ultra-mikro, usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
Pemerintah juga berupaya menekan ketimpangan antardaerah serta
memperkecil kesenjangan antarkelompok pendapatan. Dari sisi sektoral,
pemerintah mendorong sektor yang punya nilai tambah dan menciptakan
kesempatan kerja lebih luas. Jokowi juga menekankan pentingnya
mengembangkan iklim investasi. Maka, mekanisme untuk mengurus perizinan
harus diperbaiki agar efisien dan terukur.

Salah satu solusi yang diberikan adalah dibentuknya Online Single


Submission (OSS) yang mempermudah investor mengurus perizinan.
Penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan OSS diyakini akan efektif
mengurangi rantai birokrasi dan mempermudah para pelaku usaha. Di masa
kampanye dan awal pemerintahannya, Jokowi berambisi membawa ekonomi
Indonesia tumbuh hingga 7 persen. Namun, ternyata kondisi ekonomi tak
semulus yang dibayangkan.

Pertumbuhan ekonomi harus bersusah payah merangkak hingga ke


posisinya saat ini. Angka 7 persen masih jauh dari realita. Menteri Keuangan
Sri Mulyani pun mengakui bahwa target itu sulit dicapai. "Pertumbuhan 5
persen itu sudah lumayan baik, kalau lihat tekanan eksternal," kata Sri Mulyani.
Target 7 persen muncul karena pada 2014 pemerintah melihat potensi
pertumbuhan ekonomi tinggi dari kondisi ekonomi global yang meyakinkan.
Lagi pula, target tersebut merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah
dan DPR. Pada 2019, asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN adalah 5,3
persen.
Sayangnya, perkembangan ekonomi global belakangan putar arah dan
menimbulkan ketidakpastian. Tak hanya Indonesia yang terdampak, tapi juga
negara lain. Sejumlah negara bahkan tak mampu bertahan sehingga mengalami
krisis seperti Venezuela dan Turki. Melihat realita seperti itu, pemerintah
menurunkan target ke angka yang lebih rasional. Pada 2019, asumsi
pertumbuhan ekonomi dalam APBN adalah 5,3 persen. Tantangan
perekonomian Indonesia pada 2019 dan tahun-tahun mendatang pun
diperkirakan tidak akan berkurang. Malah, sejak jauh-jauh hari banyak ekonom
nasional dan global yang memperkirakan tantangan lebih berat menanti di masa
mendatang.

Isu perang dagang yang memanaskan Amerika Serikat dan China pun
sudah terbukti menyeret peta ekonomi politik global. Belum lagi kondisi
ekonomi di Amerika Serikat yang diperkirakan bakal memperketat kebijakan
moneternya, ditakar bakal menarik pulang greenback ke negeri asalnya, yang
sudah pasti menekan nilai tukar mata uang negara lain termasuk rupiah. Dari
dalam negeri, persoalan dasar industrialisasi yang tidak berjalan sebagaimana
mestinya, juga masih menjadi pekerjaan rumah tiada usai bagi pemerintahan,
siapa pun itu yang berkuasa.

Terbukti sejumlah kebijakan yang muncul juga kembali berkutat pada


komoditas mentah, yang pada beberapa tahun sempat diupayakan untuk
dikurangi dengan mengedepankan nilai tambah ketika diekspor, selain
relaksasi. Di luar perdagangan, sektor-sektor ekonomi lain yang diharapkan
bisa mendongkrak pertumbuhan juga belum banyak unjuk gigi. Jasa dan
pariwisata masih menjadi tumpuan bersanding dengan konsumsi.
pertumbuhan ekonomi seperti apa yang hendak disasar juga masih dapat
terus menjadi dialektika bangsa, sekadar angka atau memang yang kinerja yang
menyejahterakan warganya karena kita mengetahui bahwasanya ekonomi suatu
bangsa bisa dilihat dari kesejahteraan rakyatnya, jika rakyatnya belum
merasakan sejahtera maka bisa dipastikan bahwa perkembangan ekonominya
tidak / kurang berhasil.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Reformasi adalah proses pembentukan kembali suatu tatanan kehidupan lama
diganti dengan tatanan yang baru.. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk
kepada gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden
Soeharto atau era setelah Orde Baru, yaitu era reformasi. Era reformasi di timbulkan
oleh beberapa faktor yang berujung pada krisis multidimensional yang menjadi
penyebab umum lahirnya gerakan reformasi. Faktor tersebut antara lain krisis
ekonomi, krisis politik, krisis sosial, krisis hukum dan krisis kepercayaan.
Reformasi di Indonesia berdampak paling dominan dari segi sosial dan
ekonomi. Dari segi sosial melalui era reformasi terjadi kesenjangan sosial yang
cukup signifikan. Hal ini tercermin dari perubahan rasio koefisien gini yang semakin
menunjukan trend peningkatan sehingga berdampak pada peningkatan jumlah
kemiskinan dan pengangguran. Sedangkan dari segi ekonomi, era reformasi
membawa kondisi ekonomi Indonesia mengalami fluktasi yang signifikan yang
tercermin dari tingkat pertumbuhan ekonomi, utang pemerintah dan cadangan devisa
negara.

B. Saran

Era reformasi mengajarkan kepada Indonesia khususnya generasi muda


mengenai perjalanan panjang perekonomian di Indonesia. Sebagai generasi
penerus bangsa, kita harus ikut berjuang dalam lebih mensejahterkan Indonesia,
khususnya dalam bidang ekonomi. Mengingat bagaimana sejarah pergolakan
perekonomian kita yang megalami fluktasi signifikan, seharusnya sekarang kita
sudah mulai memikirkan untuk mengantisipasi pasar bebas yang akan terjadi
nanti. Cara yang dapat dilakukan dengan membekali diri dengan sertifikasi
kompetensi keahlian sehingga memiliki keunggulan bersaing dalam
membangun perekonomian Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

https://jeo.kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/21/20-tahun-setelah-reformasi-
ekonomi-indonesia-tumbuh-sekitar-5

https://www.academia.edu/28423401/ANALISA_KONDISI_PEREKONOMIAN_I
NDONESIA_ERA_REFORMASI

Anda mungkin juga menyukai