Anda di halaman 1dari 8

Keberhasilan Orde Baru

 Swasembada Pangan
Orde Baru merupakan masa Indonesia setelah turunnya Presiden Soekarno dan digantikan oleh
kepemimpinan Soeharto. Dalam masa kepemimpinannya yang berlangsung selama lebih dari tiga puluh
tahun, Indonesia mengalami masa-masa yang menurut masyarakat secara umum merupakan masa
pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi ini dirasakan sangat signifikan oleh
masyarakat karena sebelumnya pada tahun 1966 Indonesia mengalami gejolak ekonomi yang luar biasa
dimana inflasi mencapai 650%. Adapun beberapa hal positif yang didapatkan dari pembangunan ekonomi
secara umum pada masa Orde Baru ini antara lain pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur,
serta perkembangan sektor pertanian. Prestasi luar biasa yang diperoleh dari perkembangan sektor
pertanian ini adalah Indonesia bisa mengubah status dirinya dari Negara pengimpor beras terbesar di dunia
menjadi Negara pengekspor beras terbesar di dunia dan mencapai swasembada pangan pada tahun 1980-
an.Swasembada beras menjadi isu yang sangat penting dalam masa Orde Baru, karena ia merupakan
prestasi di masa itu. Hal yang menarik adalah mengapa setelah turunnya Soeharto, Indonesia kini kembali
lagi menjadi pengimpor beras dunia dan bahkan masuk sebagai empat besar Negara pengimpor beras di
dunia. Ini mengindikasikan bahwa Soeharto benar-benar berperan langsung untuk mewujudkan hal
tersebut. Hal inilah yang kemudian akan saya bahas dalam essay ini. Dalam essay ini saya akan membahas
apa yang dilakukan oleh soeharto terkait dengan pencapaian swasembada pangan melalui studi dari
beberapa literatur yang saya temukan

Keterangan: ini merupakan proses pengawasan jalannya swasembada pada masa orde baru
Pelaksanaan Revolusi Agraria sebagai upaya peningkatan produksi pangan
Kemajuan ekonomi bisa dicapai oleh pemerintahan Soeharto melalui komitmennya yang besar
terhadap pembangunan ekonomi sebagai salah satu cara untuk mewujudkan legitimasi politiknya di
hadapan rakyat. Kestabilan ekonomi merupakan target yang harus dicapai. Arah dan pola pembangunan
ekonomi pada masa Soeharto dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
yang sudah dilaksanakan sampai dengan Pelita VII (sampai tahun 1996). Oleh karena itu, swasembada
pangan merupakan hal yang sangat bukan tidak mungkin, karena ia memang menjadi fokus tersendiri
dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Di dalam Pelita I bahkan Pertanian dan Irigasi
dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang bidang. Di dalam rincian penjelasan
dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

“Peningkatan produksi pangan bertudjuan agar Indonesia dalam waktu lima tahun jang akan datang tidak
usah meng- impor beras lagi . Tudjuan lain ialah memperbaiki mutu gizi pola konsumsi manusia
Indonesia melalui peningkatan produksi pangan jang mengandung protein chewani dan nabati, terutama
ikan dan katjang-katjangan. Akibat positif dari peningkatan produksi beras ialah bahwa lambat-laun tidak
perlu lagi mengimpor pangan, sehingga dengan demikian devisa jang langka itu dapat digunakan untuk
mengimpor barang modal dan bahan baku jang diperlukan untuk pembangunan sektor-sektor lain,
terutama sektor indus-tri. Selandjutnja, peningkatan produksi pangan akan meningkat-kan pendapatan
petani-petani pangan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Soeharto tidak main main dengan targetnya. Dalam
mengupayakan tujuan tersebut bisa dicapai, di dalam pedoman Repelita bahkan di-breakdown hasil
pertanian apa saja yang ingin ditingkatkan dan bagaimana langkah-langkah strategis untuk
mewujudkannya. Pembangunan sektor pertanian ini merupakan wujud dari Revolusi Agraria di Indonesia
yang ditempuh melalui empat langkah, yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi, dan rehabilitasi
pertanian. Beras sendiri, seperti sudah disebutkan tadi, menjadi komoditas yang menjadi focus utama di
Pelita I. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi beras, antara lain melalui pembuatan dan
perbaikan sarana irigasi di berbagai daerah persawahan, pemberian modal bagi masyarakat petani,
penelitian dan penggunaan bibit unggul, serta modernisasi pertanian melalui teknologi.Menarik
mengamati bagaimana Indonesia pada masa Orde Baru bisa mencapai swasembada beras dan mengapa
sampai sekarang hal itu belum bisa terulang kembali. Padahal pada masa awal Soeharto memerintah,
keadaan ekonomi Indonesia sedang kacau. Soeharto dan para arsitek Orde Barunya mengatur skema
pembangunan yang sedemikian rupa detailnya agar target-target pembangunan tersebut bisa tercapai,
termasuk mengenai swasembada beras.Latar belakang sebagai seorang militer membuat system
pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat juga khas sentuhan militer: bersifat instruktif.
Inti dari cara ini adalah instruksi presiden yang disalurkan secara top-down ke petani. Sebagai
penyalur informasinya dibentuk organisasi bimbingan massal (Bimas) yang melibatkan semua level
pemerintahan dari pusat sampai desa. Di tingkat petani, dibentuk kelompok-kelompok tani yang berfungsi
untuk menjalankan instruksi di lapangan. Perannya sama seperti prajurit di medan perang, yaitu petani
tidak boleh mengambil keputusan soal produksi. Pemerintah akan memutuskan jenis benih apa yang akan
digunakan, berapa lama waktu tanam, jenis pupuk, pestisida, dan lain-lain. Kemudian, petani tinggal
melaksanakan apa yang diinstruksikan, setelah diberikan penyuluhan oleh lembaga-lembaga penyuluhan
yang dibentuk oleh Departemen Pertanian. Di lapangan, lembaga-lembaga penyuluhan tersebut
dibebankan tugas untuk memastikan apakah petani sudah menjalankan sesuai dengan yang diinstruksikan.
Setiap penyuluh harus memastikan semua petani bimbingannya menjalankan instruksi. Kalau ada petani
yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis lain, maka aparat keamanan akan
"mengamankan"nya

Keterangan: Presiden Soeharto sedang melihat jalannya pertanian diindonesia.

Instruksi ini kemudian tidak hanya berhenti soal benih dan pupuk, melainkan juga berkenaan dengan
pemasaran hasil pertanian. Untuk mendekatkan petani ke pasar sarana dan hasil produksi pemerintah
mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD). KUD nantinya yang akan menyalurkan sarana produksi ke petani
sekaligus membeli gabah dari petani. Tidak hanya itu, ketersediaan sarana produksi serta akses
bantuaanmodal juga dijamin oleh pemerintah. Hal inilah yang dilakukan Soeharto untuk mencapai target
swasembada berasnya. Semuanya dikontrol secara ketat. Kegiatan agroindustri hulu (sarana produksi),
usaha tani (on-farm), agroindustri/bisnis hilir (pengolahan/pemasaran), dan penunjang (penelitian,
penyuluhan, pembiayaan) diintegrasikan secara ketat dalam program Bimas.

.
 Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi
Di Indonesia, teori tahapan ekonomi Rostow pada masa Soeharto dilaksanakan sebagai landasan
pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara berkala untuk waktu lima tahunan, yang
terkenal dengan pembangunan 5 tahun. Dengan demikian, implementasi teori Rostow berdasarkan 5 tahap
teori Rostow yaitu: masyarakat tradisional, pra kondisi tinggal landas, tinggal landas, pembangunan,
konsumsi tingkat tinggi, menurut Rostow pembangunan ekonomi suatu masyarakat tradisional menuju
masyarakat modern merupakan sebuah proses yang berdimensi banyak.Dalam upaya melaksanakan
pembangunan di bidang ekonomi, pemerintah Soeharto atau pada masa Orde Baru melaksanakan
pembangunan melalui Repelita (Rencana Pembanagunan Lima Tahun).

Dalam buku Indonesia Sejak Supersemar dijelaskan bahwa Rencana Pembanguna Lima Tahun 1969-1973
mempunyai sasaran-sasaran pokok yang pada dasarnya meliputi tiga bidang luas yaitu:

Bidang materiil, yang mencakup pembangunan sektor-sktor agrarian, prasarana, industri, pertambangan
dan pariwisata dengan menentukan pula penunjangan setiap usaha di bidang ekonomi pada sektor-sektor
tersebut:

1.Bidag mental dan spiritual.

2.Bidang pertahanan dan keamanan.

Dalam pelaksanaan ketiga-tiganya dilakukan bersama-sama dan saling menunjang. Sekalipun demikian
dari masalah-masalah yang hingga sekarang ada, yang terpenting adalah untuk mengatur kembali dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru diarahkan pada sektor pertanian. Hal ini dikarenakan kurang
lebih 55% dari produksi nasional berasal dari sektor pertanian dan juga 75% pendudukan Indonesia
memperoleh penghidupan dari sektor pertanian. Bidang sasaran pembangunan dalam Repelita, antara lain
bidang pangan, sandang, perbaikan prasarana, ramah rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan
rohani.Jangka waktu pembangunan Orde Baru dapat dibedakan atas dua macam, yaitu program
pembangunan jangka pendek dan program pembangunan jangka panjang. Program pembangunan jangka
pendek sering disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun), adapaun program pembangunan jangka panjang
terdiri atas pembangunan jangka pendek yang saling berkesinambungan.
 Pengendalian Pertumbuhan Penduduk Melalui KB
Pada masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal
dengan Keluarga Berencana (KB).Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan
pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%. Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai
melalui program KB yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN).Berbagai kampanye mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui
mediamassa cetak maupun elektronik. Pada akhir tahun 1970-an sampai akhir tahun 1980-an di Televisi
Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai pentingnya KB. Baik itu melalui berita
atau acara hiburan seperti drama dan wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu nyanyian mars
“Keluarga Berencana” ditayangkan hampir setiap hari di TVRI. Selain di media massa, di papan iklan di
pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB. Demikian pula dalam mata
uang koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal itu menandakan bahwa Orde Baru sangat serius
dalam melaksanakan program KB. Slogan yang muncul dalam kampanyekampanye KB adalah “dua anak
cukup, laki perempuan sama saja”.

Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB


pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak
kelahiran sebagai hak dasar manusia dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur
perencanaan ekonomi dan sosial.Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh
UNICEF, karena dinilai berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya
lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. UNICEF bahkan
mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan
contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi.Program KB di Indonesia
sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti
kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program
ini.
Peristiwa Yang Belum Terselesaikan Pada Masa
Orde Baru

1. Penembakan Misterius
Peristiwa Petrus yang terjadi pada periode 1982-1985 ini dilatarbelakangi tingginya kriminalitas disertai
kekerasan serta tumbuhnya kelompok-kelompok preman. Namun dalam penyelenggaraannya, terjadi
pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi banyak korban salah sasaran atau masyarakat biasa.

Jumlah korban berdasarkan data penelitian David Bourchier yang berjudul “Crime, Law, and State
Authority in Indonesia” pada 1990 – terjemahan Arief Budiman – yang dikutip Komnas HAM mencapai
10.000 orang. Sementara temuan lembaga itu sendiri ada 2.000 orang. Tindakan ini dianggap sebagai
pelanggaran hak asasi manusia.

2. Peristiwa Berdarah di Tanjung Priok


Kasus yang terjadi pada 1984 ini dipicu oleh penahanan Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin
Rambe dan M. Nur di Markas Komando Distrik Militer (Makodim). Tuduhannya adalah pembakaran
motor Babinsa. Warga yang protes atas penahanan tersebut melakukan aksi unjuk rasa.

Massa dihadang berondongan timah panas. Menurut laporan Komnas HAM, penembakan dilakukan oleh
Artileri Pertahanan Udara TNI AU. Akibatnya, 79 orang jadi korban, 24 di antaranya meninggal serta
sisanya mengalami luka-luka. Temuan ini diperoleh dari penyelidikan tim yang dibentuk oleh Komnas
HAM.

3. Peristiwa Mei 1998


Pada tahun 1998 lalu, Jakarta dikepung api. Reformasi, babak baru dalam kehidupan berbangsa Indonesia
harus dibayar mahal. Sementara krisis politik melanda Istana, kekerasan terjadi di jalanan. Kerusuhan itu
diduga dipicu oleh kelompok tak dikenal.

Terjadi penjarahan dan pembakaran, pemerkosaan, serta penembakan dan penculikan. Tim Gabungan
Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah menemukan data bervariasi soal korban. Tim Relawan
menyebut 1.190 meninggal, sementara Polda Jakarta menemukan 451 orang, serta Kodam Jaya menyebut
463.
4. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Pada September 1997, di tengah tekanan krisis keuangan, pemerintah Indonesia dalam sebuah sidang
kabinet yang dipimpin Presiden Soeharto, mengambil langkah penting. Perbankan yang sehat tapi
mengalami kesulitan likuditas akibat krisis, akan dibantu. Belakangan, keputusan ini dikenal dalam bentuk
BLBI.

Total bantuan likuiditas yang dikucurkan untuk perbankan yang dianggap ‘sehat’ itu mencapai Rp 144,5
triliun. Namun hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi terjadinya kerugian
negara dari BLBI mencapai Rp 138,4 triliun. Kejaksaan Agung juga mencatat masih ada 21 buron terkait
penyimpangan dana bantuan tersebut. Beban ekonomi akibat peristiwa ini juga masih kita tanggung
hingga sekarang.

5. Lumpur Lapindo
11.974 warga di Sidoarjo kehilangan rumah, mata pencaharian dan sejarah mereka akibat terjangan
lumpur panas. Lumpur panas meluap dari kawasan penambangan gas milik PT Lapindo Brantas di
Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2006. Akibatnya, sekitar 18 desa di kawasan tersebut kini menjadi lautan
lumpur.

Baru-baru ini Komnas HAM memutuskan bahwa kasus semburan lumpur panas itu merupakan
pelanggaran atas hak asasi manusia, sehingga masuk kategori kejahatan. Komnas minta Kepolisian
melakukan penyidikan lebih lanjut, walaupun Polda Jawa Timur sudah mengeluarkan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3). Dalilnya, pengadilan memutuskan bencana Lapindo sebagai bencana alam,
bukan kejahatan.

6. Kekerasan di Papua
Lembaga Studi Hak Asasi Manusia (eLSHAM) di Jayapura, Papua, punya daftar tentang penegakan hak
asasi di Papua. Dalam laporannya yang berjudul ‘Masa Lalu Yang Tak Berlalu’, lembaga itu mencatat ada
749 dugaan pelanggaran HAM di Papua sejak 1970-an yang tak kunjung selesai sampai sekarang.Hasil
penelitian setebal 25 halaman itu dikerjakan bersama International Center for Transitional Justice (ICTJ).
Rincian dari temuan hasil penelitian yang diumumkan minggu ini adalah: 49 pelanggaran terhadap 312
laki-laki dan 56 perempuan. 101 orang di antaranya merupakan korban dalam kelompok atau dialami oleh
lebih dari satu orang.

7. Kekerasan Akibat Perebutan Lahan


Peristiwa terakhir yang ramai ke publik secara nasional, yaitu pada tahun lalu, terkait perebutan lahan di
Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji, Lampung, antara
warga dengan perusahaan perkebunan sawit. Pada kasus di Sumsel, jumlah korban meninggal mencapai 7

orang. Sedangkan di Lampung, 100 warga ditahan Kepolisian.Penyebab kasusnya berbeda. Untuk
peristiwa Kecamatan Mesuji di Sumsel, terkait konflik lahan antara warga dengan PT Sumber Wangi
Alam. Sementara di Kabupaten Mesuji, Lampung, warga yang sudah menempati lahan ingin diusir oleh
perusahaan Malaysia di bidang perkebunan. Warga pun melawan. Kasus ini menambah daftar hitam
konflik perebutan lahan antara warga dan perusahaan. Warga Pulau Padang, Riau, 2012 lalu berkemah dan
menjahit mulut mereka di depan DPR untuk meminta keadilan akan lahan mereka yang dirampas PT Riau
Andalan Pulp and Paper.

8. Kasus Marsinah
Kasus pembunuhan terhadap aktiis buruh, Marsinah, tahun depan sudah berusia 20 tahun. Namun hingga
kini belum terungkap siapa pelakunya. Padahal, kasus ini akan kadaluarsa tahun depan – sesuai masa
berlakunya – seandainya masih belum ada titik terang tentang pelaku pembunuhan tersebut.

Peristiwanya terjadi pada 9 Mei 1993, ketika jasad Marsinah yang sebelumnya sempat protes ke Kodim
Sidoarjo atas penangkapan rekan-rekannya, ditemukan tergeletak di sebuah gubuk pinggir sawah dekat
hutan jati, Dusun Jegong, Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah terlibat aktif dalam
pemogokan buruh PT Catur Putra Surya, sebuah perusahaan arloji. Kini, para aktivis minta kasusnya yang
tenggelam diungkap.

9. Pembunuhan wartawan
Mirip dengan kasus Marsinah, peristiwa pembunuhan terhadap Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin,
wartawan Harian Bernas Yogyakarta, pada Agustus 1996 belum juga terungkap. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mengingatkan Kepolisian untuk mengungkap pelaku pembunuhan Udin, mengingat
kasus tersebut terancam kadaluarsa pada 16 Agustus 2014, sehingga tidak bisa diadili.

Sayangnya Udin bukan yang terakhir. Hingga kini AJI mencatat ada 8 wartawan yang meninggal dalam
tugas peliputan. Namun hingga kini kasusnya belum juga terungkap oleh Kepolisian. Delapan nama itu
adalah, Naimullah (Sinar Pagi), Agus Mulyawan (Asia Press), Muhammad Jamaluddin (TVRI), Ersa
Siregar (RCTI), Herliyanto (Jurnalis lepas Tabloid Delta, Sidoarjo), Adriansyah Matra’is Wibisono
(Jurnalis TV lokal di Merauke), Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi), dan Fuad Muhammad Syarifuddin
(Bernas).

Anda mungkin juga menyukai