Anda di halaman 1dari 2

Krisis moneter atau juga disebut krisis keuangan adalah situasi di mana harga aset

mengalami penurunan, bisnis dan konsumen tidak dapat membayar utang mereka, dan
lembaga keuangan mengalami kekurangan likuiditas. Krisis keuangan sering disertai dengan
kepanikan di mana investor menjual aset mereka atau menarik uang dari rekening tabungan
mereka karena takut nilainya akan menurun jika mereka tetap berada di lembaga keuangan.
Secara umum, krisis ekonomi 1998 memiliki dampak yang begitu signifikan bagi rakyat
Indonesia terutama pada sector manufaktur dan perbankan. Sector manufaktur yang pada
awalnya merupakan peluang yang baik untuk melakukan investasi, kemudian menjadi
mimpi buruk bagi kalangan investor. Hal ini disebabkan harga bahan pokok yang meroket
pada masa itu. Kenaikan harga bahan pokok membuat masyarakat resah karena kehilangan
daya beli. Akibatnya, produksi di sector manufaktur menjadi terbatas.
Saat itu, Indonesia cukup terbuka bagi investor asing yang ingin menanamkan modalnya di
perusahaan dalam negeri. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk mencocokkan nilai
tukar rupiah dengan harga pasar. Bukannya membaik, nilai tukar rupiah justru mencapai
angka yang mengejutkan. Akibatnya, investor asing tidak lagi percaya bahwa uang yang
diinvestasikan dalam melakukan bisnis di Indonesia akan memberikan hasil yang baik.
Mereka juga meninggalkan Indonesia dalam jumlah besar dan gagal menerima infus dari
luar negeri, sehingga banyak bisnis yang gulung tikar.
Menghadapi situasi tersebut, perusahaan yang tidak mampu membayar utang akhirnya
bangkrut. Selain itu, sebagian besar menggunakan bahan baku impor, sehingga mereka
membutuhkan dolar Amerika Serikat untuk membelinya. Karena rupiah anjlok, ia tidak
dapat membeli bahan baku dan akhirnya kehilangan bisnisnya. Situasinya sangat serius,
karena menyebabkan penurunan jumlah pekerja yang meluas dan peningkatan tajam dalam
tingkat kemiskinan. Sementara itu, meski negara tidak bisa memberikan dukungan karena
alasan lain yang belum jelas, ada kemungkinan sebagian besar petahanan di masa lalu tidak
menyadari posisinya.
Ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bangkrut. Sekitar 70 persen
lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan,
sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengangguran
melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang
atau 20 persen lebih dari Angkatan kerja.

Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Banyak orang
menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan
terus melonjak. Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan
1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari
tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat
miskin pada tahun 1999.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis,
ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah,
akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing,
dan persaingan ketat di pasar global. Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok
sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya
tumbuh 5,36 persen.
Dari sector perbankan, Krisis ekonomi Indonesia bahkan tercatat sebagai yang terparah di
Asia Tenggara. Dampak resesi ekonomi seperti efek bola salju, krisis yang semula hanya
berawal dari krisis nilai tukar baht di Thailand 2 Juli 1997, dalam tahun 1998 dengan cepat
berkembang menjadi krisis ekonomi di Asia Tenggara. Terpuruknya kepercayaan ke titik nol
membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur
dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998. Rupiah
terdepresiasi lebih dari 80 persen sejak mata uang tersebut diambangkan 14 Agustus 1997.
Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok,
bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar,
bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi
sampah. Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ)
anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis
1 Juli 1997.
Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 triliun pada
awal Juli 1998. Pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi
70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari
masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis). Hal ini menyebabkan
kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu
menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Sebagai kesimpulan, krisis moneter yang terjadi di akhir orde baru berdampak terhadap
stabilitas kehidupan saat itu. Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi terutama di
sektor manufaktur dan perbankan. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sector
manufaktor perlahan gulung tikar menghadapi krisis yang terjadi. Begitu pula dengan sector
perbankan yang terhambat pertumbuhannya akibat dari turunnya nilai rupiah. Oleh karena
itu, diperlukan pengawasan yang memadai dari pihak pemerintah untuk menghadapi
masalah ini.

Anda mungkin juga menyukai