Anda di halaman 1dari 5

PENTABIO VACCINE

I. Identifikasi Bahan
a. Bahan Dasar
Tiap 1 dosis (0,5 mL) mengandung : Toksoid Difteri murni. Toksoid Tetanus
murni. Bordetella pertusis inaktif.
b. Kandungan
Kandungan yang terdapat pada Pentabio terdiri dari toksoid difteri dan tetanus
murni, bakteri pertusis (batuk rejan) inaktif, dan antigen permukaan hepatitis
B (HBsAg) murni yang tidak infeksius, serta komponen Hib tidak infeksius.
Pada satu dosis vaksin mengandung 4 IU untuk pertusis, 30 IU untuk difteri,
60 IU untuk tetanus (ditentukan pada mencit) atau 40 IU (ditentukan pada
guinea pig), 10 mcg HbsAg, dan 10 mcg Hib.
c. Dampak
Manfaat Vaksin Pentabio Bio Farma Sesuai dengan kandungannya vaksin
kombinasi Pentabio setidaknya memiliki manfaat dalam mencegah lima jenis
penyakit, antara lain:
1. Mencegah penyakit difteri
Difteri adalah penyakit berbahaya yang diakibatkan oleh strain bakteri
Corynebacterium diphtheriae. Menurut Center for Disease Control and
Prevention (CDC) bakteri tersebut dapat memproduksi racun yang
menyebabkan kesulitan bernapas, gagal jantung, kelumpuhan, bahkan
kematian. Infeksi bakteri difteri bisa dicegah dengan vaksin Difteri-
Tetanus (Dt/Td) atau vaksin DTP.
2. Mencegah penyakit tetanus
Tetanus merupakan kondisi infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Clostridium tetani. Menurut CDC, ketika menyerang tubuh bakteri
tersebut akan memproduksi racun berbahaya yang dapat menyebabkan
kontraksi otot. Salah satu gejala infeksi tetanus adalah terkuncinya leher
dan rahang penderita akibat reaksi kontraksi otot. Kondisi ini
menyebabkan penderita kesulitan membuka mulut atau menelan, sehingga
berujung pada malnutrisi. Penyakit tetanus bisa dicegah dengan menerima
vaksin Td, TDaP, atau DTP.
3. Mencegah penyakit pertusis atau batuk rejan
Pertusis atau batuk rejan merupakan penyakit yang diakibatkan oleh
bakteri Bordetella pertussis. Melansir Mayo Clinic, bakteri tersebut
mengakibatkan seseorang menderita infeksi saluran pernapasan yang
sangat menular. Salah satu gejala yang muncul akibat infeksi pertusis
adalah batuk parah yang diikuti napas berbunyi nyaring. Infeksi pertusis
pada bayi sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian. Penyakit
pertusis bisa dicegah dengan menerima vaksin DPT atau TdaP.
4. Mencegah penyakit hepatitis B
Penyakit hepatitis B merupakan penyakit serius yang disebabkan oleh
virus hepatitis B (HBV). Menurut CDC, penyakit hepatitis B
mengakibatkan kerusakan hati, sirosis, kanker hati, bahkan kematian.
Penyakit hepatitis B bisa dicegah dengan vaksin HB yang berupa antigen
permukaan virus HBsAg yang sudah dinonaktifkan.
5. Mencegah penyakit Hib Penyakit Hib merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe B (Hib). Penyakit ini
dapat menyebabkan infeksi otak dan sangat berbahaya jika diderita anak-
anak. Infeksi yang disebabkan oleh Hib dapat memicu penyakit meningitis
(radang selaput otak dan tulang belakang), infeksi aliran darah,
pneumonia, radang sendi, hingga kematian. Pencegahan penyakit Hib bisa
dilakukan dengan cara menerima vaksin HiB sejak balita.

Penggunaan vaksin Pentabio berpotensi akan menimbulkan reaksi alergi pada


beberapa anak seperti:
1. Ruam dan gatal pada area bekas suntikan
2. Nyeri otot
3. Sulit bernapas
4. Pembengkakan pada wajah, bibir, lidah
5. Demam tinggi
6. Iritabilitas atau rewel
7. Menangis dengan nada tinggi dapat terjadi dalam 24 jam setelah
pemberian

Penggunaan dosis berlebihan akan memperburuk efek samping. Gejala


perburukan efek samping ataupun overdosis, seperti:
1. Kesulitan bernapas
2. Lemah otot
3. Mual-muntah berat
4. Peningkatan tekanan darah
5. Keringat dingin
6. Sampai tidak sadarkan diri
Bila terdapat gejala di atas, segera pergi ke unit gawat darurat rumah sakit
terdekat atau hubungi penyedia layanan gawat darurat. Penanganan
kegawatdaruratan hanya dilakukan oleh tenaga medis profesional.
 
II. Identifikasi Proses
Vaksin hepatitis B pertama kali diproduksi dengan cara mengisolasi
HBsAg dari plasma darah carrier VHB. Cara ini hanya bertahan selama sepuluh
tahun karena memiliki banyak kelemahan, yaitu adanya potensi kontaminasi,
keterbatasan plasma carrier VHB, dibutuhkan prosedur purifikasi serta inaktivasi
agar vaksin yang dihasilkan terbebas dari virus dan agen lain yang mungkin
terdapat di dalam plasma (Lonsdorf et al., 2011). Hal tersebut menyebabkan biaya
produksi HBsAg cukup tinggi sehingga harga plasma derived vaccine kurang
terjangkau terutama untuk negara berkembang yang pada umumnya memiliki
tingkat prevalensi tinggi terhadap penyebaran VHB (Stephen, 1988).
Selanjutnya HBsAg diproduksi dengan cara yang lebih aman, yaitu dengan
teknologi DNA rekombinan. Cara ini masih bertahan sampai sekarang walaupun
terjadi beberapa kali perubahan sistem ekspresi. Sistem ekspresi yang pertama kali
digunakan untuk memproduksi HBsAg rekombinan adalah sel eukariot. Ekspresi
HBsAg di sel China Hamster Ovary (CHO) telah berhasil dilakukan, namun
jumlah HBsAg yang diproduksi sangat sedikit. Selain itu, CHO membutuhkan
perlakuan yang cukup rumit sehingga tidak efektif digunakan dalam skala industri
(Porro et al., 2005; Liu et al., 2009). Oleh karena itu pemilihan sistem ekspresi
beralih ke bakteri Escherichia coli. Sistem ekspresi E. coli menawarkan sistem
yang sederhana dan mudah dimanipulasi, namun ternyata tidak berdampak positif
pada produksi HBsAg. Penelitian yang dilakukan oleh Fujisawa et al (1983)
menunjukkan bahwa E. coli yang membawa gen pengkode HBsAg mengalami
inhibisi pertumbuhan dan memproduksi antigen dengan level yang sangat rendah.
Hasil deteksi secara langsung menggunakan immunoassay menunjukkan bahwa
HBsAg yang diproduksi berinteraksi lemah dengan anti-HBsAg. Hal ini terjadi
karena HBsAg yang diproduksi E.coli tidak mengalami glikosilasi (Mackay et al,
1981). Mikroorganisme prokariot seperti E.coli tidak menyediakan proses
modifikasi protein pasca translasi seperti yang terjadi pada sel eukariot.
Untuk mengatasi permasalahan ini, industri mulai menggunakan sistem
ekspresi Saccharomyces cerevisiae. Ekspresi protein HBsAg di S. cerevisiae telah
berhasil dilakukan, namun masih terdapat beberapa kekurangan. Tingkat ekspresi
HBsAg di S. cerevisiae cukup rendah (Balamurugan et al., 2007) dan HBsAg
yang diproduksi mengalami hiperglikosilasi sehingga menyebabkan perbedaan
imunogenisitas (Grinna & Tschopp, 1989). Selain itu, dalam penelitian Yang et al
(2000), dibuktikan bahwa plasmid yang digunakan pada sistem ekspresi S.
cerevisiae tidak cukup stabil sehingga sulit untuk memperoleh kultur dengan
densitas yang besar dan membutuhkan biaya yang mahal dalam proses produksi
skala besar.

III. Identifikasi Produk


1. Komposisi
Tiap dosis (0.5 mL) mengandung:
 Zat aktif
Toksoid Difteri mumi                                             20 Lf (≥ 30
IU)
Toksoid Tetanus mumi       5 Lf (≥ 60 IU)
B. pertussis inaktif  12 OU (2 4
IU)
HBsAg 10 mcg
Konjugat Hib  10 mcg
 Zat tambahan
Al3+ sebagai Aluminium Fosfat    0.33 mg
Thimerosal                                     0,025 mg

Anda mungkin juga menyukai