TUBERKULOSIS
1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mycobacterium tuberculosis. Basil ini juga bisa menyerang organ lain selain paru,
contohnya adalah ginjal, otak , dan tulang belakang.
Tuberkulosis merupakan salah satu pernapasan bagian bawah. Di Indonesia,
penyakit ini merupakan penyakit infeksi terpenting setelah eradikasi penyakit
malaria (Amir, 2017).
1.2 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak
berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar
ultraviolet. Ada dua macam mikobakteria tuberculosis yaitu Tipe Human dan
Tipe Bovin.
Basil Tipe Bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis
tuberkulosis usus. Basil Tipe Human bisa berada di bercak ludah (droplet) dan di
udara yang berasal dari penderita TBC, dan orang yang terkena rentan terinfeksi
bila menghirupnya. (Wim de Jong, 2015)
Setelah organism terinhalasi, dan masuk paru-paru bakteri dapat bertahan
hidup dan menyebar ke nodus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah
ini dapat menyebabkan TB pada organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan
sampai bertahun-tahun. (Patrick Davey).
Selain daripada faktor-faktor etiologi, terdapat juga beberapa faktor risiko
yang dapat memicu terjadinya TB.
a. Jenis Kelamin
Ratio laki-laki dan perempuan terhadap prevalensi TB adalah 1,5-2,1 di
seluruh dunia. (Aris, 2016)
b. Umur
Di indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun. Anak-anak memiliki risiko yang cukup tinggi
untuk terkena TB karena sistem imunnya yang belum sempurna.
c. Status Gizi
Secara teori, malnutrisi akan berdampak dalam melemahnya daya tahan
tubuh. Saat daya tubuh melemah maka akan semakin mudah terinfeksi TB.
d. Sosial Ekonomi
Prevalensi masyarakat yang berasal dari kalangan sosioekonomi rendah lebih
banyak terserang penyakit TB dibandingkan dengan masyarakat di kalangan
sosioekonomi menengah tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap lingkungan
yang tidak bersih dan pemukiman yang terlampau padat sehingga hal ini
mempengaruhi juga dalam hal bahan bakar memasak yang digunakan.
Lingkungan yang tidak bersih dan pemukimn yang terlampau padat menjadi
sangat potensial dalam hal penyebaran kuman TB. (Amir,2017).
e. Pendidikan
Status pendidikan seseorang juga dapat menjadi faktor risiko seseorang
terkena TB. Rendahnya pendidikan seseorang mempengaruhi sikap seseorang
tersebut dalam mencari tahu mengenai kesehatannya. Hal tersebut juga
berpengaruh dalam mencari pelayanan kesehatan. (Amir,2017)
f. Diabetes
Data menunjukkan bahwa orang yang menderita diabetes akan beresiko tiga
kali lipat untuk terserang TB dibandingkan orang yang tidak menderita
diabetes. Beberapa penelitian juga mengatakan bahwa risiko kematian pasien
TB yang menderita diabetes 1,89 kali lebih tinggi dibandingkan pasien TB
yang tidak menderita diabetes (Aris, 2016).
g. Faktor Toksik
Kebiasaan merokok dan meminum alkohol juga merupakan faktor risiko
seseorang lebih mudah terkena TB karena sistem imunnya melemah. Risiko
orang yang merokok 2,3-2,7 kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak
merokok untuk terkena TB. Sedangkan risiko orang yang rutin meminum
alkohol dibandingkan orang yang tidak minum alkohol untuk terkena TB
adalah 2,6 kali lebih tinggi (Aris, 2016).
1.8 Komplikasi
Menurut Depkes RI (2005), komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
tuberculosis paru stadium lanjut yaitu :
a. Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
b. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
c. Bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
d. Pneumothorax (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru.
e. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal
1.9 Penatalaksanaan
Pengobatan Tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan (Amin, 2015).
1. Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
a. Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, besifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Sangat efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang.
Dosis 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10mg/kg BB 3 kali seminggu, 15 mg/kg
BB 2 kali seminggu.
b. Rifampisin (R)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniasid.
Dosis 10 mg/kg BB, maksimal 600mg 2-3 kali/seminggu atau
BB > 60kg = 600 mg
BB 40-60 kg = 450 mg
BB < 40 kg = 300 mg
c. Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid, membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana
asam.
Dosis fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50 mg/kg BB
2 kali seminggu, atau
BB > 60kg = 1500 mg
BB 40-60 kg = 1000 mg
BB < 40 kg = 750 mg
d. Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid.
Dosis 15 mg/kg BB atau
BB > 60kg = 1000 mg
BB 40-60 kg = 750 mg
BB < 40 kg = sesuai BB
e. Etambutol (E)
Bersifat menghambat pertumbuhan bakteri (bakteriostatik).
Dosis fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15mg/kg BB, 30mg/kg BB 3
kali seminggu, 45 mg/kg BB 2 kali seminggu, atau
BB > 60 kg = 1500 mg
BB 40-60 kg = 1000 mg
BB < 40 kg = 750 mg
2. Tahap Pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu :
a. Tahap Intensif
Penderita mendapat obat setiap hari. Pengawasan berat/ketat untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap semua Obat Anti Tuberculosis (OAT).
b. Tahap Lanjutan
Penderita mendapat jenis obat lebih sedikit dalam jangka waktu yang lebih
lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persistem (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
3. Evaluasi Pengobatan
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan,
nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan
radiologis paru dan konversi sputum menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum
BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai
paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke 2, 5, dan 8.
Biakan BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.
Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang bTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi pasien yang mendapat pengobatan ulag
(retreatment).
1.1.3 Perencanaan
DIAGNOSA NOC NIC
Ketidak efektifan Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan napas
bersihan jalan nafas keperawatan selama 3x24 (3140)
berhubungan dengan jam ketidakefektifan a) Lakukan
bronkospasme bersihan jalan napas fisioterapi dada
teratasi dengan kriteria b) Buang sekret
hasil : dengan
Status pernapasan : memotivasi
kepatenan jalan napas pasien untuk
(0410) melakukan batuk
a) Frekuensi pernafasan c) Instruksikan
bagaimana agar
b) Irama pernafasan bisa melakukan
c) Kedalaman inspirasi batuk efektif
d) Kemampuan untuk d) Auskultasi suar
mengeluarkan sekret nafas, catat area
e) Suara nafas tambahan yang ventilasinya
menurun atau
tidak ada dan
adanya suara
tambahan
e) Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan Manajemen gangguan
nutrisi kurang dari keperawatan selama makan (1030)
kebutuhan tubuh 3x24jam diharapkan 1. Monitor asupan kalori
berhubungan dengan klien dapat terpenuhi 2. Observasi klien
ketidakadekuatan intake kebutuhan nutrisinya, selama dan setelah
nutrisi dengan kriteria hasil : pemberian makan
Status nutrisi (1004) untuk meyakinkan
a) Asupan Gizi bahwa asupan
b) Asupan makanan makanan cukup
c) Asupan Cairan tercapai dan
Nafsu makan (1014) dipertahankan.
a) Intake makanan 3. Timbang berat badan
b) Intake nutrisi pasien secara rutin
c) Intake cairan (pada hari yang sama
dan setelah
BAB/BAK)
4. Monitor intake dan
asupan cairan secara
tepat
5. Ajarkan dan dukung
konsep nutrisi yang
baik dengan klien
Rundingkan dengan ahli
gizi dalam menentukan
asupan kalori harian yang
diperlukan
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan asuhan Terapi aktivitas (4310)
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 a) Pertimbangkan
ketidak seimbangan jam, kemampuan
suplai dan kebutuhan Toleransi terhadap klienterhadap
oksigen aktivitas (0005) aktivitas
a) Saturasi oksigen b) Bantu klien dengan
ketika beraktifitas aktifitas fisik secara
b) Frekuensi nadi ketika teratur
beraktifitas c) Instruksikan klien
c) Tekanan darah dengan keluarga
sistolik ketika terkait aktifitas yang
beraktifitas diinginkan
d) Tekanan diastolik d) Rujuk ke pusat
ketika beraktifitas komunitas atau
program aktivitas
komunitas maupun
terapis jika
diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Y. (2017). Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT). Jakarta :
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI.
Aris, M. (2016). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penularan Tuberkulosis Paru.
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
Bahar, A. (2017). Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
penerbit FKUI.
Mansjoer, Arif, dkk. 2015. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Jilid 1 dan 2. Jakarta :
FKUI.
Moorhead, Sue, et al. 2013. Nursing Outcome Classification. ELSEVIER
Wim de Jong et al. (2015). Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC : Jakarta