Anda di halaman 1dari 7

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bruselosis (Brucellosis) dikenal sebagai penyakit keluron menular, dan


merupakan zoonosis penting yang masih menjadi permasalahan di negara-negara
berkembang. Delapan biovar bakteri Brucella abortus merupakan penyebab dari
bruselosis. B. abortus biovar 1 paling sering ditemukan pada ternak dan tersebar
di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Amerika Latin, Brazil, dan India.
Bruselosis pada sapi akan menimbulkan kerugian ekonomi karena menyebabkan
abortus, infertilitas, sterilitas, kematian dini anak sapi (pedet), dan penurunan
jumlah susu yang dihasilkan (Neta et al. 2010). Organisasi Kesehatan Dunia
(World Health Organzation, WHO) telah menggolongkan genus Brucella spp
penyebab bruselosis ke dalam mikrooganisme kelompok risiko (risk group) III.
Teknik baku (gold standar) saat ini untuk pemeriksaan bruselosis adalah
mengisolasi dan mengenali bakteri penyebab. Namun, cara ini membutuhkan
sarana keamanan laboratorium yang tinggi, yaitu dengan biosafety level (BSL) 3,
tenaga terampil, waktu yang lama dan melakukan tata kerja yang berbahaya. Oleh
karena itu, pemeriksaan laboratorium yang dilakukan umumnya menggunakan
teknik serologik dengan cara mengukur peningkatan titer antibodi di dalam serum
atau cairan tubuh lainnya. Beberapa teknik pengujian serologik yang umum
digunakan untuk mendiagnosa bruselosis pada ternak diantaranya RBT, CFT dan
ELISA (Nielsen dan Yu 2010; Poester et al. 2010).
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No.828/Kpts/OT.210/10/98
tentang Pedoman Pemberantasan Bruselosis padaTernak di Indonesia menyatakan
RBT merupakan teknik uji penapisan dan apabila didapatkan hasil positif, maka
harus dilakukan peneguhan dengan CFT. Secara umum pemeriksaan bruselosis
pada sapi dan ruminansia besar dilakukan jika hasil uji penapisan dengan RBT
positif, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan CFT atau ELISA untuk
memastikan hasil pemeriksaan dengan uji sebelumnya.
Teknik RBT merupakan teknik yang sederhana, cepat dan praktis, tetapi
mempunyai kepekaan (sensitivity) tinggi dan kekhususan (specificity) rendah,
sehingga hasil dari uji RBT membutuhkan peneguhan dengan menggunakan
CFT. Teknik CFT mempunyai kepekaan rendah dan kekhususan tinggi. ELISA
memiliki kepekaan lebih tinggi, membutuhkan keterampilan yang memadai,
larutan dan peralatan khusus, membutuhkan waktu uji cukup lama, enzim yang
digunakan memerlukan penanganan rantai dingin, dan memiliki banyak tahapan
yang dinilai mengakibatkan kegagalan uji. Saat ini pengujian bruselosis di lapang
masih bergantung pada hasil RBT dan CFT. Di Indonesia teknik CFT masih
dipergunakan sebagai dasar penentuan seropositif dan seronegatif bruselosis di
lapang walaupun teknik ini cukup rumit, memerlukan ketrampilan khusus dari
penguji dan tidak semua laboratorium diagnostik veteriner mampu melakukan uji
ini.
Immunostik merupakan jenis uji serologik multi sasaran, memiliki ketelitian
setara dengan ELISA, mudah dilaksanakan di lapang atau di laboratorium tanpa
memerlukan peralatan khusus dan pelaksana yang berpengalaman. Immunostik
4

Gambar 1 Gambaran mikroskopik Brucella spp. (Kunkel 2004)

Bruselosis disebabkan oleh bakteri Brucella yang terdiri dari 10 spesies


dengan inang yang berbeda-beda serta dapat menyebabkan infeksi silang antar
inang. Bakteri Brucella spp. dapat menginfeksi sistem retikuloendotelial dan
organ genital inang sehingga menyebabkan infeksi kronis, abortus (terutama pada
trimester terakhir), infertilitas, sterilitas, kematian dini, dan penurunan jumlah
susu yang dihasilkan. Gejala klinis lain yang terlihat pada adalah radang sendi,
epididimitis, dan orkhitis. Infeksi Brucella spp. dapat terjadi dengan gejala klinis
yang tidak khas pada manusia, yaitu demam intermiten, penurunan berat badan,
depresi, hepatomegali, splenomegali, pneumonia, endocarditis, dan poliartritis.
Neurobruselosis pada manusia terjadi dalam bentuk meningitis dan
meningoensefalitis (Megid et al. 2010; Neta et al. 2010; Xavier et al. 2010). Pada
sapi bunting yang diinfeksi B. abortus hingga terjadi abortus didapatkan
perubahan patologi berupa peradangan sekitar uterus, limpadenitis, dan lesi pada
plasenta. Gambaran mikroskopik ditemukan infiltrasi netrofil, limfosit, sel
plasma, dan eosinofil (Neta et al. 2010).
Komponen dinding sel Brucella spp. terdiri dari peptidoglikan, protein dan
membran luar yang terdiri dari lipoprotein dan lipolisakarida (LPS). Kompnen
LPS inilah yang menentukan virulensi bakteri dan bertanggungjawab terhadap
penghambatan efek bakterisidal di dalam sel makrofag (Godfroid et al. 2010;
Xavier et al. 2010). Sifat biologik B. abortus diantaranya tidak tahan proses
pemanasan dan desinfeksi. Bakteri hidup di dalam sel (fakultatif intraseluler) dan
sulit dimatikan melalui fagositosis oleh sel-sel makrofag tubuh inang. Bakteri
masuk ke tubuh inang melalui saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran
alat kelamin, mukosa dan melalui kulit yang terluka sebagai titik masuk (port de
entry). Bakteri masuk ke sel limfoepitel dan ditelan melalui proses fagositosis
oleh sel neutrofil dan sel makrofag untuk seterusnya masuk ke limfoglandula
(Neta et al. 2010).

Bruselosis pada sapi

B. abortus menginfeksi sapi (Bos taurus), bison (Bison bison) kerbau


(Bubalus bubalus), African buffalo (Syncerus caffer), rusa (Cervus elaphus
nelson), dan unta (Camelus). Patogenisitas B. abortus berkaitan dengan
pembentukan lipopolisakarida yang tersusun oleh poly N-formyl perosamine O
5

chain, Cu-Zn superoksida dismutase, dan erythrulose phosphate dehydrogenase.


Proses fagositosisis gagal dilakukan karena, bakteri mempunyai zat
antifagositosis yaitu protein 5 guanin monofosfat yang mengakibatkan bakteri
mampu bertahan dan membelah diri di dalam sel neutrofil. Apabila sistem
pertahanan tidak mampu mengatasi adanya infeksi maka, akan muncul
bakteriemia dalam jangka waktu 10 sampai 20 hari dan menetap selama 30 hari
sampai dua bulan setelah terinfeksi. Setelah tercipta keadaan bakteremia pada sapi
bunting, maka bakteri akan masuk ke plasenta sapi bunting dan daerah ambing.
Infeksi pada sapi yang tidak bunting akan menuju ke daerah ambing dan sering
tanpa diikuti gejala klinis atau lesi. Bakteri dalam makrofag akan beredar dalam
jaringan limfoid, sistem retikuloendotel (limfa), dan persendian. Higroma terjadi
karena adanya infeksi pada membran persendian sehingga berisi cairan, baik
dalam bentuk jernih, fibrin, maupun nanah, sehingga terlihat adanya benjolan
yang sangat mencolok (Munir 2009; Neta et al. 2010).
Sistem pertahanan seluler yang paling berperan dalam infeksi B. abortus
adalah sel makrofag dan sel limfosit. Faktor predisposisi adalah umur, status
kekebalan, status kebuntingan inang, virulensi dan dosis infeksi. Tanggap kebal
tubuh inang setelah terinfeksi pada infeksi alami akan muncul setelah dua sampai
empat minggu. Namun respon ini sangat beragam dan kadangkala tidak terjadi.
Masuknya bakteri ke uterus yang sedang bunting akan menghasilkan antibodi
dalam jumlah besar dan berlangsung terus menerus. Tanggap kebal di awal
infeksi akan menghasilkan immnunoglobulin M (IgM) yang diikuti dengan IgG,
IgG2, dan IgA (Neta et al. 2010).
Bakteri B. abortus di tubuh inang ruminansia dapat melewati pertahanan
tubuh inang dan akan menuju jaringan embrio dan trofoblast. Pertumbuhan
bakteri tidak hanya terjadi di dalam sel fagosom, tetapi juga di sitoplasma dan
retikulum endoplasma induk semang melalui tropisme seluler yang menyebabkan
kematian janin dan abortus. Bakteri akan menghambat penyatuan fagosom dan
lisosom dalam makrofag dan memperbanyak diri di dalam retikulum
endoplasmik. Bakteri yang tidak di fagosit oleh makrofag akan merusak sel inang
dan menyebar ke sel yang lainnya. Gambaran histopatologik tanggap seluler dapat
dilihat dengan adanya pembentukan abses sampai infiltrasi limfositik dan
selanjutnya membentuk granuloma pada kondisi nekrosis (Munir 2009; Xavier et
al. 2010; Neta et al. 2010). B. abortus memiliki tropisme di dalam uterus terutama
pada trimester akhir kebutingan. Kotiledon akan menghasilkan gula alkohol yang
disebut erythritol yang akan diuraikan oleh B. abortus sebagai sumber karbon dan
energi sehingga perkembangbiakan bakteri pada sapi bunting sangat pesat. Proses
katabolisme erythritol akan menghasilkan 27 molekul adenosin trifosfat (ATP)
sehingga sangat efektif menghasilkan karbon dan gula bagi B. abortus (Megid et
al. 2010; Liu 2015). Perkembangbiakan bakteri menyebabkan infiltrasi sel
inflamasi, trofoblas nekrosis, vaskulitis, dan ulserasi pada alantokorion yang
menyebabkan terganggunya proses metabolisme fetus sehingga mengakibatkan
abortus. Selain faktor di atas, peningkatan kadar kortisol, estrogen dan
progesteron akan meningkatkan jumlah prostaglandin F2 yang menyebabkan
peningkatan kontraksi uterus sehingga mengakibatkan abortus (Munir 2009).
Masa inkubasi B. abortus di dalam tubuh sapi berkisar 53-251 hari dan
infeksi yang terjadi pada pedet dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting).
(Megid et al. 2010). Sapi dara lebih kebal terhadap paparan oleh B. abortus, tetapi
8

Vaksinasi terhadap B. abortus

Vaksinasi sampai saat ini merupakan cara yang dianggap efektif untuk
program pemberantasan bruselosis pada sapi, kambing, dan babi. Jenis vaksin
yang paling banyak digunakan untuk pencegahan bruselosis pada sapi adalah
vaksin B. abortus Strain 19 (S19) dan B. abortus strain 51 (RB51). Vaksin S19
diperoleh dari biakan bakteri dari contoh susu sapi Jersey. Vaksin RB51 diperoleh
dari biakan koloni B. abortus strain 2308. Vaksin S19 dan RB51 merupakan jenis
vaksin hidup yang dilemahkan (live vaccine) (Dorneles 2015).
Vaksin B. abortus S19 adalah tipe mutan halus (smoth B. abortus) biovar 1
yang memiliki karakter berupa patogenitas rendah, stabil, memiliki imunogenitas
dan antigenitas tinggi. Vaksin B. abortus S19 banyak digunakan di beberapa
negara untuk program pengendalian dan pembrantasan bruselosis karena cukup
diberikan satu kali dosis secara subkutan. Pemberian ini mampu memberikan
antibodi sebesar 70%. Titer antibodi yang dihasilkan mampu bertahan lebih lama
hingga 10 bulan. Pemberian vaksin B. abortus S19 dapat dibedakan tanggap
antibodinya menggunakan metode competitive ELISA (c-ELISA). Rantai O-
lipopolisakarida (OPS) merupakan antigen yang immunodominan untuk
menghasilkan antibodi akibat vaksinasi atau infeksi alam. Infeksi yang disebabkan
oleh B. abortus galur virulen mampu hidup secara menetap di dalam tubuh inang
dalam waktu yang lama, sehingga tanggap kebal yang ditimbulkan oleh infeksi
buatan atau infeksi alami lebih tinggi dan berlangsung lebih lama dibandingkan
dengan hasil vaksinasi (Barrio et al. 2009; Barbier et al. 2011; Dorneles 2015).
Antibodi terhadap OPS khususnya bagian paratop dan epitop terbentuk
hanya pada infeksi aktif seperti yang terjadi pada infeksi alami. Infeksi B. abortus
S19 dapat diatasi oleh sistem pertahanan inang yang divaksinasi sehingga infeksi
hanya berlangsung singkat. Akibatnya tidak terbentuk antibodi terhadap epitop
OPS dan hanya terbentuk antibodi terhadap paratop. Antibodi hasil infeksi atau
vaksinasi dapat terlacak setelah 240 hari pada sapi dara dan 90 hari pada pedet.
Antibodi hasil vaksinasi pada kerbau dengan vaksin yang sama terlacak dalam 30
hari setelah vaksinasi menggunakan RBT, tetapi tidak terlacak setelah 300
hari. Vaksin S19 diberikan untuk pedet betina umur 3-6 bulan dengan dosis
tunggal secara subkutan. Vaksinasi dilakukan pada umur 4 sampai 12 bulan pada
sapi perah untuk menghindari adanya antibodi yang menetap sehingga
memberikan hasil positif palsu. Hewan yang terinfeksi atau divaksinasi dengan
Brucella mutan halus (smooth B. abortus) akan menghasilkan antibodi terhadap
protein membran luar (OMPs) dan LPS Brucella (Barrio et al. 2009; Barbier et al.
2011; Dorneles 2015).
Vaksin strain RB51 adalah tipe mutan kasar (rough B. abortus).
Penggunaan vaksin RB51 dilakukan pada sapi umur tiga, lima, tujuh, 10 dan 24
bulan yang dapat membantu mencegah abortus pada ternak. Vaksinasi dengan
RB51 tidak menghasilkan antibodi jika diukur dengan uji serologik konvensional.
Hal ini disebabkan karena vaksin B. abortus RB51 kekurangan rantai O
polisakarida yang merupakan bagian inti dari lipopolisakarida sehingga hewan
tidak mampu menggertak tanggap antibodi anti LPS sehingga tidak dapat bereaksi
dengan uji serologik (Barrio et al. 2009; Barbier et al. 2011; Dorneles 2015).
Pemberian vaksin hidup akan menghemat biaya karena harganya relatif lebih
murah. Penggunaan vaksin hidup lebih sesuai jika diberikan pada sapi dara usia 4-
9

7 bulan. Pemberian vaksin hidup pada sapi dewasa diperlukan untuk program
pemberantasan terhadap reaktor bruselosis. Vaksin hidup terbukti lebih unggul
dibandingkan dengan vaksin inaktif (kill vaccine) karena meransang terbentuknya
kekebalan humoral dalam jangka panjang (Munir 2009).
Sejarah pengendalian bruselosis pada sapi di Indonesia dilaksanakan
melalui program vaksinasi menggunakan vaksin B. abortus S19 dan RB51.
Namun angka prevalensi bruselosis pada sapi di beberapa daerah (Jakarta,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat) masih cukup tinggi yaitu lebih dari
2%. Vaksin B. abortus RB51 ditetapkan untuk dipergunakan pada program
vaksinasi sapi perah di Pulau Jawa sejak tahun 2005. Namun sejak tahun 2015
penggunaannya telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Indonesia serta
dipergunakan pada sapi potong. Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) tidak
membuat lagi vaksin B. abortus S19 sejak tahun 2015, sehingga kegiatan
vaksinasi yang dilakukan oleh dinas saat ini bergantung pada vaksin B. abortus
RB51.
Noor (2006 dan 2014) menyatakan bahwa vaksin B. abortus RB51
mempunyai tingkat perlindungan (proteksi) yang tidak berbeda dengan vaksin
B. abortus S19 karena tidak menimbulkan reaksi klinis setelah vaksinasi. Uji
lapang tentang keamanan vaksin B. abortus RB51 pada sapi perah telah dilakukan
oleh Balai Besar Veteriner Wates di daerah Cisarua. Hasil uji lapang
menunjukkan bahwa vaksin B. abortus RB51 tidak menyebabkan reaksi klinis
pasca vaksinasi seperti anafilaksis, arthritis, demam tinggi dan penurunan nafsu
makan. Selain itu vaksin B. abortus RB51 tidak menyebabkan reaksi positif palsu
seperti halnya pada vaksinasi dengan strain S19. Vaksinasi brucelosis dengan
vaksin B. abortus RB51 dilakukan di daerah dengan prevalensi penyakit >2%, dan
vaksin akan diberikan ke semua sapi perah baik yang tidak terinfeksi maupun sapi
reaktor.

Uji Serologik terhadap B. abortus

Uji serologik yang digunakan untuk penegakan diagnosa terhadap infeksi


B. abortus, diantaranya uji RBT, CFT, ELISA, fluorescence polarization assay
(FPA), dan Brucella Milk Ring Test (BMRT). OIE menyatakan bahwa secara
serologik tidak ada satu jenis uji yang dinyatakan sebagai uji baku (gold standard)
untuk mendiagnosa B. abortus karena masing-masing uji memiliki kelebihan dan
keterbatasan. Mengisolasi dan mengenali bakteri penyebab merupakan uji baku
(gold standard) untuk diagnosa bruselosis (OIE 2009; Poester 2010; Geresu 2016)

Rose Bengal Test (RBT)


Teknik ini mempunyai kepekaan sangat tinggi (60-70%) dan hanya
disarankan untuk uji tapis (screening test). Uji ini digunakan untuk memastikan
ada atau tidaknya antibodi homolog terhadap Brucella. Tubuh akan membentuk
berbagai macam antibodi saat terjadi infeksi. Ketika antibodi bereaksi dengan
antigen yang homolog maka akan terjadi aglutinasi. Kelebihan uji ini adalah
mudah dilakukan dan cepat untuk memeriksa serum dalam jumlah banyak.
24

Teknik RBT memiliki beberapa kelemahan, yaitu memungkinkan


terjadinya reaksi silang dengan antibodi yang dirangsang oleh beberapa jenis
bakteri lainnya, seperti Yersinia, Bordetella, Salmonella atau Pasteurella sehingga
terjadi reaksi positif palsu. Positif palsu dapat terjadi karena antigen menetap
pasca vaksinasi pada sapi dewasa. Negatif palsu dapat terjadi karena terbentuknya
IgG1. Komponen IgG1 merupakan aglutinator yang kurang baik karena
menghasilkan fenomena prozone, yaitu keadaan yang disebabkan oleh tingginya
kadar antibodi yang tinggi melapisi partikel antigen sehingga mencegah
aglutinasi. Teknik CFT merupakan salah satu teknik uji yang dapat dipergunakan
untuk uji peneguhan hasil RBT. Namun, uji ini sering terjadi kegagalan uji karena
sifat komplemen yang tidak stabil dapat merusak sel darah merah dan
mengakibatkan serum mengalami hemolisis. Teknik i-ELISA, yang menggunakan
antigen utuh, memiliki kepekaan lebih baik dibanding RBT dan CFT (Nielsen dan
Yu 2010; OIE 2009; OIE 2016).
Teknik immunostik memiliki kesamaan prinsip teknik dengan i-ELISA
sehingga dapat dipergunakan untuk melacak bruselosis. ELISA dilaporkan
memiliki kepekaan sebesar 96% dan kekhususan 93.8%. Dengan demikian
ketelitian immunostik diperkirakan sekitar 93% (Subekti 2014). Hasil ini dinilai
cukup baik karena, sebagai uji tapis di lapang pengamatan hasil hanya dilakukan
menggunakan kasat mata. Sedangkan RBT memiliki nilai kepekaan sebesar
81.2% dan kekhususan sebesar 86,30%. CFT memiliki nilai kepekaan sebesar
89% dan kekhususan sebesar 83.5% (Gall dan Nielsen 2004). Adanya persamaan
teknik dasar yang digunakan menyebabkan perangkat immunostik dan i-ELISA
memiliki kepekaan yang lebih baik dibandingkan dengan RBT dan CFT. Hasil
validasi immunostik menggunakan kelompok serum negatif menyatakan bahwa
antigen B. abortus S99 jauh lebih khusus dibandingkan antigen B. abortus S19.
Akan tetapi, sesama antigen B. abortus S99 belum tentu memiliki kekhususan
yang sama.
Perbedaan kekhususan antigen B. abortus S19 dengan sesama antigen
B. abortus S99 lokal dan impor dapat dipengaruhi oleh jenis antigen dan status
contoh serum. Penelitian ini menggunakan contoh serum lapang dari beberapa
lokasi endemik bruselosis dengan prevalensi >2% (Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Timur dan Jawa Barat). Adapun program pengendalian bruselosis yang
dilakukan antara lain melakukan pemotongan bersyarat dan vaksinasi. Vaksinasi
bruselosis di lapang menggunakan jenis vaksin B. abortus S19 dan RB51.
Penggunaan perangkat immnunostik pada contoh serum sapi yang
didatangkan dari Australia tidak didapatkan antibodi terhadap B. abortus S19 dan
B. abortus S99. Hal ini dapat disebabkan karena, Australia merupakan salah satu
negara bebas bruselosis sejak tahun 1989 dan tidak melakukan program vaksinasi
bruselosis (NAHIS 2016). Namun, hasil pengujian perangkat immunostik
menggunakan antigen B. abortus S99 mampu melacak antibodi terhadap B.
abortus pada contoh serum lapang dari (Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur
dan Jawa Barat). Antigen komersil B. abortus yang dipergunakan pada penelitian
ini adalah antigen B. abortus strain 99 Weybridge (S99). B. abortus strain 99
Weybridge merupakan bakteri baku yang dipergunakan untuk menghasilkan
antigen, dan termasuk smooth Brucella biovar tipe 1 (OIE 2009). Antigen B.
abortus S99(2) (impor) ternyata memiliki kekhususan lebih baik dibandingkan
dengan B. abortus S99(1) (lokal). Pada penelitian ini juga mempergunakan
25

antigen komersil B. abortus S19 yang merupakan smooth Brucella biovar tipe 1
(Dorneles et al. 2015).
Penggujian serologik menggunakan perangkat immunostik tidak dapat
membedakan jenis antibodi yang terlacak karena hasil vaksinasi atau infeksi alam.
Netralisasi antigen oleh antibodi akan terjadi jika antigen dapat dikenali oleh
antibodi. Bagian epitop antigen yang homolog akan berikatan dengan paratop
antibodi spesifik. Perbedaan epitop antigen akan berpengaruh pada kemampuan
antigen untuk mengenali dan berikatan dengan paratop antibodi (Wibawan dan
Soejoedono 2013). Perangkat immunostik pada penelitian dilapisi menggunakan
antigen sel utuh B. abortus. Sedangkan perangkat kit i-ELISA dilapisi
menggunakan (sLPS) B. abortus. Adanya perbedaan hasil pengujian antara teknik
ELISA dan perangkat immunostik dapat disebabkan oleh perbedaan jenis antigen
yang digunakan.
Teknik RBT, CFT, dan i-ELISA merupakan teknik uji yang disarankan
untuk tindakan eradikasi dan surveilens terhadap bruselosis (OIE 2016). Adanya
persamaan prinsip pengujian antara i-ELISA dengan immunostik memungkinkan
penggunaan immunostik sebagai teknik cepat untuk melacak B. abortus pada sapi
dilapang. Apabila dilakukan analisis kegunaannya immunostik memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan kit i-ELISA, seperti, mempermudah diagnosis untuk
beberapa penyakit dengan menggunakan satu stik, tidak memerlukan peralatan
khusus, dapat dikerjakan oleh petugas yang tidak berpengalaman, dan waktu
pengujian kurang dari 30 menit. Pengembangan uji diagnostik oleh Al-Sherbiny et
al. (1999) mendapatkan bahwa perbedaan warna juga diperoleh ketika immunistik
dicuci dengan air mengalir biasa dan menggunakan air deionisasi. Warna yang
muncul akan lebih terlihat nyata jika menggunaan air biasa. Selain itu,
immunostik yang sudah dilapisi antigen akan stabil bila disimpan pada 4 sampai 6
°C selama tiga minggu sehingga immunostik dapat dibuat dengan jumlah yang
banyak kemudian disimpan.
Pengujian menggunakan immunostik membutuhkan volume serum yang
sedikit, dan hemolisis yang terjadi tidak mengganggu hasil uji immunostik.
Apabila dianalisis dari segi biaya dan lamanya penyiapan penggunaan immunostik
sedikit lebih mahal dibandingan dengan membuat kit i-ELISA. Tetapi harganya
tidak jauh berbeda dengan harga kit i-ELISA komersil. Hal ini disebabkan karena
penggunaan kit ELISA hanya dapat dipergunakan untuk satu sasaran uji, sehingga
jika ingin menguji dengan beberapa sasaran akan membutuhkan lebih dari satu
kit ELISA. Bahan reagen uji yang dibutuhkan immunostik dan ELISA memiliki
kesamaan dan dibedakan pada matriks solid-phase dari immunoassay. Jika
dianalisis waktu penyiapan, immunostik memerlukan waktu 2 x 24 jam hingga
perangkat immnunostik dapat langsung dipergunakan atau disimpan. Teknik i-
ELISA membutuhkan waktu penyiapan minimal 4 sampai 24 jam. Penggunaan
immunostik di lapang dapat menjadi pilihan alternatif jika pengujian harus
dilakukan pada lokasi yang sulit dijangkau.

Anda mungkin juga menyukai