Latar Belakang
Vaksinasi sampai saat ini merupakan cara yang dianggap efektif untuk
program pemberantasan bruselosis pada sapi, kambing, dan babi. Jenis vaksin
yang paling banyak digunakan untuk pencegahan bruselosis pada sapi adalah
vaksin B. abortus Strain 19 (S19) dan B. abortus strain 51 (RB51). Vaksin S19
diperoleh dari biakan bakteri dari contoh susu sapi Jersey. Vaksin RB51 diperoleh
dari biakan koloni B. abortus strain 2308. Vaksin S19 dan RB51 merupakan jenis
vaksin hidup yang dilemahkan (live vaccine) (Dorneles 2015).
Vaksin B. abortus S19 adalah tipe mutan halus (smoth B. abortus) biovar 1
yang memiliki karakter berupa patogenitas rendah, stabil, memiliki imunogenitas
dan antigenitas tinggi. Vaksin B. abortus S19 banyak digunakan di beberapa
negara untuk program pengendalian dan pembrantasan bruselosis karena cukup
diberikan satu kali dosis secara subkutan. Pemberian ini mampu memberikan
antibodi sebesar 70%. Titer antibodi yang dihasilkan mampu bertahan lebih lama
hingga 10 bulan. Pemberian vaksin B. abortus S19 dapat dibedakan tanggap
antibodinya menggunakan metode competitive ELISA (c-ELISA). Rantai O-
lipopolisakarida (OPS) merupakan antigen yang immunodominan untuk
menghasilkan antibodi akibat vaksinasi atau infeksi alam. Infeksi yang disebabkan
oleh B. abortus galur virulen mampu hidup secara menetap di dalam tubuh inang
dalam waktu yang lama, sehingga tanggap kebal yang ditimbulkan oleh infeksi
buatan atau infeksi alami lebih tinggi dan berlangsung lebih lama dibandingkan
dengan hasil vaksinasi (Barrio et al. 2009; Barbier et al. 2011; Dorneles 2015).
Antibodi terhadap OPS khususnya bagian paratop dan epitop terbentuk
hanya pada infeksi aktif seperti yang terjadi pada infeksi alami. Infeksi B. abortus
S19 dapat diatasi oleh sistem pertahanan inang yang divaksinasi sehingga infeksi
hanya berlangsung singkat. Akibatnya tidak terbentuk antibodi terhadap epitop
OPS dan hanya terbentuk antibodi terhadap paratop. Antibodi hasil infeksi atau
vaksinasi dapat terlacak setelah 240 hari pada sapi dara dan 90 hari pada pedet.
Antibodi hasil vaksinasi pada kerbau dengan vaksin yang sama terlacak dalam 30
hari setelah vaksinasi menggunakan RBT, tetapi tidak terlacak setelah 300
hari. Vaksin S19 diberikan untuk pedet betina umur 3-6 bulan dengan dosis
tunggal secara subkutan. Vaksinasi dilakukan pada umur 4 sampai 12 bulan pada
sapi perah untuk menghindari adanya antibodi yang menetap sehingga
memberikan hasil positif palsu. Hewan yang terinfeksi atau divaksinasi dengan
Brucella mutan halus (smooth B. abortus) akan menghasilkan antibodi terhadap
protein membran luar (OMPs) dan LPS Brucella (Barrio et al. 2009; Barbier et al.
2011; Dorneles 2015).
Vaksin strain RB51 adalah tipe mutan kasar (rough B. abortus).
Penggunaan vaksin RB51 dilakukan pada sapi umur tiga, lima, tujuh, 10 dan 24
bulan yang dapat membantu mencegah abortus pada ternak. Vaksinasi dengan
RB51 tidak menghasilkan antibodi jika diukur dengan uji serologik konvensional.
Hal ini disebabkan karena vaksin B. abortus RB51 kekurangan rantai O
polisakarida yang merupakan bagian inti dari lipopolisakarida sehingga hewan
tidak mampu menggertak tanggap antibodi anti LPS sehingga tidak dapat bereaksi
dengan uji serologik (Barrio et al. 2009; Barbier et al. 2011; Dorneles 2015).
Pemberian vaksin hidup akan menghemat biaya karena harganya relatif lebih
murah. Penggunaan vaksin hidup lebih sesuai jika diberikan pada sapi dara usia 4-
9
7 bulan. Pemberian vaksin hidup pada sapi dewasa diperlukan untuk program
pemberantasan terhadap reaktor bruselosis. Vaksin hidup terbukti lebih unggul
dibandingkan dengan vaksin inaktif (kill vaccine) karena meransang terbentuknya
kekebalan humoral dalam jangka panjang (Munir 2009).
Sejarah pengendalian bruselosis pada sapi di Indonesia dilaksanakan
melalui program vaksinasi menggunakan vaksin B. abortus S19 dan RB51.
Namun angka prevalensi bruselosis pada sapi di beberapa daerah (Jakarta,
Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat) masih cukup tinggi yaitu lebih dari
2%. Vaksin B. abortus RB51 ditetapkan untuk dipergunakan pada program
vaksinasi sapi perah di Pulau Jawa sejak tahun 2005. Namun sejak tahun 2015
penggunaannya telah menyebar ke hampir seluruh wilayah di Indonesia serta
dipergunakan pada sapi potong. Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) tidak
membuat lagi vaksin B. abortus S19 sejak tahun 2015, sehingga kegiatan
vaksinasi yang dilakukan oleh dinas saat ini bergantung pada vaksin B. abortus
RB51.
Noor (2006 dan 2014) menyatakan bahwa vaksin B. abortus RB51
mempunyai tingkat perlindungan (proteksi) yang tidak berbeda dengan vaksin
B. abortus S19 karena tidak menimbulkan reaksi klinis setelah vaksinasi. Uji
lapang tentang keamanan vaksin B. abortus RB51 pada sapi perah telah dilakukan
oleh Balai Besar Veteriner Wates di daerah Cisarua. Hasil uji lapang
menunjukkan bahwa vaksin B. abortus RB51 tidak menyebabkan reaksi klinis
pasca vaksinasi seperti anafilaksis, arthritis, demam tinggi dan penurunan nafsu
makan. Selain itu vaksin B. abortus RB51 tidak menyebabkan reaksi positif palsu
seperti halnya pada vaksinasi dengan strain S19. Vaksinasi brucelosis dengan
vaksin B. abortus RB51 dilakukan di daerah dengan prevalensi penyakit >2%, dan
vaksin akan diberikan ke semua sapi perah baik yang tidak terinfeksi maupun sapi
reaktor.
antigen komersil B. abortus S19 yang merupakan smooth Brucella biovar tipe 1
(Dorneles et al. 2015).
Penggujian serologik menggunakan perangkat immunostik tidak dapat
membedakan jenis antibodi yang terlacak karena hasil vaksinasi atau infeksi alam.
Netralisasi antigen oleh antibodi akan terjadi jika antigen dapat dikenali oleh
antibodi. Bagian epitop antigen yang homolog akan berikatan dengan paratop
antibodi spesifik. Perbedaan epitop antigen akan berpengaruh pada kemampuan
antigen untuk mengenali dan berikatan dengan paratop antibodi (Wibawan dan
Soejoedono 2013). Perangkat immunostik pada penelitian dilapisi menggunakan
antigen sel utuh B. abortus. Sedangkan perangkat kit i-ELISA dilapisi
menggunakan (sLPS) B. abortus. Adanya perbedaan hasil pengujian antara teknik
ELISA dan perangkat immunostik dapat disebabkan oleh perbedaan jenis antigen
yang digunakan.
Teknik RBT, CFT, dan i-ELISA merupakan teknik uji yang disarankan
untuk tindakan eradikasi dan surveilens terhadap bruselosis (OIE 2016). Adanya
persamaan prinsip pengujian antara i-ELISA dengan immunostik memungkinkan
penggunaan immunostik sebagai teknik cepat untuk melacak B. abortus pada sapi
dilapang. Apabila dilakukan analisis kegunaannya immunostik memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan kit i-ELISA, seperti, mempermudah diagnosis untuk
beberapa penyakit dengan menggunakan satu stik, tidak memerlukan peralatan
khusus, dapat dikerjakan oleh petugas yang tidak berpengalaman, dan waktu
pengujian kurang dari 30 menit. Pengembangan uji diagnostik oleh Al-Sherbiny et
al. (1999) mendapatkan bahwa perbedaan warna juga diperoleh ketika immunistik
dicuci dengan air mengalir biasa dan menggunakan air deionisasi. Warna yang
muncul akan lebih terlihat nyata jika menggunaan air biasa. Selain itu,
immunostik yang sudah dilapisi antigen akan stabil bila disimpan pada 4 sampai 6
°C selama tiga minggu sehingga immunostik dapat dibuat dengan jumlah yang
banyak kemudian disimpan.
Pengujian menggunakan immunostik membutuhkan volume serum yang
sedikit, dan hemolisis yang terjadi tidak mengganggu hasil uji immunostik.
Apabila dianalisis dari segi biaya dan lamanya penyiapan penggunaan immunostik
sedikit lebih mahal dibandingan dengan membuat kit i-ELISA. Tetapi harganya
tidak jauh berbeda dengan harga kit i-ELISA komersil. Hal ini disebabkan karena
penggunaan kit ELISA hanya dapat dipergunakan untuk satu sasaran uji, sehingga
jika ingin menguji dengan beberapa sasaran akan membutuhkan lebih dari satu
kit ELISA. Bahan reagen uji yang dibutuhkan immunostik dan ELISA memiliki
kesamaan dan dibedakan pada matriks solid-phase dari immunoassay. Jika
dianalisis waktu penyiapan, immunostik memerlukan waktu 2 x 24 jam hingga
perangkat immnunostik dapat langsung dipergunakan atau disimpan. Teknik i-
ELISA membutuhkan waktu penyiapan minimal 4 sampai 24 jam. Penggunaan
immunostik di lapang dapat menjadi pilihan alternatif jika pengujian harus
dilakukan pada lokasi yang sulit dijangkau.