Anda di halaman 1dari 19

PENYAKIT PADA RUMINANSIA

Senin, 28 Mei 2012 09:41 WIB Peternakan


Oleh :
Drh. Imbang Dwi Rahayu, MKes
Staf Dosen Program Studi
Peternakan
Fakultas Pertanian-Peternakan
Universitas Muhammadiyah
Malang

1. Penyakit Brucellosis (Keluron


Penyakit Mastitis pada Kambing. Menular)

Brucellosis adalah penyakit


ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan
sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini
dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada
manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disevut Demam
Malta. Bruce (1887) telah berhasil mengisolasi jasad renik penyebab dan
ditemukan Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella
melitensis. Terdapat 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang
pada kambing, Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella
suis, yang menyerang pada babi dan sapi.

Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat besar,


walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa kluron,
anak ternak yang dilahirkan lemah, kemudian mati, terjadi gangguan alat-alat
reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen.
Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu.

Pada kambing, brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-


samar. Kambing kadang-kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6 minggu
terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat memperlihatkan
kebengkakan pada persendian atau testes.

Pada sapi gejala penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah


keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5 - 8 bulan, kadang diikuti
dengan kemajiran, Cairan janin berwarna keruh pada waktu terjadi
keguguran, kelenjar air susu tidak menunjukkan gejala-gejala klinik,
walaupun di dalam air susu terdapat bakteri Brucella, tetapi hal ini
merupakan sumber penularan terhadap manusia. Pada ternak jantan terjadi
kebengkakan pada testes dan persendian lutut.

Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio


secundinae (tertahannya plasenta), pada sapi betina dapat mempperlihatkan
gejala umum berupa lesu, napsu makan menurun dan kurus. Disamping itu
terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina.

Seekor sapi betina setelah keguguran tersebut masih mungkin bunting


kembali, tetapi tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-
kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang
sempurna tetapi pedet tersebut biasanya labir mati dan plasentanya tetap
tertahan (tidak keluar) serta disertai keadaan metritis (peradangan uterus).

Pada kenyataannya Brusellosis merupakan penyakit ekonomi yang


merisaukan sehingga peternak harus waspada. Pada ternak betina
bakteri penyebab ditemukan pada uterus, terutama pada endometrium dan
pada ruang diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada
vili, ruang diantara vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna
gelap atau merah tua. Pada fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam
paru-paru dan dalam cairan lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat
ditemukan dalam epydidymis, vas deferens dan dalam kelenjar vesicularis,
prostata dan bulbourethralis. pada infeksi berat bakteri dapat berkembang
dalam testes, khususnya dalam tubuli seminiferi.

Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta


dengan bercak-bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat
keruh berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada
ternak jantan ditemukan proses pernanahan pada testikelnya yang dapat
diikuti dengan nekrose.

Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan


tindakan sanitasi dan tata laksana. Tindakan sanitasi yang bisa dilakukan
yaitu (1) sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus
dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan
harus diirigasi selama 1 minggu (2) bahan-bahan yang biasa dipakai
didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol, amonium kwarterner,
biocid dan lisol (3) hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina
yang mengalami kluron. Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak
betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci
hama (4) anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis
sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucellosis (5) kandang-
kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan
dihapushamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.

Pengobatan :

Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.

2. Radang Ambing ( Mastitis)

Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada
ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di
dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau
tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003).

Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain


: kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak
sapi dan kambing yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa
mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan
besar dalam industri sapi dan kambing perah.
Faktor Penyebab Mastitis

Saat periode kering adalah saat awal bakteri penyebab mastitis


menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari
neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen
penyebab penyakit mastitis, antara lain Streptococcus agalactiae, Str.
Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas
aeroginosa. Dilaporkan juga bahwa yeast dan fungi juga sering menginfeksi
ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.

Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa


hasil pemeriksaan susu dengan metode CMT dari 180 ekor sapi perah lokal
Zebu dan persilangan, prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor
(16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis
subklinis.

Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama


mastitis pada sapi dan kambing perah yang menimbulkan kerugian ekonomi
yang cukup besar akibat turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti
yang sama bahwa dari 134 isolat yang diuji, maka persentase terbesar
mikroorganisme penyebab mastitis adalah Staphylococcus aureus.

Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis,


jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan
mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor
predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi bentuk ambing,
misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang
puting terlalu lebar.

Bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi


kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa
prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan
pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan
prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar
47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri,
belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua
puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan
kanan, depan mencapai 30,06%.

Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi


kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu,
maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter
yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme,
karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin
tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang
diperlukan spinchter untuk menutup sempurna. Faktor bangsa sapi dan
kambing juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan bahwa kejadian
mastitis pada sapi dan kambing persilangan (Crossbreed) lebih besar
daripada sapi dan kambing lokal.

Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak


mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi pakan, perkandangan,
banyaknya sapi/kambing dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang
dan cara pemerahan susu. Dilaporkan bahwa pada ventilasi jelek, mastitis
bisa mencapai 87,5% dan pada ventilasi yang baik mencapai 49,39%.

Gejala-gejala

Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut


dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis
radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang
bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan
ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya
fungsi. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau
jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang
berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas,
namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh
masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam
suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode
berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara penularan

Penularan mastitis dari seekor sapi/kambing ke sapi/kambing lain dan


dari quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain
pembersih, mesin pemerah dan lalat.

Diagnosis

Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu,


perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan
menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen
khusus, diagnosis juga bisa dilakukan dengan Whiteside Test.

Kontrol

Untuk mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka


perlu beberapa upaya, antara lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang
mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi
yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran
puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan hendaknya ditampung
di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Perlu pencelupan
atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan
lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor sapi/kambing, dan pastikan
lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan. (2)
Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak
terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-
karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan
untuk menekan kejadian mastitis.

Pengobatan

Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan Lincomycin, Erytromycin


dan Chloramphenicol.
Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria
bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin,
dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan
pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan
antihistamin akan menurunkan peradangan. Mastitis yang disebabkan
oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin,
karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.

Akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang


mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu
antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan
susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin
sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik.

Selanjutnya Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa


penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml, 5% Povidone-
Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita
mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat
memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali
pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan
infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Sekresi susu dari
kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari
post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine ternyata
mengandung residu antibiotik.

3. Penyakit Pink Eye.

Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi,
domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan
memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata.

Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat


menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan
menyebabkan kebutaan, penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang
mahal.
Etiologi

Pink Eye disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun chlamydia,


namun yang paling sering ditemukan adalah akibat bakteri Maraxella bovis.

Cara Penularan

Mikrorganisme penyebab ditularkan lewat kontak antara ternak peka


dengan ternak penderita atau oleh serangga yang bisa memindahkan
mikroorganisme atau bisa juga lewat iritasi debu atau sumber-sumber lain
yang dapat menyebabkan goresan atau luka mata.

Gejala Klinis

Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya,
bengkak pada kelopak mata dan cenderum menjulingkan mata untuk
menghindari sinar matahari. Selanjutnya selaput bening mata/kornea
menjadi keruh dan pembuluh darah tampak menyilanginya. Kadang-kadang
terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah dan
mengakibatkan kebutaan. Mata akan sembuh dalam waktu 1 – 4 minggu,
tergantung kepada penyebabnya dan keganasan penyakitnya.

Pengobatan

Suntikan antibiotik, seperti tetracyclin atau tylosin dan penggunaan


salep mata dapat membantu kesembuhan penyakit. Menempatkan ternak
pada tempat yang teduh atau menempelkan kain di mata dapat mengurangi
rasa sakit mata akibat silaunya matahari.

Pencegahan
Memisahkan ternak yang sakit dari ternak-ternak sehat merupakan
cara terbaik untuk pencegahan terhadap pinx eye. Tidak tersedia vaksin
untuk penyakit ini.

4.Bloat (Kembung Perut/Timpani Ruminal)

Kembung sering dijumpai pada ruminansia, baik pada sapi, kambing


maupun domba. Pada dasarnya kembung disebabkan karena ketidak-
mampuan ternak menghilangkan gas yang dihasilkan oleh rumen. Keadaan
tersebut bisa menyebabkan kematian kalau tidak segera ditangani. Kematian
disebabkan oleh tertekannya diafragma dan paru-paru oleh rumen yang
mebesar akibat gas yang berlebihan.

Etiologi

Kembung bisa disebabkan oleh sejenis tanaman untuk pakan ternak.


Tanaman yang sering menyebabkan kembung adalah leguminosa (kacang-
kacangan), seperti kacang tanah, Centrocoma dan alfafa. Tanaman yang
masih berumur muda dan biji-bijian yang diberikan dalam bentuk halus juga
bisa menimbulkan kembung.

Selain faktor pakan, faktor individu ternak juga menentukan kepekaan


terhadap kejadian kembung. Ternak yang dalam keadaan bunting atau dalam
kondisi kurang baik, mungkin juga kekurangan darah dan kelemahan umum
cenderung mudah menderita kembung.

Gejala Klinis

Ternak sebentar-sebentar berbaring dan kemudian berdiri, tampak


sempoyongan dan berjalan ke sana kemari tanpa tujuan, kelihatan bingung.
Terlihat sulit bernapas, sisi tubuh sebelah kiri menggembung/menonjol ke
atas dan ke luar, serta bersuara drum apabila ditepuk. Gerakan rumen
biasanya tetap berlangsung sampai bagian dalam dari mulut dan daerah
sekitar mata berubah menjadi kebiruan. Perubahan ini menunjukkan adanya
kekurangan oksigen dan mendekati kematian.

Pengobatan

Pengobatan secara cepat sangat diperlukan. Paksa ternak untuk


berdiri, posisikan kaki depan lebih tinggi daripada kaki belakang. Mulut
dibuka, sepotong kayu dimasukkan melintang dan pada kedua ujungnya
diikiatkan tali. Kemudian tali tersebut diikatkan ke belakang tanduk agar
tidak lepas. Metode ini sering dikenal dengan sebutan broom stick therapy.
Tindakan ini merangsang pengeluaran air liur dan membantu mengurangi
kembung perut. Selanjutnya pemberian obat atau bahan lain bisa dilakukan.
Minyak goreng, minyak kayu putih atau minyak atsiri yang dicampur air
hangat bisa diberikan. Obat-obatan kimia dengan merek dagang””
tympasol”” untuk kembung berat bisa diberikan secara per oral. Tympasol
berisi zat-zat aktif, antara lain : 4 – chloro - m – cresol, 4 – chloro – m-
xylenon, formaldehid Thymal, Timol, Dimethyl polysiloksan. Obat lain dengan
merek dagang “Antibloat” berisi dimethicone bisa juga dipakai secara per
oral. Obat dengan merek dagang ”Castor Oil” yang berisi minyak castor
digunakan untuk kembung ringan.

Pencegahan

Pada umumnya ternak yang terkena kembung akan kehilangan napsu


makan dan minum, sehingga pengobatan juga akan sulit. Langkah yang paling
bijaksana adalah dengan jalan mewaspadai ternak terkena kembung melalui
pengawasan gejala-gejala kembung dan menejemen pemeliharaan yang lebih
baik.

5. Penyakit Parasit Cacing pada Ruminansia

Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian,


akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga
penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian
akibat penyakit cacing, antara lain : penurunan berat badan, penurunan
kualitas daging, kulit, dan jerohan, penurunan produktivitas ternak sebagai
tenaga kerja pada ternak potong dan kerja, penurunan produksi susu pada
ternak perah dan bahaya penularan pada manusia.

5.1. Fasciolosis

Merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. Pada


umumnya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah Fasciola gigantica.
Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya bersifat kronik, sedangkan pada
domba dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian akibat fasciolosis ditaksir
20 Milyard rupiah / tahun yang berupa : penurunan berat badan serta
tertahannya pertumbuhan badan, hati yang terbuang dan kematian.
Disamping itu kerugian berupa penurunan tenaga kerja dan daya tahan tubuh
ternak terhadap penyakit lain yang tidak terhitung.

Etiologi

Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini
memakan jaringan hati dan darah.

Ternak Rentan

Ternak yang rentan terhadap Fasciolosis adalah sapi, kerbau, kambing


dan ruminansia lain. Ternak berumur muda lebih rentan daripada ternak
dewasa.

Gejala Klinis

Pada Sapi penderita akan mengalami gangguan pencernaan berupa


konstipasi atau sulit defekasi dengan tinja yang kering. Pada keadaan infeksi
yang berat sering kali terjadi mencret, ternak terhambat pertumbuhannya
dan terjadi penurunan produktivitas.
Pada Domba dan kambing, infeksi bersifat akut, menyebabkan
kematian mendadak dengan darah keluar dari hidung dan anus seperti pada
penyakit anthrax. Pada infeksi yang bersifat kronis, gejala yang terlihat
antara lain ternak malas, tidak gesit, napsu makan menurun, selaput lendir
pucat, terjadi busung (edema) di antara rahang bawah yang disebut “bottle
jaw”, bulu kering dan rontok, perut membesar dan terasa sakit serta ternak
kurus dan lemah.

Kelainan Pasca Mati

Pada kasus akut akan ditemukan pembendungan dan pembengkakan


pada hati, terdapat ptechie pada permukaan maupun sayatan hati, kantong
empedu dan usus mengandung darah.

Pada kasus kronis, terlihat saluran empedu menebal dindingnya,


mengandung parasit dan seringkali batu, disamping itu ditemukan pula
anemia, kekurusan dan hati mengeras (sirosis hati).

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada gejala klinis, identifikasi telur cacing di


bawah mikroskop dan pemeriksaan pasma mati dari ternak yang mati.

Pencegahan

Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain memberantas


siput secara biologik, misalnya dengan pemeliharaan itik/bebek, ternak
jangan digembalakan di dekat selokan (genangan air) dan rumput jangan
diambil dari daerah sekitar selokan.

Pengobatan

Pengobatan secara efektif dapat dilakukan dengan pemberian per oral


Valbazen yang mengandung albendazole, dosis pemberian sebesar 10 - 20
mg/kg berat badan, namun perlu perhatian bahwa obat ini dilarang
digunakan pada 1/3 pertama kebuntingan, karena menyebabkan abortus.
Fenbendazole 10 mg/kg berat badanatau lebih aman pada ternak bunting.
Pengobatan dengan Dovenix yang berisi zat aktif Nitroxinil dirasakan cukup
efektif juga untuk trematoda. Dosis pemberian Dovenix adalah 0,4 ml/kg
berat badan dan diberikan secara subkutan.Pengobatan dilakukan tiga kali
setahun.

5.2. Nematodosis

Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Nematoda


atau cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini
menghisap sari makanan yang dibutuhkan oleh induk semang, menghisap
darah/cairan tubuh atau bahkan memakan jaringan tubuh. Sejumlah besar
cacing Nematoda dalam usus bisa menyebabkan sumbatan (obstruksi) usus
serta menimbulkan berbagai macam reaksi tubuh sebagai akibat toksin yang
dihasilkan.

Pada ternak ruminansia telah diketahui lebih dari 50 jenis spesies,


tetapi hanya beberapa spesies yang mempunyai arti penting secara ekonmis,
antara lain sebagai berikut :

a. Haemonchus contortus

Penyakit yang disebabkan oleh cacing Haemonchus


contortus disebut Haemonchosis. Panjang cacing Haemonchus
contortus betina antara 18 – 30 mm dan jantan sekitar 10 – 20 mm. Pada
cacing betina secara makroskopis usus yang berwarna merah berisi darah
saling melilit dengan uterus yang berwarna putih. Cacing dewasa berlokasi di
abomasum domba dan kambing.

Kerugian
Haemonchus adalah cacing penghisap darah, setiap ekor per hari
menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia.

Gejala Klinis

Anemia merupakan gejala utama dari infeksi Haemonchus bersamaan


dengan kehilangan darah dan kerusakan usus. Terlihat busung di bawah
rahang, diare, tapi kadang-kadang kambing sudah mati sebelum diare
muncul. Gejala lain yang menonjol, yaitu : penurunan berat badan,
pertumbuhan yang jelek dan penurunan produksi susu.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, identifikasi telur-telur


cacing di bawah mikroskop, serta bedah bangkai pada ternak yang mati juga
akan membantu penetapan diagnosis.

Pencegahan

Tindakan pencegahan yang bisa dilakukan adalah jangan


menggembalakan ternak terlalu pagi, pemotongan rumput sebaiknya
dilakukan siang hari, pengobatan secara teratur dan mengurangi pencemaran
tinja terhadap pakan dan air minum.

Pengobatan

Pengobatan yang bisa diberikan berupa kelompok benzilmidazole,


antara lain albendazole dengan dosis 5 – 10 mg/kg berat badan,
mebendazole dengan dosis 13,5 mg/kg berat badan dan thiabendazole
dengan dosis 44 – 46 mg/kg berat badan. Albendazole dilarang dipakai pada
1/3 kebuntingan awal. Mebendazole dan thiabendazole aman untuk ternak
bunting, tetapi thiabendazole sering menyebabkan resistensi.
b.Toxocara vitulorum (Neoascaris vitulorum)

Cacing Toxocara vitulorum termasuk klas Nematoda yang memiliki


kemampuan lintas hati, paru-paru dan plasenta. Ukuran panjang cacing
betina adalah sebesar 30 cm dan lebar 25 cm, warna kekuning-kuningan
dengan telur agak bulat dab memiliki dinding yang tebal. Habitat cacing
adalah pada sapi dan kerbau serta berlokasi di usus kecil.

Cara Penularan

Terdapat tiga cara penularan cacing Toxocara vitulorum, antara lain


makan telur, tertelan tanpa sengaja, lewat plasenta pada saat fetus dan lewat
kolustrum pada waktu menyusu induknya.

Gejala Klinis

Pada anak sapi atau kerbau terjadi diare dan ternak menjadi kurus.
Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian. Anak sapi yang tetap
hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan.

Diagnosis

Pemeriksaan telur cacing dalam tinja merupakan cara diagnosis adanya


cacing ini.

Pengobatan dan pencegahan

Upaya pengobatan cacing ini adalah dengan pemberian piperazin.


Pengobatan secara teratur pada anak sapi dan kambing, menjaga kebersihan
kandang merupakan tindakan pencegahan yang diharuskan.

c. Oesophagostomum sp.(cacing bungkul)


Cacing bungkul dewasa hidup di dalam usus besar. Disebut cacing
bungkul karena bentuk larva cacing ini dapat menyebabkan bungkul-bungkul
di sepanjang usus besar. Ukuran rata-rata cacing bungkul dewasa betina
antara 13,8 – 19,8 mm dan Jantan antara 11,2 – 14 5 mm. Gejala klinis yang
ditemukan antara lain kambing kurus, napsu makan hilang, pucat, anemia
dan kembung. Tinja berwarna hitam, lunak bercampur lendir atau darah
segar.

d. Bunostomum sp (cacing kait)

Lokasi hidup cacing kait adalah di dalam usus halus kambing dan
domba. Panjang caing jantan kira-kira 12 – 17 mm dan betina kira-kira 19 – 26
mm. Dikenal dengan cacing kait karena pada bagian ujung depan (kepala)
cacing membengkok ke atas sehingga berbentuk seperti kait. Gejala klinis
yang bisa diamati antara lain ternak mengalami anemia, terlihat kurus, kulit
kasar, bulu kusam, napsu makan turun, tubuh lemah. Tinja lunak dengan
warna coklat tua. Perlu diketahui bahwa cacing Bunostomum sp menempel
kuat pada dinding usus. Cacing memakan jaringan tubuh dan darah, sehingga
walaupun jumlah cacing hanya sedikit, namun ternak cepat menunjukkan
gejala klinis yang nyata.

e. Trichostrongylus sp (cacing rambut)

Cacing kelompok ini ukurannya sangat kecil dan hidup di dalam usus
halur kambing dan domba. Dinamakan caing rambut karena tebalnya kurang
lebih sama dengan rambut, sedangkan panjangnya kurang dari 10 mm.

Telur cacing yang keluar bersama tinja akan berkembang menjadi


larva apabila susana di luar, seperti kelembaban, suhu, oksigen cukup
menguntungkan bagi kehidupannya, misalnya adanya tumpukan feses. Pada
keadaan tersebut larva akan berkembang menjadi larva infektif. Di tempat
penggembalaan larva dapat hidup sampai 6 bulan.

Kepekaan ternak terhadap serangan cacing ini tergantung beberapa


faktor, antara lain umur, kualitas pakan, genetik dan pengaruh luar, misalnya
pemberian obat-obatan. Kambing muda dan kualitas pakan yang jelek akan
lebih peka terhadap serangan cacing.

Gejala klinis yang bisa diamati adalah ternak muda terlihat


pertumbuhan terhambat, mencret dengan warna tinja hijau kehitaman,
kurus dan diakhiri kematian.

Ternak bisa tertular cacing ini dengan cara menelan telur berembrio
yang terdapat di rumput-rumputan atau dengan cara menelan larva infektif
atau larva menembus kulit.

Pencegahan

Tindakan pencegahan terhadap penyakit nematodosis, antara lain


berupa pemberian pakan kualitas tinggi dengan kuantitas yang cukup,
menghindarkan berjubelnya ternak dalam satu petak penggembalaan,
memisahkan ternak berdasarkan umur, menghindarkan ternak dari tempat-
tempat becek, selalu memelihara kebersihan kandang dan lingkungan
peternakan dan melakukan pemeriksaan feses dan pengobatan terhadap
cacing secara teratur.

5.3. Cestodosis

Cacing Moniezea merupakan cacing Cestoda yang sering menyerang


kambing. Cacing ini memiliki panjang tubuh bisa mencapai 600 cm dan lebar
1 – 6 cm. Bentuk cacing pipih, bersegmen dan berwarna putih kekuningan.
Cacing ini jarang menimbulkan masalah, kecuali jika menyerang anak
kambing yang sangat muda dan dalam jumlah yang besar. Tungau digunakan
sebagai inang antara bagi cacing.

Siklus Hidup
Cacing pita dewasa hidup dalam usus kambing dan domba akan
melepaskan segmen yang masak bersama tinja, segmen tersebut pecah dan
melepaskan telur . Telur-telur cacing dimakan oleh tungau tanah yang hidup
pada akar tumbuhan. Telur-telur dalam tubuh tungau menetas menjadi larva.
Kambing/domba memakan tungau bersama-sama akar tanaman, seingga
larva akan tertelan dan tumbuh menjadi dewasa di usus.

Gejala Klinis

Gejala yang terlihat pada kambing penderita, antara lain badan kurus,
bulu kusam, selaput mata terlihat pucat, anemis, terdapat gejala edema dan
mencret. Biasanya potongan segmen yang matang keluar bersama tinja atau
kadang menggantung di anus.

Diagnosis

Terlihatnya segmen yang menggantung di anus atau adanya potongan


segmen cacing bersama tinja dan disertai dengan gejala klinis cukup
memberikan petunjuk adanya infeksi cacaing Moniezea pada kambing.
Apabila potongan cacing tidak ditemukan, maka diagnosis didasarkan dengan
pemeriksaan telur cacing di bawah mikroskop.

Pencegahan

Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap cacing


Moniezea, selain tindakan pengobatan pada ternak yang sakit, juga harus
dilaksanakan pemberantasan terhadap insekta (serangga) yang dapat
digunakan sebagai inang antara.

Pengobatan
Bisa diberikan preparat obat, antara lain : albendazole, oxfendazole 5
mg/kg berat badan, cambendazole 20 – 25 mg/kg berat badan, fenbendazole
5 – 10 mg/kg berat badan atau mebendazole 13,5 mg/kg berat badan.

Disampaikan pada acara sosialisasi Bimbingan Teknis Kambing Perah,


Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Batu, Tanggal 23-24 Mei 2012

Anda mungkin juga menyukai