Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

KOASISTENSI INTERNA HEWAN BESAR

BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH Friesien Holstein (FH)


di Puskeswan Batu
PERIODE 20-31 Desember 2021

Disusun Oleh:
Buna Christyn Rambu Uru, S.KH 20830049

DEPATEMEN ILMU PENYAKIT DALAM VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA
2022
AMBULATOIR
PUSKESWAN dan RPH Kota Batu
Jl. Mojopahit Selatan, Mojorejo, Kec. Junrejo, Kota Batu

Batu, 24 November 2021

Nama Pemilik : Pak. Teguh Jenis Hewan : Sapi


Alamat : Ds. Songgokerto, Batu Nama Hewan : -
No. Telp :- Signalement : Sapi FH
Berat badan :-

ANAMNESA
Sapi mengalami penurunan napsu makan dan terjadi keguguran pada umur
kebuntingan 7 bulan, beberapa sapi didaerah tersebut telah dilakukan inseminasi
buatan beberapa kali namun tidak berhasil.
STATUS PRESENT
1. Keadaan Umum : KT (Kondisi Tubuh) : -
: EM (Ekspresi Muka): -
2. Frekuensi Nafas :-
Frekuensi Pulsus :-
Temperatur :-
3. Kulit dan rambut :-
4. Selaput lendir :-
5. Kelenjar-kelenjar limfe : -
6. Pernafasan :-
7. Peredaran darah :-
8. Pencernaan :-
9. Kelamin dan perkemihan : -
10. Syaraf :-
11. Anggota gerak :-
12. Lain-lain :-
13. Pemeriksaan lab, dan sebagainya : RBT (Rose Bengal Test)
14. Prognosa : Infausta
II. SYMPTOMS
Pada sapi gejala klinis yang utama adalah keluron menular yang
dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya
produksi susu. Keluron yang disebabkan oleh brucella biasanya terjadi
pada umur kebuntingan 5-8 bulan (trimester ketiga). Sapi dapat mengalami
keluron satu sampai tiga kali kemudian melahirkan secara normal. Sapi
mengeluarkan cairan vaginal yang berwarna keruh dan dapat merupakan
sumber penyakit. Pada sapi jantan menunjukan gejala seperti epididimitis
dan orchitis (Pudjiatmoko, 2014).
III. DIFFERENTIAN DIAGNOSA
1. Bovine Trichomoniasis
Bovine Trichomoniasis disebabkan oleh protozoa Trichomonas fetus
mengakibatkan abortus pada umur kebuntingan muda, pyometra
hingga kemajiran. Gejala dari penyakit ini yaitu adanya akumulasi
nanah di saluran reproduksi (Adjid, 2004). Pada pejantan infeksi
trichomoniasis tidak begitu mempengaruhi kondisi hewan, baik
kondisi umum maupun kesuburan sperma. Tetapi sekali seekor
pejantan terinfeksi, maka seumur hidup hewan tersebut akan tetap
bertindak sebagai "carrier".
2. Leptospirosis
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang
ringan, infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat
mengakibatkan kematian. Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/
sapi muda. Pada hewan ternak ruminansia dan babi yang bunting,
gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus
leptospirosis. Biasanya pada sapi bunting atau laktasi menyebabkan
demam, penurunan produksi susu dan abortus (Kusmiyati dkk., 2005).
IV. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSTIK
1. Uji RBT (Rose Bengal Test)
- Prinsip uji RBT
Reaksi ini membentuk pengikatan antigen Brucella sp. yang sudah
dilemahkan serta diwarnai dengan antibodi dari serum. Pada
permukaan antigen terjadi pengikatan dengan antibodi
menimbulkan reaksi teraglutinasi, jika non reaktif maka, tidak ada
antibodi dalam serum.
- Prosedur uji RBT
Serum dan antigen Brucella RBT diambil dari mesin pendingin
lalu diamkan selama ½-1 jam pada suhu ruangan. 30 µl serum yang
telah di koleksi diteteskan pada plate dan dicampur dengan antigen
Brucella dengan jumlah yang sama, sehingga percampurannya
membentuk diameter sebesar 2 cm. Serum dan antigen tadi
dicampur menggunakan pengaduk (rotary aglutinartor), kemudian
plate digoyang goyangkan dengan tangan selama 4 menit dan akan
terlihat proses aglutinasi jikan serum mengandung antibodi
Brucella. Tingkat aglutinasi disesuaikan dengan kriteria: 0 = tidak
terjadi aglutinasi, + = aglutinasi hanya sedikit, ++ = aglutinasi
terlihat sebagian, +++ = aglutinasi terlihat sangat jelas (Novita
dkk., 2016).
V. DIAGNOSA
Brucellosis
VI. TREATMENT DAN TERAPI
Sapi yang sudah terinfeksi Brucella sp. Kemudian dipisahkan dan lakukan
penyembelihan.
VII. HASIL TERAPI
-
VII. PEMBAHASAN
Penyebab brucellosis adalah bakteri berbentuk kokobasili dengan panjang
0,5-2,0 µm dan lebar 0,4-0,8 µm, bersifat Gram negatif, dari genus Brucella sp.
tidak bergerak, tidak membentuk spora dan hidup dalam keadaan berudara
(aerob). Terdapat enam spesies yang saat ini dikenal pada Genus Brucella yaitu:
B. melitensis, B. abortus, B. suis, B. neotomae, B. ovis, dan B. canis. Gejala
khusus pada seluruh spesies hewan adalah terjadinya keguguran atau kelahiran
janin yang prematur. Di bidang peternakan mortalitas brucellosis tidaklah tinggi,
tetapi kerugian ekonomi yang diakibatkannya sangat besar. Ternak sapi (terutama
sapi perah) bila terserang penyakit ini akan keguguran kemudian menderita
gangguan alat reproduksi dan turunnya produksi susu sampai kepada terjadinya
kemajiran (infertility), yang tentunya akan mengakibatkan kerugian milyaran
rupiah setiap tahunnya (Dharmojono, 2001).
Bakteri Brucella penyebab Brucellosis memiliki beberapa spesies yang
menginfeksi pada hewan sebagai induk semang spesifiknya, salah satunya adalah
spesies Brucella abortus pada sapi (Kartini dkk., 2017). Bakteri Brucella abortus
yang menginfeksi pada sapi memiliki predileksi pada jaringan tubuh tertentu
seperti ambing, uterus, kelenjar getah bening, testis dan kelenjar aksesori. Akibat
adanya keterkaitan dengan uterus gejala yang sering muncul adalah abortus pada
trimester terakhir kebuntingan yaitu 5-8 bulan (Pudjiatmoko, 2014). Abortus
terjadi akibat bakteri Brucella abortus berkembang cepat dalam uterus yang
mengakibatkan endometritis dan placentitis sehingga mengganggu bahan
makanan yang berasal dari induk untuk embrio atau fetusnya.
Gejala utama pada sapi betina yang sedang bunting adalah keguguran
kandungan atau kelahiran prematur. Pada umumnya, aborsi akan terjadi bila
infeksi terjadi selama masa kehamilan ke 2 dan sering kali disertai dengan retensi
plasenta atau metritis yang mana akan berdampak pada terjadinya ketidaksuburan
permanen. Diperkirakan kerugian produksi susu akibat infeksi diperkirakan
sekitar 20 hingga 25% akibat dari masa menyusui yang terputus akibat aborsi dan
kelambatan konsepsi. Brucella pada sapi jantan biasanya terlokalisasi pada tesis
dan organ genital lainnya. Bentuk klinis penyakit ini biasanya terlihat dengan
membesarnya salah satu atau kedua testis sapi jantan dengan penurunan libido dan
kesuburan. Kadang-kadang testis menjadi atrofi akibat dari adhesi dan fibrosis.
Umumnya sering terjadi vesikulitis seminal dan ampullitis. Kadang-kadang
terlihat adanya higroma dan arthritis (Suardana, 2015).
Brucella sp. masuk ke dalam tubuh hewan melalui mulut, saluran
reproduksi, oronasal, mukosa konjungtiva dan luka terbuka. Hewan yang
mengalami keguguran dapat mengeluarkan Brucella sp dalam jumlah banyak
dalam membran fetus, cairan reproduksi, urin dan feses yang dapat mencemari
rumput dan air minum, sehingga menyebabkan penularan antar hewan (Jacob,
2013). Infeksi pada hewan terjadi secara persisten seumur hidup, dimana kuman
Brucella dapat ditemukan di dalam darah, urin, susu dan semen (BRUCELLOSIS
FACT SHEET, 2003).
Brucellosis pada sapi utamanya menular saat hewan yang terinfeksi
mengalami partus atau abortus. Fetus abortus, membran plasenta, cairan plasenta,
dan mucus vagina yang dikeluarkan dari hewan terinfeksi dapat bertahan di
lingkungan dan menjadi sumber penularan (Parthiban et al., 2015). Pada manusia
penularan sering terjadi saat konsumsi daging dari hewan yang terinfeksi,
konsumsi produk susu yang tidak dipasteurisasi dan kontak langsung dengan
sekresi atau karkas hewan terinfeksi (Zhen et al., 2013). Pekerja rumah potong
hewan, dokter hewan, peternak dan pekerja laboratorium yang bersentuhan
langsung dengan bakteri Brucella menjadi individu yang paling berpotensi
terinfeksi (Poester et al., 2010).
Gejala yang ditunjukkan penyakit Brucellosis baik yang menginfeksi pada
hewan atau manusia memiliki perbedaan. Gejala yang menjadi karakteristik akibat
Brucella abortus pada hewan adalah adanya abortus, retensi plasenta, orchitis,
epididimitis dan tidak jarang juga terjadi artritis (OIE, 2018). Pada manusia gejala
Brucellosis dapat dicirikan dengan adanya kelemahan, demam intermiten,
menggigil, berkeringat, sakit pada persendian, sakit kepala, dan sakit pada seluruh
tubuh.
Diagnosa Brucellosis pada hewan didasarkan pada isolasi dan identifikasi
bakteri brucella, uji serologis dan gejala klinis. Diagnosis klinis Brucellosis yang
dapat dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi kebenarannya yaitu
dengan isolasi dan identifikasi bakteri Brucella. Namun isolasi dan identifikasi
membutuhkan sarana keamanan laboratorium yang tinggi yaitu dengan
biosecurity level (BSL) 3, tenaga terampil, waktu pelaksanaan yang lama dan
melakukan tata kerja yang berbahaya. Oleh karena itu selain isolasi dan
identifikasi metode diagnosis juga dapat dilakukan dengan uji serologi
menggunakan sampel serum atau cairan tubuh hewan yang dideteksi (Poester et
al., 2010).
Langkah yang dilakukan yaitu dengan mendeteksi apakah ditemukan
antibodi Brucella abortus menggunakan metode Rose Bengal Test (RBT). Metode
RBT merupakan test screening cepat dan mudah yang direkomendasikan untuk
mendeteksi sebagian besar hewan yang terinfeksi Brucella. Uji positif RBT perlu
dilakukan uji konfirmasi lebih spesifik untuk menentukan diagnosis akhir yang
akan dibuat. Uji konfirmasi dilakukan dengan metode Complement Fixation Test
(CFT) yaitu melihat reaksi ikatan komplemen (Corbel, 2006). Test screening lebih
mudah dan cepat dilakukan, memiliki tingkat sensitifitas yang tinggi tetapi tingkat
spesifisitasnya masih rendah. Oleh sebab itu apabila hasil uji positif pada test
screening perlu dilanjutkan test konfirmasi (Poester et al., 2010). Metode uji
serologi utama yang digunakan pada deteksi Brucellosis di Indonesia adalah
metode RBT dan CFT (Astarina dkk., 2016).
Metode RBT merupakan uji aglutinasi sederhana yang digunakan sebagai
test screening untuk mengetahui adanya antibodi Brucella. Prinsip uji metode ini
adalah dengan mereaksikan antara serum sampel dengan antigen RBT yang akan
diamati reaksinya untuk menentukan hasil uji positif atau negatif (OIE, 2018).
Hasil uji positif akan ditunjukkan dengan adanya gumpalan atau aglutinasi,
sedangkan apabila tidak ditemukan pengumpalan atau aglutinasi yang pasti maka
dianggap sebagai reaksi negatif (Albert et al., 2018).
Hasil test pada beberapa sapi milik warga di daerah Songgokerto
menunjukan hasil positif 5 dari 8 test. Hasil test ini menunjukkan bahwa pada
daerah tersebut terpapar Brucellosis. Penanganan yang dapat dilakukan adalah
dengan cara pelaporan, pencegahan, pengendalian dan pemberantasan karena
belum ada pengobatan yang efektif pada Brucellosis. Vaksinasi disarankan
dilakukan sebagai tindakan kontrol terhadap brucellosis pada sapi di daerah
enzootik dengan tingkat prevalensi yang tinggi. Soeharsono (2002) menyatakan
bahwa pada daerah dengan prevalensi kurang dari 2%, dilakukan tindakan
pengujian dan pemotongan (test and slaughter), sedangkan daerah dengan
prevalensi 2% atau lebih baru dilakukan vaksinasi. Tindakan pengendalian yang
lain meliputi desinfeksi kandang tertular dan edukasi melalui sosialisasi dan
workshop tentang manajemen good breeding practises termasuk higiene dan
sanitasi kandang, peningkatan biosekuriti dan biosafety serta pelaporan kasus
keguguran pada sapi sesegera mungkin (Kristiyanti dan Apriliana, 2018). Program
pengendalian dan pemberantasan brucellosis pada sapi telah dilakukan oleh
pemerintah dengan program vaksinasi dan potong bersyarat (test and slaughter)
namun penyebaran penyakit ini dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Meningkatnya penyebaran brucellosis pada sapi ini dapat dikarenakan adanya
mutasi ternak yang kurang dapat dipantau oleh petugas peternakan, biaya
kompensasi pengganti sapi reaktor positif sangat mahal dan kurangnya kesadaran
dan pengetahuan peternak (Noor, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Adjid, R.M.A. 2004. Strategi Alternatif Pengendalian Penyakit Menular untuk


Meningkatkan Efisiensi Reproduksi Sapi Potong. WARTAZOA. Vol.14
No.3: Hal. 125-132.
Albert, I. P., Kato, C. D. Ikwap, K. Kakooza, S. Ngolobe, B. Ndoboli, D. and
Tumwine, G. 2018. Comparison of rose bengal plate test, serum
agglutination test, and indirect enzyme-linked immunosorbent assay in
brucellosis detection for human and goat samples. International Journal of
One Health. Vol. 4 No.6: Hal. 35-39.
Astarina, D. K. Pribadi, E. S. and Pasaribu, F. H. 2016. Penggunaan Imunostik
sebagai Uji Serologi untuk Deteksi Brucella abortus pada Sapi (Application
Immunostick Assay For Serological Test Brucella Abortus In Bovine).
Jurnal Veteriner. Vol. 19 No.2: Hal. 169-176.
BRUCELLOSIS FACT SHEET . 2003. Brucellosis. Centre for Food Security
and Public Health. Hal. I-7.
Corbel, M.J. 2006. Brucellosis in Human and animal. World Health
Organization Press. Geneva.
Dharmojono, H. 2001. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis). 15 Penyakit
Menular dari Binatang ke Manusia. Cetakan ke-1. Milenia Populer. Hal.
166-178.
Jacob, G. 2013. A “ one health” surveillance and control of Brucellosis in
developing countries: moving away from improvisation. Comparative
immunology, microbiology and infectious disease. Vol. 36: Hal. 241-248.
Kartini, D., Noor S.M dan Pasaribu F.H., 2017. Deteksi Brucellosis Pada Babi
Secara Serologis dan Molekuler di Rumah Potong Hewan Kapuk, Jakarta
dan Ciroyom, Bandung. Acta Veterinaria Indonesiana. Vol.5 No.2: Hal.
66-73.
Kusmiyati, Noor, S.M, Supar. 2005. Leptospirosis Pada Hewan dan Manusia di
Indonesia. WARTAZOA. Vol. 15 No. 4: Hal 213-220.
Noor, S. M. 2006. Brucellosis: Penyakit Zoonosis yang belum banyak dikenal di
Indonesia. Wartazoa. Vol. 16 No.1: Hal. 31-39.
Novita, R., Hananto, M., Sembiring, M.M., Noor, S.M., Kambang, S., Lilian dan
Khairirie, 2016. Seroprevalensi Ancaman Brucella abortus Pada Pekerja
Peternakan Sapi Perah Kecamatan Ciwatu, Garut. Jurnal Kesehatan
Reproduksi. Vol.7 No.3:Hal. 210-216.
Office International des Epizooties (OIE). 2018. Brucellosis (Brucella abortus, B.
melitensis and B. suis) (Infection with Brucella abortus, B. melitensis and B.
suis). Chapter 3.1.4 : 355-398.
Parthiban, S., Malmarugan, S., Murugan, M. S., Rajeswar, J. J., and Pothiappan,
P. 2015. Review on emerging and reemerging microbial causes in bovine
abortion. Int. J. Nut. and Food Sci. Vol. 4 No.1: Hal. 1-6.
Poester, P. F., Nielsen, K., Ernesto Samartino, L., and Ling Yu, W. 2010.
Diagnosis of brucellosis. The Open Veterinary Science Journal, Vol. 4
No.1: Hal. 46-60.
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta. Hal. 145-156.
Soeharsono. (2002). Brucellosis. Zoonosis. Penyakit Menular dari Hewan ke
Manusia. Kanisius. Yogyakarta. Hal. 30-34.
Suardana, I.W. 2015. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius. Hal.
101-120
Zhen, Q., Lu, Y., Yuan, X., Qiu, Y., Xu, J., Li, W., and Chen, Z. 2013.
Asymptomatic brucellosis infection in humans: implications for diagnosis
and prevention. Clinical Microbiology and Infection, Vol. 19 No.9: Hal.
E395-E397.

Anda mungkin juga menyukai