Anda di halaman 1dari 19

Penyakit Zoonosis

Pada Ternak

Nusdianto Triakoso

Pendidikan dan Latihan


Pengamat Peternakan dan Kesehatan Hewan
2011
Zoonosis, infeksi yang dapat ditularkan dibawah kondisi alamiah antara hewan vertebrata
dan manusia

Anthrax
Anthrax merupakan penyakit menular akut yang dapat menyerang pada semua hewan
berdarah panas. Penyakit ini juga bersifat zoonosis. Penyebabnya adalah bakteri Bacillus
anthracis. Kuman ini dapat membentuk spora sehingga tahan hidup di dalam tanah
selama bertahun-tahun.
Di Indonesia pernah dilaporkan kasus anthrax hampir di seluruh Nusa Tenggara termasuk
Bali. Jawa dan Madura juga pernah dilaporkan pada daerah Jakarta, Purwakarta, Bogor,
Periangan, Banten, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Surakarta, Banyumas, Boyolali, Sragen,
Madiun dan Bojonegoro. Selain itu juga Jambi, Palembang, Padang, Bengkulu,
Bukittinggi, Sibolga dan Medan serta Sulawesi seperti daerah Sulawesi Selatan, Menado,
Donggala dan Palu.

Gejala
Pada kejadian akut, hewan mati tanpa diikuti gejala klinis. Kadang disertai adanya
perdarahan yang keluar melalui lubang hidung dan anus. Gejala umum adalah
pembengkakan daerah leher, dada, lambung dan alat kelamin luar. Gejala lain adalah
panas tinggi, kesulitan bernafas, sempoyongan, lemah dan kematian cepat.
Di daerah enzootik, apabila hewan mati tanpa gejala harus dicurigai terhadap anthrax
dan tidak boleh dilakukan bedah bangkai. Preparat ulas darah dapat diambil dari darah
yang keluar melalui lubang hidung atau anus untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Pada manusia ditemukan 3 bentuk serangan yaitu atraks kutaneus, antraks inhalasi dan
intestinal. Pada antraks kutaneus ditemukan tukak terlokalisir dan keropeng disertai
demam dan sakit kepala dalam beberapa hari yang disebabkan septikemia dan meningitis.
Pada antraks inhalasi ditemukan penumonia fulminans dan bentuk intestinal terjadi
gastroenteritis akut dengan diare yang berdarah. Masa inkubasi pada manusia,
perkutaneus 3-10 hari, inhalasi 1-5 hari dan intestinal 2-5 hari.
Pengobatan, pengendalian dan pencegahan
Pada penderita dapat diberikan suntikan antiserum dengan dosis kuratif 100-150 ml,
penyuntikan antibiotika, atau kemoterapi. Semua karkas dari hewan yang mati karena
anthrax atau yang dicurigai anthrax harus dikubur sedalam 2 meter dilapisi penutup
gamping (kapur) dan daerah tersebut dipagar. Semua material terinfeksi harus dibakar
dan semua hewan rentan dijauhkan dari daerah terinfeksi. Laporkan pada dokter hewan
berwenang, dinas peternakan atau dinas terkait.
Pada manusia pengobatan menggunakan penisilin. Vaksinasi disarankan pada pekerja
yang berisiko. Pada manusia sebaiknya menghindari kontak dengan binatang yang
terinfeksi dan produknya. Obati luka secepatnya dan berikan desinfektan pada wool atau
rambut import. Isolasi pasien yang terinfeksi dengan bersama-sama melakukan
desinfeksi.

Botulismus
Penyakit ini disebut juga Lamziekte atau Limberneck. Penyakit ini meluas di seluruh
dunia disebabkan oleh bakteri Clostridium botulinum. C. botulinum adalah bakteri yang
hidup di tanah dan bebas oksigen (anaerob) serta dapat menghasilkan toksin. Kuman ini
dapat membentuk spora sehingga tahan bertahun-tahun di dalam tanah. Masa inkubasi
pada hewan dan manusia 6 jam hingga beberapa hari, biasanya 12-36 jam.

Gejala
Toksin menyerang syaraf, hewan menjadi sempoyongan, kesulitan menelan,
hipersalivasi, mata terbelalak. Hewan mengalami kelumpuhan pada lidah, bibir,
tenggorokan dan kaki serta kelemahan umum. Hewan ambruk, kesulitan bernafas dan
hewan akan mati dalam 1-4 hari.
Kadang penyakit berjalan kronis, gejala berlangsung beberapa minggu. Pada domba atau
kambing mungkin berjalan berkeliling dengan kepala di satu sisi (miring). Gejala ini bisa
dikelirukan dengan rabies.
Pada manusia, tanda intoksikasi berupa mual, muntah, nyeri perut, diikuti gejala syaraf
ptosis, pandangan buram, paresis, dan paralisis kegagalan pernafasan dapat
mengakibatkan kematian dalam beberajam hingga hari. Gejala klinik yang khas adalah
paralisi fkesid yang turun dari atas ke bawah.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Pengobatan tidak efektif, namun dapat diberikan antiserum. Obat oleum olifarum dapat
mencegah terserapnya toksin lebih lanjut. Pengobatan lain dapat diberikan hanya
simptomatis dan supportif. Pengendalian dan pencegahan terdiri atas pemusnahan karkas,
pemberian air bersih, pengobatan pada setiap kekurangan mineral dan dengan vaksinasi.
Pada manusia, pemberian antitoksin polivalen sedini mungkin (dalam 1-2 hari setelah
menelan dapat memperbaiki prognosis, tetapi risiko terhadap rekasi hipersensitifitas yang
berat terhadap serum kuda juga tinggi. Memberikan bantuan pernafasan intensif.

Filariasis
Penyakit ini disebut juga Fiariosis atau Brugiasis. Infeksi cacing gelang melalui gigitan
nyamuk. Agen penyebab yang utama adalah Wuchereeriosa bancrofti namun tidak
bersifat zoonotik. Brugei malay bersifat zoonotik dan Dirofilaira immitis juga bersifat
zoonotik. Bentuk zoonotik Brugei malay terjadi di Malysia dan Philipina. Penyebab D.
immitis banyak terjadi di Amerika Selatan dan Utara, Australia, India, Timur Jauh dan
Eropa, tetapi kejadian pada manusia hanya dilaporkan di Amerika Serikat, sebagian kecil
Kanada dan Australia. Masa inkubasi oenyakit ini adalah 3-15 bulan pada manusia
sedangkan pada hewan bervariasi samapai beberapa bulan.

Gejala
Pada hewan D. immitis bisa dijumpai mengumpul di bilik jantung kanan dan arteri
pulmonalis. Infeksi ringan tidak menimbulkan gejala namun infeksi berat dan menahun
menyebabkan jantung tidak bekerja dengan semestinya disertai asites dan bendungan
pasif. Pada manusia terjadi demam berulang, limfadenopati, linfangiektasia dan abses.
Pembesaran mencolok dari anggota gerak tubuh (elefentiasis) dan jarang terjadi hidrokel
yang berkembang setelah bertahun-tahun. Pada manusia disertai eosinofilia dengan lesi
utama limfangitis dan limfadenitis, yang mengakibatkan obstruksi limfatik dan limfa
edema masif yang diikuti fibrosis (elefentiasis) terutama pada kaki. Telah dilaporkan juga
terjadi nodul pulmonal. Pada manusia pognosis bervariasi tetapi pada elefentiasis tidak
mudah reversibel.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Pada manusia bisa menggunakan dietilkarbamazin, tetapi dapat mencetuskan reaksi alergi
yang dapat diatasi dengan antihistamin.

Brucellosis
Penyakit ini disebut juga keluron menular atau Bang disease. Penyakit ini sangat menular
dan bersifat zoonosis. Penyebab pada sapi adalah Brucella abortus, sedangkan pada
kambing, domba disebabkan Brucella melintesis dan babi disebabkan Brucella suis.
Keguguran terjadi biasanya pada trimester ketiga atau sekitar 7 bulan. Cairan kelahiran,
pedet yang mati atau plasenta menjadi sumber penularan.

Gejala
Abortus pada fetus antara 5-8 bulan kebuntingan. Sebagai hasilnya selaput plasenta
tertinggal lama (retensi) dan menyebabkan steril pada sapi. Bila sapi menderita
keguguran pada periode tersebut harus dicurigai menderita Brucellosis, sampel darah
(serum) perlu diambil untuk peneguhan diagnosa.
Pada manusia terjadi demam berfluktuasi, malaise, lemah, lelah, kaku, keringat malam
hari, sakit kepala, sakit punggung, sakit persendian, kehilangan berat badan, dan gejala
sistemik lain. Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening, hati dan limpa,
osteomielitis dan endokarditis. Gejala lain depresi dapat disalahartikan sebagai neurosis
dan dapat bertahan selama beberapa bulan atau tahun dan sering berulang..

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Tidak ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Reaktor atau sapi penderita
harus di-stamping out, karena menjadi sumber penularan. Semua bagian kelahiran (pedet
yang mati, plasenta, cairan, dll) harus dibakar agar tidak menjadi sumber penularan.
Waspadai juga pejantan yang baru masuk dalam kelompok karena bisa juga menjadi
sumber penularan.
Pada manusia bisa diberi antibiotika, terutama tetrasiklin, streptomisin, trimetoprim dan
sulfametoksasol. Kontrol hewan yang bsai menjadi sumber penularan. Panasi/masak susu
sebelum diminum. Higienis perorangan ataupun laboraotium penting untuk dilakukan.

Tuberkulosis
Penyakit yang dikenal dengan sebutan TBC ini
merupakan penyakit menular dan kronis. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini bersifat zoonosis. Kejadian di Indonesia
belum banyak dilaporkan, namun pernah dilaporkan di
Ngawi pada tahun 1988.

Gejala
Pada sapi tidak ada gejala spesifik tahap stadium awal. Bila
penyakit melanjut sapi akan menunjukkan batuk menetap,
tidak nafsu makan dan kondisi badan sangat menurun disertai
pembengkakan kelenjar limfe. Pengerasan ambing karena
adanya jaringan ikat sering ditemukan. Pada saat itu kuman
dapat terlihat dalam sekreta dan eksreta.
Diagnosa dilakukan dengan uji tuberkulin.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Pengobatan dilakukan dengan pemberian INH atau Streptomycine, namun seringkali
tidak memberikan hasil yang efektif. Penderita yang kurus, dieuthanasia dan dibakar.
Hewan yang diduga menderita disingkirkan dan dilakukan pemeriksaan diagnostik.
Untuk menghindari penularan dari manusia maka pekerja di RPH dan peternakan sapi
perah harus bebas menderita TBC. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksinasi
BCG.
Leptospirosis
Penyakit ini disebut juga penyakit Weil, haemorrhagic jaundice (L.
ichterohemaorrhagiae), demam kanikola (L. canicola), demam pekerja pabrik susu (L.
hardjo) Leptospirosis adalah penyakit menular yang bersifat zoonosis. Penyebabnya
adalah bakteri Leptospira sp. Agen penyebab ini diketahui lebih dari 170serotipe.
Penyakit ini tersebar melalui kontak langsung dengan urine atau dapat juga dari air dan
makan yang tercemar urine. Masa inkubasi pada hewan 1-2 minggu, pada manusia 3-20
hari. Reservoir penting, L canicola adalah anjing, L.hardjo adalah sapi dan L
ichterihaemorrhagiae adalah tikus.

Gejala
Demam tinggi, abortus atau keluron, di dalam susu
ditemukan adanya darah. Urine berubah warna menjadi
merah atau coklat. Hewan mengalami jaundice atau
ikhterus atau kekuningan tampak pada selaput mukosa
konjungtiva dan mulut.
Penyakit ini hanya bisa didiagnosa melalui pemeriksaan
laboratorium. Sampel yang diperlukan adalah darah atau serum atau urine segar serta
spesimen ginjal atau jaringan hati dalam formalin 10%.
Banyak gejala yang timbul pada manusiabersamaa dengan demam, yaitu muntah, sakit
kepala, ikterus, anemia, nyri otot, anemia hemolitik, meningitis, pneumonitis, dan
nefritis. Penyakit Weil ditandai adanya ikterus atau Jaundice dan gagal ginjal setelah
beberapa hari. Serangan L. Hardjo menyebabkan penyakit serupa dengan influenza
selama beberapa hari. Pda manusaia ditemukan hepatomegali dengan degenerasi hati dan
nefritis.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Pemberian antibiotika dapat membunuh bakteri penyebabnya, biasanya diberikam
Streptomisin. Tikus, anjing dan sapi menjadi hewan perantara yang penting dalam
penyebaran penyakit ini berdasarkan kuman penyebab. Pemberantasan tikus menjadi hal
yang penting dalam pengendalian penyakit ini.
Pada manusia biasanya sembuh total tetapi angka kematian penyakit Weil mencapai 20
persen. Berikan antibiotika berspektrum luas, terutama Penisilin dan Streptomisin. Ada
indikasi untuk melakukan tindakan supportif termasuk dialisa ginjal.

Actinobacillosis
Penyakit ini disebut juga wooden tongue atau lidah papan.
Penyebabnya adalah Actinobacillus ligniereii, suatu jamur
(fungi).

Gejala
Ditemukan benjolan membesar di bagian rahang bawah.
Kadangkala serangan juga terjadi pada lidah, sehingga lidah
menjadi keras dan kaku, sehingga muncul sebutan penyakit lidah
papan.
Penyakit ini juga menyebabkan perubahan pada tulang rahang
sehingga tampak mengeras karena terjadi proses perubahan
anatomi jaringan.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Penyakit ini dapat diobati menggunakan. Atau bahkan tidak bisa diobati sama sekali
sehingga pilihannya adalah potong paksa.

Ringworm
Disebut juga Dermatophytosis atau Tinea. Penyebabnya adalah
Trichophyton sp., Microsporum sp. dan Epidermophyton sp.
Namun seringkali yang menjadi penyebab utama pada ternak
adalah Trichophyton dan Microsporum. Penyakit ini bersifat
zoonosis. Spora ringworm sangat tahan lama dalam kandang
dan bebas di tempat-tempat hewan. Penularan ringworm melalui kontak.
Gejala
Dimulai dengan bercak merah, eksudasi dan rambut patah atau rontok. Perkembangan
selanjutnya bervariasi bersisik, berupa benjolan kecil atau erupsi kulit atau berbentuk
seperti tumor yang dikenal sebagai kerion. Bentuk lesi yang spesifik seperti cincin. Bila
keropeng diangkat dapat terjadi perdarahan. Pada hewan umumnya terjadi pada daerah
wajah, leher, bahu dada atau punggung.
Diagnosa bisa dibantu dengan Wood lamp, meskipun tidak semua penyebab
menimbulkan pendaran warna fluorescence.

Pengobatan, pencegahan dan penanggulangan


Pertama kerak atau keropeng tebal diambil dengan sikat, sabun dan air. Pemberian
pengobatan dengan iodium tinctur setiap hari dan gliserin dalam jumlah campuran yang
sama. Untuk sapi dapat juga diberikan Na-kaprilat 20% disemprotkan pada area
terinfeksi. Pada kuda dapat diberikan Na-trichloromethyl-thiotetrahydrophthalamide.
Bisa juga diberikan asam borak 2-5% atau Kalium permanganat 1:5000. Obat lain dapat
diberikan asam benzoat 6%. Selain itu tentu dapat menggunakan Griseofulvin dengan
hasil yang memuaskan, namun cukup mahal.
Pencegahan bergantung dengan pemisahan dan pengobatan penderita. Hindari kondisi
penuh sesak dan berdesakan. Bila mungkin berikan tambahan vitamin A dan D.

Penyakit Mulut dan Kuku


Disebut juga Aphtae epizooticae (AE) atau Foot and
Mouth Disease (FMD). Penyakit ini yang sangat
menular pada hewan yang berkuku genap.
Penyebabnya adalah virus Aphtae. Ada beberapa tipe
dan subtipe virus yang berbeda. Tipe virus PMK di
Indonesia adalah tipe O dengan subtipe O11.
Di Indonesia pertama kali ditemukan di Malang 1887. Kemudian meluas ke Bangil,
Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, Jember, Bondowoso, Besuki dan
Banyuwangi. Setelah itu terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, kecuali beberapa
daerah seperti NTT, NTB, Maluku dan Papua. Indonesia dinyatakan bebas dari PMK
pada tahun 1988.

Gejala
Suhu tinggi (demam), tidak nafsu makan, bulu kusam, bagian dalam mulut mengalami
radang. Ditemukan lepuh pada gusi, lidah atau pangkal lidah. Lepuh tersebut segera
pecah dan menjadi ulser, sehingga hewan merasa sakit untuk mengunyah, menelan dan
air liur tampak menetes. Lepuh juga ditemui di sekitar kuku dan sekitar batas kuku atas
dan mengakibatkan kepincangan. Teracak lepas. Lepuh dan ulser juga bisa terjadi pada
ambing dan puting.
Peneguhan diagnosa harus dilakukan sesegera mungkin berkaitan dengan kepentingan
pengendalian penyakit. Spesimen lepuh kaki dan mulut harus diambil dan kulit lepuh
yang utuh merupakan spesimen terbaik. Kirimkan dalam buffer gliserin 50%.
Pada manusia, masa inkubasi tidak tentu. Penyakit hamoir selalu bersifat subklinik, tetapi
virus dapat bertahan di faring dan tonsil sampai 2 minggu. Mungkin terdapat demam
dengan vesikel pada bibir, mulut, kaki dan tangan untuk beberapa hari. Penyakit ringan
dapat sembuh dengan sendirinya dan kesembuhan sempurna terjadi dalam 2 minggu.

Pengendalian dan Pencegahan


Tidak ada pengobatan yang efektif untuk mengatasi penyakit ini. Penyakit ini adalah
penyakit strategis. Bila menemukan gejala tersebut dan dicurigai adalah penyakit PMK
maka segera laporkan pada dokter hewan berwenang atau dinas peternakan.

Rabies
Penyakit ini bersifat fatal yang menyerang sistem syaraf. Penyakit ini dapat terjadi pada
semua hewan berdarah panas termasuk ternak dan bersifat zoonosis. Penularan melalui
gigitan hewan karnivora (anjing, kucing, kelelawar, kalong, anjing hutan) atau penderita
yang lain. Di Indonesia penyakit ini diketahui masih terjadi di Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggara. Tahun 2002 di Jawa Barat dinyatakan
positif rabies pada anjing liar. Tahun 2009, di Bali didiagnosa positif rabies pada anjing
liar.

Gejala
Masa inkubasi 3-8 minggu, tergantung dari lokasi gigitan dengan otak. Semakin dekat
jarak ke otak akan semakin cepat gejala muncul. Gejala bervariasi. Gejala pertama adalah
perubahan perilaku hewan. Hewan menjadi gelisah, agresif, tidak mengenali pemilik atau
hewan lain dan menggigit apa saja. Kemudian hewan masuk pada tahap tipe dungu dan
paralisa. Kerongkongan menjadi lumpuh sehingga tidak bisa menelan, hipersalivasi,
kelumpuhan anggota gerak. Bila terjadi pada otot-otot pernafasan maka akan kesulitan
bernafas dan menyebabkan kematian.

Pengobatan, pengendalian, pencegahan


Tidak ada obat yang efektif pada penyakit ini, selain vaksinasi sebagai tindakan
pencegahan.

Orf
Penyakit ini disebut juga Contagious Pustular Dermatitis, Contagious Echtyma, Sore
Mouth, Scabby Mouth, Infectious Labial Dermatitis. Penyakit sangat menular dan
disebabkan oleh virus parapox, sub-gup virus cacar. Penularan melalui kontak dari bahan
cairan Di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1931. Pernah juga dilaporkan
terjadi Yogyakarta, Kudus, Banyumas, Pasaman, Karangasem, Negara, Medan dan
Kalimanatan Selatan.

Gejala
Masa inkubasi sekitar 2 hari, pada manusia 3-6 hari.
Hewan tampak adanya radang pada sekitar mulut, kelopak
mata, alat genital, medial kaki, ambing pada yang sedang
menyusui dan tempat-tempat yang jarang ditumbuhi
rambut. Keradangan kemudian menjadi eritema, lepuh-lepuh yang mengeluarkan cairan
dan membentuk kerak yang mengelupas setelah 1-2 minggu kemudian. Pada mukosa
mulut tidak terjadi pengerakan. Bila serangan terjadi hebat maka tampak seperti bunga
kol.
Pada hewan muda, kondisi tersebut sangat menggangu bahkan terjadi kematian. Infeksi
sekunder memperparah kondisi tersebut. Bila tidak ada infeksi sekunder umumnya
membaik dalam 4 minggu.
Pada manusia, biasanya terdapat lesi primer tunggal yang nyeri dan berwarna merah di
tangan atau lengan depan yang berlangsung selama 3-6 minggu. Lesi berkembang dari
satu makula ke papula dan akhirnya menjadi pustula. Bagian tengah pustula tenggelam
dan terdapat tetesan cairan. Dapat terjadi infeksi bakteri sekunder.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Hewan penderita dapat diberikan antibiotika spektrum luas untuk mencegah infeksi
sekunder. Kulit penderita dapat juga diobati secara topikal menggunakan antibiotika atau
iodium tinctur. Pada daerah enzootik dapat dilakukan autovaksin. Vaksin ini dibuat dari
keropeng kulit penderita, dibuat tepung halus dan disuspensi menjadi 1% dalam 50%
gliserin. Daerah yang terjangkit dapat dilakukan vaksinasi masal. Pada daerah yang
belum pernah dijangkiti tidak dianjurkan dilakukan vaksinasi.
Pada manusia, memberikan antibiotika sseebagai pencegahan infeksi sekunder.
Pencegahan cuci tangan setelah kontak dengan hewan.

Babesiosis
Penyakit ini disebut juga Redwater disease, Texas fever, piroplasmosis atau demam
caplak. Penyebab penyakit ini adalah Babesia bigemina atau Babesia bovis yang
merupakan parasit darah. Penyakit ini disebarkan oleh caplak Boophilus sp. Serangan
Babesia bigemia dapat menimbulkan kematian 80-90% pada ternak dewasa bila tidak
dilakukan pengobatan.
Gejala
Temperatur sangat tinggi, kadang lebih dari 41 oC. Dalam waktu 8-17 hari setelah gigitan
caplak. Hewan enggan makan, lesu, selaput lendir pucat dan akhirnya menjadi kuning
(ikhterus). Pernafasan cepat, denyut jantung sangat kuat dan cepat. Hewan kadang
menunjukkan gejala syaraf yaitu kejang-kejang atau paralisis yang kadang juga
dikelirukan dengan rabies. Urine akan berwarna merah sehingga dikenal dengan sebutan
red water disease. Setelah 2-3 hari bila hewan tidak diobati dapat mengalami kematian.
Namun kadang penyakit berjalan kronis dengan kelainan pencernaan, kolik dan diare dan
akhirnya mati.
Pada manusia gejala berupa demam, anemia hemolitik, ikterus, hmoglobinuriadan gagal
ginjal. Gejala-gejala lebih berat dan menyebabkan meninggal bila psaien mengalami
splenektomi dan gangguan kekebalan.
Peneguhan diagnosa dengan membuat preparat ulas darah dan diperiksa di mikroskop.
Jika dicurigai rabies, otak dapat dikirimkan ke laboratorium untuk diperiksa.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Penyakit ini dapat diberikan Imidocarb 4,6% 1 mg/kgBB, Pirevan atau Phenamidine 40%
10 mg/kgBB. Obat disuntikan secara subkutan dengan jumlah diperkirakan sesuai berat
badan. Tetracycline 11 mg/kgBB juga memberikan hasil yang baik.
Pada manusia dianjurkan menggunakan klindamisin dengan kuinin. Pengganti darah
melalui transfusi mungkin diperlukan bagi pasien tanpa limpa.
Pemusnahan caplak penting dalam upaya pengendalian penyakit. Hewan yang sembuh
dari penyakit ini mempunyai kekebalan yang kuat. Ini merupakan preimunity terhadap
penyakit ini dan bertahan hingga 4 tahun. Hewan yang baru sembuh dapat diberikan
makanan tambahan dalam beberapa minggu.

Fasciolasis
Disebut juga distomatosis. Penyakit ini disebabkan oleh Fasciola hepatica atau Fasciola
gigantica, suatu parasit yang tinggal dan merusak hati atau liver. Penyakit ini bisa
menyerang pada sapi, kerbau atau ruminansia kecil.
Gejala
Ada dua bentuk serangan cacing hati ini yaitu akut dan
kronis. Pada serangan akut, maka akan terjadi perdarahan
dari hidung dan anus, hewan mati mendadak tanpa gejala.
Pada serangan kronis, hewan umumnya mengalami
konstipasi atau mencret. Hewan kurus dengan cepat,
lemah dan anemia. Hewan mungkin menunjukkan edema
di bawah kulit terutama di bawah rahang (bottle jaw). Bulu tampak kering dan kusam.
Pada manusia, berat ringan gejala bergantung jumlah cacing yang menginfeksi. Gejala
bisa demam, kekauan, sakit perut, ikterus dannyeri di ulu hati. Alur peradangan di
subkutan disebabkan oleh larva yang bermigrasi. Pada manusia umumnya dapat sembuh
sendiri, namun sumbatan empedu yang berulang dan infeksi sekunder dapat
mengakibatkan kerusakan hati yang kronik.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Ivermectin bisa digunakan untuk Fasciolasis. Bisa juga menggunakan Oxyclozanide 10
mg/kgBB untuk sapi atau 15 mg/kgBB untuk kambing domba. Pada kasus fasciolasis
akut dapat menggunakan dosis 45 mg/kg BB. Albendazole yang biasa digunakan untuk
Nematodosis juga mempunyai efek anti parasit ini. Untuk sapi dapat menggunakan dosis
10 mg/kgBB dan 7,5 mg/kgBB untuk kambing domba. Bisa juga menggunakan
Nitroksinil melalji injeksi subkutan.
Pada manusia, dapat diberikan praziquantel.
Siput air merupakan inang perantara. Pemberantasan siput air merupakan bagian penting
dalam pengendalian dan pencegahan penyakit ini dalam memutus siklus hidup Fasciola
sp.

Toxoplasmosis
Toksoplamosis adalah infeksi yang disebabkan parasit Toksoplasma gondii. Terdapat
hampir diseluruh dunia terutama daerah tropis. Infeksi kongenital pada manusia dapat
menyebabkan lesi otak yang serius. Kucing menjadi reservoir penting karena bersifat
induk semang definitif. Kucing bisa terinfeksi toksoplasma dari daging mentah atau
burung atau tikus yang mengandung toksoplasma. Manusia mungkinterinfeksi karena
memakan daging mentah atau daging yang tidak dimasak dengan baik yang
tercemar/mengandung toksoplasma. Termasuk juga sayur mentah yang tidak dicuci
dengan baik.

Gejala
Biasanya tidak ada tanda infeksi yang khas. Pada domba dapat terjadi abortus pada kahir
kebuntingan. Gangguan syaraf terjadi akibat serangan pada sistem syaraf dengan gejala
berputar-putar, inkoordinasi gerak, kekakuan otot serta kelelahan. Pada kucing dapat
terjadi diare, hepatitis, miokarditis, miositis, pneumonia dan ensefalitis pada infeksi yang
berat tetapi umumnya simptomatik.
Pada manusia biasanya asimptomatik, tetapi mungkin juga terjadi demam, sakit kepala,
malaise, limfadenopati dan batuk yang lamanya bervariasi dan jarang terjadi miokarditis,
ensefalitis dan pneumonitis. Infeksi otak yang berat dapat terjadi dari rektivasi infeksi
laten pada individu yang mengalami penurunan sistem kekebalan (AIDS). Infeksi
kongenital menyebabkan retinitis kronik, kerusakan otak, hidrosefali, mikrosefali,
pembesaran hati dan limpa, trombositopenia, rash dan demam..

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Pengobatan pada manusia bisa menggunakan anthelmintik namun hasilnya tidak bagus.
Pengobatan steroid untuk mata dapat mengatasi keradangan dan edema. Laser
fotokoagulasi mungkin diperlukan.
Wanita hamil sebaiknya tidak menngani kotoran kucing atau bila terpaksa menggunakan
sarung tangan. Selalu cuci tangan dengan baik sebelum makan. Hindari makan daging
atau sumber protein yang mentah (daging, telur). Cuci dengan baik sayuran mentah yang
ingin dimakan.
Nematodosis
Penyakit ini menyebar luas dan banyak terjadi di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Disebabkan oleh cacing Ascaris vitulorum, Bunostomum sp., Oesophagustomum sp.,
Haemonchus sp., Trichostrongylus sp., Ostertagia sp., Cooperia sp., Nematodirus sp.
Penularan terjadi bila telur-telur infekstif atau larva cacing tertelan atau dapat juga
melalui kolostrum. Dapat juga larva cacing infektif menembus kulit.

Gejala
Hewan menunjukkan bottle jaw yang merupakan edema di bawah rahang. Hewan lesu,
bulu rambut kasar, anemis, diare, kurus. Gejala anemia, hidremia dapat dikelirukan
dengan penyakit lain seperti gangguan nutrisi. Gejala diare juga dapat dikelirukan dengan
serangan coccidiosis dan penyakit bakteri yang lain. Diagnosis ditegakkan dengan uji
native atau apung dari sample feses.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Untuk mengatasi nematodosis dapat menggunakan Levamisol, Fenbendazole atau
Albendazole. Dapat juga menggunakan Ivermectin. Dosis Levamisol adalah 7,5
mg/kgBB untuk ruminansia, sedangkan Ivermectin menggunakn dosis 200 µg/kg secara
subkutan.
Pemisahan ternak muda dan dewasa membantu dalam mencegah penyebaran
helminthiasis. Hindari kepadatan yang berlebihan karena meningkatkan risiko terjadinya
infestasi parasit. Hindari juga mengambil rumput atau menggembalakan pada pagi hari,
karena umumnya larva larva cacing akan berada di ujung rumput pada pagi hari.

Kudisan
Suatu keradangan pada kulit yang disebabkan oleh parasit
Sarcoptes sp., Psoroptes sp. dan Demodex sp. Pada sapi
dapat disebabkan Sarcoptes ataupun Demodex. Pada
domba umumnya disebabkan Psoroptes yang dikenal sebagai penyakit Sheep scab.
Gejala
Lesi biasanya bermula dari daerah wajah dan leher kemudian menyebar ke bagian tubuh
yang lain. Bagian yang terinfeksi mengalami kerontokan dan terbentuk keropeng. Kulit
menjadi kasar, tebal dan berbentuk lipatan-lipatan yang keras. Rambut rontok dan hewan
menderita karena iritasi dan gatal. Hewan biasanya akan enggan makan karena rasa gatal
yang diderita.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Dahulu penyakit ini sangat sulit diatasi. Saat ini dapat digunakan antiparasit seperti
ivermectin yang cukup efektif mengatasi penyakit ini. Bisa juga dikombinasi dengan
acarisida seperti amitraz sebagai obat topikal (dipping). Selain itu dapat diberikan
gammexane (lindane), limesulphure 2%, coumaphos 0,3% atau toxaphene 0,5% sebagai
dipping. Sebelum digunakan maka area yang terinfeksi dicukur dan digosok dengan
sabun dan air. Selanjutnya bahan digosokkan pada area yang terinfeksi. Pengulangan
dilakukan setiap seminggu sampai terlihat proses kesembuhan.

Sistiserkosis dan Taeniasis


Penyakit ini berhubungan dengan larva cacing Taenia solium dan Taenia saginata.
Penyebab penting pada manusia adalah Taenia sagiata dan T. solium. Pada sapi adalah
Cysticercus bovis dan pada babi dan manusia dalah Cysticercus cellulosa. Reservoir
penting adalah babi sebagai induk semang cacing tersebut.
Masa inkubasi pada manusia terserang sistiserkosis adalah 10-12 hari, taenisiasi 8-14
hari.

Gejala
Pada hewan biasanya subklinis tetapi gejala sakit pada otot dapat timbul bila terinfeksi
cacing yang berat. Dapat juga muncul gejala neurologis.
Pada manusia, cacing pita dapat menyebabkan gejala perut yang tidak spesifik meliputi
anoreksia, penurunan berat badan. Infeksi larva menimbulkan gejala yang diakibatkan
oleh migrasi larva ke seluruh jaringan seperti demam, sakit otot, kehilangan pandangan,
epilepsi dan gejal neurologi lain. Infeksi kista dan cacing pita biasanya ringan,
tetapiinfeksi C. cellulosa pada manusia dapat menyebabkan lesi otak serius dan bahkan
fatal.

Pengobatan, pengendalian dan pencegahan


Pada manusia dapat diberikan Niklosomid, praziquantel. Pembedahan kadang diperlukan
untuk sistiserkosis.
Hindari makan daging sapi atau babi ang mentah atau tidak dimasak dengan baik.
Pemeriksaan daging yang baik di RPH. Sanitasi lingkungan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai