yang
mungkin
ditimbulkan
pasca
vaksinasi
kemungkinan
dapat
CFT, sehingga tidak dapat dibedakan antara sapi yang divaksin dengan yang
terinfeksi. Oleh karena itu diperlukan vaksin yang mampu menghasilkan respon
kekebalan yang baik sehingga mengurangi penyebaran penyakit yang dapat
dibedakan dengan hewan yang mengalami infeksi. Vaksin yang telah
dikembangkan yaitu RB 51 hasil mutan kasar dari B. abortus virulen starin 2308
(S2308). Strain RB51 ini tidak memiliki rantai -0 pada LPS (lipopolysaccharida)
dari dinding sel B.abortus sehingga tidak mampu dideteksi dengan menggunakan
uji serologik standar untuk brucellosis (RBT dan CFT) atau tidak menimbulkan
reaksi positip palsu seperti halnya terjadi pasca vaksinasi dengan vaksin S 10.
Vaksin RB51 bersifat aman apabila diberikan pada sapi betina bunting. Hanya
saja vaksin RB 51 masih harus impor dan harganya relatif mahal daripada vaksin
S 19 yang sudah dapat diproduksi oleh Pusat Veteriner Farma. Vaksin RB51
diberikan pada sapi berumur 4-12 bulan secara sub cutan dengan dosis 1-3,4 x
1010 CFU, dianjurkan vaksinasi ulang pada 12 bulan berikutnya.Respon
kekebalan yang ditimbulkan oleh vaksin RB51 sama dengan yang ditimbulkan
oleh vaksin S19 dan vaksin RB51 ini tidak menimbulkan efek berupa arthritis,
anafilaksis dan anoreksia (Dirkeswan, 2004)
Dirkeswan, 2004. Paper: Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Bruselosis
di Indonesia khususnya P. Jawa. Jakarta, Departemen Pertanian.
Pada kambing dan domba, vaksinasi dilakukan menggunakan vaksin
Brucella melitensis strain Rev. 1, baik untuk B. Melitensis maupun B. ovis.
Sementara itu, belum ada produk vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi B.
suis pada babi dan B. canis pada anjing. Semua produk vaksin yang tersedia
merupakan vaksin hidup dan berpotensi menimbulkan aborsi bila diberikan pada
ternak bunting (Kurniawati dkk., 2012)
ETIOLOGI
Brucellosis merupakan penyakit bakterial yang bersifat zoonosis,
menginfeksi sapi, kerbau, kambing, domba, dan babi. Brucellosis disebabkan oleh
bakteri genus Brucella. Brucella merupakan bakteri gram negatif berbentuk
batang dengan panjang 0,5 2,0 mikron dan lebar 0,4 0,8 mikron. Bakteri ini
non-motil, tidak berspora, dan bersifat aerob. Brucella merupakan parasit
intraseluler fakultatif. Pada lingkungan yang hangat dan lembab, seperti di
Indonesia,
bakteri
Brucella
dapat
bertahan
hingga
berbulan-bulan
di
EPIDEMIOLOGI
Brucellosis tersebar secara luas di seluruh dunia. Sebagian besar negara
maju sudah berhasil mengendalikan penyakit pada ternak dan hewan kesayangan,
namun masih kesulitan mengeradikasi brucellosis pada populasi satwa liar.
Brucellosis pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1953. Sejak itu
reaktor brucellosis telah ditemukan secara luas di pulau-pulau besar di Indonesia,
seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Pulau Timor, kecuali Bali.
Pada tahun 2002, pulau Bali dinyatakan bebas historis penyakit brucellosis
melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/TN.540/7/2002, sementara
pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dinyatakan bebas penyakit
brucellosis melalui program pemberantasan dalam Keputusan Menteri Pertanian
No. 444/Kpts/TN.540/7/2002. Di tahun 2009, Provinsi Sumatera Barat, Riau,
Jambi, dan Kepulauan Riau dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi
dan kerbau melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009
dan pulau Kalimantan juga dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi
dan kerbau melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009.
(Departemen Pertanian, 2000)
GEJALA KLINIS
Gejala klinis pada sapi betina ditandai dengan adanya
aborsi. Infeksi juga dapat menyebabkan kelahiran pedet yang
lemah, retensi plasenta, dan penurunan produksi susu. Pada sapi
jantan, infeksi dapat terjadi pada vesikula, ampula, testis dan
epididimis. Testis juga dapat mengalami abses. Infeksi yang
menahun dapat mengakibatkan terjadinya arthritis (Sudibyo,
2011)
Infeksi brucellosis pada kambing dan infeksi B. melitensis
pada domba menyebabkan gejala yang mirip dengan sapi.
sterilitas
sementara
atau
permanen,
orchitis,
PATOLOGI ANATOMI
Pada sapi yang mengalami aborsi, fetus dapat tampak normal, mengalami
autolisis, atau oedema subkutan dan cairan serosanguineus dalam rongga
tubuhnya. Limpa dan/atau hati dapat mengalami pembesaran dan pada paru-paru
dapat ditemukan pneumonia dan pleuritis fibrous. Kejadian aborsi fetus pada
betina terinfeksi umumnya disertai dengan plasentitis, dimana kotiledon dapat
tampak merah, kuning, normal, atau nekrotik. Daerah interkotiledon dapat tampak
basah
dengan
penebalan
fokal.
Dapat
juga
ditemukan
eksudat
pada
PENGUJIAN LABORATORIUM
Pada sapi bakteri dapat diidentifikasi dengan modified acid-fast staining
atau metode polymerase chain reaction (PCR). Selain itu dapat dilakukan kultur
bakteri menggunakan media kultur biasa atau selektif. Uji-uji lain yang dapat
digunakan adalah uji ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay), complement
fixation, rivanol precipitiation, and acidified antigen procedure. Uji antigen
Brucella seperti rose bengal test dan buffered plate agglutination test, dan
complement fixation test, ELISA, atau fluorescence polarization assay adalah
beberapa uji yang cocok untuk screening penyakit pada kelompok ternak dan
hewan individual. Uji indirect ELISA atau milk ring test cocok untuk screening
dan memonitor brucellosis pada sapi perah, tetapi milk ring test kurang baik
hasilnya bila diaplikasikan pada kawanan ternak yang besar. Uji immunologis
lain, yaitu brucellin skin test,dapat digunakan untuk screening atau untuk
mengkonfirmasi reaktor serologis positif dalam kelompok ternak yang tidak
divaksinasi (Bundle et al., 1989)
Bakteri pada domba dan kambing dapat diidentifikasi dengan modified
acid-fast staining atau metode polymerase chain reaction (PCR). Selain itu,
PENGENDALIAN
Deteksi penyakit dan pencegahan sangat penting karena tidak ada
pengobatan efektif yang tersedia saat ini. Eradikasi sangat tergantung pada
pengujian dan pemusnahan reaktor. Penyakit ini telah dieradikasi di banyak
daerah melalui metode ini. Ternak harus diuji secara rutin hingga diperoleh hasil
negatif 2 atau 3 kali berturut-turut. Kelompok yang bebas penyakit harus
dilindungi. Risiko terbesar berasal dari hewan baru. Hewan baru sebaiknya pedet
yang sudah divaksinasi atau sapi dara. Jika ada penambahan sapi bunting atau
yang lainnya maka sapi-sapi tersebut harus berasal dari daerah yang bebas
brucellosis dan harus seronegatif. Sapi baru sebaiknya diisolasi minimal 30 hari
dan diuji sebelum digabungkan ke ternak yang lain (Departemen Pertanian, 2000)
Pada domba dan kambing kejadian penyakit dan penyebarannya dapat
dikurangi melalui pemeriksaan rutin pejantan sebelum memasuki musim kawin
dan pengafkiran pejantan yang memiliki kelainan pada alat reproduksinya. Karena
kerentanan bertambah seiring dengan bertambahnya umur, maka dianjurkan untuk
memelihara pejantan yang muda. Selain itu pejantan yang diketahui bebas
penyakit sebaiknya diisolasi dan dipisahkan dari pejantan tua yang mungkin
sudah terinfeksi. Karena infeksi pada betina hampir seluruhnya terjadi akibat
perkawinan dengan jantan terinfeksi, maka pelaksanaan program vaksinasi pada
jantan dapat secara efektif mengatasi keadaan ini. Penyakit ini dapat dieliminasi
dengan
mengafkir
kelompok
ternak.
Penggunaan
chlortetracycline
dan
streptomycin secara bersamaan dapat menyembuhkan penyakit ini, tetapi hal ini
tidak ekonomis dari segi biaya kecuali pada domba dengan nilai ekonomi tinggi.
Selain itu, meskipun infeksinya dapat dihilangkan, namun infertilitas akibat
penyakit mungkin takkan hilang (Putra, 2005)
DAFTAR PUSTAKA
Sauret, J.M., and N. Vilissova. 2002. Human Brucellosis. Journal of the American
Board of Family Medicine 15:401.