Anda di halaman 1dari 6

Penyakit Zoonosis Fascioliasis pada Sapi Potong di Indonesia

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Populasi ternak sapi potong di Indonesia masih belum mampu mengimbangi kebutuhan
akan daging penduduk di Indonesia. Hal ini diimbangi dengan semakin meningkatnya
permintaan akan kebutuhan daging sapi dimasyarakat seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk Indonesia yang semakin cepat, serta kesadaran masyarakat Indonesia terhadap
pentingnya protein hewani yang semakin meningkat. Namun, pengembangan peternakan sapi
potong saat ini masih dihadapkan dengan berbagai masalah yang harus diatasi agar diperoleh
keuntungan yang maksimal. Salah satu hambatan terbesar dalam pengembangan peternakan
di Indonesia adalah karena persoalan penyakit yang merupakan faktor yang berpengaruh
langsung terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang umum ditemukan pada ternak
sapi adalah fascioliasis, pemeriksaan hewan kurban yang dilakukan tahun 2015 di Surabaya
menunjukkan prevalensi kasus fascioliasis sebesar 28,1% pada sapi, dan 10,8% pada
kambing (Wibisono dan Solfaine, 2015, dalam Desty Apritya, dkk, 2021). Sedangkan di kota
Batu, prevalensi fasciolosis sebesar 22.97% pada sapi, 1,65% pada kambing dan 4,83% pada
domba (Fatmawati dan Herawati, 2018, dalam Desty Apritya, dkk, 2021). Tingkat kerentanan
Fasciola sp pada sapi dan kerbau di kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar ditemukan
pada kerbau umur 0-6 bulan : 80%, > -12 bulan : 96%, > 1 tahun : 100% dan pada sapi umur
0-6 bulan : 78%, >-12 bulan : 100% dan > 1 tahun : 94%.(Hambal et al., 2013, dalam
Samarang, dkk, 2020) Pada penelitian lain di Kabupaten Bone Kecamatan Libureng Sulawesi
Selatan menunjukkan hasil bahwa 3% pada sapi dewasa terinfeksi Fasciola sp dengan faktor
yang berpengaruh adalah umur, sistem pemeliharaan dan musim.(Anggriana, 2014, dalam
Samarang, dkk, 2020).

Fasciolosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing Fasciola sp. Penyakit ini
tergolong penyakit zoonosis dan sering menyerang pada hewan ruminansia dan beberapa
satwa langka, melalui berbagai kontaminasi (Keyyu et al., 2006, dalam Edi Purwono, 2019).
Di Indonesia, kerugian secara ekonomi yang diakibatkan oleh Fasciolosis mencapai Rp513,6
miliar/tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan bobot badan, hilangnya karkas
atau hati karena mengalami sirosis dan kanker (Anonim, 2014, dalam Edi Purwono, 2019).
Dengan adanya kerugian-kerugian tersebut, pada makalah ini akan dibahas mengenai
gambaran fascioliasis pada sapi potong, gejala klinis, diagnosis, pencegahan, serta
pengendalian sehingga dapat dijadikan acuan untuk membuat rencana penanganan yang lebih
baik dan berkelanjutan.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fascioliasis

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Cacing Fasciola diklasifikasikan dalam filum Platyhelminthes, kelas Trematoda, ordo


Digenia, famili Fasciolidae, genus Fasciola, spesies Fasciola hepatica serta Fasciola
gigantica. Cacing Fasciola sp ini memeiliki warna coklat keabuan dengan spesies Fasciola
gigantica warnanya sedikit lebih terang (transparan). Berbentuk seperti daun dengan bagian
anterior lebih lebar daripada bagian posterior. Tubuh bagian luar daric acing ini dipenuhi
dengan duri=duri halus. Fasciola sp mempunyai dua alat penghisap, yaitu alat hisap mulut
(oral sucker) dan alat hisap perut (ventral sucker). Ukuran antara F.hepatica dan F.gigantica
memilki sdikit perbedaan. F.hepatica berukuran Panjang 20-30 mm dan lebar 13 mm,
seddangkan F.gigfantica berukuran Panjang 25-75 mm dengan lebar 12 mm. Telur pada
cacing ini mempunyai satu buah operculum di salah satu ujungya. Ukuran telur dari dua
spesies cacing ini juga berbeda pada F. hepatica telur berukuran 130-150x65-90 µm,
sedangkan telur pada F.gigantica berukuran 150-190x70-140 µm. Cacing ini bersifat
hemafrodit , yaitu pada satu individu dapat ditemukan du jenis alat kelamin jantan serta alat
kelamin betina. Alat kelaimin jantan berupa dua buah testis yang terletak pada tengah-tengah
garis median tubuh. Alat kelain betina terdiri atas ovarium yang berjumlah 1 buah,
bercabang, serta terlatak pada sebelah kanan garis median agak sebelah atas dari posisi testis.

2.1.2 Siklus Hidup

Fasciola sp mengalami berbagai fase dalam siklus hidup, yaitu telur, mirasidium, sporokista,
redia, serkaria, metaserkaria, dan dewasa. Telur yang berda pada hati penderita akan keluar
bersama feses inang definitive. Telur akan menetas pada suhu 26 o C dan kelembapan
optimum dalm waktu 10-12 hari yang akan menghasilkan larva stadium I (mirasidium).
Mirasidium kemudain akan berenang mencari inang perantara berupa siput air (Lymnea
javanica) dan kemudian akan menembus tubuh siput. Jika mirasidium tidak dapat menembus
tubuh siput, maka akan mati setelah beberapa jam. Dengan menggunakan enzim proteolitik
mirasidium menembus jaringan tubuh siput, selanjutnya akan mberkembang menjadi
sporokista. Setiap sporokista akan membentuk sekitar 5-8 redia , yang kemudain akan
membentuk gumpalaan menjadi redia I. Redia 1 selanjutnya akan menjadi serkaria. Bentuk
dari serkaria ini menyerupai cacing dewasa dan akan keluar dari tibuh siput lalu membentuk
ekor menjadi metaserkaria. Metaserkaria berenang di dalam air yang nantinya kan menempel
pada rumput, tepi kolam atau sungai. Infesksi inang definitf akan terjadi jika memakan
rumput atau meminum air yang mengandung serkaria, di dalam duodenum metaserkaria
akanberkembang menjadi cacin

2.2 Gejala Klinis

Infeksi akut dapat menimbulkan kematian tanpa disertai adanya gejala klinis yang jelas,
Sebagian besar kejadian akut ini dialami oleh kambing, domba, dan anak sapi. Kejadian aku
yang terjadi sering ddikuti oleh infeksi sekunder dari Clostridium novyi yang dapat
mengakibatkan timbulnya black disease. Pada kejadian klinis seringkali terlihat gejala-gejala
seperti, hewan lemah, nafsu makan menurun, tampak pucat, edema pada mukosa dan
conjunctiva, serta akan tampak nyeri bila ditekan pada derah hepar. Kematian cepat dapat
terjadi dengan diikuti timbulnya edkdsudat purulent yang bercampur darah dari annus dan
hidung.

Pada kejadian kronis, akan tampak edema pada sub mandibula (bottle jaw). Anemia, hewan
terlihat cepat Lelah, icterus, serta diare. Kejadian kronis ini akan berlangsung lama, kematain
seringkali terjadi dalam waktu 3 bulan setelah adanya infeksi, jika hewan tetap hidup maka
hewan akan tampak kurus dalam jangka waktu yang lama, kualitas serta kuantitas produk dari
ternak akan turn. Selain itu dapat juga ditemukan hydrothorax, hydropericard, serta gejala
ascites.

2.4 Diagnosis

Diagnose awal yang dapat dilakukan adalah dengan mengamati gejala klinis yang
ditimbulkan yang diperkuat dengan pemeriksaan feses secara mikroskopis untuk melihat
adanya telur Fasciola sp. Diagnosis dianggap positif bila dalam feses ditemukan adanya telur
Fasciola sp. Selain cara di atas diagnosa dapt dilakukan dengan Antigen Diagnostic Fasciola,
hasil dianggap positif bila garis tengah penebalan kulit sama atau lebih besar dari 15 cm.
kemudain dapat juga dilakukan diagnosi pascamati yang dilakukan denga cara pemeriksaan
pada organ hati tersebut apakah ditemukan Fasciola sp. Selain itu telah dilakukan diagnosis
dengan Teknik ELISA untuk mendeteksi Cathepsin L yang merupakan hasil ekskresi
metabolic cacing Fasciola sp yang dikeluarkan Bersama feses inag definitive, hasil diagnosis
ini daot diperolah dalam waktu 6 minggu pasca infeksi

2.5 Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan fasciolosis cukup sulit dilakukan, namun ada baberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk memminimalisisr adanya kejadian penyakit ini, seperti pemeriksaan feses
rutin untuk menemukan telur cacaing dapat dilakukan setiap 2-3 bulan sekali, melakukan
pencegahan masyknya siput air di wilayah peternakan dengan cara pembuatan selokan yang
diberi obat antispetik (molluscida). Selain itu dapat juga dilakukan pemberantasan inag
perantara pada padang penggembalaan dengan pemeberian Natrium Pentachlorpenate
sebanyak 9 kg yang dilarutkan dalam 3600 liter untuk per hectare. Obat antisiput dianjurkan
diaplikasikan ketika kondisi padang penggembalaan berair dan selama 3-5 hari padang
penggebalaan tidak digunakan terlebih dahulu.

Pengobatan pada ternak sapi yang terserang fasciolosis dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut.

1. Carbon tetrachloride

Diberikan pada ternak dengan dosis 1-2 ml/50 kg berat badan, efektif untuk cacing hati
berumur 8-10 minggu, namun tidak efektif pada cacing berumur 5-6 minggu. Pemberian
dilakukan dengan cara per oral, pemberian murni secara parenteral dapat menimbulkan
nekrosis otot dan ulcera subkutan, utnuk mencegah efek samping ini dapat ditambahkan
minyak nabati dengan dosis 0,2 ml/10 kg berat badan

2. Mineral oil, dapat diberikan dengan dosis 1-2 ml/ 10 kg berat badan
3. Hexachlorophene

Diberikan secara per oral, dengan dosis 15 mg/kg berat badan. Pengobatan ini efektif untuk
cvaccing muda berumur 4 minggu

4. Dovenix dengan dosis 7 ml, untuk sapi dewasa diberikan secara subkutan
5. Triclabendazol dengan dosis 5 mg/kg berat badan diberikan secara intramuskuler
BAB 3. KESIMPULAN

Fasciolosis merupakan penyakit yang sering ditemukan pada sapi potong yang
disebabkan oleh manifestasi cacing Fasciola sp. Penaykit ini dapat ditularkan melalui feses
penderita yang mengandung telur cacing Fasciola dengan iang perantaranya adalh siput.
Gejala klinis yang terlihat dapat berupa menurunya nafsu makan, edema,anemia, icterus,
hingga kematian. Diagnosa pada fasciolosis dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fese,
Antigen Diagnostic Fasciola, serta uji bioomolekuler seperti ELISA. Penyakit ini dapat
dicegah dengan peberantasan iang perantara di sekitar peternakan. Terapi dapat dilakukan
dengan pemberian obat-obatan seperti Crabon tetrachloride, minral oil, hexachlorophene,
dovenik, serta triclabendazole.

BAB 4. DAFTAR PUSTAKA

Wariata, W., Sriasih, M., Rosyidi, A., Ali, M., & Depamede, S. N. (2019). Infeksi dan
Tingkat Penyebaran Parasit Zoonosis Cacing Hati (Fasciola sp.) Pada Sapi Di Kabupaten
Lombok Tengah dan Lombok Timur. Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Indonesia
(JITPI), Indonesian Journal of Animal Science and Technology, 5(2), 86-92.

Damayanti, L. P. E., Almet, J., & Detha, A. I. R. (2019). Deteksi dan prevalensi
fasciolosis pada sapi bali di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba Kota Kupang. Jurnal
Veteriner Nusantara, 2(1), 13-18.

Apritya, D., Yanestria, S. M., & Hermawan, I. P. (2021). Deteksi Kasus Fasciolosis
dan Eurytrematosis pada Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem Hewan Qurban Saat
Masa Pandemi Covid 19 di Surabaya. Jurnal Ilmiah Fillia Cendekia, 6(1), 41-45.

Purwaningsih, P., Noviyanti, N., & Putra, R. P. (2017). Distribusi dan Faktor Risiko
Fasciolosis pada Sapi Bali di Distrik Prafi, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua
Barat. Acta Veterinaria Indonesiana, 5(2), 120-126.

Samarang, S., Syahnuddin, M., Widjaja, J., Sumolang, P. P. F., & Lobo, L. T. (2020).
Fasciolosis Pada Sapi Sebagai Risiko Zoonosis Di Desa Maranatha, Kabupaten Sigi Sulawesi
Tengah. In Seminar Nasional Biologi (Vol. 1, No. 1).
Purwono, E. (2019). Gambaran Kasus Fasciolosis (Cacing Hati) Pada Sapi Bali
Berdasarkan Data Hasil Pemeriksaan Hewan Qurban di Kabupaten Manokwari Tahun
2018. Jurnal Triton, 10(1), 69-74.

Situmorang, T. M. (2021). Prevalensi Fasciolosis Pada Sapi Potong.

Subekti, S., Mumpuni, S., & dan Kusnoto, S. K. (2011). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Helminth Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai