Anda di halaman 1dari 8

4.

VORTICELLA SP

Klasifikasi Vorticella sp menurut Koptal (1980) adalah sebagai berikut :

Phylum : Protozoa

Class : Ciliata

Order : Peritrichida

Family : Vorticellidae

Genus : Vorticella

Spesies : Vorticella sp

Vorticella sp. memiliki ukuran tubuh 95-110 x 55-65 mikrometer dengan hidup berkoloni,
satu koloni daat terdiri sampai 30 zooid. Menepel pada inangnya dengan myoneme, tangki pipih
dan silindris, peristome besar bersilia, makronukleus dan mikronukleus. Zooid berbentuk bulat
dengan bagian terluas terdapat pada tubuh bagian tengah. Memiliki vakuola kntraktil dan
vakuola makanan yang terletak di bagian dorsal (Sun et al, 2006).

A. Siklus Hidup
Parasit ini biasa hidup menempel pada suatu tempat dan jarang sekali terlihat
hidup bebas. Ketika memsuki masa reproduksi pembelahan, Vorticella akan membagi
diri pada sepanjang garis axis longitudinal dalam suatu proses yang dikenal sebagai
budding. Ketika parasit ini tngah membelah, salah satu belahannya akan tetap memiliki
myoneme dan bagian yang lainnya akan berenang bebas. Fungsi dari silia yang berda di
bagian atas adalah untuk mengambil makanan masuk ke dalam corongnya (Aziz dkk,
2013).
Parasit baru hasil pembelahan akan memisahkan diri dari induknya kemudian
berenang lolos, sampai kemudian menemukan tempat baru untuk menempel. Vorticella
sp. juga dapat bereproduksi secara seksual (Webb, 2003 dalam Aziz dkk, 2013).
B. Gejala Klinis
Gejala klinis parasit ini pada kepiting bakau adalah dapat mengakibatkan
menurunnya nafsu makan. Jika jumlahnya tinggi dapat mengganggu pergerakan kepiting,
molting larva, stres bahkan kematian (Jithendran et al, 2010).

C. Patogenesis

Secara Biologis, parasit Epistylis sp, Zoothamnium sp, Vorticella sp, dan
Trichodina sp hadir disebabkan oleh faktor molting pada udang. Pada saat molting, udang
tak memiliki antibody untuk melindungi bagian tubuhnya yang lunak. Udang putih akan
mengalami suatu tahap pergantian kulit atau molting secara periodik. Molting merupakan
proses pergantian cangkang saat udang dalam masa pertumbuhan. Pada fase ini, ukuran
daging udang bertambah besar sementara cangkang luar tidak bertambah besar, sehingga
untuk penyesuaiannya udang akan melepaskan cangkang lama dan membentuk kembali
cangkang baru dengan bantuan kalsium (Gambar 2).

Parasit pada udang seperti Epistylis sp, Zoothamnium sp, dan Vorticella sp, merupakan
parasit yang sering muncul dan menempel pada eksoskleton pada udang. Pada fase molting,
khitin lama akan mengelupas dari tubuh udang Vannamei. Parasit akan pindah dari kulit lama
yang mengelupas dan menempel pada kulit udang yang baru untuk memperoleh makanan dari
Inangnya yaitu udang Vannamei.

Faktor-faktor lingkungan yang dapat menimbulkan penyakit parasit

Kelompok parasit Epistylis sp, Zoothamnium sp, Vorticella sp, dan Trichodina sp dapat
muncul pada kondisi udang yang stres, dimana dipengaruhi perubahan kondisi kualitas air yang
kurang bersih dan sehat, sekitar tambak yang banyak mengandung sisa-sisa pakan yang
berlebihan, dan adanya kandungan senyawa organik yang dapat menurunkan oksigen terlarut
pada budidaya udang vannamei. Keberadaan sianida dapat mengakibatkan ketidak seimbangan
di lingkungan sekitarnya. Air sungai yang tercemar limbah tapioka, dapat menyebabkan
timbulnya penyakit berupa parasit bagi organiseme biotik yang ada disekitarnya. Jika kandungan
sianida melebihi batas ketentuan baku mutu yang ditentukan oleh pemerintah, maka organisme
biotik yang ada di sekitarnya akan mati.

D. Teknik diagnosa
Beberapa langkah diagnosa terhadap perubahan abnormalitas pada ikan yang
terinfeksi suatu parasit dapat dilakukan dengan berbagai pengamatan dan pengukuran
sebagai berikut :
1. Pengamatan Mean Time to Death (MTD)
Pengamatan Mean Time to Death (MTD) dilakukan untuk mengetahui rerata
waktu kematian ikan uji yang terinfeksi S. agalactiae, yang dihitung menurut Kamiso
(2001) dalam Murdjani (2002) dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

MTD = Mean Time to Death (rerata waktu kematian)

A = waktu kematian (jam)

B = jumlah ikan mati setiap waktu pengamatan


Pengamatan MTD ini dilakukan untuk mengetahui waktu rata-rata kejadian suatu
penyakit menyebabkan kematian pada inang. Ini membantu dalam penanganan pada saat terjadi
wabah. Patogen yang bersifat akut biasanya menyebabkan kematian kurang dari 24 jam pasca
infeksi dan biasanya ikan-ikan terinfeksi patogen ini akan mengalami kematian yang cepat dan
dalam jumlah yang banyak sehingga pencegahan lebih tepat dilakukan dengan melakukan
pencegahan dari sistem budidayanya atau bila perlu diberikan imonostimulan dan atau vaksinasi.
Contoh penyakit yang bersifat akut adalah bakteri Vibrio harvey pada udang, bakteri Aeromonas
salmonicida pada ikan mas dan koi herves virus (KHV) pada ikan mas.

Sedangkan patogen yang waktu MTD-nya lebih dari 24 jam biasanya termasuk dalam
patogen akut, yaitu waktu kematian terjadi dalam waktu yang lama, dan yang lebih menonjol
dari tanda-tanda serangan penyakit ini adalah adanya perubahan pada gejala klinis baik tingkah
laku, patologi anatomi organ luar maupun dalam ikan. Serangan bakteri Streptococcus agalactiae
dan S. iniae lebih bersifat kronis karena kematian biasanya terjadi setelah 96 jam pasca injeksi.

2. Pengamatan Gambaran Darah Pengamatan gambaran darah diawali dengan pengambilan


darah ikan dengan jarum suntik dari vena caudalis. Pengukuran parameter gambaran
darah antara lain diferensial leukosit, total leukosit serta total eritrosit dilakukan
mengikuti prosedur Blaxhall dan Daisley (1973). Secara terperinci, pengukuran
gambaran darah ikan dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
 Kadar Hematokrit
 Total Leukosit
 Diferensial Leukosit
 Total Eritrosit
3. Pengukuran Indeks Fagositik Pengukuran indeks fagositik dilakukan dengan metode
Anderson dan Siwicki (1995) yakni mengambil sebanyak 50 μl darah lalu dimasukkan
dalam Effendorf, lalu ditambahkan 50 μl suspensi Staphylococcus aerus dalam PBS (107
sel/ml), lalu dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit. Membuat
sediaan ulas dan dikeringudarakan. Dilanjutkan dengan mengfiksasi dengan metanol
selama 5 menit dan dikeringkan, diwarnai dengan cara merendam kedalam pewarna
Giemsa selama 15 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tissue,
selanjutnya diamati dan dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari
100 sel fagosit teramati.
4. Pengukuran Titer Antibodi Pengukuran titer antibodi dengan uji mikrotiter aglutinasi.
Secara terperinci prosedur pengukurannya terdiri dari dua tahap yaitu :
 Persiapan Serum
 . Pengukuran titer antibodi
5. Pengukuran Patologi Klinik Darah Kadar hemoglobin diukur dengan metode Sahli
menggunakan Sahlinometer kadar hematokrit diukur dengan metode Anderson dan kadar
glukosa darah juga diamati dalam setiap perlakuan.
6. Pengamatan Histopatologi Ikan Pengamatan histopatologi ikan dilakukan untuk
mengetahui kerusakan jaringan ikan yang terinfeksi patogen infeksius maupun yang non
infeksius lainnya. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap ikan sakit atau yang diduga
sakit dan yang sudah mati. Pemeriksaan kondisi hewan di tempat pemeliharaan dan
lingkungan sangat membantu dalam menentukkan diagnosa nanti. Dalam pemeriksaan
awal sebaiknya dilihat bagaimana lingkungan sekitar, dan kebiasaan hidup hewan.

E. Pengobatan

Setelah langkah pencegahan dilakukan dan ternyata penyakit masih menginfeksi pula pada
udang peliharaan, maka untuk menyelamatkan kegiatan produksi langkah pengobatan menjadi
kewajiban. Pengobatan yang dilakukan tentunya sangat dipengaruhi oleh penyebab penyakit
sehingga dampaknya akan nyata (efektif). Dari rangkaian kegiatan penelitian telah dilaporkan
berbagai metode pengobatan atas gejala penyakit pada udang. Penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus belum diketemukan obatnya, sedangkan penyakit yang disebabkan oleh infeksi
bakteri obat yang biasa digunakan adalah dengan pemberian antibiotik dan vitamin. Demikian
juga akan berbeda untuk penyakit karena jamur (Thye, 2005).

F. Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan dan pengendalian dilakukan terhadap kepiting bakau yaitu seperti yang diterapkan
pada parasit Epistylus yaitu :
 Personal higenis : yaitu melakukan sanitasi terhadap personel pelaksana
kegiatan produksi benih seperti mencuci tangan dengan sabun, mencuci
sepatu dalam larutan klorin 200 mg/L atau larutan lysol 3%, menghindari
penggunaan pakian yang kotor dan menjaga area hatcheri dari kegiatan
merokok.

 Water treatment : air yang digunakan untuk pemeliharaan udang harus


dipastikan terbebas dari bahan polutan seperti pestisida, detergen, maupun
limbah lainnya. Kemudian air terlebih dahulu diendapkan untuk
selanjutnya disterilisasi baik melalui chlorinasi dengan larutan klorin 30%
selama 24 jam atau penyinaran ultraviolet. Pergantian air juga harus
senantiasadilakukan selama pemeliharaan untuk mengurangi muatan
senyawa racun seperti amoniak dan nitrit. Monotoring air pemeliharaan
hendaklah dilakukan secara teratur setiap hari untuk memastikan bahwa
kualitas air media pemeliharaan tidak beresiko terhadap kahidupan larva
atau udang pemeliharaan.

 Peralatan produksi : sebaiknya setiap tangki pemeliharaan larva atau benih


dilengkapi dengan peralatan tersendiri seperti seser, beker glass, selang
sipon dan termometer sehinggan dapat mengantisipasi terjadinya
penularan penyakit dari tangki yang bermasalah. Peralatan yang
digunakan sebulumnya harus direndam dalam larutan desinfektan seperti
larutan klorin dalam dosis 400 mg/l . filter dan tangki yang digunakan juga
harus senantiasa dicuci dan disterilkan setelah masa pemeliharaan. Pola
kerja ini diharapkan dapat memutuskan rantai kehidupan agen penyakit.

 Pakan yang digunakan khusnya pada pemeliharaan larva haruslah pakan


yang baru. Pakan buatan juga sebaiknya disimpan di freezer untuk
mencegah timbuhnya jamur dan bakteri.

 Udang atau larva : induk udang yang akan ditetaskan hendaknya


dipastikan sehat dengan cirri kerapas berwarna cerah dan anggota
tubuhnya lengkap. Larva yang akan dipelihara terlebih dahulu disterilkan
dengan merendam dalam larutan formalin 200 mg/L selama 30 detik,
proses ini selain mematikan bakteri, jamur, dan protozoa juga menyeleksi
larva yang benar-benar sehat yang akan dipelihara dalam dalam kegiatan
pembenihan. Pengamatan larva secara mikroskopik sebaiknya dilakukan
setiap hari untuk memastikan larva dalam kondisi sehat sehingga dapat
diambil tindakan secepat mungkin apabila terjadi gejala-gejala yang
mengarah pada akan timbulnya serangan penyakit. Penanganan udang atau
larva secara hati-hati juga angat penting untuk mencegah stress dan
rusaknya anggota tubuh udang.

Pada kegiatan pembesaran, langkah pencegahan yang harus dilakukan untuk mengantisipasi
munculnya penyakit adalah dengan mengolah dasar kolam secara baik. Pengolahan meliputi
pembajakan (pembalikan) dasar kolam, pengapuran, dan pengeringan. Untuk menanggulangi ma
salah menurunnya kualitas air selama pemeliharaan yang dapat menyebabkan stress pada udang
adalah melalui penerapan managemen pemberian pakan yang baik dan pergantian air kolam
secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz., H. Iromo., Darto. 2013. Identifikasi Ektoparasit pada Udang Windu


(PenaeusMonodon Fabricus) di Tambak Tradisional Kota Tarakan.FPIK Universitas
Borneo Tarakan. Artikel Ilmiah.hal 29-31
Hardi, E. H., 2016. Parasit Biota Akuatik dan Penanggulangan. Mulawarman University
Press. Samarinda
Jithendran, K. P., P. Poornima. C. P Balasubramanian. and S. Kulasekarapadian. 2010.
Diseases of mud crabs (Scylla sp.): an overview. Central Institute of Brackishwater
Aquaculture, 75 Santhome High Road. Indian J. Fish., 57(3): 55-63
Kotpal, L. R. 1980. Protozoa. Meerut College, 250-022. India. hal 224-254.
Sun, P., W. Song., J. Clamp. and A. S. A. Khaled. 2006. Taxonomic Characterization of
Vorticella fusca Precht, 1935 and Vorticella parapulche lla n. sp., Two Marine Peritrichs
(Ciliophora, Oligohym enophorea) from China. Laboratory of Protozoology, KLM,
Ocean University of China, Qingdao 266003, China.Journal internasional. pp 348-350

Anda mungkin juga menyukai