Anda di halaman 1dari 9

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biologi Ikan


Kepiting bakau merupakan organisme yang hidup pada habitat lumpur di
hutan bakau sehingga kepiting ini sering disebut kepiting lumpur (Fujaya, 2012).
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan bernilai ekonomis
penting, banyak dijumpai di perairan indonesia terutama yang ditumbuhi tanaman
bakau (mangrove) (Rusdi dan Karim 2006). Komoditas kepiting bakau di
indonesia diperoleh dari penangkapan alam di perairan pesisir, khususnya di area
mangrove atau estuaria dan dari hasil budidaya ditambak air payau (Cholik 1999).
Jenis biota ini telah dibudidayakan secara komersial di beberapa negara tropis
(Hamasaki et al., 2002).

2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi kepiting bakau menurut Motoh (1979) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scyla paramamosain

Gambar 1. Kepiting Bakau


2.1.2 Morfologi
Kepiting bakau ditutupi oleh karapas yang terdiri atas kitin bercampur
bahan kapur yang telah mengeras. Karapas berbentuk bulat pipih, dilengkapi
dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan. Empat duri yang lain terdapat
diantara kedua matanya. Mempunyai tiga pasang kaki jalan dan sepasang kaki
renang berbentuk bulat telur dan pipih seperti alat pendayung dan capit yang
berfungsi untuk memegang (Karim 1998). Kepiting jantan memilki sepasang capit
lebih panjang dari karapaksnya sedangkan betina relatif lebih pendek. Kepiting
bakau memiliki lebar karapas yang lebih besar dari pada panjang tubuhnya, lebar
karapasnya kurang lebih dua pertiga dari panjang tubuhnya dan permukaan
karapsnya halus.
Jenis kelamin kepiting jantan dan betina dapat diamati dari bentuk luar
tubuhnya. Pada kepiting jantan organ kelamin menempel pada bagian perut yang
membentuk segitiga meruncing, dan kepiting betina organ kelamin cenderung
berbentuk segitiga melebar dan bagian depan tumpul. Selain itu, untuk
membedakan kepiting jantan dan betina dapat dibedakan dengan melihat ruas-ruas
abdomennya. Pada kepiting jantan ruas abdomen sempit sedangkan pada kepiting
betina ruas abdomen lebar (Moosa et al., 1985 dalam Tuhuteru 2004).

2.1.3 Habitat
Kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan dengan
kisaran salinitas yang luas, (Afrianto dan Liviawati, 1993). Karena itu, kepiting-
kepiting muda banyak ditemukan di pesisir pantai atau di muara sungai yang
memiliki salinitas relatif rendah, bahkan di sungai yang jauh dari laut dengan
salinitas sekitar 5 ppt. (Fujaya, 2012). Kepiting bakau dapat tumbuh cepat pada
perairan dengan kisaran suhu 23 - 32oC (Baliao 1983 dalam Siahainenia 2000).
Kisaran pH yang cukup untuk mendukung kehidupan kepiting bakau yang
dipelihara yaitu 7,9- 8,3 (Gunarto et al. dalam Hutasoit 1991).

2.1.4 Siklus Hidup


Kepiting bakau merupakan organisme dioecious artinya mempunyai jenis
kelamin jantan dan betina pada masing-masing individu. (Kasry 1984) kepiting
bakau yang siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak,
selanjutnya secara perlahan akan beruaya ke laut untuk melakukan pemijahan
(Kanna.2002). Perkembangan kepiting bakau terdiri dari beberapa fase mulai dari
telur hingga mencapai ukuran dewasa mengalami beberapa kali perubahan
(metamorfosis), yaitu dimulai dari zoea yang terdiri atas 5 tingkatan (zoea 1-5),
megalopa, crablet, dan kepiting dewasa. Larva kepiting bakau stadia zoea bersifat
planktonik, namun setelah mencapai stadia megalopa sampai dewasa bersifat
bentik dan suka membenamkan diri ke dalam pasir atau lumpur (Fujaya 2012).

2.1.5 Kebiasaan Makan


Kepiting bakau merupakan organisme pemakan segala, pemakan bangkai
(Omnivorous-scavenger) dan pemakan sesama jenis (Cannibal) (Moosa dkk.,
1985 dalam Rakhmadevi 2004). Selain itu, kepiting bakau merupakan hewan
Nocturnal yang mencari makan dan keluar dari tempat persembunyian beberapa
saa setelah matahari terbenam, ketika matahari terbit kepiting bakau akan kembali
membenamkan diri (Soim 1999).

2.2 Jenis Parasit


Menurut Jithendran dkk., (2009) biasanya kepiting bakau terserang parasit
dari protozoa seperti Zoothamnium sp., Epistylis sp., dan Vorticella sp. dan
arthropoda seperti Octolasmis. Parasit dari kelompok protozoa umumnya
dijumpai pada kondisi tambak yang mengandung sisa bahan organik dan kualitas
air yang buruk (Bastiawan dkk., 1991). Penelitian tentang ektoparasit pada
kepiting bakau yang dilakukan fitriyanti, dkk (2014) yang memperoleh data
bahwa ektoparasit yang menyerang kepiting bakau adalah Octolasmisangulata,
Octolasmis, larva cypryid Octolasmis, Vorticella, dan lan-lain. Penelitian juga
dilakukan oleh Yulanda, dkk (2017) tentang intensitas dan prevalensi ektoparasit
pada kepiting bakau di desa lubuk dammar, kabupaten aceh tamiang. Pada
penelitiaan ini ditemukan empat ektoparasit yang menginfeksi kepiting bakau
yaitu Epistylis sp, Zootham-nium sp, Octolasmis sp, dan vortivella sp.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar ditemukan 4 spesies
ektoparasit dari kelompok protozoa dan Arthopoda. Kelompok Arthopoda yaitu
Octolasmis sp dan kelompok prozoa yaitu Vorticella, Zoothamnium, dan Epistylis
sp. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Irvansyah, dkk (2012) yang
menyebutkan bahwa jenis ektoparasit yang sering menyerang kepiting bakau
adalah Vorticella, Zoothamnium, Epistylis sp dan Octolasmis sp. Berdasarkan
hasil pengamatan. Parasit Octolasmis sp. hanya menyerang bagian insang saja, hal
ini sejalan dengan pendapat Menurut Irvansyah , dkk (2012) bahwa Octolasmis
sp. hanya ditemukan pada bagian organ insang dikarenakan siklus hidup dari
Octolasmis sp. membutuhkan kebutuhan nutrisi yang lebih untuk hidup dan
berkembangnya. Insang merupakan organ yang paling sering dialiri darah,terdapat
pembuluh-pembuluh darah dan pelindungnya berupa jaringan epitel selapis yang
tipis sehingga ektoparasit tersebut sangat mudah diserang. sedangkan
Zoothamnium sp menyerang bagian karapaks dan insang. Vorticella sp dan
Epistylis sp menyerang semua bagian mikrobahitat yang diamati pada penelitian
ini (kaki jalan, kaki renang, karapaks dan insang). Jumlah parasit terbanyak
ditemukan pada bagian karapaks yaitu 658 individu.

2.3 Prevalensi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar nilai prevalensi
tertinggi terdapat pada parasit Octolasmis sp dengan nilai prevalensi sebesar
0.62% dan yang terendah adalah parasit Zoothamnium sp yaitu sebesar 0.03%.
prevalensi yang terjadi pada kepiting bakau yang diamati diketegorikan infeksi
yang terjadi masih jarang untuk menyerang kepiting bakau. Menurut Diba dalam
Wiyatno, dkk (2012) rendahnya tingkat prevalensi disebabkan oleh keadaan
endemik suatu parasit dan kualitas lingkungan. Prevalensi dan Intensitas tiap jenis
parasit tidak selalu sama karena banyaknyafaktor yang berpengaruh, salah satu
faktor yang berpengaruh adalah ukuran inang. Pada beberapa spesies semakin
besar ukuran/berat inang, se-makin tinggi infeksi oleh parasit tertentu. Inang yang
lebih tua dapat mengandung jumlah parasit yang lebih besar, meskipun apabila
telah terjadi saling adaptasi imaka inang menjadi toleran terhadap parasitnya
(Noble and Noble (1989) dalam Aria (2008) dalam Suhardi, dkk (2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sutianto Pratama (2013) parasit
Octolasmis spp menyerang sebagian kepiting bakau di 4 lokasi pengambilan
sampel. Dimana tingkat serangan tertinggi (berdasarkan klasifikasi prevalensi
Schmidt. 2008) terdapat pada Kabupaten Wajo dengan prevalensi 78 % dari
spesies Octolasmis angulata . Walker et al (2001) melakukan pengamatan
terhadap tingkat infestasi parasit Octolasmis angulata pada 52 ekor ranjungan
Charibdis callianassa yang diambil dari beberapa lokasi di pantai Moreton
,Queensland Australia. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan 33 ekor
ranjungan (15 ekor betina dan 18 ekor jantan) terinfestasi parasit Octolasmis
angulata. Sehingga nilai prevalensi yang diperoleh 63.5%. Prevalensi terendah
terdapat pada kabupaten Luwu Timur dari spesies Octolasmis cor dengan nilai
prevalensi 4 %. Hal yang sama terjadi pada pengamatan Jefries et al (1994)
terhadap populasi kepiting bakau di bagian selatan Thailand, dimana prevalensi
Octolasmis angulata lebih besar (50%) dibandingkan dengan prevalensi
Octolasmis cor (30%).

2.4 Virulensi
2.4.1 Kelompok Protozoa
Ektoparasit yang terrmasuk dalam kelompok protozoa adalah :
1. Vorticella
Vorticella bersifat soliter, tangkai pada Vorticella sp. dapat memendek dan
Menggulung, pergerakan tersebut maka memungkinkan Vorticella sp. untuk
berpindah tempat (Muttaqin, I, dkk 2018). Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan
Aziz, dkk. (2013) bahwa tangkai pada Vorticella sp. dapat memendek dan
menggulung ketika distimulasi dengan pergerakan. Menurut Fitriyanti (2016)
bahwa Vorticella sp. ditemukan pada kepiting bakau dengan parameter kualitas air
kisaran suhu 30-32 °C, DO 2,8-5,4 mg/L, pH 7,9-8,7, dan salinitas 19-28‰.

2. Zoothamnium sp
Ektoparasit jenis Zoothamnium sp. mempunyai bentuk tubuh seperti
lonceng terbalik, berkontraktil, hidup secara berkoloni dengan banyak cabang di
setiap tangkainya, dan berwarna transparan. Zoothamnium sp. memiliki bagian
tubuh antara lain adalah macronucleus, cilia, zooid, dan stalk (Muttaqin, I., dkk.
2018).

3. Epystilis sp
Ektoparasit jenis Epistylis sp. memiliki ciri-ciri bercabang pada setiap
tangkainya namun pada bagian tangkainya tidak mengalami pergerakan (non-
contractile). Ektoparasit Epistylis sp. tubuhnya berwarna transparan dan pada
umumnya membentuk koloni. Epistylis sp. memiliki bagian tubuh antara lain
adalah nukleus, vakuola, cilia, dan stalk (Muttaqin, I., dkk. 2018).
2.4.2 Kelompok Arthopoda
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh ektoparasit dari kelompok
Arthopoda yaitu Octolasmis sp. Octolasmis sp. terlihat berwarna putih pucat,
berkontraktil, berbentuk seperti kecambah, dan hidup secara berkoloni dan
memiliki bagian tubuh antara lain adalah tergum, scutum, peduncle, dan carina
(Muttaqin, I., dkk. 2018). Octolasmis sp memiliki tergum yang berfungsi sebagai
mulut untuk memasukan nutrisi makanan yang akan diserap, carina yang
berfungsi untuk melapisi organ bagian dalam, scutum yang berfungsi sebagai usus
yang dapat menyerap nutrisi makanan, capitulum berfungsi sebagai lambung
(Irvansyah, dkk 2012).
2.5 Intensitas
Penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar mendapatkan nilai
intensitas serangan parasit tertinggi yang menyerang kepiting bakau adalah parasit
Zoothamnium sp dengan nilai intensitas 34 ind/ekor yang dikategorikan intensitas
serangan sedang dan yang terendah adalah parasit Octolasmis sp (7 ind/ekor)
dengan intensitas serangan sedang. Menurut Mahasri (2008), Zoothamnium sp
merupakan organisme parasit yang bisa hidup normal pada perairan berkualitas
sehingga meskipun kualitas perairan baik, parasit ini akan tetap bisa tumbuh,
namun kelimpahan Zoothamnium sp pada kepiting bakau yang diamati masih
tergolong wajar selama tidak mengakibatkan mortalitas yang tinggi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sutianto Pratama (2013) didapatkan
perbedaan intensitas serangan parasit Octolasmis spp di 4 kabupaten. Dari
Gambar 20 terlihat bahwa intensitas tertinggi terdapat pada Kabupaten Wajo
dengan nilai intensitas 29,90 individu/ekor dari spesies Octolasmis angulata dan
intensitas terendah terdapat pada Kabupaten Maros dengan nilai intensitas 1,75
individu/ekor dari spesies Octolasmis spp.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepiting bakau merupakan organisme yang hidup pada habitat lumpur di
hutan bakau sehingga kepiting ini sering disebut kepiting lumpur. Menurut
Jithendran dkk., (2009) biasanya kepiting bakau terserang parasit dari protozoa
seperti Zoothamnium sp., Epistylis sp., dan Vorticella sp. dan arthropoda seperti
Octolasmis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar nilai prevalensi
tertinggi terdapat pada parasit Octolasmis sp dengan nilai prevalensi sebesar
0.62% dan yang terendah adalah parasit Zoothamnium sp yaitu sebesar 0.03%.
Penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar mendapatkan nilai intensitas
serangan parasit tertinggi yang menyerang kepiting bakau adalah parasit
Zoothamnium sp dengan nilai intensitas 34 ind/ekor yang dikategorikan intensitas
serangan sedang dan yang terendah adalah parasit Octolasmis sp (7 ind/ekor)
dengan intensitas serangan sedang.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, Eddy dan Liviawaty, Evi. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius.


Yogyakarta.
Baliao, D.D. 1983. Mud crab “Limango” production in brackishwater pond with
Milkfish. SEAFDEC Aquaculture Department. 9p.
Bastiawan, D.,A. Rukyani,P. Taufik dan A. Poernomo.1991. Penanggulangan
Hama dan Penyakit Pada Usaha Budidaya Ikan dan Udang. Puslitbang
Perikanan, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 30 hal.
Cholik,F. 1999. Review of mud crab culture research in indonesia. ACIAR
Proceedings No. 78. Proceedings of An International Scientific Forum
Held in Darwin, Australia, 21-24 April 1997. Canberra. Australia:14-
20.
Fujaya, Y. Aslamyah, St. Fujaya,L. Alam, Nur. 2012. Budidaya dan Bisnis
Kepiting Lunak. Brillian International. Surabaya. 2-16.
Hamasaki,K.,M.A. Suprayudi and T. Takeuchi. 2002. Mass mortality during
metamorphosis to megalops in the seed production of mind crab Scylla
serrata (Crustacea Decapoda Portunidae). Fish. Sci.,68 : 1226-1232.
Handayani, L., Iftisar , R,. Identifikasi Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla
serrata) dari Hasil Tangkapan Nelayan di Wilayah Pertambakan Desa
Segintung, Kuala Pembuang II. Fakultas Pertanian Universitas Darwan
Ali Kampus Kuala Pembuang.
Hutasoit, B.J.1991. Telaah segi ekologi kepiting bakau Scylla serrata (Forskal) di
perairan Laguna Talanca Cikaso Sukabumi. Skripsi. Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 112 hal.
Jithendran,K.P.,M.Poornima,C.P.Balsubramania and S. Kulasekarapandian.2010.
Diseases of mud crab in India Bull. Cent. Inst. Brackishwater.
Aquaculture.20:28pp.
Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau Pembenihan dan Pembesaran. Kanisius.
Yogyakarta.
Karim, M.Y. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplius
artemia) yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 Dalam
Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata, Foskal). Thesis.
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Moosa, M.K.,I. Aswandy dan A. Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata
(Forskal) dari Perairan Indonesia. LON-LIPI. Jakarta. 18 hal.
Motoh, H. 1979. Edible Crustaceans in Philippines, 11th in A series. Asian
Aquaculture 2:5.
Puspitasari, F,. 2013. Inventarisasi dan Intensitas Ektoparasit pada Kepiting
Bakau (Scylla paramamosaini) yang dipelihara di Tambakn di Desa
Ketapang, Gending dan Pajarakan Kabupaten Probolinggo Jawa Timur.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Universitas Airlangga.
Rakhmadevi, C.C. 2004. Waktu Perendaman dan Periode Bulan: Pengaruhnya
Terhadap Kepiting Bakau Hasil Tangkapan Bubu di Muara Sungai
Radak, Pontianak. Skripsi. Pemanfaatan Smberdaya Perikanan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Rusdi, I. Dan M. Y. Karim. 2006. Salinitas Optimum bagi sintasan dan
Pertumbuhan Crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Sains
Teknologi, 6: 149-157.
Soim, A. 1999. Pembesaran Kepiting. Penebar swadaya. Jakarta. Hal 5-45.
Suherman, S,S. 2013. Identifikasi Morfologi Molekuler dan Tingkat Serangan
Ektoparasit Octolasmis spp pada Kepiting Bakau Scylla spp di Perairan
Sulawesi Selatan. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai