PEMBAHASAN
2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi kepiting bakau menurut Motoh (1979) adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Subfilum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Subkelas : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Subordo : Pleocyemata
Famili : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scyla paramamosain
2.1.3 Habitat
Kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan dengan
kisaran salinitas yang luas, (Afrianto dan Liviawati, 1993). Karena itu, kepiting-
kepiting muda banyak ditemukan di pesisir pantai atau di muara sungai yang
memiliki salinitas relatif rendah, bahkan di sungai yang jauh dari laut dengan
salinitas sekitar 5 ppt. (Fujaya, 2012). Kepiting bakau dapat tumbuh cepat pada
perairan dengan kisaran suhu 23 - 32oC (Baliao 1983 dalam Siahainenia 2000).
Kisaran pH yang cukup untuk mendukung kehidupan kepiting bakau yang
dipelihara yaitu 7,9- 8,3 (Gunarto et al. dalam Hutasoit 1991).
2.3 Prevalensi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar nilai prevalensi
tertinggi terdapat pada parasit Octolasmis sp dengan nilai prevalensi sebesar
0.62% dan yang terendah adalah parasit Zoothamnium sp yaitu sebesar 0.03%.
prevalensi yang terjadi pada kepiting bakau yang diamati diketegorikan infeksi
yang terjadi masih jarang untuk menyerang kepiting bakau. Menurut Diba dalam
Wiyatno, dkk (2012) rendahnya tingkat prevalensi disebabkan oleh keadaan
endemik suatu parasit dan kualitas lingkungan. Prevalensi dan Intensitas tiap jenis
parasit tidak selalu sama karena banyaknyafaktor yang berpengaruh, salah satu
faktor yang berpengaruh adalah ukuran inang. Pada beberapa spesies semakin
besar ukuran/berat inang, se-makin tinggi infeksi oleh parasit tertentu. Inang yang
lebih tua dapat mengandung jumlah parasit yang lebih besar, meskipun apabila
telah terjadi saling adaptasi imaka inang menjadi toleran terhadap parasitnya
(Noble and Noble (1989) dalam Aria (2008) dalam Suhardi, dkk (2014).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sutianto Pratama (2013) parasit
Octolasmis spp menyerang sebagian kepiting bakau di 4 lokasi pengambilan
sampel. Dimana tingkat serangan tertinggi (berdasarkan klasifikasi prevalensi
Schmidt. 2008) terdapat pada Kabupaten Wajo dengan prevalensi 78 % dari
spesies Octolasmis angulata . Walker et al (2001) melakukan pengamatan
terhadap tingkat infestasi parasit Octolasmis angulata pada 52 ekor ranjungan
Charibdis callianassa yang diambil dari beberapa lokasi di pantai Moreton
,Queensland Australia. Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan 33 ekor
ranjungan (15 ekor betina dan 18 ekor jantan) terinfestasi parasit Octolasmis
angulata. Sehingga nilai prevalensi yang diperoleh 63.5%. Prevalensi terendah
terdapat pada kabupaten Luwu Timur dari spesies Octolasmis cor dengan nilai
prevalensi 4 %. Hal yang sama terjadi pada pengamatan Jefries et al (1994)
terhadap populasi kepiting bakau di bagian selatan Thailand, dimana prevalensi
Octolasmis angulata lebih besar (50%) dibandingkan dengan prevalensi
Octolasmis cor (30%).
2.4 Virulensi
2.4.1 Kelompok Protozoa
Ektoparasit yang terrmasuk dalam kelompok protozoa adalah :
1. Vorticella
Vorticella bersifat soliter, tangkai pada Vorticella sp. dapat memendek dan
Menggulung, pergerakan tersebut maka memungkinkan Vorticella sp. untuk
berpindah tempat (Muttaqin, I, dkk 2018). Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan
Aziz, dkk. (2013) bahwa tangkai pada Vorticella sp. dapat memendek dan
menggulung ketika distimulasi dengan pergerakan. Menurut Fitriyanti (2016)
bahwa Vorticella sp. ditemukan pada kepiting bakau dengan parameter kualitas air
kisaran suhu 30-32 °C, DO 2,8-5,4 mg/L, pH 7,9-8,7, dan salinitas 19-28‰.
2. Zoothamnium sp
Ektoparasit jenis Zoothamnium sp. mempunyai bentuk tubuh seperti
lonceng terbalik, berkontraktil, hidup secara berkoloni dengan banyak cabang di
setiap tangkainya, dan berwarna transparan. Zoothamnium sp. memiliki bagian
tubuh antara lain adalah macronucleus, cilia, zooid, dan stalk (Muttaqin, I., dkk.
2018).
3. Epystilis sp
Ektoparasit jenis Epistylis sp. memiliki ciri-ciri bercabang pada setiap
tangkainya namun pada bagian tangkainya tidak mengalami pergerakan (non-
contractile). Ektoparasit Epistylis sp. tubuhnya berwarna transparan dan pada
umumnya membentuk koloni. Epistylis sp. memiliki bagian tubuh antara lain
adalah nukleus, vakuola, cilia, dan stalk (Muttaqin, I., dkk. 2018).
2.4.2 Kelompok Arthopoda
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh ektoparasit dari kelompok
Arthopoda yaitu Octolasmis sp. Octolasmis sp. terlihat berwarna putih pucat,
berkontraktil, berbentuk seperti kecambah, dan hidup secara berkoloni dan
memiliki bagian tubuh antara lain adalah tergum, scutum, peduncle, dan carina
(Muttaqin, I., dkk. 2018). Octolasmis sp memiliki tergum yang berfungsi sebagai
mulut untuk memasukan nutrisi makanan yang akan diserap, carina yang
berfungsi untuk melapisi organ bagian dalam, scutum yang berfungsi sebagai usus
yang dapat menyerap nutrisi makanan, capitulum berfungsi sebagai lambung
(Irvansyah, dkk 2012).
2.5 Intensitas
Penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar mendapatkan nilai
intensitas serangan parasit tertinggi yang menyerang kepiting bakau adalah parasit
Zoothamnium sp dengan nilai intensitas 34 ind/ekor yang dikategorikan intensitas
serangan sedang dan yang terendah adalah parasit Octolasmis sp (7 ind/ekor)
dengan intensitas serangan sedang. Menurut Mahasri (2008), Zoothamnium sp
merupakan organisme parasit yang bisa hidup normal pada perairan berkualitas
sehingga meskipun kualitas perairan baik, parasit ini akan tetap bisa tumbuh,
namun kelimpahan Zoothamnium sp pada kepiting bakau yang diamati masih
tergolong wajar selama tidak mengakibatkan mortalitas yang tinggi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sutianto Pratama (2013) didapatkan
perbedaan intensitas serangan parasit Octolasmis spp di 4 kabupaten. Dari
Gambar 20 terlihat bahwa intensitas tertinggi terdapat pada Kabupaten Wajo
dengan nilai intensitas 29,90 individu/ekor dari spesies Octolasmis angulata dan
intensitas terendah terdapat pada Kabupaten Maros dengan nilai intensitas 1,75
individu/ekor dari spesies Octolasmis spp.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepiting bakau merupakan organisme yang hidup pada habitat lumpur di
hutan bakau sehingga kepiting ini sering disebut kepiting lumpur. Menurut
Jithendran dkk., (2009) biasanya kepiting bakau terserang parasit dari protozoa
seperti Zoothamnium sp., Epistylis sp., dan Vorticella sp. dan arthropoda seperti
Octolasmis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar nilai prevalensi
tertinggi terdapat pada parasit Octolasmis sp dengan nilai prevalensi sebesar
0.62% dan yang terendah adalah parasit Zoothamnium sp yaitu sebesar 0.03%.
Penelitian yang dilakukan oleh Leni dan Iftisar mendapatkan nilai intensitas
serangan parasit tertinggi yang menyerang kepiting bakau adalah parasit
Zoothamnium sp dengan nilai intensitas 34 ind/ekor yang dikategorikan intensitas
serangan sedang dan yang terendah adalah parasit Octolasmis sp (7 ind/ekor)
dengan intensitas serangan sedang.
DAFTAR PUSTAKA