Anda di halaman 1dari 13

Fasciola hepatica

Penyebaran Fasciola hepatica

Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti
Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan lain sebagainya.
Dalam siklus hidupnya, cacing Fasciola hepatica memerlukan induk semang utama, yaitu
siput Lymnaea truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea tomentosa di Australia, Lymnaea
Bulimoides di Amerika Utara dan Lymnaea collumella di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand
dan Afriko Selatan. Di Perancis ditemukan secara alami, siput Lymnaea ovula dan siput
Planorbis leucostoma dapat terinfeksi Fasciola hepatica dengan prevalensi masing-masing
sebesar 1,4% don 0,1%.Penyakit yang ditimbulkan dinamakan fasioliasis (Sutanto, Inge, dkk.
2008).

Anatomi dan Morfologi Fasciola hepatica

Gambar: Struktur Morfologi telur Faciola hepatica

a) Telur
Ukuran : 130 150 mikron x 63 90 mikron berisi morula
Warna : kuning kecoklatan
Bentuk : Bulat oval dengan salah satu kutub mengecil, terdapat overculum pada kutub yang
mengecil, dinding satu lapis dan berisi sel-sel granula berkelompok.
Gambar: Struktur Morfologi Faciola hepatica
b) Cacing dewasa
Ukuran 30 mm x 13 mm
Bersifat hermaprodit
Sistem reproduksinya ovivar
Bentuknya menyerupai daun
Mempunyai tonjolan konus pada bagian anteriornya
Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut, uterus pendek berkelok-kelok.
Testis bercabang banyak, letaknya di pertengahan badan berjumlah 2 buah.
Ovarium sangat bercabang
c) Ciri umum :
Bentuk tubuh seperti daun
Bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten merupakan modifikasi dari epidermis
Cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang
dan membelok
Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam inang yaitu: inang perantara yakni
siput air dan inang menetapnya yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi
dan domba
Merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktusbiliferus atau pada epithelium
intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya
Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum
hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.
Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfa, kemudian sisa-sisa
metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit.
Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat
entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.

Habitat Fasciola hepatica

Cacing ini hidup pada habitat air tawar dan tempat-tempat yang lembab dan basah.
Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa
tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang
basa dan lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai
kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh
ternak. Pada umumnya Fasciola hepatica hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal,
kantong empedu, dan pembuluh darah ruminansia maupun manusia.

Siklus Hidup Fasciola hepatica

Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai tiga macam hospes yaitu:
Hospes definitive (fase seksual) : Manusia, kambing, sapi dan biri biri
Hospes perantara I (fase aseksual) : Keong air / siput
Hospes perantara II : Tumbuhan air
Berikut siklus hidup cacicing Fasciola hepatica:
a) Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba.
Kemudian telur keluar ke alam bebas belum berembrio dan belum infektif selama 8-12
minggu bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan menetas menjadi
larva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam
tubuh siput air tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
b) Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh
siput selama + 2 minggu).
c) Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini berlangsung secara
partenogenesis.
d) Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya yang
disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan
tubuh siput dan keluar berenang dalam air.
e) Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk 5-7 minggu. Serkaria
melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri berupa kista
yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya.
f) Apabila rumput atau tumbuhan air tersebut termakan oleh domba atau manusia, maka kista
dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu dan
dewasa di sana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali dan siklus ini terulang
lagi.

Cara Penularan Fasciola hepatica


Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah dari kebiasaan
masyarakat yang gemar mengkonsumsi tanaman/tumbuhan air, seperti selada air dalam
keadaan mentah yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola hepatica.
Penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan
hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk. Penggunaan air yang
tercemar metaserkaria Fasciola hepatica. misalnya air tersebut diminum dalam keadaan
mentah.) menduga bahwa penularan fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica
pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang
gemar mengkonsumsi hati mentah.

Gejala Klinis yang Disebabkan Fasciola hepatica


o Terjadi sejak larva masuk kesaluran empedu sampai menjadi dewasa. Parasit ini dapat
menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran. Selain itu, dapat
terjadi perubahan jaringan hati berupa radang sel hati. Pada keadaan lebih lanjut dapat timbul
sirosis hati disertai asites dan edema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung
pada jumlah cacing yang terdapat disaluran empedu dan lamanya infeksi;
o Masa inkubasi Fascioliasis menginfeksi pada manusia sangat bervariasi, karena dapat
berlangsung dalam beberapa hari dalam 6 minggu atau antara 2-3 bulan. Bahkan dapat lebih
lama dari waktu tersebut;
o Gejala klinik yang paling menonjol adalah anemia, selain itu dapat pula terjadi demam
dengan suhu 40-42 derajat, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan;
o Bila penyakit berlanjut, dapat terjadi hematomegaliasites di rongga perut, sesak nafas dan
gejala kekuningan;
o Gejala dari penyakit fasioliasis biasanya pada stadium ringan tidak ditemukan gejala.
Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, perut terasa penuh, diare dan
pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari
perbesaran hati, kanker hati, ikterus, asites, terbentuknya batu empedu, dan serosis hepatis.
Bahaya lain akibat infeksi Fasciola hepatica ini adalah dapat mengakibatkan komplikasi
pada:
o telinga, mata
o paru-paru, dinding usus
o limpa, pankreas, hati

Diagnosa Penyakit Fasciola hepatica yang Disebabkan Oleh Fasciola hepatica


Pemeriksaan tinja
Merupakan cara yang paling umum dan sederhana yang bertujuan untuk menemukan adanya
telur cacing dengan menggunakan uji sedimentasi.
Pemeriksaan darah
Dilakukan dengan uji ELISA (enzyme linked Immunosorbent Assay) untuk mengetahui
adanya antibody atau antigen didalam tubuh penderita. Pada infeksi parasite umumnya sel
darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik dan
seringkali di ikuti dengan peningkatan isotope antibody immunoglobulin (IgE) di serum
darah.. Tingkat isotope antibody IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing dalam
tinja,usia penderita,gejala klinis dan jumlah eosinofil.

Pengobatan
Benzimidazol sintesis dengan dosis 5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB sebagai
faciolicidal pada domba (Anonim 2002). Albendazol plus closantel yang diberikan secar oral
dapat membunuh Fasciola gigantica, cacing pita dan nematode (100%) (Al-quddah at all.
1998). Fenbendazol dan clorsulon dengan dosis 25 mg/kg BB dan dosis 35 mg/kg BB
mengurangi infeksi cacing hati dewasa (99,6%) dan cacing hati muda (Malone at all. I997).
Closantel dan Rafoxaniade dengan dosis masing-masing 7,5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB
dapat a b c digunakan untuk mengontrol Haemonchus spp dan Fasciola spp (Swan 1999).
Diamphenethide dengan dosis 10 mg/kg BB juga dapat digunakan untuk pengobatan infeksi
Fasciola spp pada domba
Di seluruh dunia, lebih dari 200 juta orang menderita Schistosomiasis, 20 juta
diantaranya menderita sakit berat, dan 120 juta menunjukkan tanda-tanda klinis. Serta
menjadi ancaman bagi 500-600 juta orang di 74 negara berkembang. Pada tahun 2011
dilaporkan oleh WHO, ada 243 juta orang memerlukan pengobatan untuk schistosomiasis,
dengan jumlah orang yang dilaporkan telah dirawat untuk schistosomiasis pada tahun 2011
adalah 28,1 juta. Secara global, ditemukan 200.000 kematian yang dikaitkan dengan
schistosomiasis per tahun.
Schistosma japonicum
epidemiologi.
Schitosomiasis tersebar di negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan Timur
Tengah. Di Asia, cacing ini tersebar di 7 negara, antara lain Jepang, Cina, Philipina,
Indonesia, Malaysia, Kamboja, Laos dan Thailand (Levine, Norman. D.1990).. Di Asia,
penyakit ini disebut schistosomiasis japonica atau dinamakan juga Oriental schistosomiasis
atau penyakit Katayama atau penyakit demam keong yang disebabkan oleh cacing
Schistosoma japonicum. Di Indonesia, penyakit ini baru ditemukan di lembah Lindu (Kec.
Kulawi, Kab. Donggala) dan lembah Napu- Besoa (Kec. Lore Utara, Kab. Poso) yang terletak
di Sulawesi Tengah. Schistosomiasis masih menjadi ancaman bagi lebih dari 25.000
penduduk di kedua daerah endemis tersebut. Prevalensi Schistosomiasis di lembah Lindu
pada tahun 2003 (0.64%) dan tahun 2004 (0,17%) memperlihatkan kecenderungan yang
menurun. Sementara di lembah Napu pada tahun 2003 (0.70%) dan tahun 2004 (1,71%)
memperlihatkan kecenderungan yang meningkat (Pendpro. 2015).

Hospes
Selain manusia, hospes definitif dari Schistosoma japonicum juga yakni anjing, tikus
sawah (Rattus), kucing, sapi, kerbau, babi, kuda, kambing, dan biri-biri. Hospes perantaranya
adalah siput air tawar spesies Oncomelania nosophora, O. hupensis, O. formosana, O.
hupensis lindoensis di Danau Lindu (Sulawesi Tengah) dan O. Quadrasi (Pendpro. 2015)
(Levine, Norman. D.1990).

Siklus hidup
Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva serkaria yang berada dalam air
menemukan inang definitif, dengan kata lain transmisi penyakit schistosomiasis pada
manusia terjadi apabila manusia berada pada lingkungan perairan yang sudah mengandung
larva serkaria dari Schistosoma. Schistosomiasis adalah suatu penyakit yang ditularkan
melalui air (water-borne-disease) yang biasanya didapat karena berenang dalam air yang
mengandung induk semang antaranya yaitu siput. Beragam siput yang bertindak sebagai
induk semang antara yang masing-masing beradaptasi dengan galur lokal dari parasit. Siput
Bulinus sp. Merupakan inang antara untuk S. haematobium adalah siput akuatik yang akan
berbiak di perairan yang airnya tidak terlalu banyak seperti kolam atau saluran irigasi. Siput
Biomphalaria sp. Yang merupakan inang antara dari S. mansoni dapat ditemukan di perairan
serupa, tetapi dapat juga berkembang pesat di danau dan perairan deras (Wicaksono A.,
2010).
Siput Oncomelania sp. Merupakan inang antara S. japonicum yang bersifat amfibi
sehingga banyak dijumpai di tepian kanal irigasi, saluran drainase, ataupun daerah-daerah
tergenang. Sumber utama penularan S. haematobium adalah anak kecil terinfeksi yang buang
air kecil di perairan, sedangkan S. mansoni dan S. japonicum sumber utamanya adalah
kontaminasi feses hewan/ manusia yang terbawa air(Wicaksono A., 2010).
Telur Schistosoma dikeluarkan melalui feses manusia (S. mansoni dan S. japonicum)
atau urin (S. haematobium). Telur akan menetas di air dan berubah menjadi larva yang
disebut mirasidium yang akan menginfeksi siput sebagai inang antara. Larva selanjutnya
berkembang di dalam tubuh siput dan dikeluarkan sebagai serkaria. Larva ini dapat berenang
dan mampu untuk menembus ke dalam lapisan kulit inang definitif. Setelah penetrasi ke
dalam kulit, serkaria mengalami perkembangan dan bermigrasi menuju hati. Setelah itu
kembali bermigarasi melalui pembuluh darah vena menuju usus besar (S. mansoni dan S.
japonicum) atau vesika urinaria (S. haematobium) dimana di sana cacing akan tumbuh
menjadi dewasa, kawin, dan bertelur(Wicaksono A., 2010).
Faktor penting yang berhubungan dengan penyebaran penyakit ini antara lain proyek
perluasan dan pengembangan sistem perairan, pembuatan danau buatan, dan sistem irigasi.
Faktor tersebut memicu pertumbuhan populasi siput sebagai inang antara. Perpindahan
populasi manusia juga dapat menyebarkan penyakit ini. Sebagai contoh adalah adanya arus
urbanisasi dari desa ke kota, transmigrasi, dan perpindahan turis wisata. Karena penyakit ini
menular melalui siput sebagai induk semang antara yang menyukai tempat-tempat
berair,maka penyakit ini banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi
atau pada daerah yang memiliki danau atau kolam dengan populasi ternak yang cukup tinggi
(Wicaksono A., 2010).
Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia mempunyai kebiasaan mandi, mencuci,
mengambil air disungai dan buang hajat disungai, parit, atau disawah. Kebiasaan mandi,
mencuci, dan mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi S. japonicum. Mereka
terinfeksi cacing S. japonicum pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan larva
serkaria yaitu pada saat melakukan kegiatan harian tersebut. Selain kegiatan tersebut, infeksi
S japonicum juga berkaitan dengan pekerjaan. Bertani, memancing dan berburu dihutan
merupakan pekerjaan yang memiliki resiko sangat besar terhadap infeksi S.
Japonicum(Wicaksono A., 2010) .

Gejala Klinis
Penyakit schistosomiasis akut dapat ditandai dengan gejala demam (nokturna),
malaise, mialgia, nyeri kepala, nyeri abdomen, batuk non produktif yang dapat terjadi
sebelum ditemukannya telur di dalam feses dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 6-
8 setelah infeksi. Telur dapat ditemukan di feses, urin, potongan rektum, atau biopsi jaringan
lainnya. Sampel tinja diperiksa untuk mengetahui keberadaan telur parasit dengan
menggunakan hapusan tebal Kato-Katz atau teknik rapid Kato. Saat ini, teknik Kato-Katz
masih merupakan gold standard yang digunakan untuk diagnosis schistosomiasis. Pada
pemeriksaan penunjang dapat ditemukan eosinofilia dan infiltrat paru pada rontgen foto
toraks. Kumpulan gejala ini dikenal sebagai sindroma Katayama dan sering terjadi pada
orang yang terinfeksi pertama kali atau pada keadaan reinfeksi berat serkaria. Bertahun-tahun
kemudian gejala dan tanda yang terjadi disebabkan oleh reaksi fibrotik terhadap telur;
contohnya di hati (fibrosis hati dan hipertensi portal), paru (fibrosis paru), dan kandung
kemih (dalam kasus S. haematobium ). Lesi yang mendesak ruang (space-occupying lesion)
di otak dan korda spinalis dapat menyebabkan kejang (Pendpro. 2015).
Kelainan yang ditimbulkan oleh infeksi Schistosma japonicum sangat berhubungan
dengan respon imun hospes terhadap antigen dari cacing dan telurnya. Respon imun hospes
ini sendiri dipengaruhi oleh faktor genetik, intensitas infeksi, sensitisasi in utero terhadap
antigen schistosoma dan status coinfeksi. Respon imun pada penderita schistosomiasis
mempengaruhi perjalanan penyakit, antara lain menimbulkan perubahan patologi berupa
pembentukan granuloma dan gangguan terhadap organ, mempunyai efek proteksi terhadap
kejadian infeksi berat atau bahkan cacing schistosoma dapat bertahan selama bertahun
tahun meskipun hospes mempunyai respon imun yang kuat. Organ yang sering diserang
adalah saluran pencernaan makanan dan hati (Pendpro. 2015).

Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur di dalam tinja atau jaringan biopsi,
seperti biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis.
(Sutanto, Inge, dkk. 2008).
Pengobatan
Penularan schistosomiasis disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan. Keberadaan inang definitif yang rentan yaitu manusia dan hewan mamalia
merupakan salah satu faktor yang penting. Luasnya inang definitif yang dapat diinfeksi
menjadi kendala dalam pengendalian schistosomiasis. Pengobatan yang cocok untuk
schistosomiasis adalah praziquantel. Dosis untuk praziquantel yang dapat diberikan adalah 20
mg/kg. Pengobatan pada hewan dapat diberikan praziquantel dengan dosis 25mg/kg dan
diulangi 3 5 minggu kemudian. Pada manusia dapat diobati dengan metrifonate,
oxamniquine, atau praziquantel(Wicaksono A., 2010).

Pertanyaan
1. Bagaimana Pencegahan Penyakit Fasciolosis yang Disebabkan Oleh Fasciola
hepatica?
Industri
Pembuangan air limbah/air kotor secara aman, pengobatan ternak terhadap parasit tersebut,
pencegahan agar tidak ada hewan yang datang ke tempat pembudidayaan tanaman selada air
dan pengontrolan air yang digunakan untuk irigasi pembudidayaan tersebut.
Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga
Memasak makanan sampai benar-benar matang, konsumen harus menghindari konsumsi
selada air yang mentah. Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya
sayuran tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan potassium permanganat
sebelum dikonsumsi.
Pengendalian Siput
Pengendalian siput dengan moluskisida agar terputusnya siklus hidup dari Fasciola
hepaticajika memungkinkan.
Pengendalian pada hewan ternak
Kandang harus dijaga agar tetap bersih, dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau
selokan.

2. Bagaimana Strategi pemberantasan schistosimiasis di Indonesia


Strategi pemberantasan schistosimiasis di Indonesia, yakni
a) meningkatkan pemberantasan penyakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke
daerah lain,
b) metode intervensi, suatu kombinasi pengobatan penderita, pemberantasan keong,
perbaikan sanitasi lingkungan, dan agroengineering yaitu mengeringkan daerah-daerah
rawa yang merupakan fokus keong,
c) mengadakan kerja sama lintas sektoral.
Infeksi dicegah dengan mengenakan pakaian yang tepat saat bekerja di lapangan dan
menghindari air yang terkontaminasi. Program pengendalian dengan membasmi siput, atau
pengobatan massal, dapat mengendalikan penyakit ini jika tersedia sumber daya yang
mencukupi, seperti yang telah dilakukan di Cina dan Jepang.
Rujukan

Chiodini, P.,L., Moody, A., H., dan Manser, D., W. 2003. Atlas of Medical Helminthology
and
Protozoology, 4th Edition. Philadelphia (US): Elsevier Science Ltd.

Levine, Norman. D1990. Parasitologi Veteriner, Yogyakarta: gajah mada university press,

Pendpro. 2015. SCHISTOSOMIASIS BULETIN DISEASE EDISI VI (15 DESEMBER-14


JANUARI 2015)

Sutanto, Inge, dkk. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta

Wicaksono A., 2010.Schistosomiasis. Fakultas Kedokteran Hewan IPB:Bogor


RQA
FASCIOLIAIS DAN SCHISTOSOMIASIS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Mikrobiologi
Yang Dibina oleh Ibu Dr. Endang Suarsini, M.Ked. dan Ibu Sofia Ery Rahayu, S.Pd.,
M.Si.

Offering I :GHI Kesehatan

Alif Rosyida El Baroroh (150342606362)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Agustus 2017

Anda mungkin juga menyukai