1. 15 species parasit cacing yang tergolong ke dalam kelompok Trematoda : a. Gyrodactylus elegatis i. Metagonimus yokogawai b. Sphyranura sp j. Opisthorchis tenuic olis c. Fasciola gigantica k. Clonorchis sinensis d. Paramphistomum cervi l. Echinostoma revolotum e. Cotylophoron spp m. Paragonimus westerma nii f. Calicophoron spp n. Gigantocotyle explan atum g. Dicrocoelium dendriticum o. Gastrodiscus aegyptiacus h. Eurytrema coelomasticum p. Schistosoma intercalatum 3. Predileksi dari parasit Ophisthorchis tenuicollis yaitu di saluran empedu, ductus biliverus, dan kadang-kadang pada intestinum dan saluran pencreas 4. Perbedaan Ophisthorchis tenuicollis dan Ophisthorchis viverini dalam hal d istribusi penyakit secara geografis : Ophisthorchis tenuicollis penyebarannya di Eropa (Eropa timur, terutama Polandia, Jerman, siberia dan juga di Asia) Ophisthorchis viverini penyebarannya di Asia (Asia Tenggara terutama Tha iland dan Laos). 5. Siklus hidup cacing Ophisthorchis : Induk semang antara I merupakan siput dari genus Bithynia, sedangkan ind uk semang antara II adalah ikan air tawar Telur dimakan oleh siput mirasidium sporosis redia cercaria dimakan oleh ikan metacercaria dewasa Metacercaria menetas dalam duodenum dan bermigrasi melalui ductus choled ucus ke saluran empedu Masa prepaten 3-4 minggu 6. Pathogenesa dari Ophisthorchis : Cacing Ophistorchis menyebabkan infeksi kataralis pada saluran empedu Epithel saluran empedu mengalami hiperplasia dan kemudian akan berkemban g menjadi carcinoma Pembesaran pada hati dan pelebaran saluran empedu Gejala klinis berupa hilangnya nafsu makan, muntah, anemia, ikterus, gan gguan pencernaan, oedem, dan pada stadium lanjut terjadi ascites. 7. Cara pencegahan dari cacing Ophisthorchiasis : Pada daerah endemik, ikan ment ah jangan dikonsumsi ataupun diberikan kepada hewan peliharaan. 8. Obat-obat yang digunakan dalam penanganan Ophisthorchiasis : No Nama Preparat Dosis Dosis/Kg Berat Badan Jmh Pemberian (...kali) 1 Hexachlorophene 2 Clioxanide 3 Dithiazanin Iodid 4 Hexachloparaxylene 5 Niiridazole 9. Predileksi parasit Fasciola gigantica yaitu hidup dalam kantong empedu dan da lam saluran empedu yang besar dalam hati mamalia dan ruminansia. 10. Perbedaan Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica dalam hal distribusi peny akit secara geografis yaitu : Distribusi: Seluruh dunia Fasciola hepatica biasan ya negara-negara temperate yaitu negara yang memiliki 4 musim seperti negara-neg ara di eropa (Inggris, Belanda) sedangkan Fasciola gigantica distribusi di Nega ra-negara tropis seperti Indonesia). Di indonesia hanya terdapat Fasciola gigant ica penyebarannya meliputi semua kepulauan Indonesia dengan tingkat infeksi yang bervariasi. 11. Siklus hidup cacing Fasciola yaitu Telur keluar bersama feses Mirasidium sporosis Redia Redia anak Serkaria Met aserkaria (fase infektif) tertelan oleh induk semang definitif Mirasidium menetas di air, berenang dan mencari siput (inang perantara) yang cocok. Inang perantara adalah siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L . truncatula dll). Mirasidium menembus tubuh siput untuk berkembang di dalamnya Sporosis, redia, redia anak dan serkaria berada di dalam tubuh siput. Serkaria yang matang meninggalkan tubuh siput, metaserkaria melekat pada rumput, daun atau benda yang memiliki permukaan datar lainnya. Hewan akan terin feksi apabila menelan metaserkaria Jalur Infestasi: Secara oral, dengan tertelannya metaserkaria yang menem pel pada rumput/tumbuhan air. Metaserkaria dapat bertahan hingga 10 bulan di ala m bebas Metaserkaria mengalami ekskistasi di dalam rumen dan menetas di dalam us us halus. Menembus dinding usus, perineum dan menembus parenchima hati untuk men uju saluran empedu Diagnosa: dengan melihat keberadaan telur di dalam feses dengan metode s edimentasi Gejala klinis: lemah, oedem pada bagian mandibularis dan dada bagian baw ah, inappetence, kurus, anemia, bulu rontok, Pada kasus infestasi massal terjadi kematian tiba-tiba Masa prepaten: 16 minggu (F. gigantica); F. hepatica 8-16 minggu Masa paten: bertahun-tahun
12. Pathogenesa dari fasciola yaitu cacing dalam saluran empedu menyebabkan pera dangan sehingga merangsang terbentuknya jaringan fibrosa pada dinding saluran em pedu. Penebalan saluran empedu menyebabkan cairan empedu mengalir tidak lancar. Disamping itu pengaruh cacing dalam hati menyebabkan kerusakan parenchym hati da n mengakibatkan sirosis hepatis. Hambatan cairan empedu keluar dari saluran empe du menyebabkan ichterus. Bila penyakit bertambah parah akan menyebabkan tidak be rfungsinya hati. 13. Cara pencegahan dari Fascioliasis yaitu salah satunya dengan memberi prepara t kimia Moluscisida pada daerah perairan ditumbuhi rerumputan yang ada inang per antara siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L. truncatula dll), denga n tujuan memutus siklus hidup dari cacing Fasciola sp. Tidak memakan sayur-sayur an yang dapat menjadi tempat menempelnya metacercaria, bagi manusia yang memakan jeroan agar memasak dalam suhu yang sangat tinggi hingga larva infectivenya mat i. 14. Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan Fascioliasis dan dosisnya : Keberhasilan pengobatan fascioliasis tergantung efektifitas obat terhadap stadia perkembangan cacing, pada fase migrasi, pada migrasi atau pada fase menetap dih ati, dan sifat toksin dari obat harus rendah karena jaringan hati yang terlanjur mengalami kerusakan. Yang paling baik syatui obat mampu membunuh fasciola yang sedang migrasi dan cacing dewasa,serta tidak toksik pada jeringan, misalnya: a.H exacchlorethan, Aulotane, Perchloroethan, fasciolin selain efektif terhadap caci ng desawajuga efektif untuk Hemonchis dan Trichostrongylosisb.Clioxanidec.sangat efektif untuk Fasciolisis domba, dan membunuh cacing dewasa umur 6 minggu atau lebih.d. Niclofolan, Tordas, Dovenix. Obat yang mampu membunuh fascioliasis (ber sifat flukicidal) dikemas sebagai garam N-methyl Glucaumine atau Meglumine 20%. Derivate Benzimedazol, terutama Albendazol, Triclabendazol dan Probendazol Feban tel, memperoleh perhatian luas karena selain efektif terhadap cacingnematoda, se nyawa tersebut juga efektif untuk membunuh cacing hati muda dan cacing dewasa. U ntuk kemanjuran tinggi dan keamanan, triclabendazole (Egaten) dalam dosis 10-12 mg / kg adalah obat pilihan dalam fasciolosis manusia. Tidak ada alternatif obat yang tersedia bagi manusia. Di sisi lain, nitazoxanide berhasil digunakan dalam pengobatan fasciolosis manusia di Meksiko. Bithionol merupakan obat pilihan yan g digunakan untuk pengobatan F. Hepatica. 15. Hewan yang diserang Paramphistomum spp sebagai induk semang definitif yaitu hewan ternak (sapi, kambing, domba) dan ruminansia liar. 16. Predileksi dari masing-masing parasit Paramphistomum spp yaitu : Paramphistomum cervi, Paramphistomum microbothrium, Paramphistomum ichikawai, Pa ramphistomum gotoi :predileksi di rumen dan retikulum sapi, domba, kerbau, kambi ng, kijang dan ruminansia lain. Cacing muda berpredileksi di dalam usus halus da n baru akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah dewasa. 17. Siklus hidup dari cacing Paramphistomum : Paramphistomum siklus hidup yang bersifat heteroxene dengan induk semang antaran ya adalah sifut. Telur yang keluar bersama feses akan mampu bertahan pada suhu d i bawah 10 C selama lebih dari 6 bulan. Telur cepat rusak pada lingkungan yang ke ring. Dalam waktu 4 minggu, di dalam telur akan terbentuk mirasidia. Sebagai ind uk semang adalah berbagai jenis sifut air tawar dari family planorbidae; untuk P .cervi dan P.ichikawai induk semang antara adalah Planorbis planorbis serta Anis us vortex. Untuk cacing P.daubneyi siput Lymnaea truncatula berperan sebagai ind uk semang antara paling penting, sedangkan Lymnaea peregra kadang-kadang dapat j uga berperan sebagai induk semang antara. Mirasidia berkembang menjadi sporokista dan redia serta akhirnya menjadi sercari a. Proses dari mirasidia menjadi sporokista,redia, redia anak dan akhirnya serka ria memakan waktu sekitar 4 minggu. Pada temperature antara 16-17 C perkembangan larva membutuhkan waktu sekitar 110 hari. Serkaria melepaskan diri dari tubuh s iput dan menempelkan diri pada dedaunan atau bagian tumbuhan dan berubah menjadi metaserkaria yang dalam waktu 5 hari akan bersifat infectif. Metaserkaria dapat bertahan hidup dalam lingkungan lembab hingga 5 bulan. Metaserkaria yang tertel an oleh induk semang definitif akan menetas di dalam usus menempel pada bagian d epan dari duodenum pada selaput lendir atau menembusnya. Dalam waktu setengah bu lan cacing akan mengembara menuju rumen. 18. Paramphistomum disebut juga cacing porang 19. Pathogenesa dari Paramphistomiasis yaitu Paramphistomum memiliki 2 fase yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intestinal cacing muda menyebabkan pendarahan bengkak serta merah di dalam duod enum dan abomasum hal ini menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infe ksi masal pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat lebih lama. Fase ruminal cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen ya ng mengganggu kapasitas reabsorbsi. Gejala klinisnya diare dengan feses yang ber bau khas apatis dan demam ringan. Pada kasus kronis akan terjadi kekurusan serta kerugian ekonomi lainnya. Pada kasus masal cacing ini bisa menyebabkan kematian , pada fase ruminal tidak terlihat jelas. 20. Cara pencegahan dari Paramphistomiasis yaitu menghindari ternak mengkonsumsi metaserkaria (pada sifut), memberi preparat kimia Moluscisida pada daerah perai ran ditumbuhi rerumputan yang ada inang perantara siput dari famili Planorbidae, L. truncatula Anisus vortex, dengan tujuan memutus siklus hidup dari cacing Par amphistomum sp. 21. Obat-obatan yangdigunakan untuk pengobatan Paramphistomiasis dan dosisnya : Nama Obat Domba Sapi Niclosamid 90 mg/kg BB 2x160 mg/kg BB Rafoxanid 15 mg/kg BB - Oxyclozanid 15 mg/kg BB 18,7 mg/kg BB Resorantel 65 mg/kg BB 65 mg/kg BB Levamisol - 9,4 mg/kg BB 22. Siklus hidup dari Schistosoma japonicum : Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke organ tertentu dalam perut hos pes definitif (orang), yaitu: S. japonicum, hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus. Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana mereka berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk mengeluarkan telur di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen usus atau kan tong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan memben tuk embrio. Telur menetas dan kelur meracidiun yang bersilia dan berenang dalam ai r serta bersifat fototrofik. Meracidia menemukan hospes intermedier yaitu pada b abarapa spesies siput yaitu: -S. japonicum: hospes intermediernya pada siput Oncomelania. Setelah masuk kedalam siput meracidium melepaskan kulitnya dan membentuk Sporocy st, biasanya didekat pintu masuk dalam siput tersebut. Setelah dua minggu Sporoc yst mempunyai 4 Protonepridia yang akan mengeluarkan anak sporocyst dan anak t ersbut bergerak ke organ lain dari siput. Sporocyst memproduksi anak lagi dan be gitu seterusnya sampai 6-7 minggu. Cercaria keluar dari anak sporocyst kemudian keluar dari tubuh siput dlam waktu 4 minggu sejak masuknya meracidium dalam tubuh siput. Cercaria berenang ke permu kaan air dan dengan perlahan tenggelam kedasar air. Bila cercaria kontak dengan kulit hospes definitif (orang), kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh ora ng tersebut, kemudian menembus (penetrasi) kedalam epidermis dan menanggalkan ek ornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut Schistosomula yang masuk keda lam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan. Sebagian lain schistosomula be rmigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus thoracalis dan terbaw a ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah kanan. Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kap iler pulmonaris dan kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sis tem sirkulasi darah sistemik. Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika dan sistem hepatoportal yang dapat berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke dinding usus atau ke kantong kencing ( brgantung spesiesnya), kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi telur. Selur uhnya prepatent periodnya 5-8 minggu. 23. Obat-obatan yang digunakan untu pemberantasan Schistosoma japonicum : Sulit dilakukan, dan penyakit schistosomiasis ini merupakan penyakit yang cukup bermasalah bagi WHO, karena distribusinya yang sangat luas. Obat yang telah dico ba dan cukup efektif adalah trivalen organik antimonial tetapi obat ini sedikit be rsifat toksik terhadap orang, sehingga pemebriannya harus hati-hati. Obat lain y ang toksik seperti: -Lucanthone hydroksoid dan miridazole, tetapi obat ini kurang efektif. Obat ters ebut hanya menghambat cacing untuk memproduksi telur dan cacing kembali ke hati untuk sementar, suatu saat cacing dapat balik lagi kevenula porta dan memproduks i telur lagi. Beberapa obat yang masih dalam proses penelitian ialah: hycanthon e, metriphonat, oxamniquine, praziquantel, menunjukkan hasil yang cukup menjanji kan untuk lebih efektif. Pada fase dimana hati sudah mengalami kerusakan, semua obat menjadi berefek kontra-indikatif, mungkin operasi adalah jalan yang terbaik. Pada kasus yang sudah sangat terlambat prognosanya jelek, pengobatan hanya dilakukan sebaga i suportif saja. Kontrol schistosomiasis sangat sulit dilakukan, bergantung pada sosi alisasi mengenai sanitasi dan pendidikan masyarakat setempat untuk merubah kebia saan dan tradisi mereka. Pemberantasan hospes intermedier dengan moluskisida cukup baik, teta pi untuk hospes intermedier cacing S. japonicus agak sulit karena siput Onchomel ania bersifat amfibia dan mereka hanya masuk kedalam air bila akan bertelur saja . 24. Siklus hidup Echinostoma revolotum : Cacing trematoda yang termasuk famili Echinostomatidae ini terciri dengan adanya duri leher yang melingkar dalam sebaris atau dua baris yang melingkari batl isap kepala. C acing dewasa hidup dalam usus halus, telur keluar melalui feses dan kemudian men etas dalam waktu 3 minggu dan kemudian keluar meracidium yang berenang dalam air mencari hospes intermedier ke 1 berupa siput genus Physa, Lymnea, Heliosoma, Pa ludina dan segmentia. Dalam hospes intermedier tersebut meracidium membentuk spo rocyst dan kemudian terbentuk redia induk, redia anak yang kemudian membentuk ce rcaria. Cercaria keluar dari siput berenang mencari hospes intermedier ke 2 yait u jenis moluska (siput besar), planaria, ikan atau katak. Bila hospes intermedie r dimakan orang maka orang akan terinfeksi. PENYAKIT_PARASITIK Pembimbing : Dr. drh. Muhammad Hambal 1. 15 species parasit cacing yang tergolong ke dalam kelompok Trematoda : a. Gyrodactylus elegatis i. Metagonimus yokogawai b. Sphyranura sp j. Opisthorchis tenuic olis c. Fasciola gigantica k. Clonorchis sinensis d. Paramphistomum cervi l. Echinostoma revolotum e. Cotylophoron spp m. Paragonimus westerma nii f. Calicophoron spp n. Gigantocotyle explan atum g. Dicrocoelium dendriticum o. Gastrodiscus aegyptiacus h. Eurytrema coelomasticum p. Schistosoma intercalatum 3. Predileksi dari parasit Ophisthorchis tenuicollis yaitu di saluran empedu, ductus biliverus, dan kadang-kadang pada intestinum dan saluran pencreas 4. Perbedaan Ophisthorchis tenuicollis dan Ophisthorchis viverini dalam hal d istribusi penyakit secara geografis : Ophisthorchis tenuicollis penyebarannya di Eropa (Eropa timur, terutama Polandia, Jerman, siberia dan juga di Asia) Ophisthorchis viverini penyebarannya di Asia (Asia Tenggara terutama Tha iland dan Laos). 5. Siklus hidup cacing Ophisthorchis : Induk semang antara I merupakan siput dari genus Bithynia, sedangkan ind uk semang antara II adalah ikan air tawar Telur dimakan oleh siput mirasidium sporosis redia cercaria dimakan oleh ikan metacercaria dewasa Metacercaria menetas dalam duodenum dan bermigrasi melalui ductus choled ucus ke saluran empedu Masa prepaten 3-4 minggu 6. Pathogenesa dari Ophisthorchis : Cacing Ophistorchis menyebabkan infeksi kataralis pada saluran empedu Epithel saluran empedu mengalami hiperplasia dan kemudian akan berkemban g menjadi carcinoma Pembesaran pada hati dan pelebaran saluran empedu Gejala klinis berupa hilangnya nafsu makan, muntah, anemia, ikterus, gan gguan pencernaan, oedem, dan pada stadium lanjut terjadi ascites. 7. Cara pencegahan dari cacing Ophisthorchiasis : Pada daerah endemik, ikan ment ah jangan dikonsumsi ataupun diberikan kepada hewan peliharaan. 8. Obat-obat yang digunakan dalam penanganan Ophisthorchiasis : No Nama Preparat Dosis Dosis/Kg Berat Badan Jmh Pemberian (...kali) 1 Hexachlorophene 2 Clioxanide 3 Dithiazanin Iodid 4 Hexachloparaxylene 5 Niiridazole 9. Predileksi parasit Fasciola gigantica yaitu hidup dalam kantong empedu dan da lam saluran empedu yang besar dalam hati mamalia dan ruminansia. 10. Perbedaan Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica dalam hal distribusi peny akit secara geografis yaitu : Distribusi: Seluruh dunia Fasciola hepatica biasan ya negara-negara temperate yaitu negara yang memiliki 4 musim seperti negara-neg ara di eropa (Inggris, Belanda) sedangkan Fasciola gigantica distribusi di Nega ra-negara tropis seperti Indonesia). Di indonesia hanya terdapat Fasciola gigant ica penyebarannya meliputi semua kepulauan Indonesia dengan tingkat infeksi yang bervariasi. 11. Siklus hidup cacing Fasciola yaitu Telur keluar bersama feses Mirasidium sporosis Redia Redia anak Serkaria Met aserkaria (fase infektif) tertelan oleh induk semang definitif Mirasidium menetas di air, berenang dan mencari siput (inang perantara) yang cocok. Inang perantara adalah siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L . truncatula dll). Mirasidium menembus tubuh siput untuk berkembang di dalamnya Sporosis, redia, redia anak dan serkaria berada di dalam tubuh siput. Serkaria yang matang meninggalkan tubuh siput, metaserkaria melekat pada rumput, daun atau benda yang memiliki permukaan datar lainnya. Hewan akan terin feksi apabila menelan metaserkaria Jalur Infestasi: Secara oral, dengan tertelannya metaserkaria yang menem pel pada rumput/tumbuhan air. Metaserkaria dapat bertahan hingga 10 bulan di ala m bebas Metaserkaria mengalami ekskistasi di dalam rumen dan menetas di dalam us us halus. Menembus dinding usus, perineum dan menembus parenchima hati untuk men uju saluran empedu Diagnosa: dengan melihat keberadaan telur di dalam feses dengan metode s edimentasi Gejala klinis: lemah, oedem pada bagian mandibularis dan dada bagian baw ah, inappetence, kurus, anemia, bulu rontok, Pada kasus infestasi massal terjadi kematian tiba-tiba Masa prepaten: 16 minggu (F. gigantica); F. hepatica 8-16 minggu Masa paten: bertahun-tahun
12. Pathogenesa dari fasciola yaitu cacing dalam saluran empedu menyebabkan pera dangan sehingga merangsang terbentuknya jaringan fibrosa pada dinding saluran em pedu. Penebalan saluran empedu menyebabkan cairan empedu mengalir tidak lancar. Disamping itu pengaruh cacing dalam hati menyebabkan kerusakan parenchym hati da n mengakibatkan sirosis hepatis. Hambatan cairan empedu keluar dari saluran empe du menyebabkan ichterus. Bila penyakit bertambah parah akan menyebabkan tidak be rfungsinya hati. 13. Cara pencegahan dari Fascioliasis yaitu salah satunya dengan memberi prepara t kimia Moluscisida pada daerah perairan ditumbuhi rerumputan yang ada inang per antara siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L. truncatula dll), denga n tujuan memutus siklus hidup dari cacing Fasciola sp. Tidak memakan sayur-sayur an yang dapat menjadi tempat menempelnya metacercaria, bagi manusia yang memakan jeroan agar memasak dalam suhu yang sangat tinggi hingga larva infectivenya mat i. 14. Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan Fascioliasis dan dosisnya : Keberhasilan pengobatan fascioliasis tergantung efektifitas obat terhadap stadia perkembangan cacing, pada fase migrasi, pada migrasi atau pada fase menetap dih ati, dan sifat toksin dari obat harus rendah karena jaringan hati yang terlanjur mengalami kerusakan. Yang paling baik syatui obat mampu membunuh fasciola yang sedang migrasi dan cacing dewasa,serta tidak toksik pada jeringan, misalnya: a.H exacchlorethan, Aulotane, Perchloroethan, fasciolin selain efektif terhadap caci ng desawajuga efektif untuk Hemonchis dan Trichostrongylosisb.Clioxanidec.sangat efektif untuk Fasciolisis domba, dan membunuh cacing dewasa umur 6 minggu atau lebih.d. Niclofolan, Tordas, Dovenix. Obat yang mampu membunuh fascioliasis (ber sifat flukicidal) dikemas sebagai garam N-methyl Glucaumine atau Meglumine 20%. Derivate Benzimedazol, terutama Albendazol, Triclabendazol dan Probendazol Feban tel, memperoleh perhatian luas karena selain efektif terhadap cacingnematoda, se nyawa tersebut juga efektif untuk membunuh cacing hati muda dan cacing dewasa. U ntuk kemanjuran tinggi dan keamanan, triclabendazole (Egaten) dalam dosis 10-12 mg / kg adalah obat pilihan dalam fasciolosis manusia. Tidak ada alternatif obat yang tersedia bagi manusia. Di sisi lain, nitazoxanide berhasil digunakan dalam pengobatan fasciolosis manusia di Meksiko. Bithionol merupakan obat pilihan yan g digunakan untuk pengobatan F. Hepatica. 15. Hewan yang diserang Paramphistomum spp sebagai induk semang definitif yaitu hewan ternak (sapi, kambing, domba) dan ruminansia liar. 16. Predileksi dari masing-masing parasit Paramphistomum spp yaitu : Paramphistomum cervi, Paramphistomum microbothrium, Paramphistomum ichikawai, Pa ramphistomum gotoi :predileksi di rumen dan retikulum sapi, domba, kerbau, kambi ng, kijang dan ruminansia lain. Cacing muda berpredileksi di dalam usus halus da n baru akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah dewasa. 17. Siklus hidup dari cacing Paramphistomum : Paramphistomum siklus hidup yang bersifat heteroxene dengan induk semang antaran ya adalah sifut. Telur yang keluar bersama feses akan mampu bertahan pada suhu d i bawah 10 C selama lebih dari 6 bulan. Telur cepat rusak pada lingkungan yang ke ring. Dalam waktu 4 minggu, di dalam telur akan terbentuk mirasidia. Sebagai ind uk semang adalah berbagai jenis sifut air tawar dari family planorbidae; untuk P .cervi dan P.ichikawai induk semang antara adalah Planorbis planorbis serta Anis us vortex. Untuk cacing P.daubneyi siput Lymnaea truncatula berperan sebagai ind uk semang antara paling penting, sedangkan Lymnaea peregra kadang-kadang dapat j uga berperan sebagai induk semang antara. Mirasidia berkembang menjadi sporokista dan redia serta akhirnya menjadi sercari a. Proses dari mirasidia menjadi sporokista,redia, redia anak dan akhirnya serka ria memakan waktu sekitar 4 minggu. Pada temperature antara 16-17 C perkembangan larva membutuhkan waktu sekitar 110 hari. Serkaria melepaskan diri dari tubuh s iput dan menempelkan diri pada dedaunan atau bagian tumbuhan dan berubah menjadi metaserkaria yang dalam waktu 5 hari akan bersifat infectif. Metaserkaria dapat bertahan hidup dalam lingkungan lembab hingga 5 bulan. Metaserkaria yang tertel an oleh induk semang definitif akan menetas di dalam usus menempel pada bagian d epan dari duodenum pada selaput lendir atau menembusnya. Dalam waktu setengah bu lan cacing akan mengembara menuju rumen. 18. Paramphistomum disebut juga cacing porang 19. Pathogenesa dari Paramphistomiasis yaitu Paramphistomum memiliki 2 fase yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase intestinal cacing muda menyebabkan pendarahan bengkak serta merah di dalam duod enum dan abomasum hal ini menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infe ksi masal pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat lebih lama. Fase ruminal cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen ya ng mengganggu kapasitas reabsorbsi. Gejala klinisnya diare dengan feses yang ber bau khas apatis dan demam ringan. Pada kasus kronis akan terjadi kekurusan serta kerugian ekonomi lainnya. Pada kasus masal cacing ini bisa menyebabkan kematian , pada fase ruminal tidak terlihat jelas. 20. Cara pencegahan dari Paramphistomiasis yaitu menghindari ternak mengkonsumsi metaserkaria (pada sifut), memberi preparat kimia Moluscisida pada daerah perai ran ditumbuhi rerumputan yang ada inang perantara siput dari famili Planorbidae, L. truncatula Anisus vortex, dengan tujuan memutus siklus hidup dari cacing Par amphistomum sp. 21. Obat-obatan yangdigunakan untuk pengobatan Paramphistomiasis dan dosisnya : Nama Obat Domba Sapi Niclosamid 90 mg/kg BB 2x160 mg/kg BB Rafoxanid 15 mg/kg BB - Oxyclozanid 15 mg/kg BB 18,7 mg/kg BB Resorantel 65 mg/kg BB 65 mg/kg BB Levamisol - 9,4 mg/kg BB 22. Siklus hidup dari Schistosoma japonicum : Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke organ tertentu dalam perut hos pes definitif (orang), yaitu: S. japonicum, hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus. Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana mereka berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk mengeluarkan telur di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen usus atau kan tong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan memben tuk embrio. Telur menetas dan kelur meracidiun yang bersilia dan berenang dalam ai r serta bersifat fototrofik. Meracidia menemukan hospes intermedier yaitu pada b abarapa spesies siput yaitu: -S. japonicum: hospes intermediernya pada siput Oncomelania. Setelah masuk kedalam siput meracidium melepaskan kulitnya dan membentuk Sporocy st, biasanya didekat pintu masuk dalam siput tersebut. Setelah dua minggu Sporoc yst mempunyai 4 Protonepridia yang akan mengeluarkan anak sporocyst dan anak t ersbut bergerak ke organ lain dari siput. Sporocyst memproduksi anak lagi dan be gitu seterusnya sampai 6-7 minggu. Cercaria keluar dari anak sporocyst kemudian keluar dari tubuh siput dlam waktu 4 minggu sejak masuknya meracidium dalam tubuh siput. Cercaria berenang ke permu kaan air dan dengan perlahan tenggelam kedasar air. Bila cercaria kontak dengan kulit hospes definitif (orang), kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh ora ng tersebut, kemudian menembus (penetrasi) kedalam epidermis dan menanggalkan ek ornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut Schistosomula yang masuk keda lam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan. Sebagian lain schistosomula be rmigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus thoracalis dan terbaw a ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah kanan. Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kap iler pulmonaris dan kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sis tem sirkulasi darah sistemik. Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika dan sistem hepatoportal yang dapat berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke dinding usus atau ke kantong kencing ( brgantung spesiesnya), kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi telur. Selur uhnya prepatent periodnya 5-8 minggu. 23. Obat-obatan yang digunakan untu pemberantasan Schistosoma japonicum : Sulit dilakukan, dan penyakit schistosomiasis ini merupakan penyakit yang cukup bermasalah bagi WHO, karena distribusinya yang sangat luas. Obat yang telah dico ba dan cukup efektif adalah trivalen organik antimonial tetapi obat ini sedikit be rsifat toksik terhadap orang, sehingga pemebriannya harus hati-hati. Obat lain y ang toksik seperti: -Lucanthone hydroksoid dan miridazole, tetapi obat ini kurang efektif. Obat ters ebut hanya menghambat cacing untuk memproduksi telur dan cacing kembali ke hati untuk sementar, suatu saat cacing dapat balik lagi kevenula porta dan memproduks i telur lagi. Beberapa obat yang masih dalam proses penelitian ialah: hycanthon e, metriphonat, oxamniquine, praziquantel, menunjukkan hasil yang cukup menjanji kan untuk lebih efektif. Pada fase dimana hati sudah mengalami kerusakan, semua obat menjadi berefek kontra-indikatif, mungkin operasi adalah jalan yang terbaik. Pada kasus yang sudah sangat terlambat prognosanya jelek, pengobatan hanya dilakukan sebaga i suportif saja. Kontrol schistosomiasis sangat sulit dilakukan, bergantung pada sosi alisasi mengenai sanitasi dan pendidikan masyarakat setempat untuk merubah kebia saan dan tradisi mereka. Pemberantasan hospes intermedier dengan moluskisida cukup baik, teta pi untuk hospes intermedier cacing S. japonicus agak sulit karena siput Onchomel ania bersifat amfibia dan mereka hanya masuk kedalam air bila akan bertelur saja . 24. Siklus hidup Echinostoma revolotum : Cacing trematoda yang termasuk famili Echinostomatidae ini terciri dengan adanya duri leher yang melingkar dalam sebaris atau dua baris yang melingkari batl isa p kepala. Cacing dewasa hidup dalam usus halus, telur keluar melalui feses dan k emudian menetas dalam waktu 3 minggu dan kemudian keluar meracidium yang berenan g dalam air mencari hospes intermedier ke 1 berupa siput genus Physa, Lymnea, He liosoma, Paludina dan segmentia. Dalam hospes intermedier tersebut meracidium me mbentuk sporocyst dan kemudian terbentuk redia induk, redia anak yang kemudian m embentuk cercaria. Cercaria keluar dari siput berenang mencari hospes intermedie r ke 2 yaitu jenis moluska (siput besar), planaria, ikan atau katak. Bila hospes intermedier dimakan orang maka orang akan terinfeksi. Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi Posted on 24 September 2008 by Pakde sofa Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi Parasitologi adalah suatu ilmu cabang Biologi yang mempelajari tentang semua org anisme parasit. Tetapi dengan adanya kemajuan ilmu, parasitologi kini terbatas m empelajari organisme parasit yang tergolong hewan parasit, meliputi: protozoa, h elminthes, arthropoda dan insekta parasit, baik yang zoonosis ataupun anthropono sis. Cakupan parasitologi meliputi taksonomi, morfologi, siklus hidup masing-mas ing parasit, serta patologi dan epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Organ isme parasit adalah organisme yang hidupnya bersifat parasitis; yaitu hidup yang selalu merugikan organisme yang ditempatinya (hospes). Predator adalah organism e yang hidupnya juga bersifat merugikan organisme lain (yang dimangsa). Bedanya, kalau predator ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari yang dimangsa, bersifat me mbunuh dan memakan sebagian besar tubuh mangsanya. Sedangkan parasit, selain uku rannya jauh lebih kecil dari hospesnya juga tidak menghendaki hospesnya mati, se bab kehidupan hospes sangat essensial dibutuhkan bagi parasit yang bersangkutan. Tujuan Pengajaran Parasitologi Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap kesejahte raan manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakitnya . Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentan g kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Tujuan pengajaran parasitologi, dalam hal ini di antaranya adalah mengajarkan tentang siklus hidup parasit serta aspek epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Dengan mempelaja ri siklus hidup parasit, kita akan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kita dapat terinfeksi oleh parasit, serta bagaimana kemungkinan akibat yang dapat dit imbulkannya. Selanjutnya ditunjang oleh pengetahuan epidemiologi penyakit, kita akan dapat menentukan cara pencegahan dan pengendaliannya. Istilah dalam Parasitologi dan Pembagian Hewan Parasit 1. Organisme (manusia atau hewan) yang ditempati oleh organisme lain (parasit) d i mana organisme tersebut merugikan hospes (inang) yang ditumpanginya karena men gambil makanan disebut hospes. 2. Hospes yang dirugikan itu dapat digolongkan menjadi 4 macam yaitu hospes defi nitif, hospes perantara, hospes predileksi dan hospes reservoir. Hospes definiti f yaitu hospes yang membantu hidup parasit dalam stadium dewasa/stadium seksual. 3. Berdasar lama waktu hidupnya parasit dibagi menjadi dua yaitu parasit tempore r dan stasioner. Parasit temporer disebut juga parasit nonperiodis (nonberkala) yang mengunjungi hospesnya pada waktu-waktu berselang atau parasit tersebut tida k menetap pada tubuh hospesnya. 4. Pediculus humanus disebut sebagai ektoparasit karena hidup di kepala atau hid up pada permukaan luar hospesnya. Hubungan antara Parasit dengan Inang Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis dari parasit yang menye babkan parasit tersebut secara alami mempunyai pilihan terhadap inang dan juga j aringan tubuh inang. Semakin tinggi derajat preferensi suatu parasit terhadap in ang akan menyebabkan adanya spesifitas inang. Kekebalan terhadap parasit, Modus dan Sumber Penulurannya Di dalam tubuh terdapat suatu mekanisme yaitu mekanisme tanggap kebal yang akan mengenali dan segera memusnahkan setiap sel yang berbeda/asing dari sel normal t ubuhnya sendiri. Seperti pada kekebalan terhadap bakteri, cendawan, dan virus, k ekebalan dalam parasitologi terdiri dari kekebalan bawaan yang mungkin disebabka n spesifitas inang, karakteristik fisik inang, sifat biokimia yang khas dan kebi asaan inang serta kekebalan didapat. Kekebalan didapat dibedakan menjadi: - Kekebalan secara pasif, contohnya ialah kekebalan anak yang didapat dari kolos trum ibunya. - Kekebalan didapat secara aktif. Reaksi kekebalan didapat secara aktif timbul setelah adanya rangsangan oleh anti gen. Tergantung dari sifat antigen sehingga terjadi pembelahan limfosit-limfosit menjadi sel-T atau sel B. Sel T mempunyai reseptor khusus terhadap antigen tert entu, sedangkan sel B akan mengeluarkan antibodi yang dikenal sebagai imunoglobu lin yang akan berikatan secara khas pula dengan antigen. Modus penularan ialah c ara atau metode penularan penyakit yang biasanya terjadi. Pada umumnya, cara pen ularan penyakit parasit adalah secara kontak langsung, melalui mulut (food-borne parasitosis), melalui kulit, melalui plasenta, melalui alat kelamin dan melalui air susu. Sumber penularan bagi penyakit parasit, seperti halnya bagi penyakit menular lain terjadi dari inang yang satu ke inang yang lain. Penularan dapat ju ga dari sumber penyakit kepada inang baru. Adapun yang dapat berlaku sebagai sum ber penularan penyakit parasit ialah organisme baik hewan maupun tumbuhan dan be nda mati seperti tanah, air, makanan dan minuman. Ekologi Parasit Ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan ling kungan habitatnya, terutama mengenai distribusi parasit dengan sumber makanannya dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Parasit yang terdapat di dalam tubuh inang, mungkin terdapat di dalam sistem pencernaan, sistem sirkulasi , sistem respirasi atau alat-alat dalam tubuh seperti hati, ginjal, otak dan lim pa. Biometeorologi adalah ilmu tentang atmosfer dan segala fenomena-fenomenanya/ ilmu tentang cuaca yang berhubungan dengan data kehidupan. Faktor meteorologi ya ng berpengaruh pada kelangsungan hidup parasit adalah: a. Data biometeorologi b. Penguapan air c. Kandungan air dalam tanah. Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Siklus Hidup Parasit Pengaruh jumlah hujan dan temperatur terhadap kelangsungan hidup suatu jenis par asit berbeda, sebagai contoh Nematoda parasit membutuhkan lebih sedikit curah hu jan dibandingkan dengan Trematoda. Trematoda membutuhkan jumlah air yang lebih b anyak dibandingkan dengan Nematoda sebab untuk menetaskan miracidium diperlukan genangan air. Demikian juga pada telur cacing nematoda umumnya lebih tahan terha dap temperatur yang lebih tinggi daripada Trematoda dan Cestoda, tetapi sebagai larva infektif sebaliknya, yaitu larva Nematoda lebih tahan dingin daripada larv a Trematoda dan Cestoda. Diduga bagian sinar matahari yang berpengaruh besar pad a siklus hidup parasit adalah sinar ultraviolet. Dalam bereaksi terhadap tantang an dari faktor-faktor cuaca tersebut parasit bereaksi secara gabungan dan bukan bereaksi terhadap faktor itu satu demi satu. Ruang Lingkup Parasitisme Dalam mempelajari parasitologi diperlukan pengertian dan pendekatan ekologi sert a memahami ekologi parasit yang merupakan dasar pembahasan berbagai masalah anta ra lain masuknya parasit ke dalam hospes, kepadatan parasit, inang dan sebagainy a. Demikian juga untuk memahami penyebarannya perlu dipelajari mikro distribusi parasit. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan parasit antara lain a ir, temperatur, sinar matahari, waktu, flora dan fauna. Semua makhluk hidup itu bereaksi terhadap banyak faktor-faktor tersebut secara bersama-sama, tidak terha dap faktor satu demi satu. Selanjutnya dalam mencegah dan mengobati penyakit sec ara umum dengan tindakan praktis, khususnya dalam pencegahan serta pemberantasan nya. Penggolongan Zoonosis dan Aspek yang Mempengaruhinya Zoonosis adalah penyakit atau penularan-penularan yang secara alamiah terjadi an tara hewan dan manusia. Penggolongan zoonosis dapat didasarkan pada: (1) tingkat derajat revervoirnya dalam sistem zoologi, (2) siklus penularan dan prospek pengendaliannya, (3) taksonomi parasit penyebabnya. Hal-hal yang berpengaruh terhadap kasus zoonosis parasiter pada manusia adalah: 1. aspek sosial budaya atau ekonomi; di antaranya adalah jenis pekerjaan. Sebaga i pemburu juga pekerja hutan, mereka lebih terbuka kemungkinannya untuk memperol eh zoonosis parasiter dari hewan buruan dan hewan liar di hutan sebagai reservoi rnya. Berbeda dengan pekerja pengalengan susu, daging atau ikan yang secara lang sung lebih terbuka terhadap penularan zoonosis parasiter dari jenis toksoplasmos is, hidatidosis dan larva migran. 2. Aspek ekologi; bertambahnya populasi atau dengan adanya transmigrasi, yang ak an mengubah keadaan lingkungan. Perubahan ekologi, seperti adanya 2 ekosistem ya ng semula terpisah, kemudian bersatu dan dapat menjadi fokus baru bagi berbagai penyakit zoonosis; di antaranya schistosomiasis, trypanosomiasis, paragonimiasis dan sebagainya 3. Aspek iklim dan cuaca; sebagai contoh: negara Indonesia dengan iklim tropis, panas, tetapi curah hujan cukup sehingga kelembabannya cukup pula. Hal tersebut memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis parasit selagi berada d i luar tubuh hospesnya. Contoh: sporulasi ookista Toxoplasma gondii, pembentukan telur infektif berbagai cacing parasit usus, demikian pula bagi kelangsungan hi dup berbagai vektor dan hospes perantara yang sangat dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Faktor-faktor yang mendukung siklus hidup zoonosis parasiter di daerah en demis, di antaranya: faktor bangsa, ethnis, agama, populasi geografis. Protozoa Parasit Usus Struktur tubuh protozoa tersusun dari unit-unit (komponen) fungsional yang diseb ut sebagai organel-organel bukan organ-organ sebab Protozoa adalah hewan bersel satu atau terdiri dari satu sel saja. Seluruh fungsi kehidupannya dilakukan oleh satu sel tersebut. Sedangkan organ terdiri dari banyak sel dan organel-organel adal ah bagian sel yang mengalami diferensiasi yang disesuaikan dengan fungsinya. Pen gelompokan Protozoa parasit dalam parasitologi dilakukan berdasarkan patologi an atomi hospesnya dengan urutan yang disesuaikan dengan taksonominya. Alasan penge lompokan tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah dalam mempelajarinya. Protozoa Parasit Rongga Tubuh Protozoa atrial adalah protozoa yang berhabitat pada rongga tubuh seperti mulut, hidung, vagina, urethera. Dalam kelompok protozoa atrial yaitu Entomoeba gingiv alis (Kelas Sarcodina) dan Trichomonas tenax dan T. vaginalis (Kelas Flagellata) , hanya T. vaginalis yang patogen. E. gingivalis hanya diketahui bentuk trophozo it saja yang sangat mirip dengan E. histolytica. Spesies ini tinggal di dalam gi ngiva manusia bersifat apatogen sama halnya dengan T. tenax. T. vaginalis habita t pada vagina dan glandula prostata. Pada wanita menyebabkan vaginistis yaitu da pat mengeluarkan banyak sekret keputihan yang menyebabkan keputihan. Infeksi pad a laki-laki dirasakan setelah adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan mungkin m enyebabkan uretritis dan prostata. Protozoa Parasit pada Darah Manusia serta Vertebrata lainnya Protozoa yang hidup parasit di dalam darah dan jaringan manusia mencakup berbaga i jenis yaitu Trypanosoma spp, Leishmania spp, Plasmodium spp, dan Toxoplasma go ndii. Parasit Trypanosoma cukup luas penyebarannya, sebagian tidak patogen, di d alam darah hewan mamalia, reptilia, amfibia, burung, ikan ada ada 3 spesies pato gen pada manusia yaitu Trypanosoma gambiense, T. rhodesiense dan T. cruzi. Bentu k-bentuk perkembangan familia Trypanosomidae ini adalah Trypomastigot, Epimastig ot, Promastigot, dan Amastigot. Bentuk-bentuk perkembangan ini ada yang lengkap dan ada pula yang tidak lengkap. Daur hidup Trypanosoma pada mamalia terjadi ber ganti-ganti di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Penularan Trypanosoma da n dapat secara langsung dan dapat secara tidak langsung yaitu mengalami pertumbu han siklik (mekanik) di dalam serangga pengisap darah sebelum menjadi infektif. Vektor bagi Trypanosoma gambiense dan T. rhodesiense adalah lalat tse-tse, sedan gkan Trypanosoma cruzi adalah serangga reduvidae. Klasifikasi Trypanosoma didasa rkan atas morfologi, cara penularan dan sifat patogen. Parasit Plasmodium penyeb ab malaria yang tersebar sangat luas dan banyak menimbulkan kematian pada manusi a ada 4 spesies yaitu P. vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale, sedangk an spesies lainnya dapat menginfeksi burung, monyet, rodentia dan sebagainya. Pe mbasmiannya sangat tergantung pada penggunaan insektisida, pengobatan dan faktor -faktor sosio ekonomi yang cukup komplex. Untuk kelangsungan hidup parasit terse but mempunyai fase schizogoni, fase gametogami, dan fase sporogoni. Patologinya menyebabkan pecahnya eritrosit, reaksi humoral kelemahan limpa, hati, ginjal dan gangguan peredaran darah. Gejala klinis ialah serangan demam yang intermitten d an pembesaran limpa. Pencegahan mencakup pengurangan sumber infeksi, pengendalia n nyamuk malaria. Pengobatan meliputi penghancuran parasit praeritrositik, obat represif, obat penyembuh dan obat radikal untuk bentuk eksoeritrositik, gametosi tik dan gametastatik. Protozoa Parasit Pada Jaringan Protozoa parasit jaringan merupakan protozoa parasit yang hidup berparasit di da lam jaringan hospesnya. Protozoa parasit ini merupakan penyebab penyakit bagi ma nusia dan hewan khususnya dan berperan penting dalam dunia kesehatan pada umumny a. Protozoa yang bersifat parasit pada jaringan hospes ini meliputi 2 kelas yait u kelas Flagellata dan Sporozoa. Pada kelas Flagellata berupa genus Leishmania s edangkan pada kelas Sporozoa berupa genus Toxoplasma. Dari genus Leishmania ini hanya terdapat 3 spesies penting terutama bagi kesehatan manusia yaitu dapat men yebabkan penyakit leishmaniasis. Adapun ketiga spesies tersebut adalah Leishmani a donovani penyebab leishmaniasis visceral; Leishmania tropica penyebab leishman iasis kulit dan Leishmania brazilliennis penyebab leishmaniasis muko kutis. Mesk ipun ketiga genus Leishmania ini merupakan protozoa parasit pada jaringan, tetap i di dalam daur (siklus) hidupnya masih tetap membutuhkan hospes perantara untuk kelangsungan hidupnya. Adapun sebagai hospes perantaranya adalah lalat Phleboto mus dan darah manusia. Di antara genus Toxoplasma hanya satu spesies saja yang m ampu menginfeksi berbagai macam hospes yaitu spesies Toxoplasma gondii. T. gondi i ini merupakan penyebab penyakit toxoplasmosis pada manusia. Di dalam daur hidu pnya mempunyai tiga bentuk perkembangan yaitu bentuk zoite, kista dan ookista. S ebagai berikut infektifnya adalah sporozoit, kestozoit dan endozoit. Sedangkan c ara infeksinya adalah bukan dengan melalui vektor, tetapi dengan berbagai cara y aitu per-os, transplantasi, transfusi ataupun dengan kista, trophozoit atau ooki sta selama melakukan penelitian di laboratorium. Peristiwa ini dapat mengakibatk an toxoplasmosis kongenital dan toxoplasmosis dapatan (perolehan). Penularan dar i manusia ke manusia terjadi dengan melalui plasenta penyebab toxoplasmosis kong enital. Trematoda Usus Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menj adi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai bat il isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior tubuh. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai ho spes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuha n air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjad i hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacam-m acam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Macam-macam spesies Trematod a usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum dan Gastrodiscus. Manusia menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seper ti mamalia (anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes reservoar. Siklus hi dup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes perantara II ( keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan H.heterophyes dan M.yokogawai). Patologi penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh perlekatan cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran cacing maka semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis tergantung jumlah parasi t dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak nyata, sedangkan pada infeksi ber at gejala yang timbul adalah sakit perut, diare, dan akibat terjadinya malabsorp si bisa timbul edema. Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja pen derita. Bila bentuk telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dala m tinja penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu tetraklor etilen, heksilresorsinol, dan praziquantel. Cestoda Usus Cestoda merupakan cacing berbentuk seperti pita memanjang. tubuh terdiri dari ke pala (skolek), dan proglottid (segmen tubuh) yang terdiri dari: proglottid immat ure, mature, dan gravid. Proglottid gravid dapat digunakan untuk identifikasi sp esies berdasarkan bentuknya dan bentuk uterus di dalamnya. Terdapat 2 golongan b esar Cestoda, yaitu: 1. Pseudophyllidean yang mempunyai skolek berbentuk seperti sendok dengan dilengkapi 2 buah alat isap yang berbentuk celah memanjang yang d isebut bothria, contoh spesies: Diphyllobothrium latum. 2. Cyclophyllidean yang mempunyai skolek dengan alat isap berbentuk seperti mangkuk yang disebut asetabu lum, jumlahnya 4 buah. Diphyllobothrium latum merupakan pseudophyilidean. Cestod a yang hidup di usus manusia sebagai hospes definitifnya. Hospes reservoarnya ad alah hewan/mamalia pemakan ikan. Memerlukan 2 buah hospes perantara dalam daur h idupnya yaitu: (1) Cyclops atau Diaptomus di mana larva cacing disebut proserkoi d, dan (2) Ikan air tawar dengan larva cacing di dalamnya disebut pleroserkoid. Fam.Taeniidae yang termasuk Cyclophyllidean Cestoda mempunyai 3 spesies penting bagi kesehatan manusia maupun hewan, yaitu T.saginata, T.solium, dan E.granuloss us. Bentuk telur antara ketiga cacing tersebut sukar dibedakan satu sama lain. K etiganya mempunyai skolek yang dilengkapi dengan batil isap berbentuk mangkuk ya ng disebut asetabulum. Pada skolek T.solium dan E.granulossus dilengkapi dengan rostellum dan kait-kait . Sedangkan skolek T.saginata tidak ada rostrumnya. T.sa ginata dan T.solium merupakan cacing pita yang panjang sampai bermeter-meter uku rannya, sedangkan E.granulossus merupakan cacing pita yang terpendek, hanya memp unyai 3 buah proglottid saja. Manusia dapat terinfeksi T.saginata bila makan dag ing sapi yang mengandung kista yang disebut sistiserkus bovis, dan menderita tae niasis saginata (terdapat cacing dewasa dalam ususnya). Infeksi T.solium pada ma nusia dapat terjadi melalui 2 cara yaitu: 1. Bila menelan telurnya akan terjadi larva dalam jaringan tubuh manusia, disebu t menderita sistiserkosis. 2. Bila makan daging babi yang mengandung larva sistiserkus selulose, manusia ak an menderita taeniasis solium. Diagnosis taeniasis saginata/solium dengan menemukan telur/proglottid gravid pad a tinja penderita. Sedangkan sistiserkosis dapat diketahui dengan pemeriksaan se rologis, CT-scan atau dengan pembedahan (tergantung letak kista dalam jaringan t ubuh manusia). Infeksi E.granulossus pada manusia dapat terjadi bila menelan tel urnya, manusia akan menderita hidatidosis (terjadinya kista hidatida dalam jarin gan tubuh manusia). Tempat yang sering terjadi kista adalah hati (66%). Diagnosi s dengan pemeriksaan serologis, sinar rontgen, dan pembedahan bila letaknya memu ngkinkan. Cacing pita yang kecil H.nana hospes definitifnya manusia, dan penular an dapat terjadi secara langsung bila manusia menelan telur cacing tersebut. H.n ana var.fraterna dan H.diminuta yang hospes definitifnya tikus memerlukan hospes perantara, yaitu pinjal tikus, dan kumbang tepung. Hospes perantara bila menela n telur cacing tersebut akan menetas menjadi larva sistiserkoid. Bila manusia me nelan hospes perantara yang mengandung sistiserkoid akan menderita hymenolepsis. Cacing pita D.caninum merupakan cacing pita anjing /carnivora lainnya. Habitat d alam hospes adalah dalam usus halus. Manusia terinfeksi secara kebetulan/aksiden tal terutama terjadi pada anak-anak yang menelan pinjal anjing/kucing yang menga ndung larva sistiserkoid. Akibat infeksi ini pada anak-anak tidak begitu nyata b ila infeksinya ringan namun bila infeksi berat dapat terjadi gangguan pencernaan , diare, dan reaksi alergi. Pencegahan dengan meningkatkan kebersihan perorangan serta lingkungan dengan mengobati anjing dari pinjal yang menempel pada tubuhny a. Pengobatan dipylidiasis seperti pada infeksi cacing pita lainnya, yaitu denga n: niklosamid, praziquantel, atau kuinakrin Nematoda Usus Cacing tambang terdiri dari beberapa spesies, yang menginfeksi manusia adalah N. americanus dan A.duodenale, yang menginfeksi hewan (anjing/kucing) baik liar mau pun domestik adalah A.ceylanicum meskipun cacing ini dilaporkan dapat menjadi de wasa dalam usus halus manusia dan tidak pernah menyebabkan creeping eruption, A. caninum dan A.braziliense yang tidak dapat menjadi dewasa dalam usus halus manus ia dan menyebabkan creeping eruption pada manusia. Perbedaan morfologi antar spe sies dapat dilihat dari bentuk rongga mulut, ada tidaknya gigi, dan bentuk bursa kopulatriks cacing jantan. Akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manus ia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena cacing tambang menyeba bkan perdarahan di usus akibat luka yang ditimbulkan juga cacing tambang mengisa p darah hospes. Penyakit cacing tambang tersebar luas di daerah tropis, pencegah an tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai alas kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup parasi t pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di tanah. Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang. Manusia dapat terin feksi melalui 3 cara: yaitu langsung, tak langsung, dan autoinfeksi. Cara penceg ahan dan penyebaran cacing ini sama seperti cacing tambang. Obat yang efektif un tuk strongyloidiasis adalah thiabendazol. Akibat utama yang ditimbulkan adalah p eradangan pada usus, disentri terus-menerus dan rasa sakit pada perut bagian kan an atas. Diagnosis dengan menemukan larva dalam tinja atau dalam sputum penderit a. Pada cacing Nematoda usus ada beberapa spesies yang menginfeksi manusia maupu n hewan. Nematoda usus terbesar adalah A.lumbricoides yang bersama-sama dengan T .trichiura, serta cacing tambang sering menginfeksi manusia karena telur cacing tersebut semuanya mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya lewat tanah yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut termasuk dalam golongan soil-trans mitted helminths. A.lumbricoides, T.trichiura dan E.vermicularis mempunyai stadi um infektif yaitu telur yang mengandung larva. Siklus hidup A.lumbricoides lebih rumit karena melewati siklus paru-paru, sedangkan T.trichiura dan E.vermiculari s tidak. Gejala klinis penyakit cacing ini bila infeksi ringan tidak jelas, bias anya hanya tidak enak pada perut kadang-kadang mual. Infeksi askariasis yang ber at dapat menyebabkan kurang gizi dan sering terjadi sumbatan pada usus. Trikhuri asis berat biasanya dapat terjadi anemia, sedangkan pada enterobiasis gejala yan g khas adalah gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari saat cacing beti na keluar dari usus untuk meletakkan telunya di daerah perianal. Diagnosis askar iasis dan trikhuriasis dengan menemukan telur dalam tinja penderita, sedangkan u ntuk enterobiasis dapat ditegakkan dengan anal swab karena telur E. vermicularis tidak dikeluarkan bersama tinja penderita. Infeksi cacing usus ini tersebar lua s di seluruh dunia baik daerah tropis maupun sub tropis. Anak-anak lebih sering terinfeksi dari pada orang dewasa karena kebiasaan main tanah dan kurang/belum d apat menjaga kebersihan sendiri. Semua infeksi cacing usus dapat dicegah dengan meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, me ngerti cara-cara hidup sehat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman dan mencuci bersih sayuran/buah yang akan di makan mentah. Obat cacing, seperti pipe rasin, mebendazole, tiabendazol, dan lain-lain dapat diberikan dengan hasil yang cukup memuaskan. Trematoda dan Cstoda yang Hidup Parasit pada Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan He wan Spesies trematoda hati yang dapat menginfeksi manusia adalah C. sinensis dan O. viverini, sedangkan O. felineus, F. hepatica dan F. gigantica lebih banyak mengi nfeksi hewan. Stadium infektil cacing hati adalah metaserkaria. Telur dari C. si nensis dan Opistorchis pada waktu dikeluarkan sudah mengandung mirasidium, ukura nnya lebih kecil dibandingkan dengan telur Fasciola yang besar dan tidak berembr io pada waktu dikeluarkan bersama tinja. Habitat cacing-cacing tersebut terutama adalah di saluran empedu, kecuali F. gigantica yang habitatnya di hati. Hospes perantara I cacing-cacing tersebut adalah keong, namun hospes perantara II C. si nensis dan Opistorchis adalah ikan air tawar dan hospes perantara II Fasciola ad alah tumbuh-tumbuhan air. Patologis dan gejala klinis terutama karena peradangan yang disebabkan oleh hasil metabolisme cacing yang bersifat toksin. Gejala utam a dalah demam, sakit daerah perut, pembesaran hati yang lunak, diare dan anemia. Diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Pencegahan dengan memas ak ikan dan tumbuhan air yang akan dimakan. Pengobatan dengan bithionol. Paragon imus westermani merupakan trematoda yang menginfeksi paru-paru manusia dan hewan (mamalia). Stadium infektifnya adalah metasekaria yang mengkista dalam tubuh ke tam atau udang (HP perantar II). Keong merupakan hospes perantara I nya. Patolog i dan gejala klinis disebabkan oleh cacing dewasa dalam alveoli paru-paru dan me ngeluarkan telur yang menyebabkan gejala batuk dengan bercak seperti serbuk besi dan sputum yang mengandung telur. Diagnosis dengan menemukan telur dalam sputum atau tinja penderita. Pencegahan dengan memasak dengan baik ketam atau udang ya ng akan dimakan. Trematoda darah pada manusia adalah Schistosoma japonicum, S. h aematobium dan S. mansoni. Infeksi terjadi dengan cara serkaria menembus kulit h ospes. hanya mempunyai 1 hospes perantara yaitu keong Oncomelania (S. japonicum) ; Biomphalaria (S. mansoni) dan Bulinus (S. mansoni). Berbagai hewan dapat terin feksi oleh cacing ini dan menjadi hospes reservoarnya. Habitat S. japonicum dan S. mansoni adalah pada vena meseterika dan cabang-cabangnya, telur yang dikeluar kan oleh cacing dewasa dapat ditemukan dalam tinja penderita (untuk diagnosis). Sedangkan habitat S. haematobium adalah pada vena kandung kencing, sehingga untu k diagnosis dengan menemukan telur dalam urin penderita. Pencegahan dengan perba ikan irigasi, pemberantasan keong dan pengobatan dengan kalium ammoniumnitrat, n itridazole dan astiban. Nematoda Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan Hewan Nematoda darah atau dikenal sebagai Nematoda filaria, menyebabkan penyakit kaki gajah atau elefantiasis/filariasis. Di Indonesia terdapat 3 spesies cacing ini y ang dikenal juga sebagai cacing filaria limfatik, sebab habitat cacing dewasa ad alah di dalam sistem limfe (saluran dan kelenjar limfe) manusia yang menjadi hos pes definitifnya, maupun dalam sistem limfe hewan yang menjadi hospes reservoar (kera dan kucing hutan). Spesies cacing filaria yang ada di Indonesia adalah: Wu chereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing filaria ini ditulark an melalui gigitan nyamuk yang menjadi vektomya. Filariasis bancrofti mempunyai 2 tipe, yaitu: 1.Tipe urban, atau terdapat di daerah perkotaan, vektornya nyamuk Culex quenquefasciatus/C. fatigans. 2.Tipe rural, vektornya nyamuk Anopheles at au nyamuk Aedes tergantung pada daerahnya. Periodisitasnya adalah periodik noktu rna, di mana mikrofilaria banyak ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu malam hari. Filariasis malayi lebih banyak terjadi di daerah rural, vektornya a dalah nyamuk Mansonia yang tempat perindukannya di rawa-rawa dekat hutan dan beb erapa jenis dari nyamuk Anopheles dapat pula menjadi vektor penyakit ini. Perbed aan nyamuk yang menjadi vektornya tergantung pada daerah geografis. Periodisitas filariasis malayi adalah subperiodik nokturna, artinya mikrofilaria dapat ditem ukan dalam darah tepi penderita pada waktu siang dan malam hari, meskipun jumlah nya lebih banyak pada malam hari. Bila mikrofilaria dalam darah tepi penderita m asuk ke dalam tubuh nyamuk vektor pada waktu nyamuk rnengisap darah, maka akan b erubah menjadi larva stadium I-III (L1-L2-L3). L3 bila nyamuk mengisap darah man usia akan terbawa masuk ke dalam tubuh dan menuju saluran limfe serta menjadi de wasa dalam kelenjar limfe. Gejala utama filariasis adalah: limfangitis, limfaden itis, limfedema, yang bisa terjadi berulang-ulang sampai akhimya bila sudah kron is (bertahun-tahun) akan terjadi elefantiasis. Pada infeksi W. bancrofti biasa m enyerang ekstremitas bagian atas, alat genital, yang bisa menimbulkan hidrokel d an juga buah dada, namun juga bisa menyerang kaki. Filariasis malayi lebih banya k menyerang bagian kaki. Diagnosis dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tep i penderita, tergantung periodisitasnya maka biasanya pemeriksaan dilakukan pada malam hari untuk menemukan mikrofilarianya. Lalu sediaan darah dicat dengan Gie msa, sehingga dapat dilihat perbedaan bentuk mf-nya untuk menentukan spesiesnya. Pengobatan filariasis sampai saat ini yang efektif adalah pemberian DEC (dietil karbamasin). Pencegahan terutama menjaga diri agar tidak digigit nyamuk, dengan memakai kelambu waktu tidur atau menggunakan repelen. Membasmi tempat perinduka n nyamuk vektor, namun untuk yang habitatnya di rawa-rawa akan sulit dilakukan. Nematoda jaringan adalah beberapa spesies cacing Nematoda yang hospes yang defin itifnya hewan, di mana cacing dewasa hidup dalam usus halus hewan tersebut. Bent uk larvanya yang menginfeksi jaringan tubuh manusia dan menimbulkan masalah peny akit. Tiga jenis cacing tersebut adalah: Trichinella spiralis yang hospes defini tifnya adalah babi dan hewan lain (tikus, beruang, anjing liar dll), juga manusi a. Habitat cacing dewasa dalam usus halus hospes. Manusia terinfeksi karena maka n daging babi yang mengandung sista yang berisi larva di dalamnya. Daging terseb ut bila dimakan tanpa dimasak dengan baik, maka larva akan menetas dalam usus da n menjadi dewasa. Cacing betina yang bersifat vivipar, menghasilkan larva yang a kan menembus mukosa usus terbawa aliran darah sampai ke jaringan otot dan menyeb abkan trikhinosis. Sumber buku Parasitolog