Anda di halaman 1dari 18

PENYAKIT_PARASITIK

Pembimbing : Dr. drh. Muhammad Hambal


1. 15 species parasit cacing yang tergolong ke dalam kelompok Trematoda :
a. Gyrodactylus elegatis i. Metagonimus yokogawai
b. Sphyranura sp j. Opisthorchis tenuic
olis
c. Fasciola gigantica k. Clonorchis sinensis
d. Paramphistomum cervi l. Echinostoma revolotum
e. Cotylophoron spp m. Paragonimus westerma
nii
f. Calicophoron spp n. Gigantocotyle explan
atum
g. Dicrocoelium dendriticum o. Gastrodiscus aegyptiacus
h. Eurytrema coelomasticum p. Schistosoma intercalatum
3. Predileksi dari parasit Ophisthorchis tenuicollis yaitu di saluran empedu,
ductus biliverus,
dan kadang-kadang pada intestinum dan saluran pencreas
4. Perbedaan Ophisthorchis tenuicollis dan Ophisthorchis viverini dalam hal d
istribusi
penyakit secara geografis :
Ophisthorchis tenuicollis penyebarannya di Eropa (Eropa timur, terutama
Polandia, Jerman, siberia dan juga di Asia)
Ophisthorchis viverini penyebarannya di Asia (Asia Tenggara terutama Tha
iland dan Laos).
5. Siklus hidup cacing Ophisthorchis :
Induk semang antara I merupakan siput dari genus Bithynia, sedangkan ind
uk semang antara II adalah ikan air tawar
Telur dimakan oleh siput mirasidium sporosis redia cercaria dimakan oleh ikan
metacercaria dewasa
Metacercaria menetas dalam duodenum dan bermigrasi melalui ductus choled
ucus ke saluran empedu
Masa prepaten 3-4 minggu
6. Pathogenesa dari Ophisthorchis :
Cacing Ophistorchis menyebabkan infeksi kataralis pada saluran empedu
Epithel saluran empedu mengalami hiperplasia dan kemudian akan berkemban
g menjadi carcinoma
Pembesaran pada hati dan pelebaran saluran empedu
Gejala klinis berupa hilangnya nafsu makan, muntah, anemia, ikterus, gan
gguan pencernaan, oedem, dan pada stadium lanjut terjadi ascites.
7. Cara pencegahan dari cacing Ophisthorchiasis : Pada daerah endemik, ikan ment
ah jangan dikonsumsi ataupun diberikan kepada hewan peliharaan.
8. Obat-obat yang digunakan dalam penanganan Ophisthorchiasis :
No
Nama Preparat
Dosis
Dosis/Kg Berat Badan
Jmh Pemberian (...kali)
1
Hexachlorophene
2
Clioxanide
3
Dithiazanin Iodid
4
Hexachloparaxylene
5
Niiridazole
9. Predileksi parasit Fasciola gigantica yaitu hidup dalam kantong empedu dan da
lam saluran empedu yang besar dalam hati mamalia dan ruminansia.
10. Perbedaan Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica dalam hal distribusi peny
akit secara geografis yaitu : Distribusi: Seluruh dunia Fasciola hepatica biasan
ya negara-negara temperate yaitu negara yang memiliki 4 musim seperti negara-neg
ara di eropa (Inggris, Belanda) sedangkan Fasciola gigantica distribusi di Nega
ra-negara tropis seperti Indonesia). Di indonesia hanya terdapat Fasciola gigant
ica penyebarannya meliputi semua kepulauan Indonesia dengan tingkat infeksi yang
bervariasi.
11. Siklus hidup cacing Fasciola yaitu
Telur keluar bersama feses Mirasidium sporosis Redia Redia anak Serkaria Met
aserkaria (fase infektif) tertelan oleh induk semang definitif
Mirasidium menetas di air, berenang dan mencari siput (inang perantara)
yang cocok.
Inang perantara adalah siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L
. truncatula dll).
Mirasidium menembus tubuh siput untuk berkembang di dalamnya
Sporosis, redia, redia anak dan serkaria berada di dalam tubuh siput.
Serkaria yang matang meninggalkan tubuh siput, metaserkaria melekat pada
rumput, daun atau benda yang memiliki permukaan datar lainnya. Hewan akan terin
feksi apabila menelan metaserkaria
Jalur Infestasi: Secara oral, dengan tertelannya metaserkaria yang menem
pel pada rumput/tumbuhan air. Metaserkaria dapat bertahan hingga 10 bulan di ala
m bebas
Metaserkaria mengalami ekskistasi di dalam rumen dan menetas di dalam us
us halus. Menembus dinding usus, perineum dan menembus parenchima hati untuk men
uju saluran empedu
Diagnosa: dengan melihat keberadaan telur di dalam feses dengan metode s
edimentasi
Gejala klinis: lemah, oedem pada bagian mandibularis dan dada bagian baw
ah, inappetence, kurus, anemia, bulu rontok, Pada kasus infestasi massal terjadi
kematian tiba-tiba
Masa prepaten: 16 minggu (F. gigantica); F. hepatica 8-16 minggu
Masa paten: bertahun-tahun

12. Pathogenesa dari fasciola yaitu cacing dalam saluran empedu menyebabkan pera
dangan sehingga merangsang terbentuknya jaringan fibrosa pada dinding saluran em
pedu. Penebalan saluran empedu menyebabkan cairan empedu mengalir tidak lancar.
Disamping itu pengaruh cacing dalam hati menyebabkan kerusakan parenchym hati da
n mengakibatkan sirosis hepatis. Hambatan cairan empedu keluar dari saluran empe
du menyebabkan ichterus. Bila penyakit bertambah parah akan menyebabkan tidak be
rfungsinya hati.
13. Cara pencegahan dari Fascioliasis yaitu salah satunya dengan memberi prepara
t kimia Moluscisida pada daerah perairan ditumbuhi rerumputan yang ada inang per
antara siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L. truncatula dll), denga
n tujuan memutus siklus hidup dari cacing Fasciola sp. Tidak memakan sayur-sayur
an yang dapat menjadi tempat menempelnya metacercaria, bagi manusia yang memakan
jeroan agar memasak dalam suhu yang sangat tinggi hingga larva infectivenya mat
i.
14. Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan Fascioliasis dan dosisnya :
Keberhasilan pengobatan fascioliasis tergantung efektifitas obat terhadap stadia
perkembangan cacing, pada fase migrasi, pada migrasi atau pada fase menetap dih
ati, dan sifat toksin dari obat harus rendah karena jaringan hati yang terlanjur
mengalami kerusakan. Yang paling baik syatui obat mampu membunuh fasciola yang
sedang migrasi dan cacing dewasa,serta tidak toksik pada jeringan, misalnya: a.H
exacchlorethan, Aulotane, Perchloroethan, fasciolin selain efektif terhadap caci
ng desawajuga efektif untuk Hemonchis dan Trichostrongylosisb.Clioxanidec.sangat
efektif untuk Fasciolisis domba, dan membunuh cacing dewasa umur 6 minggu atau
lebih.d. Niclofolan, Tordas, Dovenix. Obat yang mampu membunuh fascioliasis (ber
sifat flukicidal) dikemas sebagai garam N-methyl Glucaumine atau Meglumine 20%.
Derivate Benzimedazol, terutama Albendazol, Triclabendazol dan Probendazol Feban
tel, memperoleh perhatian luas karena selain efektif terhadap cacingnematoda, se
nyawa tersebut juga efektif untuk membunuh cacing hati muda dan cacing dewasa. U
ntuk kemanjuran tinggi dan keamanan, triclabendazole (Egaten) dalam dosis 10-12
mg / kg adalah obat pilihan dalam fasciolosis manusia. Tidak ada alternatif obat
yang tersedia bagi manusia. Di sisi lain, nitazoxanide berhasil digunakan dalam
pengobatan fasciolosis manusia di Meksiko. Bithionol merupakan obat pilihan yan
g digunakan untuk pengobatan F. Hepatica.
15. Hewan yang diserang Paramphistomum spp sebagai induk semang definitif yaitu
hewan ternak (sapi, kambing, domba) dan ruminansia liar.
16. Predileksi dari masing-masing parasit Paramphistomum spp yaitu :
Paramphistomum cervi, Paramphistomum microbothrium, Paramphistomum ichikawai, Pa
ramphistomum gotoi :predileksi di rumen dan retikulum sapi, domba, kerbau, kambi
ng, kijang dan ruminansia lain. Cacing muda berpredileksi di dalam usus halus da
n baru akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah dewasa.
17. Siklus hidup dari cacing Paramphistomum :
Paramphistomum siklus hidup yang bersifat heteroxene dengan induk semang antaran
ya adalah sifut. Telur yang keluar bersama feses akan mampu bertahan pada suhu d
i bawah 10 C selama lebih dari 6 bulan. Telur cepat rusak pada lingkungan yang ke
ring. Dalam waktu 4 minggu, di dalam telur akan terbentuk mirasidia. Sebagai ind
uk semang adalah berbagai jenis sifut air tawar dari family planorbidae; untuk P
.cervi dan P.ichikawai induk semang antara adalah Planorbis planorbis serta Anis
us vortex. Untuk cacing P.daubneyi siput Lymnaea truncatula berperan sebagai ind
uk semang antara paling penting, sedangkan Lymnaea peregra kadang-kadang dapat j
uga berperan sebagai induk semang antara.
Mirasidia berkembang menjadi sporokista dan redia serta akhirnya menjadi sercari
a. Proses dari mirasidia menjadi sporokista,redia, redia anak dan akhirnya serka
ria memakan waktu sekitar 4 minggu. Pada temperature antara 16-17 C perkembangan
larva membutuhkan waktu sekitar 110 hari. Serkaria melepaskan diri dari tubuh s
iput dan menempelkan diri pada dedaunan atau bagian tumbuhan dan berubah menjadi
metaserkaria yang dalam waktu 5 hari akan bersifat infectif. Metaserkaria dapat
bertahan hidup dalam lingkungan lembab hingga 5 bulan. Metaserkaria yang tertel
an oleh induk semang definitif akan menetas di dalam usus menempel pada bagian d
epan dari duodenum pada selaput lendir atau menembusnya. Dalam waktu setengah bu
lan cacing akan mengembara menuju rumen.
18. Paramphistomum disebut juga cacing porang
19. Pathogenesa dari Paramphistomiasis yaitu
Paramphistomum memiliki 2 fase yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase
intestinal cacing muda menyebabkan pendarahan bengkak serta merah di dalam duod
enum dan abomasum hal ini menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infe
ksi masal pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat
lebih lama. Fase ruminal cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen ya
ng mengganggu kapasitas reabsorbsi. Gejala klinisnya diare dengan feses yang ber
bau khas apatis dan demam ringan. Pada kasus kronis akan terjadi kekurusan serta
kerugian ekonomi lainnya. Pada kasus masal cacing ini bisa menyebabkan kematian
, pada fase ruminal tidak terlihat jelas.
20. Cara pencegahan dari Paramphistomiasis yaitu menghindari ternak mengkonsumsi
metaserkaria (pada sifut), memberi preparat kimia Moluscisida pada daerah perai
ran ditumbuhi rerumputan yang ada inang perantara siput dari famili Planorbidae,
L. truncatula Anisus vortex, dengan tujuan memutus siklus hidup dari cacing Par
amphistomum sp.
21. Obat-obatan yangdigunakan untuk pengobatan Paramphistomiasis dan dosisnya :
Nama Obat
Domba
Sapi
Niclosamid
90 mg/kg BB
2x160 mg/kg BB
Rafoxanid
15 mg/kg BB
-
Oxyclozanid
15 mg/kg BB
18,7 mg/kg BB
Resorantel
65 mg/kg BB
65 mg/kg BB
Levamisol
-
9,4 mg/kg BB
22. Siklus hidup dari Schistosoma japonicum :
Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke organ tertentu dalam perut hos
pes definitif (orang), yaitu:
S. japonicum, hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus.
Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana mereka
berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk mengeluarkan telur
di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen usus atau kan
tong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan memben
tuk embrio. Telur menetas dan kelur meracidiun yang bersilia dan berenang dalam ai
r serta bersifat fototrofik. Meracidia menemukan hospes intermedier yaitu pada b
abarapa spesies siput yaitu:
-S. japonicum: hospes intermediernya pada siput Oncomelania.
Setelah masuk kedalam siput meracidium melepaskan kulitnya dan membentuk Sporocy
st, biasanya didekat pintu masuk dalam siput tersebut. Setelah dua minggu Sporoc
yst mempunyai 4 Protonepridia yang akan mengeluarkan anak sporocyst dan anak t
ersbut bergerak ke organ lain dari siput. Sporocyst memproduksi anak lagi dan be
gitu seterusnya sampai 6-7 minggu.
Cercaria keluar dari anak sporocyst kemudian keluar dari tubuh siput dlam waktu
4 minggu sejak masuknya meracidium dalam tubuh siput. Cercaria berenang ke permu
kaan air dan dengan perlahan tenggelam kedasar air. Bila cercaria kontak dengan
kulit hospes definitif (orang), kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh ora
ng tersebut, kemudian menembus (penetrasi) kedalam epidermis dan menanggalkan ek
ornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut Schistosomula yang masuk keda
lam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan. Sebagian lain schistosomula be
rmigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus thoracalis dan terbaw
a ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah kanan.
Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kap
iler pulmonaris dan kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sis
tem sirkulasi darah sistemik. Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika
dan sistem hepatoportal yang dapat berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam
sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke dinding usus atau ke kantong kencing (
brgantung spesiesnya), kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi telur. Selur
uhnya prepatent periodnya 5-8 minggu.
23. Obat-obatan yang digunakan untu pemberantasan Schistosoma japonicum :
Sulit dilakukan, dan penyakit schistosomiasis ini merupakan penyakit yang cukup
bermasalah bagi WHO, karena distribusinya yang sangat luas. Obat yang telah dico
ba dan cukup efektif adalah trivalen organik antimonial tetapi obat ini sedikit be
rsifat toksik terhadap orang, sehingga pemebriannya harus hati-hati. Obat lain y
ang toksik seperti:
-Lucanthone hydroksoid dan miridazole, tetapi obat ini kurang efektif. Obat ters
ebut hanya menghambat cacing untuk memproduksi telur dan cacing kembali ke hati
untuk sementar, suatu saat cacing dapat balik lagi kevenula porta dan memproduks
i telur lagi. Beberapa obat yang masih dalam proses penelitian ialah: hycanthon
e, metriphonat, oxamniquine, praziquantel, menunjukkan hasil yang cukup menjanji
kan untuk lebih efektif.
Pada fase dimana hati sudah mengalami kerusakan, semua obat menjadi
berefek kontra-indikatif, mungkin operasi adalah jalan yang terbaik. Pada kasus
yang sudah sangat terlambat prognosanya jelek, pengobatan hanya dilakukan sebaga
i suportif saja.
Kontrol schistosomiasis sangat sulit dilakukan, bergantung pada sosi
alisasi mengenai sanitasi dan pendidikan masyarakat setempat untuk merubah kebia
saan dan tradisi mereka.
Pemberantasan hospes intermedier dengan moluskisida cukup baik, teta
pi untuk hospes intermedier cacing S. japonicus agak sulit karena siput Onchomel
ania bersifat amfibia dan mereka hanya masuk kedalam air bila akan bertelur saja
.
24. Siklus hidup Echinostoma revolotum :
Cacing trematoda yang termasuk famili Echinostomatidae ini terciri dengan adanya
duri leher
yang melingkar dalam sebaris atau dua baris yang melingkari batl isap kepala. C
acing dewasa hidup dalam usus halus, telur keluar melalui feses dan kemudian men
etas dalam waktu 3 minggu dan kemudian keluar meracidium yang berenang dalam air
mencari hospes intermedier ke 1 berupa siput genus Physa, Lymnea, Heliosoma, Pa
ludina dan segmentia. Dalam hospes intermedier tersebut meracidium membentuk spo
rocyst dan kemudian terbentuk redia induk, redia anak yang kemudian membentuk ce
rcaria. Cercaria keluar dari siput berenang mencari hospes intermedier ke 2 yait
u jenis moluska (siput besar), planaria, ikan atau katak. Bila hospes intermedie
r dimakan orang maka orang akan terinfeksi.
PENYAKIT_PARASITIK
Pembimbing : Dr. drh. Muhammad Hambal
1. 15 species parasit cacing yang tergolong ke dalam kelompok Trematoda :
a. Gyrodactylus elegatis i. Metagonimus yokogawai
b. Sphyranura sp j. Opisthorchis tenuic
olis
c. Fasciola gigantica k. Clonorchis sinensis
d. Paramphistomum cervi l. Echinostoma revolotum
e. Cotylophoron spp m. Paragonimus westerma
nii
f. Calicophoron spp n. Gigantocotyle explan
atum
g. Dicrocoelium dendriticum o. Gastrodiscus aegyptiacus
h. Eurytrema coelomasticum p. Schistosoma intercalatum
3. Predileksi dari parasit Ophisthorchis tenuicollis yaitu di saluran empedu,
ductus biliverus,
dan kadang-kadang pada intestinum dan saluran pencreas
4. Perbedaan Ophisthorchis tenuicollis dan Ophisthorchis viverini dalam hal d
istribusi
penyakit secara geografis :
Ophisthorchis tenuicollis penyebarannya di Eropa (Eropa timur, terutama
Polandia, Jerman, siberia dan juga di Asia)
Ophisthorchis viverini penyebarannya di Asia (Asia Tenggara terutama Tha
iland dan Laos).
5. Siklus hidup cacing Ophisthorchis :
Induk semang antara I merupakan siput dari genus Bithynia, sedangkan ind
uk semang antara II adalah ikan air tawar
Telur dimakan oleh siput mirasidium sporosis redia cercaria dimakan oleh ikan
metacercaria dewasa
Metacercaria menetas dalam duodenum dan bermigrasi melalui ductus choled
ucus ke saluran empedu
Masa prepaten 3-4 minggu
6. Pathogenesa dari Ophisthorchis :
Cacing Ophistorchis menyebabkan infeksi kataralis pada saluran empedu
Epithel saluran empedu mengalami hiperplasia dan kemudian akan berkemban
g menjadi carcinoma
Pembesaran pada hati dan pelebaran saluran empedu
Gejala klinis berupa hilangnya nafsu makan, muntah, anemia, ikterus, gan
gguan pencernaan, oedem, dan pada stadium lanjut terjadi ascites.
7. Cara pencegahan dari cacing Ophisthorchiasis : Pada daerah endemik, ikan ment
ah jangan dikonsumsi ataupun diberikan kepada hewan peliharaan.
8. Obat-obat yang digunakan dalam penanganan Ophisthorchiasis :
No
Nama Preparat
Dosis
Dosis/Kg Berat Badan
Jmh Pemberian (...kali)
1
Hexachlorophene
2
Clioxanide
3
Dithiazanin Iodid
4
Hexachloparaxylene
5
Niiridazole
9. Predileksi parasit Fasciola gigantica yaitu hidup dalam kantong empedu dan da
lam saluran empedu yang besar dalam hati mamalia dan ruminansia.
10. Perbedaan Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica dalam hal distribusi peny
akit secara geografis yaitu : Distribusi: Seluruh dunia Fasciola hepatica biasan
ya negara-negara temperate yaitu negara yang memiliki 4 musim seperti negara-neg
ara di eropa (Inggris, Belanda) sedangkan Fasciola gigantica distribusi di Nega
ra-negara tropis seperti Indonesia). Di indonesia hanya terdapat Fasciola gigant
ica penyebarannya meliputi semua kepulauan Indonesia dengan tingkat infeksi yang
bervariasi.
11. Siklus hidup cacing Fasciola yaitu
Telur keluar bersama feses Mirasidium sporosis Redia Redia anak Serkaria Met
aserkaria (fase infektif) tertelan oleh induk semang definitif
Mirasidium menetas di air, berenang dan mencari siput (inang perantara)
yang cocok.
Inang perantara adalah siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L
. truncatula dll).
Mirasidium menembus tubuh siput untuk berkembang di dalamnya
Sporosis, redia, redia anak dan serkaria berada di dalam tubuh siput.
Serkaria yang matang meninggalkan tubuh siput, metaserkaria melekat pada
rumput, daun atau benda yang memiliki permukaan datar lainnya. Hewan akan terin
feksi apabila menelan metaserkaria
Jalur Infestasi: Secara oral, dengan tertelannya metaserkaria yang menem
pel pada rumput/tumbuhan air. Metaserkaria dapat bertahan hingga 10 bulan di ala
m bebas
Metaserkaria mengalami ekskistasi di dalam rumen dan menetas di dalam us
us halus. Menembus dinding usus, perineum dan menembus parenchima hati untuk men
uju saluran empedu
Diagnosa: dengan melihat keberadaan telur di dalam feses dengan metode s
edimentasi
Gejala klinis: lemah, oedem pada bagian mandibularis dan dada bagian baw
ah, inappetence, kurus, anemia, bulu rontok, Pada kasus infestasi massal terjadi
kematian tiba-tiba
Masa prepaten: 16 minggu (F. gigantica); F. hepatica 8-16 minggu
Masa paten: bertahun-tahun

12. Pathogenesa dari fasciola yaitu cacing dalam saluran empedu menyebabkan pera
dangan sehingga merangsang terbentuknya jaringan fibrosa pada dinding saluran em
pedu. Penebalan saluran empedu menyebabkan cairan empedu mengalir tidak lancar.
Disamping itu pengaruh cacing dalam hati menyebabkan kerusakan parenchym hati da
n mengakibatkan sirosis hepatis. Hambatan cairan empedu keluar dari saluran empe
du menyebabkan ichterus. Bila penyakit bertambah parah akan menyebabkan tidak be
rfungsinya hati.
13. Cara pencegahan dari Fascioliasis yaitu salah satunya dengan memberi prepara
t kimia Moluscisida pada daerah perairan ditumbuhi rerumputan yang ada inang per
antara siput dari famili Lymnaedae (Lymnae rubiginosa, L. truncatula dll), denga
n tujuan memutus siklus hidup dari cacing Fasciola sp. Tidak memakan sayur-sayur
an yang dapat menjadi tempat menempelnya metacercaria, bagi manusia yang memakan
jeroan agar memasak dalam suhu yang sangat tinggi hingga larva infectivenya mat
i.
14. Obat-obat yang digunakan untuk pengobatan Fascioliasis dan dosisnya :
Keberhasilan pengobatan fascioliasis tergantung efektifitas obat terhadap stadia
perkembangan cacing, pada fase migrasi, pada migrasi atau pada fase menetap dih
ati, dan sifat toksin dari obat harus rendah karena jaringan hati yang terlanjur
mengalami kerusakan. Yang paling baik syatui obat mampu membunuh fasciola yang
sedang migrasi dan cacing dewasa,serta tidak toksik pada jeringan, misalnya: a.H
exacchlorethan, Aulotane, Perchloroethan, fasciolin selain efektif terhadap caci
ng desawajuga efektif untuk Hemonchis dan Trichostrongylosisb.Clioxanidec.sangat
efektif untuk Fasciolisis domba, dan membunuh cacing dewasa umur 6 minggu atau
lebih.d. Niclofolan, Tordas, Dovenix. Obat yang mampu membunuh fascioliasis (ber
sifat flukicidal) dikemas sebagai garam N-methyl Glucaumine atau Meglumine 20%.
Derivate Benzimedazol, terutama Albendazol, Triclabendazol dan Probendazol Feban
tel, memperoleh perhatian luas karena selain efektif terhadap cacingnematoda, se
nyawa tersebut juga efektif untuk membunuh cacing hati muda dan cacing dewasa. U
ntuk kemanjuran tinggi dan keamanan, triclabendazole (Egaten) dalam dosis 10-12
mg / kg adalah obat pilihan dalam fasciolosis manusia. Tidak ada alternatif obat
yang tersedia bagi manusia. Di sisi lain, nitazoxanide berhasil digunakan dalam
pengobatan fasciolosis manusia di Meksiko. Bithionol merupakan obat pilihan yan
g digunakan untuk pengobatan F. Hepatica.
15. Hewan yang diserang Paramphistomum spp sebagai induk semang definitif yaitu
hewan ternak (sapi, kambing, domba) dan ruminansia liar.
16. Predileksi dari masing-masing parasit Paramphistomum spp yaitu :
Paramphistomum cervi, Paramphistomum microbothrium, Paramphistomum ichikawai, Pa
ramphistomum gotoi :predileksi di rumen dan retikulum sapi, domba, kerbau, kambi
ng, kijang dan ruminansia lain. Cacing muda berpredileksi di dalam usus halus da
n baru akan bermigrasi ke dalam rumen dan retikulum setelah dewasa.
17. Siklus hidup dari cacing Paramphistomum :
Paramphistomum siklus hidup yang bersifat heteroxene dengan induk semang antaran
ya adalah sifut. Telur yang keluar bersama feses akan mampu bertahan pada suhu d
i bawah 10 C selama lebih dari 6 bulan. Telur cepat rusak pada lingkungan yang ke
ring. Dalam waktu 4 minggu, di dalam telur akan terbentuk mirasidia. Sebagai ind
uk semang adalah berbagai jenis sifut air tawar dari family planorbidae; untuk P
.cervi dan P.ichikawai induk semang antara adalah Planorbis planorbis serta Anis
us vortex. Untuk cacing P.daubneyi siput Lymnaea truncatula berperan sebagai ind
uk semang antara paling penting, sedangkan Lymnaea peregra kadang-kadang dapat j
uga berperan sebagai induk semang antara.
Mirasidia berkembang menjadi sporokista dan redia serta akhirnya menjadi sercari
a. Proses dari mirasidia menjadi sporokista,redia, redia anak dan akhirnya serka
ria memakan waktu sekitar 4 minggu. Pada temperature antara 16-17 C perkembangan
larva membutuhkan waktu sekitar 110 hari. Serkaria melepaskan diri dari tubuh s
iput dan menempelkan diri pada dedaunan atau bagian tumbuhan dan berubah menjadi
metaserkaria yang dalam waktu 5 hari akan bersifat infectif. Metaserkaria dapat
bertahan hidup dalam lingkungan lembab hingga 5 bulan. Metaserkaria yang tertel
an oleh induk semang definitif akan menetas di dalam usus menempel pada bagian d
epan dari duodenum pada selaput lendir atau menembusnya. Dalam waktu setengah bu
lan cacing akan mengembara menuju rumen.
18. Paramphistomum disebut juga cacing porang
19. Pathogenesa dari Paramphistomiasis yaitu
Paramphistomum memiliki 2 fase yaitu fase intestinal dan fase ruminal. Pada fase
intestinal cacing muda menyebabkan pendarahan bengkak serta merah di dalam duod
enum dan abomasum hal ini menyebabkan duodenitis dan abomasitis. Pada kasus infe
ksi masal pertumbuhan cacing menjadi lambat sehingga gejala klinis akan terlihat
lebih lama. Fase ruminal cacing akan menyebabkan perubahan epitel dari rumen ya
ng mengganggu kapasitas reabsorbsi. Gejala klinisnya diare dengan feses yang ber
bau khas apatis dan demam ringan. Pada kasus kronis akan terjadi kekurusan serta
kerugian ekonomi lainnya. Pada kasus masal cacing ini bisa menyebabkan kematian
, pada fase ruminal tidak terlihat jelas.
20. Cara pencegahan dari Paramphistomiasis yaitu menghindari ternak mengkonsumsi
metaserkaria (pada sifut), memberi preparat kimia Moluscisida pada daerah perai
ran ditumbuhi rerumputan yang ada inang perantara siput dari famili Planorbidae,
L. truncatula Anisus vortex, dengan tujuan memutus siklus hidup dari cacing Par
amphistomum sp.
21. Obat-obatan yangdigunakan untuk pengobatan Paramphistomiasis dan dosisnya :
Nama Obat
Domba
Sapi
Niclosamid
90 mg/kg BB
2x160 mg/kg BB
Rafoxanid
15 mg/kg BB
-
Oxyclozanid
15 mg/kg BB
18,7 mg/kg BB
Resorantel
65 mg/kg BB
65 mg/kg BB
Levamisol
-
9,4 mg/kg BB
22. Siklus hidup dari Schistosoma japonicum :
Cacing dewasa hidup dalam venula yang mengalir ke organ tertentu dalam perut hos
pes definitif (orang), yaitu:
S. japonicum, hidup dalam venula yang mengalir ke usus halus.
Cacing betina menempel pada bagian gynecophore dari cacing jantan dimana mereka
berkopulasi. Cacing betina meninggalkan tempat tersebut untuk mengeluarkan telur
di venula yang lebih kecil. Telur keluar dari venula menuju lumen usus atau kan
tong kencing. Telur keluar dari tubuh hospes melalui feses atau urine dan memben
tuk embrio. Telur menetas dan kelur meracidiun yang bersilia dan berenang dalam ai
r serta bersifat fototrofik. Meracidia menemukan hospes intermedier yaitu pada b
abarapa spesies siput yaitu:
-S. japonicum: hospes intermediernya pada siput Oncomelania.
Setelah masuk kedalam siput meracidium melepaskan kulitnya dan membentuk Sporocy
st, biasanya didekat pintu masuk dalam siput tersebut. Setelah dua minggu Sporoc
yst mempunyai 4 Protonepridia yang akan mengeluarkan anak sporocyst dan anak t
ersbut bergerak ke organ lain dari siput. Sporocyst memproduksi anak lagi dan be
gitu seterusnya sampai 6-7 minggu.
Cercaria keluar dari anak sporocyst kemudian keluar dari tubuh siput dlam waktu
4 minggu sejak masuknya meracidium dalam tubuh siput. Cercaria berenang ke permu
kaan air dan dengan perlahan tenggelam kedasar air. Bila cercaria kontak dengan
kulit hospes definitif (orang), kemudian mencari lokasi penetrasi dari tubuh ora
ng tersebut, kemudian menembus (penetrasi) kedalam epidermis dan menanggalkan ek
ornya sehingga bentuknya menjadi lebih kecil disebut Schistosomula yang masuk keda
lam peredaran darah dan terbawa ke jantung kanan. Sebagian lain schistosomula be
rmigrasi mengikuti sistem peredaran cairan limfe ke duktus thoracalis dan terbaw
a ke jantung. Schistosomula ini biasanya berada dalam jantung sebelah kanan.
Cacing muda tersebut kemudian meninggalkan jantung kanan melalui kap
iler pulmonaris dan kemudian menuju jantung sebelah kiri, kemudian mengikuti sis
tem sirkulasi darah sistemik. Hanya schistosomula yang masuk arteri mesenterika
dan sistem hepatoportal yang dapat berkembang. Setelah sekitar tiga minggu dalam
sinusoid hati, cacing muda bermigrasi ke dinding usus atau ke kantong kencing (
brgantung spesiesnya), kemudian berkopulasi dan memulai memproduksi telur. Selur
uhnya prepatent periodnya 5-8 minggu.
23. Obat-obatan yang digunakan untu pemberantasan Schistosoma japonicum :
Sulit dilakukan, dan penyakit schistosomiasis ini merupakan penyakit yang cukup
bermasalah bagi WHO, karena distribusinya yang sangat luas. Obat yang telah dico
ba dan cukup efektif adalah trivalen organik antimonial tetapi obat ini sedikit be
rsifat toksik terhadap orang, sehingga pemebriannya harus hati-hati. Obat lain y
ang toksik seperti:
-Lucanthone hydroksoid dan miridazole, tetapi obat ini kurang efektif. Obat ters
ebut hanya menghambat cacing untuk memproduksi telur dan cacing kembali ke hati
untuk sementar, suatu saat cacing dapat balik lagi kevenula porta dan memproduks
i telur lagi. Beberapa obat yang masih dalam proses penelitian ialah: hycanthon
e, metriphonat, oxamniquine, praziquantel, menunjukkan hasil yang cukup menjanji
kan untuk lebih efektif.
Pada fase dimana hati sudah mengalami kerusakan, semua obat menjadi
berefek kontra-indikatif, mungkin operasi adalah jalan yang terbaik. Pada kasus
yang sudah sangat terlambat prognosanya jelek, pengobatan hanya dilakukan sebaga
i suportif saja.
Kontrol schistosomiasis sangat sulit dilakukan, bergantung pada sosi
alisasi mengenai sanitasi dan pendidikan masyarakat setempat untuk merubah kebia
saan dan tradisi mereka.
Pemberantasan hospes intermedier dengan moluskisida cukup baik, teta
pi untuk hospes intermedier cacing S. japonicus agak sulit karena siput Onchomel
ania bersifat amfibia dan mereka hanya masuk kedalam air bila akan bertelur saja
.
24. Siklus hidup Echinostoma revolotum :
Cacing trematoda yang termasuk famili Echinostomatidae ini terciri dengan adanya
duri leher yang melingkar dalam sebaris atau dua baris yang melingkari batl isa
p kepala. Cacing dewasa hidup dalam usus halus, telur keluar melalui feses dan k
emudian menetas dalam waktu 3 minggu dan kemudian keluar meracidium yang berenan
g dalam air mencari hospes intermedier ke 1 berupa siput genus Physa, Lymnea, He
liosoma, Paludina dan segmentia. Dalam hospes intermedier tersebut meracidium me
mbentuk sporocyst dan kemudian terbentuk redia induk, redia anak yang kemudian m
embentuk cercaria. Cercaria keluar dari siput berenang mencari hospes intermedie
r ke 2 yaitu jenis moluska (siput besar), planaria, ikan atau katak. Bila hospes
intermedier dimakan orang maka orang akan terinfeksi.
Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi
Posted on 24 September 2008 by Pakde sofa
Menambah Pengetahuan Tentang Parasitologi
Parasitologi adalah suatu ilmu cabang Biologi yang mempelajari tentang semua org
anisme parasit. Tetapi dengan adanya kemajuan ilmu, parasitologi kini terbatas m
empelajari organisme parasit yang tergolong hewan parasit, meliputi: protozoa, h
elminthes, arthropoda dan insekta parasit, baik yang zoonosis ataupun anthropono
sis. Cakupan parasitologi meliputi taksonomi, morfologi, siklus hidup masing-mas
ing parasit, serta patologi dan epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Organ
isme parasit adalah organisme yang hidupnya bersifat parasitis; yaitu hidup yang
selalu merugikan organisme yang ditempatinya (hospes). Predator adalah organism
e yang hidupnya juga bersifat merugikan organisme lain (yang dimangsa). Bedanya,
kalau predator ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari yang dimangsa, bersifat me
mbunuh dan memakan sebagian besar tubuh mangsanya. Sedangkan parasit, selain uku
rannya jauh lebih kecil dari hospesnya juga tidak menghendaki hospesnya mati, se
bab kehidupan hospes sangat essensial dibutuhkan bagi parasit yang bersangkutan.
Tujuan Pengajaran Parasitologi
Menyadari akibat yang dapat ditimbulkan oleh gangguan parasit terhadap kesejahte
raan manusia, maka perlu dilakukan usaha pencegahan dan pengendalian penyakitnya
. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentan
g kehidupan organisme parasit yang bersangkutan selengkapnya. Tujuan pengajaran
parasitologi, dalam hal ini di antaranya adalah mengajarkan tentang siklus hidup
parasit serta aspek epidemiologi penyakit yang ditimbulkannya. Dengan mempelaja
ri siklus hidup parasit, kita akan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kita
dapat terinfeksi oleh parasit, serta bagaimana kemungkinan akibat yang dapat dit
imbulkannya. Selanjutnya ditunjang oleh pengetahuan epidemiologi penyakit, kita
akan dapat menentukan cara pencegahan dan pengendaliannya.
Istilah dalam Parasitologi dan Pembagian Hewan Parasit
1. Organisme (manusia atau hewan) yang ditempati oleh organisme lain (parasit) d
i mana organisme tersebut merugikan hospes (inang) yang ditumpanginya karena men
gambil makanan disebut hospes.
2. Hospes yang dirugikan itu dapat digolongkan menjadi 4 macam yaitu hospes defi
nitif, hospes perantara, hospes predileksi dan hospes reservoir. Hospes definiti
f yaitu hospes yang membantu hidup parasit dalam stadium dewasa/stadium seksual.
3. Berdasar lama waktu hidupnya parasit dibagi menjadi dua yaitu parasit tempore
r dan stasioner. Parasit temporer disebut juga parasit nonperiodis (nonberkala)
yang mengunjungi hospesnya pada waktu-waktu berselang atau parasit tersebut tida
k menetap pada tubuh hospesnya.
4. Pediculus humanus disebut sebagai ektoparasit karena hidup di kepala atau hid
up pada permukaan luar hospesnya.
Hubungan antara Parasit dengan Inang
Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis dari parasit yang menye
babkan parasit tersebut secara alami mempunyai pilihan terhadap inang dan juga j
aringan tubuh inang. Semakin tinggi derajat preferensi suatu parasit terhadap in
ang akan menyebabkan adanya spesifitas inang.
Kekebalan terhadap parasit, Modus dan Sumber Penulurannya
Di dalam tubuh terdapat suatu mekanisme yaitu mekanisme tanggap kebal yang akan
mengenali dan segera memusnahkan setiap sel yang berbeda/asing dari sel normal t
ubuhnya sendiri. Seperti pada kekebalan terhadap bakteri, cendawan, dan virus, k
ekebalan dalam parasitologi terdiri dari kekebalan bawaan yang mungkin disebabka
n spesifitas inang, karakteristik fisik inang, sifat biokimia yang khas dan kebi
asaan inang serta kekebalan didapat. Kekebalan didapat dibedakan menjadi:
- Kekebalan secara pasif, contohnya ialah kekebalan anak yang didapat dari kolos
trum ibunya.
- Kekebalan didapat secara aktif.
Reaksi kekebalan didapat secara aktif timbul setelah adanya rangsangan oleh anti
gen. Tergantung dari sifat antigen sehingga terjadi pembelahan limfosit-limfosit
menjadi sel-T atau sel B. Sel T mempunyai reseptor khusus terhadap antigen tert
entu, sedangkan sel B akan mengeluarkan antibodi yang dikenal sebagai imunoglobu
lin yang akan berikatan secara khas pula dengan antigen. Modus penularan ialah c
ara atau metode penularan penyakit yang biasanya terjadi. Pada umumnya, cara pen
ularan penyakit parasit adalah secara kontak langsung, melalui mulut (food-borne
parasitosis), melalui kulit, melalui plasenta, melalui alat kelamin dan melalui
air susu. Sumber penularan bagi penyakit parasit, seperti halnya bagi penyakit
menular lain terjadi dari inang yang satu ke inang yang lain. Penularan dapat ju
ga dari sumber penyakit kepada inang baru. Adapun yang dapat berlaku sebagai sum
ber penularan penyakit parasit ialah organisme baik hewan maupun tumbuhan dan be
nda mati seperti tanah, air, makanan dan minuman.
Ekologi Parasit
Ekologi parasit adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara parasit dengan ling
kungan habitatnya, terutama mengenai distribusi parasit dengan sumber makanannya
dan interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat. Parasit yang terdapat di
dalam tubuh inang, mungkin terdapat di dalam sistem pencernaan, sistem sirkulasi
, sistem respirasi atau alat-alat dalam tubuh seperti hati, ginjal, otak dan lim
pa. Biometeorologi adalah ilmu tentang atmosfer dan segala fenomena-fenomenanya/
ilmu tentang cuaca yang berhubungan dengan data kehidupan. Faktor meteorologi ya
ng berpengaruh pada kelangsungan hidup parasit adalah:
a. Data biometeorologi
b. Penguapan air
c. Kandungan air dalam tanah.
Pengaruh Faktor Cuaca terhadap Siklus Hidup Parasit
Pengaruh jumlah hujan dan temperatur terhadap kelangsungan hidup suatu jenis par
asit berbeda, sebagai contoh Nematoda parasit membutuhkan lebih sedikit curah hu
jan dibandingkan dengan Trematoda. Trematoda membutuhkan jumlah air yang lebih b
anyak dibandingkan dengan Nematoda sebab untuk menetaskan miracidium diperlukan
genangan air. Demikian juga pada telur cacing nematoda umumnya lebih tahan terha
dap temperatur yang lebih tinggi daripada Trematoda dan Cestoda, tetapi sebagai
larva infektif sebaliknya, yaitu larva Nematoda lebih tahan dingin daripada larv
a Trematoda dan Cestoda. Diduga bagian sinar matahari yang berpengaruh besar pad
a siklus hidup parasit adalah sinar ultraviolet. Dalam bereaksi terhadap tantang
an dari faktor-faktor cuaca tersebut parasit bereaksi secara gabungan dan bukan
bereaksi terhadap faktor itu satu demi satu.
Ruang Lingkup Parasitisme
Dalam mempelajari parasitologi diperlukan pengertian dan pendekatan ekologi sert
a memahami ekologi parasit yang merupakan dasar pembahasan berbagai masalah anta
ra lain masuknya parasit ke dalam hospes, kepadatan parasit, inang dan sebagainy
a. Demikian juga untuk memahami penyebarannya perlu dipelajari mikro distribusi
parasit. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kehidupan parasit antara lain a
ir, temperatur, sinar matahari, waktu, flora dan fauna. Semua makhluk hidup itu
bereaksi terhadap banyak faktor-faktor tersebut secara bersama-sama, tidak terha
dap faktor satu demi satu. Selanjutnya dalam mencegah dan mengobati penyakit sec
ara umum dengan tindakan praktis, khususnya dalam pencegahan serta pemberantasan
nya.
Penggolongan Zoonosis dan Aspek yang Mempengaruhinya
Zoonosis adalah penyakit atau penularan-penularan yang secara alamiah terjadi an
tara hewan dan manusia. Penggolongan zoonosis dapat didasarkan pada:
(1) tingkat derajat revervoirnya dalam sistem zoologi,
(2) siklus penularan dan prospek pengendaliannya,
(3) taksonomi parasit penyebabnya.
Hal-hal yang berpengaruh terhadap kasus zoonosis parasiter pada manusia adalah:
1. aspek sosial budaya atau ekonomi; di antaranya adalah jenis pekerjaan. Sebaga
i pemburu juga pekerja hutan, mereka lebih terbuka kemungkinannya untuk memperol
eh zoonosis parasiter dari hewan buruan dan hewan liar di hutan sebagai reservoi
rnya. Berbeda dengan pekerja pengalengan susu, daging atau ikan yang secara lang
sung lebih terbuka terhadap penularan zoonosis parasiter dari jenis toksoplasmos
is, hidatidosis dan larva migran.
2. Aspek ekologi; bertambahnya populasi atau dengan adanya transmigrasi, yang ak
an mengubah keadaan lingkungan. Perubahan ekologi, seperti adanya 2 ekosistem ya
ng semula terpisah, kemudian bersatu dan dapat menjadi fokus baru bagi berbagai
penyakit zoonosis; di antaranya schistosomiasis, trypanosomiasis, paragonimiasis
dan sebagainya
3. Aspek iklim dan cuaca; sebagai contoh: negara Indonesia dengan iklim tropis,
panas, tetapi curah hujan cukup sehingga kelembabannya cukup pula. Hal tersebut
memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan berbagai jenis parasit selagi berada d
i luar tubuh hospesnya. Contoh: sporulasi ookista Toxoplasma gondii, pembentukan
telur infektif berbagai cacing parasit usus, demikian pula bagi kelangsungan hi
dup berbagai vektor dan hospes perantara yang sangat dipengaruhi oleh iklim dan
cuaca. Faktor-faktor yang mendukung siklus hidup zoonosis parasiter di daerah en
demis, di antaranya: faktor bangsa, ethnis, agama, populasi geografis.
Protozoa Parasit Usus
Struktur tubuh protozoa tersusun dari unit-unit (komponen) fungsional yang diseb
ut sebagai organel-organel bukan organ-organ sebab Protozoa adalah hewan bersel
satu atau terdiri dari satu sel saja. Seluruh fungsi kehidupannya dilakukan oleh
satu sel tersebut. Sedangkan organ terdiri dari banyak sel dan organel-organel adal
ah bagian sel yang mengalami diferensiasi yang disesuaikan dengan fungsinya. Pen
gelompokan Protozoa parasit dalam parasitologi dilakukan berdasarkan patologi an
atomi hospesnya dengan urutan yang disesuaikan dengan taksonominya. Alasan penge
lompokan tersebut, dimaksudkan untuk mempermudah dalam mempelajarinya.
Protozoa Parasit Rongga Tubuh
Protozoa atrial adalah protozoa yang berhabitat pada rongga tubuh seperti mulut,
hidung, vagina, urethera. Dalam kelompok protozoa atrial yaitu Entomoeba gingiv
alis (Kelas Sarcodina) dan Trichomonas tenax dan T. vaginalis (Kelas Flagellata)
, hanya T. vaginalis yang patogen. E. gingivalis hanya diketahui bentuk trophozo
it saja yang sangat mirip dengan E. histolytica. Spesies ini tinggal di dalam gi
ngiva manusia bersifat apatogen sama halnya dengan T. tenax. T. vaginalis habita
t pada vagina dan glandula prostata. Pada wanita menyebabkan vaginistis yaitu da
pat mengeluarkan banyak sekret keputihan yang menyebabkan keputihan. Infeksi pad
a laki-laki dirasakan setelah adanya infeksi sekunder oleh bakteri dan mungkin m
enyebabkan uretritis dan prostata.
Protozoa Parasit pada Darah Manusia serta Vertebrata lainnya
Protozoa yang hidup parasit di dalam darah dan jaringan manusia mencakup berbaga
i jenis yaitu Trypanosoma spp, Leishmania spp, Plasmodium spp, dan Toxoplasma go
ndii. Parasit Trypanosoma cukup luas penyebarannya, sebagian tidak patogen, di d
alam darah hewan mamalia, reptilia, amfibia, burung, ikan ada ada 3 spesies pato
gen pada manusia yaitu Trypanosoma gambiense, T. rhodesiense dan T. cruzi. Bentu
k-bentuk perkembangan familia Trypanosomidae ini adalah Trypomastigot, Epimastig
ot, Promastigot, dan Amastigot. Bentuk-bentuk perkembangan ini ada yang lengkap
dan ada pula yang tidak lengkap. Daur hidup Trypanosoma pada mamalia terjadi ber
ganti-ganti di dalam inang vertebrata dan invertebrata. Penularan Trypanosoma da
n dapat secara langsung dan dapat secara tidak langsung yaitu mengalami pertumbu
han siklik (mekanik) di dalam serangga pengisap darah sebelum menjadi infektif.
Vektor bagi Trypanosoma gambiense dan T. rhodesiense adalah lalat tse-tse, sedan
gkan Trypanosoma cruzi adalah serangga reduvidae. Klasifikasi Trypanosoma didasa
rkan atas morfologi, cara penularan dan sifat patogen. Parasit Plasmodium penyeb
ab malaria yang tersebar sangat luas dan banyak menimbulkan kematian pada manusi
a ada 4 spesies yaitu P. vivax, P. malariae, P. falciparum dan P. ovale, sedangk
an spesies lainnya dapat menginfeksi burung, monyet, rodentia dan sebagainya. Pe
mbasmiannya sangat tergantung pada penggunaan insektisida, pengobatan dan faktor
-faktor sosio ekonomi yang cukup komplex. Untuk kelangsungan hidup parasit terse
but mempunyai fase schizogoni, fase gametogami, dan fase sporogoni. Patologinya
menyebabkan pecahnya eritrosit, reaksi humoral kelemahan limpa, hati, ginjal dan
gangguan peredaran darah. Gejala klinis ialah serangan demam yang intermitten d
an pembesaran limpa. Pencegahan mencakup pengurangan sumber infeksi, pengendalia
n nyamuk malaria. Pengobatan meliputi penghancuran parasit praeritrositik, obat
represif, obat penyembuh dan obat radikal untuk bentuk eksoeritrositik, gametosi
tik dan gametastatik.
Protozoa Parasit Pada Jaringan
Protozoa parasit jaringan merupakan protozoa parasit yang hidup berparasit di da
lam jaringan hospesnya. Protozoa parasit ini merupakan penyebab penyakit bagi ma
nusia dan hewan khususnya dan berperan penting dalam dunia kesehatan pada umumny
a. Protozoa yang bersifat parasit pada jaringan hospes ini meliputi 2 kelas yait
u kelas Flagellata dan Sporozoa. Pada kelas Flagellata berupa genus Leishmania s
edangkan pada kelas Sporozoa berupa genus Toxoplasma. Dari genus Leishmania ini
hanya terdapat 3 spesies penting terutama bagi kesehatan manusia yaitu dapat men
yebabkan penyakit leishmaniasis. Adapun ketiga spesies tersebut adalah Leishmani
a donovani penyebab leishmaniasis visceral; Leishmania tropica penyebab leishman
iasis kulit dan Leishmania brazilliennis penyebab leishmaniasis muko kutis. Mesk
ipun ketiga genus Leishmania ini merupakan protozoa parasit pada jaringan, tetap
i di dalam daur (siklus) hidupnya masih tetap membutuhkan hospes perantara untuk
kelangsungan hidupnya. Adapun sebagai hospes perantaranya adalah lalat Phleboto
mus dan darah manusia. Di antara genus Toxoplasma hanya satu spesies saja yang m
ampu menginfeksi berbagai macam hospes yaitu spesies Toxoplasma gondii. T. gondi
i ini merupakan penyebab penyakit toxoplasmosis pada manusia. Di dalam daur hidu
pnya mempunyai tiga bentuk perkembangan yaitu bentuk zoite, kista dan ookista. S
ebagai berikut infektifnya adalah sporozoit, kestozoit dan endozoit. Sedangkan c
ara infeksinya adalah bukan dengan melalui vektor, tetapi dengan berbagai cara y
aitu per-os, transplantasi, transfusi ataupun dengan kista, trophozoit atau ooki
sta selama melakukan penelitian di laboratorium. Peristiwa ini dapat mengakibatk
an toxoplasmosis kongenital dan toxoplasmosis dapatan (perolehan). Penularan dar
i manusia ke manusia terjadi dengan melalui plasenta penyebab toxoplasmosis kong
enital.
Trematoda Usus
Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi dengan
alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang menj
adi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai bat
il isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior
tubuh. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai ho
spes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-tumbuha
n air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat menjad
i hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif bermacam-m
acam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah. Macam-macam spesies Trematod
a usus adalah: F. buski, H. heterophyes, M. yokagawai, Echinostoma, Hypoderaeum
dan Gastrodiscus. Manusia menjadi hospes definitifnya dan hewan-hewan lain seper
ti mamalia (anjing, kucing) dan burung dapat menjadi hospes reservoar. Siklus hi
dup selalu memerlukan keong sebagai hospes perantara I dan hospes perantara II (
keong : Echinostoma, tumbuhan air F.buski; ikan H.heterophyes dan M.yokogawai).
Patologi penyakit yang disebabkan oleh Trematoda usus disebabkan oleh perlekatan
cacing pada mukosa usus dengan batil isapnya. Semakin besar ukuran cacing maka
semakin parah kerusakan yang ditimbulkan. Gejala klinis tergantung jumlah parasi
t dalam usus, pada infeksi ringan gejala tidak nyata, sedangkan pada infeksi ber
at gejala yang timbul adalah sakit perut, diare, dan akibat terjadinya malabsorp
si bisa timbul edema. Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur dalam tinja pen
derita. Bila bentuk telur hampir sama maka perlu menemukan cacing dewasanya dala
m tinja penderita. Obat-obatan untuk trematoda usus hampir sama, yaitu tetraklor
etilen, heksilresorsinol, dan praziquantel.
Cestoda Usus
Cestoda merupakan cacing berbentuk seperti pita memanjang. tubuh terdiri dari ke
pala (skolek), dan proglottid (segmen tubuh) yang terdiri dari: proglottid immat
ure, mature, dan gravid. Proglottid gravid dapat digunakan untuk identifikasi sp
esies berdasarkan bentuknya dan bentuk uterus di dalamnya. Terdapat 2 golongan b
esar Cestoda, yaitu: 1. Pseudophyllidean yang mempunyai skolek berbentuk seperti
sendok dengan dilengkapi 2 buah alat isap yang berbentuk celah memanjang yang d
isebut bothria, contoh spesies: Diphyllobothrium latum. 2. Cyclophyllidean yang
mempunyai skolek dengan alat isap berbentuk seperti mangkuk yang disebut asetabu
lum, jumlahnya 4 buah. Diphyllobothrium latum merupakan pseudophyilidean. Cestod
a yang hidup di usus manusia sebagai hospes definitifnya. Hospes reservoarnya ad
alah hewan/mamalia pemakan ikan. Memerlukan 2 buah hospes perantara dalam daur h
idupnya yaitu: (1) Cyclops atau Diaptomus di mana larva cacing disebut proserkoi
d, dan (2) Ikan air tawar dengan larva cacing di dalamnya disebut pleroserkoid.
Fam.Taeniidae yang termasuk Cyclophyllidean Cestoda mempunyai 3 spesies penting
bagi kesehatan manusia maupun hewan, yaitu T.saginata, T.solium, dan E.granuloss
us. Bentuk telur antara ketiga cacing tersebut sukar dibedakan satu sama lain. K
etiganya mempunyai skolek yang dilengkapi dengan batil isap berbentuk mangkuk ya
ng disebut asetabulum. Pada skolek T.solium dan E.granulossus dilengkapi dengan
rostellum dan kait-kait . Sedangkan skolek T.saginata tidak ada rostrumnya. T.sa
ginata dan T.solium merupakan cacing pita yang panjang sampai bermeter-meter uku
rannya, sedangkan E.granulossus merupakan cacing pita yang terpendek, hanya memp
unyai 3 buah proglottid saja. Manusia dapat terinfeksi T.saginata bila makan dag
ing sapi yang mengandung kista yang disebut sistiserkus bovis, dan menderita tae
niasis saginata (terdapat cacing dewasa dalam ususnya). Infeksi T.solium pada ma
nusia dapat terjadi melalui 2 cara yaitu:
1. Bila menelan telurnya akan terjadi larva dalam jaringan tubuh manusia, disebu
t menderita sistiserkosis.
2. Bila makan daging babi yang mengandung larva sistiserkus selulose, manusia ak
an menderita taeniasis solium.
Diagnosis taeniasis saginata/solium dengan menemukan telur/proglottid gravid pad
a tinja penderita. Sedangkan sistiserkosis dapat diketahui dengan pemeriksaan se
rologis, CT-scan atau dengan pembedahan (tergantung letak kista dalam jaringan t
ubuh manusia). Infeksi E.granulossus pada manusia dapat terjadi bila menelan tel
urnya, manusia akan menderita hidatidosis (terjadinya kista hidatida dalam jarin
gan tubuh manusia). Tempat yang sering terjadi kista adalah hati (66%). Diagnosi
s dengan pemeriksaan serologis, sinar rontgen, dan pembedahan bila letaknya memu
ngkinkan. Cacing pita yang kecil H.nana hospes definitifnya manusia, dan penular
an dapat terjadi secara langsung bila manusia menelan telur cacing tersebut. H.n
ana var.fraterna dan H.diminuta yang hospes definitifnya tikus memerlukan hospes
perantara, yaitu pinjal tikus, dan kumbang tepung. Hospes perantara bila menela
n telur cacing tersebut akan menetas menjadi larva sistiserkoid. Bila manusia me
nelan hospes perantara yang mengandung sistiserkoid akan menderita hymenolepsis.
Cacing pita D.caninum merupakan cacing pita anjing /carnivora lainnya. Habitat d
alam hospes adalah dalam usus halus. Manusia terinfeksi secara kebetulan/aksiden
tal terutama terjadi pada anak-anak yang menelan pinjal anjing/kucing yang menga
ndung larva sistiserkoid. Akibat infeksi ini pada anak-anak tidak begitu nyata b
ila infeksinya ringan namun bila infeksi berat dapat terjadi gangguan pencernaan
, diare, dan reaksi alergi. Pencegahan dengan meningkatkan kebersihan perorangan
serta lingkungan dengan mengobati anjing dari pinjal yang menempel pada tubuhny
a. Pengobatan dipylidiasis seperti pada infeksi cacing pita lainnya, yaitu denga
n: niklosamid, praziquantel, atau kuinakrin
Nematoda Usus
Cacing tambang terdiri dari beberapa spesies, yang menginfeksi manusia adalah N.
americanus dan A.duodenale, yang menginfeksi hewan (anjing/kucing) baik liar mau
pun domestik adalah A.ceylanicum meskipun cacing ini dilaporkan dapat menjadi de
wasa dalam usus halus manusia dan tidak pernah menyebabkan creeping eruption, A.
caninum dan A.braziliense yang tidak dapat menjadi dewasa dalam usus halus manus
ia dan menyebabkan creeping eruption pada manusia. Perbedaan morfologi antar spe
sies dapat dilihat dari bentuk rongga mulut, ada tidaknya gigi, dan bentuk bursa
kopulatriks cacing jantan. Akibat utama yang ditimbulkan bila menginfeksi manus
ia atau hewan adalah anemia mikrositik hipokromik, karena cacing tambang menyeba
bkan perdarahan di usus akibat luka yang ditimbulkan juga cacing tambang mengisa
p darah hospes. Penyakit cacing tambang tersebar luas di daerah tropis, pencegah
an tergantung pada sanitasi lingkungan, kebiasaan berdefikasi, dan memakai alas
kaki. Strongyloides stercoralis merupakan cacing Nematoda usus yang hidup parasi
t pada manusia, namun dalam siklus hidupnya terdapat fase hidup bebas di tanah.
Bentuk telurnya sulit dibedakan dengan telur cacing tambang. Manusia dapat terin
feksi melalui 3 cara: yaitu langsung, tak langsung, dan autoinfeksi. Cara penceg
ahan dan penyebaran cacing ini sama seperti cacing tambang. Obat yang efektif un
tuk strongyloidiasis adalah thiabendazol. Akibat utama yang ditimbulkan adalah p
eradangan pada usus, disentri terus-menerus dan rasa sakit pada perut bagian kan
an atas. Diagnosis dengan menemukan larva dalam tinja atau dalam sputum penderit
a. Pada cacing Nematoda usus ada beberapa spesies yang menginfeksi manusia maupu
n hewan. Nematoda usus terbesar adalah A.lumbricoides yang bersama-sama dengan T
.trichiura, serta cacing tambang sering menginfeksi manusia karena telur cacing
tersebut semuanya mengalami pemasakan di tanah dan cara penularannya lewat tanah
yang terkontaminasi sehingga cacing tersebut termasuk dalam golongan soil-trans
mitted helminths. A.lumbricoides, T.trichiura dan E.vermicularis mempunyai stadi
um infektif yaitu telur yang mengandung larva. Siklus hidup A.lumbricoides lebih
rumit karena melewati siklus paru-paru, sedangkan T.trichiura dan E.vermiculari
s tidak. Gejala klinis penyakit cacing ini bila infeksi ringan tidak jelas, bias
anya hanya tidak enak pada perut kadang-kadang mual. Infeksi askariasis yang ber
at dapat menyebabkan kurang gizi dan sering terjadi sumbatan pada usus. Trikhuri
asis berat biasanya dapat terjadi anemia, sedangkan pada enterobiasis gejala yan
g khas adalah gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari saat cacing beti
na keluar dari usus untuk meletakkan telunya di daerah perianal. Diagnosis askar
iasis dan trikhuriasis dengan menemukan telur dalam tinja penderita, sedangkan u
ntuk enterobiasis dapat ditegakkan dengan anal swab karena telur E. vermicularis
tidak dikeluarkan bersama tinja penderita. Infeksi cacing usus ini tersebar lua
s di seluruh dunia baik daerah tropis maupun sub tropis. Anak-anak lebih sering
terinfeksi dari pada orang dewasa karena kebiasaan main tanah dan kurang/belum d
apat menjaga kebersihan sendiri. Semua infeksi cacing usus dapat dicegah dengan
meningkatkan kebersihan lingkungan, pembuangan tinja atau sanitasi yang baik, me
ngerti cara-cara hidup sehat, tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman dan
mencuci bersih sayuran/buah yang akan di makan mentah. Obat cacing, seperti pipe
rasin, mebendazole, tiabendazol, dan lain-lain dapat diberikan dengan hasil yang
cukup memuaskan.
Trematoda dan Cstoda yang Hidup Parasit pada Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan He
wan
Spesies trematoda hati yang dapat menginfeksi manusia adalah C. sinensis dan O.
viverini, sedangkan O. felineus, F. hepatica dan F. gigantica lebih banyak mengi
nfeksi hewan. Stadium infektil cacing hati adalah metaserkaria. Telur dari C. si
nensis dan Opistorchis pada waktu dikeluarkan sudah mengandung mirasidium, ukura
nnya lebih kecil dibandingkan dengan telur Fasciola yang besar dan tidak berembr
io pada waktu dikeluarkan bersama tinja. Habitat cacing-cacing tersebut terutama
adalah di saluran empedu, kecuali F. gigantica yang habitatnya di hati. Hospes
perantara I cacing-cacing tersebut adalah keong, namun hospes perantara II C. si
nensis dan Opistorchis adalah ikan air tawar dan hospes perantara II Fasciola ad
alah tumbuh-tumbuhan air. Patologis dan gejala klinis terutama karena peradangan
yang disebabkan oleh hasil metabolisme cacing yang bersifat toksin. Gejala utam
a dalah demam, sakit daerah perut, pembesaran hati yang lunak, diare dan anemia.
Diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja penderita. Pencegahan dengan memas
ak ikan dan tumbuhan air yang akan dimakan. Pengobatan dengan bithionol. Paragon
imus westermani merupakan trematoda yang menginfeksi paru-paru manusia dan hewan
(mamalia). Stadium infektifnya adalah metasekaria yang mengkista dalam tubuh ke
tam atau udang (HP perantar II). Keong merupakan hospes perantara I nya. Patolog
i dan gejala klinis disebabkan oleh cacing dewasa dalam alveoli paru-paru dan me
ngeluarkan telur yang menyebabkan gejala batuk dengan bercak seperti serbuk besi
dan sputum yang mengandung telur. Diagnosis dengan menemukan telur dalam sputum
atau tinja penderita. Pencegahan dengan memasak dengan baik ketam atau udang ya
ng akan dimakan. Trematoda darah pada manusia adalah Schistosoma japonicum, S. h
aematobium dan S. mansoni. Infeksi terjadi dengan cara serkaria menembus kulit h
ospes. hanya mempunyai 1 hospes perantara yaitu keong Oncomelania (S. japonicum)
; Biomphalaria (S. mansoni) dan Bulinus (S. mansoni). Berbagai hewan dapat terin
feksi oleh cacing ini dan menjadi hospes reservoarnya. Habitat S. japonicum dan
S. mansoni adalah pada vena meseterika dan cabang-cabangnya, telur yang dikeluar
kan oleh cacing dewasa dapat ditemukan dalam tinja penderita (untuk diagnosis).
Sedangkan habitat S. haematobium adalah pada vena kandung kencing, sehingga untu
k diagnosis dengan menemukan telur dalam urin penderita. Pencegahan dengan perba
ikan irigasi, pemberantasan keong dan pengobatan dengan kalium ammoniumnitrat, n
itridazole dan astiban.
Nematoda Darah/Jaringan Tubuh Manusia dan Hewan
Nematoda darah atau dikenal sebagai Nematoda filaria, menyebabkan penyakit kaki
gajah atau elefantiasis/filariasis. Di Indonesia terdapat 3 spesies cacing ini y
ang dikenal juga sebagai cacing filaria limfatik, sebab habitat cacing dewasa ad
alah di dalam sistem limfe (saluran dan kelenjar limfe) manusia yang menjadi hos
pes definitifnya, maupun dalam sistem limfe hewan yang menjadi hospes reservoar
(kera dan kucing hutan). Spesies cacing filaria yang ada di Indonesia adalah: Wu
chereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Cacing filaria ini ditulark
an melalui gigitan nyamuk yang menjadi vektomya. Filariasis bancrofti mempunyai
2 tipe, yaitu: 1.Tipe urban, atau terdapat di daerah perkotaan, vektornya nyamuk
Culex quenquefasciatus/C. fatigans. 2.Tipe rural, vektornya nyamuk Anopheles at
au nyamuk Aedes tergantung pada daerahnya. Periodisitasnya adalah periodik noktu
rna, di mana mikrofilaria banyak ditemukan dalam darah tepi penderita pada waktu
malam hari. Filariasis malayi lebih banyak terjadi di daerah rural, vektornya a
dalah nyamuk Mansonia yang tempat perindukannya di rawa-rawa dekat hutan dan beb
erapa jenis dari nyamuk Anopheles dapat pula menjadi vektor penyakit ini. Perbed
aan nyamuk yang menjadi vektornya tergantung pada daerah geografis. Periodisitas
filariasis malayi adalah subperiodik nokturna, artinya mikrofilaria dapat ditem
ukan dalam darah tepi penderita pada waktu siang dan malam hari, meskipun jumlah
nya lebih banyak pada malam hari. Bila mikrofilaria dalam darah tepi penderita m
asuk ke dalam tubuh nyamuk vektor pada waktu nyamuk rnengisap darah, maka akan b
erubah menjadi larva stadium I-III (L1-L2-L3). L3 bila nyamuk mengisap darah man
usia akan terbawa masuk ke dalam tubuh dan menuju saluran limfe serta menjadi de
wasa dalam kelenjar limfe. Gejala utama filariasis adalah: limfangitis, limfaden
itis, limfedema, yang bisa terjadi berulang-ulang sampai akhimya bila sudah kron
is (bertahun-tahun) akan terjadi elefantiasis. Pada infeksi W. bancrofti biasa m
enyerang ekstremitas bagian atas, alat genital, yang bisa menimbulkan hidrokel d
an juga buah dada, namun juga bisa menyerang kaki. Filariasis malayi lebih banya
k menyerang bagian kaki. Diagnosis dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tep
i penderita, tergantung periodisitasnya maka biasanya pemeriksaan dilakukan pada
malam hari untuk menemukan mikrofilarianya. Lalu sediaan darah dicat dengan Gie
msa, sehingga dapat dilihat perbedaan bentuk mf-nya untuk menentukan spesiesnya.
Pengobatan filariasis sampai saat ini yang efektif adalah pemberian DEC (dietil
karbamasin). Pencegahan terutama menjaga diri agar tidak digigit nyamuk, dengan
memakai kelambu waktu tidur atau menggunakan repelen. Membasmi tempat perinduka
n nyamuk vektor, namun untuk yang habitatnya di rawa-rawa akan sulit dilakukan.
Nematoda jaringan adalah beberapa spesies cacing Nematoda yang hospes yang defin
itifnya hewan, di mana cacing dewasa hidup dalam usus halus hewan tersebut. Bent
uk larvanya yang menginfeksi jaringan tubuh manusia dan menimbulkan masalah peny
akit. Tiga jenis cacing tersebut adalah: Trichinella spiralis yang hospes defini
tifnya adalah babi dan hewan lain (tikus, beruang, anjing liar dll), juga manusi
a. Habitat cacing dewasa dalam usus halus hospes. Manusia terinfeksi karena maka
n daging babi yang mengandung sista yang berisi larva di dalamnya. Daging terseb
ut bila dimakan tanpa dimasak dengan baik, maka larva akan menetas dalam usus da
n menjadi dewasa. Cacing betina yang bersifat vivipar, menghasilkan larva yang a
kan menembus mukosa usus terbawa aliran darah sampai ke jaringan otot dan menyeb
abkan trikhinosis.
Sumber buku Parasitolog

Anda mungkin juga menyukai