Anda di halaman 1dari 43

Tiurnani Barus, M.

Farm,
Apt.

TREMATODA
HATI
Fasciola hepatica

Hospes : kambing dan sapi,


kadang manusia.
Penyakit : fasioliasis
Penyebaran geografik :
Amerika Latin, Perancis,
negara-negara sekitar Laut
Tengah.
Fasciola hepatica
Morfologi dan Daur Hidup
Cacing dewasa mempunyai bentuk pipih
seperti daun, besarnya ± 30x13 mm.
Bagian anterior berbentuk seperti kerucut
dan pada puncak kerucut terdapat batil
isap mulut yang besarnya ±1 mm,
sedangkan pada bagian dasar kerucut
terdapat batil isap perut yang besarnya
±1,6 mm. Saluran pencernaan bercabang –
cabang sampai ke ujung distal sekum.
Testis dan kelenjar vitelin juga bercabang –
cabang (Sutanto et al, 2008).
 Telur cacing ini berukuran 140x90 mikron,
dikeluarkan melalui saluran empedu ke
dalam tinja dalam keadaan belum matang.
Telur menjadi matang dalam air selama 9-15
hari dan berisi mirasidium. Telur kemudian
menetas dan mirasidium keluar mencari
keong air (Lymnaea spp). Serkaria keluar
dari keong air dan berenang mencari hospes
perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan
pada permukaan tumbuhan air membentuk
kista berisi metaserkaria.
Gambar . Telur Fasciola hepatica
Gambar Faciola Hepatica
Bila tertelan, metaserkaria
menetas dalam usus halus
binatang yang memakan
tumbuhan air tersebut,
menembus dinding usus dan
bermigrasi dalam ruang
peritoneum hingga menembus
hati. Larva masuk ke saluran
empedu dan menjadi dewasa
(Sutanto et al, 2008).
Daur hidup Faciola hepatica
Epidemiologi
Suweta (1985) berpendapat bahwa faktor - faktor
yang berperan di dalam epidemiologi cacing
tersebut adalah :
1.Luasnya wilayah penyebaran telur cacing hati di
lapangan oleh pencemaran ternak peliharaan dan
binatang menyusui lainnya.
2.Kondisi lingkungan tempat tersebarnya telur cacing.
3.Penyebaran siput hospes intermedier di lapangan
dan situasi/kondisi lapangan tempat tersebarnya
siput.
4.Tingkat perkembangan cacing di dalam tubuh siput
dan jumlah serkaria yang dapat berkembang sampai
siap keluar tubuh siput.
5. Jumlah serkaria dan kondisi lapangan tempat
tersebarnya serkaria.
6. Cara menggembalakan ternak
Epidemiologi
Kebiasaan makan ikan yang
diolah kurang matang merupakan
faktor penting dalam penyebaran
kecacingan. Selain itu, cara
pemeliharaan ikan dan cara
pembuangan tinja di kolam ikan
juga penting
Patologi dan
Gejala Klinis
Migrasi cacing muda ke sal.
empedu menimbulkan kerusakan
parenkim hati
Peradangan dan penebalan
saluran empedu mengakibatan
sumbatan sehingga terjadi sirosis
periportal.
Diagnosis
Menemukan telur dalam tinja,
cairan duodenum atau cairan
empedu.
Reraksi serologis : ELISA.
Bila infeksi ektopik :
◦ CT scans,
◦ ultrasonografi
Pengobatan

Bithionol
Triclabendazol
Praziquantel
Clonorchis sinensis
Morfologi dan daur hidup.
Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x
3-5 mm, bentuknya pipih,
lonjong, menyerupai daun. Telur
berukuran kira – kira 30x16
mikron, bentuknya seperti bola
lampu pijar dan berisi
mirasidium, ditemukan dalam
saluran empedu (Sutanto et al,
2008).
Clonorchis sinensis
Hospes : Manusia, kucing,
anjing
Penyakit : klonorkiasis
Penyebaran Geografik :
Timur Jauh
Morfologi dan Daur hidup
◦ Ukuran 11-20 x 3-4 mm.
◦ Batil isap mulut > batil isap
perut
◦ Testis bercabang-cabang,
tandem cranio-caudal
Habitat : saluran empedu hati dan
sal. pankreas
Hospes perantara I : keong
Bulimus, Alocinma, Parafossarulus
Hospes perantara II : ikan
Cyprinoid
Cara infeksi : makan ikan yang
mengandung metaserkaria yang
tidak dimasak dengan baik.
Seluruh siklus hidup berlangsung
selama 3 bulan.
Gambar telur Clonorchis
sinensis
Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur
menetas bila dimakan keong air. Kemudian
mirasidium pada tubuh keong air
berkembang menjadi sporokista, redia lalu
serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan
mencari hospes perantara II yaitu ikan.
Setelah menembus tubuh ikan, serkaria
melepaskan ekornya dan membentuk kista
di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini
disebut metaserkaria (Sutanto et al, 2008).
Gambar Clonorchis
sinensis
Infeksiterjadi dengan makan ikan
yang mengandung metaserkaria
yang dimasak kurang matang.
Ekskistasi terjadi di duodenum.
Kemudian larva masuk ke duktus
koledoktus lalu menuju ke saluran
empedu yang lebih kecil dan menjadi
dewasa dalam sebulan. Seluruh daur
hidup berlangsung selama tiga bulan
(Sutanto et al, 2008).
daur hidup Clonorchis sinensis
Patologi dan Gejala Klinis

Iritasi
saluran empedu dan
penebalan dinding saluran.
Luasnya kerusakan bergantung
pada jumlah cacing, dan lamanya
infeksi.
Adanya Clonorchis ataupun
Opithorchis dalam waktu yang lama
dapat mengakibatkan perubahan
metaplastik pada epitel saluran
empedu yang beresiko menjadi
cholangiocarcinoma
Gejala  3 stadium:
◦ Stadium ringan : tanpa gejala
klinis
◦ Stadium progressif : nafsu
makan menurun, perut rasa
penuh, diare, edema dan
hepatomegali
◦ Stadium lanjut : sindroma
hipertensi portal
(hepatomegali, ikterus,
asites, sirosis hepatis).
◦ Kadang-kadang timbul
keganasan dalam hati.
DiThailand angka kanker hati
dan/atau cholangiocarcinoma
pertahun > 100 dan 35-
40/100.000 berhubungan erat
dengan infeksi O. viverrini.

Diagnosis :
◦ Menemukan telur dalam tinja
atau cairan duodenum.
◦ Tes serologi : Western blot dan
ELISA
Pengobatan dan
Epidemiologi
Prazikuantel merupakan
obat pilihan.
Kebiasaan makan ikan yang
diolah kurang matang
Cara pemeliharaan ikan dan
pembuangan tinja di kolam
ikan penting dalam
penyebar-an penyakit.
Epidemiologi
Kebiasaan makan ikan yang
diolah kurang matang merupakan
faktor penting dalam penyebaran
kecacingan. Selain itu, cara
pemeliharaan ikan dan cara
pembuangan tinja di kolam ikan
juga penting
Opistorchis felineus
Morfologi dan Daur Hidup
Ukuran cacing dewasa berukuran
7-12 mm, mempunyai batil isap
mulut dan batil isap perut.
Bentuknya seperti lanset, pipih
dorsoventral.
Gambar Telur Opistorchis felineus
Telur Opisctorchis mirip telur
Clornechis sinensis, hanya
bentuknya lebih langsing.
Infeksi terjadi dengan makan
ikan yang mengandung
metaserkaria dan dimasak
kurang matang (Sutanto et al,
2008).
Gambar Opistorchis
felineus
Daur hidup Opistorchis spp
Opistorchis viverrini
Morfologi dan Daur Hidup
Morfologi dan daur hidup cacing ini
mirip dengan Opistorchis
felineus. Infeksi terjadi dengan
makan ikan mentah yang
mengandung metaserkaria
Gambar Telur Opistorchis Gambar Opistorchis
viverrini viverrini
Epidemiologi
Daerah Muangthai timur laut
terdapat banyak penderita
kolangiokarsinoma dan hepatoma
pada penderita opistorkiasis yang
diduga akibat peradangan pada
saluran empedu yang
berhubungan dengan cara
pengawetan ikan yang menjadi
hospes perantara cacing tersebut
Perubahan Patologi Anatomi
Hati
Cacing yang hidup di saluran
empedu hati seperti Clonorchis,
Opisthorchis, dan Fasciola dapat
menimbulkan rangsangan dan
menyebabkan peradangan
saluran empedu, menyebabkan
penyumbatan aliran empedu
sehingga menimbulkan ikterus
dan akibat lainnya bisa berupa
hepatomegali (Sutanto et al,
2008).
Pada kasus akut ditandai dengan adanya
gejala klinis berupa ikterus, anemia,
penurunan berat badan, edema
submandibular (bottle jaw), serta
perdarahan akibat dari cacing yang
memakan jaringan hati (Soulsby, 1986).
Pada kasus kronik ditandai dengan
penurunan nafsu makan, anemia, anoreksia,
diare kronis, penurunan berat badan, bottle
jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati
akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu (Soulsby, 1986).
Tingkat kerusakan atau
perubahan patologi anatomi pada
hewan dipengaruhi oleh jumlah
metaserkaria yang termakan oleh
ternak, fase perkembangan
cacing di dalam hati, dan spesies
inang definitif.
Perubahan patologi di dalam
tubuh inang definitif terjadi
akibat adanya migrasi cacing di
dalam tubuh.
Migrasi diawali dengan penetrasi
intestinal (prehepatik) kemudian
sampai ke hati dan akhirnya
masuk ke saluran empedu.
Migrasi cacing pada organ hati
menyebabkan hemoragi,
Buluh empedu mengalami
peradangan, penebalan dan
penyumbatan sehingga terjadi sirosis
periportal, peritonitis serta kolesistitis.
Secara mikroskopis terjadi perubahan
pada struktur jaringan hati.
Perubahan tersebut digolongkan
menjadi dua kelompok yaitu
kelompok perubahan akut dan kronis.
Pada stadium akut tampak
adanya perdarahan, degenerasi
sel hati, peradangan, proliferasi
buluh empedu, infiltrasi sel
radang, serta adanya globula
leukosit pada mukosa buluh
empedu.
Pada stadium kronis tampak
fokus-fokus radang granuloma,
mineralisasi, dan fibrosis
(Winarsih et al, 1996)

Anda mungkin juga menyukai