Farm,
Apt.
TREMATODA
HATI
Fasciola hepatica
Bithionol
Triclabendazol
Praziquantel
Clonorchis sinensis
Morfologi dan daur hidup.
Ukuran cacing dewasa 10-25 mm x
3-5 mm, bentuknya pipih,
lonjong, menyerupai daun. Telur
berukuran kira – kira 30x16
mikron, bentuknya seperti bola
lampu pijar dan berisi
mirasidium, ditemukan dalam
saluran empedu (Sutanto et al,
2008).
Clonorchis sinensis
Hospes : Manusia, kucing,
anjing
Penyakit : klonorkiasis
Penyebaran Geografik :
Timur Jauh
Morfologi dan Daur hidup
◦ Ukuran 11-20 x 3-4 mm.
◦ Batil isap mulut > batil isap
perut
◦ Testis bercabang-cabang,
tandem cranio-caudal
Habitat : saluran empedu hati dan
sal. pankreas
Hospes perantara I : keong
Bulimus, Alocinma, Parafossarulus
Hospes perantara II : ikan
Cyprinoid
Cara infeksi : makan ikan yang
mengandung metaserkaria yang
tidak dimasak dengan baik.
Seluruh siklus hidup berlangsung
selama 3 bulan.
Gambar telur Clonorchis
sinensis
Telur dikeluarkan dengan tinja. Telur
menetas bila dimakan keong air. Kemudian
mirasidium pada tubuh keong air
berkembang menjadi sporokista, redia lalu
serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan
mencari hospes perantara II yaitu ikan.
Setelah menembus tubuh ikan, serkaria
melepaskan ekornya dan membentuk kista
di dalam kulit di bawah sisik. Kista ini
disebut metaserkaria (Sutanto et al, 2008).
Gambar Clonorchis
sinensis
Infeksiterjadi dengan makan ikan
yang mengandung metaserkaria
yang dimasak kurang matang.
Ekskistasi terjadi di duodenum.
Kemudian larva masuk ke duktus
koledoktus lalu menuju ke saluran
empedu yang lebih kecil dan menjadi
dewasa dalam sebulan. Seluruh daur
hidup berlangsung selama tiga bulan
(Sutanto et al, 2008).
daur hidup Clonorchis sinensis
Patologi dan Gejala Klinis
Iritasi
saluran empedu dan
penebalan dinding saluran.
Luasnya kerusakan bergantung
pada jumlah cacing, dan lamanya
infeksi.
Adanya Clonorchis ataupun
Opithorchis dalam waktu yang lama
dapat mengakibatkan perubahan
metaplastik pada epitel saluran
empedu yang beresiko menjadi
cholangiocarcinoma
Gejala 3 stadium:
◦ Stadium ringan : tanpa gejala
klinis
◦ Stadium progressif : nafsu
makan menurun, perut rasa
penuh, diare, edema dan
hepatomegali
◦ Stadium lanjut : sindroma
hipertensi portal
(hepatomegali, ikterus,
asites, sirosis hepatis).
◦ Kadang-kadang timbul
keganasan dalam hati.
DiThailand angka kanker hati
dan/atau cholangiocarcinoma
pertahun > 100 dan 35-
40/100.000 berhubungan erat
dengan infeksi O. viverrini.
Diagnosis :
◦ Menemukan telur dalam tinja
atau cairan duodenum.
◦ Tes serologi : Western blot dan
ELISA
Pengobatan dan
Epidemiologi
Prazikuantel merupakan
obat pilihan.
Kebiasaan makan ikan yang
diolah kurang matang
Cara pemeliharaan ikan dan
pembuangan tinja di kolam
ikan penting dalam
penyebar-an penyakit.
Epidemiologi
Kebiasaan makan ikan yang
diolah kurang matang merupakan
faktor penting dalam penyebaran
kecacingan. Selain itu, cara
pemeliharaan ikan dan cara
pembuangan tinja di kolam ikan
juga penting
Opistorchis felineus
Morfologi dan Daur Hidup
Ukuran cacing dewasa berukuran
7-12 mm, mempunyai batil isap
mulut dan batil isap perut.
Bentuknya seperti lanset, pipih
dorsoventral.
Gambar Telur Opistorchis felineus
Telur Opisctorchis mirip telur
Clornechis sinensis, hanya
bentuknya lebih langsing.
Infeksi terjadi dengan makan
ikan yang mengandung
metaserkaria dan dimasak
kurang matang (Sutanto et al,
2008).
Gambar Opistorchis
felineus
Daur hidup Opistorchis spp
Opistorchis viverrini
Morfologi dan Daur Hidup
Morfologi dan daur hidup cacing ini
mirip dengan Opistorchis
felineus. Infeksi terjadi dengan
makan ikan mentah yang
mengandung metaserkaria
Gambar Telur Opistorchis Gambar Opistorchis
viverrini viverrini
Epidemiologi
Daerah Muangthai timur laut
terdapat banyak penderita
kolangiokarsinoma dan hepatoma
pada penderita opistorkiasis yang
diduga akibat peradangan pada
saluran empedu yang
berhubungan dengan cara
pengawetan ikan yang menjadi
hospes perantara cacing tersebut
Perubahan Patologi Anatomi
Hati
Cacing yang hidup di saluran
empedu hati seperti Clonorchis,
Opisthorchis, dan Fasciola dapat
menimbulkan rangsangan dan
menyebabkan peradangan
saluran empedu, menyebabkan
penyumbatan aliran empedu
sehingga menimbulkan ikterus
dan akibat lainnya bisa berupa
hepatomegali (Sutanto et al,
2008).
Pada kasus akut ditandai dengan adanya
gejala klinis berupa ikterus, anemia,
penurunan berat badan, edema
submandibular (bottle jaw), serta
perdarahan akibat dari cacing yang
memakan jaringan hati (Soulsby, 1986).
Pada kasus kronik ditandai dengan
penurunan nafsu makan, anemia, anoreksia,
diare kronis, penurunan berat badan, bottle
jaw, cholangitis, dan fibrosis organ hati
akibat dari cacing hati dewasa yang hidup
dalam buluh empedu (Soulsby, 1986).
Tingkat kerusakan atau
perubahan patologi anatomi pada
hewan dipengaruhi oleh jumlah
metaserkaria yang termakan oleh
ternak, fase perkembangan
cacing di dalam hati, dan spesies
inang definitif.
Perubahan patologi di dalam
tubuh inang definitif terjadi
akibat adanya migrasi cacing di
dalam tubuh.
Migrasi diawali dengan penetrasi
intestinal (prehepatik) kemudian
sampai ke hati dan akhirnya
masuk ke saluran empedu.
Migrasi cacing pada organ hati
menyebabkan hemoragi,
Buluh empedu mengalami
peradangan, penebalan dan
penyumbatan sehingga terjadi sirosis
periportal, peritonitis serta kolesistitis.
Secara mikroskopis terjadi perubahan
pada struktur jaringan hati.
Perubahan tersebut digolongkan
menjadi dua kelompok yaitu
kelompok perubahan akut dan kronis.
Pada stadium akut tampak
adanya perdarahan, degenerasi
sel hati, peradangan, proliferasi
buluh empedu, infiltrasi sel
radang, serta adanya globula
leukosit pada mukosa buluh
empedu.
Pada stadium kronis tampak
fokus-fokus radang granuloma,
mineralisasi, dan fibrosis
(Winarsih et al, 1996)