Anda di halaman 1dari 9

PAPER INFEKSIUS 1

BRUCELLOSIS PADA BABI

OLEH :

DESLINA CITRA HEFRYAMI


1602101010136

KELAS 3

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2019
BRUCELLOSIS PADA BABI

Ternak babi dapat merupakan komoditas ekspor nonmigas yang sangat


potensial. Hal ini terlihat dari perkembangan peternakan babi baik yang dikelola
secara modern maupun tradisional. Pada tahun 1994 populasi ternak babi di
Indonesia sebesar 9.009.961 ekor. Dibandingkan dengan populasi pada tahun 1990
sebesar 7.135.643 ekor, maka populasi tahun 1994 meningkat 26%. Sebagai
komoditas ekspor, pada tahun 1990 Indonesia telah mengekspor babi sebanyak
346.208 ekor dan pada tahun 1994 sebanyak 669.032 ekor, sehingga selama 4 tahun
mengalami peningkatan sebesar 93% (Dirjennak, 2010). Pengembangan komoditas
ternak babi tersebut dapat mengalami hambatan apabila penyakit reproduksinya
tidak diperhatikan sejak dini.
Brucellosis merupakan salah satu penyakit ternak yang telah lama dikenal
di Indonesia sejak tahun 1925. Brucellosis di Indonesia terjadi pada tahun sekitar
menjelang Perang Dunia Kedua. Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucellosi
abortus dan dikenal juga sebagai penyakit keluron menular atau merupakan
penyakit reproduksi yang dapat menyerang sapi, domba, kambing dan babi ( Arifin
dkk, 2015).
Bakteri Brusella suis

Kokobasil Gram-negatif
• Tidak membentuk spora
• Tidak bergerak
• Kuman ini bersifat fakultatif aerob
• Dapat bertahan lama di tanah, debu, air
• Transmisi silang antar hewan pejamu (Anandani, 2016)
Etiologi
Brucellosis pada babi disebabkan oleh B. suis yang memiliki isolat yang lebih
beragam dibandingkan spesies Brucella lainnya. Ada lima biovar Brucella suis,
namun Biovar 1, 2 dan 3 merupakan Brucella yang sering menginfeksi babi. Spesies
B. melitensis dan B. abortus dapat juga menginfeksi babi, se-baliknya B. suis juga
dapat menginfeksi sapi, anjing, kuda, dan manusia

Epidemiologi

 Spesies Rentan
Brusellosid pada babi disebabkan oleh Brucella Suis. Bakteri ini juga
menyerang anjing dan kelinci hutan (Wild heres) dan kelinci hutan diduga
merupaka ‘’carrier’’ bagi brucellosis babi yang bersifat enzootik di
Denmark
 Pengaruh Lingkungan
Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-
alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan
langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke
manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang
penting. Tetapi manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak
yang tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum
dipatuhi dan dagingnya dimasak. Brucellosis sebagai zoonosis juga menjadi
ancaman penularan penyakit pada manusia baik secara langsung kontak
dengan sapi terinfeksi maupun melalui produk ternak yang terinfeksi (Noor,
2018). Brucellosis memiliki dampak ekonomi sangat tinggi berkaitan
dengan rendahnya produktivitas hewan penderita dan pada manusia
tingginya biaya pengobatan akibat durasi pengobatan yang lama.1
Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis karena
penularannya sangat cepat antar batas dan lintas daerah, sehingga
memerlukan pengaturan lalu lintas hewan yang ketat.2-3 (Novita, 2016).
 Sifat Penyakit
Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang
sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta
manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau
pemyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang
bersifat undulans dan disevut Demam Malta (Sueharsono, 2016).
karenaturunnya populasi ternak secara langsung akibat kluron
(abortus),lahir mati (stillbirth), lahir lemah, infertilitas dan sterilitas.
Brucellosis juga merupakan salah satu zoonosis dengan gejala klinis
bervariasi pada manusia. Angka kejadian brucellosis pada manusia di dunia
mencapai 500.000 setiap tahunnya berdasarkan laporan dari WHO
(Soeroso, 2015).
Transmisi
 Cara Penularan
Brucella sp. cukup mudah menular akibat daya tahan hidup cukup baik di
luar tubuh induk semang pada berbagai kondisi lingkungan. Brucella sp.
dapat bertahan pada tanah kering hingga 4 hari, sedangkan pada tanah yang
lembab dapat bertahan hingga 66 hari dan pada tanah yang becek 151–185
hari. Selain itu Brucella sp. juga dapat bertahan pada air minum ternak
selama 5–114 hari dan air limbah selama 30–150 hari. Brucellosis dapat
menular melalui penetrasi selaput lendir mata, membran mukosa saluran
pernapasan, pencernaan, dan kuku. Penularan terutama terjadi secara
vertikal melalui jaringan plasenta, janin, kolostrum, dan susu. Penularan
dapat juga terjadi melalui cairan genital, semen, darah, dan urin. Brucellosis
juga digolongkan sebagai penyakit akibat pekerjaan (occupational disease).
Profesi yang memiliki peluang tertular Brucellosis lebih tinggi adalah
petugas RPH, inseminator, dokter hewan, mantri hewan, dan pemerah susu.
Kasus Npenularan Brucellosis tidak hanya dialami oleh orang dengan
pekerjaan tersebut, namun juga dapat dialami oleh konsumen saat
menangani atau memakan daging mentah atau belum matang sempurna
(Sugyanto, 2015).
 Faktor Predisposisi
Faktor predeposisi penularan penyakit ini biasanya karena sanitasi yang
kurang baik dan hewan berdesak-desakan sehingga memudahkan terjadinya
penularan dari hewan yang telah terinfeksi. Brucellosis merupakan penyakit
berisiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri
brucella sebaiknya didesinfektan agar tidak menjadi sumber penularan dari
hewan kemanusia (Soeharsono, 2017).
 Distribusi Penyakit
Brucellosis merupakan salah satu penyakit hewan menular di Indonesia,
dikenal pertama kali pada tahun 1925 sebagai penyakit keluron. Isolasi
bakteri pertama dilakukan oleh Kirschner dari kasus abortus sapi perah
di daerah Bandung, Jawa Barat (Kartini, 2016). Brucellosis pada sapi
di Pulau Jawa telah didiagnosis secara serologis pada tahun 1935 dari
sapi perah di Grati, Pasuruan, Jawa Timur. Pada tahun 2010, brucellosis
telah dilaporkan dari seluruh pulau/propinsi di Indonesia kecuali
Lombok, Bali, Sumbawa, Kalimantan, Sumatera Barat, Riau, Jambi dan
Kepulauan Riau (Soeroso, 2015). Brucellosis di manusia pada umumnya
endemik di negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, Cina,
Malaysia, Vietnam, Thailand, Indonesia dan Srilanka. Prevalensi
Brucellosis di Malaysia sebesar 25% dari total jumlah pasien yang berobat
ke rumah sakit dengan keluhan gangguan pada kandungan, 75% diantaranya
menyebabkan abortus pada wanita penderita. Prevalensi Brucellosis di
Vietnam sebesar 14,8% pada tahun 2010 (Novita, 2016)
Pathogenesa
 Brucellosis Pada Babi
Brucella suis masuk ke dalam tubuh hewan melalui mulut, saluran
reproduksi, oronasal, mukosa konjungtiva dan luka terbuka. Hewan yang
mengalami keguguran dapat mengeluarkan Brucella sp dalam jumlah
banyak dalam membran fetus, cairan reproduksi, urin dan feses yang dapat
mencemari rumput dan air minum, sehingga menyebabkan penularan antar
hewan (Novita, 2016).
Respons imun untuk menghadapi brucellosis melibatkan antara sistem imun
humoral dan seluler. Brucella abortus memiliki faktor virulensi potensial
yaitu protein VirB. Pada golongan koloni halus (smooth) Brucella dapat
masuk ke dalam sel inang melalui interaksi sel permukaan yang tersusun
dari ikatan lipid. Brucella melakukan penetrasi melalui sel epitel dan
menyebar dalam sel inang menuju limfonodus regional dan kemudian ke
jaringan yang berbeda. Spesies Brucella dapat bertahan hidup dan
bereplikasi dalam sel fagosit. Bakteri patogen yang dapat bertahan hidup
secara intraseluler, harus mengatasi mekanisme bakterisida yang
dikeluarkan oleh sel inang. Bakteri patogen intraseluler telah
mengembangkan berbagai cara untuk menghindari pertahanan inang atau
degradasi bakteri, seperti mengendalikan pematangan sel fagosit dan
mentransformasikannya ke dalam lingkungan yang kaya nutrisi sehingga
bakteri bisa bereplikasi. Pengamatan dalam interaksi seluler beserta
masuknya bakteri Brucella ke dalam makrofag telah menunjukkan bahwa
bakteri tersebut berhubungan dengan sistem keasaman phagosome. Kondisi
asam tersebut penting untuk stimulasi ekspresi virulensi protein virB yang
berhubungan dengan munculnya sistem sekresi tipe IV B. abortus. Type IV
Secretion System (T4SS) merupakan gabungan dari 12 protein yaitu VirB1–
VirB11 dan VirD4. VirB4, VirB11, dan VirD4 saling berinteraksi satu sama
lain sebagai ATPase. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa VirB
merupakan faktor yang menyebabkan Brucella dapat bertahan hidup dengan
memengaruhi ekspresi gen lain dan memodifikasi jalur sinyal sel inang
(Praja, 2017).

 Brucellosis Pada Manusia


Masa inkubasi Brucellosis pada manusia bervariasi mulai dari lima hari
hingga beberapa bulan, rata-rata adalah dua minggu. Penularan Brucellosis
di manusia dapat terjadi melalui 2 jalur yaitu : 1) makanan, mengkonsumsi
makanan yang tercemar bakteri Brucella, 2) pekerjaan, Brucellosis
termasuk salah satu penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan contohnya
dokter hewan (Novita, 2016).
Gejala Klinik
Babi dapat mengalami keguguran kemudian berikutnya lahir normal. Babi terlihat
sehat walaupun mengeluarkan cairan vaginal yang bersifat infeksius. Cairan yang
keluar warnya keruh dan merupakan penularan penyakit. Hewan jantan
memperlihatkan gelaja epididimitis dan orchitis. Gejala ini terutama terlihat pada
babi yang dapat mengakibatkan kemanjiran, kadang-kadang juga ditemukan
kebengkakkan pada lutut (tarsal dan karpal) (Huber dkk, 2015).
Nekrosis pada hati
Perubahan yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak
merah pada permukaan lapisan chorion. Cairan janin terlihat keruh berwarna
kuning kecoklatan dan kadang-kadang bercampur nanah.
Data kuesioner menunjukkan bahwa para pasien penderita brucellosis tersebut
memperlihatkan gejala klinis berupa demam naik-turun, menggigil dan berkeringat,
sakit kepala dan pusing, sakit pada persendian dan ototnya. Masa inkubasi
brucellosis pada manusia umumnya berkisar antara 1-6 minggu, tetapi ada juga
yang hanya 3 hari atau bahkan cukup lama sampai beberapa bulan. Kemudian
disebutkan, bahwa masa inkubasi tersebut dipengaruhi oleh cara infeksi, waktu
infeksi, tingkat virulensi dan jumlah kuman yang menginfeksi (Sudibyo, 2014).
Beberpa komplikasi yang bisa dialami oleh penderita Brucellosis diantaranya:
 Endokarditis (Infeksi lapisan dalam dinding jantung), dapat merusak katup
jantung dan menyebabkan kematian.
 Artrithis, infeksi persendian yang ditandai rasa nyeri , kekakuan dan
pembengkakan pada sendi.
 Infeksi dan peradangan testis, yang menyebabkan rasa nyeri dan
pembengkakkan.
 Infeksi sistem saraf pusat, termasuk miningitis dan ensephalitis.
 Pembengkakan hati (Halimah, 2017)
Infeksi Brucella sp pada manusia tidak menyebabkan keguguran tetapi hanya
menimbulkan gejala klinis antara lain: demam intermitten, sakit kepala, myalgia,
malaise, nyeri, dan gangguan pencernaan. Infeksi penyakit ini ditularkan secara
langsung maupun tidak langsung melalui kontak dengan hewan atau produk hewan
yang terinfeksi (Prajaja, 2017).
Bentuk infeksi brucelosis (Anandani, 2016)
Brucelosis akut
Penyakit demam bergelombang, Inkubasi 4 – 30 hari, Demam tidak teratur, nyeri
sendi, asma, berkeringat pada malam hari, gelisah, menggigil
Brucelosis subakut
Dapat terjadi setelah brucelosis akut. Kultur darah jarang positif. Bruselin tes
positif, Reaksi serologis positif tanpa gejala klinisInfeksi laten
Infeksi Kronik
Bakteremia negatif. Bruselin tes positif. Keringat berlebihan disertai lesu dan nyeri
sendi, Dapat berlangsung bertahun-tahun

Diagnosa
Gambaran klinis dan lesi yang disebabkan Brucellosis tidak dapat dikenali secara
spesifik, oleh karena itu untuk peneguhan diagnosa dilakukan dengan uji
laboratorium. Uji Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat dilakukan tetapi
memerlukan evaluasi dan standar yang tinggi untuk mendiagnosa kasus Brucellosis
kronis. Secara serologis dapat digunakan ELISA serta metoda Western Blot untuk
membedakan apakah infeksi Brucellosis telah lama atau baru (Samkhan, 2015).
Treatment dan Pencegahan
Cara menanggulangi brucellosis pada hewan dan manusia, diawali dengan
penerapan sanitasi pada kandang, ternak, lingkungan, produk hewan dan
manusianya sendiri. Manusia yang mempunyai risiko tertular brucellosis perlu
melindungi diri dari kemungkinan kontak langsung atau tidak langsung dari hewan
penderita, cairan uterus, susu segar dan bahan lainnya dengan menggunakan alat
pelindung seperti sarung tangan, sepatu karet dan pakaian khusus. Kemudian, alat
dan pakaian tersebut direndam dan dicuci dengan menggunakan desinfektan,
seperti fenol 3%, lisol 1% atau khloramin 1%. Manusia yang tertular brucellosis
dapat diobati dengan antibiotika, antara lain dengan tetrasiklin dengan dosis 28-30
mg/kg bobot badan per hari, yang diberikan setiap 6 jam selama 3-4 minggu atau
streptomisin dengan dosis 15-30 mg/kg bobot badan per hari yang diberikan setiap
12 jam selama 2-3 minggu (Archarya dkk, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Anindani, A. 2016. Zoonosis Bakteri. UB Press. Malang.


Acharya KP, Kaphle K, Shrestha K, Bastuji BG, Smitsf HL. 2016. Review of
Brucellosis in Nepal. Int J Vet Sci Med. 4 (1): 54-58.
Arifin, M., E. Pudjiastuti, B.J. Tuansikal, dan E. Yulian .2015. Pengaruh iriditas
terhadap imugenitas Brucella. Risalah Seminar Ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi 1 (1): 2-3
Dirjennak. 2010. Pedoman Taknis Pemberantasan dan Penanggulangan
Brucellosis di Indonesia. Jakarta.
Halimah, D.N. 2017. Sains AlQur’an. Guepedia. Jakarta.
Huber B, Scholz HC, Lucero N, Busse HJ. 2015. Development of a PCR assay for
typing and subtyping of Brucella species. Int J Med Microbiol. 29 (9) :563-573.
Kartini, D., S.M. Noor dan F.H Pasaribu. 2016. Deteksi Brucellosis pada babi
secara serologis dan molekuler dirumah potong hewan Kapuk, Jakarta dan
Ciroyom, Bandung. Acta Veterinaria Indonesiana 5 (2): 67-68.
Novita, R. 2016. Brucellosis: Penyakit zoonosis yang terabaikan. Balaba 12 (2) :
135- 139.
Praja, R.N., D. Handijatno, S. Kowesdarto dan A. Yudhana. 2017. Karakteristik
Protein VirB4 Brucella Isolat lokal dengan teknik sodium Dodecyl Sulfate
Polyacrilamide Gel Electroporesis. Jurnal Veteriner 18 (3): 416-417.
Samkhan. 2015. Analisis ekonomi Brucellosis dalam menyongsong
penanggulangan, pemberantasan, dan pembebasan Brucellosis di Indonesia Tahun
2025. Buletin Laboratorium Veteriner.14(1): 1-2.
Sudibyo, A. 2014. Studi Patogenisitas Brucella Suis isolat lapang dan kemampuan
penularannya dari babi ke manusia. Balai Penelitian Veteriner.
Sueharsono. 2017. Zoonosis Penyakit Menular Ke Manusia. Kaninus. Jakarta.
Sugyanto. 2015.
Soeroso, M. dan F. M. Taufani. 2015. Brucellosis di Indonesia. Bul. LPPH 3 (4):
24-25.

Anda mungkin juga menyukai