Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PAPER PPDH BAGIAN MIKROBIOLOGI

Judul :
BRUCELLOSIS

Oleh:
1. Aditia Dwi Cahyono
2. Retno Tegarsih
3. Singgoh Pratiknyo Sundawa

B94144302
B94144340
B94144343

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN VIROLOGI


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PENDAHULUAN

Brucellosis merupakan penyakit hewan menular yang menyerang sapi,


kambing, babi dan dapat menyerang berbagai jenis ternak lainnya. Penyakit ini
dapat menular pada manusia sehingga dikenal sebagai salah satu penyakit
zoonosis pada manusia (Mukmin 1997) dan biasanya sulit diobati sehingga
sampai saat ini brucellosis merupakan zoonosis penting dan strategis (Direktur
Kesehatan Hewan 2002). Pada sapi, penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit
keluron menular atau penyakit Bang (Direktur Kesehatan Hewan 2002).
Umumnya kejadian penyakit brucellosis di Indonesia hanya dikenal oleh
masyarakat sebagai penyakit reproduksi menular pada ternak, terutama sapi.
Penyakit brucellosis mengakibatkan terjadinya abortus atau keguguran pada sapi
bunting yang terinfeksi bakteri Brucella. Namun tidak banyak masyarakat yang
mengetahui tentang penyakit brucellosis sebagai penyakit zoonosis dikarenakan
kejadian brucellosis pada manusia di Indonesia belum pernah dilaporkan maupun
dipublikasikan (Noor 2006).
Brucellosis disebabkan oleh infeksi bakteri genus Brucella. Bakteri genus
Brucella termasuk bakteri Gram negatif, memiliki bentuk batang, mempunyai
ukuran panjang 0,5-2,0 mikron dan lebar 0,4-0,8 mikron, non-motil, bersifat
aerob, tidak berspora, dan merupakan bakteri intraseluler (Direktur Kesehatan
Hewan 2002). Saat ini, genus Brucella diketahui mempunyai 6 spesies, yaitu
Brucella melitensis, Brucella abortus, Brucella suis, Brucella neotomae, Brucella
ovis, dan Brucella canis. Pada manusia, spesies Brucella yang patogen, yaitu
Brucella melitensis, Brucella abortus, Brucella suis, dan Brucella canis (Enright
1990; Noor 2006). Kejadian brucellosis pada manusia berdasarkan laporan
kejadian penyakit di daerah endemis bervariasi, yaitu kurang dari 0,01 sampai
lebih dari 200 kasus per 100.000 orang (Lopez-Merino 1989; Noor 2006).
Reservoir alami bakteri genus Brucella dan penyebaran penyakit secara geografis
pada manusia tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1 Reservoir alami bakteri genus Brucella dan penyebaran penyakit secara
geografis pada manusia
Spesies

Hewan reservoir

B. melitensis

Kambing, domba, unta

B. abortus

Sapi, kerbau, unta

B. suis

Babi

B. canis
Anjing
(Sumber : Lisgaris dan Salata (2005))

Daerah penyebaran
brucellosis
Mediteranian, Asia, dan
Amerika Latin
Seluruh dunia, kecuali
Jepang, Israel, dan
beberapa Negara Eropa
bebas
Amerika Selatan, Asia
Tenggara, dan Amerika
Serikat Barat bagian
Tengah
Kosmopolitan

Bakteri Brucella memiliki 2 macam antigen, yaitu antigen M dan antigen


A. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A,
sedangkan Brucella abortus dan Brucella suis memiliki lebih banyak antigen A
dibandingkan antigen M. Brucella mempunyai antigen bersama (Common
antigen) dengan beberapa bakteri lainnya seperti Campylobacter fetus dan
Yersinia enterocolobacter. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah
karena antibodi tidak terlalu berperan (Direktur Kesehatan Hewan 2002).
Pada sapi, gejala klinis yang utama adalah keluron menular yang diikuti
dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya produksi susu.
Keluron yang disebabkan oleh Brucella biasanya akan terjadi pada umur
kebuntingan antara 5 sampai 8 bulan (trimester ketiga). Cairan janin yang keluar
saat terjadinya keluron memiliki warna yang keruh dan dapat merupakan sumber
penularan penyakit (Direktur Kesehatan Hewan 2002).

TEKNIK DIAGNOSA

3. Diagnosa
Isolasi dan
kultur
molekuler
bakteri

2. Diagnosa
serologis

RBT, AGPT
SAT, FPA
1.Pengujian
CFT Bakteriolgis
ELISA

PCR

Koleksi Sampel dan Metode Kultur Bakteri


Sampel diambil dari hewan yang diduga menderita Brucellosis. Sampel
yang dipilih diambil berdasarkan gejala klinis yang ditemukan. Sampel yang
sering diambil berupa fetus yang telah abortus, membran fetus, swab sekresi
vagina, susu, semen, dan cairan higroma. Sampel juga dapat diambil dari karkas
hewan dan jaringan. Jaringan yang biasa dikultur adalah jaringan dari sistem
retikuloendotelial contohnya kepala, ambing, limfonodus genital, dan limpa.
Bakteri akan tumbuh pada sampel secara normal setelah 3 sampai 4 hari.
Pengambilan sampel dari jaringan harus diambil secara aseptis
menggunakan peralatan yang steril. Sampel jaringan dipisahkan dari materialmaterial asing seperti lemak, kemudian dipotong menjadi bagian kecil.
Selanjutnya jaringan tersebut dimaserasi menggunakan stomacher atau tissue
grinder dengan ditambah sedikit Phosphat Buffer Salin steril sebelum

diinokulasikan pada media padat. Sampel swab vagina diambil dari hewan yang
mengalami aborsi atau yang baru melahirkan kemudian langsung ditanam pada
media padat. Jika yang diambil adalah sampel susu maka harus didapat secara
aseptis dengan membersihkan dan mendesinfeksi ambing. Sampel susu diambil
dari setiap kuartir sebanyak 10 sampai 20 ml. Susu disentrifuse untuk
menghindari resiko kontaminasi scara aerosol dari kandang kemudian lemak susu
diambil kemudian ditanam pada media padat selektif. Sampel dari produk susu
seperti keju sama dengan pengambilan sampel dari jaringan. Semua sampel harus
didinginkan secepatnya, disimpan dalam refrigerator setelah diambil dan
dipindahkan ke laboratorium. Sampel susu dan jaringan harus dalam keadaan
beku apabila ingin diamati pada jangka waktu yang lama.
Teknik isolasi bakteri pada media kultur
Media kutur yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi brucella adalah
dengan menggunakan media kultur Trypton Soya Broth (TSB) dan Trypton Soya
Agar (TSA). Selanjutnya ialah penambahan Brucella Supplement (OXIODTM)
yang mengandung polymyxin B, bacitracin, cycloheximide, nalidixic acid,
nystatin, dan vancomycin dengan dosis pemakaian Brucella Supplement
(OXIODTM) yaitu 1 vial untuk 500 ml media dengan mengencerkan suplement
menggunakan 5 ml ethanol dan 5 ml aquadest. Selanjutnya media diinkubasi pada
suhu 37C selama 15 menit. Penambahan suplement pada media TSB dapat
dilakukan pada suhu kamar atau sekitar 20C namun pada media TSA sebaiknya
dilakukan pada suhu 40 sampai 50C.
Langkah isolasi yang pertama adalah menggunakan media TSB yang sudah
dicampur dengan supplement. Selanjutnya ditambahkan sampel yang diperoleh
contohnya swab vagina. Kemudian media diinkubasi ke dalam inkubator 5% CO 2
pada suhu 37C selama 3 sampai 11 hari hingga media terlihat keruh. Pada saat
media TSB berubah menjadi keruh, kultur yang tumbuh dipindahkan ke media
TSA. Setelah dipindahkan, media diinkubasi kembali dalam inkubator 5% CO 2
pada suhu 37C selama 3 hari. Cawan yang dicurigai sebagai koloni Brucella
diambil dan digoreskan lagi pada media TSA serta diinkubasi ke dalam inkubator
5% CO2 pada suhu 37C selama 3 hari. Hasil positif Brucella ditandai dengan
adanya koloni seperti tetesan madu (OIE 2009).
Teknik Diagnosa Bakteriologis
Isolat bakteri dikultur pada media selektif Brucella agar base (BAB).
Teknik diagnosa bakteriologis dapat dilakukan secara langsung dengan pewarnaan
Stamp atau pewarnaan Koster. Selain itu juga dapat dilakukan uji morfologi
mikroorganisme dengan pewarnaan Gram. Pewarnaan untuk identifikasi bakteri
dari genus Brucella adalah metode modified Ziehl Nielsen. Pewarnaan modified
Ziehl Nielsen adalah teknik resmi dan rekomendasi Techniques for the
Brucellosis Laboratory, Institut National de la Recherche Agronomique (INRAFrance). Pewarnaan tersebut adalah acuan World Health Organizations (WHO)
dan Office des Epizooties (OIE) untuk identifikasi brucellosis di manusia dan
hewan, serta referensi utama untuk diagnosis brucellosis sapi di Balai Besar
Veteriner (BBVet) Wates. Koloni yang tumbuh diidentifikasi dengan uji biokimia
atau menurut prosedur standar uji bakteriologis (Alton et al.1998; OIE 2000;
Quinn et al. 2002). Menurut Sulaiman 2003, B. abortus strain virulen pada
Brucella agar media akan memiliki karakteristik berwarna putih madu,

translucent, bertepi halus, bersifat lembab dan berdiameter 1 2 mm. Strain


avirulen dari genus Brucella biasanya menunjukkan karakter koloni bertepi tidak
beraturan, bersifat kering dan cenderung berbentuk granular kasar
Teknik Diagnosa Serologis
Rose Bengal Test (RBT)
Rose Bengal Test (RBT) adalah reaksi pengikatan antigen yang telah
dilemahkan dan diwarnai dengan antibodi dari serum, pengujian ini
mengandalkan prinsip dari kemampuan antibodi IgM dalam mengikat antigen
dalam serum. RBT merupakan pengujian menggunakan cara aglutinasi dengan
cara mereaksikan antigen dan antibodi, setiap aglutinasi yang dihasilkan
menandakan positif reaksi. Bila tidak terjadi aglutinasi, ini memiliki arti tidak ada
antibodi dalam serum. Tujuan dari test ini adalah untuk mengenali adanya
antibodi dalam serum atau tidak (Dewi, 2009). Uji RBT memiliki sensitivitas
yang tinggi sehingga berguna untuk mendiagnosa penyakit brucellosis pada
daerah dengan tingkat prevalensi yang rendah tetapi presentasi vaksinasi cukup
tinggi. . Pengujian ini merupakan screening test yang sangat baik.
Prosedur
Serum diambil dari freezer dan antigen Brucella RBT dari kulkas dan
biarkan selama 0,5 sampai 1 jam dalam suhu kamar. Selanjutnya teteskan serum
sebanyak 0,03 ml pada WHO plat (80 lubang) dengan menggunakan pipet Pasteur,
pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk serum yang diuji. Teteskan control
serum positif pada lubang nomor 79 dan serum negatif pada lubang nomor 80.
Setelah itu diteteskan antigen Brucella RBPT sebanyak 0,03 ml pada semua
lubang. Kemudian kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary
aglutinator dan lakukan pembacaan (BBVet, 2002). Hasil positif [+] apabila
terjadi aglutinasi sempurna, negatif [-] bila tidak terjadi aglutinasi sama sekali.
Jika tidak terjadi aglutinasi lebih dari 4 menit, campuran antigen dan serum tetap
homogen dan berwarna ungu kemerah-merahan maka hasilnya adalah negative [-]
antibodi brucellosis. Apabila terjadi aglutinasi halus dan membentuk garis
terputus-putus dengan tepi dikelilingi partikel halus, dianggap positif 1 [+], jika
aglutinasi terlihat jelas dan cepat, membentuk partikel aglutinasi kasar dengan tepi
pinggiran lebar, adalah positif 2 [++], dan jika aglutinasi sempurna, cepat dan
membentuk partikel lebih kasar, positif 3 [+++] (BBVet, 2002).
Complement Fixation Test (CFT)
Complement Fixation Test (CFT) merupakan uji serologis dengan reaksi
pengikatan komplemen untuk mengukur kadar antibodi serum ataupun antigen.
Prinsip reaksi ini adalah adanya kompleks antigen dan antibodi yang homolog,
menarik komplemen untuk berikatan dengan bagian Fc dari antibodi sehingga
melisiskan sel darah (RBC), (Dewi, 2009). Imunoglobulin pada hewan terinfeksi
dapat diaktifkan oleh komplemen IgM dan IgG. Uji CFT tidak menunjukan
sensitivitas yang tinggi tetapi menunjukan spesifisitas yang tinggi. Reaksi positif
tidak dapat membedakan antara hewan yang divaksin dan infeksi alam. Uji CFT
merupakan uji untuk peneguhan diagnosis pada uji RBT maupun SAT yang positif
sehingga hasil CFT positif dapat digunakan sebagai acuan bahwa sapi itu terpapar
Brucella.

Prosedur
Teknik persiapan suspensi sel darah merah
Darah sapi diambil dari vena jugularis dengan venoject dan ditampung
dalam labu Erlenmeyer berisi antikoagulan (larutan Alsevers) dan silikon. Darah
dicuci sebanyak 3 kali dengan larutan CFT buffer dan disentrifus dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Pencucian terakhir, cairan atas atau
supernatan dibuang dan endapan sel darah yang diperoleh kemudian dibuat
suspensi 3% dengan larutan CFT buffer (32,3 kali volume endapan sel dan
ditambahkan hemolisin yang telah diencerkan sama banyak). Inkubasi selama 30
menit pada suhu 37C. Sel darah sapi tersebut siap digunakan untuk CFT (BBVet,
2002).
Teknik titrasi komplemen
Komplemen adalah glikoprotein serum yang berinteraksi terhadap efektor
imunitas dan peradangan yang memfasilitasi aktifitas fagosit dan melisiskan sel
tertentu. Dalam bahasan ini komplemen berarti antibodi terhadap brucella. Bahan
yang digunakan adalah suspensi sel darah merah sapi 3% yang diencerkan dengan
komplemen dengan perbandingan 1:40 dalam larutan pengencer dingin (dari stok
komplemen diencerkan dengan 7 ml akuades untuk mendapatkan pengenceran
1:10, selanjutnya dibuat pengenceran 1:40). Sel darah merah (eritrosit) yang telah
disensitisasi ditambahkan keseluruh lubang (BBVet, 2002). Bila terjadi hemolisis
pada tabung dengan pengenceran terendah berarti mempunyai nilai 1 unit dan
tabung selanjutnya adalah full unit dan ini yang digunakan dalam uji diagnostik.
Selanjutnya cawan-cawan mikro diputar pada kecepatan 2000 rpm selama 5 menit
atau didiamkan pada suhu 4C selama 12 jam lalu hasil reaksinya dibaca dengan
kriteria negatif [-] terjadi hemolisis sempurna jika cairan dalam lubang cawan
berwarna merah dan tidak ada endapan eritrosit didasar cawan. Jika positif [+]
terjadinya hemolisis hampir sempurna, cairan dalam cawan berwama merah, ada
endapan eritrosit didasar cawan.
Tahap pengujian
Sampel serum diinaktifkan selama 30 menit pada suhu 56C untuk
menghindari terjadinya antikomplemen. Sebanyak 50 l serum sampel
dimasukkan pada lubang plat mikrotiter mulai deret lubang A1-10. Lubang A11
sebagai kontrol serum positif dan lubang A12 kontrol negatif. sebanyak 25 l
pelarut CFT buffer ditambahkan pada semua lubang plat A1 sampai A12.
Pengenceran secara seri dengan mengambil 25 l dari lubang A dipindahkan ke
lubang B dan kocok beberapa kali dan seterusnya ke lubang C sampai lubang H
dan terakhir 25 l dibuang. Tambahkan 25 l antigen (1:100) pada deret lubang CH, setelah itu ditambahkan 25 l komplemen pada semua lubang plat. Sebanyak
25 l pelarut CFT buffer dimasukkan pada lubang A dan B. Plat ditutup dengan
selotip, dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37C. Selotip (tutup) dibuka
dan ditambah 25 l sel yang disensitisasi pada semua lubang kemudian
dihomogenkan dengan mikroshaker selama 45 menit, dan reaksinya dibaca.

Interpretasi hasil
Apabila CFT negatif maka campuran pada lubang plat mikrotiter terlihat
berwarna merah muda dan homogeni karena terjadi hemolisis sempurna dari sel
darah sapi. Apabila positif antibodi Brucella maka lubang pada plat terbentuk
endapan merah dengan cairan sekitarnya berwarna jernih, menyerupai kancing.
Apabila terjadi 50% hemolisis disamping ada endapan eritrosit, cairan juga
berwarna kemerah-merahan sebagai akibat dari eritrosit mengalami hemolisis
tidak sempurna (BBVet 2002). Pembacaan positif dimulai dari pengenceran
tertinggi. Kontrol serum positif harus selalu digunakan pada setiap uji begitu juga
kontrol serum negatif harus selalu digunakan pada plat (BBVet 2002).
Serum Aglutination Test (SAT)
Uji serologi lainnya yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa
brucellosis adalah uji SAT (serum Aglutination Test). Pada uji SAT bertujuan
untuk mengetahui adanya IgG dan IgM pada sapi dan juga untuk mengetahui
kandungan antibodi brucella dalam satuan IU (Internasional Unit). Karena reaksi
ini belum mampu membedakan reaksi positif yang disebabkan oleh infeksi alam
dengan reaksi positif akibat post vaksinasi dengan stain 19, disamping itu tes ini
juga belum mampu mendeteksi adanya infeksi dini, maka jika reaksi dengan tes
ini positif perlu dilanjutkan dengan uji CFT (Tono dan Suarjana, 2008).
Enzim Liked Imunosorbed asay (ELISA)
Teknik serologi diagnosa Brucella dapat menggunakan ELISA. ELISA
adalah salah satu metode yang mudah dilakukan, cepat, sensitif, akurat, dan dapat
digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah banyak. Prinsip metode ELISA
adalah pada konjugasi antara antigen, antibodi, dan enzim, dengan menambahkan
substrat pewarna. Hasil menggunakan uji ELISA lebih spesifik dibandingkan
dengan CFT. ELISA mampu mendeteksi antibodi dalam jumlah kecil dan
khususnya Ig G dalam serum. Kemampuan ini diperoleh karena adanya antibodi
monoclonal yang digunakan dalam kit diagnosa. ELISA mampu mendeteksi
antibodi pada seluruh kasus infeksi B. abortus dan pada ternak yang mendapatkan
vaksin serta mengkonfirmasi pada daerah yang tidak di vaksin (Tittarelli, 2008).
Perkembangan ilmu pengetahuan terkini telah menemukan penggunaan
complement (cELISA) yang dapat membedakan antibodi vaksin atau infeksi
alami (Dajer et al. 1999).
Agar Gel Precipitation Test (AGPT)
Agar gel dibuat dengan melarutkan 0.4 g agarose dan 1.2 g PEG 6.000
selanjutnya Na azide 0.1% ditambahkan kedalam 25 ml PBS pH 7.4 dan 25 ml
aquadest pH 7.4. Larutan ini dipanaskan dalam penangas air sampai larut dan
warna larutan menjadi bening. Kemudian larutan dipipet sebanyak 3.75 ml,
dicetak pada gelas objek dan ditunggu sampai mengeras. Kemudian dibuat sumursumur dengan puncher. Pada sumur tengah dimasukkan 25 l antigen dan 25 l
IgY purifikasi pada sekelilingnya. Gelas objek diletakkan di atas kertas saring
basah agar terjaga kelembabannya. Reaksi dibaca setelah 18 sampai 48 jam, reaksi
positif ditunjukkan dengan adanya garis presipitasi diantara sumur antigen dan
serum.

Fluorescence polarisation assay (FPA)


FPA telah dikembangkan untuk mendeteksi banyak zat-zat kimia termasuk
obat, hormon, dan makromolekul lainnya. Nielsen et al. (1996) telah
mengadaptasi FPA untuk mendeteksi antibodi pada sapi terhadap Brucella. Bahan
yang dugunakan adalah one-step serum dilution dan fluoroscence polaryzation
analyzer yang telah dilabel pelacak O-Polisakarida pada Brucella. Setelah
ditambahkan, selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar selama 2 menit sampai FP
berhasil melacak polisakarida dengan cara membaca dari subtrat yang kosong.
Sehingga jumlah antibodi yang terdapat pada serum dapat diketahui (Dajer et al.
1999).
Teknik Diagnosa Molekuler
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA
pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA target dengan bantuan enzim dan
oligonukleotida sebagai primer dan dilakukan di dalam thermocycler. PCR adalah
suatu metode yang menggunakan komponen-komponen replikasi DNA untuk
mereplikasi suatu fragmen DNA yang spesifik di dalam tabung reaksi. Metode ini
dikembangkan untuk mempercepat isolasi DNA spesifik tanpa membuat dan
melakukan pustaka genom. Dua primer oligonukleotida pendek digunakan untuk
mengapit daerah DNA yang akan diamplifikasi.
Prosedur
1. Sampel Kultur dan Bakteri B. abortus Isolat bakteri dikultur pada media
selektif Brucella agar base (BAB) yang diperkaya dengan 2,5% serum sapi
kemudian diinkubasi pada 37 C selama 3 hari dengan penambahan 5% CO2.
Koloni yang tumbuh diidentifikasi dengan uji biokimia atau menurut
prosedur standar uji bakteriologis (Alton et al.,1998; OIE, 2000; Quinn et al.,
2002).
2. Ekstraksi DNA
Biakan murni dari masing-masing isolat B.abortus. dibuat suspensi dengan
dilarutkan dalam phosphat buffer saline (PBS) sebanyak 10%. Suspensi ini
selanjutnya digunakan untuk ekstraksi DNA.
3. Amplifikasi DNA dengan PCR
Proses amplifikasi DNA dengan teknik PCR dilakukan dengan menggunakan
Ready to Go PCR Kit. Selanjutnya larutan di-spindown dan dimasukkan ke
dalam PCR thermocycler yang telah diprogram, denaturasi awal selama 45
detik pada suhu 95 C diikuti dengan denaturasi selama 30 detik pada suhu 95
C, annealing selama 60 detik pada suhu 66 C, ekstensi selama 60 detik pada
suhu 72 C, sebanyak 35 siklus dan diakhiri dengan ekstensi akhir selama 7
menit pada suhu 72 C. Selanjutnya produk PCR yang terdapat dalam tabung
PCR bead disimpan dalam freezer pada suhu -20 Csebelum dilakukan proses
elektroforesis (Ratnasariet al., 2011). Primer yang digunakan untuk PCR.

Untuk melihat hasil PCR dilakukan elektroforesis DNA sampel ditambah


dengan buffer loading, dimasukkan dalam agarose 2% yang mengandung
ethidium bromide 1 mg/ml untuk proses running. Hasil divisualisasikan
dengan sinar ultraviolet transluminator pada panjang gelombang 302 nm.
Elektroforesis DNA dilakukan untuk mengetahui panjang amplicon dari B.
abortus (Ratnasari et al., 2011).
4. Sekuensing
Sekuensing DNA dilakukan dengan menggunakan mesin sekuensing Abi
Prism 3130 Genetic Analyzser-Apllied Biosystem. Proses sekuensing ada tiga
tahapan. Tahap (1) dilakukan siklus sekuensing dengan penambahan Big Dye
labeling untuk menandai bagian gen yang akan dibaca di mesin sekuensing.
Tahap (2) dilakukan purifikasi hasil siklus sekuensing tahap (1) dengan
menggunakan Big Dye X Terminator. Tahap (3) sekuensing dilakukan dengan
Abi Prism 3130 Genetic Analyser Applied Biosystem. Data hasil sekuensing
diolah untuk mendapatkan hasil sekuensing nukleotida (Applied Biosystems,
2010).
5. Analisis Homologi
Data hasil sekuen nukleotida gen dari sampel yang didapat kemudian
dihomologikan dengan cara urutan nukleotida yang ada diubah dalam bentuk
data Fasta, kemudian dengan menggunakan
BLAST (basic local alignment search tool) dilakukan proses analisis
homologi dengan membandingkan antara sekuen gen omp2a dengan data
sekuen nukleotida isolat asal mancanegara yang diakses dari GenBank.
6. Prediksi Determinan Antigen (Epitop)
Sekuen nukleotida gen dari masingma-sing isolat B. abortus diblasting
(diubah) ke asam amino. Determinan antigen didapatkan dengan
menggunakan metode dari Kolaskar dan Tongaonkar antigenicity (Kolaskar
& Tongaonkar, 1990).
Menurut Kazemi et al. (2008) penggunaan metode PCR untuk deteksi
Brucella sangat cepat dan peka dibandingkan dengan deteksi secara bakteriologis
dan serologis, karena metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi genom
bakteri. Keunggulan PCR untuk deteksi patogen (B. abortus) karena teknik ini
tidak memerlukan proses pembiakan yang memakan waktu lama dan mempunyai
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi (Situmeang & Yulia, 2003). Teknik PCR
tidak beresiko tinggi bagi pekerja di laboratorium karena tidak berhubungan
langsung dengan patogen dan sampel untuk pemeriksaan PCR dapat disimpan
pada suhu -20 C sebelum diproses atau dapat dikirim ke laboratorium lain
(Ancora et al., 2005; Khosravi et al., 2006; Lopez-Goni et al.,2008).
PENGOBATAN
Brucellosis dapat dicegah dengan vaksinasi. Pada sapi, terdapat dua jenis
vaksin yang tersedia yaitu vaksin Brucella abortus strain RB51 dan strain 19. Pada
kambing dan domba, vaksinasi dilakukan menggunakan vaksin Brucella
melitensis strain Rev. 1, baik untuk B. Melitensis maupun B. ovis. Sementara itu,
belum ada produk vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi B. suis pada babi
dan B. canis pada anjing. Semua produk vaksin yang tersedia merupakan vaksin

hidup dan berpotensi menimbulkan aborsi bila diberikan pada ternak bunting.
Selain itu pencegahan juga dapat dilakukan dengan pengawasan lalu lintas hewan
dari daerah ke daerah yang bebas penyakit brucellosis. Sampai saat ini belum ada
pengobatan yang baik untuk mengatasi brucellosis. Pengobatan brucellosis pada
saat ini hanya untuk mencegah terjadinya komplikasi dan relapsis. Pengobatan
dilakukan dengan pemberian antibotik seperti doksisiklin, streptomisin dan
rifampisin setiap hari selama minimal 6 minggu (WHO 1986). Pada orang dewasa
dan anak di atas usia 8 tahun, antibiotika yang diberikan adalah doksisiklin dan
rifampisin selama 6-8 minggu, sedangkan untuk anak di bawah 8 tahun sebaiknya
diberikan rifampisin dan trimethropin-sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6
minggu. Penderita brucellosis dengan spondilitis direkomendasikan antibiotika
doksisiklin dan rifampisin dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamisin)
selama 2-3 minggu kemudian diikuti dengan rifampisin dan doksisiklin selama 6
minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Alton GG, Jones LM, Angus RD, Verger JM. 1998. Techniques for the
Brucellosis. INRA. Paris, French. p37-38.
Ancora M, de Santis P, Giannatale ED, Alessiani A. 2005. Molecular typing of
brucella field strain isolated in Italy. Veterinaria Italiana Journal 41(1):
51-55.
Applied
biosystems.
2010.
Manual
Procedure.
http://www.appliedbiosystems.com/28 Agustus 2012.
[BBVet] Balai Besar Veteriner Regional VI Denpasar 2002. Instruksi Kerja
Metode Pengujian Diagnosa Brucellosis pada Sapi dan Kerbau.
Denpasar (ID).
Dajer A, Martines EL, Zapata D, Villegas S, Guierres E, Pena G, Guria F, Nielsen
K, Gall D. 1999. Evaluation of a fluorescence-polarization assay for the
diagnosis of bovine brucellosis in Mexico. Prev Vet Med.
Dewi AK. 2009. Kajian Brusellosis pada Sapi dan Kambing Potong yang
Dilalulintaskan di Penyeberangan Merak Banten [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Direktur Kesehatan Hewan. 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat
Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen
Pertanian RI, Jakarta Indonesia.
Enright FM. 1990. The pathogenesis and pathobiology of brucella infection in
domestic animals. In: Animal Brucellosis. Nielson K, Duncan JR (editor).
Florida: CRC Press. 301-320.
Kazemi B, Namin SAY, Dowlatshahi M, Bandepour M, Kaflzadeh F, Gachkar L,
Mahmoudinejad M, Samarghandi A, Mardani M. 2008. Detection of
Brucella by peripheral blood PCR and comparison with culture and
serological methods in suspected cases. Iranian Journal of Public Health
37(4): 96-102.
Khosravi AD, Abassi E, Alavi SM. 2006. Isolation of B. melitensis, B. abortus
from brucellosis patiens by conventional culture method and polymerase

chain reaction technique. Pakistan Journal of Medical Sciences 22(4):


396-400.
Kolaskar AS, Tongaonskar PC. 1990. A Semi-empirical method for prediction of
antigenic determinants on protein antigens. FEBS Letters 276(1-2): 172174.
Lisgaris MV, Salatra. 2005. Brucellosis. [diunduh 2015 Okt 13]
http://www.emedicine.com/med/topic248.htm.
Lopez-Goni I, Garcia-Yoldi D, Marin CM, de Miguel MJ, Munoz PM, Blasco JM,
Jacques I, Grayon M, Cloeckaert A, Ferreira AC, Cardoso R, Correa de
Sa MI, Walravens K, Albert D, Garin-Bastuji B. 2008. Evaluation of a
multiplex PCR bAssay (Bruce-Ladder) for molecular typing of all
Brucella species, including the vaccine strains. Journal of Clinical
Microbiology 46(10): 3484-3487.
Mukmin Y. 1997. Diagnosa Penyakit Brucellosis pada Sapi dengan Teknik Uji
Pengikatan Komplemen. Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Bogor (ID):
Balai Penelitian Veteriner.
Noor SM. 2006. Brucellosis: penyakit zoonosis yang belum banyak dikenal di
Indonesia. Wartazoa. 16(1).
[OIE] Office International des Epizooties. 2009. Porcine and rangiferine
brucellosis: Brucella suis [internet]. Paris (FR). [diunduh 2015 jan 31].
Tersedia
pada:
http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/brucellosis_suis.pdf.
[OIE] Office des Intenational Epizooties. 2000. Mannual of Standards for
Diagnostic Test and Vaccines for Terrestial Animals. List A and B
Diseases of Mammals, Birds and Bees. References Laboratories for
Bovine Brucellosis. www.unau. es/microbial/Brucellosis 2003
proceeding.pdf. p330.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonar FC. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Publishing. Great
Britain. p162-164.
Ratnasari R, Lastuti NDR, Ardhiani F, Anis S. 2011. Deteksi protein membran
luar (OMP) dinding sel bruella abortus isolat lokal dengan polymerase
chain reaction (PCR) sebagai kandidat vaksin brucellosis. Media
Kedokteran Hewan 27: 51-55.
Situmeang R, Yulia E. 2003. Polymerase chain reaction (PCR) dan kegunaannya
dalam membedakan virus Hog cholera dengan pestvirus lainnya. Buletin
Veterinaria Farma 3(1): 8-14.
Sulaiman I. 2003. Evaluasi Sero-diagnostik sebagai Sarana Diagnosa Brucellosis
di Sulawesi
Selatan. Makalah Apresiasi Diagnosa Laboratorium Bakteriologi. BPPH VII
Maros 9-18 Juni 2003.
Tono KPG, dan Suarjana IGK. 2008. Ilmu Penyakit Bakterial. Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Denpasar (ID). UNUD Pr.
WHO. 1986. Joint food and Agriculture Organization, World Health Organization,
FAO-WHO. Expert Communittee on brucellosis (sixth) report. World
Health Org. Tech. Rep. Ser. 740.

Anda mungkin juga menyukai