2 : 161-168
pISSN: 1411-8327; eISSN: 2477-5665 DOI: 10.19087/jveteriner.2018.19.2.161
Terakreditasi Nasional, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, online pada http://ojs.unud.ac.id/index.php/jvet
Kemenristek Dikti RI S.K. No. 36a/E/KPT/2016
3
Lab Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan,
Universitas Udayana, Jl. Sudirman, Denpasar, Bali, Indonesia
Telp. +62361223791, E-mail : nsdharmawan@unud.ac.id
ABSTRAK
Bovine cysticercosis merupakan salah satu problem kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat
di dunia. Penyakit ini selain berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, juga menyebabkan
kerugian ekonomi bagi peternak karena karkas yang terinfeksi harus diafkir. Sampai saat ini data
tentang kejadian bovine cysticercosis di wilayah Nusa Tenggara sangat terbatas. Tujuan penelitian ini
adalah untuk memperoleh informasi tentang prevalensi dan penyebaran bovine cysticercosis pada sapi
bali di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Penelitian dilakukan dengan memeriksa serum sapi bali yang
diperoleh dari peternak menggunakan teknik ELISA (Bio-X Diagnostics’s Cysticercosis Antigen ELISA Kit).
Hasil pemeriksaan ELISA terhadap 92 sampel serum dengan cut off 0,295, menunjukkan ada empat
serum positif (4,35%). Tiga serum positif berasal dari Lombok dan satu serum positif dari Sumbawa.
Hasil ini mengindikasikan bahwa Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara Barat tidak
bebas dari sistiserkosis pada sapi. Mengingat bovine cysticercosis bersifat zoonosis, studi tentang faktor
risiko amat diperlukan bersamaan dengan ketersedian informasi tentang estimasi beban penyakit dan
kerugian ekonomi yang ditimbulkannya. Disarankan agar petugas kesehatan hewan lebih teliti saat
melakukan pemeriksaan post mortum, terutama pada sapi-sapi asal wilayah yang positif.
Kata-kata kunci: seroprevalensi; bovine cysticercosis, sapi bali, Nusa Tenggara Barat
ABSTRACT
Bovine cysticercosis is one of the animal and public health problems throughout the world. This
disease has a negative impact on public health and can cause economic losses for farmers due to heavy
infected carcasses that should be rejected. Until now, the availability of data related to this parasitic
disease, especially in the Nusa Tenggara region, is very limited.The purpose of this study was to obtain
information on the prevalence and distribution of bovine cysticercosis in bali cattle in West Nusa Tenggara,
Indonesia. The study was conducted by examining Bali cattle sera obtained from the local farmers by using
ELISA (Bio-X Diagnostics’s Cysticercosis Antigen ELISA Kit). The results of ELISA examination from a
total of 92 serum samples with cut off 0.295 showed that there were four positive sera (4.35%). The three
positive sera were originated from Lombok and one positive serum was from Sumbawa. These results
indicate that Lombok Island and Sumbawa Island in West Nusa Tenggara are not free from bovine
cysticercosis. Since C. bovis infection is zoonotic, studies of risk factors are necessary, as well as the
availability of information about the estimated burden and the economic loss of the disease. It is
recommended that veterinarians should be more accurate when conducting post mortum examination,
especially on the cattle which comes from the positive areas.
Keywords: sero prevalence; bovine cysticercosis; Bali Cattle; West Nusa Tenggar
161
Sadra Dharmawan, et al Jurnal Veteriner
162
Jurnal Veteriner Juni 2018 Vol. 19 No. 2 : 161-168
Tabel 1. Hasil pemeriksaan serologi ELISA terhadap antibodi Cyticercus bovis pada serum sapi
bali asal Nusa Tenggara Barat
Positif Negatif
Asal Jumlah Sampel
Jumlah % Jumlah %
163
Sadra Dharmawan, et al Jurnal Veteriner
Selanjutnya, dari hasil ini dapat dibuat peta Di Indonesia tidak banyak laporan tentang
penyebaran bovine cysticercosis pada sapi bali kejadian bovine cysticercosis. Bila ada, pada
di wilayah Nusa Tenggara Barat seperti umumnya data yang dilaporkan hanya berdasar
disajikan pada Gambar 2. pada pemeriksaan kesehatan daging yang
dilakukan menurut kondisi setempat dan
kurang akurat, sehingga jumlah kasus yang
tercatat tidak lengkap dan umumnya kurang
dari keadaan sebenarnya. Menurut catatan
Widarso et al. (2001) kejadian bovine
cysticercosis pada ternak di Indonesia terekam
pada tahun 1981 ke bawah. Berdasarkan laporan
dari Dinas Peternakan Denpasar, Bali, antara
tahun 1977-1981 prevalensi bovine cysticercosis
pada sapi bali sebesar 0,30-2,39% (Widarso et
al., 2001). Le Coultre (1928) yang pertama kali
melaporkan kejadian sistiserkosis di Indonesia,
melaporkan prevalensi bovine cysticercosis pada
sapi di Bali mencapai 20-30%, bahkan di
Buleleng pada pertengahan 1927 kejadian ini
mencapai 32,23%.
Sejauh pengetahuan kami, penelitian
serologis yang kami lakukan ini merupakan
yang pertama untuk mengetahui prevalensi
bovine cysticercosis pada sapi bali di Nusa
Tenggara Barat. Prevalensi yang diperoleh
sebesar 4,35%, tidak jauh berbeda dengan
laporan Tamirat et al. (2018) yang melakukan
studi tentang prevalensi, dampak ekonomi dan
Gambar 1. Nilai absorbens respons antibodi kesehatan masyarakat akibat bovine cysti-
Cysticercus bovis dari sampel cercosis di Bahir Dar, Ethiopia, yang melaporkan
serum sapi bali asal Nusa Tenggara prevalensinya sebesar 4,2%. Menurut Bayou
Barat. dan Taddesse (2018) kejadian bovine cysticer-
Gambar 2. Peta penyebaran bovine cysticercosis pada sapi bali di Nusa Tenggara Barat, tanda
bintang menunjukkan serum positif C. bovis.
164
Jurnal Veteriner Juni 2018 Vol. 19 No. 2 : 161-168
cosis umum ditemukan di wilayah dengan manusia. Sapi akan terinfeksi C. bovis melalui
sanitasi lingkungan yang buruk, praktik peter- konsumsi pakan atau air yang terkontaminasi
nakan yang primitif, dan absennya kontrol serta telur T. saginata yang menginfeksi manusia
ketiadaan pemeriksaan rutin terhadap (Gonzalez et al., 2015). Oleh karena itu,
kesehatan daging. umumnya kejadian bovine cysticercosis sejalan
Prevalensi bovine cysticercosis pada pene- dengan kejadian taeniosis pada manusia di
litian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan wilayah tersebut.
laporan penelitian Bayou dan Taddesse (2018) Wandra et al. (2013; 2015) melaporkan
yang mencatat prevalensi sistiserkosis pada sapi kejadian taeniosis karena infeksi T. saginata di
yang dipotong di Distrik Dale Wabera, Ethiopia Indonesia pada kurun waktu 2002-2014
Barat sebesar 6,5%. Hasil ini juga lebih rendah sebanyak 129 kasus yang semuanya dilaporkan
bila dibandingkan dengan hasil survei bovine berasal dari Bali. Sementara, Swastika et al.
cysticercosis di Ethiopia Selatan sebesar 8,6% (2017) melaporkan kasus taeniasis karena
(Hirpha et al., 2016) dan di Mesir sebesar 6,09% infeksi T. saginata di Kabupaten Gianyar Bali
(Elkhtam et al., 2016). Menurut Alemneh et al. pada kurun waktu 2011-2016 sebanyak 39
(2017) bovine cysticercosis menyebar luas di kasus. Sampai saat ini belum ada yang
Ethiopia dengan jumlah angka kejadian yang melaporkan kejadian kasus taeniasis di Nusa
dilaporkan berbeda-beda oleh beberapa peneliti, Tenggara Barat. Belum ada laporan, tidak
sesuai dengan masing-masing wilayah tempat berarti di tempat itu tidak ada kejadian infeksi
studi dilakukan. Dari laporan Alemneh et al. pada orang, karena dari hasil penelitian ini,
(2017) tersebut, diketahui prevalensi bovine secara serologis Nusa Tenggara Barat positif
cysticercosis sebesar 9,7% di Gondar; 21% di kasus bovine cysticercosis. Selain itu, menurut
Nekemte; 13,85% di Debre Zeit; dan 19,5% di Tsuboi et al. (2018) globalisasi telah membikin
Bahir Dar. epidemiologi infeksi cacing pita ini semakin
Angka prevalensi pada penelitian ini secara kompleks. Transportasi bahan makanan dan
umum lebih tinggi bila dibandingkan dengan lalu lintas perjalanan dari dan keluar daerah
laporan kejadian bovine cysticercosis di Mexico endemis yang semakin mudah, telah
dan Eropa. Gonzalez et al. (2015) melaporkan menyebabkan meningkatnya penyebaran
prevalensi bovine cysticercosis di Mexico sebesar penyakit ini.
0,21%. Sementara, menurut Laranjo-Gonzales Dengan diketahui bahwa sapi asal Nusa
et al. (2017) bovine cysticercosis ditemukan Tenggara Barat tidak bebas dari bovine
hampir di seluruh Eropa, kecuali di Islandia cysticercosis, kewaspadaan terhadap penularan
dengan prevalensi 0,0002-7,82%. Eichenberger zoonosis ini ke manusia perlu mendapat
et al. (2011) mencatat prevalensi bovine perhatian. Pemerintah telah menetapkan Nusa
cysticercosis di negara-negara Eropa, seperti Tenggara Barat sebagai sumber sapi potong dan
Spanyol berkisar antara 0,0007%-0,1%; di Belgia sumber bibit sapi betina. Nur et al. (2015)
0,03-0,2%; di Italia 0,02%-2,4%; di Denmark melaporkan bahwa permintaan sapi potong dan
0,1%-0,7%; dan di Jerman 0,4%-0,8%. Bovine sapi bibit tersebut dari luar daerah cenderung
cysticercosis juga ditemukan di Swiss, dengan meningkat. Dari data yang tersedia, diketahui
rataan prevalensi sebesar 0,58% (Flutsch et al., bahwa permintaan sapi di Nusa Tenggara Barat
2008). Walaupun prevalensinya rendah, pada 2010-2014, berasal dari berbagai provinsi,
kejadian bovine cysticercosis hingga saat ini seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
masih tetap dilaporkan di Eropa (Laranjo- Kalimantan Barat, Gorontalo, Riau, Papua
Gonzalez et al., 2016). Barat, Sulawesi Tengah untuk sapi bibit;
Adanya perbedaan data yang dilaporkan sementara untuk sapi potong permintaan datang
oleh peneliti, dapat disebabkan oleh beberapa dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten,
faktor penting seperti sistem pemeliharaan Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan (Nur
ternak, higiene sanitasi lingkungan dan et al., 2015). Mengingat luasnya penyebaran
kebiasaan makan masyarakat. Selain itu, cara sapi-sapi asal Nusa Tenggara Barat, sebagai
diagnosis yang hanya berdasarkan pemeriksaan langkah pencegahan perlu pemeriksaan
daging, dapat memberi nilai estimasi yang lebih serologis untuk deteksi bovine cysticercosis pada
rendah, terutama bila infeksi yang terjadi sapi sebelum dikirim ke luar pulau.
ringan (Bayou dan Taddesse, 2018). Prevalensi Dari hasil penelitian ini dapat dibuat peta
bovine cysticercosis pada sapi umumnya distribusi bovine cysticercosis di Nusa Tenggara
berbanding lurus dengan kejadian taeniosis pada Barat (Gambar 2). Selanjutnya dari peta tersebut
165
Sadra Dharmawan, et al Jurnal Veteriner
166
Jurnal Veteriner Juni 2018 Vol. 19 No. 2 : 161-168
167
Sadra Dharmawan, et al Jurnal Veteriner
168
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.)
Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan,
Jawa Timur
ABSTRACT
Cows are important animals for Indonesian farmers who
Tanggal Submit: have high economic value. Cow breeding business has many
16 April 2020 benefits for human life, especially meat, milk, bones, skin, offal
and feces (cow dung). Cow feces can be used as an organic
Tanggal Review: fertilizer manufacture by cattle farmers. But it needs to be
4 Mei 2020 considered in making organic fertilizer derived from cows
because it contains many diseases and parasites. If the cow's
Tanggal Publish feces are not treated properly, it will cause environmental
Online:
30 Mei 2020
pollution to the local residents. Cow infected with parasites can
experience a decrease in body weight, decreased endurance,
impaired growth and death. To find out intestinal helminth
parasitic infections, one of them is by identifying worms in cow
feces. The majority of the population of Tikung Subdistrict,
Lamongan Regency, earn their living as farmers and ranchers.
The purpose of this study was to identify intestinal Nematode
worms in cow feces in Tikung Subdistrict, Lamongan Regency.
The method used in this study was Nacl Saturated to determine
the morphology and forms of parasites. The results showed that
cattle feces samples taken from the Tikung Subdistrict of
Lamongan District contained the Nematoda parasite, which was
found the presence of Hookworm eggs in 3 samples with a
percentage of 6% and found 1 positive sample (+) containing
Taenia saginata eggs, with a percentage of 2% of the total 50
samples in Sumber Jaya Livestock Farm in cattle on Tikung
Subdistrict, Lamongan Regency is still relatively low.
39
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
40
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
41
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
42
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
43
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
Tabel 1 : Hasil pemeriksaan kandungan cacing kelas Nematoda Usus dan Cestoda pada feses
sapi (Bos sp.) di peternakan Sumber Jaya Ternak Kecamatan Tikung, Kabupaten
Lamongan
44
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
32 (-) - (-)
33 (-) - (-)
34 (-) - (-)
35 (-) - (-)
36 (-) - (-)
37 (-) - (-)
38 (-) - (-)
39 (-) - (-)
40 (-) - (-)
41 (-) - (-)
42 (-) - (-)
43 (-) - (-)
44 (-) - (-)
45 (-) - (-)
46 (-) - (-)
47 (-) - (-)
48 (-) - (-)
49 (-) - (-)
50 (-) - (-)
JUMLAH 3 47 1 49
Keterangan :
a. Tanda positif (+) : Menunjukkan bahwa feses sapi (Bos sp.) terinfeksi cacing Nematoda
Usus.
b. Tanda Negatif (-) : Menunjukan bahwa feses sapi (Bos sp.) tidak terinfeksi cacing
Nematoda Usus.
Gambar 1. Hasil (+) Telur Nematoda Usus (Hookworm) Sampel No. 1, 3, dan 21
45
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
46
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
Dari data feses sapi di mulai dari pedet (anak sapi) hingga
peternakan Sumber Jaya Ternak dewasa yang diulang 3-4 bulan sekali
Kecamatan Tikung, Kabupaten untuk membasmi siklus hidup cacing
Lamongan diperoleh 94% sapi tidak tersebut (Chairunnisa, 2018).
terinfeksi cacing Nematoda Usus dan Untuk meminimalisir kejadian
98% tidak terinfeksi cacing Cestoda cacingan pada manusia saat akan
dikarenakan adanya tingkat kesadaran mengkonsumsi daging, alangkah
para peternak dalam memelihara sapi baiknya jika sebelum dikonsumsi daging
tersebut baik dari pola memberi makan sapi terlebih dulu dimasak diatas suhu
dan kebersihan sapi. Sedangkan dari 6% 56°C, memasak daging sampai matang,
sapi positif terinfeksi cacing Nematoda menjaga kebersihan makanan dan
Usus dan 2% sapi positif terinfeksi mengawasi daging sapi yang akan dijual
cacing Cestoda, ini disebabkan karena (Natadisastra, 2009). Terutama pada
adanya berbagai macam faktor yaitu para peternak sebaiknya menggunakan
kurangnya informasi atau ilmu Alat Pelindung Diri (APD) lengkap saat
pengetahuan mengenai infeksi atau melakukan pekerjaan di perkandangan
penyakit pada sapi yang disebabkan sapi, mengingat siklus hidup cacing
parasit, kurangnya pengecekan nematoda usus ini bisa melalui tanah.
kesehatan pada sapi secara rutin, Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk
kurangnya pemberian obat cacing mulai tanaman, sebelum makan hendaklah
dari pedet (anak sapi) hingga dewasa untuk mencuci tangan, memberikan
dan sanitasi lingkungan yang kurang penyuluhan tentang sanitasi lingkungan,
terjaga. Sehingga keadaan seperti itu melakukan usaha aktif dan preventif
sapi beresiko terinfeksi cacing untuk dapat mematahkan siklus hidup
Nematoda Usus yang dapat cacing (Ariwati, 2017).
menyebabkan penyakit cacingan pada
sapi. Untuk menghindari terjadinya SIMPULAN
penyakit yang disebabkan oleh infeksi Berdasarkan dari hasil
Nematoda Usus adalah dengan menjaga penelitian bahwa 50 sampel pada feses
kebersihan pada kandang sapi, sapi di peternakan Sumber Jaya Ternak
memperhatikan kondisi disekitar Kecamatan Tikung, Kabupaten
kandang sapi, mengecek kesehatan sapi Lamongan terdapat 3 sampel
secara rutin, pemberian obat cacing mengandung cacing Nematoda usus
47
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
48
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
Centers for Disease Control and Dewi, U.H., Hidayat, B., & Yuni, E.
Prevention (CDC). 2019. 2019. Estimasi Bobot Sapi
DPDX-laboratory Berdasarkan Registrasi Citra
Identification of Parasites of Digital Dengan Metode
Public Health Concern. Fraktal Dan Klasifikasi K-
https://www.cdc.gov/dpdx/angi narest Neighbor Cattle
ostrongyliasis_can/index.html Weight Estimation Based On
(Diakses pada 20 Juni 2019). Digital Image Registration
With Fractal Method And K-
Centers for Disease Control and narest Neighbor
Prevention (CDC). 2019. Classification. Journal
DPDX-laboratory eProccedings of Engineering.
Identification of Parasites of Bandung. Volume 6 No 1
Public Health Concern. Halaman 697-698.
https://www.cdc.gov/dpdx/ente
robius_vermicularis_can/index FKUI. 2013. Buku Ajar Parasitologi
.html (Diakses pada 8 Kedokteran Edisi Keempat.
Desember 2019). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Centers for Disease Control and
Prevention (CDC). 2019. Hamid et al. 2016. Parasit
DPDX-laboratory Gastrointestinal Pada Sapi Di
Identification of Parasites of Daerah Aliran Sungai Porogo
Public Health Concern. Yogyakarta. Jurnal Ilmu
https://www.cdc.gov/dpdx/asca Peternakan Terapan.
ris_lumbricoides_can/index.ht Yogyakarta. Volume 1 No 2
ml (Diakses pada 19 Juli 2019). Halaman 46-50.
49
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
50
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
51
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist
Vol.3 No.1, Mei2020
p-ISSN: 2597-3681 e-ISSN:2614-2805
52
Arimurti, A. R. R., Vena F. M., dan Fathimatuz Z. 2020. Gambaran Parasit Cacing Nematoda Usus Dan
Cestoda Pada Feses Sapi (Boss sp.) Di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung,
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Surabaya : The Journal of Muhamadiyah Medical Laboratory
Technologist. Vol: 3, No.1 (39-52).
IDENTIFIKASI TELUR CACING PARASIT USUS PADA FESES SAPI DI
DUSUN TANJUNG HARAPAN DESA BOJONG KECAMATAN
SEKAMPUNG UDIK LAMPUNG TIMUR
(Sebagai Alternatif Sumber Belajar Peserta Didik Pada Sub Materi Invertebrata)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Dalam Ilmu Biologi
Oleh
YESI ISTIROKAH
NPM : 1311060179
(Sebagai Alternatif Sumber Belajar Peserta Didik Pada Sub Materi Invertebrata)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Dalam Ilmu Biologi
Oleh
YESI ISTIROKAH
NPM : 1311060179
Sapi adalah hewan terpenting dari jenis-jenis ternak yang dipelihara manusia
sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan manusia
lainnya. Ternak yang terinfeksi parasit dapat mengalami penurunan bobot badan,
pertumbuhan lambat, penurunan daya tahan tubuh dan kematian. untuk
mengetahui infeksi cacing parasit usus, salah satunya dengan cara
mengidentifikasi telur pada feses sapi. Mayoritas penduduk Dusun Tanjung
Harapan bermata pencarian sebagai petani dan peternak tradisional. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi cacing parasit usus pada feses sapi di
Dusun Tanjung Harapan Desa Bojong Kecamatan Sekampung Udik Lampung
Timur. Pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan di Dusun
Tanjung Harapan, Desa Bojong, Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten
Lampung Timur. Pemeriksaan dan identifikasi parasit usus di laboratorium Balai
Veteriner. Sampel feses sapi yang digunakan berjumlah 19 sampel. Pengambilan
sampel lakukan secara acak dan feses diambil sebanyak kurang lebih 5 gram
setiap ekor sapi. Pemeriksaaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan
metode uji apung yaitu uji EPG ( Egg Per Gram) Mc. Master. Hasil pengamatan
identifikasi cacing parasit usus pada sapi di dusun Tanjung Harapan ditemukan
adanya Cacing parasit usus yaitu Bonustomum trigonocephalum, Haemonchus
contortus, Ascaris vitulorum dan Moniezia bendeni.
ii
MOTTO
1
Departemen Agama RI,Mushaf Al –Qur’an Terjemah,(Depok: Al-Huda,2002), h.343
v
PERSEMBAHAN
Seiring doa dan ucapan rasa syukur selalu kuucapka kehadiran Allah
SWT dan dengan rahmat Allah ynag maha pengasih dan maha penyayang, dengan
1. Kedua orang tuaku, yaitu ayahanda dan ibunda tercinta Muhammad Ali
Rosyid dan khotimah beliau adalah cahaya hidupku, terimakasih atas limpahan
Arifah dan Dinda Auliya Rahma, terimakasih atas kasih sayang, persaudaraan
dan dukungan yang selama ini kalian berikan, dan selalu memberikan
vi
RIWAYAT HIDUP
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik dan
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
Lampung.
dari lubuk hati yang paling dalam atas jasa dan masukan-masukan yang telah
diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, maka pada kesempatan ini mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Moh. Mukri, M.Ag, selaku Rektor UIN Raden Intan Lampung.
2. Prof. Dr. H. Chairul Anwar, M.Pd, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Raden Intan Lampung, yang telah memberikan kemudahan dan
3. Dr. Bambang Sri Anggoro, M.Pd, selaku pembimbing I dan sebagai Ketua
Prodi Pendidikan Biologi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan
viii
Lampung yang selalu memberi dukungan, arahan serta kemudahan dalam
Raden Intan Lampung yang telah memberikan ilmu dan wawasan kepada
penulis.
telah memotivasi dan memberikan warna serta pelajaran dalam sejarah hidup
pelajaran dalam sejarah hidup saya selama perjalanan menjadi mahasiswa UIN
Dian Hapsari, Nur Yulalis, Maya Yunilasari, Yuni Widiastuti, Nur Afwa
penggarapan skripsi dan atas segala doa dan motivasi yang telah diberikan
ix
sehingga saya selalu termotivasi untuk segera menuntaskan tanggung jawab
9. Segenap anggota Pramuka UIN Raden Intan Lampung dan pihak yang tidak
penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu baik dari segi moril
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis, namun
skripsi ini.
Semoga kebaikan yang telah diberikan dengan ikhlas dicatat sebagai amal
ibadah di sisi Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat
YESI ISTIROKAH
1311060179
x
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................... 11
C. Batasan Masalah ..................................................................................... 11
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 12
E. Tujuan Penelitian ................................................................................... 12
F. Manfaat Penelitian ................................................................................. 12
xi
1. Gejala Sapi Terinfeksi Cacing Parasit Usus...................................... 26
2. Pencegahan atau Pengobatan ............................................................ 27
E. Kerangka Pikir ........................................................................................ 28
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 50
B. Saran ....................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN -LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Silabus ................................................................................................................ 56
Petunjuk Praktikum ............................................................................................ 59
Surat Balasan Izin Penelitian Balai Veteriner Lampung .................................... 61
Surat Hasil Uji Laboratorium Balai Veteriner Lampung .................................. 62
Dokumentasi ....................................................................................................... 64
xv
BAB I
PENDAHULUAN
beriklim tropis dan memiliki tingkat flora dan fauna yang beragam. Tanah
mayoritas bermata pencarian petani tentunya tidak jarang dari mereka yang
menjadi peternak tradisional. Kerbau, sapi dan kambing adalah binatang yang
paling banyak dipelihara. Sapi adalah hewan terpenting dari jenis-jenis ternak
yang dipelihara manusia sebagai sumber penghasil daging, susu, tenaga kerja
Sapi adalah salah satu hewan ternak yang termasuk jenis mamalia.
lambung atau biasa disebut hewan ruminansia. Air susu yang bernilai gizi
tinggi menjadi keunggulan ternak ini, selain itu daging sapi juga banyak
(penjinakan) dari jenis primitif. Bakalan1, pakan, lingkungan dan iklim yang
ekonomis lebih besar dari pada ternak lain. Petani banyak yang membeli sapi
pada saat musim panen tiba kemudian menjualnya pada saat musim tanam.
1
Bakalan adalah anakan sapi
2
Masyarakat yang bermata pencaharian bertani tidak lepas dari usaha ternak
memiliki mutu dan harga daging atau kulit yang lebih baik bila dibanding
kerbau dan kuda. Perternak sapi tradisional masih banyak dipedesaan karena
tidak hanya menghasilkan daging atau susu, tetapi juga menghasilkan pupuk
kandang dan sebagai potensi tenaga kerja. Petani banyak memanfaatkan sapi
ternak sapi sebagai usaha keluarga dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
Ongole (PO), Sumba Ongole (SO), Madura dan Aceh. Peternak tradisional
2
Y. bambang sugeng. Sapi potong. Jakarta : Penebar swadaya. 2006. h. 5
3
biaya, meskipun hasil yang didapat kurang maksimal. Anakan atau bibit yang
sendiri.
kebun atau lingkungan tempat tinggal mereka. Petani banyak memilih untuk
perawatan ternak itu sendiri. Sapi memiliki nilai jual yang tinggi dan semakin
meningkatkan kualitas daging dan susu. Hewan juga memiliki syarat unsur
nutrisi yang sama dengan manusia. Makanan yang baik yaitu mengandung
pemeliharaannya tidak dilakukan dengan baik. Sapi memiliki harga jual lebih
pemeliharaan dan masa produksi yang relatif lama. Penyakit dan kematian
telah lama diusahakan oleh para petani, apalagi pada akhir-akhir ini
3
Muhammad Rofiq Nezar. Jenis cacing pada feses sapi di tpa jati barang dan ktt
Sidomulyo Desa Nongko Sawit, (Skripsi Universitas Negeri, Semarang, 2014), h. 1.
4
Darmono. Tata laksana usaha sapi kereman. Yogyakarta: kanisius. 1993. h. 30
4
harus dipenuhi agar mencapai gizi lengkap dan seimbang. Daging hasil ternak
sapi dan kerbau yang diproduksi selama 20 tahun terakhir rata-rata 6,70%,
pertumbuhan produksi ini masih jauh dari angka harapan yaitu 7,10%.6
bersentuhan dengan hewan yang sakit, serta udara dan air minum. Virus,
5
Putri Handayania, Purnama Edy Santosa, Siswanto, “Tingkat Infestasi Cacing Saluran
Pencernaan Pada Sapi Bali Di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi Lampung”.
Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, Vol. 3 No. 3 (Agustus 2015), h. 127-133.
6
Erwin Nofyan, Mustaka Kamal, Indah Rosdiana, “Identitas Jenis Telur Cacing Parasit
Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) Di Rumah Potong Hewan Palembang”.
jurnal Penelitian Sains, (Juni 2010), h. 2.
7
Op.Cit. Darmono. h. 59
5
penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing serta beberapa yang lainnya.
sangat besar berupa daya produktivitas ternak.8 Parasit bertahan hidup dalam
kematian. Sapi yang terinfeksi parasit terlihat lebih kurus. Hewan kurus
terlihat penonjolan tulang rusuk, tulang punggung, tulang pinggul atau tulang
lainnya dan legok lapar terlihat jelas, karena mengalami penurunan berat
ternak mereka. Rerumputan didapat dari sekitar ladang, pinggiran jalan atau
8
Iba Ambarisa, Irnawati Marsaulina, Wirsal Hasan, “Analisis cacing hati (fasciola
hepatica) pada hati dan feses sapi yang diambil dari rumah potong hewan di Mabar Medan”.
Jurnal Penelitian Sains, ( April 2013), h. 2.
9
Darmin. S, P Yuliza. F, Sirupang. M, “Prevalensi Paramphistomiasis Pada Sapi Bali di
Kecamatan Libureng, Kabupaten Bone”. Jurnal Penelitian Sains, ( Makasar 2016), h. 149.
6
Telur cacing dapat ditemukan pada tempat lembab yang dibawa oleh
siput dan lalat. Lalat hinggap dengan membawa telur cacing, sedangkan siput
menunjukkan bahwa 90% hewan ternak sapi dan kerbau mengidap penyakit
jenis tertentu.12
Cacing parasit usus kelas nematoda adalah jenis yang paling banyak
menginfeksi. Cacing usus adalah cacing parasit yang dapat menginfeksi dan
hidup di dalam usus halus atau saluran pencernaan. Parasit ini dapat
perantara vektor, larva menembus kulit dan memakan telur infektif. Cacingan
10
Op.Cit. Muhammad Rofiq Nezar. h. 2
11
Novese Tantri, Siti Khotimah dan Tri Rima Setyawati, “Prevalensi dan Intensitas Telur
Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak
Kalimantan Barat”. Jurnal Protobiont, Vol 2 (2): (Kalimantan Barat 2013), h. 102 – 106.
12
Op.Cit. Erwin Nofyan, Mustaka Kamal, dan Indah Rosdiana. h. 1
7
dan angka kematian sampai 17 %. Ternak muda beresiko lebih besar untuk
darah.13
nematoda yang paling sering ditemui yaitu Cacing Gelang (Ascaris sp.),
bereproduksi dengan cara bertelur. Telur atau larva keluar dari tubuh hewan
terhindar dari infeksi cacing parasit. Telur cacing dapat diketahui salah
satunya dengan cara mengidentifikasi telur pada feses, hal ini dilakukan untuk
deteksi dini adanya infeksi parasit terutama parasit pencernaan dengan cara
13
Sri Rahayu, “ Prevalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan Pada Sapi Bali (Bos
Sondaicus) di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang”. (Skripsi Program Studi Kedokteran
Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, 2015), h.1.
14
Hindun Larasati, “Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi Perah Pada Peternakan
Rakyat di Provinsi Lampung”. (Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2016), h. 9.
15
Amanda Amalia Putri, “Prevalensi Nematoda Usus Pada Kambing (Capra Sp.) Dengan
Pemberian Pakan Hijauan dan Konsentrat di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling
Bandar Lampung”. (Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung Bandar Lampung 2016), h. 12.
8
Tanjung Harapan memiliki 3 bayan yaitu bayan 1, 2 dan bayan 3 terdiri dari 8
sawah dan petani ternak, karena masih banyaknya lahan pertanian di dusun
79 ekor, dari 79 ekor ada 19 sapi terlihat kurus. Untuk bayan 1 terdiri dari 128
KK dengan 10 KK yang memiliki sapi dengan jumlah total sapi 25 ekor dan 6
sapi terlihat kurus. Bayan 2 terdiri dari 210 KK dengan jumlah KK yang
16
Ibid., h. 4 Muhammad Rofiq
9
Sapi memiliki harga jual yang tinggi dan harga sapi di pasaranpun
keuntungan yang besar dengan biaya yang sedikit, tetapi juga memiliki resiko
kerugian yang besar pula bila ternak terserang penyakit sampai menyebabkan
memenuhi nutrisi sapi dari sekitar kebun, sawah, pinggiran jalan dan ada pula
baik, salah satu usaha yang ditempuh untuk meningkatkan jumlah populasi
sumber makanan utama bagi ternak sapi, tetapi pada kenyataanya tidak
memberikan obat cacing untuk ternak mereka, bahkan masih banyak yang
tidak pernah memberikan obat cacing sama sekali. Kondisi dan tata kandang
masih tanah, kotoran hanya dibuang dinggir kandang dan tidak jauh dari
pakan, hal tersebut tentunya dapat menjadi tempat berkembang yang sangat
Cacing parasit usus salah satu parasit yang sering menginfeksi sapi.
Untuk mengetahui apakah sapi-sapi tersebut terbebas dari cacing parasit usus,
melakukan identifikasi cacing parasit usus pada feses sapi. Banyaknya ternak
parasit usus, maka penulis memilih Dusun Tanjung Harapan sebagai lokasi
penelitian. Data yang didapat dari penelitian tersebut nantinya akan dapat
Parasit Usus Pada Feses Sapi di Dusun Tanjung Harapan Desa Bojong
B. Identifikasi Masalah
2. Masih kurangnya kesadaran tentang bahaya cacing parasit usus pada sapi
materi invertebrata
C. Batasan Masalah
membatasi permasalahan ini pada Identifikasi Cacing Parasit Usus pada Feses
Lampung Timur.
D. Rumusan Masalah
Parasit Usus Pada Feses Sapi di Dusun Tanjung Harapan Desa Bojong
E. Tujuan Penelitian
penelitian ini adalah: untuk mengidentifikasi cacing parasit usus pada feses
Lampung Timur.
F. Manfaat Penelitian
2. Bagi peserta didik hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber ilmu
3. Bagi pendidik penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan ajar materi
invertebrata.
4. Bagi peneliti dapat memberikan informasi akan bahaya cacing parasit usus
pada ternak.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Nematoda
bilateral, hidup didalam tanah, tanaman, air, hewan dan manusia.1 Nematoda
gigi, papilla, spekula dan bursa. Dinding badan terdiri dari, di bagian luar
terdapat hialin, kutikula nonseluler, epitel subkutikula, lapisan sel sel otot.
Mulut dikelilingi oleh bibir, papilla dari pada beberapa spesies dilengkapi
dari suatu lingkaran atau komisura dari ganglia yang berhubungan yang
vesikula seminalis dan duktus ejakulatoris. Alat kopulasinya terdiri dari satu
mempunyai bursa kopulatrik yaitu alat untuk memegang betina saat kopulasi,
1
Liliana sagita, Bambang Siswanto, Kurniatun Hariah. “Studi Keragaman Dan Kerapatan
Nematoda pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Sub Das Konto” Jurnal Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Vol 1 No 1 (2014), h. 51.
2
Sri Rahayu,“Prevalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan pada Sapi Bali (Bos
Sondaicus) Di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.” ( Skripsi Universitas Hasanuddin
Makassar, Makasar, 2015), h. 7.
14
Gambar 1. Nematoda
Dapat diakses https://www.google.com pada 11 Januari 2018
kepala, ekor, dinding, rongga badan dan alat-alat lain yang sedikit lebih
Nematoda memiliki siklus hidup langsung tanpa inang antara. Cacing ini pada
dan yang berkembang biak secara partenogenesis. Seekor cacing betina dapat
diikuti dengan pergantian kulit. Parasit ini memiliki bentuk infektif beragam
ada yang masuk secara aktif ada pula yang tertelan atau masuk melalui
gigitan vektor.3
3
Inge Susanto dkk., Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat (Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2008), h. 6.
15
1. Nematoda Usus
jantan. Tiap larva spesies nematoda usus berada didalam sirkulasi darah
ikat. Mikrofilaria (prelarva) ada yang bersarung dan ada yang tidak
cacing jantan dan betina dengan ukuran bervariasi. Nematoda jaringan dan
B. Nematoda Usus
lebih 50 spesies. Dari sekian banyak jenis yang ditemukan ada beberapa yang
4
Muslim, Parasitologi Untuk Keperawatan (Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2009), h. 80-93
5
Sri Rahayu, Op.Cit. h. 11.
16
sekitar 5 mm. Sedangkan yang betina lebih panjang, yaitu berukuran 22-30
berdinding cukup tebal, dengan ukuran telur sekitar 75-95 x 60-75 µm.6
panjang 12˗16 mm dan cacing betina berukuran panjang 14˗8 mm. Larva
membentuk bungkul di usus halus dan usus besar, tetapi bentuk dewasa
Disekitar lubang mulut cacing ini tidak terdapat korona radiata dan
juga kapsula bukalis serta gigi tidak ada. Usus yang membujur tampak
berwarna merah, pada cacing betina usus ini dililit oleh ovarium berwarna
putih sehingga di dalam tubuh tampak warna garis merah putih. Cacing
6
Pudjiatmoko, Manual Penyakit Hewan Mamalia ( Jakarta: Kementrian Pertanian
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. Derektorat Kesehatan Hewan, 2012). h. 357
7
Hindun Larasati, “Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi Perah pada Peternakan
Rakyat di Provinsi Lampung” ( Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Lampung, Bandar
Lampung, 2016), h.13.
8
Sri Rahayu Op.Cit. h. 9.
17
4. Cacing Rambut
pada cacing dewasa jantan dan cacing betina 5-9 mm. Karakteristik
telur lonjong, blastomer tidak jelas, cangkang tipis, dengan ukuran 71-
dalam usus kecil berbagai ruminansia, terutama sapi. Cacing ini juga
9
Muhsoni Fadli, Ida Bagus Made Oka, Nyoman Adi Suratma. “Prevalensi Nematoda
Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan Mengwi
Badung”Jurnal ISSN : 2301-7848. Indonesia Medicus Veterinus, Vol. 3 (2014), h. 416.
10
Sri Rahayu, Loc.Cit .h. 10.
11
I Putu Agus Kertawirawan, “Identifikasi Kasus Penyakit Gastrointestinal Sapi Bali
dengan Pola Budidaya Tradisional pada Agroekosistem Lahan Kering Desa Musi Kecamatan
Gerokgak Kabupaten Buleleng” Jurnal Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian, Vol.12 No. 36
(Agustus 2010), h.76.
12
Muhsoni Fadli, Dkk, Op.Cit . h. 415.
13
Hindun Larasati, Op.Cit. h. 20.
14
Muhsoni Fadli, Dkk , Ibid . h. 415.
18
Larva dari cacing ini sangat banyak ditemukan pada daun rumput di
kelamin dan kondisi hewan atau imunitas yang merupakan faktor intrinsik
cacing.18
makan, serta tingginya kadar nitrogen didalam tinja yang dibuang karena
15
Amanda Amalia Putri, “Prevalensi Nematoda Usus pada Kambing (Capra Sp.) dengan
Pemberian Pakan Hijauan dan Konsentrat di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling
Bandar Lampung”( Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung, Lampung, 2016), h.18.
16
I Putu Agus Kertawirawan, Op.Cit. h. 78.
17
Putri Handayania, Purnama Edy Santosa dan Siswanto, “Tingkat Infestasi Cacing
Saluran Pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung”. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu ,Vol. 3 ( Agustus 2015). H. 127.
18
Virgi Alcitita Raka Jhoni, Suherni Susilo Wati, Setiawan Koesdarto, “Pengaruh
Tatalaksana Kandang Terhadap Infeksi Helminthiasis Saluran Pencernaan pada Pedet Peranakan
Simental dan Limousin Di Kecamatan Yosowilangun Lumajang” jurnal Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga, Vol.3, No.2 (Juni 2015). h. 114-115.
19
masa pertumbuhan.19 Pakan yang kurang baik menjadi salah satu pemicu
parasit tersebut berbeda-beda baik dari habitat, daur hidup, dan hospes
parasit.20
karena memilki siklus hidup langsung. Telur yang diidentifikasi dari feses
sapi dan kerbau berasal dari cacing parasit usus. Yang ditemukan berasal dari
2 kelompok yaitu kelas Nematoda dan Trematoda. Telur dari kelas Nematoda
lebih banyak ditemukan daripada kelas Trematoda di dalam feses sapi dan
kerbau.21
bulu kusam, tidak nafsu makan, diare, serta kematian. Prevalensinya pun
masih tinggi sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan di Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) Kota Pontianak, dari 80 sampel feses sapi potong
19
Erwin Nofyan, Mustaka Kamal, Indah Rosdiana, “Identitas Jenis Telur Cacing Parasit
Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) Di Rumah Potong Hewan Palembang”.
jurnal Penelitian Sains, (Juni 2010, h. 43
20
Biologi D semester V, Parasitologi jilid 1 (Lampung : IAIN Raden Intan Lampung.
2014), h. 445.
21
Erwin Nofyan, Mustaka Kamal, dan Indah Rosdiana, Op.Cit., h. 45
22
Amanda Amalia Putri, Op.Cit., h.11
20
C. Sapi
1. Ketika sapi mengunyah dan menelan rumput untuk pertama kalinya, bolus
lewat ke abomasum untuk dicerna oleh enzim-enzim milik sapi itu sendiri
besar yaitu :
1. Bos indicus
23
Campbell, Reece, Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3.(Jakarta: Erlangga 2010), h. 48.
22
Gambar 3. Sapi PO
Dapat diakses https://www.google.com pada 9 Januari 2018
2. Bos taurus
sapi potong dan perah Eropa. Golongan ini menyebar ke berbagai penjuru
Indonesia. sapi yang kini ada merupakan keturunan banteng (Bos bibos),
atau biasa kita kenal sebagai sapi bali, sapi madura, sapi jawa, sapi
termasuk sapi. selain sebagai sumber energi, pakan diperlukan untuk bertahan
hidup, menjaga kesehatan, dan tumbuh. Makanan yang disajikan untuk ternak
24
Y.Bambang Sugeng, Sapi Potong. (Jakarta: Penebar swadaya, 2006), h. 1-4
23
juga harus bebas dari pencemaran patogen. Pakan baik yaitu yang
sapi yang paling utama. Rumput atau hijauan beragam macam dan mutu.
Nutrisi pada pakan tidak sama ada yang berkadar tinggi, rendah bahkan
kebutuhan zat-zat pakan, bahan pakan ternak sapi, cara memperbaiki mutu
jerami, penyusunan rensum dan daftar susunan zat pakan dari berbagai bahan
26
pakan. Sapi mengalami kedewasaan kelamin pada usia 8-12 bulan.
1. Kelompok sapi anakan yaitu sapi yang berumur kurang dari satu tahun
Penyakit pada ternak sapi ada beberapa yang penting dan ada
25
Darmono,Tata Laksana Usaha Sapi Kereman (Yogyakarta : Kanisius, 1993). h. 30
26
y.Bambang Sugeng. Op.Cit. h. 87-89
27
Y.Bambang Sugeng, Ibit. h. 146-160.
24
terinfeksi oleh agen penyakit seperti virus, bakteri dan parasit atau keracunan
hidup), yang hidup dipermukaan atau didalam tubuh organisme lain untuk
dirugikan. Kata parasitologi berasal dari dua kata yaitu parasitos yang berari
parasitologi yaitu :
b. Metazoa yaitu hewan bersel banyak yang dibagi lagi dalam helmintes
a. Bakteri
b. Fungi (jamur)
28
Rosdiana Safar, Parasitologi Kedokteran (Bandung: Yrama Widya, 2010), h. 2.
25
keuntungan.
c. Simbiosis yaitu hubungan dua jenis jasad dan tidak dapat hidup
terpisah.
kemudian memakannya.
parasit tanpa menjadi dewasa dan stadium infektif ini dapat ditularkan
29
Inge susanto dkk., Parasitologi kedokteran edisi keempat, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008), h. 1-2.
30
Rosdiana safar. Op.Cit. 4-5
26
yang menciri, adapun gejala-gejala yang sama antara lain berupa menurunya
dan kurang reaksi terhadap rangsangan dari luar. Beberapa agen penyakit
hewan yang sakit, melalui udara dan air minum. Penyakit yang disebabkan
oleh virus masih sulit diketahui penularanya sedangkan penyakit asal bakteri,
cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati,
maupun pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing
dari berbagai ukuran tinggal didalam perut, dan sebagian sulit diamati
dengan mata karena terlalu kecil. Yang menjadi sasaran utama bagi
cacing- cacing ini ialah pedet dan sapi - sapi muda. Penularan atau
penyebaran cacing ini melalui pakan atau air minum yang telah tercemari
2. Pencegahan/pengobatan
lapangan pengembalaan.
c. Pakan yang digunakan harus cukup dan baik guna untuk menguatkan
tubuh, Sehingga sapi tidak terlalu peka terhadap infeksi cacing. Pada
sapi yang sehat, cacing-cacing yang berada didalam perut akan mati
f. Air minum sapi berasal dari sumber air bersih (sumur timba, sumur
g. Pemberian obat anti cacing setiap 4-6 bulan sekali atau sesuai anjuran.35
34
Y.Bambang Sugeng, Sapi potong. (Jakarta: Penebar swadaya, 2006), h. 177-179.
35
Menejemen Kesehatan Hewan Ternak Sapi. Kegiatan Pencegahan Dan
Penanggulangan Penyakit Hewan Serta Fasilitasi Penerapan Keamanan Produk Pangan Asal
Hewan, Dinas Peternakan Profinsi Jawa Barat.
28
E. Kerangka Pikir
alam, tanah yang subur dan kekayaan flora dan fauna yang beragam, hal
tersebut menjadi salah satu daya tarik negara indonesia. Tanah yang subur
pertanian yang luas tentunya menjadi salah satu alasan mengapa banyak
duanya, yaitu bertani sekaligus beternak atau biasa disebut sebagai peternak
menjadi dua yaitu peternak tradisional dan peternak modern. Petenak modern
masyarakat, selain sebagai binatang ternak, sapi juga dapat digunakan sebagai
alat transportasi untuk ke ladang atau sawah atau biasa disebut sebagai
gerobak. Binatang ternak ini juga memiliki harga jual yang tinggi. Petani
makanan dari sekitar lingkungan, jalan, lahan pertanian dan juga dengan cara
digembala.
29
nafsu makan dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Parasit yang banyak
Telur atau larva cacing dapat ditemukan pada feses, salah satunya dengan
METODE PENELITIAN
ml, spidol permanen, label, mikroskop, saringan mesh 100 mesh, beker glass
500 ml, gelas ukur 100 ml, Mc. Master slide, spatula, pipet tetes, coolbox,
dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu feses sapi,
Harapan. Sampel yang diambil berupa feses. Sapi yang akan digunakan
sebanyak kurang lebih 5 gram setiap ekor sapi, pemilihan sempel berdasarkan
laboratorium.2
Tabel 1
Data sampel sapi
1
Erwin Nofyan, Mustaka Kamal, Indah Rosdiana, “Identifikasi Jenis Telur Cacing
Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp) dan Kerbau (Bubalus sp) di Rumah Potong Hewan
Palembang” Jurnal Penelitian Sains, (Sumatra Selatan, Juni, 2010) . h. 44.
2
Darmin. S, P Yuliza. F, Sirupang. M, “Prevalensi paramphistomiasis pada sapi bali di
kecamatan Libureng, kabupaten Bone”. Jurnal Penelitian Sains, ( Makasar 2016), h.152
32
D. Cara Kerja
toples 50 ml, saringan mesh 100 mesh, beker glass 500 ml, gelas ukur 100
ml, Mc. Master slide, spatula, pipet tetes, sebelumnya dicuci bersih
untuk membunuh kuman yang masih tersisa. peneliti juga harus melakuan
membersihkan tangan dari kuman, menggunakan masker, alas kaki dan jas
lalboratorium.
2. Tahan Pemeriksaan
EPG ( Egg Per Gram) Mc. Master.3 Uji EPG Mc. Master adalah uji
3
Aji Winarso, Fadjar Satrija, dan Yusuf Ridwan “Prevalensi Trichurosis pada Sapi
Potong di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur” Jurnal Kajian Veteriner ISSN
: 2356-4113, Vol. 3 No. 2 (Desember 2015), h. 226.
33
NACL adalah agar telur cacing dapat terlarut dengan baik ke dalam beker
glass. Kemudian beker glass yang berisi filtrat didiamkan sampai 5 menit
yang ada.4
gambar ataupun benda tertulis. Data dikumpul dari jumlah sampel yang
4
Colville.j. 1991. Diagnostic Parasitologi for Veterinery Technicians American
veeterinery Publications, Inc 5782 Thomwood Drive Golera. California. 93117.hal. 19-26.
34
Analisis data adalah suatu cara untuk menarik kesimpulan dari hasil
eksperimen atau percobaan. Data diperoleh dari jumlah sampel yang diamati
kualitatif melalui tabulasi data sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian.5
g. Pembahasan
h. Kesimpulan
5
. Sri Rahayu. Prevalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan Pada Sapi Bali (Bos
Sondaicus) Di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang. Skripsi Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar 2015, h. 18
BAB IV
A. Hasil Penelitian
dengan Toba dan Banjar Agung, sebelah Timur berbatasan dengan Hutan
sendiri terdiri dari 3 bayan yaitu bayan 4,5 dan Bayan 6. Mayoritas
Tanjung Harapan yaitu 79 ekor. Desa Bojong memiliki kondisi alam dan
luas wilayah sawah tadah hujan 400 ha, hutan tanam industri 200 ha dan
1
Ahmad Kausar, Monografi Desa Bojong Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten
Lampung Timur. (Lampung : Desa bojong, 2014), h. 3-12.
36
sapi dengan jumlah total sapi 25 ekor. Bayan 2 terdiri dari 210 KK dengan
pada ternak, tetapi jika sapi mereka menunjukan gejala sakit petani ternak
rebusan temulawak.
feses sapi yang diperoleh dari Dusun Tanjung Harapan, Desa Bojong
bahwa, ditemukan adanya telur cacing parasit usus kelas nematoda dan
Tabel 2
Hasil Pemeriksaan Sampel Feses Sapi Di Dusun Tanjung Harapan
cacing.
Tabel 3
Data Sampel Yang Terdapat Telur Cacing Parasit Usus
Gambar di atas adalah gambar telur cacing usus pada feses sapi
yang diambil dari Dusun Tanjung Harapan yang ditemukan pada saat
B. Pembahasan
feses diambil sebanyak kurang lebih 5 gram setiap ekor sapi. Pemeriksaaan
sampel feses dilakukan dengan menggunakan metode uji apung yaitu uji EPG
( Egg Per Gram) Mc. Master. Peneliti tidak melakukan perhitungan jumlah
telur cacing pergram pada tinja karena peneliti hanya melakukan identifikasi
jenis cacing parasit usus yang terdapat pada feses sapi di Dusun Tanjung
dimana feses diambil pada waktu pagi hari, namun pada kondisi tertentu tidak
yang dapat membasmi berbagai jenis bakteri pembusuk, disamping itu dapat
dan untuk mencegah penetasan telur cacing pada saat sebelum pemeriksaan.
mengetahui ada atau tidaknya parasit usus pada feses sapi Dusun Tanjung
dan morfometri.
pemeriksaan dapat dilihat pada tabel 3. Sampel yang positif terdapat telur
cacing parasit usus tersebut, ada 3 spesies cacing nematoda yang ditemukan
Moniezia bendeni.
2
Dewi Inderiati dkk.” Formalin Dengan Berbagai Pelarut tidak Efektif untuk Mencegah
Perkembangan Telur Ascaris Lumbricoides”. Jurnal Poltekkes Kemenkes jakarta III,(Agustus
2016) h. 11.
41
Ascaris vitulorum ditemukan pada sampel feses S, dan telur cacing Moniezia
ditemukan pada daerah yang dekat dengan perairan karena dalam penularanya
membutuhkan hospes peratara yaitu keong air dan tumbuhan air.3 Dusun
Tanjung Harapan memiliki jarak yang cukup jauh dari laut, sungai, danau dan
sawah tadah hujan. Petani Dusun Tanjung Harapan mayoritas petani kebun.
mereka dari sekitar kebun, yang jauh dari sumber genangan air yang sebagai
tempat tumbuh dan berkembang tanaman air serta keong air. Protozoa jenis
Eimeria sp juga ditemukan pada saat penelitian, data tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.
tumpul, tidak bersegmen dan berwarna putih kecoklatan, warna telur ini lebih
3
Inge susanto dkk. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat (Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas kedokteran universitas indonesia, 2008), h.53
42
antara 79-117 x 47-70 µm.5 Telur cacing pada sampel J dan N memiliki ciri
melihat dan mencocokan hasil gambar telur cacing yang telah ditemukan
dari beberapa gambar cacing nematoda yang memiliki bentuk paling mirip
juga menganalisis dari bentuk serta ukuran telur cacing dari beberapa literatur
dimana telur berbentuk bulat lonjong dengan ukuran 56,83 x 106.57 µm,
tidak dapat terlihat jelas pada saat pengamatan hal tersebut dapat disebabkan
karena telur cacing tersebut tercampur dengan warna feses, sehingga akan
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylina
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Bunostomum
Species : Bunostomum trigonocephalum
4
Subekti,S.S dkk. Buku Ajar Ilmu penyakit Helminth Veteriner. Surabaya : Fakultas
Kedoktereran Hewan Universitas Eir langga. 2011.
5
Muhsoni Fadli, Ida Bagus Made Oka, Nyoman Adi Suratma. “Prevalensi Nematoda
Gastrointestinal pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan Mengwi
Badung”Jurnal ISSN : 2301-7848. Indonesia Medicus Veterinus, Vol. 3 (2014), h. 415.
43
x 36,64 µm. Hal ini sesuai dengan ukuran dan bentuk dari cacing
ukuran dan bentuk juga mengidentifikasi telur cacing yang telah ditemukan
melihat gambar yang paling sesuai dengan telur cacing yang telah ditemukan.
gambar telur dari cacing Haemoncus contortus adalah yang paling sesuai
dengan hasil pengamatan telur cacing yang ditemukan pada sampel P dan R.
oleh karena itu berdasarkan identifikasi dan deskripsi yang sudah dilakukan
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylina
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Haemonchus
cacing tersebut dapat dilihat pada tabel 2, dimana telur yang telah ditemukan
6
Sri Rahayu,“Prevalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan pada Sapi Bali (Bos
Sondaicus) Di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.” ( Skripsi Universitas Hasanuddin
Makassar, Makasar, 2015), h.9.
44
berbentuk bulat oval pendek memiliki dua lapisan dalam dimana telur
73,31 µm. hal ini sesuai dengan literatur yang mendeskrisikan bahwa telur
telur sekitar 75-95 x 60-75 µm.7 Telur berbentuk oval pendek, lapisan terluar
berupa protein dan lapisan dibawah dalamnya dapat dibedakan menjadi kulit
melihat tingkat kemiripan gambar serta dari analisis yang dilakukan, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwasanya telur cacing pada sampel S yaitu telur
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
7
Pudjiatmoko, Manual Penyakit Hewan Mamalia ( Jakarta: kementrian pertanian
direktorat jendral peternakan dan kesehatan hewan. Derektorat kesehatan hewan, 2012). h. 357
8
Miyazaki,Ichiro. (1991) An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo,
International Medical Foun dation of Japan, pp: 296-305.
45
Klasifikasi
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophylidea
Famili : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia
Species : Moniezia bendeni
Parasit cacing saluran pencernaan merupakan salah satu masalah yang
yang terinfeksi cacing usus cenderung memiliki postur badan kurus, demikian
pula sapi-sapi ynag ada di Dusun Tanjung Harapan ini menunjukkan tanda-
tanda kekurusan seperti tulang rusuk dan tulang pada paha terlihat jelas,
tentunya hal tersebut nantinya dapat mempengaruhi harga jual dari sapi itu
ternak namun penyakit ini masih sering diabaikan oleh peternak khususnya
9
Op. Cit. Novese Tantri dkk, h. 105.
10
Purwaningsih dkk. “Infestasi Cacing Saluran Pencernaan Pada Kambing Kacang
Peranakan Ettawa Di Kelurahan Amban Kecamatan Manokwari Barat Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat”. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 5 No.1 (Maret 2017), h. 8.
46
menumpuk di dalam kandang, serta tidak diberikan obat cacing secara rutin
parasit usus, dari ke 7 sampel yang terdeteksi parasit usus, hanya 5 sampel
sapi di Dusun Tanjung Harapan yaitu kelas nematoda. Cacing jenis ini
memang merupakan jenis cacing parasit usus yang paling sering ditemukan.
telur cacing nematoda yang sering ditemukan dan satu spesies dari kelas
cestoda yaitu Moniezia bendeni spesies cestoda ini merupakan spesies yang
sering pula ditemukan pada saat penelitian identifikasi telur cacing pada
feses.
telur cacing yang paling banyak ditemukan jika dibandingkan dengan telur
cacing Ascaris vitulorum dan Moniezia bendeni. Cacing parasit usus tersebut
binatang ternak.
menunjukan perbedaan antara wilayah kejadian yang satu dengan yang lain,
47
hanya saja yang membedakan adalah jenis spesies yang ditemukan. Parasit
usus yang ditemukan pada hasil penelitian ini juga banyak ditemukan pada
Trichostrongylus sp.11
Parasit dapat menular melalui air, kondisi kandang yang kurang baik,
kurang dijaganya kebersihan pakan, dan tidak ada pemberian obat cacing
infeksi kecacingan, selain itu infeksi yang terjadi pada hewan ternak dapat
secara rutin, hal tersebut dikarenakan masih kurang pahamnya peternak akan
bahaya infeksi cacing parasit usus. Peternak sapi di Dusun Tanjung Harapan
akan mengandangkan sapi mereka pada sore hari, meskipun ternak sudah
11
Op.cit, Muhammad Rofiq Nezar dkk, h. 95.
12
Op. Cit. Novese Tantri dkk. h. 105
48
pupuk untuk tanaman di kebun, sedangkan pakan didapat dari sekitar kebun.
Pakan diletakan tidak jauh dari kandang dan limbah kotoran, sehingga
Parasit dari kelas protozoa yaitu Eimeria sp ditemukan juga pada saat
yang menumpuk. Ookista berspora dapat bertahan untuk waktu yang lama
13
Anak Agung Sagung Indraswari dkk. “Protozoa Gastrointestinal: Eimeria Auburnensis
dan Eimeria Bovis Menginfeksi Sapi Bali Betina Di Nusa Penida”. Jurnal ISSN: 2085-2495;
ISSN: 2477-2712 Buletin Veteriner Udayana, Vol 9 No.1(Februari 2017). h. 114-115.
49
disimpan dalam berbagai bentuk dan sangat menunjang dalam proses belajar
Hasil Penelitian tentang identifikasi cacing parasit usus pada feses sapi di
Lampung Timur, dapat dijadikan sebagai sumber belajar siswa, dalam bentuk
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
parasit usus. 5 sampel yang positif terdapat cacing parasit usus yaitu sampel J,
bendeni.
B. Saran
telah diteliti teridentifikasi adanya telur cacing parasit usus, oleh karena itu,
lingkungan.
4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi kepada peserta didik
konsep Nemathelminthes.
DAFTAR PUSTAKA
Anak Agung Sagung Indraswari, Ni Ketut Suwiti, Ida Ayu Pasti Apsari.
“Protozoa Gastrointestinal: Eimeria auburnensisdan Eimeria bovis
Menginfeksi Sapi Bali Betina Di Nusa Penida.” Jurnal ISSN: 2085-2495;
ISSN: 2477-2712 Buletin Veteriner Udayana Vol 9, no. 1 (2017).
Bambang Siswanto, Liliana Sagita dan Kurniatun Hariah. “Studi Keragaman dan
Kerapatan Nematoda pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan di Sub Das
Konto. Malang.” Jurnal Tanah Dan Sumberdaya Lahan Vol 1, no. 1 (2014).
Erwin Nofyan, Indah Rosdiana dan Mustaka Kamal. “Identitas Jenis Telur Cacing
Parasit Usus pada Ternak Sapi (Bos Sp) dan Kerbau (Bubalus Sp) di Rumah
Potong Hewan Palembang. Palembang.” Jurnal Penelitian Sains, 2010.
Iba Ambarisa, Irnawati Marsaulina dan Wirsal Hasan. “Analisis Cacing Hati
(Fasciola Hepatica) Pada Hati dan Feses Sapi yang Diambil dari Rumah
Potong Hewan di Mabar Medan. Meda.” Jurnal Penelitian Sains, 2013.
Ida Bagus Made Oka, Muhsoni Fadli dan Nyoman Adi Suratma. “Prevalensi
Nematoda Gastrointestinal pada Sapi Bali Yang Dipelihara Peternak di Desa
Sobangan Mengwi Badung. Bali.” Jurnal ISSN : 2301-7848. Indonesia
Medicus Veterinus Vol. 3 (2014).
Inderiati, Dewi dkk. “Formalin Dengan Berbagai Pelarut tidak Efektif untuk
Mencegah Perkembangan Telur Ascaris Lumbricoides.” Jurnal Poltekkes
Kemenkes Jakarta III, 2016.
Nezar, Muhammad Rofiq. “Jenis Cacing Pada Feses Sapi di Tpa Jati Barang dan
Ktt Sidomulyo Desa Nongko Sawit.” skripsi, Universitas Negeri semarang,
2014.
Novese Tantri, Siti Khotimah dan Tri Rima Setyawati. “Prevalensi dan Intensitas
Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan
(RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat.” Jurnal Protobiont Vol. 2, no. 2
(2013).
Putri, Amanda Amalia. “Prevalensi Nematoda Usus pada Kambing (Capra Sp.)
dengan Pemberian Pakan Hijauan dan Konsentrat di Kelurahan Sumber
Agung, Kecamatan Kemiling Bandar Lampung.” Universitas Lampung,
2016.
Putri Handayania, Purnama Edy Santosa dan Siswanto. “Tingkat Infestasi Cacing
Saluran Pencernaan pada Sapi Bali Di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten
Pringsewu Provinsi Lampung. Lampung.” Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu Vol. 3, no. 3 (2015).
Rahayu, Sri. “Prevalensi Nematodiasis Saluran Pencernaan pada Sapi Bali (Bos
Sondaicus) di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang.” Skripsi,
Universitas Hasanuddin, 2015.
Ridwan, Aji Winarso Fadjar Satrija dan Yusuf. “Prevalensi Trichurosis Pada Sapi
Potong di Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur.” Jurnal
Kajian Veteriner ISSN: 2356-4113 Vol. 3, no. 2 (2015).
Setiawan Koesdarto, Suherni Susilo Wati dan Virgi Alcitita Raka Jhoni.
“Pengaruh Tatalaksana Kandang Terhadap Infeksi Helminthiasis Saluran
Pencernaan pada pedet Peranakan Simental dan Limousin di
KecamatanangYosowilangun Lumajang.” Jurnal Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga Vol.3, no. 2 (2015).
Subekti, S.S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Helminth Veteriner. Surabaya: Fakultas
Kedoktereran Hewan Universitas Eir langga, 2011.
Disusun Oleh :
Allifah Umami Khoiridiyah M. 2013422001
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah senantiasa memberikan
kesehatan kepada penulis sehingga proposal ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan waktu
yang telah direncanakan, proposal ini berjudul “ Gambaran Taenia saginata Pada Feses Sapi”.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan dan penulisan Karya Tulis
Ilmiah ini. Oleh Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca serta
berbagai pihak sebagai penyempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.
iii
BAB 1 PENDAHULUAN
Salah satu sektor yang berperan penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia adalah sektor peternakan.
Hewan ternak mamalia, seperti: sapi, kambing, kerbau dan kelompok unggas, seperti: ayam dan bebek
memiliki peran penting untuk kebutuhan pangan (Susilo dkk, 2020). Sapi merupakan hewan penting bagi
peternak Indonesia yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Sapi menghasilkan banyak manfaat untuk
kehidupan manusia terutama daging, susu, tulang dan kulit (Arimurti dkk, 2020).
Daging sapi merupakan salah satu kebutuhan pangan yang memiliki gizi yang cukup tinggi untuk
dikonsumsi. Tingkat konsumsi daging di Indonesia masih terbilang rendah sampai dengan beberapa tahun
yang lalu. Adanya peningkatan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan selera masyarakat telah
menyebabkan konsumsi daging secara nasional meningkat sejak tahun 2005. Untuk menghasilkan daging
sapi yang berkualitas, yaitu melalui pengembangan ternak sapi perlu dukungan dari berbagai macam aspek
terutama pada pakan ternak yang cukup, lingkungan sekitar serta iklim yang baik. Hal ini dikarenakan ternak
sapi rentan terinfeksi oleh parasit Taeniasis yaitu Taenia saginata (Dewi, 2020).
Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus Taenia dan infeksi oleh
larvanya disebut Sistiserkosis. Beberapa spesies Taenia bersifat zoonosis dan manusia sebagai induk semang
defenitif, induk semang pelantara atau keduanya. Parasit cacing ini dapat menyerang sapi dikarenakan oleh
beberapa faktor yang diantaranya adalah pakan ternak sapi yang terkontaminasi telur cacing, kondisi kandang
yang tidak layak sehingga kotoran dari sapi tersebut mencemari pakan, kebersihan kandang yang tidak
diperhatikan oleh si peternak, pakan ataupun minum sapi yang dibiarkan oleh peternak tercemar oleh feses
sapi sehingga lebih mudah terserang penyakit (Luhulima dkk, 2017)
Cacing pita (Taenia Saginata) termasuk genus Cestoda usus. Penetasan, perkembangan dan kelangsungan
hidup telur cacing pita (Taenia Saginata) sangat bergantung pada suhu dan kelembaban. Proses yang cepat
akan terjadi jika lingkungan hangat dan melambat selama lingkungan dalam keadaan dingin. Salah satu upaya
untuk mengetahui adanya cacing pita pada ternak adalah dengan cara melakukan uji feses sapi. Berdasarkan
penelitian Purwanta (2006) uji feses dilakukan di rumah potong hewan (RPH) Makassar, menunjukkan angka
infeksi cacing pita yang cukup tinggi. Infeksi terjadi pada 41 ekor sapi (53,95%) dari 76 ekor sampel feses
(Wardani, 2017).
Cacing pita (Taenia saginata) juga ditemukan hampir di seluruh dunia. Parasit zoonosis ini memiliki pola
epidemiologi yang khas, dipengaruhi oleh etnis dan budaya masyarakatnya dengan perkiraan kasus sekitar
50-77 juta di seluruh dunia. Cacing Taenia saginata merupakan cacing pita dengan ukuran yang sangat
panjang, yaitu 4-8 meter, kadang-kadang sampai 15 meter. Dampak ekonomi yang disebabkan oleh penyakit
ini merugikan berbagai pihak. Kerugian terbesar dialami oleh industri daging, karena daging yang terinfeksi
harus dimusnahkan, tidak boleh dikonsumsi. Cacing ini dapat menyebabkan obstruksi usus yang berdampak
fatal pada manusia (Dharmawan dkk, 2018).
1
Penularannya melewati hewan yang terinfeksi oleh Taenia saginata lalu dikonsumsi manusia, dengan
cara mengkonsumsi daging sapi yang terinfeksi Taenia yang tidak dimasak sempurna atau masih mentah
sehingga manusia mudah terinfeksi. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi cysticercus bila makan rumput yang
terkontaminasi oleh feses orang yang menderita taeniasis yang mengandung telur (Wicaksono dkk, 2015).
Kerugian ekonomi secara global akibat infeksi cacing pada ternak diperkirakan mencapai 36 milyar rupiah
per tahun (Evendi, 2016). Sapi yang terinfeksi akan mengalami tidak dapat gemuk, kondisi tubuh melemah,
nafsu makan menurun, perut busung dan dapat menyebabkan kematian, penurunan produksi susu 10-20%
(Rahayu dkk, 2019).
Penderita Taeniasis dapat menderita cysticercosis melalui autoinfeksi, hetero infeksi atau infeksi dengan
cara tertelan telur yang tersebar luas di tanah atau mungkin juga di badan-badan air sekitarnya. Kebiasaan
mencuci tangan dan 3 kuku jari tangan yang kotor merupakan faktor yang mempengaruhi penularan
cysticercosis. Kuku jari tangan yang panjang dan kotor dapat menempelkan telur cacing pita (Candra Dewi,
2020).
Upaya penanggulangan zoonosis tersebut sebenarnya tidak sulit, salah satunya dengan memutus siklus
hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi. Namun, permasalahannya sampai sekarang data
epidemiologi kejadian infeksi Cysticercosis bovis pada sapi di Indonesia jarang atau belum banyak
dilaporkan. Hal ini akibat sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Biasanya diagnosis
sistiserkosis dilakukan setelah hewan disembelih (post mortum) dengan menemukan parasitnya melalui
pemeriksaan kesehatan daging (Hartiningsih, dkk, 2017).
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan. Seperti munculnya
suatu slogan dimana pencegahan lebih baik daripada pengobatan, dari hal tersebut munculnya keinginan
untuk memperbaikinya dengan tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan. Parasit di
Indonesia masih kurang mendapat perhatian karena kurangnya pemahaman, terutama para peternak
tradisional. Penyakit parasitik merupakan salah satu faktor yang dapat menurunkan produktivitas dan
biasanya tidak mengakibatkan kematian, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa daya
produktivitas ternak (Istirokah, 2019).
Penelitian tentang kasus Taenia saginata pada sapi di beberapa daerah di Indonesia pernah dilakukan.
Para peneliti terdahulu melaporkan bahwa kejadian Taenia saginata pada sapi, seperti di Rumah Pemotongan
Hewan Tanah Merah Samarinda kejadian prevalensinya mencapai 62,3 % dari 61 sampel feses yang diperiksa
(Agus evendi, 2016), di Peternakan Sumber Jaya Ternak, Kecamatan Tikung, Kabupaten Lamongan, Jawa
Timur kejadian prevalensinya mencapai 2 % dari 50 sampel feses yang diperiksa (Arimurti dkk, 2020), di
Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat kejadian prevalensinya mencapai 3,75 %
dari 80 sampel feses yang diperiksa (Tantri dkk, 2013).
Berdasarkan latar belakang di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mengenai
“Gambaran Taenia Saginata pada Feses Sapi”. Dalam 4 kesehatan ternak sapi upaya pencegahan infeksi
penyakit akibat cacing harus dilakukan sebelum infeksi. Salah satu cara mengetahui adanya telur cacing
Taenia saginata dengan identifikasi telur cacing Taenia saginata dalam feses. Hal ini dilakukan untuk deteksi
dini adanya infeksi cacing Taenia saginata dengan cara yang cepat, mudah dan efektif
2
1.2 Rumusan Masalah
1.3.1 Tujuan Umum Melakukan systematic review untuk mengkaji telur cacing Taenia Saginata pada
sampel feses sapi.
1.3.2 Tujuan Khusus Untuk menggambarkan persentase infeksi telur cacing Taenia saginata pada
feses sapi.
3
BAB 2 LANDASAN TEORI
Daging sapi merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu
protein yang tinggi, pada daging sapi terdapat kandungan asam amino yang lengkap dan seimbang.
Keunggulan lain, protein daging sapi lebih mudah dicerna daripada protein yang berasal dari nabati. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi ternak yang akan dipotong agar diperoleh kualitas daging yang baik
yaitu ternak harus dalam keadaan yang sehat, bebas dari berbagai penyakit,ternak harus cukup istirahat, tidak
diperlakukan kasar, serta tidak mengalami stres agar kandungan glikogen otot maksimal (Aulia, 2019).
Rerata konsumsi daging per kapita di Indonesia tergolong masih rendah, dengan kisaran dari 0-50
kg/kapita/tahun. Hal ini tidak terlepas dari tingkat daya beli masyarakat yang masih rendah dan produktivitas
ternak yang belum optimal. Di Provinsi Riau, populasi ternak mengalami peningkatan dari jumlah
pemotongan ternak sapi pada tahun 2009 mencapai 41.732 ekor, sedangkan produksi daging mencapai 7.639
ton dengan tingkat konsumsi daging sebesar 4,1 kg / kapita/ tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2010).
Peningkatan populasi ternak ini selaras dengan program pemerintah untuk mencapai swasembada daging
pada tahun 2014. Peningkatan populasi ternak ini tidak diikuti dengan peningkatan sarana dan prasarana
penunjang untuk proses penanganan dan penyembelihan ternak, sehingga untuk menghasilkan karkas dan
daging yang berkualitas masih memerlukan perhatian khusus (Kuntoro dkk, 2013)
Sapi potong merupakan komoditi ternak penghasil daging yang memiliki nilai ekonomi dan arti penting
bagi kehidupan peternak di Indonesia (Ritonga & Putra, 2018). Pusat Data Provinsi Jawa Timur, 2010
menyatakan bahwa potensi tersebut dapat dilihat dari peningkatan konsumsi daging sapi di Jawa Timur dari
tahun 2008-2010 menunjukkan peningkatan yang signifikan, mulai dari tahun 2008 (8,328 kg/kap/thn); tahun
2009 (8,735 kg/kap/thn) dan tahun 2010 (9,171 kg/kap/thn) (RatihPrajnya Paramitha, 2017). Berdasarkan
data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan (2018) populasi sapi potong pada tahun 2018 sebanyak
17.050.006 ekor, dan rata-rata satu ekor sapi mampu menghasilkan feses padat sebanyak 23,59 kg/ekor/hari
(Nurdin dkk, 2020).
Penyakit parasit cacing merupakan penyakit yang secara ekonomis merugikan. Karena sapi yang
terserang penyakit ini akan mengalami hambatan pertambahan berat tubuh, cacing menyerap sebagian zat
makanan yang seharusnya untuk kebutuhan dan pertumbuhan, merusak jaringan-jaringan organ vital ternak
sapi, menyebabkan sapi kurang nafsu mengonsumsi makanan, bahaya penularan pada manusia. Salah satu
contoh penyakit yang disebabkan oleh penyakit cacing adalah Taenia saginata. Sapi tertular oleh Taenia
saginata karena memakan rumput, minum air yang dicemari oleh telur yang berasal dari feses manusia
penderita 7 Taenia Saginata. Pada umumnya hewan yang terinfeksi tidak menunjukan gejala sakit. Apabila
infeksinya berat, dapat mengakibatkan gangguan pada organ yang mengandung parasit. Manusia tertular
karena memakan daging mentah atau setengah matang, dan hewan terinfeksi karena memakan telur cacing
yang keluar bersama tinja manusia maka pencegahannya adalah dengan cara menjaga kebersihan dan
kesehatan lingkungan, makan daging setelah dimasak dan daging yang berasal dari RPH (Rumah Potong
Hewan) resmi yang telah diperiksa dengan baik, manusia yang menderita cacing jenis ini harus segera diobati
(Luhulima dkk, 2017).
4
2.1.3 Morfologi sapi (Bos sp.)
Sapi umumnya memiliki tubuh yang besar dan memiliki punuk. Pada bagian ujung telinga meruncing
dengan kepala panjang dan dahi sempit.Memiliki bahu pendek, halus, dan rata. Untuk bangsa sapi tropis,
pertumbuhannya lambat sehingga pada umur 5 tahun baru bisa didapatkan berat yang maksimal dengan
sekitar 250-650 kg. Sapi merupakan hewan Ruminansia mempunyai lambung ganda, ada sebanyak empat
bagian yaitu rumen, retikulum, omasum, dan obamasum. Rumen dan retikulum memegang peranan penting
dalam saluran pencernaan ruminansia. Proses fermentasi pakan terjadi di dalam rumen dan siklus utama
motilitas rumen selalu dimulai dengan kontraksi retikulum (Dewi, 2020)
Menurut Kindersley (2010) bangsa sapi mempunyai klarifikasi taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla 6
Famili : Bovidae
Genus : Bos
Spesies : Bos Taurus (sapi Eropa)
Bos indicus (sapi India/sapi Bali)
Bos sondaicus (Banteng/sapi Bali)
Bangsa sapi menurut sejarahnya dikenal berasal dari Homocandontidae. Pada perkembangannya dari asal
sapi tersebut dikenal tiga kelompok nenek moyang hasil penjinakan yaitu:
1. Bos taurus, yaitu bangsa sapi yang berasal dari Inggris dan Eropa Selatan.
2. Bos indicus atau sapi Zebu ( berpunuk ), yang keturunannya di Indonesia disebut sapi Peranakan Ongole
( PO ) dan Brahman. Bangsa ternak sapi yang banyak dikemban gkan di Asia dan Afrika 3. Bos sondaicus
atau bos banteng, yaitu bangsa ternak sapi yang terdapat di Indonesia. Sapi yang berkembang sebagai
keturunan banteng.
Dari sekian banyak sapi Zebu jenis yang paling banyak dibudidayakan peternak Indonesia Antara lain
sapi Bali, sapi pngole, dan sapi Madura (Rukmana 2015). Terdapat banyak jenis bangsa sapi local yang
terdapat hasil silangan antara sapi local dengan sapi impor. Sapi pada umumnya memiliki tubuh yang besar
dan memiliki punuk. Pada bagian ujung telinga meruncing dengan kepala panjang dan dahi sempit. Memiliki
bahu pendek, halus, dan rata. untuk bangsa sapi tropis pertumbuhannya lambat sehingga umur 5 tahun bisa
didapatkan berat maksimal sekitar 250-650 kg ( Sudarmono dan segeng 2016). Sapi merupakan hewan 7
ruminansia mempunyai lambung ganda, ada sebanyak empat bagian yaitu rumen, reticulum, omasum, dan
abomasums. Rumen dan reticulum meemgang peranan penting dalam saluran pencernaan ruminansia. Proses
fermentasi pakan terjadi di dalam rumen dan siklus utama motilitas rumen selalu dimulai dengan kontraksi
reticulum ( Envisari dkk,2017).
Ternak sapi merupakan salah satu komoditas peternakan yang cukup potensial untuk dikembangkan.
Usaha peternakan sapi dapat memberikan manfaat yang besar dilihat dari perannya sebagai penyedia protein
hewani, namun manajemen yang kurang baik dalam usaha peternakan sapi terutama dalam penanganan
limbah dapat menyebabkan masalah gangguan ekosistem seperti pencemaran lingkungan (bau, gas beracun
dan hama penyakit) karena sebagian peternak mengabaikan penanganan limbah dari usahanya, dimana ternak
sapi hanya diikat di kebun, sehingga kotorsn berserakan di lahan perkebunan, atau di sepanjang jalan yang
dilalui ternak sapi (Mirah dkk, 2016
5
Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum Platyhelminthes. Cacing dewasa
menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan
cacing dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsoventral, tidak mempunyai alat cerna atau
saluran vascular dan biasanya terbagi dalam segmen-segmen yang disebut proglotid yang bila dewasa berisi
alat reproduksi jantan dan betina(Luhulima dkk, 2017).
Cestoda memiliki sebuah kepala dimana ujung dari anterior akan berubah menjadi sebuah alat
pelekat, disebut skoleks, yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies penting yang dapat
menimbulkan kelainan pada manusia umumnya adalah: Taenia saginata dan Taenia solium,
Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, E-multilocularis. Manusia
merupakan hospes Cestoda dalam bentuk: Cacing dewasa, untuk spesies D.latum, T.saginata, T.solium,
H.nana, H.diminuta, Dipylidium canium. Dan larva, untuk spesie Diphyllobothrium sp, T.solium, H.nana,
E.granulosus, Multiceps.
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoidea
Ordo : Cyclophyllidea
Family : Taenidae
Genus : Taenia
Spesies : Saginata
Taenia Saginata atau disebut juga cacing pita sapi merupakan anggota dari cestoda. Cacing ini sangat
panjang, bahkan bisa mencapai panjang lebih dari 25 meter.Manusia terinfeksi dikarenakan memakan daging
sapi yang mengandung sistiserkus (stadium larva dari parasit). Manusia merupakan satu-satunya host
(definitive host), dan cacing menginfeksi manusia dengan berdiam pada lumen usus sambil mengambil
semua sari makanan pada hospes. Sapi merupakan intermediate host dari cacing ini.Sapi terinfeksi karena
memakan rumput yang terkontaminasi tinja manusia yang mengandung telur. Taenia saginata tidak dapat
menginfeksi dalam bentuk sistiserkus/larva pada jaringan tubuh manusia (Soegijanto, 2016).
Telur cacing berbentuk bulat, berukuran 30-40 x 20-30 mikron, memiliki dinding tebal bergaris radier
dan berisi embrio heksakan. Sedangkan skoleks berukuran 1-2 milimeter dan memiliki 4 batil isap. Pada
cacing dewasa panjang badan dapat mencapai 4-12 meter, jumlah proglotid antara 1000-2000 buah, terdiri
atas proglotid immature-mature dan gravid (Luhulima dkk, 2017). Habitat cacing dewasa ini hidup di bagian
atas jejunum dan mampu bertahan hidup selama 25 tahun (Rahayu dkk, 2019).
6
B. Siklus Hidup
Taenia saginata Jika seseorang manusia yang menderita Taeniasis (Taenia saginata) maka di dalam
ususnya terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio) apabila telur tersebut keluar bersama
feses dan dimakan oleh sapi, kemudian masuk ke dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi
onkoster (telur yang mengandung larva ). Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh
darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot atau daging dan membentuk kista yang di sebut
sistiserkus bovid yaitu larva dari cacing Taenia saginata. Peristiwa ini terjadi setelah 12-15 minggu. Kista
akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut sistersirkus. Manusia akan terinfeksi oleh cacing
Taenia saginata apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding sistersirkus akan
dicerna dilambung sedangkan larva dan skoleks akan menempel pada usus manusia. Kemudian larva tumbuh
menjadi cacing dewasa yang bersegmen disebut proglotid yang menghasilkan telur.
Jika proglotid masuk dan akan keluar bersama feses, kemudian di makan oleh sapi. Selanjutnya, telur
yang berisi embrio di dalam usus sapi akan menetes menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh
berkembang mengikuti siklus hidup di atas. Taenia saginata tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu 5-
12 minggu (Rahayu dkk,2019)
Cacing dewasa Taenia saginata biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti perut
kembung, mual, diare, muntah, sakit ulu hati, pusing atau gugup. Serta gejala tersebut disertai dengan adanya
proglotid cacing yang bergerak-gerak dubur bersamaan tinja. Adapun gejala yang lebih berat dapat terjadi
yaitu apabila proglotid masuk apediks, terjadi ileus yang menyebabkan obtruksi usus oleh strobila cacing.
Berat badan tidak jelas menurun dan eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi (Susanto dkk, 2016)
D. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukan proglotid yang aktif bergerak dalam tinja, atau keluar
spontan : dan ditemukan telur dalam tinja atau usap anus. Proglotid kemudian diidentifikasi dengan
merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus dengan cabang-cabangnya terlihat jelas,
jumlah cabang-cabang dapat dihitung (Susanto dkk, 2016).
E. Pengobatan
Obat yang dapat digunakan untuk mengobati Taenia saginata secara singkat dibagi dalam (Susanto
dkk,2016).
1. Obat lama : kuinakrim, amodiakuin, niklosamid
2. Obat baru : prazikuantel dan albendazol
Prognosis umumnya baik terkadang sulit untuk menemukan skoleksnya dalam tinja dalam
pengobatan (Susanto dkk,2016). Taenia saginata sering ditemukan di Negara yang penduduknya banyak
makan daging sapi. Cara masyarakan memakan daging sapi sebagian dengan matang,setengah matang atau
7
mentah dan cara 11 memelihara ternaik memainkan peranan. Ternak yang dilepas di padang rumput lebih
mudah dihinggapi cacing gelembunng, dari pada ternak yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang.
Pencengahan dapat dilakukan dengan mendinginkan daging sampai -10oC,iradiasi dan memasak daging
hingga matang (Susanto dkk,2016).
8
BAB 3 METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan systematic
review, dimana penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mereview gambaran Taenia
saginata pada feses sapi serta persentase sapi yang terinfeksi Taenia saginata.
Penelitian dilakukan dengan mencari dan menyeleksi data dari hasil uji yang dilakukan di
google scholar. Waktu dari hasil uji yang dipilih ialah 2013-2020.Pencarian artikel dilakukan
dari bulan Januari – April 2021, dimulai dari penelusuran pustaka, penulisan proposal dan
penelitian artikel untuk di review
Objek penelitian dalam studi literatur adalah artikel yang digunakan sebagai referensi dengan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
9
saginata Pada Feses Sapi Taenia saginata Pada
Feses Sapi
10
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Timbangan, tabung reaksi, kain
kasa, kapas, tabung sentrifus, sentrifus, objek gelas, deck gelas, kantong plastik,
mikroskop.
Bahan :
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi, aquades.
Reagensia :
Reagensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah metilen blue,alkohol 70%.
11
3.7 Sampling
1. Feses sapi diambil masing-masing ±3 sendok plastik, segera setelah
sapi defekasi (maksimal 3 jam setelah defekasi).
2. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik, masing-masing sudah
diberi label dan disimpan dalam boks berisi es batu untuk menjaga agar
telur cacing tidak menetas.
3. Sampel dimasukkan dalam freezer hingga dilakukan identifikasi telur
cacing.
12
DAFTAR PUSTAKA
Arimurti, A. R. R., Merinda, V. F., & Zahro, F. (2020). Gambaran parasit cacing
Nematoda usus dan Cestoda pada fases sapi (Boss sp.) di peternakan
sumber jaya ternak, kecamata tikung, kabupaten lamongan, jawa
timur.Muhammadiyah Medical Laboratory Teknologist, 3 no 1 mei.
Aulia, J. (2019). Analisis Rantai Pasok Daging Sapi di Kota Medan. Dewi,
Ik. J. (2020). indetifikasi telur Taenia saginata pada feses sapi. 1–4.
Evendi, A. (2016). Prevalensi Telur Cacing Taenia Saginata Pada Feses Sapi Di
Rumah Pemotongan Hewan.Mahakam Medical Laboratory Technology
Journal, I (1), 21-30.
Gaznur, Z., Nuraini, H., & Priyanto, R. (2017). Evaluasi Penerapan Standar
Sanitasi dan Higien di Rumah Potong Hewan Kategori II (Evaluation Of
Sanitation And Hygiene Standard Implementation At Category Ii
Abattoir). Jurnal Veteriner, 18(1), 107–115.
https://doi.org/10.19087/jveteriner.2017.18.1.107
Istirokah, Y. (2019). Identifikasi Telur Cacing Parasit Usus Pada Feses Sapi Di
Dusun Tanjung Harapan Desa Bojong Kecamatan Sekampung Udik ….
Http://Repository.Radenintan.Ac.Id/5907/1/Skripsi Yesi Istirokah.Pdf
Kuntoro, B., Maheswari, R. R. A., & Nuraini, D. H. (2013). Mutu Fisik dan
Mikrobiologi Daging Sapi Asal Rumah Potong Hewan (RPH) Kota
Pekanbaru. Jurnal Peternakan, 10(1), 1–8.
Luhulima, N., Ariyadi, T., & Santosa, B. (2017). Gambaran Telur Taenia sp pada
Kotoran Sapi di Desa Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
Tahun 2017.Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–
1699.
Novese Tantri, T. R. (2013). Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada
Feses Sapi (Bos Sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak
Kalimantan Barat.Protobiont, II (2), 102-106.
0
Endoparasit Pada Feses Sapi Potong Sebelum Dan Sesudah Proses Pembentukan
Biogas Digester Fixed-Dome.Fakultas Peternakan, Universitas
Padjadjaran, 1–8.
Rahayu, S., Santoso, B., & Ariyadi, T. (2019). Gambaran Telur Taenia saginata
pada Feses Sapi di Rumah Pemotongan Hewan di Salatiga. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Ritonga, M. Z., & Putra, A. (2018). Identifikasi Telur Cacing Pada Sampel Feses
Sapi Potong Pada Ktt Kesuma Maju Desa Jatikesuma Kecamatan
Namorambe. 3(2017), 1–6.
Setyawati, R. R., Harlia, E., & Juanda, W. (2015). Deteksi Logam Zn, Cu, Pb Dan
Cd Pada Feses Sapi Potong Sebelum Dan Sesudah Proses Pembentukan
Biogas Pada Digester Fixed-Dome. 1–11.
Susilo, H., Abdillah, N. A., & Amelia, K. R. (2020). Identifikasi Telur Cacing
Parasit Pada Feses Hewan Ternak Di Propinsi Banten. … : Jurnal Biologi
Dan …, 15(2), 21–30.
http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/biodidaktika/article/view/8719
Tolistiawaty, I., Widjaja, J., Isnawati, R., & Lobo, L. T. (2016). Gambaran Rumah
Potong Hewan/Tempat Pemotongan Hewan di Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah.Jurnal Vektor Penyakit, 9(2), 45–52.
https://doi.org/10.22435/vektorp.v9i2.5793.45-52
0
0
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
1)
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Hewan Universitas Udayana
2)
Laboratorium Patologi Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana,
Jl. PB Sudirman, Denpasar
email : endrisarifw@yahoo.com
ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran histopatologi jantung sapi bali yang
terinfeksi Cystisercus bovis. Penelitian ini menggunakan jantung sapi bali yang diinfeksi C. bovis.
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan histopatologi ini adalah clearing, blocking,
sectioning, staining, dan mounting. Pada pengamatan histopatologi, infiltrasi sel-sel radang tampak
relatif banyak menginfiltrasi jaringan jantung dan meluas sampai ke sela-sela serat otot jantung.
Perubahan histopatologi lain, berupa infiltrasi jaringan ikat dan kolagen, serta adanya granuloma yang
disertai sel radang di sekitar kapsul C. bovis juga teramati. Sel radang yang ditemukan di serat otot
jantung maupun dekat dengan posisi C. bovis tersebar merata mengelilingi kapsul C. bovis.
Berdasarkan hasil penelitian, tipe sel radang yang dominan menginfiltrasi yaitu sel-sel radang tipe
monomorfonuklear dan sel-sel radang tipe granulosit.
Kata kunci: Cysticercus bovis, Histopatologi, Jantung, Sapi bali.
ABSTRACT
The aim of this study was to determine the histopathological changes of bali cattle’s heart
infected with Cystisercus bovis. This study used heart of Bali cattle infected with C. bovis. The
method used in this histopathological examination is clearing, blocking, sectioning, staining, and
mounting. Histopathological observation found that infiltration of inflammatory cells appeared to be
relatively numerous to the heart tissue and more extensive infiltrated to the muscle fibers of the heart.
Other histopathological changes observed, such as infiltration of fibroblasts and collagen connective
tissue, as well as the presence of granulomas that accompanied by inflammatory cells around
specifically the capsule of C. bovis was also observed. Inflammatory cells were found in heart muscle
fibers and spread evenly around the capsule of C. bovis. Based on the research results, predominant
inflammatory cell types found in the observation were monomorfonuklear inflammatory cells and
granulocytes.
Keyword: Cysticercus bovis, Histopathology, Heart, Bali Cattle.
PENDAHULUAN
403
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
Taenia saginata adalah cacing pita pada sapi, merupakan penyebab taeniasis
pada manusia. Induk semang definitif untuk T. saginata adalah manusia, dan sapi sebagai
induk semang perantara untuk Cysticercus bovis (Estuningsih, 2009). Larva cacing T.
saginata disebut Cysticercus bovis. Di Bali dikenal masyarakat dengan istilah “beberasan”,
karena bentuk dan ukurannya menyerupai biji beras. Keberadaan cacing pita ini pada
manusia telah diketahui sejak dulu (Pawlowski dan Schultz, 1972). Manusia dapat terinfeksi,
bila makan daging sapi mentah atau setengah matang yang mengandung cysticercus infektif.
Sebaliknya, sapi akan terinfeksi cysticercus bila makan rumput yang terkontaminasi oleh
feses orang yang menderita taeniasis yang mengandung telur (Dharmawan, 2000). C. bovis
panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan diameternya sekitar 5 mm ketika sudah
berkembang sempurna. Kista paling sering dijumpai pada otot skletal, jantung, dan
diafragma. Walaupun mungkin pada hewan yang terinfeksi berat, kemungkinan akan
ditemukan kista pada sebagian besar otot skletal (Soedarto, 2008).
Dari hasil pengamatan histologi pada struktur dinding Cystisercus bovis yang
dilakukan oleh Ogunremi et al., (2004), menemukan dibagian pinggir luarnya teramati
campuran berbagai sel-sel radang, antara lain: limfosit, makrofag, sel-sel retikuler, eosinofil,
giant cell, fibroblas, dan sel-sel epitelioid. Dari penelitian Garcia et al., (2011) juga
melaporkan bahwa jaringan yang terinfeksi C. bovis akan mengalami fibrosis dan infiltrasi
sel radang dari kelompok makrofag, limfosit dan eosinofil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
infiltrasi sel radang dan fibrosis tersebut terjadi di sekeliling C. bovis. Walaupun infeksi C.
bovis dapat terjadi di berbagai organ sapi, penelitian ini memfokuskan perubahan patologi
yang ditimbulkan oleh infeksi C. bovis pada organ jantung sapi bali.
Penelitian ini menggunakan jantung sapi bali yang telah terinfeksi C. bovis.
Sedangkan bahan yang digunakan untuk membuat preparat histologi antara lain formalin
buffer 10%, alkohol 70%, alkohol 95%, alkohol 96%, alkohol absolut, aquades, xylol, larutan
zat warna Harris Hematoxylin, larutan eosin, pemount, dan paraffin.
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan histopatologi ini adalah dengan cara
semua organ yang akan diperiksa dipotong kecil dengan ukuran 1 x 1 x 1 cm, kemudian
dilakukan fiksasi dengan cara merendam kedalam larutan Neutral Buffer Formalin (NBF)
10%. Sampel organ yang mengalami perubahan selanjutnya dipotong kecil lagi untuk
disimpan dalam tissue cassette dan dilakukan fiksasi dalam larutan NBF. Setelah fiksasi,
404
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
dilakukan proses dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat (70%, 95%, 96%, dan alkohol
absolut). Perendaman secara bertahap dilakukan setiap 2 jam yang kemudian dilanjutkan
dengan merendam organ dalam toluena (clearing). Setelah tahapan clearing selesai spesimen
organ selanjutnya di infiltrasi dengan parafin cair (blocking) menggunakan alat embedding
set, kemudian didinginkan hingga parafin mengeras. Blok parafin yang sudah dingin
kemudian disectioning menggunakan microtome dengan ketebalan pemotongan ± 4-5
mikron. Setelah pemotongan dengan ketebalan ± 4-5 mikron didapatkan maka selanjutnya
diletakkan mengambang pada waterbath (waterbathing) beberapa detik dengan temperatur
hangat (37-39 °C). Potongan spesimen pada waterbath diletakkan pada gelas objek kemudian
diinkubasikan. Preparat kemudian di rehidrasi bertingkat menggunakan Xylol I, II dan III
(masing-masing selama 5 menit), Etanol I dan II selama 5 menit dan Aquades selama 1
menit. Tahapan terakhir yaitu pewarnaan (staining) menggunakan Hematoxylin – Eosin.
Hematoxylin selama 15 menit sedangkan Eosin selama 3 menit. Preparat di dehidrasi dan di
clearing kembali kemudian dikeringkan untuk selanjutnya dilakukan mounting media.
405
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
yang terinfeksi Cysticercus, juga diinfiltrasi sel-sel radang, namun dalam jumlah yang relatif
lebih sedikit.
Pembahasan
Jantung adalah organ muskular yang berfungsi sebagai pompa ganda sistem
kardiovaskular (Soetopo, 1990). Jantung berkontraksi secara periodik, terus-menerus tanpa
mengalami kelelahan (Wiwi, 2006). Menurut Soedarto (2008), C. bovis paling banyak
ditemukan pada otot atau organ yang aktif bergerak, misalnya pada otot skletal, jantung, dan
diafragma. Dari penelitian Ibrahim dan Zerihun (2012) juga melaporkan bahwa lidah, otot
skletal, otot jantung, otot triceps, diafragma, dan hati merupakan tempat predileksi utama dari
C. bovis.
Dari hasil pengamatan histologi jantung sapi bali yang telah dilakukan, ditemukan
adanya sel radang di serat otot jantung maupun dekat dengan posisi C. bovis yang tersebar
merata mengelilingi kapsul C. bovis. Tipe sel radang yang dominan ditemukan dalam
pengamatan yaitu sel-sel radang tipe monomorfonuklear dan sel-sel radang tipe granulosit.
Kondisi ini kemungkinan akibat infeksi yang berlangsung secara kronis. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian Garcia et al., (2011) yang melaporkan bahwa jaringan yang
terinfeksi C. bovis akan mengalami fibrosis dan infiltrasi sel radang yang tersusun dari
makrofag, limfosit dan eosinofil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa infiltrasi sel radang dan
fibrosis tersebut terjadi disekeliling C. bovis. Sedangkan menurut Oryan et al., (1998),
perubahan histopatologi yang terjadi adalah adanya infiltrasi limfosit, sel plasma, makrofag,
sebagai sel-sel radang dari golongan monomorfonuklear, serta adanya sel eusinofil dari
golongan sel-sel radang granulosit (Oryan et al., 1998). Pada penelitian struktur C. bovis
yang dilakukan oleh Ogunremi et al., (2004), menemukan dibagian pinggir dindingnya berisi
campuran berbagai sel-sel radang termasuk, limfosit, makrofag, sel-sel retikuler, eosinofil,
giant cell, fibroblas, dan sel-sel epitelioid. Infiltrasi sel-sel eusinofil umumnya terjadi akibat
respon inflamasi yang disebabkan oleh agen parasit, yang dalam hal ini adalah C. bovis. Sel-
sel pertahanan eusinofil tersebut cenderung akan teraktivasi karena memiliki major basic
protein, protein ini terdapat pada bagian granula yang bersifat toksik bagi parasit (Thomas
dan Page, 2000).
Sel radang menginfiltrasi dalam kuantitas yang lebih banyak dan tersebar lebih luas
diantara sela-sela serat otot jantung di sekitar kapsul C. bovis yang memiliki diameter yang
lebih besar dari rata-rata besar Cysticercus lain yang menginfeksi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Urquhart et al., (1996) yakni perkembangan telur T. saginata yang menginfeksi
406
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
407
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
A B
C D
Gambar 1. Mikroskopis antara dinding kapsul Cysticercus bovis dengan serat otot jantung
sapi bali :
A. Sel radang yang berada di sekitar serat otot jantung, (H&E; 100x).
B. Adanya granuloma yang disertai sel radang di sekitar kapsul Cysticercus
bovis, (H&E; 100x).
C. Batas pinggir antara kapsul Cysticercus bovis dengan serat otot jantung
didominasi oleh sel radang, (H&E; 100x).
D. Batas pinggir antara kapsul Cysticercus bovis dengan serat otot jantung
didominasi oleh sel radang, (H&E; 100x).
408
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
A B
C D
Gambar 2. Mikroskopis antara dinding kapsul Cysticercus bovis dengan serat otot jantung
sapi bali :
A. Adanya infiltrasi jaringan ikat dan kolagen, serta adanya eksudat disertai sel
radang di sekitar kapsul Cysticercus bovis, (H&E; 400x).
B. Sel radang tipe monomorfonuklear dan sel radang tipe granulosit, (H&E;
400x).
C. Sel radang monomorfonuklear (R) yang menginfiltrasi ke sela-sela serat
otot jantung, (H&E; 400x).
D. Sel radang monomorfonuklear (R), dan granulosit (S) yang menginfiltrasi
lebih dalam pada sela-sela serat otot jantung, (H&E; 400x).
409
Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 403-410
ISSN : 2301-7848
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perubahan histopatologi jantung
sapi bali yang terinfeksi C. bovis berupa infiltrasi sel-sel radang yang didominasi dari
kelompok sel radang monomorfonuklear dan sel radang granulosit.
DAFTAR PUSTAKA
Dharmawan, N.S. 2000. Experimental infection of Taenia saginata in Bali cattle. Maj.
Kedokteran Udayana. 31(110): 240-243. (in Indonesian).
Estuningsih, S.E. 2009. Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit zoonosis parasite.
Wartazoa vol. 19 no. 2 th. 2009. Balai besar penelitian veteriner. Bogor
Garcia, E.A.V.J., V.B.L. Moura, M.C. Vinaud, R.S.J. Lino, and G.F.C. Linhares. 2011.
Molecular Identification Of Cysticercus bovis At Different Stages Of The Host-Parasite
Interacti On Process. Revista de patologia tropical Vol. 40 (4): 331-340. out.-dez. 2011
Ibrahim, N. and F. Zerihun. 2012. Prevalence of Taenia saginata Cysticercosis in Cattle
Slaughtered in Addis Ababa Municipal Abattoir, Ethiopia. Global Veterinaria. 8(5):
467-471.
Luna, L.G. 1968. Manual of Histologic Staining Methods of the armed Forces Institute of
pathology. Third Ed. McGraw-Hill Book Company. New York. 258 pp.
Ogunremi, O., G. MacDonald, B. Scandrett, S. Geerts, and J. Brandt. 2004. Bovine
cysticercosis: Preliminary observations on the immunohistochemical detection of
Taenia saginata antigens in lymph nodes of an experimentally infected calf. Can Vet J
Volume 45: 852–855
Oryan, A., S.N.S. Gaura, N. Moghaddara, and H. Delavara. 1998. Clinico-pathological
studies in cattle experimentally infected with Taenia saginata eggs. Department of
Pathobiology, School of Veterinary Medicine, Shiraz University. 156-162.
Pawlowski, Z, and M.G. Schultz. 1972. Taeniasis and cysticercosis (Taenia saginata). Adv.
Parasitol. 10: 269-343.
Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Surabaya: Airlangga University Press, 19-26.
Soetopo, W., 1990, Segi Praktis E.K.G., Binarupa Aksara, Jakarta.
Thomas, L.L., and S.M. Page. 2000. Inflammatory Cell Activation by Eosinophil Granule
Proteins. In : Gianni Marone, ed. Human Eosinophils. Biological and Clinical Aspect.
Basel : Kager: 99-113.
Urquhart, G.M., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn, and F.W. Jennings. 1996. Veterinary
Parasitology 2nd Edition. ELBS, England.
Wiwi, I.. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius. Sistem sirkulasi: 179
410
ANALISIS RANTAI PASOK DAGING SAPI DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
OLEH:
JIMMI AULIA
138220012
SKRIPSI
OLEH :
JIMMI AULIA
138220012
Disetujui Oleh:
Komisi Pembimbing:
-
(Drs. Khairul Saleh, M.MI\) (Rahma Sari Siregar.S.J>, M.S.i)
Pcmbimbing I Pembimbing II
Dikctahui:
Tanggallulus: 01 April2019
mempcroleh gclnr srujonn mcrupakan hasil karya tulis saya scndiri. Adapun
bagian bagian tcrtcntu dalam pcnulisan sumbemya secara jcla" scsuai dcngan
•
ta
138220012
Bcserta pcrangkal yang ada Uika diperlukan). Dcngan hak bebas Royalli
Noneksklusif ini Universitas Medan Area bcrhak menyi mpan. mcngalih
mcdia/formatkan, mcngelola dalam bcntuk pcngkalan data (datahase). me rawat,
dan mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencant ukan nama saya sebagai
penulislpencipta dan pemilik hak cipta.
Dibuat dj : Medan
PadaTanggal : Oktober20 19
Y yatakan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rantai pasok daging sapi
serta bagaimana efisiensi pemasaran daging sapi di Kota Medan. Metode
penelitian yang digunakan adalah secara Pruposive(Sengaja). Sempel penelitian
ini sebanyak 25. Berdasarkan prasurvey lokasi ditentukan yang dilakukan terdapat
1 RPH tersebut, maka diambil pedagang besar (Pengusaha) 1 dari RPH dan pasar
sambu yang menjual daging sapi maka diambil pedagang pengecer 1 dari pasar
tradisional sambu dan konsumen 1 dari pasar sambu tersebut. Metode yang
digunakan adalah snowball Sampling serta metode perhitungan Microsoft Excel.
Data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Penelitian dilakukan
pada bulan Oktober sampai dengan November 2018. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (RPH) kota Medan hanya berperan sebagai tempat
pengandangan sebelum pemotongan dan kegiatan penyembelihan hewan milik
pedagang besar. Terdapat dua rantai pasok dagingsapi di Kota Medan dalam
menyalurkan produknya adalah Rantai pasok I dimulai dari Pedagang Besar,
Pedagang Pengecer, Konsumen dan Rantai pasok II dimulai dari Pedagang
besar,ke Konsumen.
Kata Kunci :Dagingsapi, RantaiPasok, Efisiensi.
The purpose of this study was to determine the beef supply chain and how
the efficiency of beef marketing in Medan. The research method used is
Promposively. This research sample is 25. Based on the presurvey location
determined there is 1 such RPH, then taken by wholesalers (Entrepreneurs) 1 from
RPH and sambu markets who sell beef then retailers 1 are taken from traditional
sambu and consumer 1 markets from the sambu market . The method used is
snowball sampling and Microsoft Excel calculation method. The data used are
secondary data and primary data. The study was conducted from October to
November 2018. The results showed that the city of Medan (RPH) only served as
a place of holding before cutting and slaughtering of animals owned by large
traders. There are two beef supply chains in Medan City in distributing their
products. Supply chain I starts with Big Traders, Retailers, Consumers and Supply
Chain II starting from Big Traders, to Consumers. In supply chain I the value of
marketing efficiency is 0.93% and in supply chain II the value of marketing
efficiency is 0.93%.
Keywords: Beef, Supply Chain, Efficiency.
dalam salam tak lupa penulis sampaikan keharibaan junjungan Nabi besar
Muhammad SAW. Skripsi ini berjudul Analisis Rantai Pasok Daging Sapi Di
Kota Medan yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada
Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ucapan terima kasih dan rasa hormat
kepada:
doanya serta kasih sayang bahkan segala materi yang ada dengan penuh
3. Drs. Khairul Shaleh, M.MA selaku dosen pembimbing dan Rahma Sari
kepada penulis.
kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
Jimmi Aulia
Halaman
ABSRACT............................................................................................................. vi
RINGKASAN ...................................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
1.3.Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
1.5.Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 7
1.6.Hipotesis ....................................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 10
2.1. Daging Sapi ............................................................................................... 10
2.2. Rantai Pasok .............................................................................................. 11
2.3. Manajemen rantai pasokan ........................................................................ 14
2.4. Efesiensi Pemasaran .................................................................................. 16
2.5. Lembaga dan Saluran Distribusi ............................................................... 17
2.6. Saluran Pemasaran .................................................................................... 18
2.7. Penelitian Terdahulu.................................................................................. 19
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 25
3.1. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian .................................................... 25
3.2. Metode pengamabilan sampel ................................................................... 25
3.3. Metode Pengambian Data ......................................................................... 25
3.4. Metode Analisis Data ................................................................................ 25
3.5. Defenisi Operasional ................................................................................. 26
BAB IV GAMABARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................ 28
4.1. Gamabaran Umum Kota Medan................................................................ 28
4.2. Gamabaran Umum PD Rumah Potong Hewan ......................................... 28
4.3. Gambaran geografi dan Gambaran Umum pusat Pasar ............................ 30
4.4. Jumlah Penduduk, Kepadatan Penduduk per KM dirinci menurut kelurahan
di Kecamatan Medan kota 2016 ................................................................ 31
5.1. Hasil........................................................................................................... 39
5.1.1. Saluran Rantai Pasok Daging Sapi Di Kota Medan ............................... 39
5.1.2. Pola Rantai Pasok Daging Sapi Di Kota Medan .................................... 41
5.1.3. Analisis Rantai Pasok Daging Sapi Di Kota Medan .............................. 41
No Keterangan Halaman
2. Data Ternak sapi Yang di Potong, Produksi Daging Sapi DiKota Medan
2012-2016 ...................................................................................................... 4
10. Biaya Harga dan Marjin Pemasaran Pedagang Besar (Saluran1) .................. 42
11. Biaya Pemasaran Dan Total Biaya Pemasaran Pedagang Besar Daging
13. Biaya Pembelian Dan total Biaya Pembelian Konsumen Daging Sapi
14. Margin Pemasaran Rantai Pasok II Daging Sapi di Kota Medan .................. 49
15. Biaya Pemasaran dan Total Biaya Pemasaran Pedagang Besar Daging
Sapi ................................................................................................................ 50
No Keterangan Halaman
No Keterangan
5. Margin Pemasaran Biaya Dan Harga, Margin Pemasaran Daging Sapi Di Kota
Medan Pada Saluran 2
Tenggara, jumlah penduduknya kurang lebih dari 220 juta jiwa, dengan laju
aneka ragam kekayaan alam. Kekayaan alam tersebut yang bukan hanya terdapat
pada sektor kekayaan alam migas seperti minyak bumi dan bahan tambang saja,
namun kekayaan non-migas seperti tersedianya lahan pertanian dan pertenak yang
cukup luas. Namun semua itu ternyata belum cukup memberikan solusi atas
permasalahan yang ada, yaitu seperti kurang memadainya kebutuhan pangan jika
kekayaan tersebut tidak diberdayakan secara optimal dan dilandaskan oleh aturan
sangat erat hubungannya dengan sektor pertanian dan perternak dalam arti luas,
sehingga tidak heran jika sektor pertanian dan peternak menjadi bagian terpenting
hulu sampai hilir dan tidak berhenti hanya di tingkat produksi, tetapi juga sebagai
yang dihasilkan oleh produsen agar dapat sampai kepada konsumen. Bagi
rakyat pemasaran mempunyai peran yang penting. Setelah produk dalam hal ini
diterima oleh konsumen. Menurut Rianto dan Purbowati (2010), peternak harus
Hal tersebut secara langsung merubah pola konsumsi pangan penduduk ke arah
protein hewani seperti daging, telur, dan susu. Perubahan struktur permintaan
Daging sapi merupakan salah satu jenis daging yang menjadi sumber
protein hewani yang cukup tinggi. Daging selain mengandung nutrisi yang baik
bagi pertumbuhan seperti protein yang tinggi serta asam amino essensial yang
cukup tinggi dan berimbang, daging pun berkontribusi dalam memberikan sumber
energi berupa lemak (Lawrie, 1995). Oleh karena itu daging sapi sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan gizi dan selanjutnya akan
kesinambungan usah danging sapi mendapat perhatian secara serius dilain pihak
diharapkan mendapatkan harga daging yang wajar serta terjangkau dengan daya
beli masyarakat.
lain pihak harga daging disesuaikan dengan daya beli konsumen (masyarakat).
Disamping harga daging sapi menjadi tinggi, juga masalah suplai daging sapi
serta impor yang selalu mengundang pro dan kontra baik dari masyarakat maupun
termasuk dalam jenis hewan ternak besar. Populasi daging sapi di Kota Medan
mengalami penurunan dari 2.720 ekor pada tahun 2012 menjadi 1.818 ekor pada
tahun 2016. Jumlah ini cenderung tidak stabil dikarenakan jumlah pemotongan
ternak sapi yang turun dan menurunkan populasi ternak sapi. Pada tahun yang
sama produksi daging sapi pada tahun 2012 meningkat dari 3,05,1 ton pada tahun
2014 menjadi 344,1 ton. Namun pada tahun 2015 dan tahun 2016 produksi daging
sapi menurun dari 133,9 ton menjadi 121,6 ton. Hal ini disebabkan karena
turunnya impor sapi yang menyebabkan kurangnya suplai sapi dalam negeri,
selain itu dipengaruhi oleh konsumsi daging sapi di Sumatera Utara meningkat.
2017).
(RPH), mendorong para pelaku distribusi seperti pedagang besar dan pedagang
Pada prinsipnya, distribusi tidak berbeda jauh dengan rantai pasok karena
distribusi berada dalam sistem rantai pasok. Rantai pasokan atau ‘supply chain’
dengan aliran produk, aliran informasi maupun aliran keuangan finansial (Indrajit
banyaknya mata rantai yang terlibat dalam rantai pasokan daging sapi dan melihat
karakteristik produk yang mudah rusak dan harganya relatif tinggi jika
rantai pasok yang berupa aliran informasi berfungsi untuk mengetahui porsi setiap
pelaku pemasaran dalam kegiatan rantai pasok. Porsi merupakan kapasitas produk
yang bekerja secara efektif, kerena daging sapi memiliki sifat produk yang mudah
Panjangnya rantai pasok pada produk pertanian dan perternak jika tidak
dikelola secara baik bisa menyebabkan biaya yang tinggi, baik untuk biaya
dalam sistem penjualan adalah margin dan struktur biaya tataniaga yang terjadi.
Salah satu faktor kunci untuk mengoptimalkan rantai pasokan adalah dengan
menciptakan alur informasi yang bergerak secara mudah dan akurat antara
jaringan atau mata rantai tersebut dan pergerakan barang yang efektif, efisien dan
Hal ini erat kaitannya dengan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) sebagai
secara teratur dan memadai. (RPH) sebagai penyedia jasa berusaha untuk dapat
standar kualitas yang terbaik dengan harga yang dapat diterima konsumen.
para pedagang besar (Pengusaha) melakukan pemotongan pada sapi hidup mereka
Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, merupakan unit pelayanan publik memiliki
fungsi teknis, ekonomis dan sosial dalam pemotongan hewan Di Kota Medan.
daging sapi dapat terpenuhi secara merata dan dapat menekankan harga
protein hewani yang cukup tinggi. Daging selain mengandung nutrisi yang baik
bagi pertumbuhan seperti protein yang tinggi serta asam amino essensial yang
Daging sapi saat ini menjadi bahan pangan yang sangat digemari, sebagai
penyedia protein hewani. Daging sapi dapat dinikmati oleh hampir seluruh lapisan
melalui rumah potong hewan. Rumah potong hewan yaitu berfungsi sebagai
lembaga atau mata rantai pengolahan yang mentransformasikan daging sapi hidup
menjadi daging sapi yang kemudian dapat didistribusikan ke rumah makan untuk
akhir. Aktifitas dalam rumah potong hewan antara lain merubah input-input
produksi berupa sapi hidup, modal, teknologi serta tenaga kerja menjadi output
berupa daging sapi. Proses yang dilakukan oleh rumah potong hewan (RPH)
membersihkan kotoran yang terdapat pada sapi. Kegiatan produksi dalam rumah
potong dilakukan setiap hari untuk menghasilkan produk berupa daging sapi.
Produk tersebut menjadi stok atau persediaan yang kemudian akan dipasarkan
yang saling bekerja sama dalam menyalurkan bahan baku berupa sapi hidup.
barang mulai dari subsektor hulu melalui subsektor hilir hingga ke konsumen
akhir. Oleh karena itu dapat disusun suatu kerangka pemikiraan teoritis tentang
Medan
Efisiensi Pemasaran
1.6. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah serta uraian pada
penelitian terdahulu serta kerangka teoritis maka dalam penelitian ini dapat
diajukan hipotesis adalah diduga rantai pasok daging sapi di kota Medan tidak
efisien.
hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.
Selain anekaragaman sumber pangan, daging sapi adalah bahan makanan bergizi
tinggi dan memiliki cita rasa yang enak. Cita rasa daging sapi memberikan
Daging dibentuk oleh dua bagian utama yaitu serat-serat otot berbentuk
kompleks dari protein, lemak, karbohidrat, dan garam mineral. Daging Sapi
merupakan salah satu sumber protein hewani yang bersumber dari hewan
Ternak besar seperti sapi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki
peranan terpenting sebagai penghasil daging dengan kualitas dan kuantitas yang
cukup baik. Jenis atau bangsa sapi yang terdapat di Indonesia sebagai penghasil
daging adalah sapi potong seperti sapi Bali, sapi Madura, sapi Peranakan Ongole
kebutuhan gizi.Selain mutu protein yang tinggi, pada daging sapi terdapat
kandungan asam amino yang lengkap dan seimbang. Keunggulan lain, protein
daging sapi lebih mudah dicerna daripada protein yang berasal dari nabati. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi ternak yang akan dipotong agar diperoleh
kualitas daging yang baik yaitu ternak harus dalam keadaan yang sehat, bebas dari
tidak mengalami stres agar kandungan glikogen otot maksimal (Astawan, 2007).
Daging sapi merupakan produk makanan yang digemari dan hampir tidak
produk hewani ini memiliki nilai organoleptik spesifik, sehingga cocok untuk
masakan dan produk olahan tertentu. Daging sapi dapat di olah dengan berbagai
cara, yaitu dengan cara dimasak, digoreng, diasap, dipanggang, disate, atau diolah
menjadi produk lain yang menarik selera, antara lain : daging korned ( corned-
bisnis untuk menyalurkan barang produksi atau jasa ke pelanggan. Mata rantai ini
juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan, yang
pengadaan atau penyaluran barang atau jasa tersebut (Indrajit, 2002). Konsep
rantai pasokan merupakan konsep baru dalam melihat persoalan logistik. Konsep
masing-masing. Dalam konsep baru masalah logistik dilihat sebagai masalah yang
lebih luas yang terbentang sangat panjang dari bahan dasar sampai bahan jadi
yang dipakai konsumen akhir, yang merupakan mata rantai penyediaan barang
(Indrajit, 2002).
pertanian secara alami dibentuk oleh para pelaku rantai pasok itu sendiri.Pada
langsung ke pasar atau lewat tengkulak, dan tengkulak yang akan menjualnya ke
pasar tradisional dan pasar swalayan. Mekanisme rantai pasok modern terbentuk
oleh beberapa hal, antara lain mengatasi kelemahan karakteristik dari produk
berkualitas, dan memperluas pasar pasar yang ada. Menurut Simchi-Levi et al.
pasokan tidak hanya dilakukan agar seluruh bagian sistem memberikan kinerja
Menurut Chopra dkk. (2001), tujuan yang hendak dicapai dari setiap rantai
dihasilkan oleh rantai suplai tersebut. Dalam sebuah rantai pasokan, jaringan
tersebut biasanya termasuk pemasok, pabrik, distributor, toko atau ritel, serta
pasokan adalah kumpulan kegiatan dan aksi strategis di sepanjang rantai pasokan
yang dibutuhkan pelanggan akhir dengan kemampuan sumber daya yang ada pada
rantai pasokan tersebut (Pujawan 2005). Strategi tidak bisa dilepaskan dari tujuan
jangka panjang. Tujuan inilah yang diharapkan akan tercapai, untuk bisa
pasokan dilatar belakangi oleh 2 (dua) hal pokok, yaitu: 1. Praktik manajemen
logistik tradisional pada era modern ini sudah tidak relevan lagi, karena tidak
semakin cepat dengan persaingan yang semakin ketat. Kuatnya sebuah rantai
pasokan tergantung pada kekuatan seluruh elemen yang ada di dalamnya. Sebuah
pabrik yang sehat dan efisien tidak akan banyak berarti apabila pemasoknya tidak
memenuhi permintaan konsumen. Konsep ini menekankan pada pola terpadu yang
pasokan merupakan koordinasi dari bahan, informasi dan arus keuangan antara
a) Arus bahan melibatkan arus produk fisik dari pemasok sampai konsumen
melalui rantai, sama baiknya dengan arus balik dari retur produk, layanan,
laporan status pesanan, arus ini berjalan dua arah antara konsumen akhir
komponen rantai pasokan, yaitu: a. Bagian Hulu Rantai Pasokan Bagian hulu
rantai pasokan meliputi aktivitas dari suatu perusahaan manufaktur dengan para
Rantai Pasokan Bagian internal rantai pasokan meliputi semua proses pemasukan
Rantai Pasokan Bagian hilir rantai pasok meliputi semua aktivitas yang
melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Pada bagian hilir rantai
macam aliran yang harus dikelola. Pertama adalah aliran barang yang mengalir
dari hulu ke hilir (downstream). Kedua adalah aliran uang dan sejenisnya yang
mengalir dari hilir ke hulu (upstream).Yang ketiga adalah aliran informasi yang
terjadi dari hulu kehilir maupun sebaliknya. Rantai pasok adalah sistem yang
terdiri dari pemasok, produsen, transportasi, distributor dan ritel yang ada untuk
diterima produsen dengan harga yang dibayar konsumen. Untuk melihat efisiensi
keuntungan atau rasio profit marjin (RPM) pada setiap lembaga pemasaran yang
antara tingkat keuntungan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan oleh
Megawati Rachman (2016), lembaga pemasaran adalah badan usaha atau individu
kepada konsumen akhir, serta mempunya hubungan dengan badan usaha atau
individu lain. Menurut Kotler dan Keller (2008) untuk mencapai pasar sasaran,
distribusi untuk menggelar, menjual atau menyampaikan produk fisik atau jasa
kepada pelanggan atau pengguna dan (3) saluran layanan yaitu untuk melakukan
umum prinsip saluran distribusi produk pertaian yang berasal dari perusahaan
pemasaran langsung (direct sales), (2) pengecer (retailer) (3) grosir (wholesaler)
dan (4) agen dan broker. Selain pemasaran secara langsung dari perusahaan
tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk barang atau
konsumen. Hal itu penting sebagai upaya dalam mengatasi kesenjangan waktu,
tempat dan pemilikan yang memisahkan barang atau jasa dari orang-orang yang
Rachman (2016).
keuntungan dan biaya yang berbeda pula. Selain itu saluran pemasaran yang
dipilih dan digunakan oleh pedagang dalam memasarkan komoditas daging sapi
penelitian adalah : (1) Memetakan jaringan distribusi daging sapi di Kota Bogor
(2) Menganalisis biaya transaksi, nilai tambah dan efisiensi pemasaran dalam
saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor (3) Menganalisis faktor yang
Kota Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juni 2015 – Oktober
sapi di wilayah Kota Bogor dianalisis dengan metode Value Stream Mapping
(1) efisiensi pemasaran, (2) nilai tambah dalam rantai pasokan, dan (3) biaya
regresi logistik biner. Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data
adalah Microsoft Excel 2010 dan SPSS 21. Hasil analisis menunjukkan Terdapat
9 alternatif pilihan saluran pemasaran daging sapi di Kota Bogor. Sebagian besar
artinya saluran yang paling panjang merupakan saluran yang paling banyak
tingginya harga jual daging sapi. Saluran pemasaran yang paling efisin dengan
keuntungan dan nilai tambah tertinggi, serta biaya transaksi yang paling rendah
berkisar 3-5% dari total biaya. Biaya yang mendominasi adalah biaya untuk
membeli bahan baku daging sapi (60%). Nilai tambah dan margin terbesar
Rantai Pasokan (Supply Chain) Daging Sapi dari Rumah Pemotongan Hewan
menganalisis aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi pada rantai
pasokan daging sapi, (2) menganalisis efisiensi pemasaran pada rantai pasokan
daging sapi potong di Kota Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
penelitian ini adalah metode survei. Metode pengambilan sampel dalam penelitian
ini adalah teknik purposive sampling dan snowball sampling. Analisis data yang
menunjukkan bahwa: (1) terdapat 3 aliran dalam rantai pasokan daging sapi di
Kota Surakarta yaitu aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi yang
berjalan dengan optimal; (2) saluran distribusi daging sapi di Kota Surakarta
yang proporsional sesuai dengan kontribusi yang diberikan setiap mata rantai; dan
(3) rata-rata nilai tambah yang diperoleh sebesar Rp 70.551,18/kg atau 59,8% dari
“Analisis Rantai Pasok Sosis Food Industries Dari Produsen Sampai Konsumen
ini dilaksanakan pada tanggal 28 Januari 2016 sampai dengan 10 Februari 2016
untuk mengetahui aliran dan kinerja rantai pasok yang digunakan PT kemfood
pengukuran kinerja rantai pasok. Hasil menunjukan aliran rantai pasok dari
produsen sebagian besar langsung ke konsumen, dan untuk kinerja rantai pasok
untuk prespektif proses bisnis internal dengan skor 2,56. Prespektif pertumbuhan
dan pembelajaran dengan penilaian 2,58. Prespektif pelanggan memiliki total skor
2,52 dan prespektif keuangan memiliki skor 3,00. Keempat prespektif balanced
scorecard tersebut memberi arti bahwa kinerja rantai pasok PT Kemfood berjalan
dengan baik dan aliran rantai pasok dari pusat, cabang, segmen kemudian
konsumen.
“Analisis Rantai Pasok Daging Sapi Dari Rumah Pemotongan Hewan Ciawitali
mengetahui saluran tataniaga daging sapi dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH)
sampai konsumen akhir, kontibusi rantai pasok daging sapi dari Rumah
Pemotongan Hewan dan struktur biaya dan margin dalam rantai pasok daging
sapi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey, yang telah
Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran rantai pasok
kemudian menuju pedagang pengecer dan konsumen, namun ada juga daging sapi
pedagang besar sebesar Rp. 7.000,00 – Rp. 11.000,00 dan pedagang pengecer
sebesar Rp. 3.000,00 – Rp. 4.000,00. Margin keuntungan yang dikenakan kepada
konsumen adalah sebesar 15% sehingga kisaran harga yang ada di lingkungan
Sapi Di Kabupaten Jember”. Daging sapi merupakan salah satu produk pangan
yang memiliki nilai gizi untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat.
Rantai pasokan atau supply chain daging sapi merupakan suatu konsep yang
memiliki sistem pengaturan yang berkaitan dengan aliran produk, aliran keuangan
dan aliran informasi dalam proses distribusi sapi potong hidup menjadi daging
sapi. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui aliran produk, aliran keuangan
dan aliran informasi pada rantai pasokan daging sapi; (2) mengetahui tingkat
dan analitik. Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini adalah teknik
purposive sampling dan snowball sampling. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu analisis efisiensi pemasaran, analisis dan margin pemasaran,
analisis nilai tambah dengan metode Hayami. Hasil analisis menunjukkan bahwa:
(1) terdapat 3 aliran dalam rantai pasokan daging sapi di Kabupaten Jember yaitu
aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi yang tidak berjalan dengan
optimal; (2) saluran distribusi daging sapi di Kabupaten Jember adalah efisien
bertujuan (1) Untuk mengetahui tingkat permintaan daging sapi di Kelurahan Sei
Rumah tangga yang mengkonsumsi daging sapi terendah 0,5 kg/bulan dan paling
banyak 8 kg/ bulan. Hasil Uji t diperoleh bahwa hanya variabel harga ikan, harga
ayam potong, tingkat pendapatan rumah tangga, dan selera berpengaruh nyata
terhadap permintaan daging sapi dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
(RPH) yang memiliki skala cukup besar dalam jumlah pemotongan ternak sapi
Medan dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Kota Medan Propinsi Sumatera
Utara merupakan unit pelayanan publik memiliki fungsi teknis, ekonomis dan
sosial dalam pemotongan hewan di Kota Medan. Adapun Penelitian ini dilakukan
dengan cara mengikuti alur pemasaran dari produsen hingga produk sampai ke
konsumen akhir.
orang dan sebagai sampel pedagang besar adalah sebanyak 3 orang banyak
pedagang pengecer dari 10 orang dan sebagai sempel pedagang pengecer diambil
2 orang. Sampel untuk konsumen diambil sampel 25 orang. Maka jumlah sampel
pada penelitian ini yaitu, 3 orang pedagang besar, 2 orang pedagang pengecer dan
25 konsumen.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya
(RPH) di Kota Medan, pedagang besar daging sapi, pedagang pengecer daging
sapi, dan terakhir konsumen daging sapi di Pusat Pasar Sambu Kota Medan.
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait yaitu, badan
Kota Medan, Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dapat diartikan sebagai analisis perbedaan harga ditingkat produsen (harga beli)
Mi = Psi-Pbi
Dimana:
Maka apabila nilai efisien pemasaran < 50 % maka pemasaran efisien, jika
nilai efisien pemasaran > 50 % maka pemasaran tidak efisien, dan jika nilai
efisien pemasaran = 50 % maka pemasaran tersebut efisien.
kebutuhan gizi. Selain mutu protein yang tinggi, pada daging sapi terdapat
3. Rantai pasokan atau rantai pengadaan adalah sistem yang dilalui organisasi
bekerja atas dasar biaya input yang rendah tanpa mengurangi kepuasan
menyalurkan jasa dan komoditi dari produsen kepada konsumen akhir, serta
10. Konsumen adalah orang yang secara langsung mengonsumsi daging sapi,
5.1 Hasil
Saluran rantai pasokan atau rantai pengadaan adalah sistem yang dilalui
Mata rantai ini juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling
berhubungan, yang mempunyai tujuan sama yaitu seefektif dan seefisien mungkin
2002). Konsep rantai pasokan merupakan konsep baru dalam melihat persoalan
PD Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan adalah badan Usaha Miliki
dibidang pengolahan usaha jasa pemotongan hewan dan kegiatan lain yang
halal sehat dan bermutu serta membantu dan menunjang kebijaksanaan umum
Pedagang besar yaitu rantai tata niaga yang dalam kasus ini merupakan
pemilik sapi hidup yang menitipkan sapi tersebut di (RPH) untuk dipotong setiap
3. Pedagang Pengecer
suatu proses produksi yang bersifat komersil, artinya kelanjutan proses produksi
ini pedagang pengecer daging sapi berjumlah 2 (dua) orang yang berdagang pusat
pasar atau lebih dikenal dengan pasar sambu. Pada umumnya pedagang pengecer
daging sapi membeli dalam jumlah kecil dari pedagang besar (Pengusaha) yang
telah menjadi langganan pedagang pengecer tersebut, harga beli daging sapi dari
4. konsumen
Konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau
penelitian rata-rata ibu rumah tangga yang menjadi responden. Jumlah responden
sapi di pusat pasar atau lebih sering disebut pasar sambas. Harga jual pedagang
Rantai pasokan atau rantai pengadaan adalah sistem yang dilalui organisasi
bisnis untuk menyalurkan barang produksi atau jasa ke pelanggan. Mata rantai ini
juga merupakan jaringan dari berbagai organisasi yang saling berhubungan, yang
Terdapat 2 rantai pasok daging sapi di Kota Medan adalah sebagai berikut:
Pedagang 0,026%
Besar
5.3.1.Rantai Pasok 1
Pada rantai pasok yang pertama ini,dari rumah potong hewan tersebut
pengecer, dan dari pedangan pengecer menjual kembali kepada konsumen dapat
Hewan (RPH) di Kota Medan yang akan dipotong setiap harinya. Daging sapi
sapi yang telah dibeli dari pedagang besar menjual kepada pedagang pengecer,
terakhir konsumen di pasar, dalam penelitian ini pasar yang dimaksud adalah
Pusat Pasar atau lebih sering disebut dengan Pasar Sambu. Pedagang besar
menitipkan ternaknya di Rumah Potong Hewan (RPH) akan dikenakan biaya sewa
kandang, biaya kesehatan dan biaya jasa potong dengan biaya sewa kandang Rp
3.000,-/ekor/hari, biaya kesehatan Rp. 7.000,-/ekor, dan biaya jasa potong Rp.
apakah saluran pemasaran tersebut dikatakan efisien atau tidak efisien. Untuk
mengetahui efisiensi pemasaran daging sapi pada penelitian ini, sudah mengambil
data dan diolah berdasarkan perhitungan dan dapat dilihat sebagai berikut:
1. Pedagang Besar
= 0,031%
2. Pedagang pengecer
A. Biaya Produksi dan Efisiensi Pemasaran Daging Sapi pada Rantai Pasok I
PD Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Medan adalah Badan Usaha Milik
dibidang pengolahan usaha jasa pemotongan hewan dan kegiatan lain yang
besar maupun pedagang pengecer. juga yang memberikan ketetapan harga daging
sapi dari pedagang besar, pedangang besar daging sapi menjual dengan harga Rp
b. Pedagang Besar.
Sasaran pedagang besar adalah lembaga pemasaran yang menyalurkan daging sapi
yang telah disembelih di (RPH) Rumah Potong Hewan Kota Medan ke pedagang
pengecer. peran pedagang besar adalah menyediakan daging sapi yang kemudian
dengan biaya sewa yang telah ditentukan oleh pihak (RPH) Kota Medan. Dalam
penelitian ini sampel pedagang besar berjumlah 3 orang dari 3 pedagang besar
yang sama memasarkan daging sapi ke pasar Sambu yang menjadi lokasi sampel
peneliti. Dalam proses pengadaan Daging Sapi pedagang besar dengan cara yaitu
pedagang besar menitipkan sapi-sapi yang akan di sembelih setiap hari ke Rumah
pedagang pengecer yang telah menjadi pelanggan tetap yang berada di pusat pasar
atau lebih sering disebut pasar sambu. adapun harga dari Daging Sapi tersebut
disebut Pasar (Sambu). Dalam proses pemasaran Daging Sapi pedagang besar
menggunakan biaya pemasaran antara lain kantong plastik dan timbangan, tenaga
kerja, pengandangan, kesehatan, dan upah potong. Untuk rincian biaya lebih
Dapat dilihat dari tabel diatas dapat dilihat bahwa biaya pemasaran yang
rata-rata sebesar Rp. 3.275,- biaya pemasaran yang dibutuhkan pedagang besar
meliputi biaya timbangan dengan total Rp. 3.375,- dengan rata-rataRp. 1.125,-
biaya kantong plastic HDPE dengan ukuran 40 cm dari ketiga sampel dengan total
Rp. 450,- dengan rata-rata Rp. 150,-biaya tenaga kerja dengan total Rp. 1.500,-
c. Pedagang Pengecer
suatu proses produksi yang bersifat komersil artinya kelanjutan proses produksi
Pedagang pengecer daging sapi pada penelitian ini diambil 2 sampel dari pasar di
Kecamatan Medan Kota yang Terletak di Pusat Pasar atau sering disebut Pasar
Sambu. Pada umumnya pedagang pengecer membeli daging sapi dari pedagang
besar yang sudah menjadi langganan pedagang pengecer tersebut, harga dari
memasarkan atau menjual daging sapi kepada konsumen yang berada di Pusat
Pasar atau sering disebut Pasar (Sambu) dengan harga Rp. 110.000.-.
mengalami kenaikan maka jumlah barang yang ditawarkan akan naik dan
sebaliknya bila tingkat harga turun maka jumlah barang yang ditawarkan akan
turun, namun pada penelitian ini berdasarkan data pedagang besar tidak terjadi
hukum penawaran tersebut. Dimana ketika harga barang naik maupun harga
barang mengalami penurunan jumlah sapi yang disembelih tetap, namun pada
hari-hari besar tertentu jumlah sapi yang disembelih akan mengalami peningkatan.
Dapat dilihat dari tabel diatas bahwa biaya pemasaran yang dikeluarkan
oleh kedua responden pedagang pengecer sebesar Rp. 2.680,- dengan rata-rata
biaya kantong plastik dari kedua sampel dengan total Rp. 440,- dengan rata-rata
Rp. 220,- biaya timbangan dengan total Rp. 240,- dengan rata-rata Rp. 120,- dan
d. Konsumen
daging sapi untuk dikonsumsi. Konsumen daging sapi yang terdapat didaerah
penelitian sebagian besar adalah ibu rumah tangga dengan rata- rata umur 38
Dapat dilihat dari tabel diatas bahwa total harga beli tingkat konsumen
yang dikeluarkan oleh sepuluh responden sebesar Rp. 1.100,000,- dengan rata-rata
sebesar Rp. 110.000,- biaya pembelian yang dibutuhkan konsumen meliputi harga
beli daging sapi dari pedagang pengecer dengan total Rp. 1.100,000,- dengan rata-
rata Rp. 110.000,- biaya transportasi dengan total Rp. 67.000,- dengan rata-
rataRp. 6.700,-.
Pemasaran dikali 100% dari nilai produk yang dipasarkan. Apabila kurang dari
50% saluran pemasaran dikatakan efisien dan jika saluran pemasaran lebih besar
dari 50% maka saluran pemasaran dikatakan tidak efisien, penarikan kesimpulan
Rantai pasok I menunjukkan nilai efisiensi yaitu 0,024% yang artinya nilai
ini lebih kecil dibandingkan dari 50% sehingga pada rantai pasok 1 dapat
dikatakan efisien.
Pada rantai pasok daging sapi yang kedua ini ,dari rumah potong hewan
tersebut dapat kita lihat adanya pedagang besar langsung menjual daging sapi
Pedagang Konsumen
RPH
Besar
daging sapi yang telah dipotong di (RPH) ke Konsumen akhir yang telah menjadi
apakah saluran pemasaran pemasaran tersebut dikatakan efisien atau tidak efisien.
Untuk mengetahui efisiensi pemasaran daging sapi dalam penelitian ini, sudah
mengambil data dan diolah berdasarkan perhitungan dan dapat dilihat sebagai
berikut :
1. Pedagang Besar
Rantai pasok II menunjukkan nilai efisiensi yaitu 0,026 % yang artinya nilai
ini lebih kecil dibandingkan dari 50% sehingga pada rantai pasok II dapat
dikatakan efisien.
Sapi disembelih setiap harinya, Pedagang besar yang menitipkan Sapi yang akan
jasa pemotongan sampai pada daging sapi siap diedarkan kepada pedagang
harga daging dan mendapatkan keuntungan lebih besar, rincian biaya yang
dikeluarkan pedagang besar dalam pemasaran daging sapi pada rantai pasok II
tabel diatas dapat dilihat bahwa biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh
ketiga responden pedagang besar sebesar Rp. 8.361,- dengan rata-rata sebesar Rp.
plastic HDPE dari ketiga sampel berdiameter 25 cm dengan total Rp. 300,-
/pedagang besar dengan rata-rata Rp. 3.000,-, biaya kesehatan sebesar Rp.21.000,-
b. Konsumen
besar merupakan ibu rumah tangga yang berumur 37 tahun dengan rata-rata
pembelian daging sapi pada daerah penelitian sebanyak 1kg, namun pada rantai
pasok II ini konsumen lebih didominasi oleh pedagang olahan makanan yang
berbahan dadar daging sapi untuk data jumlah daging sapi yang dibeli, harga di
tingkat konsumen, biaya transportasi dan biaya pembelian dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
pemasaran pada tiap saluran pemasaran. Analisis efisiensi pemasaran daging sapi
Rp 2.787
= x 100%
Rp 105.000
= 0,026 %
efisiensi pemasaran sebesar 0,026% maka dapat dikatakan efisien karna nilai
yang artinya lebih kecil dari 50 %, maka dapat dikatakan bahwa rantai pasok
0,024% yang artinya lebih kecil dari 50 %, maka dapat dikatakan bahwa rantai
Nilai efisiensi pedagang besar dalam penelitian ini adalah sebesar 0,026%
yang artinya lebih kecil dari 50 % maka dapat dikatakan rantai pasok II daging
Meskipun dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil nilai
efisiensi pemasaran daging sapi di Kota Medan efisien, hal yang menjadi
masalah dimasyarakat dalam rantai pasok daging sapi ini adalah jumlah peternak
daging sapi yang tidak terkontrol pada hari-hari besar tertentu dan hal ini juga
sapi di tingkat pedagang besar maupun pedagang pengecer. Hal lain yang terjadi
di masyarakat adalah biaya tak terduga seperti pungli dan lain-lain. Dalam
penelitian ini lokasi pasar yang dimaksud adalah pusat pasar atau sering disebut
dengan pasar Sambu, menurut pengakuan pedagang harga jual daging sapi akan
meningkat pada hari-hari besar keagamaan seperti idul fitri, idul adha, dan natal
hal tersebut juga disebabkan meningkatnya permintaan akan daging sapi namun
Adapun gambaran nilai rantai pasok II dan nilai efisiensi pada pemasaran
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan
hasil penelitian dan analisis yang dilakukan mengenai rantai pasok daging di Kota
1 Terdapat dua rantai pasok daging sapi di Kota Medan dalam menyalurkan
2 Pada rantai pasok I nilai efisiensi pemasaran untuk pedagang besar sebesar
0,031% dan pedagang pengecer sebesar 0,024% pada rantai pasok II nilai
3 Rantai pasok II lebih efisien dari rantai pasok I karena nilai efisiensi rantai
6.2. Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan dari penelitian ini maka saran yang ingin
1. Untuk RPH sebaiknya tidak membuat peraturan yang sangat rumit oleh para
(RPH).
2. Untuk pedagang agar dapat menyesuaikan harga beli dengan harga jual agar
Sudarisman, T. Dan A.R Elvina 1996. Petunjuk memilih Produk Ikan dan Daging
Cetakan I, PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Syukur, A. Moh. 2017. Analisis Rantai Pasokan (Supply Chain) Daging Sapi dari
Rumah Pemotongan Hewan sampai Konsumen di Kota Surakarta. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret.
Yunus, Ahmad, 2012. Sukses Usaha Pembibitan Sapi & Kambing. Pustaka Baru
Press,Yogyakarta.
Zahra Nur Amirah (2015) “Analisis Rantai Pasok Daging Sapi Dari Rumah
Pemotongan Hewan Ciawitali Sampai Konsumen Akhir Di Kota Garut”.PT
Penerbit, Garut.
Medan,
No. Kuisioner :
Pengecer
1. Nama Responden :
2. Jenis Kelamin :
3. Umur (Tahun) :
4. Pendidikan :
1 45 15 12
2 47 12 12
Rata-Rata 46 13,5 12
Biaya Dan Harga, Margin Pemasaran Daging Sapi Di Kota Medan Pada Saluran 1
No Lembaga Biaya Dan Harga (Rp/Kg) Margin Pemasaran (Rp) Efisiensi (%)
Pedagang Besar
Harga Beli 95.000
1 Biaya 3.275 10.000 0,031190476
Keuntungan 6.725
Harga Jual 105.000
Pedagang Pengecer
Harga Beli 105.000
2 Biaya 2.680 5.000 0,024363636
Keuntungan 2.320
Harga Jual 110.000
Total 430.000 15.000
Rata-Rata 53.750 7.500
Sumber: Data Primer Diolah 2018
No Lembaga Biaya Dan Harga (Rp/Kg) Margin Pemasaran (Rp) Efisiensi (%)
Pedagang Besar
Keuntungan 6.725
Total 210.000
Rata-Rata 52.500
Sumber: Data Primer Diolah 2018
Biaya Pemasaran
Jumlah Harga
Jumlah Daging Total Biaya
No Sapi Yang Daging
Sapi Yang Kantong Biaya Pemasaran
Sampel Disembelih Sapi Upah
Diperoleh (Kg) (Rp)
(Ekor) (Rp/Kg) Timbangan Plastik Hd Tenaga Pengandangan Kesehatan
Potong
(Rp/Kg) Pe Kerja (Rp/Kg) (Rp/kg)
(Rp/Kg)
(Rp/Kg) (Rp/Kg)
Total 3 480 285.000 3.375 450 1.500 56.25 131.25 4.500 9.825
Rata-
1 160 95.000 1.125 150 500 18.75 43.25 1.500 3.275
Rata
Rata-
1 160 95.000 1.125 150 18.75 43.25 1.500 2.787
Rata
Biaya Pemasaran
No Jumlah Daging Yang Harga Daging Sapi Total Biaya
Sampel Dibeli (Kg) (Rp/Kg) Pemasaran (Rp)
Timbangan Kantong Plastik Biaya Transportasi
(Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg)
Rata-
110000 120 220 1000 1.340
Rata
Sumber: Data Primer Diolah 2018
Biaya Pembelian
No Jumlah Daging Yang Dibeli Total Biaya Pembelian
Sampel (Kg) Harga Daging Sapi (Rp)
Biaya Transportasi (Rp)
(Rp/Kg)
1 2 105.000 1.000 106.000
2 2 105.000 1.000 106.000
3 3 105.000 1.500 106.500
4 2 105.000 2.000 107.000
5 3 105.000 1.500 106.500
6 2 105.000 1.500 106.500
7 2 105.000 2.500 107.500
8 2 105.000 1.000 106.000
9 3 105.000 1.000 106.000
10 3 105.000 2.000 107.000
Lokasi Penelitian
Dcogan hormat,
Dalam ranglca peoyelesai.an studi dan peoyusunan skripsi di FaJcultas Pcrtanian Universitas Medon
Area. meb bcaama ini kami mohoo k~iun Bapslc/ibu untult dapat memberikan lzin dan
kesempatao kepada mahasiswa lcami atas nama :
Uotuk melalcsanahn Peoc:Utian dan atau Pc:ngambiWl Dala di Pcrusabao Daerah Rwnab PotOQ¥
Hewan untuk kcpeotingso slaipsi bcrjudul ..Allaliti• R.uta.i PaiOk D•&ial S.pi Di Kota Meda.a"
Pcnelitian dan atau Pcogambilan Data Riset ini dil•ksaMkan semata-mo.ta untulc kepentinpn dan
kebutuhan abdemi.k.
•
Alas peahatiao dan blmnaan Bapatklibu diucaphn tcrima hslb;
Tembusan:
v. D-.£! &....:bi .
J. w~~· lnlJ
2. MahasiN"a 1bs
3. Arsip
UNIVERSITAS MEDAN AREA
----------------------------------------------------- Document Accepted 10/30/19
© Hak Cipta Di Lindungi Undang-Undang
-----------------------------------------------------
1. Dilarang Mengutip sebagian atau seluruh dokumen ini tanpa mencantumkan sumber
2. Pengutipan hanya untuk keperluan pendidikan, penelitian dan penulisan karya ilmiah
3. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini dalam bentuk apapun tanpa izin Universitas Medan Area Access From (repository.uma.ac.id)
PEMERINTAH KOTA MEDAN
PERUSAHAAN DAERAH RUMAH POTONG HEWAN KOTA MEDAH
Jl Rumah Potong Hewan Mab11r Talepon • 061 · 6853073
M EOA N RPH MEOAN
SURAT KETER.A,NGAN
Dengan ini meoeraogkan behwa Mah.asiswa Universitas Medan Area yang te!Xbut di bewah ini
Adalah benar telah melakulcan penelitian di PD.Rumab potong Hewan Kota Med11n sejak tanggal
enNopembcr 2018. Dalam l"'llgka penyusunan Slcripsi.
Desember2018
POTONGHEWAN
Cc.Pertinggal