Anda di halaman 1dari 15

Kecacingan (Cestoda)

Kelompok 4

1. Nita Istiqomah 1905015079


2. Marzannah Zulfa 1905015086
3. Suci Ramadhani A 1905015088
4. Nabila 1905015094
5. Umi Kulsum 1905015142
6. Andryani Saffanah Z 1905015149

Kelas 3D
Studi Kasus Penyakit Kecacingan (Cestoda)

Seroprevalensi Bovine Cysticercosis pada Seroprevalensi Positif Sistiserkosis pada Babi


Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat, Indonesia Hutan di Kabupaten Way Kanan, Provinsi
Lampung
❖ Kecacingan merupakan salah satu penyakit
yang masih menjadi masalah Kesehatan
masyarakat di Indonesia yang berhubungan
erat dengan kondisi lingkungan, dengan
prevalensi yang cukup tinggi terutama di
daerah tropis.

❖ Penyebaran penyakit ini adalah


terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur cacing. Infeksi cacing
terjadi bila telur yang infektif masuk ke
melalui mulut Bersama makanan atau
minuman yang tercemar atau melalui
tangan yang kotor.
Definisi dan Penyebab

● Penyakit cacing pita adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing parasit taenia yang termasuk
dalam klasifikasi Cestoda (cacing pipih). Ada dua jenis utama parasit penyebab infeksi cacing
pita: Taenia saginata yang berasal dari sapi dan Taenia solium yang berasal dari babi. Infeksi
ini disebut dengan taeniasis pada manusia.

● Bovine cysticercosis adalah infeksi larva Taenia saginata yang disebut Cysticercus bovis
pada sapi. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit parasit tropis yang terabaikan dan
bersifat zoonosis. Bentuk dewasa dari larva ini berupa cacing pita, menyebabkan taeniasis
pada manusia. Untuk kelangsungan hidupnya, cacing pita memerlukan manusia sebagai
inang definitif dan ternak sapi sebagai inang antara. Cacing pita T. saginata ditemukan pada
usus manusia, sementara bentuk larva atau kistanya yaitu C. bovis menginfeksi otot sapi.

● Sistiserkosis adalah infeksi larva Taenia solium pada babi, penyakit ini merupakan parasit
zoonotic. Babi hutan merupakan inang antara T. solium selain babi domestik yang merupakan
sumber infeksi Cysticercus cellulosae (C. cellulosae) bagi manusia yang menyebabkan
terjadinya sisterkosis. Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan
gangguan kesehatan, sedangkan infeksi C. cellulosae pada manusia menimbulkan gangguan
kesehatan yang fatal.
Siklus hidup cacing pita T. saginata dan T. solium
Seroprevalensi Bovine Cysticercosis pada Sapi
Bali di Nusa Tenggara Barat, Indonesia
Analisis Situasi Data
Penyebaran kejadian infeksi sistiserkosis dibuat berdasarkan asal sapi yang
serumnya terdeteksi positif. Prevalensi kejadian infeksi C.bovis ini di tetapkan
dengan persentase menggunakan analisis point prevalence berdasarkan hasil uji
ELISA.

Teknik biokimia yang digunakan


terutama pada imunologi untuk
mendeteksi kebenaran antibody
atau antigen dalam sampel.
Berdasarkan tabel dibawah, dari total 92 serum sapi yang diperiksa dengan uji ELISA,
diketahui bahwa 4 diantaranya terdeteksi antibody terhadap C. bovis. 3 serum berasal dari
pulau Lombok, yaitu 2 dari Lembar dan 1 dari Gerung. Sementara 1 lagi dari Plampang,
Pulau Sumbawa. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa prevalensi bovine cysticercosis
Tabel 1. Hasil adalah
pemeriksaan 4,35%.
serologi ELISA terhadap antibodi Cyticercus bovis pada serum sapi
bali asal Nusa Tenggara Barat

Lombok Lembar 36 2 5,55 34 94,50


Gerung 13 1 7,69 12 92,30

Jakem 1 0 0 1 100

Sumbawa Labuhan Badas 2 0 0 2 100


Empang 3 0 0 3 100

Plampang 4 1 25,00 3 75,00

Lape, 6 0 0 6 100
Penyebaran penyakit parasite ini meliputi Desa
Moyo Hulu 15 0 0 15 100 Lembar dam Desa Gerung di pulau Lombok serta
Moyu Utara 6 0 0 6 100 Desa Plampang di Pulau Sumbawa. Lalu dari hasil
Moyo Hilir 6 0 0 6 100
penelitian ini dapat dibuat peta penyebaran penyakit
di wilayah Nusa Tenggara Barat untuk kepentingan
Total 92 4 4,35 88 95,65
menyusun strategi penganggulangan di wilayah
tersebut.
Pengambilan Sampel Spesimen

Pengambilan sampel darah pada sapi bali yang dipelihara peternak


melalui vena jugularis . Sampel darah yang diambil akan disentrifus
untuk menghasilkan serum, dan kemudian disimpan dalam suhu -20°C.
Seroprevalensi Positif Sistiserkosis pada Babi Hutan
di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung

Analisis Situasi Data

Data diberikan kepada pemburu babi hutan dan masyarakat yang


melakukan perburuan babi hutan dalam bentuk kuesioner.
Kuesioner tersebut meliputi karakteristik pemburu, manajemen
berburu, dan pola hidup pemburu. Lalu data hasil pengujian ELISA,
hasil wawancara kuesioner, dan pengamatan lapangan dianalisis
secara deskriptif.

Dari wawancara dan pengamatan lapangan diperoleh informasi bahwa babi hutan hasil hutan
biasanya dipotong dirumah penduduk bukan di tempat pemotongan hewan sehingga
pemeriksaan daging tidak pernah dilakukan. Lalu infkesi sistiserkosis pada babi hutan
biasanya disebabkan karena terjadinya kontak dengan masyarakat sekitar yang terinfeksi.
Dan babi hutan yang banyak dikonsumsi masyarkat memiliki risiko penularan kemanusia.
Jenis Hasil
Jumlah Prevalensi
No. Kecamatan asal kelamin
sampel Positif Negatif (%)
(J/B)
1. Banjit 87 41/46 1 86 1.15
2. Blambangan Umpu 13 3/10 0 13 0
Total 100 44/56 1 99 i

Berdasarkan tabel di atas, hasil pengujian ELISA terhadap 100 serum babi hutan yang berasal dari
2 kecamatan diperoleh seropositive sebanyak 1 sampel (1%). Sampel babi seropositive berasal
dari Kecamatan Banjit dengan jenis kelamin betina.
Sistiserkosis di Kabupaten Way Kanan tidak hanya ditemukan pada babi hutan, tetapi jg ada pada
babi peliharaan dengan seroprevalensi 1,78%. Seropositif pada babi peliharaan ditemukan di
Kecamatan Negeri Agung dan Kecamatan Pakuan Ratu, sedangkan seropositif pada babi hutan
ditemukan di Kecamatan Banjit.
Pengambilan Sampel Spesimen
Sampel yang diambil dari specimen merupakan darah segar dari babi hutan yang keluar
saat terkena jerat. Serum babi hutan yang dikumpulkan sebanyak 100 sampel. Sampel
darah yang telah diambil dimasukkan kedalam tabung venoject dan kemudian disimpan dan
didiamkan sampai serum terpisah. Serum yang terbentuk kemudian diambil dan dimasukkan
kedalam microtube dan disimpan dalam suhu -20°C sebelum dilakukan analisis serologi.
Faktor-faktor yang mepengaruhi

Lingkungan Budaya
Sistem sanitasi yang buruk, peliharaan/ Masyarakat masih banyak yang
ternak yang tidak dikandangkan dengan memasak air sumber utamanya
baik. adalah air sungai dan mata air.
Pengolahan air untuk keperluan
minum dapat menjadi sumber
penyakit apalagi ditunjang oleh
Hygine sanitasi
kebiasaan membuang air besar
Kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan mandi, di sungai dan hewan ternak babi
kebiasaan buang air besar, jenis pekerjaan, yang tidak di kandangkan dapat
mengolah makanan yang kurang matang serta memakan kotoran manusia yang
kebiasaan makan yang kurang sehat. terinfeksi penyakit sisterkosis.
Upaya Pengendalian dan Pencegahan

● Sistiserkosis kadang-kadang dapat dideteksi pada otot di sekitar pipi dan pada lidah sapi dengan
melakukan palpasi, teraba adanya benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskuler.
● Menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati dan mencegah kontaminasi tanah dengan tinja manusia.
● Menjaga kebersihan diri seperti Selalu cuci tangan dengan baik sebelum makan, menyajikan, dan
mengolah makanan.
● Menjaga kebersihan lingkungan rumah dan sekitar bila memelihara hewan peliharaan atau ternak.
Pastikan kotorannya tidak mencemari area kegiatan sehari-hari.
● Cuci bersih semua bahan makanan mentah sebelum diolah dan disajikan. Gunakan larutan garam atau
cairan pembersih untuk buah dan sayuran bila diperlukan. Lalu siram bahan makanan dengan air mengalir.
● Memasak daging hingga matang sepenuhnya di suhu yang aman. Kalau memungkinkan, termometer
makanan harus digunakan untuk mengukur suhu dalam daging yang dimasak. Jangan mencicipi daging
jika belum matang.
● United States Department of Agriculture (USDA) merekomendasikan sejumlah hal berikut sebagai cara
mengolah daging yang benar:
✓ Untuk potongan daging utuh (tidak termasuk daging unggas): Masak sampai setidaknya daging
bersuhu 63°C yang diukur dengan termometer makanan yang ditusukkan di bagian daging yang paling
tebal. Lalu diamkan dagingnya sebentar selama tiga menit sebelum dikonsumsi.
✓ Untuk daging cincang (tidak termasuk daging unggas): Masak sampai setidaknya daging bersuhu
71°C. Daging cincang tidak memerlukan waktu istirahat sebelum dikonsumsi.
Referensi

Dharmawan, N, S., Damriyasa, I. M., & Mahardika, I. G. (2018). Seroprevalensi Bovine


Cysticercosis pada Sapi Bali di Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Jurnal Veteriner. 19(2). 161-
168

Yulianto, H., Satrija. F., Lukman, D. W., & Sudarwanto, M. (2015). Seroprevalensi Positif
Sistiserkosis pada Babi Hutan di Kabupaten Way Kanan, Provinsi Lampung. Jurnal Veteriner.
16(2). 187-195
THANK
YOU

Anda mungkin juga menyukai