Anda di halaman 1dari 6

TINGKAT PREVALENSI INFEKSI CACING TREMATODA PADA SAPI BALI

BERDASARKAN KONDISI WILAYAH DI PROVINSI BALI

( LEVEL OF PREVALENCE OF TREMATODA WORM INFECTION IN BALI COW


BASED ON TERRITORY CONDITIONS IN BALI PROVINCE )

Rani Utami Putri1, Ida Ayu Pasti Apsari2, Ida Bagus Made Oka3
1
Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, 2 Laboratorium Parasitologi,
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
E-mail: raniutamiputri17@gmail.com

ABSTRAK
Sapi Bali sebagai salah satu bangsa sapi asli Indonesia yang memiliki beberapa keunggulan-
keunggulan yaitu mampu bertahan hidup dalam cuaca yang kurang baik, dapat memanfaatkan
pakan dengan kualitas yang rendah dan tahan terhadap cacing parasit. Faktor yang
menyebabkan adanya infeksi cacing Trematoda pada sapi bali dikarenakan pengaruh kondisi
lingkungan, iklim, suhu, dan sistem pemeliharaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat prevalensi infeksi cacing Trematoda pada sapi bali berdasarkan kondisi wilayah dataran
tinggi, rendah, basah, dan kering di provinsi Bali. Dalam penelitian ini bahan yang digunakan
adalah feses sapi bali yang masih segar atau feses yang baru dikeluarkan sebanyak 350 sampel.
Pengambilan sampel feses sapi bali diambil ± 20 gram kemudian dimasukkan kedalam kantong
plastik ukuran 1 kg yang sudah diberi label dan kalium bicromat sebanyak 2%. Pemeriksaan
sampel feses dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana.
Kata kunci: sapi bali, parasit, trematoda, prevalensi

ABSTRACT

Cattle as one of the native Indonesian cattle nation which has several advantages that are able
to survive in unfavorable weather, can utilize feed quality that is low and resistant to worms.
parasite. Factors that cause Trematoda worm infections in Bali cattle are due to the influence
of environmental conditions, climate, temperature, and maintenance systems. This study aims
to determine the prevalence of Trematoda worm infections in Bali cattle based on the
conditions of the highlands, lowlands, wet and dry areas in the province of Bali. In this study
the material used was fresh Balinese cattle feces or 350 new samples that were excreted.
Sampling of bali cattle feces was taken ± 20 grams then put into a 1 kg plastic bag that has
been labeled and potassium bichromate as much as 2%. Stool sample examination was
conducted at the Laboratory of Parasitology, Faculty of Veterinary Medicine, Udayana
University.
Keyword: Bali cattle, parasites, trematodes, prevalence
PENDAHULUAN
Sapi bali merupakan sapi murni asal Indonesia yang tersebar luas diseluruh wilayah
Indonesia. Sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos Banteng). Sapi bali
memiliki banyak keunggulan dibandingkan sapi lainnya yaitu memiliki daya adaptasi terhadap
lingkungan yang sangat tinggi, misalnya dapat bertahan hidup dalam cuaca yang kurang baik,
dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas yang rendah dan tahan terhadap parasit external
maupun internal (Handiwirawan, 2004).

Bagi negara yang beriklim tropis seperti Indonesia, keadaan cuaca yang panas, sangat
kering atau lembab sering mempengaruhi status kesehatan hewan. Variasi perubahan cuaca
akan mempengaruhi fluktuasi prevalensi penyakit yang dalam kondisi tertentu dapat mencapai
titik intensitas yang sangat tinggi maupun sangat rendah. Bila suhu dan kelembapan udara
sangat tinggi, prevalensi kejadian penyakit dapat berkembang dan meningkat, sehingga
kesehatan hewan tidak dapat dipertahankan lagi keseimbangannya (Kamaruddin et al., 2005).
Faktor utama terjadi peningkatan penyebaran penyakit parasit terutama Trematoda karena
pengaruh topografi, geografis, kondisi lingkungan, temperatur, kepadatan kandang, kelompok
umur, penanganan yang tidak tepat dan pola pemeliharaan yang tidak sesuai dalam upaya
memutuskan siklus hidup cacing (Kadarsih dan Siwitri, 2004; Bhattachryya and Ahmed, 2005).
Berdasarkan perbedaan dataran tinggi dan rendah dapat mempengaruhi infeksi parasit pada
sapi Bali. Suhu dan kelembapan pada suatu daerah juga memiliki pengaruh besar terhadap
kelangsungan hidup cacing.

Parasit adalah hewan renik yang dapat menurunkan produktivitas hewan yang
ditumpanginya. Parasit dapat menyerang manusia dan hewan (Badan Pusat Statistik, 2010).
Parasit juga dapat menjadi vektor parasit lain atau dapat mempermudah masuknya agen
patogen lain dalam tubuh hewan. Cacing adalah salah satu bentuk parasit. Kerugian akibat
penyakit cacing, antara lain: penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit dan
jerohan, penurunan produktivitas ternak sebagai tenaga kerja pada ternak potong dan kerja,
penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia (Rahayu,
2010).

Prevalensi infeksi cacing trematoda pada sapi bali cukup tinggi, Putra (2002)
menyatakan prevalensi infeksi cacing trematoda pada sapi bali di kecamatan Kuta adalah
sebesar 61,5%. Sementara itu, di Desa Sobangan Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung –
Bali dilaporkan 18% (Putra, 2002). Diah (2002) melakukan penelitian pada sapi bali siap
potong yang diobservasi di Balai Karantina Hewan Ngurah Rai Denpasar, didapat prevalensi
cacing trematoda sebesar 38,50%. Secara umum sapi akan tertular cacing trematoda melalui
makanan yang mengandung metaserkaria, kecuali pada Schistosoma yang cara penularannya
melalui sercaria yang langsung menembus kulit. Distribusi Prevalensi cacing trematoda pada
Sapi Bali dari beberapa Kabupaten/ Kota di Provinsi Bali adalah sebagai berikut : di Kabupaten
Tabanan sebesar 41,6% , Kab. Badung sebesar 8,7%, dan Kab. Karangasem sebesar 19,6%.
(Mastra et al., 2015).

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan di atas, infeksi cacing trematoda yang
memiliki tingkat kerugian ekonomi yang cukup besar pada peternakan sapi sehingga peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Tingkat Prevalensi Infeksi Cacing Trematoda
pada Sapi Bali Berdasarkan Kondisi Wilayah di Provinsi Bali”.

MATERI DAN METODE


1. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi bali yang masih segar atau
feses yang baru dikeluarkan sebanyak 350 sampel, yang berasal dari empat wilayah yang
ditentukan secara purposiv sampling berdasarkan perbedaan topografi dan kondisi iklim
lingkungan. Bahan lain yang digunakan adalah larutan kalium bicromat, aquades, serta larutan

garam inggris (MgSO4).


2. Peralatan yang Digunakan


Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mikroskop, objek glass, cover
glass, tabung centrifugase, centrifugator, sendok plastik, gelas beker, pipet pasteur, alat
penyaring teh, kertas, pulpen, kerta label, tusukan sate serta saringan teh.

3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional. Penelitian ini dilakukan secara cross-
sectional dengan memperhatikan faktor resiko seperti kondisi wilayah untuk mengetahui
prevalensi cacing trematoda berdasarkan wilayah dataran tinggi rendah, basah, dan kering di
provinsi Bali.
4. Jumlah Sampel
Penentuan besaran sampel dilakukan dengan menggunakan rumus (Selvin, 2004) :

𝟒 𝑷. 𝑸
𝒏=
𝑳𝟐

Keterangan : n : besaran sampel feses sapi yang diambil

P : perkiraan prevalensi cacing trematoda (27%)

Q : ( 1 – perkiraan Prevalensi )

L : tingkat kesalahan (5%)

maka :

4 (0.27)(1 − 0.27)
𝑛=
( 0.05 )2

(1,08) (0,73)
𝑛= 0,0025

0.7884
𝑛= 0,0025

n = 315,36 = 316 sampel feses ( sampel minimal)

Dari rumus diatas maka minimal sampel yang diambil yaitu sebanyak 316 sampel feses
sapi bali. Pada penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak 350 sampel.

5. Prevalensi
Prevalensi yang ditemukan dapat dihitungan dengan menggunakan rumus (Budiarta, 2002)
:

∑ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 ( 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑓𝑒𝑘𝑠𝑖 )


𝑝𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = × 100%
∑ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑘𝑒𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ𝑎𝑛

6. Variabel Penelitian
 Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur, iklim, suhu, sistem pemeliharaan,
serta wilayah tinggi rendah basah, dan kering.
 Variabel terikat dalam penelitian ini adalah prevalensi infeksi cacing trematoda pada
sapi bali.
 Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah sapi bali yang dipelihara secara semin
intensif.
7. Pengambilan Sampel
Sampel feses sapi bali diambil ± 20 gram, kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik
ukuran 1 kg yang sudah diberi label dan kalium bicromat sebanyak 2%. Sampel feses yang
diambil adalah feses yang masih segar dan baru keluar.

8. Pemeriksaan Sampel Feses


Pemeriksaan feses dilakukan dengan metode konsentrasi pengapungan menggunakan gula
sheater. Sebanyak 3 gram feses dimasukkan ke dalam gelas beker, dan ditambahkan air sampai
konsentrasinya 10%, saring untuk menyingkirkan bagian yang berukuran besar. Filtrat
dimasukkan kedalam tabung sentrifuge sampai ¾ volume tabung, sentrifuge dengan kecepatan
1.500 rpm selama 3 menit. Supernatan dibuang dengan cara dituangkan, ditambahkan larutan
pengapung sampai ¾ volume tabung, aduk hingga homogen, dimasukkan lagi kedalam
sentrifugator dan disentrifuge dengan kecepatan 1.500 rpm selama 3 menit. Tabung sentrifuge
selanjutnya ditaruh pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus, ditambahkan cairan
pengapung secara perlahan sampai permukaan cairan cembung (penambahan cairan
pengapung tidak boleh sampai tumpah). Ditunggu selama 2 menit dengan tujuan memberikan
kesempatan telur cacing untuk mengapung kepermukaan. Gelas penutup disentuhkan pada
permukaan cairan pengapung, setelah itu tempelkan di atas gelas objek dan periksa dengan
mikroskop pembesaran obyektif 40X (Zajac dan Conboy, 2012).

9. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif dan analisis khi-
kuadrat ( Sampurna dan Nindhia, 2011) untuk mengetahui hubungan antara pengaruh kondisi
wilayah dataran tinggi, dataran rendah, basah, dan kering dengan Prevalensi infeksi cacing
Trematoda pada Sapi Bali di Provinsi Bali.

10. Lokasi dan Waktu Penelitian


Pemeriksaan sampel feses dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana. Waktu pemeriksaan dilaksanakan pada bulan November 2019 -
Januari 2020.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Pekanbaru dalam angka. 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Kota Pekanbaru dan Badan Pusat Statistik Kota Pekanbaru, Pekanbaru.
Bhattachryya DK and Ahmed K. 2005. Prevalence of helmintic infection in cattle and buffaloes.
Indian Vet. J. 82: 900-90.
Diah, N.W. 2002. Prevalensi Infeksi Trematoda Pada Sapi Bali Yang Diobservasi Di Balai
Karantina Hewan Ngurah Rai. Universitas Udayana.
Handiwirawan, E dan Subandriyo. 2004. Potensi dan Keragaman Sumberdaya Genetik Sapi Bali.
Wartazoa Vol. 14 No. 3 : 107-115.
Kadarsih, S. 2004. Performans Sapi bali bedasarkan ketinggian tempat di daerah transmigrasi
Bengkulu : I Performans pertumbuhan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 6 (1): 50-56
Kamaruddin, M., Fahrimal Y., Hambal M. dan Hanafiah M. 2005. Buku Ajar Parasitologi
Mastra, I. K., Arsani, N. M., Nurlatifah, I., Sutawijaya, I. M., & Yunanto. (2015). Surveilan Dan
Monitoring Parasit Gastro Intestinal Di Propinsi Bali, Nusa Tenggara Barat Dan Nusa
Tenggara Timur Tahun 2015. Balai Besar Veteriner, 79-90
Putra, I.N.G.A. 2002. Prevalensi Cacing Trematoda Pada Sapi Bali Di Kecamatan Kuta.
Universitas Udayana.
Rahayu, I.D. 2010. Penyakit parasit pada ruminansia. http://imbang.staff.umm.ac.id/?cat=44.
Diakses tanggal 20 Desember, 2019.
Sampurna, P. Nindhia, S. 2011. Metode ilmiah dan Rancangan Percobaan. Udayana University
Press.
Selvin S. 2004. Statistical analysis of epidemiology data. London (UK): Oxford University Pres.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitologi. Ed ke-8. West Sussex (UK):
John Wiley & Sons Inc

Anda mungkin juga menyukai