Anda di halaman 1dari 9

PENYAKIT PADA TERNAK BABI

DISUSUN OLEH:
1. Ayu Sekar Kencana
2. Bintang Apriansyah
3. Mellya Ginta
4. Zukhruf Saka Alqisti

Guru Pembimbing : Merry Indriani, S.Pd , M.Pd

PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA SELATAN


DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN EMPAT LAWANG
SMA NEGERI 1 TEBING TINGGI
“MAJU BERSAMA, HEBAT SEMUA”
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Besar
Muhammad SAW beserta para sahabatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal
penelitian ini dengan judul “Penyakit Pada Ternak Babi”.
Kami menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan sangat berguna agar pada penulisan
selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Semoga proposal penelitian ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Wassalamu’ailaikum Wr. Wb
Tebing Tinggi, Januari 2020

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN
2.1 METODE PENELITIAN
2.2 KAJIAN PUSTAKA

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Babi adalah salah satu hewan ternak yang diminati untuk dipelihara oleh masyarakat. Hal
tersebut disebabkan babi dapat dimanfaatkan daging, kulit dan rambutnya (Sumarsongko,
2009). Usaha peternakan babi merupakan bagian kebudayaan dalam kehidupan masyarakat di
beberapa daerah di Indonesia khususnya Bali. Secara tradisional ternak babi memiliki peran
penting di dalam kegiatan keagamaan, adat dan sosial. Disamping itu, ternak babi juga
merupakan sumber protein utama yang memiliki kandungan asam amino lebih lengkap dan
salah satu usaha rumah tangga yang penting sebagai sumber penghasilan (Ratundima et al.,
2012).

Hal tersebut menjadi faktor utama meningkatnya peternakan babi di masyarakat. Ternak babi
dan atau produk olahannya cukup potensial sebagai komoditas ekspor nasional. Berdasarkan
data statistik peternakan tahun 2010, populasi ternak babi tertinggi terdapat di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (1.637.351 ekor), Bali (930.465 ekor), Sumatera Utara (734.222 ekor),
Sulawesi Selatan (549.083 ekor), Papua (546.696 ekor), Kalimantan Barat (484.299 ekor),
Sulawesi Utara (332.942 ekor), Bangka Belitung (268.220 ekor), Sulawesi Tengah (215.973
ekor), Kepri (185.663 ekor) (Luthan, 2011). 2 Setiap tahunnya, pemotongan babi juga
meningkat rata-rata 5,4% (anneahira.com tahun 2013). Di Bali, peternakan babi sangat
berperan sebagai sumber bahan pakan asal hewan. Modal yang digunakan untuk beternak
babi relatif lebih murah dibandingan dengan modal yang diperlukan untuk beternak hewan
potong besar lainnya.

Selain itu, babi merupakan ternak yang cepat berkembang biak karena menghasilkan banyak
anak yang lahir dari satu kelahiran dan dalam satu tahun dapat terjadi dua kali beranak
(Parakkasi,1990), sehingga masyarakat cenderung memilih untuk beternak babi. Umumnya
masyarakat yang beternak babi secara tradisional memiliki pengetahuan yang masih kurang
mengenai masalah manajemen, kesehatan, pakan, serta perkandangan. Hal tersebut
menyebabkan sering dijumpai masyarakat yang mengalami kegagalan dalam beternak babi,
terutama terkait dengan masalah kesehatan atau penyakit ternaknya (Dharmawan, 2013).
Memiliki pengetahuan tentang penyakit yang sering muncul akan sangat membantu dalam
mengambil tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit (Sihombing, 2006). Adapun
penyakit yang dapat menyerang babi diantaranya: hog cholera, streptococcosis,
salmonellosis, maupun kolibasilosis (Doyle dan Dolares, 2006).

Hog cholera adalah penyakit viral pada babi yang bersifat menular dan berakibat fatal serta
memiliki tingkat kematian 100% pada daerah wabah baru (Ratundima et al., 2012). Penyakit
ini disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus, familia Flaviviridae, yang menyerang babi
dari segala umur (Sarosa et al., 2004). Babi liar atau babi hutan mempunyai peranan yang
sangat penting sebagai hospes yang aman bagi virus untuk tetap bertahan dalam suatu lokasi
dan merupakan 3 sumber penularan bagi babi piaraan (Tarigan et al., 1997). Hog cholera
merupakan penyakit yang menjadi prioritas utama secara nasional dalam pengendalian dan
pemberantasan, disamping penyakit Rabies, Avian Influenza, Brucellosis dan Anthrax
(Dirjen Peternakan, 2007).

Hog cholera dapat ditemukan di negara-negara Afrika Timur, Afrika Tengah, Cina, Asia
Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, Mexico dan Amerika Selatan (Edward et al., 2000). Di
Indonesia, hog cholera dilaporkan pertama kali pada tahun 1994 terjadi di pulau Sumatra dan
secara bertahap menyebar ke Jawa awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun
1995 dan Papua tahun 2004 (Daff, 2008). Kasus kematian ternak babi yang terjadi pada tahun
1994 sampai dengan tahun 1996, merupakan pukulan berat bagi para peternak babi. Penyebab
utama kematian babi pada saat itu adalah infeksi virus hog cholera (Supar, 1997). Penyakit
ini cepat menyebar dan sulit dikendalikan karena virus persistensi di dalam limfosit dalam
periode yang sangat lama. Di samping itu, hog cholera menyebabkan imunosupresif (Dunne,
1975) yaitu kondisi di mana sistem kekebalan tubuh terdepres sehingga memudahkan
masuknya agen-agen patogen lainnya.

Hog cholera merupakan penyakit menular terpenting dan berdampak ekonomi tinggi di
seluruh dunia (Fenner et al., 1993). Program pengendalian penyakit melalui program
vaksinasi dan pemusnahan memerlukan biaya yang 4 besar. Pengendalian wabah
membutuhkan biaya sampai 2,3 miliyar USD (CFSPH, 2007). Pencegahan yang efektif untuk
mengatasi penyakit hog cholera adalah vaksinasi dan stamping out (Subronto, 2003). Selain
itu, pencegahan dan pemberantasan penyakit dapat pula disertai dengan tindakan zoo sanitasi
dan penerapan tindakan polisi veteriner (Terpstra, 1991).

Vaksinasi dilakukan untuk mengurangi jumlah wabah pada daerah enzootik dan vaksinasi
dilarang pada daerah yang bebas dari penyakit hog cholera. Vaksinasi yang telah dilakukan
perlu dikaji dan dievaluasi melalui pemeriksaan titer antibodi dari babi yang telah divaksin
(Ratundima et al., 2012). Titer antibodi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu jenis antigen
vaksin yang digunakan dan maternal antibodi pra-vaksinasi. Penelitian ini menggunakan dua
vaksin hog cholera aktif yaitu strain C tipe A dan strain C tipe B.

Vaksin hog cholera diinjeksikan kepada babi umur 3 minggu dan titer antibodi dari babi yang
divaksinasi dengan strain C tipe A dibandingkan dengan titer antibodi dari babi yang
divaksinasi dengan strain C tipe B. Perbandingan titer antibodi dari babi tersebut bertujuan
untuk mengetahui protektivitas dari vaksin hog cholera yang telah diberikan.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan produktivitas titer antibodi
antara vaksin hog cholera strain C tipe A dengan vaksin hog cholera strain C tipe B.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah penelitian adalah
bagaimana produktivitas titer antibodi babi terhadap hog cholera yang divaksin dengan
vaksin hog cholera strain C tipe A dan vaksin hog cholera strain C tipe B ?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Metode Penelitian

Pada penelitian ini digunakan dua vaksin aktif yang berbeda. Pengambilan sampel darah
diambil dari 64 anak babi umur tiga minggu pada saat vaksinasi dan bertueut-turut dua
minggu, tiga minggu setelah vaksinasi. Titer abtibodi sebelum vaksinasi dan sesudah
vaksinasi dideteksi dengan menggunakan metode Elisa sesuai dengan yang tertera pada
PrioCHECK CSFV Ab Elisa Kit. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
proportional competition SPSS Statistic for window.

Interpretasi hasil menggunakan proportional competition (%PC). Proportional competition


(%PC) sampel dihitung menggunakan rumus %PC = (rata-rata OD serum negative – OD
serum sampel) atau (OD serum negative – serum positive) x 100. Apabila %PC > 40 : positif
dan < 40 : negatif.

2.2 Kajian Pustaka

Rataan hasil uji Elisa pada anak babi betina umur tiga mnggu yang divaksinasi dengan vaksin
Ihog cholera Istrain C tipe A adalah 37,79 ± 23,22 yang divaksinasi dengan vaksin hog
cholera strain C tipe B adalah 53,11 ± 25,22, sedangkan rata-rata hasil uji Elisa anak babi
yang tidak divaksinasi adalah 85,19 ± 14,45.

Titer antibodi yang dihasilkan dari vaksinasi dengan vaksin hog cholera strain C tipe A
menunjukkan bahwa 11 dari 24 (45,8%) bersifat protektif dan 13 dari 24 (54,25%)
nonprotektif, sedangkan titer antibodi yang dihasilkan dari vasninasi dengan vaksin hog
cholera strain C tipe B menunjukkan bahwa 14 dari 24 (58,3%) bersifat protektif dan 10 dari
24 (41,7%) nonprotektif.

Variasi nilai persentase hambatan (PI) titer antibodi anak babi betina umur tiga minggu yang
divaksin strain C tipe A sebesar37,79 ± 23,22 (45,8%) dan starin C tipe B sebesar 52,11 ±
25,22 (58,3%) terhadap hog cholera tidak berpengaruh nyata (P.0,05), sedangkan pada saat
pengambilan sampel sangat berpengaruh nyata (P,0,01) terhadap persentase hambatan (PI)
antibodi. Hal tersebut menunjukka bahwa vaksin hog cholera strain C tipe A dan starin C tipe
B mempunyai potensi yang sama dalam hal mempertahankan tubuh babi dari penyakit
tersebut.

Hal ini disebabkan vaksin sama-sama merupakan vaksin hidup modifikasi yang diproduksi
dari teknologi kultur jaringan. Disamping itu, antigen yang terkandung dalam kedua jenis
vaksin yang diaplikasikan dalam penelitian ini merupakan antigen virus gelur China dengan
proses yang telah emenuhi standar persyaratan OIE.

Keberhasilan program vaksin ditentukan oleh pemahaman manajemen peternakan, status


penyakit endemi ataupun epidemi, pemilihan dan penanganan vaksinasi, penanganan ternak
pasca vaksinasi, dan status titer antigen dan antibodi (Darjono, 1996; Bratawidjaja, 2006).

Adapun faktor penyebab kegsgslsn vaksinasi salah satunya adalah terkait antibodi maternal
dan kemampuan membentuk antibodi pada anak babi tersebut. Antibodi maternal adalah
antibodi yang berasal dari induk yang diturunkan kepada anak, dengan kata lain merupakan
imunitas pasif. Vaksinasi yang dilakukan pada saat antibodi maternal masih protektif dalam
darah, maka vaksin yang diberikan akan menjadi percuma karena vaksin akan dinetralisir
oleh antibodi maternal. Kemungkinan ini dapat terjadi dengan melihat titer antibodi hasil uji
Elisa pada pra-vaksinasi yang sangat tinggi dibandingkan titer antibodi yang dihasilkan post
vaksinasi.

Keadaan stres juga dapat mempengaruhi sistem imun dan menurukan respon terhadap vaksin.
Pada keadaan stres akan terjadi penurunan sintesis sitokin sel T Helper tipe 1 termasuk
interferon-g (IFN-g), dan peningkatan sitokin sel T Helper tipe 2 termasuk interleukin 10 (IL-
10). Sehingga dipercaya bahwa stres akan menyebabkan penurunan sitokin sel T Helper 1
yang akhirnya mengacaukan respon imunitas seluler (Seoroso, 2007). Sres merupakan faktor
immunosuppressive yang dapat menghambat pembentukan titer antibodi dan menyebabkan
reaksi post vaksinasi yang berlebihan (Hilma, 2010: Putra ef al, 2009).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa vaksin hog cholera strain C tipe A dan vaksin
hog cholera strain C tipe B memiliki protektivitas yang sama dalam pembentukan antibodi
pada anak babi.

3.2 Kritik dan Saran

Untuk mencegah infeksi hog cholera pada peternakan babi dapat dilakukan dengan vaksinasi
menggunakan hog cholera strain C.
DAFTAR PUSTAKA

https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1009005083-2-bab%20I.pdf

https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/0efe36ebeafa8e6615c5a53eb4
92659a.pdf

https://ojs.unud.ac.id/index.php/imv/article/view/26686/17239

http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/58361

http://civas.net/cms/assets/uploads/2019/09/Road-Map-Nasional-Pemberantasan-Hog-
Cholera.pdf

Anda mungkin juga menyukai