PENDAHULUAN
Hog cholera adalah penyakit infeksius penting pada babi yang disebabkan oleh
virus classical swine fever virus (CSFV), genus Pestivirus dan famili Flaviviridae
(Ratundima et al., 2012). Penyakit ini masuk dalam daftar A penyakit OIE karena
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang hampir mencapai 100% (Moennig,
2000), sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternaknya. Saat
wabah hog cholera terjadi di Bali, dilaporkan bahwa Case Fatality Rate (CFR)
mencapai 62,94% dan kasus tertinggi terjadi pada anak babi yang berumur kurang
dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas 88,15% serta mortalitas 78,88% atau CFR
Sejak pertama kali diidentifikasi di USA pada tahun 1833, hog cholera
menyebar di hampir seluruh dunia kecuali Amerika Utara dan beberapa negara di
Eropa. Sebagian besar wabah hog cholera terjadi di benua Asia terutama Cina, India
dan negara-negara Asia Tenggara. Hog cholera di Indonesia pertama kali dilaporkan
tahun 1994 di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar ke Pulau Jawa pada awal
tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan akhirnya menyebar luas
ke hampir seluruh pulau di Indonesia (Ratundima et al., 2012). Hog cholera di Nusa
Tenggara Timur (NTT) pertama kali masuk di Pulau Sumba dan Pulau Flores pada
1
tahun 1997, namun baru bisa dikonfirmasi di Kota Kupang pada tahun 1998 (Leslie et
al., 2015).
Babi adalah salah satu ternak yang memiliki nilai ekonomi dan sosial budaya yang
penting bagi kebanyakan masyarakat NTT. Data menunjukkan bahwa total populasi
babi yang besar yaitu 1.176.201 ekor (BPS, 2013). Berdasarkan laporan kasus hog
cholera oleh Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2015) pada tahun
2010 terjadi 442 kasus dan terjadi peningkatan pada tahun 2011 hingga mencapai
1088 kasus, namun pada tahun 2012 dan 2013 terjadi penurunan kejadian hog
cholera menjadi 612 dan 347 kasus, kemudian terjadi peningkatan lagi di tahun 2014
dengan jumlah kasus 454. Sebagai daerah dengan tingkat konsumsi daging babi yang
tinggi adanya resiko kematian ternak babi akibat penyakit tentu saja menjadi ancaman
yang serius bagi peternaknya. Sampai dengan saat ini NTT merupakan daerah
endemik hog cholera dengan 15 kabupaten tercatat sebagi daerah endemik hog
cholera. Oleh karena luasnya daerah penularan hog cholera dan efek ekonomi yang
Untuk mengatasi dan meminimalisir resiko hog cholera, salah satu langkah
pencegahan yang efektif adalah dengan melakukan vaksinasi secara rutin (Subronto,
2003). Vaksin aktif strain Cina (C-strain) adalah vaksin yang sering digunakan di
Indonesia. Vaksin ini sangat efektif dalam menginduksi kekebalan dengan cepat dan
2
dapat bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Kekebalan terjadi 1 minggu
setelah vaksinasi ini dan dapat bertahan selama 2-3 tahun (Van oirchot, 2003).
Meskipun vaksinasi hog cholera rutin dilaksanakan di NTT, namun laporan dari
Ratundima et al., (2012) menunjukkan bahwa hanya 51,1% dari 135 sampel serum
pasca vaksinasi hog cholera yang menunjukkan adanya pembentukan antiobodi yang
protektif terhadap hog cholera di NTT. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan
faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi antara lain rute vaksinasi, umur
hewan saat divaksin, status imunitas, nutrisi, status kesehatan hewan serta jenis
vaksin dan teknik aplikasi vaksinasi (Wunderli et al., 2003; Mansfield et al., 2004).
Selanjutnya, menurut Dewoto dan Wardini (2007) defisiensi vitamin B12 akan
dan kelainan neurologik, sehingga berpengaruh terhadap nutrisi dan status kesehatan
hewan. Telah dilaporkan bahwa kekurangan vitamin B12 juga dapat menyebabkan
penekanan respon imun protektif terhadap virus dan bakteri pada hewan coba
(Vellema et al., 1996). Menurut Sakane et al., (1982) vitamin B12 berperan penting
bagi sistem imunitas terutama dalam peningkatkan proliferatif sel T dan sintesis
meningkatkan titer antibodi pasca vaksinasi hog cholera dan pengaruhnya terhadap
profil leukosit babi pasca vaksinasi. Oleh Karena itulah peneliti tertarik untuk
3
melaksanakan penelitian dengan judul “Potensi Vitamin B12 Sebagai
1. Bagaimana respon titer antibodi terhadap vaksinasi hog cholera pada ternak babi
2. Bagaimana respon titer antibodi terhadap vaksinasi hog cholera pada ternak babi
3. Apakah ada perbedaaan respon titer antibodi terhadap vaksinasi hog cholera pada
ternak babi yang menerima vitamin B12 dan pada ternak babi yang tidak
4. Bagaimanakah profil leukosit babi pasca vaksinasi hog cholera kedua kelompok
tersebut?
2. Mengetahui perbedaan titer antibodi pasca vaksinasi hog cholera pada babi yang
4
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi pemberian vitamin
penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan kajian bagi praktisi
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Etiologi
Hog cholera disebabkan oleh Classical Swine Fever Virus (CSFV) yang
berasal dari Famili Flaviviridae dan Genus Pestivirus (ICTV, 2014). Virus ini
memiliki hubungan kedekatan dengan Bovine Viral Diarrhoea dan Border Disease
(OIE, 2014). CSFV adalah virus rantai tunggal RNA dengan polaritas positif
(Paton dan Greiser, 2003) dengan virion berbentuk hexagonal dan.dikelilingi oleh
1995). Genom RNA nya berperan penting dalam pembentukan empat protein
struktural dan tujuh protein non-struktural (Elbers et al., 1996). Penyakit hog
cholera sangat menular dengan tingkat kematian hampir 100% (Moennig, 2000).
2.1.2 Epidemiologi
Hog cholera pertama kali diidentifikasi di Ohio, USA pada tahun 1833.
Beberapa negara di Eropa Timur, Asia, Rusia, Madagaskar, Amerika Tengah dan
Selatan, Afrika dan Kepulauan Karibia tetap menjadi daerah endemik hog cholera.
OIE mencatat bahwa ada lebih dari 60 negara didunia yang mengalami wabah hog
6
Gambar 1. Peta distribusi Hog cholera di dunia (OIE, 2014)
Hog cholera di Indonesia dicurigai berasal dari Malaysia dan dilaporkan untuk
pertama kali di Sumatra Utara pada tahun 1994 (Leslie et al., 2015) menyebar ke
Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 sampai ke
7
Hog cholera pertama kali masuk ke wilayah NTT pada tahun 1997 di Pulau
Sumba dan Pulau Flores, namun identifikasi dan konfirmasinya baru diperoleh pada
kasus hog cholera di Kota Kupang pada tahun 1998. Sejak itulah NTT masuk dalam
daftar provinsi yang terinfeksi hog cholera seperti pada Gambar 3 (Christie, 2007;
Leslie et al., 2015). Diantara daerah-daerah endemik hog cholera di NTT, prevalensi
tertinggi terjadi di Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Belu dengan prevalensi
26.1% untuk Sumba Timur dan 20.9% untuk Belu. Sampai saat ini ada 15 kabupaten
di NTT yang terinfeksi hog cholera, sedangkan 4 kabupaten lainnya yaitu Ngada,
Manggarai, Sikka dan Ende masih bebas dari hog cholera (DISNAK, 2014).
8
2.1.3 Gejala Klinis
Masa inkubasi dari penyakit ini berkisar 6 sampai 10 hari. Pada beberapa
kondisi lapangan, gejala penyakit dapat muncul pada masa 2 sampai 4 minggu
setelah introduksi virus. Gejala hog cholera akut yang dilaporkan antara lain
konjungtivitis, demam tinggi, anoreksia, diare yang encer berlendir dan berwarna
abu-abu kekuningan, batuk dan sesak nafas. Pada akhir perjalanan penyakit babi
dalam), ataksia dan paresis, kejang-kejang, dan kematian dalam waktu 5 sampai
dengan 15 hari setelah gejala klinik mulai tampak (Gregg, 2002; Fenner et al.,
1991; OIE, 2014). Kasus kronis umumnya babi terlihat kerdil, pertumbuhan badan
terhambat, terdapat lesi pada kulit dan apabila babi dalam posisi berdiri biasanya
badan belakang melengkung dan bertahan sampai lebih 100 hari. Induk babi yang
sedang bunting bila terinfeksi virus hog cholera dapat menyebabkan keguguran,
mumifikasi, malformasi, lahir mati, lahir dalam keadaan lemah dan tremor (Joko
umumnya adalah terjadinya leukopenia yang sering dapat dideteksi sebelum ternak
Swine Fever virus (CSFV) mampu menyebabkan terjadinya infeksi ikutan yang
dapat mengkelirukan gambaran klinis dari hog cholera. Selain gambaran umum
diatas, ternak yang terinfeksi hog cholera juga menunjukkan gejala klinis berupa
9
konstipasi yang diikuti dengan diare. Gejala hog cholera diatas umumnya tampak
pada hampir semua kelas umur. Ternak yang terinfeksi juga dapat menunjukkan
2.1.4 Patogenesis
Pada peternakan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, Classical Swine Fever
Virus (CSFV) lebih cepat menyebar. Jalur utama penularan adalah oronasal
dengan kontak langsung maupun tidak langsung dengan babi yang terinfeksi hog
Selain itu, CSFV dapat pula menular secara vertical dari induk ke anak.
Virus yang menyerang secara akut berada di dalam tubuh penderita selama 10-
20 hari. Kemudian melakukan replikasi di dalam tonsil, masuk ke dalam sel epitel
dari kripte tonsil, meluas ke jaringan limfo retikuler disekitarnya. Virus menyebar
perifer, kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe
Sistem imun adalah sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen. Respon
10
terhadap mikroba dan bahan lainnya. Sistem imun terdiri atas sistem imun alamiah
atau non=spesifik (natural /innate /native) dan didapat atau spesifik (adaptive
/acquired).
non-spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non-spesifik merupakan lini
pertama dalam menghadapi infeksi dan bersifat tidak spesifik karena tidak
ditunjukkan terhadap agen patogen tertentu, sistem imun ini telah ada dan berfungsi
spesifik terdiri dari pertahanan fisik dan mekanik (kulit, selaput lendir, silia saluran
nafas, batuk dan bersin) akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam
kelenjar sebaceus kulit, telinga dan spermin dalam sperma, pertahanan homural
fagosit seperti makrofag dan sel NK (Natural Killer). Sedangkan sistem imun spesifik
mampu mengenali benda yang dianggap asing oleh tubuh. Benda asing yang muncul
akan dikenali dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun. Bila terpajan ulang oleh
benda asing maka akan dikenali dengan lebih cepat dan kemudian dihancurkan.
Respon sistem imun spesifik lebih lambat karena dibutuhkan sensitisasi oleh antigen
namun memiliki perlindungan lebih baik terhadap antigen yang sama. Sistem imun
ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit T yang berasal dari sel progenitor
limfoid.
11
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan
menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B
yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama
antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya. Antigen yang melewati sistem pertahanan non spesifik akan
difagosit oleh makrofag yang berfungsi sebagai Antigen Precenting Cell (APC)
limfosit T. Interaksi APC dengan sel T akan menginduksi limfosit B menjadi sel
Limfosit T berperan pada sistem imun spesifik selular. Fungsi utama sistem imun
spesifik selular adalah pertahanan terhadap bakteri intraselular, virus, jamur dan
parasit. Sel T terdiri atas beberapa subset dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu sel
Th1, Th2, Tdth, CTL atau Tc, Th3 atau Ts atau sel Tr. CD4+ merupakan penanda
bagi sel T helper dan CD8 merupakan penanda dari CTL yang terdapat pada
membran protein sel. Limfosit T tidak menghasilkan antibodi akan tetapi secara
Sistem imun spesifik dapat terjadi secara alamiah dan buatan. Secara alamiah
dibagi menjadi pasif dan aktif. Pasif yaitu pemindahan antibodi atau sel darah putih
yang disensitisasi dari badan yang kebal ke badan non-kebal, seperti melalui plasenta
dan kolostrum dari induk ke anak. Sedangkan aktif yaitu mikroorganisme secara
alamiah masuk ke tubuh dan menimbulkan pembentukan antibodi atau sel yang
tersensititasi. Secara buatan dibagi menjadi pasif dan aktif. Pasif yaitu dengan
12
pemberian serum, antibodi atau antitoksin. sedangkan aktif yaitu ditimbulkan dengan
unsur Co dengan struktur yang mirip derivate porifrin alam lain. Molekulnya terdiri
atas bagian-bagian cincin porifrin dengan satu atom Co, basa dimetilbenzimidazol,
ribose dan asam fosfat. Umumnya senyawa ini dinamakan kobalamin penambahan
Vitamin B12 bersama asam folat sangat penting untuk metabolisme intrasel.
Vitamin B12 dan asam folat dibutuhkan untuk sintesis DNA yang normal. Defisiensi
13
Gambar 4. Struktur vitamin B12 (Bruton, 2006)
dalam imunitas seluler, terutama berhubungan dengan sel CD8+ dan sistem sel NK
sistem kebal. Imunostimulasi adalah suatu cara untuk mempertahankan fungsi sistem
14
Prinsip imunomodulator yaitu suatu zat yang berasal dari bahan biologik atau
2.4 Vaksinasi
Vaksin adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme yang dapat merangsang
dikenali oleh sistem imun (Kayne dan Jepson, 2004) juga merangsang pembentukan
kekebalan terhadap agen penyakit (Tizard, 1988). Vaksin yang baik harus
memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5%
Indonesia telah melakukan vaksinasi hog cholera secara massal dan rutin dengan
kelinci (galur C) atau dilemahkan melalui biakan sel secara berulang-ulang (galur
Japanese GPE dan French Triverval) (Subroto, 2003). Vaksin yang banyak dipakai
15
adalah vaksin hidup galur Cina (Chinese strain) dan GPE- dari Jepang (TerpStra dan
Wensvroot, 1988).
Vaksin aktif hog cholera galur Cina adalah jenis vaksin yang sering digunakan di
negara Eropa dan negara di Asia. Strain ini diperoleh dari isolat virus yang virulen
yang diatenuasi pada kelinci. Vaksin strain cina sangat efektif menginduksi kekebalan
terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (Van Oirchot,
2003). Kekebalan yang terbentuk setelah vaksinasi tidak saja mampu melindungi dari
terjangkitnya penyakit tetapi juga mampu dalam mencegah replikasi virus pada tonsil
atau tubuh babi (Biront et al, 1987). Hasil penelitian di Thailand dilaporkan bahwa
vaksin hog cholera galur China dan GPE dapat memberikan proteksi terhadap
viraemia dan mencegah kematian hewan pada 6 dan 14 hari pasca vaksinasi
Darah terdiri dari sel-sel darah dan plasma yang berguna sebagai transportasi,
fungsi regulasi, pelindung dan homeostasis (Nasyrova et al., 2006). Profil hematologi
merupakan indikator penting dari kesehatan dan penyakit pada hewan dan telah
menjadi sangat diperlukan dalam diagnosis, pengobatan atau prognosis dari banyak
fisiologis hewan untuk lingkungan internal dan eksternal (Esonu et al., 2001). Berikut
16
Parameters *Standard Values
PCV (%) 36-47
HB (g/dl) 10-15
RBC(106/μl) 5-10
MCV(fl) 50-62
MCHC(g/dl) 25-36
MCH(pg) 16-19
WBC (103/μl) 6-25
Neutrophil (103/μl) 2-8,85
Lymphocyte(103/μl) 4-13,8
Eosinophil(103/μl) 0,18-1,32
Monocyte(103/μl) 0,3-2,03
Basophil(103/μl) 0-0,47
Tabel 1. Profil darah babi (Mitruka dan Rawnsley, 1977).
Leukosit (sel darah putih) granular terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil
sedangkan leukosit agranular terdiri dari limfosit dan monosit (Ganong, 1995).
Fungsi leukosit adalah untuk mempertahankan tubuh melawan serangan benda asing
(Colville dan Bassert, 2002). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler
dan humoral terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
17
Leukosit agranular terdiri dari limfosit dan monosit. Limfosit berperan
menghasilkan kekebalan humoral dan kekebalan seluler (Jain, 1993). Limfosit keluar
dari sumsum tulang dan berada di dalam berbagai organ limfoid. Terdapat dua jenis
limfosit yaitu limfosit B (sel B) dan limfosit T (Sel T) (Kuby et al., 2007). Limfosit
et al., 2007). Monosit merupakan sel makrofag yang belum terbentuk, saat monosit
masuk ke jaringan ukuran sel dapat membesar sampai 5 kali lipat dan di dalam
Hall, 1997). Makrofag berperan dalam proses fagositosis dan menghacurkan partikel
asing dan jaringan mati serta mengolah bahan asing sehingga terbentuk imunitas
(Tizard, 1982).
Leukosit granular terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil. Neutrofil merupakan
garis depan pertahanan seluler terhadap invasi bakteri, memfagosit partikel kecil
dengan aktif dengan enzim fagosom atau oleh organel peroksisom (Zukesti, 2003).
bersifat larvasidal dan reaksi alergi. Tingginya jumlah eosinofil di dalam darah dapat
disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat adanya infeksi parasit dan reaksi alergi
(Coles, 1986). Basofil berada pada saat keadaan alergi, basofil melepaskan heparin ke
sirkulasi darah seperti halnya sel mast karena antibodi berperan dalam reaksi alergi
(IgE) memiliki kemampuan menempel pada sel mast dan basofil, kemudian
18
melepaskan histamin, bradikinin, serotonin, heparin, slow reacting substance of
gejala klinis dan kelainan patologis. Diagnosis penyakit hog cholera dapat dilakukan
berdasarkan gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus serta pemeriksaan serologik
(Van oirschot, 2003). Diagnosis hog cholera dapat disimpulkan bila ditemukan
wabah dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, gejala demam tinggi, persistent
meluas, infark pada limpa dan button ulcers pada usus besar pada pemeriksaan post
mortem (Harkness, 1985). Akan tetapi gejala klinis atau lesi seperti diatas sering
tidak ditemukan, terutama pada hog cholera yang subakut atau kronis, sehingga
1988).
Teknik ELISA adalah teknik diagnostik untuk mendeteksi dan mengukur antibodi
atau antigen terhadap virus, bakteri dan bahan lainnya sebagai agen infeksi pada
sampel serum dengan memanfaatkan prinsip imunologi yaitu reaksi ikatan antigen
dengan antibodi dan menggunakan enzim sebagai indikator warna (optical density)
19
yang dapat dibaca menggunakan plate reader ELISA (Idexx, 2013). Metode ELISA
dibagi menjadi direct ELISA, indirect ELISA dan Sandwich ELISA. Direct Elisa
merupakan ikatan antara antigen dengan antibodi yang ditambahkan enzim konjugat
sehingga terjadi perubahan warna yang selaras dengan jumlah antigen dalam sampel.
dengan banyaknya antibodi dalam sampel. Teknik indirect Elisa merupakan teknik
yang cocok untuk menentukan tingkat titer antibodi dari sampel (Idexx, 2013;
Crowther, 2002).
sampel dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk
screening (Holm jensen, 1981; Leforban et al., 1987; Shannon et al., 1993). Untuk
BVD telah banyak diproduksi (Houwers dan Wensvrot, 1986; Zhouu et al., 1989;
20
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni 2017. Proses perlakuan
dilakukan pada bulan April 2017 dan pengujian sampel darah dengan metode
dan pemeriksaan darah untuk mengetahui profil leukosit dengan alat hematologi
Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi yang belum
pernah divaksinasi dengan kisaran umur 2 bulan sampai 5 bulan dan bebas dari
parasit. Sampel dalam penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok
21
Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus Federer:
(t-1) (n-1) ≥ 15
(2-1) (n-1) ≥ 15
n-1 ≥ 15
n ≥ 16
3.3 Materi
tips, vacutainer tube EDTA K3 5ml isi 100, vacutainer tube plain 5ml isi 100,
venoject needle isi 100, single use syringe 3 ml isi 100, coolbox, ice pack, plastik
klip ukuran 40x30 cm isi 100, kertas stiker, glove, masker dan kapas higienis
sebanyak 32 ekor yang dibagi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (A) dan
22
kelompok kontrol (B) dengan masing-masing sampel pada tiap kelompoknya
yaitu 16 ekor.
3.4.2.2 Perlakuan
akan dibagi menjadi dua kelompok terdiri dari 16 ekor babi sebagai kelompok
kontrol (B) tanpa diberikan vitamin B12 dan dari 16 ekor babi sebagai
kelompok perlakuan (A) dengan diberikan vitamin B12. Satu hari setelah
hog cholera.
23
yang berada ditabung didiamkan pada suhu kamar 250 C sampai dengan 280 C
pada bekuan darah pada tabung. Pengambilan darah untuk mengamati profil
dari serum babi (Ratundima et al., 2012). Semua reagen dari ELISA Kit dan
dicairkan dalam suhu ruangan 25-28 ˚C. Setelah sampel dibiarkan dalam suhu
sampel yang ada ditambah dengan 4 lubang untuk kontrol positif dan negatif.
positif dan negatif pada lubang yang ditentukan. Selanjutnya plate dimasukan
ke dalam plastik pembungkus dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruangan.
24
pencucian dengan masing-masing pencucian menggunakan 300 μl larutan
100 μl ke dalam semua plate yang berisi sampel maupun kontrol positif dan
Kemudian diinkubasi lagi selama 15 menit pada suhu ruangan dan perhatikan
perhitungan uji hambat, uji hambat dilakukan dengan menghitung data angka
yang diperoleh dari microplate reader yang disusun sesuai data serum asal.
Keterangan:
PI : Percentase Inhibisi
OD : Optical Density
produsen dalam kit. Apabila nilai PI = <40 % maka hasil deteksi antibodi
adalah negatif. Apabila nilai PI = ≥40 % maka hasil deteksi antibodi adalah
25
positif. Nilai PI dipakai untuk menentukan titer antibodi. Jika nilai PI tinggi,
maka titer antibodi babi juga tinggi. Demikian sebaliknya, jika nilai PI rendah,
maka titer antibodi babi yang diperiksa rendah (Ratundima et al., 2012).
Data titer antibodi dan profil leukosit disajikan dalam bentuk tabel dan
analisa secara statistik dengan melihat perbedaan nilai titer antibodi dan profil
leukosit babi. Untuk mengetahui kenaikan titer antibodi sebelum dan sesudah
26
dan profil leukosit kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diuji
1. Variabel bebas
2. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitian ini adalah titer antibodi dan profil sel
darah putih.
27
3.7 Rancangan Percobaan
Pemberian antihelmintik
Setelah 1 hari
Vaksinasi Vaksinasi
Pengambilan darah pada hari ke-0, Pengambilan darah pada hari ke-0,
7 dan 14 hari 7 dan 14 hari
Analisis data
28
3.7 Jadwal Penelitian
Waktu Penelitian
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Observasi
Penelitian
Analisis Data
29
BAB IV
Antibodi adalah protein yang mengenali dan mengikat antigen dengan spesifisitas
yang tinggi. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun
pengujian serologi yang sederhana, cepat dan dapat digunakan untuk mendeteksi
30
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan vaksinasi pada kedua
kelompok pernah mengalami paparan terhadap virus hog cholera dengan adanya nilai
titer antibodi seperti yang disajikan pada Tabel 3. Titer antibodi terhadap virus hog
cholera ini dapat diindikasikan berasal dari antibodi maternal karena sampel babi
yang berumur 2 bulan menunjukkan titer antibodi yang tinggi pada kelompok
perlakuan dan kontrol yaitu 71,649 dan 45,468 sedangkan babi berumur >2 bulan
memiliki titer antibodi yang rendah yaitu 7,9438 dan 6,3000 seperti disajikan pada
Tabel 4. Vandeputte (2001) menyatakan bahwa antibodi maternal pada anak babi
yang induknya divaksin secara baik akan bertahan sampai umur 7 minggu.
31
Pada hari ke-7 kelompok perlakuan mengalami penurunan titer antibodi
begitu juga pada kelompok kontrol seperti yang disajikan pada Gambar 6. Penurunan
titer antibodi ini dapat diakibatkan karena reaksi netralisasi yaitu vaksin yang masuk
ke tubuh sebagai antigen telah dikenali oleh antibodi dalam tubuh sehingga terbentuk
ikatan dan menyebabkan penurunan jumlah antibodi. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Jayanta et al., (2016) titer antibodi yang tinggi sebelum vaksinasi akan
menurun setelah vaksinasi. Pada hari ke-14 terjadi peningkatan titer antibodi ini
mencapai titer antibodi protektif yang diharapkan dari vaksinasi. Ratundima et al.,
40
35
30
25
20 perlakuan
15 kontrol
10
5
0
hari ke-0 hari ke-7 hari ke-8
32
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diuji secara statistik dengan uji t
kenaikan titer antibodi pada setiap sampel sebelum dan sesudah vaksinasi pada
kelompok yang diberikan vitamin B12 maupun kelompok tanpa pemberian vitamin
B12. Uji t tidak berpasangan untuk mengetahui perbedaan antara kelompok perlakuan
yang diberikan vitamin B12 dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan vitamin
B12.
Hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan yang diberikan vitamin B12
menunjukkan tidak adanya perbedaan titer antibodi yang nyata pada hari ke-0, hari
ke-7 dan hari ke-14 (P>0,005) begitupun pada kelompok kontrol tanpa diberikan
vitamin B12 menunjukkan tidak adanya perbedaan titer antibodi yang nyata pada hari
ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14 (P>0,005), ini menunjukkan bahwa tidak ada kenaikan
titer antibodi antara sebelum vaksinasi dan sesudah vaksinasi pada kelompok yang
diberikan vitamin B12 dan kelompok tanpa diberikan vitamin B12 pada hari ke-0,hari
ke-7 dan hari ke-14. Hasil penelitian Syafitri (2000) menunjukkan vaksinasi
mengunakan vaksin pestiffa akan mengalami kenaikan titer antibodi pada hari ke-28.
vitamin B12 dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan vitamin B12,
menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005) pada hari ke-0, hari ke-7 dan
hari ke-14. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada beda titer antibodi pada kelompok
yang diberikan vitamin B12 maupun kelompok tanpa diberikan vitamin B12 pada
hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Hal tersebut dapat disebabkan pemberian vitamin
33
B12 yang hanya satu kali sebelum vaksinasi sedangkan menurut Tamura et al.,
4.2 Gambaran Profil Leukosit Sesudah Pemberian Vitamin B12 dan Vaksinasi
Leukosit terdiri dari lima jenis yakni neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan
kemudian dikalikan presentase neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dari
Tabel 5. Nilai rata-rata profil leukosit sesudah pemberian vitamin B12 dan vaksinasi
Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 normal
34
4.2.1 Jumlah limfosit
menjadi 12.718,4 sel/μl dan penurunan jumlah limosit pada hari ke-14 yaitu
7.398,8 sel/μl. Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 limfosit
6.931,2 sel/μl dan terjadi penurunan lagi jumlah limosit pada hari ke-14 yaitu
5.739 sel/μl seperti yang disajikan pada Gambar 7. Pada kelompok kontrol
14000
12000
10000
8000
Perlakuan
6000
Kontrol
4000
2000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 7. Grafik rata-rata limfosit sebelum dan sesudah vaksinasi
35
pengembangan imunitas seluler (Frandson, 1992). Rata-rata limfosit pada
jumlah limfosit terjadi akibat respon antigen terutama virus masuk ke dalam
kelompok kontrol.
perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak
berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005), hal ini
dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12
tersebut.
ke-7 menjadi 4.175,4 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 3.670,8
36
sel/μl. Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 limfosit berjumlah
2.424,3 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 3.603,6 sel/μl
dan terjadi penurunan pada hari ke-14 yaitu 3.502,2 sel/μl seperti pada
Gambar 8. Jumlah monosit yang normal pada babi berjumlah 300-2.030 sel/μl
4500
4000
3500
3000
2500 Perlakuan
2000
Kontrol
1500
1000
500
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 8. Grafik rata-rata monosit sebelum dan sesudah vaksinasi
Pada kedua kelompok mengalami peningkatan pada hari ke-7, Radji (2010)
37
antigen tersebut di fagosit oleh makrofag dan menjadi antigen presenting cell
menunjukkan jumlah rata-rata monosit yang tinggi, Harvey dan John (2001)
nilai monosit tinggi pada keadaan peradangan, neoplastik, dan serangan agen
infeksius.
perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak
dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12
tersebut.
rata eosinofil berjumlah 1.451,1 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7
menjadi 1.814,7 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 1.305,1 sel/μl.
1.278,8 sel/μl, mengalami penurunan pada hari ke-7 menjadi 997,2 sel/μl dan
terjadi penurunan lagi pada hari ke-14 yaitu 875,1 sel/μl seperti yang
38
menunjukkan rata-rata yang tinggi pada hari ke-0 dan hari ke-7 namun pada
hari ke-14 menunjukkan jumlah yang normal, tingginya nilai eosinofil dapat
kelompok perlakuan pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14 menunjukkan
2000
1500
1000 Perlakuan
Kontrol
500
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 9. Grafik rata-rata eosinofil sebelum dan sesudah vaksinasi
reaksi alergi (Lawhead dan James, 2007). Rata-rata eosinofil pada kelompok
39
kemudian terjadi penurunan, peningkatan eosinofil diduga karena hewan
bahwa penurunan eosinofil terjadi karena tubuh telah dapat mengatasi adanya
parasit atau reaksi alergi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok
antara perlakuan dengan kontrol (P>0,005). Hal ini menunjukkan bahwa tidak
berjumlah 493,2 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 704,9
sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 494 sel/μl. Sedangkan pada
kelompok perlakuan pada hari ke-0 basofil berjumlah 420,2 sel/μl, mengalami
peningkatan pada hari ke-7 menjadi 730,1 sel/μl dan terjadi penurunan lagi
pada hari ke-14 yaitu 332 sel/μl seperti yang disajikan pada Gambar 10.
Jumlah normal basofil babi adalah 0-470 sel/μl (Mitruka dan Rawnsley,
rata-rata basofil yang tinggi. Tingginya basofil dapat terjadi pada keadaan
40
10000
8000
6000
Perlakuan
4000 Kontrol
2000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 10. Grafik rata-rata basofil sebelum dan sesudah vaksinasi
basofil sebelum dan setelah vaksinasi hog cholera ini berbeda dengan
pada kambing tidak ditemukan basofil dan juga penelitian Amanda (2012)
tidak ditemukan basofil, hal ini dapat mengindikasikan pada kedua kelompok
perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak
41
dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12
tersebut.
7.896,6 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 5.280,8 sel/μl.
4.532,3 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 6.247,9 sel/μl
dan terjadi penurunan lagi pada hari ke-14 yaitu 5.058,3 sel/μl seperti yang
disajikan pada Gambar 11. Pada kelompok kontrol maupun perlakuan rata-
rata jumlah neutrofil masih dalam taraf normal, neutrofil normal berjumlah
9000
8000
7000
6000
5000 Perlakuan
4000
3000 Kontrol
2000
1000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
42
Neutrofil merupakan leukosit yang berperan dalam melawan infeksi,
yang sama seperti yang disajikan pada Gambar 11. Pada kedua kelompok
mengalami peningktan pada hari ke-7, Nwiyi et al., (2000) dan Colville dan
oleh stress saat handling karena tingginya kadar kortisol dalam darah akibat
stres yang akan meningkatkan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang masuk
ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi darah
dalam tubuh, neutrofil akan menerima sinyal yang dihasilkan oleh sel yang
bersangkutan atau racun dari bakteri (Frandson,1992). Pada hari ke-14 kedua
infeksi.
perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak
43
dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12
tersebut.
27.310 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 18.180 sel/μl.
17.100 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 18.510 sel/μl
dan terjadi penurunan lagi pada hari ke-14 yaitu 15.570 sel/μl seperti yang
disajikan pada Gambar 12. Jumlah leukosit yang normal pada babi berjumlah
30000
25000
20000
15000 Perlakuan
10000 Kontrol
5000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 12. Grafik rata-rata leukosit sebelum dan sesudah vaksinasi
disajikan pada Gambar 12. Pada hari ke-7 terjadi peningkatan, Amanda
44
(2012) mengatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit dapat terjadi karena
hari ke-14 sama dengan penelitian Tsyafitri dan Sarosa (2000) yang juga
terjadi penurunan leuksoit pada minggu ke-2 pasca vaksinasi hog cholera.
yang nyata (P>0,005), ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin B12 tidak
45
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pengujian statistik yang dilakukan dalam penelitian ini,
b. Tidak ada beda titer antibodi pada kelompok yang diberikan vitamin B12
maupun kelompok tanpa diberikan vitamin B12 pasca vaksinasi hog cholera.
c. Tidak ada perbedaan nilai leukosit antara kelompok pemberian vitamin B12
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu konfirmasi
titer antibodi babi sebelum dilakukan vaksinasi dan perlu dilakukanya penelitian
46
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, A.S. 2012, ‘Diferensial Leukosit Dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) Pada
Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis) Betina’, Skripsi, S.KH, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Baratawidjaya, K.G. 2006, Imunologi Dasar, Edisi ke-7, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Brunton, L.L. 2006, Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutik, Edisi ke-11 ,Medical Publishing Division, Figure 53-7.
BPS.2013, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2013, diakses 29 januari 2017
<http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/tabel?tid=51&wid=53000000>.
Bulu, P. M., Robertson, I., dan Geong, M. 2015, Impacts of Pig Management and
Husbandry Farmers Towards Classical Swine Fever Transmission in West
Timor Indonesia. Jurnal Veteriner, 16: 1-6.
Biront, P., Leunen, J. dan Vandeputte, J. 1987, Inhibition of Virus Replication in The
Tonsils of Pigs Previously Vaccinated With a Chinesestrain Vaccine Dan
Challenged Oronasally Witha Virulent Strain of Classical Swine Fever
Virus, Vet Microbio, 14: 105-113.
Christie, B. M. 2007, A Review of Animal Health Research Opportunities in Nusa
Tenggara Timur And Nusa Tenggara Barat Provinces, Eastern Indonesia
.Australian Centre for International Agricultural Research, 65: 2-11.
Clavijo,A., Lin, M., Riva, J. dan Zhou, E.M. 2001, Application of competitive
enzyme-linked immunosorbent assay for the serologic diagnosis of classical
swine fever virus infection, J Vet Diagn Invest, 13: 357–360.
Coles, E.H, 1986. Veterinary Clinical Pathology, edisi ke-4, Saunders Company,
Philadelphia.
Colville, T. dan Bassert, M. J. 2009, Clinical Anatomy and Physiology Laboratory
Manual for Veterinary Technicians, Molsby Elsevier, 5: 133-139
Crowther, J.R. 2002, The Elisa Guidebook, Human Press, Totowa, New Jersey.
Departemen of Agriculture Fisheries and Forestry (DAFF). 2008, Classical Swine
Fever, Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry, Australia, diakses
29 januari 2017, <http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/pests-
diseases-weeds/animal/swine-fever>.
47
Dewi, C.D. dan Durachim, A. 2014, Analysis of Blood Sample Lysis Rate on
Hemoglobin Examination Results Using Rayto Rt. 7600 Auto Hematology
Analyzer, Master of Immunology Post-graduate Program of Universitas
Airlangga, 2: 262-263.
Dewoto, H.R. dan Wardini, B.P. 2007, Antianemia Defisiensi dan Eritropoietin,
Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5, Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 797-800.
Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. 2015, Roadmap Pemberantasan Hewan Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Donahue, B. C., Petrowski, H. M., Melkonian, K., Ward, G. B., Mayr, G. A. dan
Metwally, S. (2012), Analysis of Clinical Samples For Early Detection of
Classical Swine Fever During Infection with Low, Moderate, and Highly
Virulent Strains in Relation to the Onset Of Clinical Signs. Journal of
Virological Methods, 179(1).108-115 di akses 29 januari 2017
<http://dx.doi.org/10.1016/j.jviromet.2011.10.008>.
Edwards, S., Moenning, V. dan Wensvroot, G. 1991, The Development of an
International Reference Panel of Monoclonal Antibodies For the
Differentiation of Hog cholera Virus Fromother Pestiviruses. Vet Microbio.
5: 101-108.
Elbers, K., Tautz, N., Becher, P., Stoll, D., Rümenapf, T. dan Thiel, H.J. 1996,
Processing In The Pestivirus E2-NS2 Region: Identification of Proteins P7
And E2p7, Journal of virology, 70: 4131-4135.
Esonu, B. O., Enenalom, O. O., Udedibie, A. B. I., Herbert, U., Ekpor, C. F., Okoli, I.
C. dan Iheukwumere, F. C. 2001, Performance and Blood Chemistry of
Weaner Pigs Fed Raw Mucuna (Velvet Bean) Meal, Trop Anim Prod Invest,
4: 49-55.
Fenner, J., Frank., Gibbs, J., Epaul, R., Rudolf., White, O. dan David. 1991, Virologi
Veterinary 1.Academic Press, New York, 78.
Frandson, R.D. 1992, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Ganong dan William, F. 1995, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Gregg, D. 2002, Update on Classical Swine Fever (Hog cholera), J Swine Health
Prod, 10: 33-37.
48
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 1997, Fisiologi kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Harkness, J .W. 1985 , Classical Swine Fever Danits Diagnosis: a Current View, Vet
Rec, 116: 288-293.
Harvey dan John, W. 2001, Atlas of Veterinary Hematology: Blood and Bonemarrow
of Domestic Animals, Elsevier Saunder, Philadhelpia.
Holm jensen, M .1981, Detection of Antibodies Agains Hog cholera Virus Dan
Bovine Viral Diarrhoea Virus in Porcine Serum a Comparative Examination
Using CF, PLA Dan Nplaassays, Acta Vet Scand, 22: 85-98 .
Houwers, D.J. and Wensvroot, G .1986, ‘Application Of Monoclonal Antibodies In
Elisas :Complex Trapping Blocking (CIB)’, Novel Onestep Assays For The
Detection Of Antibodies Tomaedi-Visna and Classical Swine Fever Virus,
4th International Symposium Vet Lab Diagnosticians, London, UK.
ICTV. 2014 , Virus Taxonomy. diakses pada tanggal 21 febuari 2017
<http://ictvonline.org/virusTaxonomy.asp?version=2011>.
Ichsan, K.S. 2015, ‘Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah Setelah Vaksinasi
Iradiasi Streptococcus Agalactiae Untuk Pencegahan Mastitis Subklinis’.
Skripsi, S.KH, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Idexx. 2013, ELISA Technical Guide, IDEXX Laboratories Inc, USA.
Jain, N.C. 1993, Essentials of Veterinary Hematology, Lea and Febiger, Philadelphia,
1: 732–752.
Jayanata, I.M.A., Suardana,I.B.K. dan Ardana, I.B.K. 2016, Respon Imun Anak Babi
Pasca Vaksinasi Hog cholera, Indonesia Medicus Veterinus, 5: 399-406.
Kuby, J,. Freeman, S.W.H., Thomas, S., Malgorzata,K., Rafik, M. dan Ghobrial.
2007, Molecular and Cellular Pathways Involved in The Therapeutic
Functions of MHC Molecules; A Novel Approach For Mitigation of
Chronicrejection, Open Journal of Immunology, 1: 15-26.
49
Lawhead, B. dan James, M.B. 2007, Introduction to Veterinary Science, Thomson
Delmar Learning, New York.
Leforban, Y., Have, P., Jestin, A. and Vannier, P. 1987, Use of an ELISA Test For
The Demonstration of Classical Swine Fever Antibodies in Pigs, Recuell de
Medecine Veterinaire, 163: 667-677.
Leslie, E. E., Geong, M., Abdurrahman, M., Ward, M. P., and Toribio, J.A. L. 2015,
A Description Of Smallholder Pig Production Systems In Eastern Indonesia,
Preventive Veterinary Medicine, 118: 319-327.
Mansfield, K.L., Burr, P.D., Snodgrass, D.R., Sayers, R. dan Fooks, A.R. 2004,
Factors Affecting The Serological Response of Dogs And Cats to Rabies
Vaccination, J Vet record, 154: 423-426.
Mbanasor, U.U., Anene, B.M., Chime, A.B., Nnaji, T.O., Eze, J.I. dan Ezekewe, A.G.
2003, Hematology of Normal and Trypanosome Infected Muturu Cattle in
Southeastern Nigeria, Nig J Anim Prod, 30: 236-241.
Moennig, V. 2000, Introduction to Classical Swine Fever: Virus, Disease and Control
Policy, Veterinary Microbiology, 73: 93-102.
Murphy, F.A., Fauquet, C.M., Bishop, D.H., Ghabrial, S.A., Jarvis, A.W., Martelli,
G.P. dan Summers, M.D. 1995, The International Committee on Taxonomy
of Viruses Virus Taxonomy, Springer, 1: 509-529.
Nwiyi, T.N., Egbe., Nwaosu, S.C. dan Salami. 2000, Hematological values of
apparently healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone
of Nigeria, Afr J Biomed Res, 3: 109–115.
OIE. 1998, Risks and Economic Consequences of Introducing Classical Swine Fever
Into The Netherlands Byfeeding Swill to Swine diakses pada tanggal 21
febuari 2017, <http://www.oie.int/doc/ged/D9131.PDF>.
50
OIE. 2014, Classical Swine Fever Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for
Terrestrial Animals 2015, diakses pada tanggal 21 febuari 2017,
<http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.08.03_C
SF.pdf>.
Pudjiatmoko., Muhammad, S,. Nurtanto, S., Lubis, N., Syafrison., Yulianti, S.,
Kartika, D., Yohana, C.K., Setianingsih, E., Nurhidayah., Efendi, D. dan
Esti, S. 2014, Manual Penyakit Mamalia, Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, 35-41.
Ratundima, E., Suartha, I. N., dan Ngurah Kade Mahardika, I. G. 2012, Deteksi
Antibodi terhadap Virus Classical Swine Fever dengan Teknik Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay, Indonesia Medicus Veterinus. 1: 2-5.
Sakane, T., Takeda, S. dan Kotani, H. 1982, Effects of methyl-B12 on the in vitro
immune functions of human T lymphocytes, J Clin Immunol PubMed, 2:
10-19.
Shannon, A. D., Morressy, C., Mackintos, S.G. dan Westbury, H. A. 1993, Detection
of Hog cholera Virus Antigens in Experimentally Infected Pigs Using an
Antigen-Captured ELISA, Vet Microbio, 34: 233-248.
Stocham, S.L. dan Scott, M.A. 2008, Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology
2nd edition, Blacwell, Lowa State (US).
Subronto. 2008, Ilmu Penyakit Ternak I-b, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 296-303.
Szentivanayi, T. 1984, Classical Swine Fever; New Control and Eradication Methods,
Revcci Tech Off Int Epiz, 3: 465-486.
51
Tamura, J.,Kubota, K., Murakami, H., Sawamura, M., Matsushima, T., Saitoh, T.,
Kurabayshi, H. dan Naruse, T. 1999, Immunomodulation by Vitamin B12
:Augmentatition of CD8+ T Lymphocytes And Natural Killer (NK) Cell
Activity In Vitamin B12-Deficient Patients by Methyl-B12 Treatment.
Clinical And Experimental Immunology, 116: 28-32.
Van Oirschot, J. T. 2003, Vaccinology of classical swine fever: from lab to field.
Veterinary microbiology, 96(4), 367-384. Diakses pada tanggal 21 febuari
2017 <http://dx.doi.org/10.1016/j.vetmic.2003.09.008>.
Vandeputte, J., Too, H.L., Ng, F.K., Chen, C., Chai, K.K. dan Liao, G.A. 2001,
Adsorption of colostral antibodies against classical swine fever, persistence
of maternal antibodies and effect on response to vaccination in baby pigs,
Am J Vet Res, 62: 1805-1811.
Vellema, P., Rutten, V.P. dan Hoek, A. 1996, The Effect of Cobalt Supplementation
on The Immune Response in Vitamin B12 Deficient Texel Lambs, Vet
Immunol Immunopathol PubMed, 55:151–61.
Wensvoort, G.C., Terpstra, J., Boonstra, M., Bloemraad, D., Vanzaan. 1986,
Production Of MonoclonalAntibodies Against Swine Fever Virus And Their
Use In Laboratory, Vet Microbiol, 12(1) ,101-108.
Wunderli, P.S., Dreesen, D.W., Miller, T.J., dan Bear, G.M. 2003, Effect of vaccine
route and dosage on protection from rabies after intracerebal challenge in
mice, American Journal of Veterinary Research, 64: 4-9.
52
Wood, L., Brockman, S., Harkness, J.W. dan Edwards, S. 1988, Classical Swine
Fever:Virulence and Tissue Distribution of A 1986 English Isolate in Pigs,
Vet, 122: 391-394.
Zhou, Y ., Moenning, V., Coulibaly, C., Dahle, J. dan Liess, B. 1989, Differentiation
of Hog cholera and Bovine Virus Diarrhoea Viruses Inpigs Using
Monoclonal Antibodies, J. Vet.Med. B. Infect. Dis, Immunol, Food Hyg, Vet
Public Health, 36: 76-80.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data sampel babi Landrace yang digunakan dari nama pemilik, umur,
status vaksinasi dan sistem pemeliharaan.
Lampiran 2. Data sampel babi Lokal yang digunakan dari nama pemilik, umur, status
vaksinasi dan sistem pemeliharaan.
54
Lampiran 3. Nilai OD ELISA pada babi Landrace dan babi Lokal
55
15 A15 1,781 3,762 16,761 B15 0,077 1,710 22,23
16 A16 14,794 25,019 53,989 B16 5,4996 5,131 16,07
56
A9 5.418 2.394 0 126 4.662 12.600
A10 6.142 2.158 1.660 166 6.474 16.600
B1 5.085 2.034 678 226 3.277 11.300
B2 9.700 3.298 388 388 5.626 19.400
B3 5.670 2.835 1.350 405 3.240 13.500
B4 6.705 2.086 1.341 447 4.321 14.900
B5 51.840 11.520 3.840 960 27.840 96.000
B12 13.200 6.600 2.970 990 9.240 33.000
B13 10.535 2.695 2.450 1.960 6.860 24.500
B15 7.320 3.111 1.830 732 5.307 18.300
B16 6.920 2.595 1.557 692 5.536 17.300
B17 10.209 4.980 1.743 249 7.719 24.900
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan darah dengan alat hematologi analyzer dan
differensial leukosit hari ke-14
57
Lampiran 8. Hasil uji t berpasangan kelompok perlakuan titer antibodi
58
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
Mean Std. Std. Error 95% Confidence tailed)
Deviation Mean Interval of the
Difference
Lower Upper
-
Pair hari_7 -
9.143 14.95835 3.73959 -17.11410 -1.17262 -2.445 15 .027
1 hari_14
36
Lampiran 10. Hasil uji t tidak bepasangan kelompok kontrol dan perlakuan titer
antibodi
59
Independent Samples Test
60
Equal -
1.59 9.0681 5.7033 20.715
variances 2.172 .151 30 .122 2.5795
0 8 0 86
titer_a assumed 1
ntibodi Equal -
1.59 27.3 9.0681 5.7033 20.763
variances not .123 2.6269
0 56 8 0 25
assumed 0
61