Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hog cholera adalah penyakit infeksius penting pada babi yang disebabkan oleh

virus classical swine fever virus (CSFV), genus Pestivirus dan famili Flaviviridae

(Ratundima et al., 2012). Penyakit ini masuk dalam daftar A penyakit OIE karena

memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang hampir mencapai 100% (Moennig,

2000), sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternaknya. Saat

wabah hog cholera terjadi di Bali, dilaporkan bahwa Case Fatality Rate (CFR)

mencapai 62,94% dan kasus tertinggi terjadi pada anak babi yang berumur kurang

dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas 88,15% serta mortalitas 78,88% atau CFR

87,21% dan tingkat mortalitas harian 27,03% (Pudjiatmoko et al., 2014).

Sejak pertama kali diidentifikasi di USA pada tahun 1833, hog cholera

menyebar di hampir seluruh dunia kecuali Amerika Utara dan beberapa negara di

Eropa. Sebagian besar wabah hog cholera terjadi di benua Asia terutama Cina, India

dan negara-negara Asia Tenggara. Hog cholera di Indonesia pertama kali dilaporkan

tahun 1994 di pulau Sumatra dan secara bertahap menyebar ke Pulau Jawa pada awal

tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 dan akhirnya menyebar luas

ke hampir seluruh pulau di Indonesia (Ratundima et al., 2012). Hog cholera di Nusa

Tenggara Timur (NTT) pertama kali masuk di Pulau Sumba dan Pulau Flores pada

1
tahun 1997, namun baru bisa dikonfirmasi di Kota Kupang pada tahun 1998 (Leslie et

al., 2015).

Babi adalah salah satu ternak yang memiliki nilai ekonomi dan sosial budaya yang

penting bagi kebanyakan masyarakat NTT. Data menunjukkan bahwa total populasi

babi yang besar yaitu 1.176.201 ekor (BPS, 2013). Berdasarkan laporan kasus hog

cholera oleh Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2015) pada tahun

2010 terjadi 442 kasus dan terjadi peningkatan pada tahun 2011 hingga mencapai

1088 kasus, namun pada tahun 2012 dan 2013 terjadi penurunan kejadian hog

cholera menjadi 612 dan 347 kasus, kemudian terjadi peningkatan lagi di tahun 2014

dengan jumlah kasus 454. Sebagai daerah dengan tingkat konsumsi daging babi yang

tinggi adanya resiko kematian ternak babi akibat penyakit tentu saja menjadi ancaman

yang serius bagi peternaknya. Sampai dengan saat ini NTT merupakan daerah

endemik hog cholera dengan 15 kabupaten tercatat sebagi daerah endemik hog

cholera. Oleh karena luasnya daerah penularan hog cholera dan efek ekonomi yang

ditimbulkannya, maka berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian

No.4026/Kpts/QT.140/4/2013, hog cholera ditetapkan sebagai salah satu penyakit

hewan menular strategis (PHMS) di Indonesia bersama 24 penyakit lainnya.

Untuk mengatasi dan meminimalisir resiko hog cholera, salah satu langkah

pencegahan yang efektif adalah dengan melakukan vaksinasi secara rutin (Subronto,

2003). Vaksin aktif strain Cina (C-strain) adalah vaksin yang sering digunakan di

Indonesia. Vaksin ini sangat efektif dalam menginduksi kekebalan dengan cepat dan

2
dapat bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Kekebalan terjadi 1 minggu

setelah vaksinasi ini dan dapat bertahan selama 2-3 tahun (Van oirchot, 2003).

Meskipun vaksinasi hog cholera rutin dilaksanakan di NTT, namun laporan dari

Ratundima et al., (2012) menunjukkan bahwa hanya 51,1% dari 135 sampel serum

pasca vaksinasi hog cholera yang menunjukkan adanya pembentukan antiobodi yang

protektif terhadap hog cholera di NTT. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan

vaksinasi belum sepenuhnya menunjukkan hasil yang maskimal. Adapun faktor-

faktor yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi antara lain rute vaksinasi, umur

hewan saat divaksin, status imunitas, nutrisi, status kesehatan hewan serta jenis

vaksin dan teknik aplikasi vaksinasi (Wunderli et al., 2003; Mansfield et al., 2004).

Selanjutnya, menurut Dewoto dan Wardini (2007) defisiensi vitamin B12 akan

mengakibatkan gangguan produksi eritrosit yang menyebabkan anemia megaloblastik

dan kelainan neurologik, sehingga berpengaruh terhadap nutrisi dan status kesehatan

hewan. Telah dilaporkan bahwa kekurangan vitamin B12 juga dapat menyebabkan

penekanan respon imun protektif terhadap virus dan bakteri pada hewan coba

(Vellema et al., 1996). Menurut Sakane et al., (1982) vitamin B12 berperan penting

bagi sistem imunitas terutama dalam peningkatkan proliferatif sel T dan sintesis

imunoglobulin sel B. Mengingat pentingnya peran vitamin B12 sebagai

imunomodulator dalam sistem imunitas sehingga perlu dilakukan penelitian untuk

melihat potensi vitamin B12 sebagai imunomodulator dalam membantu

meningkatkan titer antibodi pasca vaksinasi hog cholera dan pengaruhnya terhadap

profil leukosit babi pasca vaksinasi. Oleh Karena itulah peneliti tertarik untuk

3
melaksanakan penelitian dengan judul “Potensi Vitamin B12 Sebagai

Imunomodulator Terhadap Titer Antibodi Pasca Vaksinasi Hog cholera”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana respon titer antibodi terhadap vaksinasi hog cholera pada ternak babi

yang menerima vitamin B12?

2. Bagaimana respon titer antibodi terhadap vaksinasi hog cholera pada ternak babi

yang tidak menerima vitamin B12?

3. Apakah ada perbedaaan respon titer antibodi terhadap vaksinasi hog cholera pada

ternak babi yang menerima vitamin B12 dan pada ternak babi yang tidak

menerima vitamin B12?

4. Bagaimanakah profil leukosit babi pasca vaksinasi hog cholera kedua kelompok

tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui potensi vitamin B12 sebagai imunomodulator terhadap efektifitas

vaksin hog cholera.

2. Mengetahui perbedaan titer antibodi pasca vaksinasi hog cholera pada babi yang

menerima vitamin B12 dan yang tidak menerima vitamin B12.

3. Mengetahui profil leukosit pacsa vaksinasi hog cholera pada babi.

4
1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi pemberian vitamin

B12 sebagai imunomodulator terhadap efektifitas vaksinasi hog cholera. hasil

penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan kajian bagi praktisi

lapangan dalam melakukan vaksinasi hog cholera.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hog cholera

2.1.1 Etiologi

Hog cholera disebabkan oleh Classical Swine Fever Virus (CSFV) yang

berasal dari Famili Flaviviridae dan Genus Pestivirus (ICTV, 2014). Virus ini

memiliki hubungan kedekatan dengan Bovine Viral Diarrhoea dan Border Disease

(OIE, 2014). CSFV adalah virus rantai tunggal RNA dengan polaritas positif

(Paton dan Greiser, 2003) dengan virion berbentuk hexagonal dan.dikelilingi oleh

amplop berbentuk sepharikal dengan diameter berkisar 40-60 nm (Murphy et al.,

1995). Genom RNA nya berperan penting dalam pembentukan empat protein

struktural dan tujuh protein non-struktural (Elbers et al., 1996). Penyakit hog

cholera sangat menular dengan tingkat kematian hampir 100% (Moennig, 2000).

2.1.2 Epidemiologi

Hog cholera pertama kali diidentifikasi di Ohio, USA pada tahun 1833.

Beberapa negara di Eropa Timur, Asia, Rusia, Madagaskar, Amerika Tengah dan

Selatan, Afrika dan Kepulauan Karibia tetap menjadi daerah endemik hog cholera.

OIE mencatat bahwa ada lebih dari 60 negara didunia yang mengalami wabah hog

cholera dalam 15 tahun terakhir (Donahue et al., 2012; OIE, 2014).

6
Gambar 1. Peta distribusi Hog cholera di dunia (OIE, 2014)

Hog cholera di Indonesia dicurigai berasal dari Malaysia dan dilaporkan untuk

pertama kali di Sumatra Utara pada tahun 1994 (Leslie et al., 2015) menyebar ke

Jawa pada awal tahun 1995, Bali dan Kalimantan pada akhir tahun 1995 sampai ke

wilayah timur Indonesia seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta distribusi Hog cholera di Indonesia (Leslie et al., 2015)

7
Hog cholera pertama kali masuk ke wilayah NTT pada tahun 1997 di Pulau

Sumba dan Pulau Flores, namun identifikasi dan konfirmasinya baru diperoleh pada

kasus hog cholera di Kota Kupang pada tahun 1998. Sejak itulah NTT masuk dalam

daftar provinsi yang terinfeksi hog cholera seperti pada Gambar 3 (Christie, 2007;

Leslie et al., 2015). Diantara daerah-daerah endemik hog cholera di NTT, prevalensi

tertinggi terjadi di Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Belu dengan prevalensi

26.1% untuk Sumba Timur dan 20.9% untuk Belu. Sampai saat ini ada 15 kabupaten

di NTT yang terinfeksi hog cholera, sedangkan 4 kabupaten lainnya yaitu Ngada,

Manggarai, Sikka dan Ende masih bebas dari hog cholera (DISNAK, 2014).

Gambar 3. Peta distribusi hog cholera di NTT (Keterangan : Kotak merah =


Endemik hog cholera; Kotak Hijau=Bebas hog cholera; Kotak
kuning=Beresiko; Kotak Biru=Daerah outbreak terbaru) (Leslie et al.,
2015)

8
2.1.3 Gejala Klinis

Masa inkubasi dari penyakit ini berkisar 6 sampai 10 hari. Pada beberapa

kondisi lapangan, gejala penyakit dapat muncul pada masa 2 sampai 4 minggu

setelah introduksi virus. Gejala hog cholera akut yang dilaporkan antara lain

konjungtivitis, demam tinggi, anoreksia, diare yang encer berlendir dan berwarna

abu-abu kekuningan, batuk dan sesak nafas. Pada akhir perjalanan penyakit babi

menunjukkan gejala eritrema (ditelinga, moncong, abdomen, dan paha sebelah

dalam), ataksia dan paresis, kejang-kejang, dan kematian dalam waktu 5 sampai

dengan 15 hari setelah gejala klinik mulai tampak (Gregg, 2002; Fenner et al.,

1991; OIE, 2014). Kasus kronis umumnya babi terlihat kerdil, pertumbuhan badan

terhambat, terdapat lesi pada kulit dan apabila babi dalam posisi berdiri biasanya

badan belakang melengkung dan bertahan sampai lebih 100 hari. Induk babi yang

sedang bunting bila terinfeksi virus hog cholera dapat menyebabkan keguguran,

mumifikasi, malformasi, lahir mati, lahir dalam keadaan lemah dan tremor (Joko

dan Indah, 2000).

Hog cholera memberikan pengaruh pada sistem imun dengan karakteristik

umumnya adalah terjadinya leukopenia yang sering dapat dideteksi sebelum ternak

menunjukkan gejala berupa demam. Imunosupresi yang diakibatkan oleh Classical

Swine Fever virus (CSFV) mampu menyebabkan terjadinya infeksi ikutan yang

dapat mengkelirukan gambaran klinis dari hog cholera. Selain gambaran umum

diatas, ternak yang terinfeksi hog cholera juga menunjukkan gejala klinis berupa

pyrexia, hilangnya nafsu makan, hewan terlihat lemah, konjungtivitis serta

9
konstipasi yang diikuti dengan diare. Gejala hog cholera diatas umumnya tampak

pada hampir semua kelas umur. Ternak yang terinfeksi juga dapat menunjukkan

gejala syaraf berupa, hilangnya keseimbangan saat berjalan, ataxia ataupun

konvulsi (OIE, 2014).

2.1.4 Patogenesis

Pada peternakan dengan tingkat kepadatan yang tinggi, Classical Swine Fever

Virus (CSFV) lebih cepat menyebar. Jalur utama penularan adalah oronasal

dengan kontak langsung maupun tidak langsung dengan babi yang terinfeksi hog

cholera ataupun makanan yang telah terkontaminasi CSFV (Moennig, 2000).

CSFV dapat menular melalui peralatan peternakan ataupun pekerja kandang.

Selain itu, CSFV dapat pula menular secara vertical dari induk ke anak.

Virus yang menyerang secara akut berada di dalam tubuh penderita selama 10-

20 hari. Kemudian melakukan replikasi di dalam tonsil, masuk ke dalam sel epitel

dari kripte tonsil, meluas ke jaringan limfo retikuler disekitarnya. Virus menyebar

ke kelenjar limfe dengan perantara cairan limfe, yang salurannya bermuara di

daerah tonsil. Virus melakukan replikasi di kelenjar limfe, terbawa ke daerah

perifer, kemudian ke jaringan limfoid limpa, sumsum tulang, dan kelenjar limfe

visceral (Subronto, 2008).

2.2 Sistem Imun

Sistem imun adalah sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen. Respon

imun timbul karena adanya reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul

10
terhadap mikroba dan bahan lainnya. Sistem imun terdiri atas sistem imun alamiah

atau non=spesifik (natural /innate /native) dan didapat atau spesifik (adaptive

/acquired).

Menurut Baratawidjaya (2006), sistem imun dikelompokan menjadi sistem imun

non-spesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun non-spesifik merupakan lini

pertama dalam menghadapi infeksi dan bersifat tidak spesifik karena tidak

ditunjukkan terhadap agen patogen tertentu, sistem imun ini telah ada dan berfungsi

sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas dan mampu melindungi

tubuh terhadap patogen yang potensial. Komponen-komponen sistem kebal non-

spesifik terdiri dari pertahanan fisik dan mekanik (kulit, selaput lendir, silia saluran

nafas, batuk dan bersin) akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam

tubuh, pertahanan biokimiawi, bahan yang disekresikan mukosa saluran nafas,

kelenjar sebaceus kulit, telinga dan spermin dalam sperma, pertahanan homural

meliputi komplemen,interferon, c-reactive protein (CRP), pertahanan seluler meliputi

fagosit seperti makrofag dan sel NK (Natural Killer). Sedangkan sistem imun spesifik

mampu mengenali benda yang dianggap asing oleh tubuh. Benda asing yang muncul

akan dikenali dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun. Bila terpajan ulang oleh

benda asing maka akan dikenali dengan lebih cepat dan kemudian dihancurkan.

Respon sistem imun spesifik lebih lambat karena dibutuhkan sensitisasi oleh antigen

namun memiliki perlindungan lebih baik terhadap antigen yang sama. Sistem imun

ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit T yang berasal dari sel progenitor

limfoid.

11
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan

menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B

yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama

antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta

menetralisasi toksinnya. Antigen yang melewati sistem pertahanan non spesifik akan

difagosit oleh makrofag yang berfungsi sebagai Antigen Precenting Cell (APC)

kemudian memfragmentasi antigen tersebut dan mempresentasikannya kepada sel

limfosit T. Interaksi APC dengan sel T akan menginduksi limfosit B menjadi sel

plasma yang menghasilkan antibodi (Wibawan et al., 1998).

Limfosit T berperan pada sistem imun spesifik selular. Fungsi utama sistem imun

spesifik selular adalah pertahanan terhadap bakteri intraselular, virus, jamur dan

parasit. Sel T terdiri atas beberapa subset dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu sel

Th1, Th2, Tdth, CTL atau Tc, Th3 atau Ts atau sel Tr. CD4+ merupakan penanda

bagi sel T helper dan CD8 merupakan penanda dari CTL yang terdapat pada

membran protein sel. Limfosit T tidak menghasilkan antibodi akan tetapi secara

langsung dapat menyerang sel penghasil antigen (Baratawidjaya, 2006).

Sistem imun spesifik dapat terjadi secara alamiah dan buatan. Secara alamiah

dibagi menjadi pasif dan aktif. Pasif yaitu pemindahan antibodi atau sel darah putih

yang disensitisasi dari badan yang kebal ke badan non-kebal, seperti melalui plasenta

dan kolostrum dari induk ke anak. Sedangkan aktif yaitu mikroorganisme secara

alamiah masuk ke tubuh dan menimbulkan pembentukan antibodi atau sel yang

tersensititasi. Secara buatan dibagi menjadi pasif dan aktif. Pasif yaitu dengan

12
pemberian serum, antibodi atau antitoksin. sedangkan aktif yaitu ditimbulkan dengan

vaksinasi, antigen mikroorganisme baik mati maupun yang hidupkan (dilemahkan).

2.3 Vitamin B12

Vitamin B12 merupakan satu-satunya kelompok senyawa alam yang mengandung

unsur Co dengan struktur yang mirip derivate porifrin alam lain. Molekulnya terdiri

atas bagian-bagian cincin porifrin dengan satu atom Co, basa dimetilbenzimidazol,

ribose dan asam fosfat. Umumnya senyawa ini dinamakan kobalamin penambahan

gugus  –CN  menghasilkan sianokobalamin, sedangkan penambahan gugus  –OH 

menghasilakn zat hidrosokobalamin. Sianokobalamin yang aktif dalam tubuh adalah

deoksiadenosil kobalamin dan metilkobalamin (Dewoto, 2012).

Vitamin B12 bersama asam folat sangat penting untuk metabolisme intrasel.

Vitamin B12 dan asam folat dibutuhkan untuk sintesis DNA yang normal. Defisiensi

vitamin ini akan mengakibatkan gangguan produksi eritrosit yang memberikan

gambaran anemia megaloblastik dan juga menyebabkan kelainan neurologik

(Dewoto dan Wardani, 2007).

13
Gambar 4. Struktur vitamin B12 (Bruton, 2006)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa vitamin B12 memainkan peran penting

dalam imunitas seluler, terutama berhubungan dengan sel CD8+ dan sistem sel NK

yang menunjukkan efek pada sel-sel sitotoksik sehingga bertindak sebagai

imunomodulator untuk kekebalan seluler (Sakane et al., 1982). Mekanisme kerja

imunomodulator dapat diklasifikasikan menjadi imunorestorasi, imunostimulasi dan

imunosupresi (Baratawidjaya, 2006). Imunorestorasi adalah pengembalian fungsi

sistem pertahanan tubuh yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen

sistem kebal. Imunostimulasi adalah suatu cara untuk mempertahankan fungsi sistem

tersebut. Imunosupresi adalah cara memperbaiki fungsi sistem pertahanan tubuh

dengan menekan fungsi tersebut.

14
Prinsip imunomodulator yaitu suatu zat yang berasal dari bahan biologik atau

sintetik yang merangsang sistem pertahanan tubuh non-spesifik (Tizard, 1982).

imunomodulator akan meningkatkan pembentukan antibodi, yang berasal dari

diferensiasi limfosit sehingga limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid. Pemberian

imunomodulator akan meningkatkan proliferasi sel yang berperan pada imunitas

seperti makrofag, granulosit, limfosit T dan B (Widianto, 1987). Pemberian

imunomodulator juga merangsang sintesis sitokin dan dapat meningkatkan

kemampuan fagositik dengan mengaktifkan makrofag.

2.4 Vaksinasi

Vaksin adalah bahan yang berasal dari mikroorganisme yang dapat merangsang

kekebalan terhadap penyakit (Malole dan Pramono, 1989). Organisme penyebab

penyakit dimasukkan ke tubuh hewan tidak menimbulkan bahaya penyakit dapat

dikenali oleh sistem imun (Kayne dan Jepson, 2004) juga merangsang pembentukan

kekebalan terhadap agen penyakit (Tizard, 1988). Vaksin yang baik harus

memberikan proteksi lebih dari 95% terhadap hewan coba atau tidak lebih dari 5%

hewan yang terinfeksi atau sakit atau mati.

Indonesia telah melakukan vaksinasi hog cholera secara massal dan rutin dengan

menggunakan vaksin yang telah dilemahkan melalui pasage berulang-ulang pada

kelinci (galur C) atau dilemahkan melalui biakan sel secara berulang-ulang (galur

Japanese GPE dan French Triverval) (Subroto, 2003). Vaksin yang banyak dipakai

15
adalah vaksin hidup galur Cina (Chinese strain) dan GPE- dari Jepang (TerpStra dan

Wensvroot, 1988).

Vaksin aktif hog cholera galur Cina adalah jenis vaksin yang sering digunakan di

negara Eropa dan negara di Asia. Strain ini diperoleh dari isolat virus yang virulen

yang diatenuasi pada kelinci. Vaksin strain cina sangat efektif menginduksi kekebalan

terjadi 1 minggu setelah vaksinasi, dan bertahan selama 2-3 tahun (Van Oirchot,

2003). Kekebalan yang terbentuk setelah vaksinasi tidak saja mampu melindungi dari

terjangkitnya penyakit tetapi juga mampu dalam mencegah replikasi virus pada tonsil

atau tubuh babi (Biront et al, 1987). Hasil penelitian di Thailand dilaporkan bahwa

vaksin hog cholera galur China dan GPE dapat memberikan proteksi terhadap

viraemia dan mencegah kematian hewan pada 6 dan 14 hari pasca vaksinasi

(Parcharyanon et al., 1990).

2.5 Profil Leukosit Babi

Darah terdiri dari sel-sel darah dan plasma yang berguna sebagai transportasi,

fungsi regulasi, pelindung dan homeostasis (Nasyrova et al., 2006). Profil hematologi

merupakan indikator penting dari kesehatan dan penyakit pada hewan dan telah

menjadi sangat diperlukan dalam diagnosis, pengobatan atau prognosis dari banyak

penyakit (Mbanasor et al., 2003). Penentuan profil hematologi mencerminkan respon

fisiologis hewan untuk lingkungan internal dan eksternal (Esonu et al., 2001). Berikut

adalah rata-rata profil darah pada babi.

16
Parameters *Standard Values
PCV (%) 36-47
HB (g/dl) 10-15
RBC(106/μl) 5-10
MCV(fl) 50-62
MCHC(g/dl) 25-36
MCH(pg) 16-19
WBC (103/μl) 6-25
Neutrophil (103/μl) 2-8,85
Lymphocyte(103/μl) 4-13,8
Eosinophil(103/μl) 0,18-1,32
Monocyte(103/μl) 0,3-2,03
Basophil(103/μl) 0-0,47
Tabel 1. Profil darah babi (Mitruka dan Rawnsley, 1977).

Leukosit (sel darah putih) granular terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil

sedangkan leukosit agranular terdiri dari limfosit dan monosit (Ganong, 1995).

Fungsi leukosit adalah untuk mempertahankan tubuh melawan serangan benda asing

(Colville dan Bassert, 2002). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler

dan humoral terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid

dan melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan

menerobos sel-sel endotel (Zukesti, 2003).

17
Leukosit agranular terdiri dari limfosit dan monosit. Limfosit berperan

menghasilkan kekebalan humoral dan kekebalan seluler (Jain, 1993). Limfosit keluar

dari sumsum tulang dan berada di dalam berbagai organ limfoid. Terdapat dua jenis

limfosit yaitu limfosit B (sel B) dan limfosit T (Sel T) (Kuby et al., 2007). Limfosit

berperan penting dalam mendapatkan kekebalan dapatan (adaptive immunity) (Kuby

et al., 2007). Monosit merupakan sel makrofag yang belum terbentuk, saat monosit

masuk ke jaringan ukuran sel dapat membesar sampai 5 kali lipat dan di dalam

sitoplasmanya berkembang begitu banyak lisosom dan mitokondria (Guyton dan

Hall, 1997). Makrofag berperan dalam proses fagositosis dan menghacurkan partikel

asing dan jaringan mati serta mengolah bahan asing sehingga terbentuk imunitas

(Tizard, 1982).

Leukosit granular terdiri dari neutrofil, eosinofil dan basofil. Neutrofil merupakan

garis depan pertahanan seluler terhadap invasi bakteri, memfagosit partikel kecil

dengan aktif dengan enzim fagosom atau oleh organel peroksisom (Zukesti, 2003).

Eosinofil berperan dalam peradangan, melawan parasit dengan melepaskan enzim

hidrolitik dan lisosom, melepaskan oksigen reaktif serta melepaskan polipeptida

bersifat larvasidal dan reaksi alergi. Tingginya jumlah eosinofil di dalam darah dapat

disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat adanya infeksi parasit dan reaksi alergi

(Coles, 1986). Basofil berada pada saat keadaan alergi, basofil melepaskan heparin ke

sirkulasi darah seperti halnya sel mast karena antibodi berperan dalam reaksi alergi

(IgE) memiliki kemampuan menempel pada sel mast dan basofil, kemudian

18
melepaskan histamin, bradikinin, serotonin, heparin, slow reacting substance of

anaphylaxis, dan enzim lisosomal (Guyton dan Hall, 2006).

2.6 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Diagnosis hog cholera yang akurat sering berdasarkan karakteristik epidemiologis,

gejala klinis dan kelainan patologis. Diagnosis penyakit hog cholera dapat dilakukan

berdasarkan gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus serta pemeriksaan serologik

(Van oirschot, 2003). Diagnosis hog cholera dapat disimpulkan bila ditemukan

wabah dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, gejala demam tinggi, persistent

leukopenia dan thrombosytopenia pada pemeriksaan klinis, serta perdarahan yang

meluas, infark pada limpa dan button ulcers pada usus besar pada pemeriksaan post

mortem (Harkness, 1985). Akan tetapi gejala klinis atau lesi seperti diatas sering

tidak ditemukan, terutama pada hog cholera yang subakut atau kronis, sehingga

diagnosis hanya bisa ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium (Wood et al.,

1988).

Teknik ELISA adalah teknik diagnostik untuk mendeteksi dan mengukur antibodi

atau antigen terhadap virus, bakteri dan bahan lainnya sebagai agen infeksi pada

sampel serum dengan memanfaatkan prinsip imunologi yaitu reaksi ikatan antigen

dengan antibodi dan menggunakan enzim sebagai indikator warna (optical density)

yang kemudian dibaca oleh alat penangkap warna seperti spektrofotometer,

kolorimeter dengan panjang gelombang tertentu sehingga terjadi perubahan warna

19
yang dapat dibaca menggunakan plate reader ELISA (Idexx, 2013). Metode ELISA

dibagi menjadi direct ELISA, indirect ELISA dan Sandwich ELISA. Direct Elisa

merupakan ikatan antara antigen dengan antibodi yang ditambahkan enzim konjugat

sehingga terjadi perubahan warna yang selaras dengan jumlah antigen dalam sampel.

Sedangkan indirect ELISA merupakan ikatan antibodi dengan antigen yang

ditambahkan enzim konjugat yang menyebabkan perubahan warna yang selaras

dengan banyaknya antibodi dalam sampel. Teknik indirect Elisa merupakan teknik

yang cocok untuk menentukan tingkat titer antibodi dari sampel (Idexx, 2013;

Crowther, 2002).

Teknik ELISA telah banyak dikembangkan karena kemampuanya memeriksa

sampel dalam jumlah yang besar dalam waktu yang singkat, sehingga ideal untuk

screening (Holm jensen, 1981; Leforban et al., 1987; Shannon et al., 1993). Untuk

mendapatkan ELISA dengan spesifitas tinggi diupayakan penggunaan antibodi

monoklonal. Antibodi monoklonal yang dapat membedakan virus HC dengan virus

BVD telah banyak diproduksi (Houwers dan Wensvrot, 1986; Zhouu et al., 1989;

Edwards et al., 1991).

20
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3.1.1 Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Juni 2017. Proses perlakuan

dilakukan pada bulan April 2017 dan pengujian sampel darah dengan metode

ELISA dan profil leukosit dengan menggunakan alat hematologi analyzer

dilakukan pada bulan Mei-juni 2017.

3.1.2 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekitaran Kabupaten Kupang. Sampel darah

diambil kemudian dilakukan pemeriksaan titer antibodi dengan metode ELISA

dan pemeriksaan darah untuk mengetahui profil leukosit dengan alat hematologi

analyzer di UPT Veteriner provinsi NTT.

3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah babi yang belum

pernah divaksinasi dengan kisaran umur 2 bulan sampai 5 bulan dan bebas dari

parasit. Sampel dalam penelitian ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok

perlakuan (A) dan kelompok kontrol (B).

21
Jumlah sampel dihitung dengan menggunakan rumus Federer:

(t-1) (n-1) ≥ 15

(2-1) (n-1) ≥ 15

n-1 ≥ 15

n ≥ 16

(t= jumlah kelompok, n= jumlah sampel)

3.3 Materi

3.3.1 Alat penelitian

PrioCHECK® CSFV Antibody ELISA Kit, microplate 96 well, micropipette

tips, vacutainer tube EDTA K3 5ml isi 100, vacutainer tube plain 5ml isi 100,

venoject needle isi 100, single use syringe 3 ml isi 100, coolbox, ice pack, plastik

klip ukuran 40x30 cm isi 100, kertas stiker, glove, masker dan kapas higienis

3.3.2 Bahan penelitian

Akuades, Alkohol 70 %, vaksin Hog cholera (Pestifa) dan Preparat

vitamin B12 (sianokobalamin).

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan sampel babi

sebanyak 32 ekor yang dibagi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (A) dan

22
kelompok kontrol (B) dengan masing-masing sampel pada tiap kelompoknya

yaitu 16 ekor.

3.4.2 Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

3.4.2.1 Survei lokasi

Pada tahap ini peneliti melakukan observasi untuk menentukan sampel

babi yang akan diberi perlakuan.

3.4.2.2 Perlakuan

Semua kelompok diberikan antihelmintik yaitu nemasol agar bebas dari

parasit 7 hari sebelum pemberian vitamin B12. Berdasarkan perlakuan babi

akan dibagi menjadi dua kelompok terdiri dari 16 ekor babi sebagai kelompok

kontrol (B) tanpa diberikan vitamin B12 dan dari 16 ekor babi sebagai

kelompok perlakuan (A) dengan diberikan vitamin B12. Satu hari setelah

pemberian vitamin B12 pada kelompok perlakuan (A) dilakukan vaksinasi

hog cholera.

3.4.2.3 Pengambilan darah

Pengambilan darah untuk pengujian ELISA dan profil leukosit dengan

hematology analizer pada hari 0, 7 dan 14 pasca vaksinasi. Pengambilan

darah untuk pengujian ELISA menggunakan tabung tanpa antikoagulan, darah

23
yang berada ditabung didiamkan pada suhu kamar 250 C sampai dengan 280 C

sehingga darah membeku kemudian dilakukan pengambilan cairan bening

pada bekuan darah pada tabung. Pengambilan darah untuk mengamati profil

leukosit menggunakan tabung dengan antikoagulan. Semua sampel dari

lapangan akan disimpan dan dilakukan pengujian di Laboratorium Virologi

Unit Pelaksana Teknis Veteriner Dinas Peternakan Provinsi NTT.

3.4.2.4 Deteksi antibodi dengan metode ELISA

Prosedur pengujian ELISA dilakukan dengan menggunakan ELISA kit

(VDPro® CSFV Antibodi C-ELISA) untuk mendeteksi antibodi hog cholera

dari serum babi (Ratundima et al., 2012). Semua reagen dari ELISA Kit dan

sampel berupa serum beku yang dimasukkan dalam tabung eppendorf

dicairkan dalam suhu ruangan 25-28 ˚C. Setelah sampel dibiarkan dalam suhu

ruang, selanjutnya sampel disusun berdasarkan urutan untuk pemeriksaan.

Dilution buffer sebanyak 50 μl, dimasukan ke dalam plate sejumlah

sampel yang ada ditambah dengan 4 lubang untuk kontrol positif dan negatif.

Sampel sebanyak 50 μl dimasukan ke dalam plate sesuai urutan serta kontrol

positif dan negatif pada lubang yang ditentukan. Selanjutnya plate dimasukan

ke dalam plastik pembungkus dan dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruangan.

Setelah 1 jam, plate dikeluarkan dan dilakukan pencucian. Pencucian

dilakukan menggunakan washing buffer yang telah diencerkan menggunakan

aquades dengan perbandingan 1:9 (washing buffer : aquades) sebanyak 3x

24
pencucian dengan masing-masing pencucian menggunakan 300 μl larutan

(total 900 μl). Setelah pencucian, dimasukan konjugat anti-CSFV sebanyak

100 μl ke dalam semua plate yang berisi sampel maupun kontrol positif dan

negatif. Selanjutnya, plate dimasukan ke dalam plastik pembungkus dan

diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruangan. Setelah inkubasi, dilakukan

pencucian plate seperti prosedur sebelumnya. Sebanyak 100 μl TMB

(Tetramethylbenzidine) substrat, ditambahkan ke dalam semua lubang.

Kemudian diinkubasi lagi selama 15 menit pada suhu ruangan dan perhatikan

perubahan warna yang terjadi. Selanjutnya sebanyak 50 μl stop solution

ditambahkan ke dalam semua lubang, kemudian microplate dibaca di

microplate reader dengan panjang gelombang 450 nm. Selanjutnya dilakukan

perhitungan uji hambat, uji hambat dilakukan dengan menghitung data angka

yang diperoleh dari microplate reader yang disusun sesuai data serum asal.

Nilai Percentase Inhibisi (PI) dihitung dengan menggunakan rumus:

(OD Kontrol Negatif – OD Serum Sampel)


PI = -------------------------------------------------------- x 100
(OD Kontrol Negatif – OD Kontrol Positif)

Keterangan:
PI : Percentase Inhibisi
OD : Optical Density

Penghitungan didasarkan pada brosur yang direkomendasikan oleh

produsen dalam kit. Apabila nilai PI = <40 % maka hasil deteksi antibodi

adalah negatif. Apabila nilai PI = ≥40 % maka hasil deteksi antibodi adalah

25
positif. Nilai PI dipakai untuk menentukan titer antibodi. Jika nilai PI tinggi,

maka titer antibodi babi juga tinggi. Demikian sebaliknya, jika nilai PI rendah,

maka titer antibodi babi yang diperiksa rendah (Ratundima et al., 2012).

3.4.2.5 Pemeriksaan leukosit

Semua sampel darah dilakukan pemeriksaan leukosit menggunakan alat

hematologi analyzer untuk mendapatkan jumlah leukosit setelah itu dilakukan

pemeriksaan dengan pemeriksaan differensial leukosit agar mendapatkan

presentase leukosit. Cara pemeriksaan differensial leukosit yaitu dengan cara

menghitung jenis-jenis leukosit(monosit, basofil, eosinofil, neutrophil dan

limfosit) pada preparat ulas darah menggunakan mikroskop pembesaran 1000

kali dengan 10 lapang pandang yang berbeda sampai ditemukan leukosit

berjumlah 100, setelah itu dilakukan perhitungan persentase jumlah leukosit

dikalikan hasil jumlah leukosit total dari alat hematologi analyzer.

3.4.2.6 Analisis data

Data titer antibodi dan profil leukosit disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik. Untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian vitamin B12 sebagai

imunomodulator terhadap efektivitas vaksinasi Hog cholera maka dilakukan

analisa secara statistik dengan melihat perbedaan nilai titer antibodi dan profil

leukosit babi. Untuk mengetahui kenaikan titer antibodi sebelum dan sesudah

vaksinasi dilakukan uji t berpasangan, sedangkan Perbandingan titer antibodi

26
dan profil leukosit kelompok kontrol dan kelompok perlakuan diuji

menggunakan uji t tidak berpasangan.

3.6. Variabel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah vitamin B12.

2. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah titer antibodi dan profil sel

darah putih.

27
3.7 Rancangan Percobaan

Survei peternakan babi

Penentuan 32 ekor sampel

Pemberian antihelmintik

Setelah 14 hari Setelah 14 hari

Penentuan 16 ekor sampel kontrol Penentuan 16 ekor sampel


perlakuan

Tidak dilakukan pemberian vitamin


Pemberian vitamin B12
B12

Setelah 1 hari

Vaksinasi Vaksinasi

Pengambilan darah pada hari ke-0, Pengambilan darah pada hari ke-0,
7 dan 14 hari 7 dan 14 hari

Pengukuran titer antibodi dengan Pengukuran titer antibodi dengan


teknik ELISA dan pemeriksaan teknik ELISA dan pemeriksaan
profil darah dengan hematology profil darah dengan hematology
analizer analizer

Analisis data

Gambar 5. Skema alur penelitian

28
3.7 Jadwal Penelitian

Tabel 2. Jadwal penelitian

Waktu Penelitian

Jenis Kegiatan April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Observasi

Penelitian

Analisis Data

29
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Titer Antibodi Sebelum dan Sesudah Vaksinasi

Antibodi adalah protein yang mengenali dan mengikat antigen dengan spesifisitas

yang tinggi. Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun

humoral yang melibatkan pembentukan antibodi. Nilai titer antibodi diperoleh

melalui pengujian serologi menggunakan metode Competitive ELISA menggunakan

kit ELISA (VDPro® CSFV Ab C-ELISA) di Unit Pelaksana Teknis Veteriner

Provinsi Nusa Tenggara Timur. Competitive ELISA (C-ELISA) merupakan

pengujian serologi yang sederhana, cepat dan dapat digunakan untuk mendeteksi

antibodi spesifik hog cholera (Clavijo et al., 2001).

Tabel 3. Nilai rata-rata titer antibodi sebelum dan sesudah vaksinasi


Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14

Perlakuan (A) 35,815 28,335 32,996

Kontrol (B) 16,092 14,784 23,927

30
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum diberikan vaksinasi pada kedua

kelompok pernah mengalami paparan terhadap virus hog cholera dengan adanya nilai

titer antibodi seperti yang disajikan pada Tabel 3. Titer antibodi terhadap virus hog

cholera ini dapat diindikasikan berasal dari antibodi maternal karena sampel babi

yang berumur 2 bulan menunjukkan titer antibodi yang tinggi pada kelompok

perlakuan dan kontrol yaitu 71,649 dan 45,468 sedangkan babi berumur >2 bulan

memiliki titer antibodi yang rendah yaitu 7,9438 dan 6,3000 seperti disajikan pada

Tabel 4. Vandeputte (2001) menyatakan bahwa antibodi maternal pada anak babi

yang induknya divaksin secara baik akan bertahan sampai umur 7 minggu.

Tabel 4. Rata-rata titer antibodi pada hari ke-0 berdasarkan umur


Kelompok A (perlakuan) Kelompok B (kontrol)
No Umur Hari ke-0 No Umur Hari ke-0
1. 2 bulan 81,254 1. 2 bulan 85,902
2. 2 bulan 76,142 2. 2 bulan 35,863
3. 2 bulan 69,945 3. 2 bulan 21,146
4. 2 bulan 76,607 4. 2 bulan 38,962
5. 2 bulan 74,748 5. >2 bulan 11,38
6. 2 bulan 72,889 6. >2 bulan 11,696
7. 2 bulan 49,961 7. >2 bulan 7,5135
8. >2 bulan 10,61 8. >2 bulan 6,5840
9. >2 bulan 4,4151 9. >2 bulan 7,0487
10. >2 bulan 7,5135 10. >2 bulan 5,1897
11. >2 bulan 1,4717 11. >2 bulan 7,048
12. >2 bulan 3,4856 12. >2 bulan 4,1053
13. >2 bulan 22,695 13. >2 bulan 2,0914
14. >2 bulan 4,7250 14. >2 bulan 7,3586
15. >2 bulan 1,781 15. >2 bulan 0,077
16. >2 bulan 14,794 16. >2 bulan 5,4996
Rata-rata 2 bulan 71,649 Rata-rata 2 bulan 45,468
Rata-rata >2bulan 7,9438 Rata-rata >2bulan 6,3000

31
Pada hari ke-7 kelompok perlakuan mengalami penurunan titer antibodi

begitu juga pada kelompok kontrol seperti yang disajikan pada Gambar 6. Penurunan

titer antibodi ini dapat diakibatkan karena reaksi netralisasi yaitu vaksin yang masuk

ke tubuh sebagai antigen telah dikenali oleh antibodi dalam tubuh sehingga terbentuk

ikatan dan menyebabkan penurunan jumlah antibodi. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Jayanta et al., (2016) titer antibodi yang tinggi sebelum vaksinasi akan

menurun setelah vaksinasi. Pada hari ke-14 terjadi peningkatan titer antibodi ini

mengindikasikan terjadi respon vaksinasi walaupun peningkatan titer antibodi belum

mencapai titer antibodi protektif yang diharapkan dari vaksinasi. Ratundima et al.,

(2012) mengatakan titer antibodi protektif apabila nilai presentase inhibisi ≥ 40 %

sedangkan nilai titer antibodi tidak protektif adalah ≤ 40 %.

40
35
30
25
20 perlakuan
15 kontrol
10
5
0
hari ke-0 hari ke-7 hari ke-8

Gambar 6. Grafik gambaran titer antibodi sebelum dan sesudah vaksinasi

32
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini diuji secara statistik dengan uji t

berpasangan dan uji t tidak berpasangan. Uji t berpasangan untuk mengetahui

kenaikan titer antibodi pada setiap sampel sebelum dan sesudah vaksinasi pada

kelompok yang diberikan vitamin B12 maupun kelompok tanpa pemberian vitamin

B12. Uji t tidak berpasangan untuk mengetahui perbedaan antara kelompok perlakuan

yang diberikan vitamin B12 dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan vitamin

B12.

Hasil uji t berpasangan pada kelompok perlakuan yang diberikan vitamin B12

menunjukkan tidak adanya perbedaan titer antibodi yang nyata pada hari ke-0, hari

ke-7 dan hari ke-14 (P>0,005) begitupun pada kelompok kontrol tanpa diberikan

vitamin B12 menunjukkan tidak adanya perbedaan titer antibodi yang nyata pada hari

ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14 (P>0,005), ini menunjukkan bahwa tidak ada kenaikan

titer antibodi antara sebelum vaksinasi dan sesudah vaksinasi pada kelompok yang

diberikan vitamin B12 dan kelompok tanpa diberikan vitamin B12 pada hari ke-0,hari

ke-7 dan hari ke-14. Hasil penelitian Syafitri (2000) menunjukkan vaksinasi

mengunakan vaksin pestiffa akan mengalami kenaikan titer antibodi pada hari ke-28.

Hasil uji t tidak berpasangan pada kelompok perlakuan yang diberikan

vitamin B12 dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan vitamin B12,

menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005) pada hari ke-0, hari ke-7 dan

hari ke-14. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada beda titer antibodi pada kelompok

yang diberikan vitamin B12 maupun kelompok tanpa diberikan vitamin B12 pada

hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14. Hal tersebut dapat disebabkan pemberian vitamin

33
B12 yang hanya satu kali sebelum vaksinasi sedangkan menurut Tamura et al.,

(1999) menyatakan pemberian vitamin B12 dapat memberikan efek imunomodulator

jika dilakukan pemberian setiap hari selama 2 minggu.

4.2 Gambaran Profil Leukosit Sesudah Pemberian Vitamin B12 dan Vaksinasi

Leukosit terdiri dari lima jenis yakni neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan

monosit. Perhitungan jumlah leukosit dengan menggunakan alat hematologi analyzer,

kemudian dikalikan presentase neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit dan monosit dari

pemeriksaan differensial leukosit (Widyaningrum, 2017).

Tabel 5. Nilai rata-rata profil leukosit sesudah pemberian vitamin B12 dan vaksinasi

Kontrol Perlakuan Jumlah

Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 normal

Limfosit 7.640,3 12.718,4 7.398,8 8102,2 6.931,2 5.739 4.000-13.800

Monosit 2.888,8 4.175,4 3.670,8 2424,3 3.603,6 3.502.2 300 - 2.030

Eosinofil 1.451,1 1.814,7 1.385,1 1.278,8 997,2 875,1 180 – 1320

Basofil 493,2 704,9 494 420,2 730.1 332 0 – 470

Neutrofil 4.981 7.896,6 5.280,8 4.532,3 6.247,9 5.058,3 2.000-8.800

Leukosit 17.440 27.310 18.180 17.100 18510 15.570 6.000-25.000

34
4.2.1 Jumlah limfosit

Hasil penelitian pada kelompok kontrol rata-rata pada hari ke-0

limfosit berjumlah 7.640,3 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7

menjadi 12.718,4 sel/μl dan penurunan jumlah limosit pada hari ke-14 yaitu

7.398,8 sel/μl. Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 limfosit

berjumlah 8.102,2 sel/μl, mengalami penurunan pada hari ke-7 menjadi

6.931,2 sel/μl dan terjadi penurunan lagi jumlah limosit pada hari ke-14 yaitu

5.739 sel/μl seperti yang disajikan pada Gambar 7. Pada kelompok kontrol

maupun kelompok perlakuan menunjukkan jumlah limfosit yang normal yaitu

berjumlah 4.000-13.800 sel/μl (Mitruka dan Rawnsley,1977).

14000
12000
10000
8000
Perlakuan
6000
Kontrol
4000
2000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 7. Grafik rata-rata limfosit sebelum dan sesudah vaksinasi

Limfosit merupakan sel darah putih yang berespon terhadap antigen

dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi didalam darah atau dalam

35
pengembangan imunitas seluler (Frandson, 1992). Rata-rata limfosit pada

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan grafik yang berbeda

seperti disajikan pada Gambar 7. Kelompok kontrol mengalami peningkatan

kemudian terjadi penurunan, Frandson (1992) mengatakan peningkatan

jumlah limfosit terjadi akibat respon antigen terutama virus masuk ke dalam

tubuh, sehingga tubuh harus memproduksi antibodi. Sedangkan kelompok

perlakuan langsung mengalami penurunan, Lawhead dan James (2007)

mengatakan penurunan jumlah limfosit dapat mengindikasikan limfosit

dimobilasasi ke jaringan limfoid untuk membentuk antibodi sehingga

jumlahnya dalam aliran darah berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa

pada kelompok perlakuan lebih cepat terbentuk antibodi dibandingkan

kelompok kontrol.

Nilai limfosit diuji dengan uji t tidak berpasangan untuk melihat

perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak

berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005), hal ini

membuktikan bahwa tidak ada perbedaan jumlah limfosit pada kelompok

dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12

tersebut.

4.2.2 Jumlah monosit

Hasil penelitian pada kelompok kontrol pada hari ke-0 menunjukkan

rata-rata monosit berjumlah 2.888,8 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari

ke-7 menjadi 4.175,4 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 3.670,8

36
sel/μl. Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 limfosit berjumlah

2.424,3 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 3.603,6 sel/μl

dan terjadi penurunan pada hari ke-14 yaitu 3.502,2 sel/μl seperti pada

Gambar 8. Jumlah monosit yang normal pada babi berjumlah 300-2.030 sel/μl

(Mitruka dan Rawnsley, 1977).

4500
4000
3500
3000
2500 Perlakuan
2000
Kontrol
1500
1000
500
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 8. Grafik rata-rata monosit sebelum dan sesudah vaksinasi

Leukosit yang mampu memfagosit selain neutrofil adalah makrofag.

Makrofag adalah monosit yang telah bermigarasi ke jaringan (Guyton dan

Hall, 2006). Rata-rata monosit pada kelompok kontrol dan kelompok

perlakuan menunjukkan grafik yang sama seperti disajikan pada Gambar 8.

Pada kedua kelompok mengalami peningkatan pada hari ke-7, Radji (2010)

mengatakan Vaksinasi yang diawali dengan penyuntikan antigen ke jaringan,

37
antigen tersebut di fagosit oleh makrofag dan menjadi antigen presenting cell

(APC), sehingga meningkatan jumlah rata-rata monosit. Sedangkan pada hari

ke-14 kedua kelompok mengalami penurunan, Radji (2010) mengatakan

penurunan jumlah monosit dapat diindikasikan bahwa monosit bermigrasi ke

jaringan untuk menjadi makrofag. Pada kelompok perlakuan dan kontrol

menunjukkan jumlah rata-rata monosit yang tinggi, Harvey dan John (2001)

nilai monosit tinggi pada keadaan peradangan, neoplastik, dan serangan agen

infeksius.

Nilai monosit diuji dengan uji t tidak berpasangan untuk melihat

perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak

berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005), ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah monosit pada kelompok

dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12

tersebut.

4.2.3 Jumlah eosinofil

Hasil penelitian pada kelompok kontrol hari ke-0 menunjukkan rata-

rata eosinofil berjumlah 1.451,1 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7

menjadi 1.814,7 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 1.305,1 sel/μl.

Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 eosinofil berjumlah

1.278,8 sel/μl, mengalami penurunan pada hari ke-7 menjadi 997,2 sel/μl dan

terjadi penurunan lagi pada hari ke-14 yaitu 875,1 sel/μl seperti yang

disajikan pada Gambar 9. Rata-rata eosinofil pada kelompok kontrol

38
menunjukkan rata-rata yang tinggi pada hari ke-0 dan hari ke-7 namun pada

hari ke-14 menunjukkan jumlah yang normal, tingginya nilai eosinofil dapat

mengindikasikan vaksin memicu reaksi alergi. Eosinofil akan meningkat

melebihi nilai normal pada keadaan hipersensitif (alergi), infeksi parasit

(endoparasit atau ektoparasit) (Stocham dan Scott, 2008). Sedangkan pada

kelompok perlakuan pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari ke-14 menunjukkan

jumlah yang normal. Jumlah eosinofil normal adalah 180-1.320 sel/μl

(Mitruka dan Rawnsley, 1977).

2000

1500

1000 Perlakuan
Kontrol
500

0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 9. Grafik rata-rata eosinofil sebelum dan sesudah vaksinasi

Eosinofil berperan penting melawan infeksi parasit, peradangan dan

reaksi alergi (Lawhead dan James, 2007). Rata-rata eosinofil pada kelompok

kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan grafik yang berbeda seperti

disajikan pada Gambar 9. Kelompok kontrol mengalami peningkatan

39
kemudian terjadi penurunan, peningkatan eosinofil diduga karena hewan

mengalami alergi akut atau terdapat infestasi parasit. Sedangkan kelompok

perlakuan langsung mengalami penurunan, Amanda (2012) mengatakan

bahwa penurunan eosinofil terjadi karena tubuh telah dapat mengatasi adanya

parasit atau reaksi alergi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok

perlakuan vitamin B12 mampu mengurangi sedikit reaksi alergi.

Hasil uji t tidak berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata

antara perlakuan dengan kontrol (P>0,005). Hal ini menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan jumlah eosinofil antara kelompok perlakuan dengan pemberian

vitamin B12 dan kelompok kontrol tanpa pemberian vitamin B12.

4.2.4 Jumlah basofil

Hasil penelitian pada kelompok kontrol hari ke-0 rata-rata basofil

berjumlah 493,2 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 704,9

sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 494 sel/μl. Sedangkan pada

kelompok perlakuan pada hari ke-0 basofil berjumlah 420,2 sel/μl, mengalami

peningkatan pada hari ke-7 menjadi 730,1 sel/μl dan terjadi penurunan lagi

pada hari ke-14 yaitu 332 sel/μl seperti yang disajikan pada Gambar 10.

Jumlah normal basofil babi adalah 0-470 sel/μl (Mitruka dan Rawnsley,

1977). Pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol menunjukkan jumlah

rata-rata basofil yang tinggi. Tingginya basofil dapat terjadi pada keadaan

alergi (Guyton dan Hall, 2006).

40
10000

8000

6000
Perlakuan
4000 Kontrol
2000

0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 10. Grafik rata-rata basofil sebelum dan sesudah vaksinasi

Basofil memiliki fungsi utama dalam membangkitkan reaksi

hipersensitif dengan sekresi mediator yang bersifat vasoaktif. Sel ini

melepaskan mediator untuk aktivitas peradangan dan alergi. Ditemukanya

basofil sebelum dan setelah vaksinasi hog cholera ini berbeda dengan

penelitian Ichsan (2015) yang melakukan vaksinasi Streptococcus agalactiae

pada kambing tidak ditemukan basofil dan juga penelitian Amanda (2012)

yang melakukan perhitungan differensial leukosit pada kerbau lumpur betina

tidak ditemukan basofil, hal ini dapat mengindikasikan pada kedua kelompok

telah terjadi reaksi alergi.

Nilai basofil diuji dengan uji t tidak berpasangan untuk melihat

perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak

berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005), ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah basofil pada kelompok

41
dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12

tersebut.

4.2.5 Jumlah neutrofil

Hasil penelitian pada kelompok kontrol rata-rata hari ke-0 neutrofil

berjumlah 4.981 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi

7.896,6 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 5.280,8 sel/μl.

Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 neutrofil berjumlah

4.532,3 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 6.247,9 sel/μl

dan terjadi penurunan lagi pada hari ke-14 yaitu 5.058,3 sel/μl seperti yang

disajikan pada Gambar 11. Pada kelompok kontrol maupun perlakuan rata-

rata jumlah neutrofil masih dalam taraf normal, neutrofil normal berjumlah

2.000-8.850 sel/μl (Mitruka dan Rawnsley,1977).

9000
8000
7000
6000
5000 Perlakuan
4000
3000 Kontrol
2000
1000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14

Gambar 11.Grafik rata-rata neutrofil sebelum dan sesudah vaksinasi

42
Neutrofil merupakan leukosit yang berperan dalam melawan infeksi,

penyuntikan vaksin memicu neutrofil dan makrofag untuk memfagosit antigen

(Radji, 2010). Rata-rata neutrofil pada kedua kelompok menunjukkan grafik

yang sama seperti yang disajikan pada Gambar 11. Pada kedua kelompok

mengalami peningktan pada hari ke-7, Nwiyi et al., (2000) dan Colville dan

Bassert (2008) mengatakan bahwa peningkatan neutrofil dapat dipengaruhi

oleh stress saat handling karena tingginya kadar kortisol dalam darah akibat

stres yang akan meningkatkan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang masuk

ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi darah

menuju jaringan. Peningkatan neutrofil dapat terjadi peradangan atau infeksi

yang menstimulasi pengeluaran neutrofil untuk fagosit antigen yang masuk ke

dalam tubuh, neutrofil akan menerima sinyal yang dihasilkan oleh sel yang

bersangkutan atau racun dari bakteri (Frandson,1992). Pada hari ke-14 kedua

kelompok mengalami penurunan, Lawhead dan James (2007) mengatakan

bahwa penurunan neutrofil terjadi karena mobilisasi neutrofil ke jaringan,

neutrofil memiliki kemampuan bermigrasi kejaringan yang mengalami

infeksi.

Nilai neutrofil diuji dengan uji t tidak berpasangan untuk melihat

perbandingan pada kedua kelompok perlakuan dan kontrol. Hasil uji t tidak

berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,005), ini

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah neutrofil pada kelompok

43
dengan pemberian vitamin B12 dan kelompok tanpa pemberian vitamin B12

tersebut.

4.2.6 Jumlah leukosit

Hasil penelitian pada kelompok kontrol rata-rata hari ke-0 leukosit

berjumlah 17.440 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi

27.310 sel/μl dan penurunan pada hari ke-14 menjadi 18.180 sel/μl.

Sedangkan pada kelompok perlakuan pada hari ke-0 leukosit berjumlah

17.100 sel/μl, mengalami peningkatan pada hari ke-7 menjadi 18.510 sel/μl

dan terjadi penurunan lagi pada hari ke-14 yaitu 15.570 sel/μl seperti yang

disajikan pada Gambar 12. Jumlah leukosit yang normal pada babi berjumlah

6.000-25.000 sel/μl (Mitruka dan Rawnsley, 1977). Fluktuasi leukosit pasca

vaksinasi hog cholera masih dalam keadaan jumlah normal leukosit.

30000
25000
20000
15000 Perlakuan
10000 Kontrol
5000
0
Hari 0 Hari 7 Hari 14
Gambar 12. Grafik rata-rata leukosit sebelum dan sesudah vaksinasi

Rata-rata pada kedua kelompok menunjukkan grafik yang sama seperti

disajikan pada Gambar 12. Pada hari ke-7 terjadi peningkatan, Amanda

44
(2012) mengatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit dapat terjadi karena

masuknya antigen sehingga terjadi respon tubuh untuk menaikan produksi

leukosit untuk melawan antigen tersebut. Penurunan jumlah leukosit pada

hari ke-14 sama dengan penelitian Tsyafitri dan Sarosa (2000) yang juga

terjadi penurunan leuksoit pada minggu ke-2 pasca vaksinasi hog cholera.

Penurunan tersebut dapat disebabkan karena limfosit dimobilisasi ke jaringan

limfoid untuk pembentukkan antibodi yang memerlukan waktu 3–14 hari

selain itu neutrofil dimobilisasi ke jaringan tempat penyuntikan vaksin

(Lawhead dan James, 2007).

Nilai leukosit yang diperoleh di uji dengan uji t tidak berpasangan

untuk melihat perbandingan antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan. Hasil uji t tidak berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan

yang nyata (P>0,005), ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin B12 tidak

dapat memberikan perbedaan jumlah leukosit pada kedua kelompok.

45
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pengujian statistik yang dilakukan dalam penelitian ini,

maka dapat disimpulkan bahwa:

a. Pemberian vitamin B12 belum berpotensi sebagai imunomodulator terhadap

titer antibodi pasca vaksinasi hog cholera.

b. Tidak ada beda titer antibodi pada kelompok yang diberikan vitamin B12

maupun kelompok tanpa diberikan vitamin B12 pasca vaksinasi hog cholera.

c. Tidak ada perbedaan nilai leukosit antara kelompok pemberian vitamin B12

dengan kelompok tanpa pemberian vitamin B12.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini yaitu konfirmasi

titer antibodi babi sebelum dilakukan vaksinasi dan perlu dilakukanya penelitian

lanjutan dengan rentang waktu pemberian vitamin B12 selama 2 minggu.

46
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, A.S. 2012, ‘Diferensial Leukosit Dan Rasio Neutrofil/Limfosit (N/L) Pada
Kerbau Lumpur (Bubalus Bubalis) Betina’, Skripsi, S.KH, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Baratawidjaya, K.G. 2006, Imunologi Dasar, Edisi ke-7, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Brunton, L.L. 2006, Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutik, Edisi ke-11 ,Medical Publishing Division, Figure 53-7.
BPS.2013, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka 2013, diakses 29 januari 2017
<http://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/tabel?tid=51&wid=53000000>.
Bulu, P. M., Robertson, I., dan Geong, M. 2015, Impacts of Pig Management and
Husbandry Farmers Towards Classical Swine Fever Transmission in West
Timor Indonesia. Jurnal Veteriner, 16: 1-6.
Biront, P., Leunen, J. dan Vandeputte, J. 1987, Inhibition of Virus Replication in The
Tonsils of Pigs Previously Vaccinated With a Chinesestrain Vaccine Dan
Challenged Oronasally Witha Virulent Strain of Classical Swine Fever
Virus, Vet Microbio, 14: 105-113.
Christie, B. M. 2007, A Review of Animal Health Research Opportunities in Nusa
Tenggara Timur And Nusa Tenggara Barat Provinces, Eastern Indonesia
.Australian Centre for International Agricultural Research, 65: 2-11.
Clavijo,A., Lin, M., Riva, J. dan Zhou, E.M. 2001, Application of competitive
enzyme-linked immunosorbent assay for the serologic diagnosis of classical
swine fever virus infection, J Vet Diagn Invest, 13: 357–360.

Coles, E.H, 1986. Veterinary Clinical Pathology, edisi ke-4, Saunders Company,
Philadelphia.
Colville, T. dan Bassert, M. J. 2009, Clinical Anatomy and Physiology Laboratory
Manual for Veterinary Technicians, Molsby Elsevier, 5: 133-139
Crowther, J.R. 2002, The Elisa Guidebook, Human Press, Totowa, New Jersey.
Departemen of Agriculture Fisheries and Forestry (DAFF). 2008, Classical Swine
Fever, Departemen of Agriculture, Fisheries and Forestry, Australia, diakses
29 januari 2017, <http://www.daff.gov.au/animal-plant-health/pests-
diseases-weeds/animal/swine-fever>.

47
Dewi, C.D. dan Durachim, A. 2014, Analysis of Blood Sample Lysis Rate on
Hemoglobin Examination Results Using Rayto Rt. 7600 Auto Hematology
Analyzer, Master of Immunology Post-graduate Program of Universitas
Airlangga, 2: 262-263.
Dewoto, H.R. dan Wardini, B.P. 2007, Antianemia Defisiensi dan Eritropoietin,
Farmakologi dan Terapi Edisi ke-5, Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 797-800.
Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Nusa Cendana. 2015, Roadmap Pemberantasan Hewan Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Donahue, B. C., Petrowski, H. M., Melkonian, K., Ward, G. B., Mayr, G. A. dan
Metwally, S. (2012), Analysis of Clinical Samples For Early Detection of
Classical Swine Fever During Infection with Low, Moderate, and Highly
Virulent Strains in Relation to the Onset Of Clinical Signs. Journal of
Virological Methods, 179(1).108-115 di akses 29 januari 2017
<http://dx.doi.org/10.1016/j.jviromet.2011.10.008>.
Edwards, S., Moenning, V. dan Wensvroot, G. 1991, The Development of an
International Reference Panel of Monoclonal Antibodies For the
Differentiation of Hog cholera Virus Fromother Pestiviruses. Vet Microbio.
5: 101-108.
Elbers, K., Tautz, N., Becher, P., Stoll, D., Rümenapf, T. dan Thiel, H.J. 1996,
Processing In The Pestivirus E2-NS2 Region: Identification of Proteins P7
And E2p7, Journal of virology, 70: 4131-4135.
Esonu, B. O., Enenalom, O. O., Udedibie, A. B. I., Herbert, U., Ekpor, C. F., Okoli, I.
C. dan Iheukwumere, F. C. 2001, Performance and Blood Chemistry of
Weaner Pigs Fed Raw Mucuna (Velvet Bean) Meal, Trop Anim Prod Invest,
4: 49-55.
Fenner, J., Frank., Gibbs, J., Epaul, R., Rudolf., White, O. dan David. 1991, Virologi
Veterinary 1.Academic Press, New York, 78.
Frandson, R.D. 1992, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.

Ganong dan William, F. 1995, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Gregg, D. 2002, Update on Classical Swine Fever (Hog cholera), J Swine Health
Prod, 10: 33-37.

48
Guyton, A.C. dan Hall, J.E. 1997, Fisiologi kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Harkness, J .W. 1985 , Classical Swine Fever Danits Diagnosis: a Current View, Vet
Rec, 116: 288-293.
Harvey dan John, W. 2001, Atlas of Veterinary Hematology: Blood and Bonemarrow
of Domestic Animals, Elsevier Saunder, Philadhelpia.

Holm jensen, M .1981, Detection of Antibodies Agains Hog cholera Virus Dan
Bovine Viral Diarrhoea Virus in Porcine Serum a Comparative Examination
Using CF, PLA Dan Nplaassays, Acta Vet Scand, 22: 85-98 .
Houwers, D.J. and Wensvroot, G .1986, ‘Application Of Monoclonal Antibodies In
Elisas :Complex Trapping Blocking (CIB)’, Novel Onestep Assays For The
Detection Of Antibodies Tomaedi-Visna and Classical Swine Fever Virus,
4th International Symposium Vet Lab Diagnosticians, London, UK.
ICTV. 2014 , Virus Taxonomy. diakses pada tanggal 21 febuari 2017
<http://ictvonline.org/virusTaxonomy.asp?version=2011>.

Ichsan, K.S. 2015, ‘Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah Setelah Vaksinasi
Iradiasi Streptococcus Agalactiae Untuk Pencegahan Mastitis Subklinis’.
Skripsi, S.KH, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Idexx. 2013, ELISA Technical Guide, IDEXX Laboratories Inc, USA.

Jain, N.C. 1993, Essentials of Veterinary Hematology, Lea and Febiger, Philadelphia,
1: 732–752.

Jayanata, I.M.A., Suardana,I.B.K. dan Ardana, I.B.K. 2016, Respon Imun Anak Babi
Pasca Vaksinasi Hog cholera, Indonesia Medicus Veterinus, 5: 399-406.

Joko, S. dan Indah, S. 2000, Penanggulangan dan Pengendalian Penyakit Sampar


babi. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Barat.
Kayne, S.B. dan Jepson, M.H. 2004, Veterinary Pharmacy, Pharmaceutical Press,
London.

Kuby, J,. Freeman, S.W.H., Thomas, S., Malgorzata,K., Rafik, M. dan Ghobrial.
2007, Molecular and Cellular Pathways Involved in The Therapeutic
Functions of MHC Molecules; A Novel Approach For Mitigation of
Chronicrejection, Open Journal of Immunology, 1: 15-26.

49
Lawhead, B. dan James, M.B. 2007, Introduction to Veterinary Science, Thomson
Delmar Learning, New York.

Leforban, Y., Have, P., Jestin, A. and Vannier, P. 1987, Use of an ELISA Test For
The Demonstration of Classical Swine Fever Antibodies in Pigs, Recuell de
Medecine Veterinaire, 163: 667-677.

Leslie, E. E., Geong, M., Abdurrahman, M., Ward, M. P., and Toribio, J.A. L. 2015,
A Description Of Smallholder Pig Production Systems In Eastern Indonesia,
Preventive Veterinary Medicine, 118: 319-327.

Malole, M.B.M. dan Pramono, C.S.U. 1989, Pengantar Hewan-Hewan Percobaan di


Laboratorium, Pusat Antara Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.

Mansfield, K.L., Burr, P.D., Snodgrass, D.R., Sayers, R. dan Fooks, A.R. 2004,
Factors Affecting The Serological Response of Dogs And Cats to Rabies
Vaccination, J Vet record, 154: 423-426.

Mbanasor, U.U., Anene, B.M., Chime, A.B., Nnaji, T.O., Eze, J.I. dan Ezekewe, A.G.
2003, Hematology of Normal and Trypanosome Infected Muturu Cattle in
Southeastern Nigeria, Nig J Anim Prod, 30: 236-241.

Mitruka, B. M. dan Rawnsley, H. M. 1977, Clinical Biochemical and Haematological


reference values in normal experimental animals, Manson Publishing, USA.

Moennig, V. 2000, Introduction to Classical Swine Fever: Virus, Disease and Control
Policy, Veterinary Microbiology, 73: 93-102.

Murphy, F.A., Fauquet, C.M., Bishop, D.H., Ghabrial, S.A., Jarvis, A.W., Martelli,
G.P. dan Summers, M.D. 1995, The International Committee on Taxonomy
of Viruses Virus Taxonomy, Springer, 1: 509-529.

Nasyrova, D. I., YA.Sapronova, A., Nigmattulina, R. R. and Ugromov, M. V. 2006,


Changes in Blood Plasma Volume in Rats During Ontogenesis, Russ J
Develop Biol, 27: 1062-3604.

Nwiyi, T.N., Egbe., Nwaosu, S.C. dan Salami. 2000, Hematological values of
apparently healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone
of Nigeria, Afr J Biomed Res, 3: 109–115.

OIE. 1998, Risks and Economic Consequences of Introducing Classical Swine Fever
Into The Netherlands Byfeeding Swill to Swine diakses pada tanggal 21
febuari 2017, <http://www.oie.int/doc/ged/D9131.PDF>.

50
OIE. 2014, Classical Swine Fever Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for
Terrestrial Animals 2015, diakses pada tanggal 21 febuari 2017,
<http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.08.03_C
SF.pdf>.

Parcharyanon, S., W Pinyonchon, P. Methiyapun, U. Tantas, W. dan Rujtikumpron.


1990, ‘The Protective Effect of Swine Fever Vaccine Against Challenge
With a Field Isolate’, Proc of the 7th Congress of the Federation of Asian
Veterinary Association, Pattaya, Thailand.

Paton, D. dan Greiser, I. 2003, Classical Swine Fever–an Update. Research in


veterinary science, 75: 169-178.

Pudjiatmoko., Muhammad, S,. Nurtanto, S., Lubis, N., Syafrison., Yulianti, S.,
Kartika, D., Yohana, C.K., Setianingsih, E., Nurhidayah., Efendi, D. dan
Esti, S. 2014, Manual Penyakit Mamalia, Subdit Pengamatan Penyakit
Hewan Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, 35-41.

Radji, M. 2010, Imunologi dan Virologi, Isfi Penerbitan, Jakarta.

Ratundima, E., Suartha, I. N., dan Ngurah Kade Mahardika, I. G. 2012, Deteksi
Antibodi terhadap Virus Classical Swine Fever dengan Teknik Enzyme-
Linked Immunosorbent Assay, Indonesia Medicus Veterinus. 1: 2-5.

Sakane, T., Takeda, S. dan Kotani, H. 1982, Effects of methyl-B12 on the in vitro
immune functions of human T lymphocytes, J Clin Immunol PubMed, 2:
10-19.

Shannon, A. D., Morressy, C., Mackintos, S.G. dan Westbury, H. A. 1993, Detection
of Hog cholera Virus Antigens in Experimentally Infected Pigs Using an
Antigen-Captured ELISA, Vet Microbio, 34: 233-248.

Stocham, S.L. dan Scott, M.A. 2008, Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology
2nd edition, Blacwell, Lowa State (US).

Subronto. 2008, Ilmu Penyakit Ternak I-b, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 296-303.

Szentivanayi, T. 1984, Classical Swine Fever; New Control and Eradication Methods,
Revcci Tech Off Int Epiz, 3: 465-486.

51
Tamura, J.,Kubota, K., Murakami, H., Sawamura, M., Matsushima, T., Saitoh, T.,
Kurabayshi, H. dan Naruse, T. 1999, Immunomodulation by Vitamin B12
:Augmentatition of CD8+ T Lymphocytes And Natural Killer (NK) Cell
Activity In Vitamin B12-Deficient Patients by Methyl-B12 Treatment.
Clinical And Experimental Immunology, 116: 28-32.

Terpstra, C dan Wensvroot, G. 1988, The Protective Value Of Vaccine-Induced


Neutralising Antibody Titres In Swine Fever, Vet. Microbiol, 16: 123-128.

Tizard, I. 1982, Veterinary Immunology, Edisi ke-3, Saunders WB Masduki


Partodiredjo, penerjemah, 1988, Airlangga University Press, Surabaya.

Van Oirschot, J. T. 2003, Vaccinology of classical swine fever: from lab to field.
Veterinary microbiology, 96(4), 367-384. Diakses pada tanggal 21 febuari
2017 <http://dx.doi.org/10.1016/j.vetmic.2003.09.008>.

Vandeputte, J., Too, H.L., Ng, F.K., Chen, C., Chai, K.K. dan Liao, G.A. 2001,
Adsorption of colostral antibodies against classical swine fever, persistence
of maternal antibodies and effect on response to vaccination in baby pigs,
Am J Vet Res, 62: 1805-1811.

Vellema, P., Rutten, V.P. dan Hoek, A. 1996, The Effect of Cobalt Supplementation
on The Immune Response in Vitamin B12 Deficient Texel Lambs, Vet
Immunol Immunopathol PubMed, 55:151–61.

Wensvoort, G.C., Terpstra, J., Boonstra, M., Bloemraad, D., Vanzaan. 1986,
Production Of MonoclonalAntibodies Against Swine Fever Virus And Their
Use In Laboratory, Vet Microbiol, 12(1) ,101-108.

Wibawan, I.W.T. 1998, The Possibilty of Using Vaccine to Control Bovine


Subclinicalmastitis and Human Neonatal Infection Caused by Group B
Sterptococci, Media Veteriner, 5: 1–6.

Widianto, B.M. 1987, Imunomodulator, Cermin Dunia Kedokteran, 44: 44-46.

Widyaningrum, H., Simanjuntak, S.B.I., dan Susatyo, P. 2017, Diferensial Leukosit


Ikan Gurami (Osphronemus Gouramy Lac.) Dengan Perbedaan Level
Suplementasi Spirulina Platensis Dalam Pakan, Fakultas Biologi
Universitas Jenderal Soedirman, 4: 37-40.

Wunderli, P.S., Dreesen, D.W., Miller, T.J., dan Bear, G.M. 2003, Effect of vaccine
route and dosage on protection from rabies after intracerebal challenge in
mice, American Journal of Veterinary Research, 64: 4-9.

52
Wood, L., Brockman, S., Harkness, J.W. dan Edwards, S. 1988, Classical Swine
Fever:Virulence and Tissue Distribution of A 1986 English Isolate in Pigs,
Vet, 122: 391-394.

Zhou, Y ., Moenning, V., Coulibaly, C., Dahle, J. dan Liess, B. 1989, Differentiation
of Hog cholera and Bovine Virus Diarrhoea Viruses Inpigs Using
Monoclonal Antibodies, J. Vet.Med. B. Infect. Dis, Immunol, Food Hyg, Vet
Public Health, 36: 76-80.

Zukesti, E. 2003, ‘Peranan Leukosit sebagai Antiinflamasi Alergik dalam


Tubuh’.Skripsi. S.Ked, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara,
Medan.

53
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data sampel babi Landrace yang digunakan dari nama pemilik, umur,
status vaksinasi dan sistem pemeliharaan.

Kode Umur Status Sistem


No Nama Pemilik
Sampel (bulan) Vaksinasi Pemeliharaan
Intensif dalam
Bapak Yansen Belum satu kandang
1 A1 – A7 2
Nahak divaksinasi tanpa sekat
(bergerombol)
Intensif dengan
A8 – A11 Belum
2 Bapak Agus 5 kandang
A14 - A16 divaksinasi
terpisah
Intensif dengan
Bapak Belum
3 A12 - A13 4 kandang
Yohanes divaksinasi
terpisah

Lampiran 2. Data sampel babi Lokal yang digunakan dari nama pemilik, umur, status
vaksinasi dan sistem pemeliharaan.

Kode Umur Status Sistem


No Nama Pemilik
Sampel (bulan) Vaksinasi Pemeliharaan
Intensif dalam
Belum satu kandang
1 B1 – B4 Ibu Masae 2
divaksinasi tanpa sekat
(bergerombol)
Intensif dengan
Bapak Belum
2 B5 – B11 4 kandang
Yohanes divaksinasi
terpisah
Intensif dengan
Belum
3 B12 – B16 Bapak Agus 5 kandang
divaksinasi
terpisah

54
Lampiran 3. Nilai OD ELISA pada babi Landrace dan babi Lokal

Kode Nilai OD Kode Nilai OD


No Sampel Hari Hari Hari Sampel Hari Hari Hari
(perlakuan) ke-0 ke-7 ke-14 (kontrol) ke-0 ke-7 ke-14
1 A1 0,218 0,413 0,589 B1 0,188 0,344 0,381
2 A2 0,251 0,283 0,506 B2 0,511 0,603 0,592
3 A3 0,291 0,415 0,45 B3 0,606 0,647 0,644
4 A4 0,248 0,289 0,548 B4 0,491 0,619 0,592
5 A5 0,26 0,537 0,346 B5 0,816 0,772 0,48
6 A6 0,272 0,313 0,518 B6 0,667 0,527 0,362
7 A7 0,42 0,771 0,483 B7 0,694 0,549 0,598
8 A8 0,811 0,767 0,426 B8 0,7 0,555 0,452
9 A9 0,714 0,723 0,577 B9 0,697 0,595 0,399
10 A10 0,694 0,7 0,748 B10 0,709 0,595 0,51
11 A11 0,733 0,57 0,528 B11 0,788 0,617 0,563
12 A12 0,72 0,543 0,677 B12 0,716 0,505 0,426
13 A13 0,596 0,518 0,663 B13 0,729 0,518 0,435
14 A14 0,712 0,67 0,372 B14 0,695 0,504 0,339
15 A15 0,754 0,532 0,442 B15 0,743 0,532 0,613
16 A16 0,647 0,581 0,394 B16 0,707 0,538 0,586

Lampiran 4. Nilai PI ELISA pada babi Landrace dan babi Lokal

Kode Nilai PI (%) Nilai PI (%)


Kode
N Sampel Hari Hari
Hari Hari (kontr Hari Hari
o (perlakua ke-14 ke-14
ke-0 ke-7 ol) ke-0 ke-7
n)
1 A1 81,254 51,045 23,780 B1 85,902 61,735 56,003
2 A2 76,142 71,185 36,638 B2 35,863 21,611 23,315
3 A3 69,945 50,735 45,313 B3 21,146 14,794 15,259
4 A4 76,607 70,255 30,131 B4 38,962 19,132 23,315
5 A5 74,748 31,835 61,425 B5 11,38 4,570 40,666
6 A6 72,889 66,537 34,779 B6 11,696 26,22 35,005
7 A7 49,961 4,415 40,201 B7 7,5135 7,639 18,81
8 A8 10,61 3,795 49,031 B8 6,5840 9,007 14,481
9 A9 4,4151 3,0209 25,639 B9 7,0487 18,13 26,567
10 A10 7,5135 6,5840 0,852 B10 5,1897 18,13 1,2542
11 A11 1,4717 12,42 2,850 B11 7,048 23,14 10,83
12 A12 3,4856 6,727 36,83 B12 4,1053 2,3945 20,410
13 A13 22,695 34,779 12,316 B13 2,0914 0,570 18,358
14 A14 4,7250 11,231 57,397 B14 7,3586 2,622 40,25

55
15 A15 1,781 3,762 16,761 B15 0,077 1,710 22,23
16 A16 14,794 25,019 53,989 B16 5,4996 5,131 16,07

Lampiran 5. Hasil pemeriksaan darah dengan alat hematologi analyzer dan


differensial leukosit hari ke-0

limfosit monosit eosinofil basofil neutrofil WBC


A1 8.450 8.125 3.900 325 8.450 32.500
A2 12.314 3.406 1.310 262 8.908 26.200
A3 7.130 1.150 805 345 2.070 11.500
A4 8.256 2.064 172 860 5.676 17.200
A5 6.762 1.470 2.205 588 3.675 14.700
A6 9.256 2.670 890 178 4.806 17.800
A7 8.294 1.716 572 143 3.575 14.300
A8 6.215 1.017 1.469 226 2.373 11.300
A9 6.785 805 345 575 2.990 11.500
A10 7.560 1.820 1.120 700 2.800 14.000
B1 5.661 1.443 555 666 2.775 11.100
B2 9.360 1.872 1.296 144 1.872 14.400
B3 7.920 2.970 1.155 330 4.125 16.500
B4 7.844 1.480 1.036 148 4.292 14.800
B5 4.930 850 850 255 1.615 8.500
B12 8.424 5.616 702 702 7.956 23.400
B13 9.250 4.750 4.250 500 6.250 25.000
B15 7.137 2.745 1.464 915 6.039 18.300
B16 7.182 3.402 1.323 567 6.426 18.900
B17 8.695 3.760 1.880 705 8.460 23.500
Lampiran 6. Hasil pemeriksaan darah dengan alat hematologi analyzer dan
differensial leukosit hari ke-7

limfosit monosit eosinofil basofil neutrofil WBC


A1 13.694 7.682 1.670 1.002 9.352 33.400
A2 5.994 2.916 1.296 648 5.346 16.200
A3 6.384 3.696 168 672 5.880 16.800
A4 5.628 4.824 402 1.407 7.839 20.100
A5 10.452 5.360 1.876 1.340 7.772 26.800
A6 4.958 2.010 670 670 5.092 13.400
A7 6.460 4.180 190 760 7.410 19.000
A8 4.182 816 2.040 510 2.652 10.200

56
A9 5.418 2.394 0 126 4.662 12.600
A10 6.142 2.158 1.660 166 6.474 16.600
B1 5.085 2.034 678 226 3.277 11.300
B2 9.700 3.298 388 388 5.626 19.400
B3 5.670 2.835 1.350 405 3.240 13.500
B4 6.705 2.086 1.341 447 4.321 14.900
B5 51.840 11.520 3.840 960 27.840 96.000
B12 13.200 6.600 2.970 990 9.240 33.000
B13 10.535 2.695 2.450 1.960 6.860 24.500
B15 7.320 3.111 1.830 732 5.307 18.300
B16 6.920 2.595 1.557 692 5.536 17.300
B17 10.209 4.980 1.743 249 7.719 24.900
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan darah dengan alat hematologi analyzer dan
differensial leukosit hari ke-14

limfosit monosit eosinofil basofil neutrofil WBC


A1 9.207 7.254 837 558 10.044 27.900
A2 3.852 2.033 321 535 3.959 10.700
A3 5.882 3.806 1.730 173 5.709 17.300
A4 7.449 3.629 1.528 382 6.494 19.100
A5 5.740 2.940 700 140 4.480 14.000
A6 8.550 4.370 760 190 5.130 19.000
A7 4.719 3.718 715 572 4.576 14.300
A8 4.572 2.794 1.016 127 3.175 12.700
A9 3.597 2.616 654 545 3.488 10.900
A10 3.822 1.862 490 98 3.528 9.800
B1 3.328 2.600 728 208 3.536 10.400
B2 6.678 3.021 795 477 4.929 15.900
B3 5.402 3.212 730 730 4.818 14.600
B4 5.360 2.680 1.072 134 4.154 13.400
B5 5.508 2.448 1.989 765 4.590 15.300
B12 13.038 6.996 1.908 636 9.222 31.800
B13 11.438 4.788 2.660 532 7.182 26.600
B15 4.725 2.100 735 105 2.835 10.500
B16 9.541 4.263 1.624 203 4.872 20.300
B17 8.970 4.600 1.610 1.150 6.670 23.000

57
Lampiran 8. Hasil uji t berpasangan kelompok perlakuan titer antibodi

Paired Samples Test


Paired Differences t df Sig. (2-
Mean Std. Std. Error 95% Confidence tailed)
Deviation Mean Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair hari_0 - 7.480
18.04475 4.51119 -2.13514 17.09560 1.658 15 .118
1 hari_7 23

Paired Samples Test


Paired Differences t df Sig. (2-
Mean Std. Std. Error 95% Confidence tailed)
Deviation Mean Interval of the
Difference
Lower Upper
-
Pair hari_7 -
4.661 30.13985 7.53496 -20.72145 11.39934 -.619 15 .545
1 hari_14
05

Lampiran 9. Hasil uji t berpasangan kelompok kontrol titer antibodi

Paired Samples Test


Paired Differences t df Sig. (2-
Mean Std. Std. Error 95% Confidence tailed)
Deviation Mean Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair hari_0 - 1.307
11.65253 2.91313 -4.90157 7.51682 .449 15 .660
1 hari_7 62

58
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
Mean Std. Std. Error 95% Confidence tailed)
Deviation Mean Interval of the
Difference
Lower Upper
-
Pair hari_7 -
9.143 14.95835 3.73959 -17.11410 -1.17262 -2.445 15 .027
1 hari_14
36

Lampiran 10. Hasil uji t tidak bepasangan kelompok kontrol dan perlakuan titer
antibodi

Independent Samples Test

Levene's Test for t-test for Equality of Means


Equality of
Variances
F Sig. t df Sig. Mean Std. 95% Confidence
(2- Differe Error Interval of the
tailed) nce Differe Difference
nce Lower Upper
Equal
1.96 19.723 10.016 40.180
variances 13.608 .001 30 .058 -.73430
9 08 97 46
titer_a assumed
ntibodi Equal
1.96 25.6 19.723 10.016 40.326
variances not .060 -.88058
9 55 08 97 74
assumed

59
Independent Samples Test

Levene's Test for t-test for Equality of Means


Equality of
Variances
F Sig. t df Sig. Mean Std. 95% Confidence
(2- Differe Error Interval of the
tailed) nce Differe Difference
nce Lower Upper
Equal -
1.80 13.550 7.4969 28.861
variances 8.666 .006 30 .081 1.7604
7 48 9 37
titer_a assumed 1
ntibodi Equal -
1.80 24.2 13.550 7.4969 29.016
variances not .083 1.9151
7 19 48 9 10
assumed 4

Independent Samples Test


Levene's Test for t-test for Equality of Means
Equality of
Variances
F Sig. t df Sig. (2- Mean Std. 95% Confidence
tailed) Differe Error Interval of the
nce Differe Difference
nce Lower Upper

60
Equal -
1.59 9.0681 5.7033 20.715
variances 2.172 .151 30 .122 2.5795
0 8 0 86
titer_a assumed 1
ntibodi Equal -
1.59 27.3 9.0681 5.7033 20.763
variances not .123 2.6269
0 56 8 0 25
assumed 0

61

Anda mungkin juga menyukai