Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KOASITENSI

KASUS MANDIRI VIROLOGI

INFECTIOUS BURSAL DISEASE (IBD)

MARIA YOVITA NANO MENGI, S.K.H

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ayam broiler merupakan bagian dari komoditas peternakan yang menjadi salah satu
sumber protein hewani penting. Ketersediaan yang melimpah menjadikan komoditas ini
relatif terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Menurut Mulyantini (2010), kematian ayam
broiler dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti penularan penyakit yang dapat
berasal dari unggas satu ke unggas yang lain, atau dari induk keturunannya, seperti
bakteri, virus, jamur, dan lainnya, serta penyakit yang tidak menular, seperti kekurangan
gizi, suhu lingkungan ekstrim, perkandangan tidak baik, stress, dan lainnya. Kehadiran
penyakit infeksius dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi peternak. Salah satu
penyakit yang dapat menular pada ayam ialah Gumboro.
Infectious Bursal Disease (IBD) atau Gumboro merupakan penyakit virus menular
akut pada ayam yang ditandai dengan peradangan hebat pada bursa fabrisius dan bersifat
immunosupresif atau lumpuhnya sistem pertahanan tubuh pada ayam sehingga
mengakibatkan turunnya respons ayam terhadap vaksinasi dan ayam menjadi lebih peka
terhadap patogen lainnya. Kasus IBD memberikan pengaruh yang penting pada
peternakan ayam karena infeksi virus tersebut menyebabkan angka morbiditas yang tinggi
yaitu 10 sampai 90% dan memiliki angka mortalitas mencapai 20%, dampak lain dari
infeksi IBD adalah menimbulkan gangguan pertumbuhan (Tabbu, 2000).
IBD masih menjadi bagian dari 5 besar penyakit ayam yang sering menyerang ayam
di peternakan Indonesia. Menurut Wiedosari dan Wahyuwardani (2015) menyampaikan
bahwa penyakit ayam di Kabupaten Sukabumi dan Bogor teridentifikasi adalah
Colibacillosis (22,2%), Asites (12,5%), Gumboro atau IBD (12,5%), Newcastle disease
atau ND (10%), Salmonellosis (10%), dan Necrotic enteritis (7,5%).
Gejala klinis yang bisa diamati pada infeksi IBD antara lain ayam terlihat lemah atau
lesu, bulu kusam, sayap terkulai, dan kadang-kadang dijumpai feses berwarna putih yang
menempel pada kloaka (Jackwood et al., 2011). Pada saat dilakukan nekropsi (bedah
bangkai) ditemukan perubahan berupa perdarahan pada bagian otot dada dan otot paha
(Acribasi et al., 2010). Perubahan pada organ ayam pasca mati yang lainnya ditunjukkan
dengan adanya pembengkakan pada bursa fabrisius berupa, lumen bursa fabrisius berisi
cairan berwarna kekuningan seperti gelatin, dan perdarahan petechial serta ecchymotic
pada permukaan mucosa dan serosa bursa fabrisius (Jackwood et al., 2011).
Penyebaran penyakit sudah sampai ke Indonesia pada tahun 1983, ketika ditemukan
kasus di Sawangan, Bogor. Pada periode tahun 1990-an, penyakit IBD telah menyebar ke
berbagai wilayah di Indonesia dan hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa
hampir semua isolat yang diperoleh berkerabat dekat dengan virus very virulent IBD
(vvIBDv) (Parede et al., 2003).
1.2 Tujuan
Untuk menegakkan diagnosa penyakit berdasarkan pemeriksaan klinis dan isolasi
virus melalui Telur Ayam Berembrio (TAB).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi Infectious Bursal Disease (IBD)


IBD atau yang dikenal dengan penyakit gumboro merupakan penyakit menular akut
pada ayam berumur muda, ditandai dengan peradangan hebat bursa fabricius dan bersifat
imunosupresif yaitu lumpuhnya sistem pertahanan tubuh ayam, mengakibatkan turunnya
respons ayam terhadap vaksinasi dan ayam menjadi lebih peka terhadap patogen lainnya.
Penyakit ini disebabkan oleh oleh virus RNA dari genus avibirnavirus dan family
birnaviridae. Virus ini mempunyai ukuran antara 55-65 nm. Virus ini mempunyai bentuk
ikosahedral simetri dan tidak beramplop. Virus IBD diklasifikasikan menjadi dua
serotype, yakni serotype 1 yang pathogen untuk ayam dan serotype 2 yang menginfeksi
kalkun tanpa menimbulkan gejala klinis. Virus IBD termasuk satu grup dengan
Infectious pancreatic necrosis virus (IPNV) pada ikan Caswell, lalat Drosophilla X virus
(DXV) pada serangga dan Tellinavirus pada jenis kerangkerangan.
2.2 Epidemiologi
IBD pertama kali dilaporkan terjadi di daerah Gumboro, Delaware Selatan, Amerika
Serikat pada tahun 1962. Penyakit kemudian menyebar ke Inggris, Perancis, Italia,
Spanyol, Jerman Barat, Israel, Kuba, Switzerland, Yugoslavia, Chad, Mauritania, Ghana,
Senegal, Zambia, Nigeria, Irak, Australia, Jepang, New Zealand, India, Cina, Nepal,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Philipina.
Di Indonesia dilaporkan pertama kali secara serologis di beberapa daerah seperti
Surabaya, Semarang, Bogor dan Ujung Pandang. Kemudian pada tahun 1978 dilaporkan
kasus klinis yang bersifat sporadis di Sulawesi Selatan, selanjutnya wabah pernah
dilaporkan terjadi di peternakan ayam ras di daerah Jakarta, Bogor, Tangerang dan
Bekasi pada tahun 1980.
Di daerah Nusa Tenggara dilaporkan terjadi kasus sporadis di Bali yaitu di kabupaten
Badung pada tahun 1982, pada tahun berikutnya (1984-1991) kejadian penyakit berubah
menjadi endemik tersebar di 6 kabupaten bahkan dalam tahun 1992 bersifat epidemik
yang penyebarannya sangat cepat di seluruh kabupaten. Kejadian wabah di Bali erat
kaitannya dengan wabah yang terjadi di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera Utara
pada bulan September dan Desember 1991. Wabah pernah terjadi di Pulau Jawa. Di
Indonesia bagian Timur wabah pertama kali terjadi pada tahun 1991, yaitu di Sulawesi
Selatan yang meliputi kabupaten Sindrap, Gowa, Maros dan Kota Madya Ujung
Pandang. Kemudian pada tahun 1992-1994 penyakit menyebar lebih meluas tersebar di
kabupaten Pangkep, Pinrang, Enrekang, Barru, Soppeng, Wajo, Bulukumba, ParePare,
Jeneponto, Bone dan Polmas. Di Sulawesi Tenggara terjadi sejak tahun 1992 dan 1993,
tersebar di kabupaten Kolaka, Kendari, Muna dan Donggala. Di Propinsi Sulawesi Utara
wabah terjadi pada tahun 1993 tersebar di kabupaten Minahasa, di Propinsi Maluku
terjadi di kabupaten Ambon dan di Propinsi Irian Jaya wabah terjadi sejak tahun 1992-
1994, tersebar di kabupaten Biak, Jayapura dan Sorong. Di daerah Nusa Tenggara seperti
Nusa Tenggara Barat dilaporkan pertama kali di kecamatan Raba, kabupaten Bima pada
tahun 1983 selanjutnya terjadi dalam tahun 1992 dan 1993. Nusa Tenggara Timur
dilaporkan terjadi di kabupaten Kupang dan Sikka (Flores) pada tahun 1992 dan 1993
dan di Propinsi Timor Timur dilaporkan di kabupaten Dili Barat dan Liquisa pada tahun
1993.
2.3 Patogenesis
2.4 Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit berlangsung antara 2-3 hari. Ayam yang terserang ditandai
dengan gejala depresi, nafsu makan menurun, lemah, gemetar, sesak nafas, bulu berdiri
dan kotor terutama bulu di daerah perut dan dubur, selanjutnya diikuti dengan diare,
feses berwarna putih kapur dan kematian yang terjadi akibat dehidrasi.
2.5 Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas gejala klinis, patologi anatomi, serta isolasi dan identifikasi
virus. Virus IBD dapat diisolasi secara in vitro pada biakan sel dan in vivo pada telur
ayam berembrio. Pada biakan sel terjadi perubahan cytophatic effect (CPE) dan pada
embrio ditandai dengan kekerdilan, perdarahan dibawah kulit. Identifikasi virus dapat
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskop elektron. Uji Agar gel precipitation (AGP),
Virus Neutralisasion (VN), ELISA, Flourescence antibody technique (FAT).
Immunopetoxidase. Western Blothing assay dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
2.6 Pengendalian dan Pencegahan
Tidak ada pengobatan yang efektif. Namun perlakuan terhadap ternak ayam yang
sakit dapat diberikan pengobatan, misalnya dengan tetes 5% dalam air minum selama 3
hari, gula rnerah 2% dicampur dengan NaHC03 0,2% dalam air minum selama 2 hari,
pemberian vitamin, elektrolit dan mineral dapat mencegah dehidrasi serta pemberian
antibiotik dapat mencegah infeksi sekunder serta mengurangi kadar protein dalam
makanan.
Tindakan pemberantasan ditujukan terhadap farm tertular dengan melakukan tindakan
isolasi ayam-ayam yang sakit dan penutupan sementara farm. Ayam-ayam yang mati
harus segera dikubur atau dibakar. Kandang tercemar harus dibersihkan dan didesinfeksi
dan orang atau petugas yang pernah kontak dengan ayam-ayam yang sakit dilarang
masuk kandang yang belum tercemar. Selanjutnya apabila farm sudah aman maka
dilakukan pembukaan farm kembali. Perlakuan terhadap farm terancam yaitu dilakukan
tindakan pengamatan dan pemantauan, penyuluhan dan ring vaksinasi dan terhadap farm
yang bebas penyakit dilakukan tindakan pencegahan secara rutin
Cara pencegahan yang paling efektif adalah melakukan vaksinasi. Ada 2 jenis vaksin
yang biasa digunakan yaitu vaksin aktif (live vaccine) dan vaksin inaktif (killed vaccine).
Vaksin aktif yang berasal dari strain standar terdiri dari strain yang ringan (mild), strain
keras (intermediet) dan strain varian.
2.7 Isolasi Virus

BAB III

METODOLOGI

3.1 Materi
3.1.1 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah bunsen, alat
peneropong/mesin candling, jarum, spuite 1cc, cawan petri, kutex/selotip, pinset,
organ bursa fabricius, 1 butir telur ayam berembrio, alkohol, phosphate buffer saline
(PBS), kapas, sarung tangan dan masker
3.2 Metode
3.2.1 Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dengan melakukan nekropsi pada ayam kemudian diambil
organ bursa fabricius untuk selanjutnya dilakukan isolasi virus.
3.2.2 Metode Pemeriksaan Sampel
a. Cara Pembuatan Inokulum
1. Sampel organ bursa fabricius ditimbang sebanyak 1 gram, ditempatkan pada
mortar steril, lalu dipotong kecil-kecil dan digerus sampai halus sambil
ditambahkan NaCl fisiologis sampai konsentrasinya 10-20 %.
2. Suspensi organ dipindahkan ke dalam tabung steril untuk disentrifuge
dengan kecepatan 2500 rpm selama 10-15 menit, kemudian dipisahkan
supernatan dari endapan.
3. Diambil bagian supernatan sebanyak 9 ml, ditambahkan dengan antibiotika
1ml yang sudah diencerkan (dengan dosis 1000-5000 IU penicillin dan
1000- d. 5000 µg/ml streptomisin). Campuran tersebut selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit.
4. Campuran supernatan yang berisi antibiotika tersebut selanjutnya digunakan
sebagai bahan untuk isolasi virus
b. Inokulasi Virus Melalui Membran Corioalantois (CAM)
1. Telur ayam berembrio diperiksa dengan cara peneropongan menggunakan
egg candler dan ditandai ruang udaranya dengan pensil.
2. Dibuat satu tanda (x) dibagian horizontal yang dekat dengan pembuluh
darah.
3. Kulit telur didesinfeksi dengan alkohol 70 % kemudian dibuat lubang pada
posisi ruang udara dengan menggunakan jarum pentul.
4. Dibuat lubang satu lagi di bagian horizontal yang telah diberikan tanda x.
5. Udara dihisap keluar dari lubang ruang udara untuk membuat ruang udara
buatan pada lubang yang diberi tanda x
6. Diinokulasikan 0,1 ml inokulum melalui ruang udara buatan, lalu lubang
tadi didesinfeksi dan ditutup dengan kutek
7. Telur diinkubasikan pada inkubator bersuhu 37ºC dengan posisi horizontal,
dan diamati setiap hari selama maximal 5 hari.
8. Telur dipanen dan dimasukkan ke almari pendingin.
c. Panen Virus pada Membran Corioalantois (CAM)
1. Telur dikeluarkan dari almari pendingin, lalu kulit telur digunting melingkar
secara horizontal.
2. Embrio dikeluarkan dari cangkang telur dan ditampung pada cawan petri
steril
3. Diambil selaput CAM yang menempel pada cangkang telur dan
ditempatkan pada cawan petri lain yang telah diisi PBS.
4. CAM dicuci dengan PBS, digoyang-goyangkan sampai bersih dan diamati
adanya bentuk pox pada CAM.
5. Bagian CAM yang terinfeksi (bentuk pox) kemudian dipotong dan disimpan
untuk bahan uji pada PCR atau uji AGPT
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Sinyalement
Nama Pemilik : Mama Marlin Doe
Alamat : Matani
Jenis Hewan : Ayam (Broiler)
Jenis Kelamin : Betina
Umur : 5 Bulan
Warna : Putih (corak hitam)

4.2 Pembahasan
DAFTAR PUSTAKA

Acribasi, M., A. Jung, E.D. Heller, S.S. Rautenschlein, and T.P. Van den Berg. 2010.
Differences in genetic background influence the induction of innate and acquired
immuneresponses in chickens depending on the virulence of the infecting infectious
bursal disease virus (IBDv) strain. Veterinary Immunology and Immunopathology.
135:79-92.
Jackwood, D.J., S.E. Sommer-Wagner, B.M. Crossley, S.T. Stoute, P.R. Woolcock, and B.R.
Charlton. 2011. Identification and pathogenicity of a natural reassortant between a very
virulen serotype 1 infectious bursal disease virus (IBDV) and a serotype 2 IBDV.
Virology. 420:98–105.
Mulyantini, N.G.A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Parede, L.H., S. Sapats, G. Gould, M. Rudd, S. Lowther, and J. Ignjatovic 2003.
Characterization of infectious bursal disease virus isolates from Indonesia indicates the
existence of very virulent strains with unique genetic changes. Avian Pathol. 32: 511 –
518.

Pudjiatmoko, M. S., Nurtanto, S., Lubis, N., Syafrison, S. Y., Kartika, D., Yohana, C. K., ...
& Saudah, E. 2014. Manual Penyakit Unggas. Subdit Pengamatan Penyakit Hewan
Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian. 2nd printing. Jakarta : 42-48

Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial, Mikal, dan
Viral. Kanisius, Yogyakarta.
Wiedosari, E dan S. Wahyuwardani. 2014. Studi Kasus Penyakit Ayam Pedaging di
Kabupaten Sukabumi dan Bogor. J. Kedokteran Hewan. 9:9-13.

Anda mungkin juga menyukai