Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit
zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family
Orthomyxoviridae. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit hewan menular yang
bersifat akut. Umumnya penyakit ini menyerang unggas dan dapat juga menular pada
hewan lain seperti kucing, anjing, dan anjing (Komnas FBPI, 2009).
Jenis strain yang teridentifikasi adalah H5N1 dan diklasifikasikan sebagai Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) yang dapat menyebabkan kematian pada populasi
burung, ayam dan itik (WHO, 2007). Penyakit flu burung banyak menarik perhatian
karena penularannya yang sangat cepat dengan angka kematian yang cukup tinggi. Flu
burung juga berpengaruh terhadap sektor perternakan, khususnya unggas, yang
mempunyai dampak besar terhadap ketersediaan daging (gizi) di masyarakat dan sektor
ekonomi para perternaknya (Widoyono, 2011).
Indonesia merupakan negara yang paling banyak terinfeksi Avian Influenza dengan
populasi masyarakatnya yang cukup besar. Mengingat Indonesia merupakan negara
kepulauan yang padat penduduk dan memiliki banyak unggas, sehingga sangat sesuai
bagi kehidupan virus flu burung dengan patogenitas. Indonesia termasuk negara yang
mendapatkan peringatan dari FAO sebagai Negara yang memiliki tingkat penyebaran
wabah Avian Influenza yang cukup tinggi. Sedangkan di Indonesia kasus flu burung
bermula ditemukannya kasus pada unggas di Pekalongan, Jawa Tengah, pada bulan
Agustus 2003 (Widoyono, 2011). Sampai tahun 2012 jumlah kasus terdapat 15 provinsi
yang tertular Flu Burung, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Jawa Timur, Banten, Bali, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Terdapat 2
provinsi yang baru tertular pada tahun 2012 yaitu Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat
(Kemenkes, 2013b).
Data yang dilaporkan kepada WHO, sampai dengan awal bulan 2018,lebih dari 859
orang terinfeksi Virus Avian Influenza dan 453 orang meninggal. Penyebaran Virus
Avian Influenza juga menyerang burung puyuh sebesar 15.916 ekor. Adapun ayam
kampong 8.406 ekor. Sementara jumlah ayam petelur (layer) sebesar 21.111 ekor. Hal
ini secara langsung akan mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi para peternak unggas.
Untuk membuktikan dugaan adanya antibody akibat masuknya virusAvian
Influenza pada ayam broiler, maka dilakukan penelitian uji Hemaglutination Inhibition
(HI) pada ayam broiler di kecamatan Sooko, kabupaten Mojokerto.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai
berikut: Apakah terdapat antibodi ND pada ayam buras di Desa Gayaman Kecamatan
Mojoanyar Kabupaten Mojokerto?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi antibody yang terbentuk akibat infeksi atau
paparan virus Avian Influenza (AI) pada ayam layer di Kecamatan Sooko,kabupaten
Mojokerto.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang ada atau
tidaknya penyakit Avian Influenza (AI) pada ayam layer di Kecamatan Sooko
Kabupaten Mojokerto, sehingga tindakan pencegahan dan penanggulangannya pada
ayam layer dan unggas lainnya dapat dijalankan.

1.5 Hipotesis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Layer

Ayam Petelur adalah ayam yang khusus dibudidayakan untuk menghasilkan telur
secaa komersil.Saat ini terdapat dua kelompok ayam petelur yaitu tipe medium dan tipe
ringan.Tipe mediumumumnya bertelur dengan warna kerabang coklat sedangkan tipe
ringan bertelur dengan warna kerabang putih (North and Bell, 1990). Selanjutnya rasyaf
(2001) menyatakan ayam petelur tipe medium disebut juga ayam dwiguna atau ayam
petelur cokelat yang memiliki berat badan antara ayam tipe ringan dan ayam tipe berat.

Strain ayam petelur yang ada di Indonesia seperti Isa Brown, Lohmann, Hyline, dan
Rode Island Red (RIR). Strain ayam diciptakan agar memiliki beberapa keunggulan,
seperti kemampuan produktivitas tinggi, konversi pakan rendah, kekebalan dan daya
hidup tinggi, dan masa bertelur panjang (Sudarmono, 2003). Hyline merupakan salah
satu strain ayam petelur dwiguna yang berkembang dipasaran (Setyono dkk., 2013).

2.1.1 Fase Fisiologis Ayam Petelur :

1. Fase Starter
Fase starter merupakan fase pemeliharaan ayam dari umur 1 hari
(DOC) sampai umur 6-8 minggu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010)..
Fase strarter merupakan fase penting untuk keberlanjutan pada fase-fase
berikutnya, sebab penanganan yang salah pada fase ini akan berdampak
pada fase grower dan layer.
2. Fase Grower
Fase grower dimulai saat ayam berumur 6-14 minggu dan 14-20
minggu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010). Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam pemeliharaan ayam fase grower, meliputi
perkandangan, pakan, pemotongan paruh, dan pencegahan penyakit.
Sifat pertumbuhan ayam fase grower cenderung meningkat lalu
menurun.

3. Fase Finisher
Fase finisher lebih dikenal dengan fase layer, yaitu fase ayam
sudah mulai berproduksi. Ayam dikatakan sudah masuk fase produksi
apabila dalam kandang yang berisi ayam dengan umur yang sama
tersebut produksinya telah mencapai 5% (Kartasudjana dan Suprijatna,
2010).

2.2 Avian Influenza

2.2.1 Definisi

AI disebabkan oleh virus influenza yang tergolong family Orthomyxoviridae.


Virus influenza dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu virus influenza tipe A ditemukan
pada ayam, babi, kalkun, bebek, mentok, angsa, burung dan ikan paus. Virus influenza
tipe B ditemukan pada manusia. Virus tipe C ditemukan pada manusia dan babi
(Rantam, 2004). Virus ini mempunyai struktur antigen permukaan antara lain
hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA), matriks protein dan nukleoprotein (NP
(Nidom, 2009). Secara umum morfologi virus influenza (virion) adalah partikel
berbentuk bola dengan diameter 50-120 nm, atau berbentuk benang dengan diameter 20
nm dan panjang virion 200-300 nm. Permukaannya berasal dari senyawa lipoprotein
dengan tempelan nukleokapsid. Ukuran nukleoprotein ini berbeda pada setiap loop
dalam kisaran panjang 50-130 nm dan diameter 9-15 nm (Nidom, 2009).

2.2.2 Patogenesis Avian Influenza

Proses infeksi tahap pertama terjadi secara inhalasi (menghirup) atau ingesti
(memakan) virus AI. Enzim tripsin dan protease lainnya dalam sel tropisma terutama
pada epitel saluran pernapasan, paru-paru dan trakea tersedia untuk pembelahan protein
hemaglutinin (Harder and Werner, 2006).
Tahap kedua, virion masuk ke dalam sel secara endositosis. Virus mengalami
replikasi dalam sel endotel dan menyebar melalui sistem peredaran darah atau sistem
limfatik untuk menginfeksi dan replikasi dalam bermacam- macam tipe sel organ
visceral, otak dan kulit.

Tahap ketiga dari pathogenesis penyakit AI yaitu replikasi virus yang biasanya
terbatas pada saluran pernapasan atau pencernaan. Virus AI bisa juga menyebar secara
sistemik, memperbanyak diri dan menimbulkan kerusakan pada ginjal dan sel-sel organ
yang lain (Harder and Werner, 2006).

2.2.3 Diagnosa Avian Influenza

Diagnosis dapat didasarkan atas riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologi
dan tidak adanya penyakit pernapasan lain. Isolasi virus dapat dilakukan dengan
pengambilan dari hewan hidup (feses, usapan kloaka dan hidung) atau hewan mati
(trakea, paru-paru, limpa, ginjal dan usus) (Tabbu, 2000). Pemeriksaan serologi dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus AI yang
dapat diamati pada hari ke tujuh sampai ke sepuluh pasca infeksi. Pemeriksaan serologi
yang sering dipakai adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya
antibodi terhadap hemaglutinin (H) (OIE,2012).

2.3 Uji HA dan HI

Uji serologi dipakai untuk diagnosis Avian Influenza, ialah uji yang mendeteksi
reaksi pengikatan antibodi dengan antigen (Baratawidjaja, 1998). Organisme tertentu
mampu mengaglutinasi eritrosit unggas dan mamalia. Organisme yang melakukan
hemaglutinasi diantaranya adalah virus dari family Orthomyxoviridae. Aglutinasi
eritrosit adalah dasar pengujian hemaglutination (HA) dan hambatan aglutinasi dengan
menggunakan antiserum subtipe H yang spesifik adalah merupakan dasar pengujian HI.
Prinsip pengujian HI adalah antibodi terhadap virus akan mencegah pengikatan virus
dengan sel darah merah (Muflihanah, 2009).

Dasar uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi yang terkandung dalam serum
yang diperiksa dan jumlah antigen hemaglutinin AI yang digunakan sebanyak 4 HAU
(Haemaggutination Unit).Aglutinasi sel darah merah oleh virus atau antigen AI dapat
dihambat oleh antibodi atau zat kebal terhadap AI. Pengujian HI merupakan metode
yang relatif murah dan sederhana untuk mengukur antibodi hemaglutinin spesifik pada
serum yang sudah divaksinasi. Hasil uji HI positif ditandai dengan adanya endapan pada
dasar microplate, tidak ada aglutinasi (OIE, 2012).

Uji HA dan HI dilakukan di microplate.Uji HA untuk mengetahui suatu virus


yang mempunyai kemampuan mengaglutinasi eritrosit atau untuk mengetahui titer virus
dengan mengamati dasar sumuran paling akhir yang menunjukan adanya agregat, tanda
adanya hemaglutinasi positif. Uji HI dilakukan setelah diperoleh hasil positif pada uji
HA . Secara singkat, metode kerja uji HI adalah pengenceran bertingkat serum sampel
hingga pengenceran terbesar yang masih sanggup menghambat aglutinasi sel darah
merah. Hasil positif jika tidak terjadi hemaglutinasi dan hasil negatif jika terjadi
hemaglutinasi. Hasil yang didapat diformulasikan sehingga diketahui titer antibodinya
sehingga dapat dibandingkan dengan standar titer protektif (Selleck, 2007).
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Sampel

Dalam penelitian ini digunakan bahan berupa sampel darah ayam layer yang
diperoleh dari Desa Tiron, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri dengan kriteria
ayam tersebut belum pernah dilakukan vaksinasi dan ayam pada peternakan tersebut
sebelumnya pernah sakit. Jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 50
ekor ayam layer yang berasal dari 5 RT yang berbeda. Sampel diambil selama satu
bulan dengan waktu pengambilan dua kali dalam seminggu. Sampel yang diperiksa
dari setiap ekor ayamlayeradalah serum darahnya.

3.2 Pengujian

3.2.1 Cara Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan sampel dilakukan di Desa Tiron,Kecamatan Banyakan, Kabupaten


Kediri dengan cara mengambil darah ayam buras melalui vena brachialis
menggunakan spuit, dibiarkan beberapa saat dalam posisi miring hingga darah
membeku. Selanjutnya sampel darah diletakkan ke dalam kulkas untuk disimpan.
Setelah semua sampel lengkap sampel diletakkan dalam termos es dan dibawa ke
Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya
untuk dipisahkan serum dari bekuan darahnya. Bagi sampel yang belum keluar
serumnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit.
Setelah serum terpisah, dipindahkan ke dalam microtube dan sampel serum
diinaktivasi dalam penangas air suhu 56°C selama 30 menit dengan tujuan untuk
menghilangkan reaksi nonspesifik yang ada dalam serum, kemudian sampel
disimpan dalam kulkas sampai diperiksa (Amanu dan Rohi, 2005)

3.2.2 Pemeriksaan Sampel


3.2.2.1 Pembuatan Suspensi Eritrosit 0,5%
Suspensi eritrosit 0,5% diperlukan untuk uji HA dan HI mikroteknik. Cara
mendapatkan suspensi eritrosit dengan konsentrasi 0,5% adalah sebagai berikut:
darah ayam ditampung dalam venoject yang telah diisi dengan antikoagulan EDTA
(konsentrasi 0,1-0,2%) dan darah tersebut disentrifus dangan kecepatan 2500 rpm
selama 10 menit. Supernatan dibuang dan sisa endapan ditambahkan PZ kemudian
disentrifus sampai supernatan jernih. Pencucian tersebut diulang sampai tiga kali
dengan cara yang sama hingga didapatkan suspensi eritrosit 100%. Suspensi eritrosit
0,5% diperoleh dengan cara penambahan PZ pada eritrosit hingga konsentrasi 0,5%
(Ernawati dkk., 2008).

3.2.2.2 Titrasi Antigen (Uji HA) dan Retitrasi Antigen 4 HA unit


Uji HA mikrotiter (mikroteknik) selain digunakan untuk mengetahui titer
antigen, juga dapat digunakan untuk retritasi antigen yaitu untuk mengecek
apakah antigen yang dikehendaki memiliki titer 4 HA unit.Antigen 4 HA unit
ini digunakan sebagai antigen pada uji hambatan hemaglutinasi (HI).

Cara kerjanya adalah mengisi microplate dengan 25 μl NaCl 0,9% mulai dari
lubang 1 – 12 menggunakan multichannel pipet 25 μl. Dilanjutkan mengisi lubang
pertama dengan antigen 25 μl dengan alat micropipet 25 μl. Selanjutnya antigen dan
NaCl 0,9% dicampurkan dengan menggunakan multichannel pipet 25 μl pada lubang
pertama, kemudian dipindahkan ke lubang 2 demikian seterusnya sampai lubang ke
11, sedangkan lubang ke 12 digunakan untuk kontrol eritrosit (tanpa antigen). Semua
lubang diisi dengan 50 μl eritrosit ayam 0,5%. Kemudian microplate digoyangkan
dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit atau sampai eritrosit pada sumuran
kontrol mengendap sempurna, kemudian dibaca titernya (pembacaan titer sebaiknya
dibandingkan dengan kontrol eritrosit) (Darmawi dkk, 2015).

Interpretasi hasil uji diatas sebagai berikut : hemaglutinasi sempurna (100%) adalah
hemaglutinasi terlihat jelas berupa lapisan eritrosit secara merata (diffuse) pada dasar
sumuran dan penjernihan dari cairan bagian atas tanpa terjadinya pengendapan
eritrosit berbentuk titik di tengah sumuran. Titer antigen adalah jumlah terkecil dari
pengenceran tertinggi yang masih mampu menunjukkan reaksi hemaglutinasi.
Setelah diketahui titernya dilakukan pengenceran. Cara n menghitung jumlah
pengenceran adalah 2n : 4 = X ( n = jumlah lubang 3 yang terjadi hemaglutinasi),
sebagai contoh 23 : 4 = 2x pengenceran.

Cara kerja retitrasi antigen 4 HA unit adalah mengisi lubang microplate dengan 25 μl
NaCl 0,9% mulai dari lubang 1 – 5 pada baris A dan B (titrasi duplikat). Alat yang
digunakan untuk mengisi lubang microplate dengan NaCl 0,9% adalah multichannel
pipet 25 μl. Dilanjutkan dengan mengisi lubang nomor 1 baris A dan B dengan
antigen 25 μl dan alat yang digunakan adalah multichannel pipet 25 μl. Antigen dan
NaCl 0,9% dicampurkan pada lubang nomor 1, kemudian dipindahkan ke lubang
berikutnya. Demikian seterusnya sampai lubang nomor 4 dan lubang 5 digunakan
sebagai kontrol eritrosit (tanpa antigen). Kemudian dilanjutkan dengan mengisi
semua lubang dengan 50 μl eritrosit ayam 0,5%. Selanjutnya microplate digoyangkan
dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit, kemudian dibaca titernya. (Amanu
dan Rohi, 2005).

3.2.2.3 Pemeriksaan Titer Antibodi (Uji HI)


Pemeriksaan titer antibody menggunakan 1 microplate untuk 16 sampelayam
layer. Langkah kerja uji HI adalah sebagai berikut : mengisi lubang microplate
dengan 25μl pengencer (Pz).Kemudian serum yang diperiksa diisi pada lubang no. 1
dan 6, sertaserum dari sampel ayam layer yang lain pada no. 7 dan 12 menggunakan
micropipiet 25μl. Lalu, serum dicampurkan dengan Pz pada lubang no. 1 kemudian
pindahkan ke lubang berikutnya sampai lubang no. 4,demikian juga lubang no. 7
sampai lubang no. 10 denganantigen AI 4HA unit sebanyak 25μl. Microplate
diinkubasi pada suhu kamar 30 menit. Kemudian semua lubang diisi dengan 50 μl
eritrosit ayam 0,5%. Diinkubasi lagi pada suhu kamar sampai eritrosit pada lubang
control mengendap sempurna. Kemudian dibaca titernya.

Interpretasi hasil uji diatas bisa dibaca hasilnya apabila pada lubang no.5 dan
11 (kontrol sel darah merah) terlihat sel darah merah mengendap dengan sempurna.
Titer antibodi tergantung sampai lubang mana masih terjadi hambatan
hemaglutinasi. Titer HI dihitung berdasarkan pengenceran tertinggi antibodi yang
masih mampu menghambat hemaglutinasi (Ernawati dkk., 2004).
Persentase burung merpati yang positif mengandung antibodi AI =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓
𝑥 100 (Budiharta dan Suardana,
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

2007).
DAFTAR PUSTAKA

Yesica, Reza. 2013. DETEKSI ANTIBODI AVIAN INFLUENZA (SUBTIPE H5)


DENGAN UJI HI (Hemagglutination Inhibition) PADA SERUM MERPATI
(Columba livia) YANG DIAMBIL DARI PASAR BANJARAN KOTA KEDIRI.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Elfidasari,dkk., 2014. Deteksi Antibodi Akibat Paparan Virus AI Subtipe H5N1 pada
Unggas Air Domestik di Sekitar Cagar Alam Pulau Dua. Universitas Al Azhar.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai