Anda di halaman 1dari 17

RIVIEW LITERATUR

PENYAKIT VIRUS AVIAN INFLUENZA

OLEH :

FREDERIKUS R.S TUKAN


2209022044

PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Etiologi

Avian Influenza (AI) merupakan virus ss-RNA yang tergolong


family Orthomyxoviridae, genus Alphainfluenzavirus dengan diameter
80-120 nm dengan panjang 200-300 nm. Virus AI tipe A mempunyai
8 segmen gen dan menghasilkan 10 jenis protein. Kedelapan segmen
tersebut antara lain gen hemaglutinin (HA), neuraminidase (NA),
matriks (M), nukleoprotein (NP), polymerase basic protein I (PB1),
polymerase basic protein 2 (PB2), polimerase A (PA) dan non
struktural (NS). Masing-masing segmen memberikan satu macam
sandi protein, kecuali segmen M memberikan sandi protein M1 dan
M2, serta segmen NS memberikan sandi protein NS1 dan NS2. Virus
Influeza A memiliki amplop dengan lipid bilayer dan dikelilingi sekitar
500 tonjolan glikoprotein. Glikoprotein ini terdiri dari protein
permukaan hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang
mempunyai aktivitas hemaglutinin dan neuraminidase. Protein HA
pada virus berperan sebagai perantara penempelan virus dan masuk
membran endosom hospes. Neuraminidase berkontribusi dalam
pelepasan partikel virus pada sel hospes yang terinfeksi (Smith et al.,
2009). Gen Matriks M1 berperan dalan awal infeksi yaitu saat
pemisahan protein M1 dari RNP untuk masuk ke sitoplasma.

Virus Avian Influenza (AI) terbagi atas tiga tipe, yaitu tipe A, B,
dan C. Virus Influenza tipe A dapat menginfeksi berbagai spesies
unggas, mamalia, dan manusia, dan merupakan patogen utama
yang berperan dalam pandemi Influenza di seluruh dunia. Tipe B
dan C hanya ditemukan pada manusia. Virus Influenza A
dikelompokkan berdasarkan pada dua antigen permukaan virus,
yaitu protein hemaglutinin (HA), dan protein neuraminidase (NA),
yang sampai saat ini telah ditemukan 18 HA (H1-H18) dan 11 NA
(N1-N11) (Tong et al 2013). Diantara subtipe virus Avian Influenza,
subtipe H5 dan H7 diketahui mempunyai patogenitas yang tinggi
(HPAI) (Asmara 2006; Pattnaik et al., 2006).

Bentuk Avian Influenza yang sangat patogen sampai saat ini


ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7 (Wasito et al., 2014).

Sifat alami virus Afian Influenza mudah mati oleh panas, sinar
matahari, dan desinfektan (deterjen, ammonium kuartener, senyawa
fenol, dan kalium hipoklorit). Panas dapat merusak infektifitas virus

AI. Pada suhu 56°C, virus AI hanya dapat bertahan selama 3 jam

dan pada suhu 60° selama 30 menit. Pelarut lemak seperti deterjen
dapat merusak lapisan lemak ganda pada selubung virus. Kerusakan
selubung virus ini mengakibatkan virus influenza menjadi infektif
lagi. Sodium dodecylsulfate akan mengganggu amplop, sehingga
merusak protein hemaglutinin dan neuraminidase. Media pembawa
virus berasal dari ayam sakit, burung, dan hewan lainnya, pakan,
kotoran hewan, alat transportasi serta peralatan yang tercemar.
Strain yang sangat ganas dan menyebabkan flu burung adalah
subtype A H5N1. Virus ini dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari

pada suhu 22°C dan lebih dari 30 hari pada 0°C.

Berdasakan tingkat keparahan penyakit, virus AI dibedakan


menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low Pathogenic
Avian Influenza (LPAI) (Raharja, 2004).
Sifat dari virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) yaitu
mampu menyerang saluran pernapasan, pencernaan, sistem saraf,
dan peredaran darah sehingga dapat menyerang dan merusak semua
organ tubuh dengan tingkat kematian yang tinggi yang mencapai
100% atau menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan
sering menimbulkan wabah. Sedangkan subtype virus yang
dikategorikan sebagai Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI)
menyebabkan gejala ringan atau tidak memiliki gejala pada unggas yang
terinfeksi (Alexander, 2000; Harimoto and Kawaoka, 2001).
Gambar 1. (Kiri) Struktur virus avian influenza beserta protein
penyusun, (Kanan) Gambaran mikroskop elektron virus Avian
influenza (Pudjiatmoko et al., 2014).

Virus influenza tergolong virus dengan genom bersegmen,


sehingga mudah mengalami mutasi. Mutasi dapat terjadi melalui
proses antigenic drift dan antigenic shift, sehingga sulit dikenali oleh
sistem kekebalan inang.

 Antigenic drift merupakan keadaan dimana virus AI mengalami


mutasi dengan adanya perubahan urutan nukleotida pada gen
HA atau NA atau keduanya yang menyebabkan antibodi tidak
dapat menetralisir virus secara lengkap. Perubahannya bersifat
minor, walaupun subtipenya sama tetapi mempunyai nilai
homologi yang berbeda diantara subtipe tersebut dan dapat
menyebabkan epidemik influenza.
 Antigeni shift merupakan aktivitas rekombinan dari dua macam
virus inluenza A yang menghasilkan segmen gen baru. Aktivitas
ini mengakibatkan antibodi yang sudah terbentuk di dalam
tubuh tidak dapat menetralkan sama sekali virus baru tersebut.
Hasil dari rekombinasi ini akan menghasilkan subtipe baru,
perubahannya dominan (mayor) dan dapat menimbulkan
pandemi (Raharjo, 2004).
1.2 Epidemologi
Avian Influenza yang pertama kali menyerang manusia dilaporkan di Ho-
0ngkong pada tahun 1997. Selama Kejadian Luar Biasa (KLB) tersebut
dilaporkan 18 orang dirawat di rumah sakit dan 8 orang meninggal dunia.
Berdasarkan laporan yang masuk ke Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejak
tahun 2003 hingga tanggal 27 Februari 2006, tercatat jumlah kasus Avian
Influenza yang sconfirmed laboratorium mencapai 173 kasus dan 93 kasus
(53,8%) di antaranya meninggal dunia. Negara dengan jumlah kasus Avian
Influenza terbanyak adalah Vietnam (93 kasus) sekitar 53,8% dari total kasus di
seluruh dunia dengan kematian 45,16% (WHO, 2006).
Di Indonesia, Avian influenza yang mewabah sejak pertengahan
tahun 2003. Selain menyerang unggas, virus AI juga menginfeksi
manusia, sehingga membuat Indonesia menjadikan satu-satunya negara
dengan angka kejadian dan kematian tertinggi di dunia. Jenis hewan
yang tertular adalah ayam layer di peternakan komersial. Penyebaran
secara cepat terutama melalui perdagangan unggas. Dari bulan Agustus
2003 sampai Februari 2004 terjadi wabah penyakit unggas yang
menyebabkan kematian unggas sebesar 6,4% dari populasi unggas di
wilayah seluruh Propinsi yang ada di Pulau Jawa, Propinsi Kalimantan
Selatan, Propinsi Bali, Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi
Lampung.

1.2.1 Transmisi

Virus avian influenza dapat menular melalui kontak langsung


dari unggas terinfeksi dan unggas melalui saluran pernapasan
(aerosol), kongkungtiva, lendir dan feses; atau secara tidak
langsung melalui pakan, air minum, petugas, peralatan kandang,
sepatu, baju dan kendaraan yang terkontaminasi virus AI, serta
ayam hidup yang terinfeksi. Masa inkubasi bervariasi dari
beberapa jam sampai tiga hari pada unggas terinfeksi atau sampai
14 hari di dalam flok (Pattison et al., 2008). Burung migrasi,
manusia dan peralatan ternak, merupakan faktor beresiko
masuknya penyakit. Pasar burung dan pedagang pengumpul juga
berperan penting dalam penyebaran penyakit. Media pembawa
virus berasal dari ayam sakit, burung, pakan, kotoran ayam, alat
transportasi, serta peralatan yang tercemar.
1.2.2 Inang

Virus influenza tipe A dapat ditemukan pada burung-


burung liar, itik, burung puyuh, babi, ayam petelur, ayam
pedaging, ayam kampung, kalkun, burung merpati, serta
manusia. Virus AI tipe A rentan terkena pada unggas dengan usia
muda terutama pada unggas yang belum divaksin. Sedangkan
virus influenza tipe B dan C dapat ditemukan pada manusia.
1.2.3 Tingkat Morbiditas Dan Mortalitas

Penyakit yang ditimbulkan oleh Virus AI masih bersifat


endemik di Indonesia sehingga pelacakan kasus Avian influenza
dengan RT-PCR (Kencana et al., 2012). Virus AI terutama subtype
H5 dan H7 yang termasuk High Pathogenic Avian Influenza (HPAI)
mampu menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada
unggas komersial di Indonesia (Wasito et al., 2014). Sedangkan
infeksi Low Pathogenic Avian Ilnfluenza (LPAI) diketahui
menyebabkan morbiditas tinggi (>50%) dan mortalitas rendah
(<5%) (Swayne and Pantin-Jackwood, 2008).

1.3 Penyakit Avian Influenza

Penyakit Avian Influenza (AI) termasuk ke dalam kelompok


penyakit menular strategis dan bersifat zoonosis. Virus influenza A
dapat menginfeksi berbagai spesies unggas, mamalia, manusia dan
merupakan patogen utama yang berperan dalam pandemi influenza
di seluruh dunia (Isnawati Rina et al., 2020). Berdasarkan efek
patobiologisnya pada ayam, virus Avian Influenza dikategorikan
sebagai Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan Highly Pathogenic
Avian Influenza (HPAI). Biasanya LPAI menyebabkan infeksi tanpa
gejala atau menunjukkan tanda atau lesi klinis yang mencerminkan
kerusakan patofisiologis pada sistem pernapasan, pencernaan, dan
reproduksi. Sedangkan HPAI memiliki tingkat morbiditas dan
mortalitas yang tinggi, dan penyakit sistemik dengan nekrosis dan
peradangan pada beberapa organ visceral, sistem saraf,
kardiovaskuler, dan integumen (Swayne and Pantin, 2009).

Ada tiga faktor yang mempengaruhi kerugian ekonomis yang


disebabkan oleh virus AI yaitu lingkungan fisik, lingkungan hidup dan
lingkungan sosial atau perilaku manusia ( pedagang dan peternak). Interaksi
antara beberapa komponen lingkungan baik fisik, kimiawi, dan biologi telah
menjadi penyebab timbulnya penyaki AI (Hartono et all., 2012). Kerugian yang
ditimbulkan oleh adanya virus AI kususnya di dunia peternakan berupa
kematian unggas yang akan menyebabkan penurunan prdouksi telur maupun
daging, kondisi ini secara tidak langsung akan mengkibatkan kerugian pada
sektor-sektor ekonomi seperti restoran, perhotelan, pertanian dll (Yusdja,
2016).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Faktor Virulensi

Virus influenza A mengenali 2 bentuk asam sialat (SA) N-


acetylneuraminic acid (NeuAc) dan N-glycolylneuraminic acid (NeuGc) yang
diikat ke galaktosa dengan ikatan SAα-2,3Gal atau SAα2,6Gal sebagai
reseptornya.4,7 Kemampuan virus untuk bereplikasi pada spesies yang
berbeda dipengaruhi oleh jenis SA dan ikatannya dengan asam amino pada
posisi 226 atau 228 pada receptor binding specificity (RBS) dari HA virus.
Gln226 berkorelasi dengan reseptor spesifik SAα-2,3Gal pada virus influenza A
unggas dan leu226 spesifik dengan virus influenza A manusia untuk subtipe
H2 dan H3 tetapi tidak dengan subtipe H1 (setiwaty, 2012).

Virus influenza A subtipe H1 yang menginfeksi babi dan manusia


mengalami mutasi pada Glu190 ke Asp dan Gly225 ke Glu yang berhubungan
dengan kemampuan spesifik virus influenza A avian mengenali reseptor SAα-
2,6Gal pada saat virus avian beradaptasi supaya dapat menginfeksi babi dan
manusia. Selain itu virus influenza A manusia pada semua subtipe HA juga
memperlihatkan adanya hubungan antara pasangan asam amino Leu226
dengan Ser228. Sedangkan virus influenza A pada kuda dan unggas (kecuali
H13) Gln226 berpasangan dengan Gly228. Pasangan asam amino ini
dibutuhkan untuk ketepatan virus yang berikatan dengan reseptor SA dari
spesies yang berbeda. Epitel trakhea manusia, secara dominan, mempunyai
reseptor NeuAcα-2,6Gal, kuda mempunyai reseptor NeuAc dan NeuGc serta
pada trakheanya terdapat reseptor NeuGcα-2,3Gal, pada usus bebek
mengandung reseptor NeuAcα2,3Gal (juga NeuGcα-2,3Gal). Hal ini dapat
menjelaskan mengapa kuda rentan terhadap transmisi langsung dari virus
influenza A unggas tetapi tidak terhadap virus influenza A manusia. Jaringan
otot dan sel epitel trakhea babi mempunyai reseptor SAα-2,3Gal dan SAα-
2,6Gal, sehingga dapat terinfeksi virus influenza A avian dan manusia.4,9 Virus
influenza A manusia menginfeksi sel epitel yang tidak bersilia (sel epitel saluran
pernafasan) sedangkan virus influenza A avian menginfeksi sel yang bersilia (sel
epitel saluran cerna) dimana pada masing-masing sel ini terdapat reseptor yang
spesifik (setiwaty, 2012).

Pada virus yang virulen, HA secara fungsional harus cocok dengan


potongan NA yang mempunyai panjang tangkai NA dengan ukuran tertentu. NA
diperlukan sejak virus dilepaskan dari permukaan sel. Bila terdapat
ketidakcocokan HA dan NA maka virulensi virus akan berkurang karena
reassortant virus terhalangi. Tangkai NA, merupakan tempat yang aktif diatas
envelop virion, bervariasi pada sekuens dan panjangnya. Tangkai NA yang
pendek kurang efisien dalam pemisahan progeny virus karena tempat aktifnya
tidak dapat mencapai substrat dengan efisien. Bagaimanapun, secara alamiah
virus avian influenza A yang kurang virulen pada unggas adalah yang
mempunyai tangkai NA pendek.5,8,11 Replikasi virus influenza pada host
dipengaruhi juga oleh kemampuan virus beradaptasi pada hostnya. Virus
Influenza A manusia tidak dapat bereplikasi pada saluran pencernaan unggas
(bebek) karena adanya perbedaan reseptor. Namun ada virus influenza unggas
yang dapat bereplikasi pada manusia. Salah satunya adalah virus Influenza
HK/H5N1/1997 yang dapat bertransmisi secara langsung dari unggas (ayam)
ke manusia tanpa beradaptasi terlebih dahulu dengan mamalia lain. Virus
avian influenza A (HK/H5N1/1997) dapat bereplikasi pada usus manusia dan
memberikan beberapa gejala gastrointestinal. Hal ini mengindikasikan bahwa
terdapat perbedaan biologis antara kemampuan beradaptasi dari virus
influenza A pada manusia dan virus influenza A unggas yang ditunjukkan
dengan kemampuannya bereplikasi di usus. Strain virus influenza A manusia
bereplikasi dengan baik pada suhu 37°C, tetapi tidak baik pada suhu 40°C,
sementara strain virus influenza avian masih dapat bereplikasi secara efisien
pada suhu 40°C, hal ini dikarenakan suhu tubuh avian lebih tinggi
dibandingkan suhu tubuh mamalia (setiwaty, 2012).

1.3 Patogenesis
Tahapan pertama pada infeksi virus Avian Influenza terjadi
secara inhalasi atau ingesti yaitu attachment (penempelan) protein
HA dari virus ke reseptor sel hospes. Proses attachment (penempelan)
virus merupakan fase masuknya virus pada sel hospes melalui
reseptor spesifik yang disebut dengan endositosis (Radji, 2006).
Proses endositosis virus tergantung dari reseptor spesifik yang
diekspresikan oleh permukaan sel hospes yang berupa asam sialat.
Pada proses attachment (penempelan) protein HA pada virus akan
berikatan dengan reseptor yang spesifik pada hospes, dimana
reseptor ini berupa α 2,3 dan 2,6 asam sialat. Setiap spesies
mempunyai reseptor spesifik dan terletak pada jaringan tubuh yang
berbeda-beda. Reseptor α 2,3 terdapat pada golongan unggas,
sedangkan α 2,6 terdapat pada manusia (Thompsone et al., 2006).
Gambaran dari tahap masuknya dan berkembangnya virus AI
ke dalam sel secara skematis yaitu mula-mula virion menempel pada
reseptor sel tropisma melalui protein Hemaglutinin. Awalnya virus
menyerang di sel epitel dari saluran pernapasan bawah (Trakea dan
sel epithelial alveoli) dan pencernaan. Kemudian virus masuk dalam
pembuluh darah dan menyebar secara viremia atau infeksi sel imun
penyebaran dan infeksi organ lain menyebabkan terjadinya infeksi
sekunder.

1.4 Gejala Klinis

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Avian Influenza


dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain strain virus yang
menginfeksi, spesies dan usia hospes, status imun hospes, dan
faktor lingkungan. Infeksi Avian Influenza dapat menimbulkan
penyakit dengan derajat keparahan yang berbeda. Infeksi pada
unggas, terutama ayam dan kalkun dapat menimbulkan gejala klinis
mulai dari mortalitas tinggi dengan kematian mendadak tanpa
disertai gejala tertentu sampai dengan hanya menunjukka gejala
yang ringan pada bentuk penyakit yang sangat ringan (Swayne and
Sins 2020).

Gejala klinis yang terlihat pada ayam penderita Highly


Pathogenic Avian Influenza (HPAI) antara lain adalah jengger, pial,
kelopak mata, telapak kaki dan perut yang tidak ditumbuhi bulu
terlihat berwarna biru keunguan atau cyanosis. Adanya perdarahan
pada kaki berupa bintik- bintik merah (petekie). Keluarnya cairan
dari mata dan hidung, pembengkakan pada muka dan kepala, diare,
batuk, bersin, dan ngorok. Nafsu makan menurun, penurunan
produksi telur. Adanya gangguan syaraf, tortikolis, lumpuh dan
gemetaran. Kematian terjadi dengan cepat. Sementara pada Low
Pathogenic Avian Influenza (LPAI), kadang gejala klinis tidak terlihat
dengan jelas, tetapi ada penurunan produksi telur dan anoreksia
(Swayne and Sins 2020).

Gambar 2. (A) Cyanosis pada jengger dan pial. (B) Menunjukkan


Perdarahan pada kaki, (C) Keluarnya Cairan dari hidung dan paruh,
(D) Pembengkakan pada kepala.

1.5 Teknik diagnosa laboratorik


Secara laboratorik, diagnosa dapat dilakukan secara virologis
dengan cara inokulasi suspensi spesimen (suspensi swab hidung
dan trakea, swab kloaka, dan feses atau organ berupa trakea, paru,
limpa, dan pankreas). Isolasi virus pada telur berembrio umur 9-11
hari (TAB). Identifikasi dapat dilakukan secara serologis, antara lain
dengan uji Haemagglutination (HA), dan Haemagglutination Inhibition
(HI). Sedangkan uji konfirmasi untuk mengetahui adanya virus secara
molekular keberadaan virus Avian Influenza (AI) dapat di deteksi
dengan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) (Suwarno dkk.,
2006).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Penyakit Avian Influenza (AI) termasuk ke dalam kelompok
penyakit menular strategis dan bersifat zoonosis. Virus Avian
Influenza terbagi atas tiga tipe, yaitu tipe A, B, dan C. Virus
Influenza tipe A dapat menginfeksi berbagai spesies unggas,
mamalia, dan manusia, dan merupakan patogen utama yang
berperan dalam pandemi Influenza di seluruh dunia. Tipe B dan
C hanya ditemukan pada manusia.
2. Diantara subtipe virus Avian Influenza, subtipe H5 dan H7
diketahui mempunyai patogenitas yang tinggi (HPAI).
3. Berdasakan tingkat keparahan penyakit, virus AI dibedakan
menjadi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) dan Low
Pathogenic Avian Influenza.
3.2 Saran
Peternak sebaiknya tanggap dalam melaporkan ke medik veteriner
apabila terjadi kematian mendadak pada ternak unggas. Agar dilakukan deteksi
Avian influenza yang cepat berdasarkan gejala klinis yang ditunjukkan.
Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya kasus AI wajib diberikan ke
ternak. Apabila terjadi wabah AI sebaiknya dilakukan langkah pencegahan
penyebaran dengan melakukan prosedur pembakaran ternak serta disinfeksi
kandang yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Asmara., 2006. Diversitas Genetik dan Potensi Penularan Virus


Avian Influenza ke Manusia. Fakultas Kedokteran Universitas
Gajah Mada.

Kencana GAY, Kardena IM, Mahardika IGNK. 2012. Peneguhan


Diagnosa Penyakit Newcastle Desease Lapang pada Ayam Buras
di Bali Menggunakan Teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan
6(1).
Pudjiatmoko et al. 2014. Manual Penyakit Unggas Cetakan ke-2. Kementrian
Pertanian, Direktorat jenderal Peternakan dan Kesehatan hewan,
Direktorat Kesehatan hewan. Jakarta.

Raharjo, Y. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan


Pemberantasannya. Gallus Indonesia Utama: Jakarta.

Smith et al., 2009. Origins and Evolutionary Genomic of the 2009


Swine-Origin H1N1 Influenza A Epidemic. Nature. 2009 Jum
25;259 (7250):1122-5.

Suwarno., et al., 2006. Karakteristik Virus Avian Influenza dengan


Uji Serologik dan Reverse Transcriptase Polymerase Chain
Reaction. Media Kedokteran Hewan 2: 74-78

Swayne DE., Pantin-Jackwood M. 2008. Pthobiology of Avian


Influenza Virus Infection in Birds and Mammals. Iowa, USA;
Blackwell Publishing Professional.

Swayne and Sims., 2020. Influenza. Dalam: Penyakit Unggas, Edisi


Keempat Belas: Penerbit Wiley.

Tong S., Zhu X., Li Y., et al., 2013. New World Bats Harbor Diverse Influenza A
Viruses. Plos Pathog 9(10); e1003657

Vivi, setiwaty. 2012. Virulensi dan transmisi virus influensa A pada


manusia, hewan, mamalia dan unggas. Peneliti Pusat Biomedis dan
Teknologi Dasar Kesehatan, Balitbangkes.

Wasito R et al., 2014. Detection and Differentation of Pathogenic H5


and H7 Influenza A Virus Subtypes in Indonesia Poultry by
Multiplex Reverse Transcriptation Polymerase Chain Reaction.
Net Journal 2: 27-31.

Werner and Harder., 2006. Avian Influenza 43. In Kamps, B.S.,


Hoffman, C., Preiser,W. (eds) Influenza Report 2006, Flying
Publishers, Paris accessed at www.influenza. Com

Wicaksono., 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik


Biosekuriti Pedagang pada Pasar Burung di Wilayah DKI Jakarta
Terkait Avian Influenza. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
WHO. Avian influenza frequently asked questions, (2005). Diakses 10 April 2006
dari www.who.int

Yuniwarti et al., 2013. Virgin Coconut Oil Meningkatkan Aktivtas


Fagositosis Makrofag Ayam Pedaging Pascavaksinasi Flu
Burung. Jurnal Sains Veteriner. 14(2);191

Anda mungkin juga menyukai