Anda di halaman 1dari 34

Referat

FLU BURUNG / AVIAN INFLUENZA

1
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................2
KATA PENGANTAR..................................................................................................3
DAFTAR ISI................................................................................................................4
DAFTAR SINGKATAN...............................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................8
2.1 Definisi...............................................................................................................8
2.2 Epidemiologi......................................................................................................9
2.3 Faktor Risiko......................................................................................................9
2.4 Patogenesis.......................................................................................................10
2.5 Manifestasi Klinis............................................................................................14
2.6 Diagnosis..........................................................................................................16
2.7 Diagnosis Banding...........................................................................................20
2.8 Tata Laksana....................................................................................................20
2.9 Komplikasi.......................................................................................................32
2.10 Prognosis......................................................................................................32
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................34

2
DAFTAR SINGKATAN

ACE : angiotensin converting enzyme


AI : Avian lnfluenza
ALI : Acute Lung Injury
ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome
DAMP : damage-associated molecular pattern molecules
HA : hemagglutinin
HPAI : very pathogenic avian influenza
ILI : lnfluenza Like lllness
INR : International Normalized Ratio
IRF : interferon regulatory factor
LPAI : low pathogenic avian influenza
MAP : Mean Arterial Pressure),
MAVS : mitochondrial antiviral signalling protein
MD-MΦ : monocyte-derived alveolar macrophages
NA : neuraminadase
NF : nuclear-factor
PAMP : pathogen-associated molecular pattern molecules
RIG-I : retinoic acid-inducible gen-I
SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia
SP1R : sphingosine-1 phosphate receptor
TLR : Toll-like receptors
TR-MΦ : tissue-resident alveolar macrophages

3
BAB I
PENDAHULUAN

Flu burung atau avian influenza, merupakan penyakit infeksi akibat virus
influenza tipe A yang biasa mengenai unggas. Subtipe virus influenza yang lazim
mengenai manusia adalah kelompok H1, H2, H3, serta N1 dan N2, disebut
sebeagi human influenza. Secara ringkas virus ini dikenal dengan virus A
(H5N1).1 Manusia yang terinfeksi avian influenza menunjukkan gejala yang
menyerupai flu biasa. Komplikasi yang mengancam jiwa adalah gagal napas dan
gangguan fungsi tubuh lainnya.2
Flu burung menyebabkan penyakit pada manusia telah ditetapkan selama
wabah flu burung pertama kali pada tahun 1997 di Hong Kong di antara 18 kasus
manusia, 6 meninggal. Kelompok infeksi manusia telah dilaporkan dari Indonesia
dan Thailand. Saat ini, unggas yang dominan virus influenza yang menginfeksi
manusia adalah subtipe H5N1. Secara global, wabah flu burung yang sangat
patogen H5N1 saat ini telah mengakibatkan dalam 306 kasus dengan 185
kematian. Sampai saat ini, sebagian besar kasus flu burung pada manusia
disebabkan oleh kontak langsung dengan unggas atau produk unggas yang
terinfeksi. Lebih dari 36 kelompok keluarga telah dilaporkan dari Indonesia,
Thailand dan Vietnam.3
Secara kumulatif jumlah penderita flu burung di Indonesia sejak akhir Juni
2005 – September 2017 adalah sebanyak 200 orang dan 168 orang diantaranya
meninggal dengan angka kematian (CFR) 84%. Di Indonesia flu burung pada
manusia pertama kali diinformasikan secara laboratorium pada awal bulan Juli
2005 dari Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dengan jumlah penderita
konfirmasi H5N1 2 orang dan 1 probabel, semua meninggal dunia. Awal sakit
(onset) kasus tersebut pada akhir Juni 2005, dan merupakan kasus klaster pertama
di Indonesia. Sampai akhir September 2017 penderita flu burung telah tersebar di
15 Provinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Riau,

4
Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan,
Bali, D.I. Yogyakarta, Bengkulu, Nusa Tenggara Barat) yang meliputi 59
kabupaten/kota.4
Manifestasi klinis flu burung bergantung pada subtipe virus. Pasien bisa
asimtomatik, atau bisa mengalami manifestasi berat seperti pneumonia disertai
gagal napas dan gagal organ multipel. Pasien flu burung umumnya datang dengan
flu-like symptoms seperti demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, nyeri otot,
sakit kepala dan lesu, serta memiliki riwayat kontak dengan unggas atau berada di
daerah endemis flu burung. Pemeriksaan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang berupa laboratorium dan radiologi.5
Virus flu burung menyebar dari Asia ke Eropa dan Afrika dan telah
menjangkit unggas-unggas di beberapa negara yang berakibat jutaan unggas
terinfeksi dan ditemukannya kasus kematian manusia yang mencapai angka
ratusan. Iklim di Indonesia sangat kondusif bagi perkembangan virus avian
influenza yaitu tropis yang menyebabkan penyebaran flu burung begitu cepat
keseluruh kawasan Indonesia.6 Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
dokter umum untuk flu burung sendiri adalah 3B yaitu mampu membuat
diagnosis dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat serta dan
merujuk sehingga penting untuk mempelajari mengenai flu burung lebih lanjut.7

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Flu burung adalah istilah umum yang menggambarkan penyakit yang
disebabkan oleh berbagai jenis virus influenza A yang diketahui menginfeksi
burung yang kadang-kadang menyebabkan wabah penyakit virus pada manusia. 8
Virus influenza A adalah bagian dari keluarga Orthomyxoviridae .  Virus lain
dalam kelompok ini termasuk virus influenza B dan C. Sementara influenza B dan
C telah ditemukan pada spesies lain, hanya influenza A yang ditemukan
menginfeksi burung.9
Virus influenza A inang alamiahnya adalah unggas akuatik. Virus ini dapat
ditularkan pada spesies lain dan dapat menimbulkan wabah yang berdampak besar
pada peternakan unggas domestik atau menimbulkan suatu wabah influenza
manusia. Virus A merupakan patogen manusia yang paling virulen di antara
ketiga tipe infleuenza dan menimbulkan penyakit paling berat, yang paling
terkenal di Indonesia adalah flu babi (H1N1) dan flu burung (H5N1).10
Virus influenza B hampir secara ekslusif hanya menyerang manusia dan
lebih jarang dibandingkan virus influenza A. karena tidak mengalami keragaman
antigenik, beberapa tingkat kekebalan diperoleh pada usia muda, tapi sistem
kekebalan ini tidak permanen karena adanya kemungkinan mutasi virus. Virus
influenza C menginfeksi manusia, anjing dan babi, kadangkala menyebabkan
penyakit yang berat dan epidemi lokal. Namun, influenza C jarang terjadi
disbanding jenis lain dan biasanya hanya menimbulkan penyakit ringan pada anak
–anak.10
Virus influenza tipe A memiliki dua jenis glikoprotein permukaan yaitu
Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N), kedua protein permukaan ini akan
menentukan subtipe virus flu burung yang banyak jenisnya. Virus influenza tipe A
memiliki 16 subtipe H dan 9 subtipe N. Virus influenza A berdasarkan
virulensinya pada unggas dibagi menjadi 2 tipe yaitu low pathogenic avian

6
influenza (LPAI) dan very pathogenic avian influenza (HPAI). LPAI pada
awalnya berasal dari itik liar yang memiliki jenis virus H4, H5, H6, H7, dan H9
yang berkombinasi dengan subtipe N pada unggas ternak seperti ayam dan itik.
Virus influenza A subtipe H5 dan H7 dapat berkembang menjadi HPAI pada
unggas darat seperti ayam dan kalkun dengan memperoleh mutasi gen H yang
mengakibatkan terjadinya infeksi sistemik.11

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO 11 Agustus 2022, tidak ada kasus baru infeksi
virus flu burung A (H5N1) pada manusia yang dilaporkan ke WHO di Wilayah
Barat. Secara global, sejak Januari 2003 hingga 11 Agustus 2022, telah dilaporkan
864 kasus manusia terinfeksi virus flu burung A(H5N1) dari 18 negara. Dari 863
kasus tersebut, 456 berakibat fatal (CFR 53%). Kasus terakhir dilaporkan dari
Amerika Serikat pada April 2022.12
Di Indonesia jumlah kasus infeksi H5N6 sejak tahun 2014-2018 sebanyak
23 kasus konfirmasi dengan 7 kematian. Adapun tahun 2018, H5N6 dilaporkan
sebanyak 4 kasus. Tahun 2019 tidak ada kasus yang dilaporkan. Kasus H5N1 di
Indonesia sejak tahun 2005 sampai 27 Oktober 2018 sebanyak 200 kasus dengan
168 kematian (CFR 84%). Tahun 2019 sampai sekarang tidak ada kasus yang
dilaporkan.13

2.3 Faktor Risiko


Faktor risiko utama infeksi manusia dengan virus LPAI atau HPAI adalah
paparan unggas di peternakan atau pasar burung hidup yang umum di seluruh
Asia. Pertenakan hewan yang dilakukan di halaman belakang akan
memungkinkan kontak lansung yang sering antara manusia dan unggas.
Peternakan yang dilakukan dengan merawat berbagai jenis hewan membuat virus
lebih mudah ditularkan antara inang yang berbeda seperti ayam dan babi.
Penularan terutama terjadi melalui rute fekal-oral. Barang-barang yang
terkontaminasi juga dapat menjadi sumber penularan seperti kotoran, kandang,
pakan, dan hewan yang mati.11

7
Faktor lain yang dapat membantu penyebaran virus HPAI termasuk hewan
ternak yang dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, bahkan melintasi
perbatasan negara. Perdagangan unggas, produk unggas, dan burung lain yang
terorganisir dengan baik (misalnya, burung peliharaan) di dalam negara dan juga
(seringkali secara ilegal) lintas batas mendorong penyebaran virus. Burung yang
diekspor sebagai bagian dari perdagangan ekstensif burung peliharaan juga
kadang-kadang ditemukan terinfeksi virus. Selanjutnya, kotoran unggas sering
digunakan sebagai pupuk atau untuk memberi makan ikan memberikan peluang
untuk penyebaran infeksi.5 

2.4 Patogenesis
Infeksi virus dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah terjadi
penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan sel
hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan mengintegrasikan
materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan menggunakan mesin
genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi membentuk virion-virion baru,
dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari
beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita
ternyata avian influenza dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring dan di dalam sel
gastrointestinal.14
Penyebaran virus Avian lnfluenza (Al) terjadi melalui udara (droplet
infection) di mana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi
saluran napas atau langsung memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet).
Virus flu burung lebih banyak menginfeksi saluran pernapasan bagian bawah
karena adanya perbedaan pada protein hemaglutinin dan jenis residu dari sialic
acid (SA) yang mengikat protein dibandingkan dengan virus influenza pada
umumnya. Glikoprotein H memediasi perlekatan dan masuknya virus dengan
mengikat reseptor sialic acid pada permukaan sel. Virus flu burung memiliki sialic
acid alpha (2-3) galactose yang ditemukan di terminal bronkus, alveoli, dan
konjungtiva sedangkan pada virus influenza terdapat sialic acid alpha (2-6)

8
galactose yang ditemukan pada sel epitel di saluran pernapasan bagian atas.
Glikoprotein H adalah target utama imunitas dengan menetralkan antibodi.15,16
Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein
yang mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang
dapat berikatan dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana virus
berasal. Virus avion influenza manusia (human influenza viruses) dapat berikatan
dengan alpha 2,6 sialiloligosakarida yang berasal dari membran sel di mana
didapatkan residu asam sialat yang dapat berikatan dengan residu galaktosa
melalui ikatan 2,6 linkage. Virus Al dapat berikatan dengan membran sel mukosa
melalui ikatan yang berbeda yaitu ikatan 2,3 linkoge. Adanya perbedaan pada
reseptor yang terdapat pada membran mukosa diduga sebagai penyebab mengapa
virus Al tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien pada manusia.
Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan mengikat virus sehingga
perlekatan virus dengan sel epitel saluran napas dapat dicegah. Virus yang
mengandung protein neuraminidase pada permukaannya dapat memecah ikatan
tersebut. Virus selanjutnya akan melekat pada epitel permukaan saluran napas
untuk kemudian bereplikasi di dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-
6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel didekatnya.
Masa inkubasi virus 18 jam sampai empat hari, lokasi utama dari infeksi yaitu
pada sel-sel kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan
intinya mengkerut dan kemudian mengalami piknosis. Bersamaan dengan
terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan
inklusi.17
Genom virus terdiri dari delapan segmen RNA yang mengkodekan total 11
protein. Sebuah virion mengandung delapan protein ini dikelilingi oleh selubung
protein yang mencakup dua penentu antigenik virus, hemagglutinin (HA) dan
neuraminadase (NA). Protein HA berikatan dengan residu asam sialat yang
diekspresikan pada saluran napas atau epitel alveolus, memicu endositosis virion.
Pengasaman hasil endosom dalam fusi HA virus dengan membran endosom dan
aktivasi saluran ion M2, memungkinkan proton memasuki inti virus untuk
memisahkan kompleks ribonukleoprotein, yang kemudian ditranspor ke sel inti

9
plasma tempat replikasi virus terjadi. Replikasi virus dan pelepasan virus
menggunakan lipid pada membran plasma seluler. Setelah pelepasan, HA dalam
virion yang baru terbentuk terikat pada reseptor asam sialat pada permukaan
sel. Pelepasan ini dibantu oleh NA, melepaskan keturunan virus, yang kemudian
menginfeksi sel lain atau meninggalkan individu melalui sekresi tetesan
pernapasan aerosol.18

Gambar 1. Replikasi virus flu burung18

Infeksi influenza menghasilkan aktivasi berurutan dari jalur kekebalan inang


yang menguntungkan dan merugikan di paru-paru. a) Respon paling awal terlihat
pada saluran napas yang terinfeksi atau sel epitel alveolar. Dari kiri ke kanan,
keberadaan RNA virus intraseluler mengaktifkan Toll-like receptors (TLR),
terutama TLR7 dan TLR3, untuk menginduksi jalur yang berujung pada aktivasi
interferon regulatory factor (IRF)3 atau IRF7, yang meningkatkan transkripsi
jenis I interferon (IFN)-α/β. Aktivasi jalur ini juga dapat menginduksi transkripsi
sitokin dan kemokin proinflamasi dengan mengaktifkan nuclear-factor (NF)-κB.
5′ triphosphorylated double stranded RNA (5′-PPP dsRNA) yang dilepaskan ke
dalam sitosol selama infeksi influenza menginduksi perubahan konformasi pada

10
retinoic acid-inducible gen-I (RIG-I), yang berinteraksi dengan mitochondrial
antiviral signalling protein (MAVS) memungkinkannya untuk mengaktifkan
nucleotide-binding oligomerisation domain-containing protein (NOD)2. Ini juga
menginduksi transkripsi tipe I IFNsmelalui IRF3 dan sitokin pro-inflamasi
melalui NF-κB. Protein inflammasome ASC (adapter apoptosis protein yang
seperti protein yang mengandung CARD), pro-interleukin (IL)-1β dan pro-IL-18
diinduksi oleh NF-κB. Di hadapan RNA virus, ASC berinteraksi dengan keluarga
NLR, pyrin domain-containing (NLRP)3 dan MAVS untuk menginduksi aktivasi
inflammasome NLRP3, yang membelah dan mengaktifkan caspase-1 untuk
menghasilkan IL-1β dan IL-18, sehingga memperkuat kaskade inflamasi. b)
Infeksi saluran napas atau sel alveolus tipe II menghasilkan damage-associated
molecular pattern molecules (DAMP) dan pathogen-associated molecular pattern
molecules (PAMP), yang dirasakan oleh sel dendritik residen (DC). DC
bermigrasi ke kelenjar getah bening untuk mengaktifkan sitotoksik (CD8 +) dan
sel T helper (CD4 +), serta sel T memori langka yang mampu menginduksi
respons antivirus spesifik. Pada saat yang sama, DAMPs, PAMPs, virus
endositosis dan mungkin infeksi influenza itu sendiri menginduksi pelepasan IFN
tipe I dan sitokin inflamasi dari tissue-resident alveolar macrophages (TR-MΦ)
dan DC. Sitokin/kemokin ini menginduksi perekrutan neutrofil dan perekrutan
dan diferensiasi monosit darah perifer menjadi monocyte-derived alveolar
macrophages (MD-MΦ). Baik neutrofil dan MD-MΦ memperkuat respon
inflamasi. Kerusakan pada endotel yang mendasari menyebabkan hilangnya
regulator negatif rekrutmen sel inflamasi dan inflamasi, termasuk sinyal melalui
sphingosine-1 phosphate receptor (SP1R) dan pelepasan angiotensin melalui
angiotensin converting enzyme (ACE), sehingga memperkuat respon inflamasi. c)
Pelepasan yang dihasilkan dari IFN tipe I dan sitokin inflamasi dan aksi sel T
sitotoksik sangat penting untuk virus.18

11
Gambar 2. Respon imunitas tubuh terhadap virus influenza18

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis akibat infleksi virus influenza A H5N1 pada dasarnya
sama dengan flu biasa lainnya, terutama terjadi di sistem respiratorik mulai dari
yang ringan sampai berat. Masa inkubasi flu burung sangat pendek yaitu tiga hari,
dengan rentang dua sampai empat hari. Manisfestasi klinis avian influenza secara
umum sama dengan gejala ILI (lnfluenza Like lllness), yaitu batuk, pilek, dan

12
demam. Demam biasanya cukup tinggi yaitu >380C. Gejala lain berupa sefalgia,
nyeri tenggorokan, mialgia, dan malaise.17
Manifestasi klinis flu burung pada manusia berkisar dari konjungtivitis
ringan hingga pneumonia berat dengan kegagalan sistem multi-organ. Usia rata-
rata pasien adalah 17,2 tahun pada wabah H5N1 HPAI 1997 dan 16 tahun pada
kasus Asia Tenggara 2003 hingga 2006. Temuan klinis yang dominan tampaknya
bervariasi dengan setiap subtipe influenza A; misalnya, pada tahun 2003 selama
wabah Belanda (H7N7) 92% (82 dari 89) pasien dengan konjungtivitis dan
sebagian kecil dengan gejala pernapasan. Namun, dengan HPAI di Hong Kong
pada tahun 1997 dan di Asia Tenggara saat ini, pneumonia berkembang menjadi
kegagalan multiorgan, sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), dan kematian
adalah temuan paling banyak. Sindrom rye, perdarahan paru, dan mual, muntah,
dan diare juga muncul pada kasus ini. Pada hasil laboratorium didapatkan
trombositopenia dan limfopenia. Pada hasil rongten thoraks didapatkan infiltrat
interstisial, konsolidasi lobar, dan bronkogram udara. Perjalanan klinis pasien
dengan HPAI H5N1 berlangsung cepat, dengan 68% persen pasien mengalami
ARDS dan kegagalan multiorgan dalam waktu 6 hari setelah onset penyakit.19,20
Adapun keluhan gastrointestinal berupa diare, muntah-muntah, nyeri perut,
dan keluhan lain berupa konjungtivitis, nyeri dada (pleuritik), sputum yang
dihasilkan bervariasi kadang-kadang dengan darah, pernapasan tertekan
(respiratory distress), dan takipnea. Perjalanan klinis avian influenza umumnya
berlangsung sangat progresif dan fatal. Pada kondisi berat sulit dibedakan dari
pneumonia tipikal/bakterial. Mortalitas penyakit ini hingga laporan terakhir
sekitar 50%.17
Kelainan laboratorium hematologi yang hampir selalu di jumpai adalah
lekopenia, limfopenia dan trombositopenia. Cukup banyak kasus yang mengalami
gangguan ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin. Kelainan gambaran
radiologis toraks berlangsung sangat progresif dan sesuai dengan manifestasi
klinisnya namun tidak ada gambaran yang khas. Kelainan foto toraks bisa berupa
infiltrat bilateral luas infiltrat difus, multilokal, atau tersebar (patchy); atau dapat
berupa kolaps lobar.17

13
2.6 Diagnosis
Pada prinsipnya diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis terkait flu burung adalah
 gejala yang diderita oleh penderita
 adanya riwayat kontak dengan pasien yang didiagnosis avian
influenza (H5N1)
 adanya faktor risiko, seperti kematian unggas secara mendadak, atau
unggas sakit di peternakan/dipelihara di rumah
 melakukan perjalanan ke daerah endemis avian influenza 7 hari
sebelum timbulnya gejala.
Pada pemeriksaan fisik pasien avian influenza didapatkan :
 suhu tubuh > 38º C
 napas cepat
 hiperemi farings (farings kemerahan).
Pada pemeriksaan laboratorium diperoleh :
 leukopenia
 limfopenia
 trombositopenia ringan sampai sedang
 kadar aminotransferase yang meningkat sedikit atau sedang
 kadar kreatinin juga meningkat.19
Pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit diperlukan untuk mengetahui
status oksigenasi pasien, keseimbangan asam-basa dan kadar elektrolit pasien.
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya avian influenza H5N1
dengan Immunofluorescence assay, Enzyme Immunoassay, Polymerase Chain
Reaction (PCR) dan Real-time PCR assay, biakan virus.21 Tes rapid antigen untuk
AIV memang ada tetapi dapat menhasilkan negatif palsu dalam kasus yang
dikonfirmasi. Sumber sampel yang diambil untuk pengujian adalah swab
nasofaring atau aspirasi, tetapi cairan tubuh lainnya dapat digunakan jika swab
nasofaring atau aspirasi tidak tersedia.22  Karena infeksi membawa risiko kematian
yang tinggi, tes rapid antigen yang negatif seharusnya tidak menyingkirkan

14
infeksi AIV bila ada kecurigaan yang tinggi. Identifikasi virus dengan RT-PCR
dalam kultur virus adalah gold standar untuk diagnosis AIV, dan deteksi virus
biasanya dapat dilakukan dalam beberapa hari setelah onset penyakit. 23 Dari hasil
pemeriksaan ini dapat ditentukan status pasien apakah termasuk curiga (suspect),
mungkin (probable) atau pasti (confirmed). Pada pemeriksaan radiologi dengan
melakukan X-foto toraks didapatkan gambaran infiltrat yang tersebar atau
terlokalisasi pada paru. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi oleh karena
virus atau bakteri di paru-paru atau yang dikenal dengan pneumonia. Gambaran
hasil radiologi tersebut dapat menjadi indikator memburuknya penyakit avian
influenza.16
Kriteria diagnosis flu burung menurut Departemen Kesehatan RI (2017):24
 Pasien dalam observasi
Demam >38°C disertai 1 atau lebih gejala berikut: Batuk, sakit
tenggorokan, pilek, napas pendek/sesak napas (pneumonia) dimana
belum jelas ada/tidaknya kontak dengan unggas sakit/mati mendadak
yang belum diketahui penyebabnya dan produk mentahnya. Pasien
masih dalam observasi klinis, epidemiologis, dan pemeriksaan
laboratorium.
 Kasus suspek AI H5N1 (dalam pengawasan)
Demam >38°C disertai 1 atau lebih gejala berikut batuk, sakit
tenggorokan, pilek, napas pendek/sesak napas, pneumonia dan diikuti
salah satu atau lebih keadaan:
1. Pernah kontak dengan unggas sakit/mati mendadak yang belum
diketahui penyebabnya dan/atau babi serta produk mentahnya
dalam 7 hari terakhir,
2. Pernah tinggal di daerah yang terdapat kematian unggas yang
tidak biasa dalam 14 hari terakhir sebelum timbulnya gejala,
3. Pernah kontak dengan penderita flu burung konfirmasi dalam 7
hari terakhir sebelum timbulnya gejala
4. Pernah kontak dengan spesimen AI H5N1 dalam 7 hari terakhir
sebelum timbulnya gejala

15
5. Ditemukannya leukopeni <3000/μL,
6. Ditemukan adanya titer antibodi H5 dengan pemeriksaan HI test
menggunakan eritrosit kuda atau ELISA untuk influenza A
tanpa subtipe.
Atau kematian akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS)
dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini berikut leukopenia atau
limfopenia dengan/tanpa trombositopenia (trombosit <150.000/pl.),
gambaran pneumonia atipikal atau infiltrat di kedua sisi paru yang makin
meluas pada foto toraks serial
 Kasus probabel AI H5N1
Kriteria kasus suspek ditambah dengan 1 atau lebih keadaan dibawah
ini:
1. Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4x terhadap
H5 dengan pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda
atau ELISA
2. Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5 (dideteksi
dengan antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal)
menggunakan tes netralisasi (dikirim ke referensi laboratorium)
3. Dalam waktu singkat menjadi pneumonia berat/gagal
napas/meninggal dan terbukti tidak ada penyebab lain
 Kasus konfirmasi AI H5N1
Kasus suspek atau probabel dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini:
1. Kultur virus influenza A/H5N1 (+)
2. PCR influenza A/H5N1 (+)
3. IFA test ditemukan antigen (+) menggunakan antibodi
monoklonal influenza A/H5N1
4. Kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1 sebanyak 4x
dalam paired serum dengan uji netralisasi

16
Indikasi rawat di ruang isolasi pada pasien flu burung
1. Suspek flu burung dengan gejala klinis berat yaitu sesak napas
dengan frekuensi napas 230x/menit, nadi 2100x/menit,
gangguan kesadaran (+), kondisi umum lemah
2. Suspek dengan leukopenia
3. Suspek dengan gambaran radiologis pneumonia
4. Kasus probabel dan konfirmasi

Indikasi rawat di ICU pada pasien flu burung


Kriteria masuk ICU untuk pasien dewasa semua pasien yang memenuhi
kriteria sepsis berat dan syok septik : Acute Lung Injury (ALI), Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS). Sepsis berat adalah sepsis disertai salah satu
gangguan fungsi-fungsi organ, seperti hipotensi dengan tekanan darah sistolik <
90 mmHg atau penurunan > 40 mmHg atau mean arterial pressure (MAP) < 65
mmHg, hiperlaktatemia dengan laktat serum ≥ 2 mmol/L (18 mg/dL), peningkatan
akut kreatinin serum > 176,8 mmol/L (2,0 mg/dL) atau pengeluaran urine < 0,5
mL/kg/jam selama > 2 jam, Acute Lung Injury (ALI) dengan PaO2/FIO2 ≤ 300
mmHg (P/F rasio), peningkatan akut bilirubin > 34,2 μmol/L (2 mg/dL),
penurunan akut dari jumlah trombosit menjadi < 100 000, koagulopati dengan
International Normalized Ratio (INR) > 1,5 atau partial thromboplastin time
(aPTT) > 60 detik. Syok septik adalah hipotensi yang diinduksi oleh sepsis yang
tidak bisa diatasi dengan resusitasi cairan yang adekuat. Acute Lung Injury (ALI)
berdasarkan kriteria definisi dari American-European Consensus Conference
adalah onset akut hipoksemia ((P/F rasio ≤ 300 mmHg) dan infiltrat radiologis
diffuse yang utamanya bukan disebabkan oleh payah jantung. Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) adalah bentuk ALI yang berat dengan P/F rasio ≤ 200
mmHg.4
Kriteria masuk ICU untuk pasien anak adalah distress napas ditandai dengan
meningkatnya upaya napas dan pemakaian otot-otot pernapasan tambahan
sehingga dapat ditemukan napas cepat, retraksi epigastrium, interkostal,
suprasternal dan pernapasan cuping hidung, disertai analisis gas darah PaO2 < 50-

17
60 mmHg, PaCO2 > 55-60 mmHg atau peningkatan cepat > 5 mmHg/jam, gagal
napas, ditandai dengan penurunan kesadaran, penurunan respon terhadap rangsang
fisik takikardia / bradikardia hebat, kolaps perifer, merintih, takipnea, apnea,
penurunan suara napas, upaya napas melemah, hilang kemampuan untuk
menangis, analisis gas darah PaO2 < 50 mmHgPaCO2 > 60 mmHg, dan Ratio
PaO2/FiO2 :< 300, gangguan hemodinamik yang membutuhkan pemantauan ketat
atau tindakan invasive. Gejala awal syok pada anak adalah penurunan perfusi
organ vital yang mencakup penurunan status mental, waktu pengisian kapiler
memanjang, nadi perifer lemah, akral dingin dan lembab serta oligouria. Jika lebih
lanjut, akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi) dan penurunan tekanan
rata-rata arterial (MAP/Mean Arterial Pressure), kejang yang tidak teratasi dengan
antikonvulsan lini ke dua, lama kejang lebih dari 30 menit atau dibutuhkan infus
midazolam atau thiopental, inflamasi sistemik dan gagal organ.4

2.7 Diagnosis Banding

Flu burung mirip memiliki gejala yang mirip pada penyakit virus lainnya
sehingga perlunya dilakukan diagnosis banding. Flu burung dengan gejala sakit
kepala dan tanpa demam dapat di diagnosis banding dengan meningitis,
perdaragan intrakranial, migrain. Untuk gejala pernapasan dapat disebabkan oleh
infeksi saluran napas atas dan bawah dapat di diagnosis banding dengan
pneumonia, faringitis streptokokus, asma, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), dan emboli paru. Pasien dengan gejala sesak napas mungkin dapat
didiagnosis banding dengan gangguan jantung seperti perikarditis dan
miokarditis.25

2.8 Tata Laksana


Non Farmakologi
1. Terapi Nutrisi26
Jika tidak terdapat kontraindikasi, nutrisi enteral harus diutamakan. Pasien
flu burung seringkali mengalami muntah sehingga tidak memungkinkan
pemberian nutrisi enteral. Perhitungan kebutuhan kalori adalah seperti
pedoman berikut ini:

18
 1 tahun : 55 kcal/kgBB/hari
 5 tahun : 45 kkal/kgBB/hari
 10 tahun : 38 kkal/kgBB/hari
 10 – 18 tahun : 26 kkal/kgBB/hari
 Dewasa : 25 – 30 kkal/kgBB/hari untuk yang BB kurang (BMI <18),
BB dihitung berdasarkan BB aktual, untuk yang BB lebih (BMI >
25) atau obesitas, BB dihitung berdasarkan BB yang ideal
2. Istirahat dengan tujuan peningkatan daya tahan tubuh17
Farmakologis

Seperti penyakit virus lainnya, sebenarnya penyakit ini belum ada obat yang
efektif. Penderita hanya akan diberi obat untuk meredakan gejala yang menyertai
penyakit flu itu, seperti demam, batuk atau pusing. Food and Drug Administration
(FDA) Amerika Serikat telah merekomendasikan 4 (empat) jenis obat antiviral
untuk pengobatan dan pencegahan influenza A. Jenis obat tersebut diantaranya
adalah M2 inhibitors (amantadin dan rimantadin) dan neuraminidase inhibitors
(oseltamivir dan zanamivir). Keempat obat ini dapat digunakan yang biasa dikenal
(seasonal influenza). Mekanisme kerja amantadine dan rimantadine adalah
menghambat replikasi virus. Namun demikian kedua obat ini sudah tidak mempan
lagi untuk membunuh virus H5N1 yang saat ini beredar luas.23
Zanamivir dan oseltamivir merupakan inhibitor neuraminidase.
Neuraminidase ini diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel hospes pada
fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila neuraminidase ini
dihambat oleh oseltamivir atau zanamivir, maka replikasi virus tersebut dapat
dihentikan. Namun demikian belum ada uji klinik pada manusia yang secara resmi
dilakukan untuk mengevaluasi efektifitas dari zanamivir dan oseltamivir untuk
pengobatan avian influenza A (H5N1).14
Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspensi (12
mg/mL). pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi yang
disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang berusia lebih dari 1 tahun
yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 (dua) hari dan dapat digunakan

19
untuk profilaksis influenza pada dewasa dan anak yang lebih dari 13 tahun.
Oseltamivir tidak digunakan sebagai pengganti vaksinasi. Oseltamivir dapat
digunakan tanpa memperhatikan makanan. Jika digunakan bersamaaan dengan
makanan, toleransi dapat meningkat. Dosis oral yang direkomendasikan adalah 75
mg dua kali sehari selama 5 hari. Untuk dosis anak diatas 1 tahun diberikan
berdasarkan berat badan <16 kg dengan dosis 30 mg, 16-23kg dosis 45 mg, 20-
40kg dosis 60 mg dan >40kg dosis 75 mg dengan penggunaan dua kali sehari.
penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan kreatinin klirens 10-30
mL/menit. Pada kondisi ini, direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg
sekali sehari selama 5 hari. 27,28
Zanamivir digunakan untuk pengobatan penyakit akut yang tidak disertai
komplikasi yang disebabkan oleh infeksi virus influenza A dan B pada pasien
dewasa dan anak lebih dari 7 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari
2 (dua) hari. Zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien yang mengalami
penyakit kerusakan saluran pernapasan seperti asma atau penyakit kerusakan
paru-paru kronik. Bentuk sediaan zanamivir adalah serbuk inhalasi dalam bentuk
blister 5 mg. Dosis zanamivir yang direkomendasikan untuk perawatan influenza
pada pasien yang berusia lebih dari 7 tahun dan lebih adalah 2 inhalasi (per
inhalasi adalah 5 mg blister, jadi dosis total adalah 10 mg) dua kali sehari (jarak
pemakaian 12 jam), selama 5 hari. Dua dosis ini harus digunakan pada
pengobatan awal, jika mungkin jarak pemberian adalah 2 jam. Pada hari
berikutnya, jarak pemberian adalah 12 jam (misalnya pada malam dan siang hari),
waktu pemberian ini hendaknya sama setiap hari.29
Tata laksana flu burung di rumah sakit :26
1. Tata laksana di poliklinik
Melakukan anamnesis gejala dan kemungkinan terdapat dalam kelompok
yang beresiko tinggi. Pasien dengan risiko tinggi untuk Flu Burung, pasien
dikirim ke ruang triase Flu Burung (H5N1) untuk dievaluasi lebih lanjut
oleh tim Flu Burung (H5N1).

20
2. Tata laksana di IGD
Bila ada informasi rujukan pasien suspek Flu Burung (H5N1) dari rumah
sakit atau fasilitas kesehatan lainnya, maka langkah-langkah yang harus
ditempuh adalah sebagai berikut :
 Dokter yang merujuk berkonsultasi dengan dokter jaga IGD rumah
sakit rujukan
 Dokter jaga IGD rumah sakit rujukan berkonsultasi dengan tim Flu
Burung (H5N1) rumah sakit rujukan.
 Dokter tim Flu Burung (H5N1) rumah sakit rujukan berkomunikasi
dengan dokter yang akan merujuk mengenai gejala Flu Burung
(H5N1), nilai leukosit dan gambaran foto toraks.
 Pasien suspek Flu Burung (H5N1) segera dikirim ke rumah sakit
rujukan terdekat bila layak transpor. Jika tidak layak transpor
dilakukan stabilisasi dan isolasi sesuai dengan buku pedoman ini
sambil tetap berkomunikasi dengan tim Flu Burung (H5N1) rumah
sakit rujukan.
 Pasien tanpa rujukan lakukan anamnesis dan pemeriksaan di
tempat terpisah / triase khusus Flu Burung (H5N1). Bila ternyata
pasien suspek dikirim ke ruang isolasi Flu Burung (H5N1).
 Pasien anak yang didampingi orang tuanya maka orang tuanya
harus tetap memakai APD sesuai protap.

3. Tata laksana di ruang isolasi


a. Penilaian Klinis Perhatikan keadaan umum, kesadaran, tanda vital
(tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu). Pantau saturasi
oksigen dengan pulse oxymetry.
b. Pemeriksaan penunjang Lakukan pemeriksaan penunjang sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi pasien.
c. Terapi definitif (antiviral)
d. Terapi suportif dan simptomatik: terapi oksigen, terapi cairan,
nutrisi adekuat dll Antipiretik pilihan pertama adalah parasetamol.

21
Salisilat tidak boleh diberikan pada anak < 18 tahun karena dapat
menyebabkan Reye Syndrome, kelainan pada hati dan otak yang
ditandai dengan gejala neurologis (letargi, kejang, penurunan
kesadaran hingga koma) yang terjadi dengan cepat. Antipiretik
golongan Non-Steroidal Anti- Inflammatory Drugs (NSAID)
termasuk ibuprofen tidak boleh diberikan bila ada riwayat atau
gejala perdarahan saluran cerna. Terapi psikologik untuk mengatasi
kecemasan pasien dan stigma.
e. Antibiotika, selama pneumonia akibat kuman dari luar rumah sakit
(pneumonia komunitas) belum dapat disingkirkan, maka antibiotik
dapat diberikan. Pemilihan antibiotika secara empirik berdasarkan
dugaan kuman penyebab tersering sesuai dengan pola kuman dan
kepekaan setempat. Seperti kita ketahui jika terdapat pneumonia
kita harus mulai memberikan antibiotika dalam waktu kurang dari
4 jam. Jika tidak ditemukan kuman pada kultur maka antibiotik
harus dihentikan. Apabila diduga terjadi Hospital Acquired
Pneumonia (HAP), maka antibiotik harus disesuaikan dengan pola
kuman dan uji kepekaan rumah sakit setempat. Pemberian
antibiotika sebagai profilaksis tidak dianjurkan.
Bila kultur tidak tersedia dianjurkan sebagai berikut:
 Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik
oral pada anak < 5 tahun karena efektif melawan sebagian
besar patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak,
ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah
ko-amoksiklav, ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan
azitromisin
 Karena M. pneumoniae lebih prevalen pada anak yang
lebih tua, antibiotik golongan makrolide diberikan sebagai
pilihan pertama secara empiris pada anak > 5 tahun.
 Makrolide diberikan jika M. pneumoniae atau C.
pneumonia dicurigai sebagai penyebab

22
 Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika sangat
mungkin disebabkan oleh S. pneumoniae
 Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan
makrolide atau kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin
 Antibiotik yang diberikan per oral adalah aman dan efektif
untuk anak dengan pneumonia
 Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang
tidak dapat menerima obat per oral (misal karena muntah)
atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
 Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: co-amoxiclav,
cefuroxime, dan cefotaxime. Jika gejala klinis dan hasil
kultur mendukung S. pneumoniae sebagai penyebab,
amoksisilin, ampisilin, atau penisilin saja dapat diberikan
 Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika
terdapat perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena.
f. Pemberian kortikosteroid secara rutin tidak dianjurkan karena
belum ada uji klinis, bahkan berpotensi merugikan yaitu dapat
memperpanjang masa replikasi virus dan meningkatkan risiko
infeksi oportunistik. Kortikosteroid diberikan pada syok yang tidak
responsif dengan terapi cairan dan obat golongan vasopressor .
Pada keadaan tersebut di atas, kortikosteroid dipertimbangkan
untuk diberikan:
 Dewasa: Hidrokortison 200-300 mg/hari atau padanannya
metilprednisolon 0,5 – 1 mg/kgBB/hr dibagi dalam 3 - 4
dosis dalam 24 jam (dalam dosis terbagi setiap 8 - 6 jam).
Sebagai alternatif lain dapat diberikan dengan dosis awal 50
mg/kgBB/dosis, dan apabila diperlukan diulang dalam infus
drip selama 24 jam
 Anak: Hidrokortison 2 mg/kgBB IV Atau padanannya
Dexamethason 0,5 mg/kg BB setiap 8 jam atau
Metilprednisolon 1-2 mg/kgBB IV setiap 6 jam.

23
g. Immunomodulator hingga saat ini belum ada bukti klinis tentang
manfaat imunomodulator pada pasien Flu Burung (H5N1)

4. Tata laksana ICU


Tatalaksana di ICU mengikuti rekomendasi Surviving Sepsis
Campaign 2008 yang sudah dipublikasikan, sebagai berikut :30
 Segera lakukan resusitasi awal (6 jam pertama ) pada pasien dengan
hipotensi atau peningkatan serum laktat > 4mmol/L dengan target
atau tujuan resusitasi CVP 8-12 mmHg, MAP ≥ 65 mmHg,
pengeluaran urin ≥ 0.5 mL/KgBB/hari (anak : 1cc/kgBB), ScvO2
(Saturasi oksigen vena sentral, darah diambil dari kateter vena
sentral) ≥ 70% atau SvO2 (Saturasi vena campuran, darah diambil
dari kateter A. Pulmonalis) ≥ 65%.
 Jika target ScvO2 atau SvO2 tidak tercapai maka pertimbangkan
penambahan cairan lagi dengan cara transfusi packed red cells bila
diperlukan untuk mencapai hematokrit ≥ 30 dan/atau berikan
dobutamin per drip, maksimal 20 μg/kgBB/menit.
 Target CVP yang lebih tinggi yaitu 12–15 mmHg direkomendasikan
bila pasien menggunakan ventilasi mekanis atau terdapat pre-
existing decreased ventricular compliance.

24
Bagan 1. Algoritma Early Goal-Directed Therapy26

Lakukan pemeriksaan kultur sebelum memulai pemberian


antibiotika jika hal ini tidak menunda pemberian antibiotika secara
bermakna. Lakukan pemeriksaan kultur darah sebanyak dua atau lebih.
Salah satu atau lebih kultur darah harus diambil perkutaneus. Satu kultur
darah diambil dari setiap peralatan akses vena yang terpasang > 48 jam iv.
Kultur dari tempat lain bila secara klinis ada indikasi. Lakukan pemeriksaan

25
pencitraan (imaging) (sinar-x, USG atau scanning) segera untuk memastikan
dan mencari sumber infeksi bila dipandang aman untuk pasien.
1. Terapi Antibiotik
Berikan antibiotik IV sesegera mungkin dan selalu berikan pada jam
pertama setelah didiagnosis. Antibiotika spektrum luas agen aktif terhadap
bakteri/jamur patogen yang diduga paling mungkin menjadi penyebabnya
yang mempunyai penetrasi baik ke dalam sumber infeksi. Evaluasi ulang
antibiotik setiap hari untuk mengoptimalisasi efikasi, mencegah resistensi,
mencegah toksisitas, meminimalisasi biaya. Pertimbangkan terapi
kombinasi untuk infeksi Pseudomonas. Pertimbangkan terapi kombinasi
empiris pada pasien dengan neutropeni. Terapi kombinasi tidak lebih ≤ 3-5
hari dan di de-eskalasi (menjadi spektrum yang lebih sempit) sesuai dengan
test kepekaan antibiotika. Durasi terapi dibatasi 7-10 hari dapat
diperpanjang jika respon lambat atau terdapat undrainable foci infeksi atau
keadaan imunokompromis. Hentikan terapi antibiotik jika penyebabnya
ditemukan adalah non infeksi bakteri.
2. Terapi Cairan
Resusitasi cairan dengan menggunakan kristaloid atau koloid. Target CVP ≥
8 mmHg (jika dengan ventilasi mekanik ≥ 12 mmHg). Gunakan fluid
challenge technique, dan monitor adakah perbaikan hemodinamik. Berikan
fluid challenge dengan kristaloid 1000 ml atau 300-500 ml koloid selama 30
menit. Mungkin diperlukan lebih cepat dan volume yang lebih besar bila
terdapat hipoperfusi jaringan yang dipicu oleh sepsis. Laju (rate) pemberian
cairan harus diturunkan jika terdapat peningkatan tekanan pengisian jantung
tanpa perubahan hemodinamik secara bersamaan.
3. Vasopresor
Bertujuan untuk mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. (diwajibkan).
Pemberian norepineprin dan dopamin lewat vena sentral adalah pilihan
vasopresor awal. Epineprin, phenilefrin, atau vasopressin tidak diberikan
sebagai vasopresor awal pada syok septik. Vasopresin 0.03 unit/menit dapat
ditambahkan ke dalam norepineprin yang berikutnya dengan mengantisipasi

26
efek yang sama dengan pemberian norepineprin saja. Gunakan epinefrin
sebagai agen alternatif pertama pada syok septik bila respons tekanan darah
kurang pada pemberian norepineprin atau dopamin. Jangan menggunakan
dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal. Pada pasien yang
membutuhkan vasopresor, pasang kateter arterial segera mungkin.
4. Terapi Inotropik
Gunakan pada pasien dengan gangguan miokard yang ditandai dengan
peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah.
Jangan meningkatkan cardiac index untuk mendapatkan level supranormal.
5. Steroid
Tidak direkomendasikan rutin pada infeksi berat virus H5N1, tapi dosis
rendah kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada pasien syok septik yang
memerlukan vasopresor dan diduga mengalami adrenal insufisiensi.
Pertimbangkan pemberian hidrokortison IV pada pasien syok septik dewasa
bila hipotensinya kurang berespons terhadap resusitasi cairan dan
vasopresor yang adekwat. Tes stimulasi ACTH tidak direkomendasikan
untuk mengidentifikasi kelompok pasien syok septik dewasa yang harus
mendapat hidrokortison. Hidrokortison lebih dipilih daripada deksametason.
Fludrokortison (50 μg peroral satu kali sehari) dapat diberikan jika
digunakan alternative dari hidrokortison yang aktivitas
mineralokortikoidnya kurang. Fludrokortison digunakan bila diperlukan jika
mengggunakan hidrokortison. Terapi steroid dapat disapih setelah
vasopressor tidak lagi diperlukan. Dosis hidrokortison sebaiknya < 300
mg/hari. Jangan menggunakan kortikosteroid untuk menangani sepsis
apabila tidak ada syok kecuali endokrin dan dan riwayat pemberian
kortikosteroid pasien terbukti memang diperlukan.
6. Pemberian komponen darah
Berikan sel darah merah bila terdapat penurunan Hb sampai <7.0 g/dL. Nilai
Hb yang lebih tinggi dibutuhkan pada keadaan-keadaan tertentu (contoh :
iskemia miokardial, hipoksemia berat, perdarahan akut, penyakit jantung
sianosis, asidosis laktat). Jangan menggunakan eritropoetin untuk

27
menangani anemia yang disebabkan karena sepsis. Eritropoetin dapat
digunakan pada kondisi lain yang dapat diterima. Jangan menggunakan FFP
(fresh frozen plasma) untuk mengkoreksi gangguan pembekuan yang hanya
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium kecuali terdapat perdarahan
atau dilakukan prosedur invasive yang direncanakan. Jangan menggunakan
terapi antitrombin. Berikan trombosit jika jumlah < 5000/mm3 (5 x 109/L )
tanpa melihat adanya perdarahan, jumlah 5000-30.000/mm3 (5-30 x 109/L)
dan ada risiko perdarahan signifikan dan jumlah trombosit yang lebih tinggi
(≥ 50.000/mm3 [50 x 109]) dibutuhkan untuk prosedur bedah atau invasif.
7. Ventilasi Mekanik pada Sepsis yang dipicu ALI/ARDS
8. Sedasi, Analgesia, dan Blok Neuromuskuler pada Sepsis
Gunakan protokol sedasi dengan target sedasi untuk pasien ventilasi
mekanik dalam keadaan kritis. Dapat menggunakan sedasi bolus intermiten
atau sedasi infus continue untuk mencapai titik akhir (skala sedasi), dengan
lightening/interupsi harian untuk mengembalikan kesadaran. Titrasi ulang
jika dibutuhkan. Cegah blok neuromuskuler jika memungkinkan. Monitor
kedalaman blok dengan train-offour ketika menggunaan infuse continue
9. Kontrol Glukosa
Gunakan insulin IV untuk mengontrol hiperglikemia pada pasien dengan
sepsis berat setelah stabilisasi di ICU. Target gula darah < 150 mg/dL (8.3
mmol/L) menggunakan protokol tervalidasi untuk pengaturan dosis insulin.
Berikan sumber kalori glukosa dan monitor nilai gula darah setiap 1-2 jam
(setiap 4 jam saat stabil) pada pasien yang mendapatkan insulin IV.
Intrepretasi glukosa darah yang rendah secara hati-hati pada hasil
pemeriksaan point of care testing, karena tehnik ini mungkin memberikan
nilai yang lebih tinggi (overestimate) dari nilai glukosa pada darah arteri
atau plasma.

28
Bagan 2. Alur tatalaksana flu burung di fasilitas kesehatan tingkat pertama4

Bagan 3. Alur tata laksana flu burung di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan4

29
2.9 Komplikasi
Komplikasi dari infeksi virus avian influenza disebabkan oleh kegagalan
atau kerusakan organ, cedera iatrogenik selama pengobatan, atau koinfeksi.
Gangguan pernapasan jangka panjang sering terjadi pada pasien yang
membutuhkan ventilasi mekanis ekstensif, dan penyakit ginjal kronis mungkin
terjadi pada pasien dengan cedera ginjal akut. Seperti penyakit virus lainnya,
koinfeksi bakteri mungkin terjadi dan harus dipertimbangkan setiap kali kondisi
pasien berubah selama perjalanan penyakit atau jika memburuk setelah episode
perbaikan. Beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh penderita flu burung
adalah pneumonia, sepsis, acute respiratory distress syndrome (ARDS),
kegagalan multiorgan misalnya gagal jantung dan gagal ginjal, dan kematian.17

2.10 Prognosis
Pada pasien yang memerlukan rawat inap karena flu burung, kematian
yang dilaporkan lebih tinggi dari 50% untuk semua jenis infeksi virus flu burung,
meskipun data yang lebih rinci menunjukkan infeksi H7N9 kurang mematikan
dengan kematian 35% dibandingkan H5N1 dengan tingkat kematian 60%. Seperti
disebutkan sebelumnya, kemungkinan besar, tidak semua pasien yang terkena
virus datang ke rumah sakit, dan mungkin ada lebih banyak lagi dengan gejala
yang lebih ringan dan angka kematian yang lebih rendah. Apapun, semua
informasi saat ini menunjukkan bahwa virus itu berbahaya ketika menginfeksi
manusia, dan prognosis pada pasien rawat inap umumnya buruk.21,31

30
BAB III
KESIMPULAN

Flu burung merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus avian
influenza tipe A. Infeksi virus flu burung meskipun jarang pada manusia, telah
dilaporkan terutama melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau
lingkungan yang terkontaminasi, tetapi tidak mengakibatkan penularan virus di
antara manusia. Infeksi virus avian influenza A lebih sering terjadi pada anak-
anak, dewasa muda dan wanita muda berumur dibawah 18 tahun dengan masa
inkubasi sangat pendek yaitu tiga hari dengan rentang dua hingga empat hari.
Manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi pada sistem
respiratorik ringan sampai berat. Meskipun kadang orang yang terinfeksi virus flu
burung bisa tidak merasakan gejala apa pun, tetapi secara umum dapat mengalami
batuk, pilek, demam >38oC, sefalgia, nyeri tenggorokan, myalgia, malaise,
keluhan gastrointestinal seperti diare dan keluhan lain seperti konjungtivitis.
Diagnosis dapat berupa kasus suspek, probabel dan konfirmasi. Prinsip
penatalaksanaan avian influenza yaitu istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi,
dan imunomodulator. Komplikasi disebabkan oleh kegagalan atau kerusakan
organ, cedera iatrogenik selama pengobatan, atau koinfeksi. Kita tidak dapat
mencegah penyebaran flu burung tetapi dapat meminimalkan penyebarannya.
Perjalanan klinis umumnya berlangsung sangat progresif dan fatal, sehingga
sebelum sempat terpikirkan mengenai avian influenza, pasien sudah meninggal.
Mortalitas penyakit ini hingga laporan terakhir sekitar >60% untuk H5N1.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Belser JA, Tumpey TM. H5N1 pathogenesis studies in mammalian models.


Virus Res. 2013
2. Taylor WRJ, Burhan E, Wertheim H, Soepandi PZ, Horby P, Fox A, et al.
Avian influenza – A review for doctors in travel medicine. Travel Med
Infect Dis. 2010
3. Sonnberg S, Webby RJ, Webster RG. 2.1 Natural History of Highly
Pathogenic Avian Influenza H5N1. Virus Res. 2013
4. RI KK. Pedoman Penanggulangan Flu Burung. Kementrian Kesehat
Republik Indones. 2017;1–91.
5. Peiris JSM, De Jong MD, Guan Y. Avian Influenza Virus (H5N1): a Threat
to Human Health. Clin Microbiol Rev. 2007
6. Karo-Karo D, Diyantoro, Pribadi ES, Sudirman FX, Kurniasih SW,
Sukirman, et al. Highly Pathogenic Avian Influenza A(H5N1) Outbreaks in
West Java Indonesia 2015–2016: Clinical Manifestation and Associated
Risk Factors. Microorganisms. 2019
7. KK I. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia; 2019.
8. Lazarus R, Lian Lim P. Avian Influenza: Recent Epidemiology, Travel-
Related Risk, and Management.
9. Alexander DJ. An overview of the epidemiology of avian influenza.
Vaccine. 2007;25(30 SPEC. ISS.):5637–44.
10. Wolff T, Veit M. Influenza B, C and D Viruses (Orthomyxoviridae).
Encycl Virol. 2021
11. Li YT, Linster M, Mendenhall IH, Su YCF, Smith GJD. Avian influenza
viruses in humans: Lessons from past outbreaks. Br Med Bull.
2019;132(1):81–95.

32
12. WHO. Avian Influenza Weekly Update Number 857. 2022;(857):1–3.
13. Kemenkes RI. Situasi Penyakit Infeksi Emerging: Minggu Epidemiologi
ke-4. Germas. 2019;4:40784.
14. Radji M. Avian influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan dan
Penyebaran pada Manusia. Maj Ilmu Kefarmasia. 2006;3(2):55–65.
15. Belser JA, Lash RR, Garg S, Tumpey TM, Maines TR. The eyes have it:
influenza virus infection beyond the respiratory tract. Lancet Infect Dis.
2018
16. Sandrock C, Kelly T. Clinical review: Update of avian influenza A
infections in humans. Crit Care. 2007;11(2):1–9.
17. Setiati, Siti ; Alwi, Idrus ; Sudoyo, Aru W. ; Simadibrata, Marcellus K. ;
Setiyohadi, Bambang ; Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil. III
Ed. IV. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2017.
18. Herold S, Becker C, Ridge KM, Budinger GRS. Influenza virus-induced
lung injury: pathogenesis and implications for treatment. Eur Respir J. 2015
19. Wong SSY, Yuen KY. Avian Influenza Virus Infections in Humans. Chest.
2006
20. Soepandi PZ, Burhan E, Mangunnegoro H, Nawas A, Aditama TY,
Partakusuma L, et al. Clinical Course of Avian Influenza A(H5N1) in
Patients at the Persahabatan Hospital, Jakarta, Indonesia, 2005–2008.
Chest. 2010
21. Lazarus R, Lim PL. Avian Influenza: Recent Epidemiology, Travel-Related
Risk, and Management. Curr Infect Dis Rep. 2015
22. Chen Y, Wang D, Zheng S, Shu Y, Chen W, Cui D, et al. Rapid Diagnostic
Tests for Identifying Avian Influenza A(H7N9) Virus in Clinical Samples.
Emerg Infect Dis. 2015
23. JH B, J F, AM H, FG H, R H, MD de J, et al. Avian influenza A (H5N1)
infection in humans. N Engl J Med. 2005
24. Alwi, Idrus ; Salim, Simon ; Hidayat, Rudy ; Kurniawan, Juferdy ;
Tahapary D. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktik Klinis. Jakarta: Interna Publishing; 2019. 727–730 p.

33
25. Sendor AB, Weerasuriya D, Sapra A. Avian Influenza. StatPearls. 2022
26. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Klinis Flu Burung di
Rumah Sakit. 2010;
27. Lye DCB, Nguyen DH, Giriputro S, Anekthananon T, Eraksoy H,
Tambyah PA. Practical management of avian influenza in humans.
Singapore Med J. 2006;47(6):471–5.
28. WHO. Interim Guidlines for Avian Influenza Case Management. World
Health Organization; 2007. 9–17 p.
29. Nitiyoso N. Antivirus untuk Influenza. Cermin Dunia Kedokt.
2018;45(4):261–4.
30. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, Jaeschke R, et al.
Surviving Sepsis Campaign: international guidelines for management of
severe sepsis and septic shock: 2008. Crit Care Med. 2008
31. Bailey ES, Fieldhouse JK, Choi JY, Gray GC. A Mini Review of the
Zoonotic Threat Potential of Influenza Viruses, Coronaviruses,
Adenoviruses, and Enteroviruses. Front Public Heal. 2018

34

Anda mungkin juga menyukai