Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Avian Influenza (AI) atau flu burung atau sampar unggas merupakan penyakit
zoonosis yang ditularkan oleh virus Avian Influenza tipe A sub tipe H5N1 dari family
Orthomyxoviridae. Pada tahun 2012 CFR kasus flu burung di Indonesia naik menjadi
100% (9 kasus dengan 9 kematian) dari tahun sebelumnya. Selain menginfeksi ayam,
virus tersebut juga dapat menginfeksi babi, kalkun, dan manusia. Jumlah konfirmasi
kasus flu burung di Indonesia paling banyak dilaporkan pada tahun 2006, setelah itu
jumlah kasus flu burung terus menurun dari tahun ke tahun, yaitu dari 55 kasus pada
tahun 2006 menjadi 9 kasus pada tahun 2012. Penyakit flu burung atau flu unggas
(Bird Flu, Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas baik berupa burung, bebek, ayam, serta
beberapa binatang lain seperti babi. Data lain menunjukkan penyakit ini dapat juga
mengena pada puyuh dan burung unta. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh
virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah terjadi di
Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China,
Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan
transportasi unggas yang terinfeksi. (Budi Tri.2006).
flu burung atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan avian flu atau avian
influenza (AI) adalah penyakit menular yang disebabkan virus influenza A sub tipe
H5N1 yang biasanya menyerang unggas tetapi juga dapat menyerang manusia. Virus
ini termasuk family Orthomyxoviridae dan memiliki diameter 90-120 nanometer.
Virus avian influenza ini menyerang alat pernapasan, pencernaan dan system saraf
pada unggas. Secara normal, virus tersebut hanya menginfeksi ternak unggas seperti
ayam, kalkun dan itik, akan tetapi tidak jarang dapat menyerang spesies hewan
tertentu selain unggas misalnya baabi, kuda, haarimau, macan tutul dan kucing.
Walaupun hampir semua jenis unggas dapat terinfeksi virus yang terkenal sangat
ganas ini, tetapi diketahui yang lebih rentan adalah jenis unggas yang diternakkan
secara massal.(Irianto.20017).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Tinjauan umum penyakit
Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Penyakit flu burung yang
ditularkan oleh virus Avian Influenza jenis H5N1 pada unggas
dikonfirmasikan telah terjadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand,
Komboja, Taiwan, Laos, China, Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga
berasal dari migrasi burung dan tranportasi unggas yang terinfeksi. Indonesia
pada bulan Januari 2004 pun dikejutkan dengan kematian ayam ternak yang
luar biasa ( terutama di Bali, Jabotabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan
sejumlah daerah lainya). Awalnya kematian tersebut disebabkan virus new
castle, namun konfirmasi terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh
virus flu burung (Avian Influenza). Jumlah unggas yang mati akibat wabah
penyakit flu burung di 10 provinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842,275
ekor (4,77%).
Saat ini hampir disetiap daerah di Indonesia selalu ditemukan kasus flu
burung, termasuk provinsi Riau. Data kasus flu burung di Provinsi Riau
sampai dengan desember 2008, jumlah kasus suspek adalah 96 kasus dan
jumlah kasus konfirmasi sebanyak 7 kasus. Kasus suspek adalah kasus flu
burung yang menunjukkan gejala yang mirip dengan flu burung namun belum
dilakukan pemeriksaan laboratorium sedang kasus konfirmasi adalah kasus flu
burung yang menunjukkan gejala penyakit flu burung dan hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukkan hasil positif terinfeksi virus flu burung H5N1.
(Zainal Abidin.2011)

2.2.1.1 Pengertian Penyakit Flu Burung


Flu burung merupakan flu yang ditularkan burung ke manusia. Dalam dunia
medis flu burung juga dikenal dengan sebutan avian influenza. Flu burung sendiri
disebabkan oleh virus H5N1 Flu burung merupakan saluran pernapasan akut yang
menyerang organ tubuh, terutama paru-paru. Pada umumnya, flu burung
menjangkiti hewan ternak babi. Virus ini dapat menular dengan cepat dari
seseorang kepada orang lain di sekitarnya. Flu burung pernah menjadi pandemik
di dunia pada tahun 2009. Namun, pada tahun 2010 World Health Organization
(WHO) menganggap virus flu burung sebagai virus biasa yang dapat terjadi pada
manusia. Menurut World Health Organization, pada tahun 2018, Kasus A(H5N1)
terjadi secara kumulatif sejak tahun 2003 sampai tahun 2018 sebanyak 860 kasus
dengan 454 kematian di dunia. Kasus terakhir di deteksi di Indonesia pada bulan
September tahun 2017 (World Health Organization, 2018). Negara Indonesia
memiliki jumlah kasus flu burung yang dilaporkan dari tahun 2005 sampai tahun
2015 sebanyak 199 kasus dengan 167 kematian. Kasus konfirmasi flu burung
pada manusia di Provinsi Bali dari tahun 2005 sampai tahun 2015 sebanyak 7
kasus, yaitu pada tahun 2007 sebanyak 2 kasus terjadi di Kabupaten Jembrana
dan Tabanan, tahun 2011 sebanyak 3 kasus di Kabupaten Bangil, tahun 2012
sebanyak 1 kasus di Kabupaten Badung.( Sitti Rochmayati.2019)

2.2.1.2 Gejala Yang Berhubungan Dengan Gizi / mengganggu keadaan gizi


Masa inkubasi virus avian influenza A (H5N1) sekitar 2- 4 hari setelah
terinfeksi, namun berdasarkan hasil laporan masa inkubasinya bisa mencapai
antara 4-8 Sebagian besar pasien memperlihatkan gejala awal berupa demam
tinggi (biasanya lebih dari 38o C) dan gejala flu serta kelainan saluran nafas.
Gejala lain yang dapat timbul diantaranya:
 Diare
 Muntah
 Sakit peru
 Sakit pada dada
 Hipotensi
Se;ain itu juga bila sudah parah dapat terjadi perdarahan dari hidung dan
gusi. Gejala sesak nafas mulai terjadi setelah 1 minggu berikutnya. Gejala klinik
dapat memburuk dengan cepat yang biasanya ditandai dengan pneumonia berat,
dyspnea, tachypnea, gambaran radiografi yang abnormal seperti diffuse,
multifocal, patchy infiltrates; interstitial infiltrates; dan kelainan segmental atau
lobular. Kematian dan komplikasi biasanya disebabkan oleh kegagalan
pernafasan, acute respiratory distress syndrome (ARDS), ventilator-associated
pneumonia, pulmonary hemorrhage, pneumothorax, pancytopenia, Reye’s
syndrome, sepsis syndrome, dan bakteremia. Gambaran lain yang juga sering
dijumpai berdasarkan hasil laboratorium adalah, leukopenia, lymphopenia,
thrombocytopenia, peningkatan aminotransferase, hyperglycemia, dan
peningkatan creatinine. (Maksum Radji.2006)
Flu burung dapat di cegah dengan pengetahuan gizi yang cukup misalkan
dengan pengetahuan pengolahan makanan yang baik dan benar karena virus akan
mati dalam suhu yang tinggi, oleh karena itu daging, telur, dan hewan harus
dimasak dengan matang untuk menghindari penularan. Virus dapat bertahan
hidup pada suhu dingin. Bahan makanan yang didinginkan atau dibekukan dapat
menyimpan virus.

2.2.1.3 Faktor risiko, faktor penyebab yang berhubungan dengan gizi


Risiko penularan flu burung bisa meningkat karena kontak langsung dengan
unggas yang sudah terinfeksi. Entah unggas yang masih hidup atau yang sudah
mati. Selain itu, kontak dengan cairan tubuh unggas yang terinfeksi virus juga
bisa meningkatkan risiko sakit. Virus ini sebenarnya merupakan jenis virus yang
menyerang unggas, baik itu unggas liar maupun unggas yang diternak, seperti
ayam, bebek, angsa, ataupun burung. Flu burung bisa menular melalui kontak
langsung dengan unggas yang sakit atau lingkungan yang sudah terkontaminasi.
Penyebab penyakit ini adalah virus influenza tipe A, subtipe H5N1. Influenza tipe
A banyak ditemukan pada manusia dan beberapa jenis hewan.( Candra, B. 2006)

2.2.1.4 Konsekuensi yang berhubungan dengan gizi


Beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh penderita flu burung adalah:
1. Pneumonia
Pneumonia yang terjadi dapat disebabkan oleh virus inflenza A (H5N1)
sendiri atau juga oleh bakteri yang masuk dan menginfeksi paru yang
memang sedang sakit. Menurut ahli dari perawatan paru dan kritis di Weill
Cornell Medical College di New York, Amerika Serikat, penyakit pneumonia
yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus pneumoniae, merupakan infeksi
di unit penukar gas paru-paru (alveoli).
2. Sepsis
Sepsis merupakan komplikasi berbahaya akibat infeksi. Komplikasi infeksi
tersebut dapat menimbulkan tekanan darah turun drastic serta kerusakan pada
banyak organ. Kedua hal tersebut dapat menimbulkan kematian.
3. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
Sindrom kesulitan pernapasan akut ARDS dapat terjadi pada penderita
penyakit kritis atau memiliki cedera parah. ARDS sering bersifat fatal, dan
risiko ini meningkat seiring usia dan sesuai dengan tingkat keparahan
penyakit.
4. Kegagalan multi organ.
Kegagalan multi organ, termasuk gangguan hinjal atau jantung adalah
komplikasi umum dari pasien flu burung dengan infeksi berat dan disebabkan
oleh highly pathogenic avian influenza H5N1.
5. Kematian
Penyebab kematian ini terjadi karena terlambatnya mendapat pertolongan
dan adanya penyakit komplikasi yang memperparah pernyakit itu (Bakhtiar,
2011).

2.2.2 Pengobatan (ditinjau dari segi teori)


2.2.2.1 Medika Mentosa
Obat-obatan antivirus merupakan obat utama yang digunakan untuk mengatasi
flu burung. . Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat telah
merekomendasikan 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan dan pencegahan flu
burung. Jenis obat tersebut diantaranya adalah M2 inhibitors (amantadine dan
rimantadin) dan neuraminidase Inhibitor (oseltamivir dan zanamivir). Obat
antivirus dapat meredakan gejala, mencegah terjadinya komplikasi, serta
meningkatkan peluang pasien untuk sembuh. Ketika seseorang mengidap flu
burung, biasanya mereka akan dirawat di ruang isolasi. Tujuannya jelas, untuk
meminimalisir terjadinya penularan. Selain itu, mereka juga dianjurkan untuk
minum banyak cairan, mengonsumsi makanan sehat, istirahat, dan minum obat
pereda rasa sakit, dokter juga biasanya akan meresepkan obat-obatan antivirus
dan antinyeri agar penyakit tidak berkembang makin parah. Pemberian obat
antivirus juga bertujuan mencegah terjadinya komplikasi dan membuat peluang
hidup pasien tetap besar. (Budiman 2014)
a) Oseltamivir Fosfat.
Bentuk sediaan oseltamivir adalah kapsul (75 mg) dan suspense (12 mg/ml).
 Indikasi. Pengobatan untuk penyakit akut yang tidak disertai komplikasi
yang disebabkan oleh infeksi influenza pada pasien yang berusia lebih dari
1 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih dari 2 hari. Untuk
profilaksisinfluenza pada dewasa dan anak yang lebih dari 13 tahun,
oseltamivir tidak digunakan sebagai pengganti vaksinasi.
 Dosis dan penggunaan.
Oseltamivir dapat digunakan tanpa memperhatikan makanan. Jika
digunakan bersamaan dengan makanan, toleransi dapat meningkat.
Pengobatan influenza :
-Dewasa dan anak lebih dari 13 tahun : dosis oral yang direkomendasikan
adalah 75 mg dua kali sehari selama 5 hari. Pengobatan dimulai setelah
timbul gejala influenza dalam 2 hari
-anak-anak : dosis oral suspensi yang direkomendasikan untuk anak diatas 1
tahun dan dewasa yang tidak dapat menelan kapsul adalah sebagai berikut :

DOSIS SUSPENSI ORAL OSELTAMIVIR


BB (kg) Dosis yang direkomendasikan untuk 5 Volume
hari
<15 kg 30 mg 2 kali sehari 2,5 mL (1/2 sdt)
>15 – 23 45 mg 2 kali sehari 3,8 mL (3/4 sdt)
kg
>23-40 kg 60 mg 2 kali sehari 5 Ml (1sdt)
>40 kg 75 mg 2 kali sehari 6,2 mL (1 ¼ sdt)

Profilaksis influenza : dosis oseltamivir oral yang direkomendasikan untuk


profilaksis influenza pada dewasa dan anak diatas 13 tahun yang telah
mengalami kontak langsung dengan individu yang terinfeksi adalah 75 mg
sekali sehari, sekurang kurangnya selama 7 hari. Terapi sebaiknya dimulai
setelah 2 hari terpajan. Dosis yang direkomendasikan untuk profilaksis
selama terjadi wabah influenza adalah 75 mg sekali sehari.
Gangguan fungsi ginjal :
Pengobatan influenza : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien
dengan kreatinin klirens 10-30 mL/menit. Pada kondisi ini,
direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg sekali sehari selama 5
hari.
Profilaksis : untuk profilaksis, penyesuaian dosis direkomendasikan untuk
pasien dengan kreatinin klirens 10 -30 mL/ menit. Pada kondisi ini,
direkomendasikan penurunan dosis menjadi 75 mg pada waktu tertentu.
 Mekanisme kerja
-Farmakologi : oseltamivir adalah suatu bentuk etil ester yang memerlukan
perubahan menjadi bentuk aktif oseltamivir karboksilat. Mekanisme kerja
dari oseltamivir adalah inhibisi neuraminidase vorus influenza yang
menyebabkan perubahan agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya
menjadi bebas.
-farmakokinetik :
1) Absorpsi : oseltamivir fosfat diabsorpsi melalui saluran pencernaan
setelah pemberian secara oral. Konsentrasi puncak rata-rata dari oseltamivir
dan oseltamivir karboksilat adalah 65,2 ng/mL dan 348 ng/mL, setelah
pemberian 75 mg, dua kali sehari. Area di bawah kurva (AUC) dari 0-12
jam adalah 112 ng/mL untuk oseltamivir dan 2719 ng/mL untuk oseltamivir
karboksilat. Pemberian oseltamivir bersamaan dengan makanan tidak
mempunyai efek yang signifikan terhadap konsentrasi plasma puncak dan
area bawah kurva.
2) Distribusi : ikatan oseltamivir karboksilat terhadap protein plasma
manusia adalah rendah (3%). Ikatan oseltamivir terhadap protein plasma
adalah 42% artinya belum cukup mampu untuk menyebabkan pergeseran
yang signifikan dalam interaksi obat.
3) Metabolisme : oseltamivir secara ekstensif berubah menjadi oseltamivir
karboksilat melalui proses esterase yang berlangsung di liver. Baik
oseltamivir maupun oseltamivir karboksilat merupakan substrat untuk atau
inhibitor dari isoform sitokrom P450.
4) Ekskresi : oseltamivir yang diabsorsi, secara umum (sekitar 90 %)
dieliminasi melalui konversi menjadi oseltamivir karboksilat. Konsentrasi
plasma oseltamivir menurun dalam waktu paruh 1-2 jam pada kebanyakan
subjek percobaan setelah pemberian oral. Oseltamivir karboksikat tidak
mengalami perubahan metabolisme lebih lanjut dan dieliminasi melalui
urin. Konsentrasi plasma dari oseltamivir karboksilat akan menurun dalam
waktu paruh 6-10 jam pada kebanyakan subjek percobaan. Oseltamivir
karboksilat dieliminasi secara keseluruhan (99%) melalui ekskresi ginjal.
Klirens ginjal (18,8 L/jam) melebihi kecepatan flitrasi glomerulus (7,5
L/jam) menunjukkan terlibatnya sekresi tubulus, sebagai tambahan dari
flitrasi glomerulus. Kurang dari 20% dosis oral dieliminasi melalui feses.
 Perhatian
-gangguan fungsi ginjal : penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien
dengan klirens kurang dari 30 mL/ menit
-kondisi menyusui : belum diketahui apakah oseltamivir dan oseltamivir
karboksilat diekskresikan ke dalam air susu. Dengan demikian, olestamivir
hanya digunakan jika manfaat lebih besar daripada resikonya
-anak-anak : keamanan dan efikasi oseltamivir pada anak kurang dari 1
tahun belum diketahui
 Interaksi obat dan efek samping
Probenecid : penggunaan bersamaan oseltamivir dan probenecid akan
menghasilkan peningkatan konsentrasi oseltamivir karboksilat kira-kira
sebesar 2 kali karena adanya penurunan sekresi tubular anionic di ginjal
Efek samping yang terjadi pada sekitar 3% pasien adalah sakit perut, batu,
diare, sakit kepala, mual dan muntah.
b) Zanamivir.
Bentuk sediaan zanamivir adalah serbuk inhalasi dalam bentuk blister 5 mg.
 Indikasi.
Pengobatan infeksi influenza : pengobatan untuk penyakit aakut yang tidak
disertai komplikasi yang disebabkan oleh virus influenza A dan B pada
pasien dewasa dan anak > 7 tahun yang sudah mengalami gejala tidak lebih
dari 2 hari, zanavimir tidak direkomendasikan untuk pasien yang
mengalami penyakit kerusakan saluran pernapasan seperti asma atau
penyakit kerusakan paru kronik (COPD)
 Dosis dan penggunaan.
Zanamivir digunakan untuk salurann pernapasan melalui inhalasi oral
dengan menggunakan alat “diskhaler” yang disertakan bersama obat. Jika
zanamivir diresepkan untuk anak-anak, pemakaiannya harus dalam
pengawasan dan instruksi orang dewasa. Dosis zanamivir yang
direkomendasikan untuk perawatan influenza pada pasien yang berusia
lebih dari 7 tahun dan lebih adalah 2 inhalasi (per inhalasi adalah 5 mg
blister, jadi dosis total adalah 10 mg) 2 kali sehari (jarak pemakaian 12 jam)
selama 5 hari. Kedua dosis ini harus digunakan pada pengobatan awal. Jika
mungkin jarak pemberian adalah 2 jam. Pada hari berikutnya, jarak
pemberian ini adalah 12 jam (misalnya pada malam dan siang hari), waktu
pemberian ini hendaknya setiap hari.
 Mekanisme kerja
-farmakologi : mekanisme kerja dari zanamivir adalah inhibisi
neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan agregasi dari
partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas.
-Resistensi obat : virus influenza dengan kepekaan yang menurun terhadap
zanamivir telah diketahui secara in vitro dengan cara melewatkan virus
pada konsentrasi obat yang meningkat. Analisis genetik terhadap virus-
virus ini menunjukkan bahwa kepekaan virus yang berkurang secara in
vitro terhadap zanamivir berhubungan dengan mutasi yang menghasilkan
perubahan asam amino pada neuraminidase atau hemaglutinin atau
keduanya.
-Resistensi silang : resistensi silang telah dipelajari antara virus influenza
mutan yang resisten terhadap zanamivir dan resisten terhadap oseltamivir
secara in vitro. -Farmakokinetik :
-Absorpsi : sekitar 4% - 17% dari dosis inhalasi akan terabsorbsi secara
sistemik. Konsentrasi serum puncak bervariasi antara 17 – 42 ng/mL, dalam
1-2 jam setelah pemberian dosis 10 mg. Distribusi :zanamivir memiliki
ikatan terhadap protein plasma yang sangat terbatas (kurang dari 10%).
-Metabolisme : zanamivir diekskresi melalui ginjal dalam bentuk yang tidak
berubah. Tidak ada metabolit yang terdeteksi.
-Ekskresi :waktu paruh dari zanamivir setelah pemberian melalui inhalasi
oral bervariasi antara 2,5 -5,1 jam. Zanamivir akan diekskresi dalam bentuk
yang tidak berubah dalam urin dengan ekskresi dari dosis tunggal utuh
dalam waktu 24 jam. Total klirens adalah 2,5 – 10,9 L/jam. Obat yang tidak
diabsorbsi akan diekskresi melalui feses.
 Perhatian
-pasien dengan penyakit pernafasan : zanamivir tidak menunjukan efektif
dan mungkin berisiko untuk pasien dengan penyakit saluran pernapasan
parah seperti asma dan penyakit pernapasan serius lainnya. Dengan
demikian, zanamivir tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
gangguan saluran pernapasan seperti asma.
-kondisi menyusui : belum diketahui apakah zanamivir diekskresikan ke air
susu. Harus disertai perhatian jika memberikan zanamivir untuk pasien
yang menyusui.
-anak-anak : keamanan dan efikasi zanamivir pada anak kurang dari 7 tahun
belum diketahui.
 Peringatan
-Reaksi alergi : reaksi seperti alergi, termasuk edema oropharyngeal dan
gangguan kulit serius telah diketahui dari hasil penelitian post marketting
zanamivir. Penggunaan zanamivir harus dihentikan dan dimulai pengobatan
yang sesuai jika dicurigai akan terjadi reaksi alergi.
-Infeksi bakteri : infeksi bakteri serius mungkin terjadi dengan gejala mirip
influenza atau mungkin mengikuti atau terjadi sebagai komplikasi dari
influenza. Zanamivir tidak diketahui dapat mencegah komplikasi-
komplikasi ini.
-Penyakit lain : belum ada bukti efikasi untuk zanamivir terhadap infeksi
lain yang disebabkan oleh agen penyebab lain kecuali oleh virus influenza
tipe A dan B.
-Pencegahan influenza : keamanan dan efikasi dari zanamivir untuk
penggunaan profilaksis untuk mencegah influenza tidak diketahui.
penggunaan oseltamivir seharusnya tidak mempengaruhi evaluasi dari
seseorang untuk diberikan vaksinasi influenza rutin. Efikasi oseltamivir
untuk penggunaan profilaksis dalam pencegahan influenza belum
diketahui).
-Pasien risiko tinggi : efikasi dari oseltamivir pada pasien dengan penyakit
jantung kronis atau penyakit pernapasan tidak diketahui.
 Interaksi obat dan efek samping
Zanamivir bukan merupakan substrat dan tidak mempengaruhi isoenzim
sitokrom P450 (CYP : CYP 1A1/2, 2A6, 2C9, 2C18, 2D6, 2E1 dan 3A4)
pada mikrosom liver manusia. Efek samping yang terjadi pada sekitar 3%
pasien adalah diare, gangguan hidung, mual, sinusitis, infeksi telinga,
hidung dan tenggorokan.
c) Obat –obat penunjang
Analgesic-antipiretik, antibiotic, vitamin, kortikosteroid, simpatomimetik,
cairan elektrolit dan nutrisi (Departemen kesehatan, 2007). Antibiotik
diberikan terutama untuk mengatasi kemungkinan infeksi sekunder. Antibiotic
dapat diberikan apabila demam menetap atau naik turun, atau terjadi
perburukan keadaan klinis lain. Oemilihan jenis antibiotic disesuaikan dengan
kemungkinan penyebab atau usia seseorang. Untuk penurunan suhu tubuh
dapat digunakan parasetamol dan ibuprofen ((Bakhtiar, 2011).

2.2.2.2 Terapi diet secara teori


Terapi gizi atau terapi diet adalah bagian dari perawatan penyakit atau
kondisi klinis yang harus diperhatikan agar pemberiannya tidak melebihi
kemampuan organ tubuh untuk melaksanakan fungsi metabolism. flu burung
merupakan salah satu jenis penyakit infeksi yang gejalanya disertai dengan
demam tinggi, sesak nafas dan gejala lainnya, oleh karena itu
penatalaksanaan gizi yang diberikan yaitu diet TKTP dengan pemberian KH
yang rendah karena adanya sesak nafas. Diet energy tinggi dan protein tinggi
(ETPT) adalah diet yang memiliki kandungan energy dan protein lebih tinggi
dibandingkan kebutuhan normal. diet ini diberikan untuk mengatasi masalah
dan resiko malnutrisi pada pasien akibat kekurangan energy dan protein. Diet
ETPT dapat diberikan dalam berbagai bentuk, baik oral maupun enteral. Diet
ini umumnya diberikan dengan penambahan makanan atau suplemen yang
mengandung energy tinggi dan protein tinggi tanpa meningkatkan volume
makanan menjadi terlalu besar, seperti susu, daging, margarin, makanan
enteral, dan sebagainya. Pemberian diet dapat diberikan bertahap sesuai daya
terima dan kapasitas fungsi pencernaan pasien. Tujun diet ETPT adalah
untuk:
a) Untuk memenuhi kebutuhan energy dan protein yang meningkat untuk
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
b) Meningkatkan berat badan hingga berat badan normal
Syarat dan prinsip diet ini adalah :
a) Energy tinggi, yaitu 40-45 kkal/kgBB/hari
b) Protein tinggi 2,0-2,5 gr/kgBB/hari
c) Lemak cukup yaitu 10-25% dari kebutuhan energy total.
d) Karbohidrat cukup yaitu sisa dari total energy (protein dan lemak)
e) Vitsamin dan mineral cukup, sesuai kebutuhan gizi atau angka
kecukupan gizi yang dianjurkan
f) Makanan diberikan dalam bentuk mudah dicerna
g) Untuk kondisi tertentu diet dapat diberikan secara bertahap sesuai
kondisi/status metabolic
Menurut keadaan, pasien dapat diberikan salah satu dari dua macam ETPT
seperti :
a) Diet ETPT 1. Energi 2600 kkal, protein 100 gr
b) Diet ETPT II. Energi 3000 kkal, protein 125 gr (Persagi, 2019)

DAFTAR PUSTAKA
Akoso, Budi Tri. 2006. Waspada Flu Burung. Penerbit Kanisius : Yogyakarta.
Bakhtiar. Manifestasi klinis, Tatalaksana dan Pencegahan Avian Influenza pada Anak. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. Vol. 11 No. 1 April 2011
Budiman. 2009. Kajian Peranan Lingkungan Sebagai Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa
(KLB) Penyakit Flu Burung Pada Manusia. Tesis. Institus Pertanian Bogor.
Budiman 2014. Penyakit Flu Burung: Riwayat Alamiah dan Pencegahannya. Diunduh : 2
Juni 2021. http://e-journal.kopertis4.or.id/file.php?file=karyailmiah&id=74
Candra, B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC.
Irianto, K., 2007. Mikrobiologi, Menguak Dunia Mikroorganisme Jilid I, Yrama Widya.
Jakarta.
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Flu Burung. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Maksum Radji. 2006. Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, pencegahan dan penyebaran
pada manusia. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. III, No.2, 55 – 65, Agustus 2006.
Persatuan Ahli Gizi Indonesia dan Asosiasi Dietisien Indonesia. 2019. “Asuhan Gizi Klinik”
dalam Supariasa, I Dewa Nyoman dan Dian Handayani. Jakarta : EGC
Sitti Rochmayati.2019.Gambaran pelaksanaan joint risk asessement kejadian flu burung di
Bali pada tahun 2017. Jph record no 3 (1) vol 8 (18) Oktober 2019.
Zainal Abidin.2011. Faktor Penyebab Terjadinya Penularan Penyakit Flu Burung pada
Manusia di Kota Pekanbaru dan Kabupaten Pelalawan.

Anda mungkin juga menyukai