Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang


Dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat
kepada semakin merebaknya penularan avian influenza. Meningkatnya
kasus infeksi Avian influenza yang menyebabkan kematian pada manusia
sangat dihawatirkan dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang
berbahaya (Radji, M. 2006).
Avian influenza (AI) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
influenza A yang berasal dari unggas yang dapat menyebabkan penyakit
pada spesies unggas, mamalia termasuk manusia. Penyakit yang disebabkan
oleh Highly Patogen Avian Influenza (HPAI) yang berasal dari Asia telah
menyebabkan penyakit pada hewan dan juga manusia (Martins, NR. 2012).
Di Indonesia kasus Flu Burung atau Avian Influenza pada manusia mulai
menyebar sejak tahun 2005 hingga sekarang dengan penyebaran kasus pada
15 provinsi dan 58 Kabupaten/Kota (Kemenkes, 2019).
Hospes alami dari virus influenza A adalah burung liar dan unggas air.
Pada hospes tersebut, virus ini berada dalam keadaan seimbang dan tidak
menimbulkan penyakit. Berdasarkan tingkat infeksi virus AI, maka virus
tersebut dapat dikelompokkan atas dua tingkatan infeksi yaitu highly
pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza
(LPAI). Tingkatan infeksi HPAI merupakan infeksi yang sangat patogen
yang dapat menyebabkan angka kematian sampai 100%. Faktor yang sangat
memengaruhi kasus infeksi virus AI yang terus terjadi di Indonesia adalah
akibat dari penanganan virus AI yang belum maksimal. Hal ini dapat dilihat
dari pola distribusi unggas di pasar-pasar yang tidak terkontrol, rendahnya
biosekuriti pada perternakan unggas, terutama pada Sektor 3 dan 4,

1
penyebaran virus AI yang berasal dari unggas air liar, dan juga masih
lemahnya strategi vaksinasi (Helmi, T. 2016)

1.2 . Tujuan
Referat ini disusun dengan tujuan untuk menambah pengetahuan tentang
penyakit yang disebabkan oleh virus avian influenza, perjalanan penyakit
avian influenza, pencegahan serta pengobatan avian influenza.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Virus Influenza


Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili
Orthomyxoviridae. Virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang terdiri
dari protein nukleokapsid (NP), hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA),
dan protein matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus
influenza digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C. Virus Influenza A
sangat penting dalam bidang kesehatan karena sangat patogen baik bagi
manusia, dan binatang, yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi, di seluruh dunia (Radji, M. 2006).
Virus influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena mudahnya
mereka bermutasi, baik berupa antigenic drift ataupun antigenic shift
sehingga membentuk varian-varian baru yang lebih patogen. Terdapat 15
jenis subtipe HA dan 9 jenis subtipe NA. Dari berbagai penelitan
seroprevalensi secara epidemiologis menunjukkan bahwa beberapa subtipe
virus influenza A telah menyebabkan wabah pandemi antara lain H7N7
(1977), H3N2 (1968), H2N2 (1957), H1N1 (1918), H3N8 (1900), dan
H2N2 (1889). Virus influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang
manusia, sedangkan virus influenza C, jarang ditemukan walaupun dapat
menyebabkan infeksi pada manusia dan binatang. Jenis virus influenza B
dan C jarang sekali atau tidak menyebabkan wabah pandemis (Radji, M.
2006).

2.2. Avian Influenza


Influenza burung atau avian influenza merupakan penyakit infeksi akibat
virus influenza tipe A yang biasa mengenai unggas. Virus influenza sendiri
termasuk dalam famili orthomyxoviruses yang terdiri dari 3 tipe yaitu A, B,
dan C. Virus influenza tipe B dan C dapat menyebabkan penyakit pada
manusia dengan gejala yang ringan dan tidak fatal sehingga tidak terlalu

3
menjadi masalah. Virus influenza tipe A dibedakan menjadi banyak subtipe
berdasarkan petanda berupa tonjolan protein pada permukaan sel virus. Ada
2 petanda protein virus A yaitu protein hemaglutinin dilambangkan dengan
H dan protein neuraminidase dilambangkan dengan N. Ada 15 macam
protein H, H1 hingga H15, sedangkan N teridiri dari N1 hingga N9.
Kombinasi dari kedua protein ini bisa menghasilkan banyak sekali varian
subtipe dari virus influenza tipe A (Siti, S. 2014).
Semua subtipe dari virus influenza tipe A ini dapat menginfeksi burung
unggas yang merupakan pejamu alaminya, sehingga virus influenza tipe A
disebut juga influenza burung atau avian influenza. Di lain pihak, tidak
semua subtipe virus influenza tipe A dapat menyerang manusia. Subtipe
yang lazim dijumpai pada manusia adalah H1, H2, H3, serta N1 dan N2 dan
disebut sebagai human influenza. Penyebab kehebohan avian influenza
adalah virus A (H5N1). Virus avian influenza ini digolongkan dalam Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) (Siti, S. 2014).

2.3. Epidemiologi
Sejak lebih dari satu abad yang lalu, beberapa subtipe dari virus influenza
A telah menghantui manusia. Berbagai Variasi subtipe virus influenza A
yang menyerang manusia dan telah menyebabkan pandemi, sehingga tidak
mengherankan jika kewaspadaan global terhadap pandemi Avian Influenza
mendapatkan perhatian yang serius (Chanlett. 2006).
Diawali tahun 1981 dunia dikejutkan oleh wabah pandemi yang
disebabkan virus influenza A yang telah membunuh lebih dari 40.000 orang,
dimana subtipe yang mewabah saai itu adalah H1N1 yang dikenal dengan
spainsh flu. Tahuun 1957 kembali muncul wabah global yang disebabkan
oleh virus yang telah bermutasi menjadi H2N2 atau yang dikenal sebagai
Asian Flu yang telah merenggut 100.000 jiwa meninggal. Pada tahun 1968,
virus flu kembali menjadi wabah pandemi dengan merubah dirinya menjadi
H3N2. Mutan virus yang dikenal dengan Hongkong Flu yang telah
menyebabkan 700.000 orang meninggal dunia (Chanlett. 2006).

4
Di indonesia HPAI H5N1 telah menjadi penyakit endemik pada unggas
sejak tahun 2003 dan terus menyebabkan kerugian ekonomi peternak
unggas. Penyakit ini telah dilaporkan pada 32 provinsi di indonesia, dan
virus H5N1 terus-menerus beredar diantara unggas di indonesia antara tahun
2003-2010. Selain itu sirkulasi berkelanjutan virus H5N1 pada unggas juga
ditularkan ke manusia dan di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 2005
(Karo-Karo, 2019).

Sumber : Kementrian kesehatan Republik Indonesia. 2019. Situasi penyakit


Infeksi Emerging, minggu epidemiologi ke-4 tahun 2019

2.4. Etiologi
Penyebab AI adalah virus influenza tipe A, termasuk famili
Orthomyxoviridae dan virus ini dapat berubah-ubah bentuk {Drift, Shift)
sehingga dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Virus influenza tipe A
terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N), kedua huruf ini
digunakan sebagai identifikasi kode subtipe AI yang banyak jenisnya. Pada
manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2,
H7N7. Sedangkan pada binatang Hl-H5 dan Nl-N9. Strain yang sangat
virulen/ganas dan menyebabkan AI adalah dari subtipe AH5N1. Virus ini
dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22°C dan lebih dari 30
hari pada 0°C. Didalam tinja unggas dan tubuh unggas yang sakit virus
dapat bertahan hidup lebih lama, tetapi Virus akan mati pada pemanasan 60°

5
C selama 30 menit atau 56° C selama 3 jam dan dengan detergent,
desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine
(Elytha, F. 2011).

2.5. Sifat-sifat Avian Influenza Virus


Virus influenza pada unggas memiliki sifat dapat bertahan hidup di air
sampai 4 hari pada suhu 22oC dan lebih dari 30 hari pada suhu 0oC. Di
dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit dapat hidup lebih
lama, tetapi mati pada pemanasan 60oC selama 30 menit atau 56oC selama 3
jam dan pemanasan 80oC selama 1 menit. Virus akan mati dengan deterjen,
desinfektan misalnya formalin, cairan yang mengandung iodin dan alkohol
70% (Siti, S. 2014).
Salah satu ciri yang penting dari virus influenza adalah kemampuannya
untuk merubah antigen permukaannya (H dan N) baik secara
cepat/mendadak maupun lambat (bertahun-tahun). Peristiwa terjadinya
perubahan besar dari struktur antigen permukaan yang terjadi secara singkat
disebut antigenic shift. Bila perubahan antigen permukaan terjadi terjadi
sedikit disebut antigenic drift. Antigenic shift hanya terjadi pada virus
influenza tipe A sedangkan antigenic drift hanya terjadi pada virus influenza
tipe B, sedangkan virus influenza tipe C relatif stabil. Teori yang mendasari
terjadinya antigenic shift adalah adanya penyusunan kembali gen-gen pada
H dan N diantara human dan avian influenza viruses melalui perantara host
ketiga. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa adanya proses antigenic shift
akan memungkinkan terbentuknya virus baru yang lebih ganas, sehingga
keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi sistemik yang berat
karena sistem imun host baik seluler maupun humoral belum sempat
terbentuk (Siti, S. 2014).
Sejak dulu diduga kondisi yang memudahkan terjadinya antigenic shift
adalah adanya penduduk yang bermukim didekat daerah perternakan unggas
dan babi. Karena babi bersifat rentan terhadap infeksi, baik oleh avian
maupun human virus maka hewan tersebut dapat berperan sebagai lahan

6
pencampur (mixing vessel) untuk menyusunan kembali gen-gen yang
berasal dari kedua virus tersebut, sehingga menyebabkan terbentuknya
subtipe virus yang baru. Akhir-akhir ini diketahui adanya kemungkinan
mekanisme sekunder untuk terjadinya perubahan ini. Bukti-bukti yang ada
menunjukan bahwa setidak-tidaknya ada beberapa dari 15 subtipe virus
influenza yang terdapat pada populasi burung dimana manusia dapat
berfungsi sebagai lahan pencampur. Bukti yang nyata akan peristiwa ini
adalah terjadinya pandemi pada tahun 1957 oleh subtipe virus H2N2 dan
tahun 1968 oleh pandemi virus H3N2 (Siti, S. 2014).

2.6. Penularan ke manusia


Penularan atau transmisi dari virus influenza secara umum dapat terjadi
melalui inhalasi, kontak langsung, ataupun kontak tidak langsung. Sebagian
besar kasus infeksi HPAI pada manusia disebabkan penularan virus dari
unggas ke manusia (Radji, M. 2006).
Sebagian besar kasus konfirmasi WHO atas kejadian avian influenza pada
manusia sebelumnya mempunyai riwayat kontak yang jelas dengan unggas
atau produk unggas. Disimpulkan sementara bahwa jalur yang paling
mungkin terjadinya infeksi avian influenza pada manusia adalah dari unggas
ke manusia. Bukti bahwa terjadinya transmisi dari manusia ke manusia
sangat jarang ditemukan. Namun demikian berdasarkan beberapa kejadian
dimana terjadi kematian pasien yang berkerabat dekat disebabkan oleh
infeksi virus H5N1 dan transmisi yang terjadi didalam keluarga penderita
pada tahun 2004 di Thailand, antara seorang anak perempuan berumur 11
tahun yang tinggal bersama bibinya, diduga telah menularkan virus H5N1
kepada bibi dan ibunya yang datang dari kota lain yang berjauhan untuk
merawat anaknya yang sakit terinfeksi H5N1. Putrinya meninggal pada
tanggal 8 September 2004 setelah sempat dirawat selama satu hari di rumah
sakit. Seminggu kemudian pada tanggal 17 September ibunya dibawa
kerumah sakit dan diduga terinfeksi virus H5N1 dan meninggal pada
tanggal 20 September 2004. Sedangkan bibinya menderita gejala flu dan

7
dibawa ke rumah sakit pada tanggal 23 September dan diobati dengan
oseltamivir (tamiflu). Bibinya berhasil disembuhkan dan pulang dari rumah
sakit pada tanggal 7 Oktober 2004. Dari pemeriksaan laboratorium dapat
dipastikan bahwa baik ibu maupun bibinya telah terinfeksi virus H5N1 yang
berasal dari anaknya, selama mereka merawat anaknya yang sedang sakit
(Radji, M. 2006).
Ada dua kemungkinan yang dapat menghasilkan subtipe baru dari H5N1
yang dapat menular antara manusia ke manusia adalah : (i). virus dapat
menginfeksi manusia dan mengalami mutasi sehingga virus tersebut dapat
beradaptasi untuk mengenali linkage RNA pada manusia, atau virus burung
tersebut mendapatkan gen dari virus influenza manusia sehingga dapat
bereplikasi secara efektif di dalam sel manusia. Subtipe baru virus H5N1 ini
bermutasi sedemikian rupa untuk membuat protein tertentu yang dapat
mengenali reseptor yang ada pada manusia, untuk jalan masuknya ke dalam
sel manusia, atau (ii). kedua jenis virus, baik virus avian maupun human
influenza tersebut dapat secara bersamaan menginfeksi manusia, sehingga
terjadi “mix” atau rekombinasi genetik, sehingga menghasilkan strain virus
baru yang sangat virulen bagi manusia (Radji, M 2006).
Hingga angustus 2005, sudah jutaan ternak mati akibat avian influenza.
Sudah terjadi ribuan kontak antar petugas peternak dengan unggas yang
terkena wabah. Ternyata kasus avian influenza pada manusia yang
terkonfirmasi hanya sedikit diatas seratus. Dengan demikian walau terbukti
adanya penularan dari unggas ke manusia, proses ini tidak terjadi dengan
mudah. Terlebih lagi penularan antar manusia, kemungkinan lebih kecil
lagi.

2.7. Patogenesis
Penyebaran Avian influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection)
dimana virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran
napas atau langsung memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet). Virus
yang tertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein yang

8
mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang
dapat berikatan denngan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana
virus berasal. Virus Avian Influenza manusia (Human Influenza Virus) dapat
berikatan dengan alpha 2,6 sialiloligosakarida yang berasal dari membran sel
dimana didapatkan residu asam sialat yang dapat berikatan dengan residu
galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage. Virus AI dapat berikatan dengan
membran sel mukosa melalui ikatan yang berbeda yaitu ikatan 2,3 linkage.
Adanya perbedaan pada reseptor yang terdapat pada membran mukosa diduga
sebagai penyebab mengapa virus AI tidak dapat mengadakan replikasi secara
efisien pada manusia. Mukoprotein yang mengandung reseptor ini akan
mengikat virus sehingga perlekatan virus dengan sel epitel saluran napas
dapat tercegah. Tetapi virus yang mengandung protein neuraminidase pada
permukaannya dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya akan
melekat pada epitel permukaan saluran napas untuk kemudian bereplikasi di
dalam sel tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam
waktu singkat virus dapat menyebar ke sel-sel didekatnya. Masa inkubasi
virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel
kolumna yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya
mengkerut dan kemudian mengalami piknosis. Bersamaan dengan terjadinya
disintegrasi dan hilangnya silia selanjutnya akan terbentuk badan inklusi (Siti,
S. 2014).

2.8. Manifestasi klinis AI


Masa inkubasi avian influenza sangat pendek yaitu 3 hari, dengan rentang
2-4 hari. Manifestasi klinis avian influenza pada manusia terutama terjadi di
sistem respiratorik mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi klinis
avian influenza secara umum sama dengan gejala ILI (Influenza Like
Illness), yaitu batuk, pilek dan demam. Demam biasanya cukup tinggi yaitu
38oC. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan mialgia dan malaise.
Adapun keluhan gastro-intestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjungtivitis. Spektrum klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari

9
asimptomatik, flu ringan hingga berat, pneumonia dan banyak yang berakhir
dengan ARDS (acute respiratory distress syndrome). Perjalanan klinis avian
influenza umumnya berlangsung sangat progresif dan fatal, sehingga
sebelum sempat terfikir tentang avian influenza, pasien sudah meninggal.
Mortalitas penyakit ini hingga laporan berakhir sekitar 50% (Siti, S. 2014).
Kelainan laboratorium hematologi yang hampir selalu dijumpai adalah
lekopenia, limfopenia dan trombositopenia. Cukup banyak kasus yang
mengalami gangguan ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin.
Kelainan gambaran radiologis thoraks berlangsung sangat prgresif dan
sesuai dengan manifestasi klinisnya namun tidak ada gambaran yang khas.
Kelainan foto thorax bisa berupa infiltrat bilateral luas infiltrat difus,
multilokal atau tersebar (patchy) atau dapat berupa kolaps lobar (Siti, S.
2014).

Kriteria Rawat :
a. Suspek flu burung dengan gejala klinis berat yaitu sesak napas
dengan frekuensi napas >30 kali permenit, nadi ≥100 kali per menit,
ada gangguan kesadaran dan kondisi umum lemah
b. Suspek dengan leukopenia
c. Suspek dengan gambaran radiologi pneumonia
d. Kasus probable atau confirm
(Siti, S. 2014)

2.9. Pemeriksaan penunjang diagnostik


1. Uji Konfirmasi
a. Kultur dan Identifikasi virus H5N1
b. Uji real time nested PCR (Polymerase chain reaction) untuk
H5
c. Uji Serologi :

10
 Imunofluorescence (IFA) test : ditemukan antigen
positif dengan menggunakan antibodi monoklonal
Influenza A H5N1
 Uji Netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibodi
spesifik influenza A/H5N1 sebanyak 4 kali dalam
paired serum dengan uji netralisasi
 Uji Penapisan : Rapid test untuk mendeteksi influenza
A, HI test dengan darah kuda untuk mendeteksi
H5N1 dan enzyme immunoassay (ELISA) untuk
mendeteksi H5N1.
2. Pemeriksaan lain
a. Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hhitung jenis
leukosit, total limfosit. Umumnya ditemukan leukopenia,
limfositopenia, atau limfositosis relatif dan trombositopenia.
b. Kimia : Albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum, kreatinin,
kreatin kinase, dan analisa gas darah. Umumnya dijumpai
penurunan albumin, peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan
ureum dan kreatinin, peningkatan kreatin kinase, analisa gas
darah dapat normal atau abnormal. Kelainan laboratorium
sesuai denngan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
ditemukan.
c. Pemeriksaan radiologi : pemeriksaan foto thorax PA dan
lateral (bila diperlukan). Dapat ditemukan gambaran infiltrat
paru yang menunjukan bahwa kasus ini adalah pneumonia.
(Siti, S. 2014).

2.10. Definisi Kasus AI


1. Pasien dalam Observasi :
Seseorang yang menderita demam/panas >38oC disertai satu atau
lebih gejala dibawah ini :
a. Batuk

11
b. Sakit tenggorokan
c. Pilek
d. Napas pendek/sesak napas
e. Pneumonia
Dimana belum jelas ada atau tidaknya kontak dengan unggas yang
sakit/mati mendadak yang belum diketahui penyebabnya dan produk
mentahnya. Pasien masih dalam observasi klinis, epidemiologis dan
pemeriksaan laboratorium.

2. Kasus Suspek Avian Influenza H5N1 (dalam pengawasan)


Seseorang yang menderita demam/panas kurang lebih 38oC disertai
satu atau lebih gejala dibawah ini :
a. Batuk
b. Sakit tenggorokan
c. Pilek
d. Napas pendek/sesak napas
e. Pneumonia
Dan diikuti satu atau lebih gejala dibawah ini :
a. Pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit/mati
mendadak yang belum diketahui penyebabnya dan produk
mentahnya dalam 7 hari terakhir sebelum timbul gejala diatas
b. Pernah tinggal di daerah yang terdpat kematian unggas yang
tidak biasa dalam 24 hari terakhir sebelum timbul gejala
diatas
c. Pernah kontak dengan penderita AI terkonfirmasidalam 7
hari terakhir sebelum timbul gejala diatas
d. Pernah kontak dengan spesimen AI H5N1 dalam 7 hari
terakhir sebelum timbul gejala diatas (bekerja di laboratorium
untuk AI)
e. Ditemukan leukopenia <3000 mikroliter

12
f. Ditemukan adanya titer antibodi terhadap H5 dengan
pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda atau test
ELISA untuk influenza A tanpa subtipe.

Atau

Kematian akibat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


dengan satu atau lebih keadaan dibawah ini :

a. Leukopenia atau limfopenia (relatif/ hitung jenis) dengan


atau tanpa trombositopenia (trombosit< 150.000)
b. Foto thorax menggambarkan pneumonia atipikal atau infiltrat
di kedua sisi paru yang makin melaus pada serial

3. Kasus Probable AI H5N1


Kriteria kasus suspek ditambah dengan satu atau lebih keadaan
dibawah ini :
a. Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4 kali
terhadap H5 dengan pemeriksaan HI test menggunakan
eritrosit kuda atau ELISA test
b. Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5 (dideteksi
antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal)
menggunakann nautralisasi test
c. Dalam waktu singkat menjadi pneumonia berat/gagal
napas/meninggal dan terbukti tidak ada penyebab lain

4. Kasus konfirmasi Influenza A/H5N1


Kasus suspek atau probabel dengan satu atau lebih keadaan
dibawah ini:
a. Kultur virus positif Influenza A/H5N1
b. PCR positif Influenza A/H5N1

13
c. Pada Imunofluorescence (IFA) test ditemukan antigen positif
dengan menggunakan antibodi monoklonal influenza A
H5N1
d. Kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1 sebanyak
4 kali dalam paired serum dengan uji netralisasi
(Siti, S. 2014)

2.11. Kelompok Resiko Tinggi


Kelompok yang perlu diwaspadai dengan beresiko tinggi terinfeksi flu
burung adalah :
a. Pekerja peternakan atau pemrosesan unggas (termasuk dokter
hewan/ Ir. Peternakan)
b. Pekerja laboratorium yang memproses sampel pasien/ unggas yang
terjangkit
c. Pengunjung peternakan atau pemrosesan unggas (1 minggu terakhir)
d. Pernah kontak dengan unggas (ayam, itik dan burung) sakit/mati
mendadak yang belum diketahui penyebabnya atau babi serta produk
mentahnya dalam 7 hari terakhir
e. Pernah kontak dengan penderita AI terkonfirmasi dalam 7 hari
terakhir
(Siti, S. 2014)

2.12. Pencegahan AI
Secara umum, prinsip kerja yang higienis seperti mencuci tangan dan
menggunakan alat pelindung diri bila diperlukan merupakan upaya yang
harus dilakukan oleh mereka yang kontak langsung dengan ternak. Karena
telur unggas juga dapat menularkan virus ini, penanganan kulit telur dan
telur mentah juga harus diperhatikan. WHO juga menyatakkan, dengan
memasaknya virus avian influenza akan mati, serta dianjurkan untuk daging,
daging unggas harus dimasak pada suhu 70oC atau 80oC selama sedikitnya 1
menit (WHO, 2010).

14
1. Pencegahan pada unggas
a. Pemusnahan unggas atau burung yang terinfeksi Avian
Influenza
b. Vaksinasi pada unggas atau burung yang sehat
2. Pencegahan pada manusia
a. Kelompok beresiko tinggi :
 Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi
sehabis bekerja
 Hindari kontak langsung dengan unggas yang
terinfeksi
 Gunakan alat pelindung seperti masker dan pakaian
kerja
 Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja
 Membersihkan kotoran unggas setiap hari
b. Kelompok umum :
 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara makan
makanan yaang bergizi dan istirahat yang cukup
 Mengolah unggas dengan cara yang benar yaitu
dengan memilih unggas yang sehat (tidak ada gejala-
gejala penyakit)
 Memasak daging unggas dengan suhu 80oC selama 1
menit dan pada telur sampai suhu 64oC selama 4.5
menit (Donal, 2011).

2.13. Penatalaksanaan AI
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah dengan istirahat,
meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan dengan
menggunakan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi dan
imunomodulator.
Antiviral yang dapat diberikan pada pasien sebaiknya diberikan pada awal
infeksi yakni pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat:

15
1. Penghambat M2 :
a. Amantadin (symadine)
b. Rimantidin (flu-madin)
Pemberian dengan dosis 2 kal/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama
3-5 hari.
2. Penghambatan neuroamidase
a. Zanamivir
b. Oseltamivir
Dengan dosis 2 kali 75 mg selama 1 minggu

Departemen kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk


sebagai berikut :
a. Pada kasus suspek flu burung diberikan oseltamivir 2 x 75 mg 5 hari,
simtomatik dan antibiotik jika ada indikasi
b. Pada kasus probable flu burung diberikan oseltamivir 2 x 75 mg 5
hari, antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan
atipikaldan steroid jika perlu seperti pada kasus pneumonia berat dan
ARDS.
c. Sebagai profilaksis, bagi mereka yang beresiko tinggi, di gunakan
oseltamivir dengan dosis 75 mg sekali sehati selama lebih dari 7 hari
(hingga 6 minggu)

(Siti, S. 2014)

16
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
1. Avian influenza adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
influenza tipe A dan ditularkan antar unggas, tetapi dapat juga
menular ke manusia melalui inhalasi, kontak langsung maupun tidak
langsung.
2. Kelompok resiko tinggi tertular penyakit ini yaitu pekerja
peternakan unggas, pemotong unggas dan penjamah produk unggas
lainnya. Perlu adanya kewaspadaan terutama pada kelompok
beresiko tinggi yaitu dengan memperhatikan cara pencegahan.
3. Kriteria diagnostik dari penyakit ini telah ditetapkan dan dibagi
dalam beberapa kelompok yang meliputi : kasus pasien dalam
observasi, kasus suspek, kasus probable dan kasus konfirmasi
menderita Avian Influenza
4. Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah dengan istirahat,
meningkatkan daya tahan tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan
dengan menggunakan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi
dan imunomodulator.
5. Perlu adanya kewaspadaan terutama pada kelompok beresiko tinggi
yaitu dengan memperhatikan cara pencegahan.

17

Anda mungkin juga menyukai