Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KELOMPOK

ZOONOSIS

“SWINE INFLUENZA DAN AVIAN INFLUENZA”

OLEH

YULITA MARIA SULISTIA ROGA 1909010013

KOLETA TRESI ROSARI 1909010026

SESARIUS WAHYU PAGUNG JAMPUR 1909010040

LAURA KATHARINA LENGGA LAGA 1909010055

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sub sektor peternakan memiliki peran yang strategis dalam pembangunan sektor
pertanian, yaitu dalam upaya pemantapan ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan dapat memacu pengembangan
wilayah (Daryanto, 2011). Salah satu bentuk usaha peternakan yang memiliki potensi
yang besar di wilayah NTT untuk dikembangkan yaitu ternak babi dan ternak ayam.
Namun, apakah jadinya bila kedua usaha tersebut dihadapkan dengan berbagai
permasalahan penyakit. Salah satunya penyakit yang pernal viral terjadi di bumi NTT ini
adalah penyakit influenza, baik itu yang terjadi pada babi, maupun influenza yang terjadi
pada ayam/unggas. Akibatnya banyak dampak negatif yang terjadi yang dapat
mengakibatkan kerugian besar-besaran baik terhadap manusia maupun ternak itu sendiri.

Penyakit Avian Influenza (AI) merupakan penyakit infeksius pada unggas yang
disebabkan oleh virus Influenza tipe A yang termasuk dalam keluarga Orthomyxoviridae.
Hampir semua spesies unggas peka terhadap infeksi virus Influenza. Selain mampu
menginfeksi berbagai jenis unggas, virus Influenza tipe A juga mampu menginfeksi
berbagai spesies hewan mamalia dan manusia (Easterday, et al., 1997; Swayne and
Halvorson, 2003).

Sementara itu, flu babi (Swine flu) merupakan penyakit pernapasan akut babi yang
disebabkan oleh virus influenza jenis (tipe) A. Saat ini subjenis (subtipe) yang paling
sering ditemukan adalah H1N1, H1N2 dan H3N. Akhir-akhir ini di US dan Korea telah
ditemukan virus influenza H3N1 yang diasingkan (-isolasi) dari babi serta virus influenza
H2N3 babi di US.

Oleh karena itu, untuk menghindari terkena penyakit tersebut, baik terkena pada
hewan maupun manusia. Penting bagi kita untuk mengetahui atau mengenali penyakit-
penyakit tersebut terlebih dahulu. Sebagai calon dokter hewan yang merupakan garda
terdepan dalam setiap permasalah penyakit yang berasal dari hewan dan mengancam
kehidupan manusia atau penyakit hewan yang mengancam hewan yang sehat lainnya,
harus mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasiennya serta kepada
masyarakat. Sehingga, langkah kecil seperti ini yaitu mengetahui atau mengenali penyakit-
penyakit tersebut sangat berarti untuk kehidupan di masa depan.
1.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengeksplorasi,


menggali/mendalami mengenai agen penyebab penyakit, epidemiologi, faktor risiko,
gejala klinis, patogenesis, serta pencegahan dan pengendalian dari penyakit swine
influenza dan avian influenza.

1.3. Manfaat

Manfaat yang didapatkan yaitu mahasiswa/i dapat mengetahui/mengenal lebih


dalam mengenai agen penyebab penyakit, epidemiologi, faktor risiko, gejala klinis,
patogenesis, serta pencegahan dan pengendalian dari penyakit swine influenza dan avian
influenza.
BAB II

ISI

2.1 Agen Penyebab Penyakit Influenza

2.1.1 Avian Influenza

Penyakit influenza disebabkan virus famili Orthomyxoviridae, yang terdiri atas virus
tipe A, B dan C berdasarkan hemaglutinin permukaan (H) dan antigen neuraminidase (N).
Wabah influenza terjadi hampir setiap tahun, meskipun berat dan besarnya bervariasi.
Virus A paling sering menyebabkan epidemi atau pandemi dan virus B kadang
menyebabkan epidemi atau pandemi regional. Virus C hanya menyebabkan infeksi
sporadis yang ringan. Sembilan puluh persen kematian oleh virus influenza terjadi pada
usia 65 tahun atau lebih. Wabah terbesar disebabkan influenza A oleh karena antigennya
dapat berubah. Wabah influenza B tidak begitu berat oleh karena antigennya lebih stabil.
Antigen virus influenza tipe A dapat mengalami dua jenis perubahan atau mutasi yaitu: 1)
antigenic drift bila mutasi tersebut terjadi perlahan, 2) antigenic shift yang terjadi
mendadak. Virus influenza jenis B lebih stabil dibanding virus influenza jenis A karena
hanya mengalami mutasi antigenic drift. Adanya antigenic drift/shift menyebabkan virus
lolos dalam pengawasan sistem imun pejamu, sehingga manusia rentan terhadap infeksi
virus seumur hidupnya (Baratawidjaja, 2006).

Virus Avian Influenza (VAI) subtipe H5N1 mewabah sejak tahun 1959 di berbagai
belahan dunia. Unggas-unggas di sejumlah negara benua Asia, Afrika, Amerika, Australia,
dan Eropa dalam kurun waktu yang panjang telah terinfeksi virus AI sehingga
menyebabkan kerugian yang besar. Virus ini dilaporkan pertama kali menyerang unggas
jenis ayam. Pada tahun 1959 dilaporkan bahwa dua kelompok ayam terindikasi terkena
virus AI di Skotlandia serta puluhan ribu kalkun ditemukan mati di sekitar Inggris dan
Kanada. Wabah ini semakin meluas pada jenis unggas lainnya termasuk angsa, itik, burung
puyuh bahkan burung liar (European Commission, 2000).
Pada tahun 2003 Virus Avian Influenza subtipe H5N1 mulai mewabah di Indonesia.
Pada tahun 2004, wabah Avian Influenza terjadi di Kabupaten Pekalongan dan Tangerang.
Penyakit ini mewabah pada ayam ras petelur dan pedaging, burung puyuh, ayam kampung
dan itik. Mortalitas kasus ini sangat tinggi mencapai 90% (Anies, 2005). Berdasarkan data
Office International des Epizooties (OIE) tahun 2005, Indonesia termasuk ke dalam negara
endemik VAI pada unggas, selain Mesir dan Nigeria (Kamps et al., 2006).

Virus influenza merupakan nama genetik virus yang berasal dari keluarga
Orthomyxoviridae yang diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan
sifat antigenik dari nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus influenza unggas termasuk
tipe A (Kamps et al.,2006). Virus influenza tipe B dan C biasanya menyerang manusia dan
babi (Akoso, 2006). Unggas air merupakan pembawa (carrier) seluruh virus influenza.
Unggas air diduga merupakan reservoir alami untuk semua jenis virus influenza (Webster
et al., 1992; Fouchier et al., 2003; Widjaja et al., 2004).

Virus influenza tipe A dapat menginfeksi unggas dan manusia. Virus ini dibagi
menjadi berbagai subtipe berdasarkan analisis serologis dan genetik hemaglutinin (HA)
dan neuroamidase (NA). Sampai saat ini terdapat 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe
NA (N1-N9) (Russel &Webster, 2005). Semua subtipe HA dan NA ditemukan pada unggas
air, dan hanya 3 subtipe HA (H1-H3) dan 2 subtipe NA (N1 dan N2) ditemukan pada
manusia (Hoffman et al., 2001). Subtipe H5 dan H7 merupakan subtipe yang sangat
virulen pada unggas dan berpotensi sebagai penyebab pandemik (Russel & Webster,
2005).

2.1.2 Swine Influenza

Swine influenza atau flu babi merupakan penyakit saluran pernafasan sangat
menular pada babi yang disebabkan oleh virus influenza A yang sangat menyerupai virus
influenza yang menyerang manusia. Influenza pada babi beragam jenisnya hampir sama
dengan influenza pada manusia. Wabah influenza pada babi sering terjadi pada babi
anakan (babi muda) dengan tingkat kasus yang tinggi namun jarang menjadi fatal.
Penyakit swine influenza cenderung mewabah di musim semi dan musim dingin tetapi
siklusnya adalah sepanjang tahun (Ressang, 1984).

Seperti virus influenza yang menyerang unggas dan manusia, virus swine influenza
juga terdiri atas subtipe dan strain virus yang berbeda. Salah satu virus yang ditemukan di
Amerika Utara adalah virus classical swine influenza H1N1. Virus ini merupakan virus
pertama yang diketahui sebagai virus yang dapat menginfeksi babi dan menyebabkan
wabah pada tahun 1918. Pada Januari tahun 1919, pandemik influenza kembali terjadi
dan dikenal dengan “Spanish Flu”. Pandemik ini diperkirakan menyebabkan tingkat
kematian hingga 35% dengan jumlah kematian mencapai 40 sampai dengan 100 juta
orang (JOHNSON et al., 2002).

Sebagian besar virus flu babi merupakan subtipe H1N1, namun subtipe lain juga
beredar pada babi (H1N2, H3N1, H3N2, dan H2N3). Babi juga dapat terinfeksi dengan
virus flu burung (avian influenza) dan virus flu musiman manusia, sama seperti halnya
terinfeksi virus flu babi. Virus babi H3N2 diperkirakan awalnya ditularkan pada babi oleh
manusia. Flu babi diketahui disebabkan oleh virus influenza A subtipe H1N1, H1N2, H3N1,
H3N2, and H2N3. Virus ini (type A H1N1 virus) pertama kali diketahui secara klinis tahun
1918 saat masa pandemi influenza, manusia terinfeksi flu dan babi menunjukkan gejala
klinis yang hampir sama. Strain virus diketahui setelah diisolasi dari babi pada tahun
1930, strain virus ini mempunyai karakter yang sama dengan influenza pada manusia dan
dikenal dengan “influenza A klasik H1N1” (Roland et al., 2007).

2.2 Epidemiologi Influenza

2.2.1 Epidemiologi Avian Influenza

Di Indonesia, Avian influenza mewabah sejak pertengahan tahun 2003. Selain


menyerang unggas, virus Al juga menginfeksi manusia, sehingga membuat Indonesia
menjadikan satu-satunya negara dengan angka kejadian dan kematian tertinggi di dunia.
Jenis hewan yang tertular adalah ayam layer di peternakan komersial. Penyebaran secara
cepat terutama melalui perdagangan unggas.

Dari bulan Agustus 2003 sampai Februari 2004 terjadi wabah penyakit unggas yang
menyebabkan kematian unggas sebesar 6,4% dari populasi unggas di wilayah seluruh
Provinsi yang ada di Pulau Jawa, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Bali, Provinsi
Kalimantan Tengah dan Provinsi Lampung. Spesies unggas tertular yang dilaporkan
adalah ayam petelur (layer), ayam pedaging (broiler), ayam buras, itik, entok, angsa,
burung unta, burung puyuh, burung merpati, burung merak putih, burung perkutut.

Pada bulan April 2005 dilaporkan meningkat secara sporadis dan lebih banyak
menyerang ayam buras dan burung puyuh di beberapa daerah tertular di P. Jawa,
Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur, hingga akhir bulan Juli 2005, terjadi di 21
provinsi, 136 kabupaten/kota. Sementara itu berdasarkan laporan dari Dinas Peternakan
Provinsi Sumatera Utara, di Kabupaten Tapanuli Utara masih terdapat kasus kematian
pada ayam buras sejumlah 200 ekor, sedangkan di Kota Jambi dan Kabupaten Batanghari
jumlah kematian unggas pada bulan Juli 2005 sebanyak 233 ekor. Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Riau, Kep. Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tenggara, dilaporkan masih terdapat kasus kematian unggas hingga
bulan Desember 2005.

Penetapan daerah tertular avian influenza dilihat berdasarkan adanya laporan kasus
kematian unggas yang disebabkan oleh virus avian influenza dengan diagnosa klinis,
patologi anatomi, epidemiologis, dan dikonfirmasi secara laboratoris.

2.2.2 Epidemiologi Swine Influenza

Berdasarkan data epidemiologi, swine flu (flu babi) bersifat pandemi di Amerika
serikat dengan puncaknya pada tahun 2009. Pada tahun 2009 WHO melaporkan adanya
18.631 kematian terkonfirmasi laboratorium secara global. Di Indonesia belum dilaporkan
angka kematian akibat flu babi. Secara global, pada tahun 2009, Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) mengidentifikasi terjadinya flu babi pertama yang bersifat
pandemik. World Organization for Animal Health juga melaporkan bahwa virus ini tidak
hanya terdapat pada babi. Penularan pada manusia sendiri terjadi antar manusia, dan
bukan dari konsumsi makanan yang mengandung babi.

Virus influenza A tipe H1N1 yang menginfeksi manusia didapati pertama kali di
Amerika Serikat sejak tahun 1998, dan meningkat pada tahun 2005 hingga puncaknya
tahun 2009. Didapatkan 30.000 kasus flu babi yang tersebar di 74 negara. Berdasarkan
WHO, terdapat 18.631 kematian yang terkonfirmasi oleh laboratorium di seluruh dunia.
Penelitian di Amerika melaporkan sejak 2009 – 2010 didapatkan 61 juta kasus
simptomatik dengan 12.500 kematian dan 274.000 kasus rawat inap. Setelah diteliti,
didapati bahwa 60% pasien merupakan usia 18 tahun kebawah, sehingga dinyatakan pada
usia anak dan remaja muda lebih rentan terinfeksi virus influenza A tipe H1N1 ini. Namun,
flu babi ini sendiri dapat menginfeksi usia dewasa dan tua juga, dengan rentang usia yang
terkena infeksi flu didapat sejak usia 3 bulan hingga 81 tahun. Sedangkan data terbaru di
Indonesia mengenai flu babi belum ditemukan. Pada tahun 2009 Departemen Kesehatan
Indonesia mengungkapkan ditemukannya 12 orang yang terjangkit flu babi, namun tidak
ditemukannya ternak babi yang terinfeksi flu babi. Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali
sempat menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) dikarenakan adanya warga asing
yang meninggal dunia dikarenakan infeksi flu babi tersebut. Angka mortalitas pada flu
babi mencapai 4% dari total populasi yang positif terkena flu babi. 23.3% penderita
mengalami gejala yang berat saat terinfeksi flu babi. Penyebab kematian dari infeksi flu
babi ini adalah gagal napas, sepsis, dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit.

Virus flu babi biasanya masuk ke dalam kawanan oleh babi yang terinfeksi. Dalam
kawanan yang baru terinfeksi, hingga 100% hewan mungkin menjadi sakit, tetapi
kebanyakan hewan pulih dalam 3-7 hari jika tidak ada infeksi bakteri sekunder atau
komplikasi lain. Dalam kasus yang tidak rumit, tingkat kematian kasus berkisar antara
kurang dari 1% hingga 4%. Banyak infeksi pada ternak yang terinfeksi enzootica bersifat
subklinis, tanda-tanda khas influenza dapat terjadi hanya pada 25% sampai 30% babi.

 Host

Virus influenza ditemukan di sejumlah spesies termasuk burung, manusia, babi,


kuda, dan anjing. Virus flu babi ditemukan terutama pada babi, tetapi juga ditemukan pada
spesies lain termasuk manusia, kalkun, dan bebek.

 Penularan

Virus influenza mudah menular antar hewan dalam spesies yang beradaptasi. Babi
mungkin mulai mengeluarkan virus flu babi dalam waktu 24 jam setelah infeksi, dan
sebagian besar Kasus shedding berhenti 7-10 hari pasca infeksi. Rute utama penularan
virus adalah melalui kontak babi ke babi melalui rute nasofaring. Kemungkinan besar
melalui kontak non-hidung atau kontak langsung dengan lendir. Virus ditumpahkan dalam
sekresi hidung dan disebarluaskan melalui tetesan atau aerosol.

 Kejadian

Influenza adalah penyebab utama penyakit pernapasan akut pada babi, dan
dianggap ada dimana-mana di antara populasi babi di seluruh dunia. Sekitar 25-33% dari
babi yang berumur 6-7 bulan dan 45% dari babi yang dikembangbiakkan memiliki
antibodi terhadap virus influenza di AS. Tingkat seroprevalensi yang tinggi terhadap virus
flu babi juga telah dilaporkan di negara lain.
2.3 Faktor Risiko Avian Influenza dan Swine Influenza

Faktor risiko avian dan swine influenza kurang lebih sama, yang mana kejadian
influenza dipengaruhi oleh penyebab (agent), faktor pejamu (host), lingkungan
(environment) dan faktor prilaku.

1. Faktor agent

Faktor agent adalah adanya virus influenza A yang penyebarannya cukup luas.

2. Faktor Manusia dan hewan

Faktor manusia meliputi imunitas seseorang yang dipengaruhi oleh umur, jenis
kelamin dan status gizi.

a. Manusia

1). Umur

Influenza merupakan penyakit yang dapat menjalar dengan cepat di lingkungan


masyarakat. Walaupun ringan penyakit ini tetap berbahaya untuk mereka yang
berusia sangat muda dan orang dewasa dengan fungsi kardiopulmoner yang terbatas.
Juga pasien yang berusia lanjut dengan penyakit ginjal kronik atau gangguan
metabolik endokrin dapat meninggal akibat penyakit yang dikenal sebagai penyakit
yang tidak berbahaya ini.

2). Jenis kelamin

Semua jenis kelamin dapat terinfeksi virus influenza.

b. Hewan

Manusia merupakan reservoir utama untuk infeksi yang terjadi pada manusia, namun
demikian reservoir mamalia seperti babi dan burung merupakan sumber subtipe baru
pada manusia yang muncul karena pencampuran gen (gen reassortmen). Subtipe baru
dari suatu strain virus virulen dengan surface antigens baru mengakibatkan pandemik
influenza yang menyebar terutama kepada masyarakat rentan. Faktor risiko kejadian
Influenza A dipengaruhi adanya kontak orang sehat kepada sumber penularan yaitu
babi dan unggas yang teserang swine dan avian influenza beserta produknya atau
penderita influenza A. Penularan dari orang ke orang melalui droplet sedangkan dari
hewan babi dan unggas dikarenakan kontak dengan hewan atau produknya yang
terkontaminasi virus influenza yang terhirup oleh penderita.
3. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan meliputi adanya sumber penular yaitu orang yang terinfeksi
virus influenza A serta keberadaan hewan babi atau unggas yang terinfeksi virus
influenza A. Faktor lingkungan meliputi keberadaan hewan babi atau unggas dan
produknya, serta musim.

4. Faktor Perilaku

Faktor perilaku meliputi kebiasaan menjaga higiene perorangan yaitu dengan


mencuci tangan pakai sabun setelah kontak dengan hewan akan mematikan virus
yang menempel pada tangan, kebiasaan mengelola hewan baik hewan babi atau
unggas yang sakit atau mati serta kebiasaan mengkonsumsi unggas sakit/mati
yang dimasak kurang sempurna.

2.4 Gejala Klinis

2.4.1 Gejala Klinis Avian Influenza

Masa inkubasi AI (H5N1) lebih lama daripada influenza manusia umumnya. Pada
tahun 1997, sebagian kasus terjadi dalam 2–4 hari setelah terpajan. Laporan yang terbaru
menunjukkan interval yang sama tetapi sampai dengan 8 hari. Inkubasi pada anak dapat
sampai 21 hari setelah terpajan. Hal ini kemungkinan karena tidak tahu bilamana waktu
terjadinya pajanan terhadap hewan yang terinfeksi atau sumber lain di lingkungan. Masa
inkubasi di unggas ialah 1 minggu.

Tanda dan gejala pada unggas Gejala unggas yang sakit beragam, mulai dari gejala
ringan sampai sangat berat. Hal ini bergantung keganasan virus, lingkungan, dan keadaan
unggas sendiri. Gejala awal berupa penurunan produksi telur. Gejala yang timbul seperti
jengger berwarna biru, kulit kaki sianosis, kepala bengkak, sekitar mata bengkak, demam,
diare, gangguan pernapasan berupa batuk, bersin, depresi dan tidak mau makan. Di
beberapa kasus, unggas mati tanpa gejala. Kematian terjadi setelah 24 jam timbul gejala.
Di kalkun, kematian dapat terjadi dalam 2–3 hari.

2.4.2 Gejala Klinis Swine Influenza

Pada babi, infeksi influenza menyebabkan demam, lesu, bersin, batuk, kesulitan
bernafas, dan nafsu makan menurun. Dalam beberapa kasus, infeksi dapat menyebabkan
aborsi. Meskipun kematian biasanya rendah (sekitar 1–4%), virus dapat menyebabkan
penurunan berat badan dan pertumbuhan, menyebabkan kerugian ekonomi bagi petani.
Babi yang terinfeksi bisa kalah hingga 12 pon berat badan selama periode 3 hingga 4
minggu.

2.5 Patogenesis Influenza (Avian Influenza dan Swine Influenza)

2.5.1 Patogenesis Avian Influenza

Tempat masuk virus (port de entry) ialah mulut, hidung, dan selaput lendir mata.
Infeksi dan replikasi primer virus terjadi di sel epitel kolumnar saluran pernapasan
menyebabkan kerusakan silia, inflamasi, nekrosis dan deskuamasi epitel saluran
pernapasan. Infeksi yang terjadi akan menginduksi sel B (antibodi terhadap NP, M1, H dan
N). Molekul antibodi dapat menghancurkan virus bebas dengan berbagai cara, yaitu
aktivasi jalur komplemen klasik atau menyebabkan agregasi, meningkatkan fagositosis
dan kematian intrasel. Sel T (CD 4 dan CD 8) yang menghasilkan sitokin proinflamasi
(interleukin 6, 10, interferon α 1, tumor nekrosis factor α yang mengaktifkan sel makrofag
dan NK cell (natural killer) untuk membunuh virus yang tumbuh dalam sitosolnya. Sel T
spesifik membunuh sasaran segera setelah proses mengenali peptida virus yang
berhubungan dengan MHC I (major histocompatibility complex). Sitokin proinflamasi
menyebabkan demam dan gejala sistemik, semakin tinggi kadarnya, semakin berat derajat
keparahan penyakit penderita. Sekali immunological memory terbentuk karena infeksi
primer atau vaksinasi, maka kadar antibodi di sekret saluran pernapasan meningkat lebih
cepat bila terdapat pajanan virus yang sama. Menurut WHO, infeksi AI (H5N1) lebih
mudah menular dari unggas ke manusia dibandingkan dengan dari manusia ke manusia.
Sampai saat ini belum terbukti penularan dari manusia ke manusia atau penularan
manusia lewat daging yang dikonsumsi. Satu-satunya cara virus influenza A (H5N1) dapat
menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia ialah jika virus influenza A (H5N1)
tersebut bermutasi dan bercampur dengan virus influenza manusia.

2.5.2 Patogenesis Swine Influenza

Pada babi, virus influenza terutama menginfeksi sel epitel yang melapisi permukaan
saluran pernapasan, dari mukosa hidung hingga alveolus, tetapi virus juga telah terdeteksi
di sel epitel kelenjar yang terkait dengan saluran udara yang lebih besar. Lesi mikroskopis
yang khas adalah bronkitis nekrotikans dan bronkiolitis. Selama 24 jam pertama, neutrofil
mulai menumpuk di pembuluh darah yang berdekatan dengan bronkiolus, dan manset
limfositik ringan muncul di sekitar saluran udara, kadang-kadang sebelum kerusakan
epitel terlihat. Nekrosis dan peluruhan sel epitel saluran napas dan transmigrasi neutrofil
ke dalam lumen saluran napas terjadi pada 24-48 jam. Pada 48 jam, saluran udara yang
terkena dilapisi oleh lapisan epitel yang rata, dan neutrofil dalam puing-puing luminal
telah diganti atau disertai oleh makrofag. Akumulasi limfosit di sekitar saluran udara dan
pembuluh darah yang berdekatan menjadi lebih menonjol. Melanjutkan perbaikan, sel-sel
epitel yang melapisi saluran udara berproliferasi dan matang menjadi sel kolumnar tinggi
yang padat, menghasilkan tampilan hiperplastik yang tidak teratur, seringkali pada 72
jam. Pada saluran napas yang rusak parah, proliferasi fibroblas dari lamina propria
subepitel yang terbuka dapat menyebabkan pembentukan polip endobronkial atau
pemecahan saluran napas yang tidak sempurna (bronkiolitis obliterans). Kerusakan
seperti itu kemungkinan besar terjadi di saluran udara yang lebih kecil.

Sebuah studi imunofluoresen awal pada babi sampel berurutan menggambarkan


infeksi sebagai infeksi progresif, dimulai pada bronkus kecil diikuti oleh penyebaran distal
ke bronkiolus terminal dan alveol serta proksimal ke bronkus dan trakea, yang mungkin
menunjukkan bahwa beberapa variasi dalam distribusi lesi adalah fungsi waktu setelah
infeksi atau posisi lobulus yang bersangkutan di sepanjang cabang pohon pernapasan
yang terinfeksi.
2.6 Pencegahan dan pengendalian Influenza (Avian Influenza dan Swine Influenza)

2.6.1 Pencegahan dan pengendalian Avian Influenza

Pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit dilakukan


berdasarkan Kepdirjennak No: 17/Kpts/PD.640/F/02.04 tanggal 4 Februari 2004 tentang
Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular
Influenza pada Unggas, terdapat 9 Strategi pengendalian Avian Influenza, yaitu:

 Biosekuriti

Biosekuriti merupakan suatu tindakan untuk mencegah semua kemungkinan


penularan (kontak) dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit melalui:
pengawasan lalu lintas dan tindakan karantina (isolasi) lokasi peternakan tertular
dan lokasi tempat-tempat penampungan unggas yang tertular, dekontaminasi
(desinfeksi)

 Pemusnahan unggas selektif (depopulasi) di daerah tertular

Pemusnahan selektif (depopulasi) merupakan suatu tindakan untuk mengurangi


populasi unggas yang menjadi sumber penularan penyakit dengan jalan eutanasia
dengan menggunakan gas CO2 atau menyembelih semua unggas hidup yang sakit
dan unggas sehat yang sekandang. Cara yang kedua adalah disposal, yaitu
prosedur untuk melakukan pembakaran dan penguburan terhadap unggas mati
(bangkai), karkas, telur, kotoran (feses), bulu, alas kandang (sekam), pupuk atau
pakan ternak yang tercemar serta bahan dan peralatan terkontaminasi lainnya
yang tidak dapat didekontaminasi (didesinfeksi) secara efektif.

 Vaksinasi

Tujuan pelaksanaan vaksinasi adalah untuk mengurangi jumlah hewan yang peka
terhadap infeksi dan mengurangi sheding virus atau virus yang dikeluarkan dari
hewan tertular sehingga mengurangi kontaminasi lingkungan (memutus mata
rantai penyebaran virus Al.
 Pengendalian lalu lintas
Meliputi pengaturan secara ketat terhadap pengeluaran dan pemasukan unggas
hidup, telur (tetas dan konsumsi) dan produk unggas lainnya (karkas / daging
unggas dan hasil olahannya), pakan serta limbah peternakan; pengawasan lalu
lintas antar area; pengawasan terhadap pelarangan maupun pembatasan lalu
lintas.
 Surveilans dan Penelusuran

Surveilans merupakan kegiatan yang dilakukan secara teratur untuk mengetahui


status kesehatan hewan pada suatu populasi. Sasarannya adalah semua spesies
unggas yang rentan tehadap penyakit dan sumber penyebaran penyakit.

 Peningkatan kesadaran masyarakat (Public Awareness).

Merupakan sosialisasi (kampanye) penyakit Al kepada masyarakat dan peternak.


Sosialisasi dilakukan melalui media elektronik, media massa maupun penyebaran
brosur (leaflet) dan pemasangan spanduk, agar masyarakat tidak panik.
 Pengisian kembali (Restocking) unggas.
Pengisian kembali (restocking) unggas ke dalam kandang dapat dilakukan
sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan setelah dilakukan pengosongan kandang dan
semua tindakan dekontaminasi (desinfeksi) dan disposal selesai dilaksanakan
sesuai prosedur.
 Pemusnahan unggas secara menyeluruh (stamping out) di daerah tertular baru.
Apabila timbul kasus Al di daerah bebas atau terancam dan telah didiagnosa
secara klinis, patologi anatomis dan epidemiologis serta dikonfirmasi secara
laboratoris maka dilakukan pemusnahan (stamping out) yaitu memusnahkan
seluruh ternak unggas yang sakit maupun yang sehat dalam radius 1 km dari
peternakan tertular tersebut.
 Monitoring, Pelaporan dan Evaluasi.
Monitoring adalah usaha yang terus menerus yang ditujukan untuk mendapatkan
taksiran kesehatan dan penyakit pada populasi yang dilakukan oleh pusat dan
daerah serta laboratorium (BPPV/BBV). Pelaporan meliputi laporan situasi
penyakit dan perkembangan, pelaksanaan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit. Pelaksanaan evaluasi dilakukan setelah selesai kegiatan operasional
lapangan.

2.6.2 Pencegahan dan pengendalian Swine Influenza

 Biosecurity
Rencana biosekuriti untuk flu babi harus mengidentifikasi jalur potensial untuk
pengenalan dan penyebaran penyakit. Karena virus flu babi menyebar terutama
melalui jalur pernapasan, dan sangat menular antar babi, biosekuriti yang efektif
mungkin sulit dicapai. Setelah flu babi ditemukan di peternakan, akan sangat sulit
untuk diberantas sepenuhnya tanpa depopulasi total. Depopulasi parsial,
pemisahan anak babi yang disapih lebih awal, sistem habis-habisan,
dikombinasikan dengan praktik kebersihan yang baik, adalah langkah-langkah
yang dapat diambil untuk mengendalikan kejadian dan meminimalkan dampak
ekonomi pada peternakan yang terkena dampak. Karena penularan virus influenza
lintas spesies dapat terjadi antara manusia dan babi, langkah-langkah biosekuriti
juga harus memperhitungkan interaksi manusia-babi, khususnya paparan babi
kepada orang-orang dengan penyakit mirip influenza.
 Vaksinasi
Vaksin virus hidup yang dimodifikasi memberikan peningkatan stimulasi imunitas
yang diperantarai sel dibandingkan dengan vaksin yang tidak aktif, sehingga
memberikan kekebalan yang lebih heterosubtipe (yaitu, perlindungan lintas
subtipe). Potensi reassortment antara strain lapangan dan virus vaksin yang
memproduksi virus reassortant baru menjadi perhatian untuk vaksin virus hidup
yang dilemahkan. Vaksin rekombinan, berbasis DNA telah dievaluasi secara
eksperimental dan dapat memberikan perlindungan silang yang lebih besar dalam
menghadapi infeksi virus influenza babi heterolog daripada vaksin konvensional
yang telah dibunuh, dan tidak berisiko seperti vaksin hidup. menunjukkan kinerja
yang memadai pada babi, dan ini belum tersedia untuk penggunaan komersial
pada babi. Imunisasi babi betina akan menginduksi antibodi turunan maternal
pada anak babi, yang dapat mempengaruhi perkembangan kekebalan alami dan
respons terhadap vaksinasi pasca-sapih.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Avian dan swine influenza merupakan salah satu penyakit hewan yang bersifat
zoonosis. Perlu waktu yang lama untuk menghilangkan secara total penyakit tersebut.
kedua penyakit tersebut berasal dari jenis tipe yang sama namun sub tipe berbeda, yang
mana swine influenza sub tipe H1N1 sedangkan avian influenza sub tipe H5N1.
Penyebaran kedua virus tersebut terhadap inangnya salah satunya melalui droplet atau
udara yang disebabkan karena beberapa faktor yakni, agent, manusia dan hewan, faktor
lingkungan dan faktor perilaku manusia. Dengan gejala klinis yang ditimbulkan berbeda-
beda, baik itu gejala pada babi maupun pada unggas. Oleh karena itu, perlunya tindakan
pencegahan dan pengendalian yang baik dan ketat.

3.2 Saran

Untuk penulis selanjutnya, diharapkan dapat menambahkan cara mendiagnosa


penyakit Swine influenza dan Avian influenza.
DAFTAR PUSTAKA

Avrizal, R. (2019). Sistem Pakar Mendiagnosa Penyakit Flu Babi Menerapkan Metode
Hybrid Case Based. JURIKOM (Jurnal Riset Komputer), 6(2), 204-210.

Baudon, E., Chu, D. K., Tung, D. D., Thi Nga, P., Vu Mai Phuong, H., Le Khanh Hang, N., ... &
Peiris, M. (2018). Swine influenza viruses in Northern Vietnam in 2013–
2014. Emerging microbes & infections, 7(1), 1-16.

Daniels, P., A. Wiyono, E. Sawitri, B. Poermadjaja, and L.D Sims. 2013. H5N1 highly
pathogenic avian influenza in Indonesia: retrospective considerations. Current
Topics in Microbiology and Immunology. 365: 171-184.

Dudley., 2008. Insight, part of a Special Feature on Risk mapping for avian influenza: a
social-ecological problem Public Health and Epidemiological Considerations For
Avian Influenza Risk Mapping and Risk Assessment. Ecology and Society 13(2): 21
http://www.ecologyandsociety.org/vol13/iss2/art21/ diakses 08 Pebruari 2018.

Elytha, F. (2011). Sekilas Tentang Avian Influenza (Ai). Jurnal Kesehatan Masyarakat


Andalas, 6(1), 47-51.

Gangurde, H., Gulecha, V., Borkar, V., Mahajan, M., Khandare, R., & Mundada, A. (2011).
Swine influenza A (H1N1 virus): A pandemic disease. Systematic Reviews in
Pharmacy, 2(2), 110.

Hervé, S., Garin, E., Calavas, D., Lecarpentier, L., Ngwa-Mbot, D., Poliak, S., ... & Simon, G.
(2019). Virological and epidemiological patterns of swine influenza A virus
infections in France: Cumulative data from the RESAVIP surveillance network,
2011–2018. Veterinary microbiology, 239, 108477.

Indriani, R., Samaan, G., Gultom, A., Loth, L., Indryani, S., Adjid, R., ... & Kelly, P. M. (2010).
Environmental sampling for avian influenza virus A (H5N1) in live-bird markets,
Indonesia. Emerging infectious diseases, 16(12), 1889.

Kencana, G. A. Y., Apsari, I. A. P., & Kendran, A. A. S. PENCEGAHAN PENULARAN PENYAKIT


FLU BURUNG OLEH UNGGAS MELALUI PENYULUHAN DAN VAKSINASI AYAM
BURAS NYAMBU. Buletin Udayana Mengabdi, 20, 97-101.

Kencana, G. A. Y., Suartha, I. N., Paramita, N. M. A. S., Handayani, A. N. 2016. Vaksin


Kombinasi Newcastle Disease dengan Avian Influenza Memicu Imunitas Protektif
pada Ayam Petelur terhadap Penyakit Tetelo dan Flu Burung. Jurnal Veteriner 17
(2): 257 – 264.
Kencana, G. A. Y., Mahardika, I. G. N. K., Suardana, I. B. K., Astawa, I. N. M., Dewi, N. M. K.,
Putra, G. N. N. 2012. Pelacakan Kasus Flu Burung pada Ayam dengan Reverse
Transkriptase Polymerase Chain Reaction. Jurnal Veteriner 13(3): 303-308.

Kencana GAY., Suartha, IN., Kardena IM. Avian Influenza Virus-H5N1 Is Circulating Among
Backyard Chicken in MargaDistrict, Tabanan Regency, Bali. Proceeding of The 20th
FAVA Congress & The 15th KIVNAS PDHI, Bali Nov 1-3, 2018

Kharis, M. (2010). Model Deterministik untuk Epidemi Flu Babi Pada Populasi
Babi. Kreano, Jurnal Matematika Kreatif-Inovatif, 1(2), 95-105.

Lestari, A. W., Wirawati, I. P., & Oka, T. G. (2018). Konfirmasi Flu Babi A/H1n1
Menggunakan Pcr. Indonesian Journal Of Clinical Pathology And Medical
Laboratory, 16(2), 93-96.

Mulyadi, B., & Prihatini, P. (2018). DIAGNOSIS LABORATORIK FLU BURUNG


(H5N1). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, 12(2), 71-
81.

Nurita, D., & Hendrati, L. Y. (2013). EVALUASI PENEMUAN KASUS AVIAN INFLUENZA DI
KANTOR KESEHATAN PELABUHAN KELAS III SAMPIT. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 1(2), 201-212.

Shu, B., Garten, R., Emery, S., Balish, A., Cooper, L., Sessions, W., ... & Xu, X. (2012). Genetic
analysis and antigenic characterization of swine origin influenza viruses isolated
from humans in the United States, 1990–2010. Virology, 422(1), 151-160.

Simon, G., Larsen, L. E., Dü rrwald, R., Foni, E., Harder, T., Van Reeth, K., ... & Loeffen, W.
(2014). European surveillance network for influenza in pigs: surveillance programs,
diagnostic tools and Swine influenza virus subtypes identified in 14 European
countries from 2010 to 2013. PloS one, 9(12), e115815.

Temaja, I. G. N. B., Suartha, I. N., & Mahardika, I. G. N. K. (2013). Faktor-Faktor Risiko


Tertular Flu Burung di Desa-Desa Kabupaten Klungkung, Bali. Jurnal Veteriner
Juni, 14(2), 184-189.

Thaha, A. H., & Bagenda, I. (2018). Strategi Pengendalian Dan Pencegahan Penyebaran
Virus Highly Pathogenic Avian Influenza Pada Sektor III Dan IV di Kabupaten
Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Jurnal Ilmu Dan Industri Peternakan, 4(1), 74-83.
Ungsyani, D. S., Kencana, G. A. Y., & Tenaya, I. W. M. (2021). Seroprevalensi Flu Burung
Subtipe H5N1 pada Itik Bali di Pasar Hewan Beringkit dan Pasar Umum Galiran, di
Bali. Jurnal Veteriner Maret, 22(1), 86-92.

Wibawa, H., Prijono, W. B., Dharmayanti, N. L. P. I., Irianingsih, S. H., Miswati, Y., Rohmah,
A., ... & Safitria, K. (2012). Investigasi wabah penyakit pada itik di Jawa Tengah,
Yogyakarta dan Jawa Timur: Identifikasi sebuah clade baru virus avian influenza
subtipe H5N1 di Indonesia. Buletin Laboratorium Veteriner. Balai Besar Veteriner
Wates Jogjakarta, 12, 2-8.

Anda mungkin juga menyukai